Anda di halaman 1dari 4

RANGKAIANG RUMAH GADANG

Menurut adat Minangkabau, harta pusaka itu kepunyaan kaum yang merupakan warisan yang diterima turun temurun. Ada berupa sawah, ladang, kebun, atau hutan. Hak miliknya berada di tangan kemenakan perempuan, tetapi pengawasan diatur oleh mamak laki-laki. Karena itu harta pusaka itu diolah dan dimanfaatkan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga itu. Rumah gadang menjadi pusat kegiatan ekonomi. Semua harta kaum tersimpan di rumah gadang mulai dari sawah, ladang, ternak sampai pada benda-benda pusaka, peninggalan dari orang tua penghuni rumah gadang. Karena itu, rumah gadang merupakan lambang *sako jo *pusako. Sawah, ladang dan kebun dikerjakan bersama oleh anggota keluarga. Hasilnya pun tersimpan dan dimanfaatkan oleh seluruh anggota di rumah gadang. Semua kebutuhan anggota keluarga diatur dari hasil sawah milik rumah gadang. Seperti untuk membantu anak kemenakan yang terlantar, persediaan makanan sehari-hari, persediaan untuk membantu orang yang kekurangan persediaan makanan, dan untuk cadangan. Kebutuhan itu dilambang dengan rangkiang. Rangkiang yang semula tempat padi persediaan, akhirnya dijadikan ukuran martabat penghuninya. Mamang adat menyebutkan, rangkiang tegak berjejer di halaman rumah gadang. Di tengah bernama *sitinjau lauik, guna penjemput dagang dari rantau; di kanan *si bayau-bayau, lumbung makan anak kemenakan petang pagi; di kiri *si tenggang lapa, tempat orang miskin meminjam dan penolong orang di kala musim paceklik, dan *lumbuang kaciak untuk persediaan dan cadangan. Penyediaan cadangan dari hasil sawah atau ladang ini menjadi pendidikan sosial bagi anggota keluarga rumah gadang . (SAN)

RANGKIANG SI TINJAU LAUIK


Rangkiang Sitinjau Lauik (rengkiang Sitinjau Laut) adalah lumbung bertiang empat dan bergonjong tempat menyimpan padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga rumah gadang. Dindingnya pun diberi ukiran untuk menambah keindahan di halaman rumah gadang. Padi yang tersimpan di rangkiang ini dicadangkan khusus untuk keperluan perlengkapan rumah gadang, misalnya lampu, kasur atau lemari. Padi dijual dahulu atau langsung ditukar (barter) langsung dengan barang yang dibutuhkan (SAN)

RANGKIANG SI BAYAU-BAYAU
Rangkiang si bayau-bayau adalah bangunan rengkiang yang memiliki tiang enam buah. untuk menyimpan padi makan sehari-hari bagi anggota keluarga rumah gadang. Dindingnya kerapkali dilengkapi dengan ukiran tradisional Minangkabau. Kebutuhan anggota rumah gadang dan kebutuhan upacara-upacara adat, seperti melewakan penghulu, upacara daur hidup) perkawinan, kematian, kelahiran, sunat rasul) yang diselenggarakan dalam rumah gadang itu. Semua kebutuhan untuk seluruh anggota rumah gadang diambilkan dari rangkiang ini. Bentuknya agak gemuk agar banyak menyimpan padi. Di samping rengkiang sibayau-bayau, ada rangkiang lain yang mencerminkan kekayaan pemiliknya. Rengkiang itu adalah:
1)

Rangkiang si tenggang lapa atau Rengkiang si tenggang lapar, adalah lumbung penyimpan padi sebagai cadangan kalau terjadi musim kemarau atau paceklik ketika sawah tidak membuahkan hasil, seperti diserang hama dimakan tikus atau hama lain. Jadi, semacam padi cadangan bagi keluarga rumah gadang. pada masa paceklik Cadangan itu dapat dipinjamkan pada orang lain yang membutuhkan, terutama tetangga. Keluarga rumah gadang tidak memikirkan diri sendiri tapi masyarakat dan mampertenggangkan nagari.

2)

Rangkiang kaciak atau tempat menyimpan padi abuan yang akan dijadikan benih atau bibit di sawah. Selain itu juga menyimpan padi masak yang diperuntukkan bagi upah atau biaya orang turun ke sawah musim tanam berikutnya. Padi abuan juga menjadi cadangan bagi seorang sumando untuk keperluan kaumnya. Sawah abuan berasal dari sawah yang dibawanya kerumah isterinya. Hasil bersih diperdapat setelah disisihkan biaya pengelolaannya. Padi abuan ini dimanfaatkan untuk keperluan kerabat keluarganya. (SAN)

Sumber: Museum Adityawarman, Ukiran Tradisional Minangkabau, Bagian Proyek Permuseuman, 1999 Yayasan Sako Batuah, Budaya Alam Minangkabau, 1, SLTP, Padang, 2002

Boestami , Drs. Sjafnir Aboe Nain, Rosnida Nur , Kedudukan dan peranan Wanita dalam Kebudayaan Sukubangsa Mnangkabau, Penerbit ESA, Padang 1993

Anda mungkin juga menyukai