Anda di halaman 1dari 8

PERTIMBANGAN MORAL KRISTIANI TERHADAP PENGGUNAAN KONDOM Gereja Katolik melihat bahwa persoalan HIV&AIDS adalah persoalan kemanusiaan

secara mendasar, bukan semata-mata medis. Maka usaha-usaha pencegahan yang diberikan juga hendaknya bukan hanya bersifat medis tetapi juga membangun martabat kemanusiaan. Kondom adalah alat, sarana, sehingga merupakan satu dari banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam pencegahan HIV&AIDS. Gereja Katolik tidak menutup mata akan manfaat kondom dalam pencegahan penularan HIV&AIDS, tetapi Gereja Katolik juga tidak hanya berfokus pada satu titik dalam pencegahan HIV&AIDS seakan-akan, tanpa kondom, HIV & AIDS tidak bisa diatasi penularannya. Persoalan mengenai kondom mempunyai aneka kepentingan sehingga diperlukan kebenaran dan kejujuran dalam memberikan informasi dan sekaligus sikap moral yang tepat dalam mencermati data tersebut. 1.Mengapa kondom? Penularan HIV antara lain terjadi melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi, karena darah (transfusi atau luka), melalui alat suntik atau tusuk yang tidak steril lainnya terutama bagi pengidap napza, dan oleh ibu yang terinfeksi kepada janinnya. Faktor terbesar dari penularan tersebut adalah melalui hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi. Dalam hubungan seksual tersebut, cairan kelamin menjadi sarana penularan virus. Kondom yang terbuat dari lateks dimaksudkan sebagai sarana di mana hubungan seksual dapat terjadi, tetapi tidak ada resiko terkena cairan kelamin dari yang lain yang berpotensi HIV. Fungsi kondom bagi mereka yang tidak terinfeksi HIV adalah untuk menghindari infeksi dan mencegah terjadinya penularan HIV. Efektivitas penggunaan kondom dalam mencegah penularan HIV tinggi perlu didukung oleh pemakaian yang benar. Artinya masih ada kemungkinan-kemungkinan terjadi penularan karena faktor pelaku yang tidak menggunakan kondom dengan baik. Selain itu dalam hubungan seksual, selain terjadi coitus (persetubuhan), ada tindakan-tindakan seksual lain yang bisa menjadi penyebab penularan HIV, entah disadari atau tidak, efektivitas alat perlu didukung oleh perilaku seksual yang baik. 2.Siapakah pengguna kondom? Dari data yang disampaikan dalam konferensi wali Gereja di Afrika, kebanyakan pemakai kondom adalah anak-anak muda yang belum menikah. Data itu ternyata didukung oleh data internasional dari UNAID 2010. Untuk konteks di Indonesia Kemenkes RI melaporkan bahwa 47,4% dari 24.131 pasien AIDS pada Desember 2011 adalah kelompok umur 20-29 tahun. Jumlah yang kedua adalah kelompok umur 30-39 tahun sejumlah 31,3%. Dan sebagian besar penyebabnya adalah karena hubungan seksual tidak aman (52,7%), baik dalam kerangka hubungan seksual pranikah maupun hubungan seksual dalam pernikahan. Jika kampanye kondom didengungkan, maka subyek utama adalah mereka yang berusia 20-39 tahun, yaitu mereka yang belum menikah dan sudah menikah (salah satu pasangan terinfeksi atau pasangan yang tidak setia). Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan merupakan faktor terbesar yang menyebabkan penularan. Kampanye kondom sebagai pencegahan penularan HIV&AIDS diperuntukkan bagi mereka yang belum terinfeksi, yaitu mereka yang beresiko tinggi, maupun salah satu pasangan yang sudah terinfeksi. Menjadi pertanyaan sesudahnya adalah

siapakah mereka yang berisiko tinggi terinfeksi HIV? Sebab kepada merekalah terutama kondom ini diberikan dan dikampanyekan. 3.Efektivitas penggunaan kondom Pertanyaan yang pertama perlu diajukan adalah: Apakah kondom itu efektif dalam pencegahan HIV&AIDS? Persoalan kondom ternyata tidak hanya berhubungan dengan soal kesehatan, tetapi juga di dalamnya ada persoalan kepentingan ekonomi dan ideologi. Ada beberapa data baik dari gereja Katolik maupun dari luar Gereja Katolik yang menunjukkan bahwa kondom tidak memberikan total proteksi terhadap infeksi HIV. Beberapa moralis Katolik berpendapat bahwa secara teknis kondom tidak memberikan perlindungan 100% bagi pencegahan HIV. Penggunaan kondom 10-15% tidak efektif atau gagal sangatlah mungkin, mengingat HIV lebih mudah bergerak dibanding sperma. Yang kedua adalah kampanye efektifitas kondom tidak disertai dengan pemberian data yang tepat dan benar akan ketidakefektifan itu kepada publik. Jika metode dan cara seperti ini diteruskan bukankah penularan HIV&AIDS akan terus berkembang? Setiap orang (keluarga) berhak mengetahui kebenaran dan orang perlu dihargai dan dihormati martabatnya bukan sebagai suatu sasaran kampanye, melainkan sebagai pengambil keputusan.i Selain dari moralis, ada beberapa penelitian yang dibuat atas kondom. Dr. Helen Singer Kaplan pendiri Human Sexuality Program di New York Weill Cornell Medical Center, Cornell University mengadakan penelitian tentang kondom dari 1980 1990. Memperhitungkan bahwa virus HIV dua puluh lima kali lebih kecil dari kepala sperma, 450 kali lebih pendek daripada sperma dan 60 kali lebih kecil dari sipilis. Ia berpandangan bahwa: Counting on condoms is flirting with death.ii Dr. John Wilks, dalam sebuah kesempatan menuliskan pada tahun 2003, memberitakan bahwa 29 dari 89 kondom berbahan lateks tertembus HIV dan dalam penelitian lain disebutkan bahwa 2,6% kondom lateks tidak mampu menghalangi penetrasi HIV.iii Dari Inggris disebutkan juga bahwa WHO secara konsisten dan benar menyatakan bahwa kondom digunakan untuk mengurangi risiko penularan HIV dan efektifitasnya mencapai 90%. Organisasi lain Planned Parenthood Federation mengungkapkan bahwa efektifitas kondom mencapai 70%.iv Selain itu dari beberapa penelitian kualitas kondom dari 1000 kondom itu ada 4 kondom yang rusak ketika dicek dengan air, masih belum lagi kalau kondom itu dicek menurut standar yaitu dengan air burst (peniupan udara). Dari data-data penelitian tersebut nampak bahwa kondom tidak dapat memberikan perlindungan total melawan HIV& AIDS. Secara medis, kondom nampaknya tidak dapat memberikan jawaban yang menuaskan karena masih ada kemungkinan pengguna tertular HIV. Yang kedua, bagaimana seseorang harus menggunakan kondom dengan benar dengan 7 langkah sebagaimana diberikan oleh Centers for Desease Control and Prevention (CDC). Ketika anak-anak muda diberi petunjuk bagaimana menggunakan kondom dengan baik dan benar, kurang dari separuh dari mereka yang mengetahui bagaimana menggunakan langkah-langkah tersebut.v Banyak para promotor kondom melihat bahwa Thailand sebagai contoh negara Asia yang berani menggerakkan 100% kondom karena WHO pada 1991 memperkirakan bahwa kasus HIV di Thailand akan menjadi 60.000-80.000 kasus. Namun demikian, jika dilihat dari data tahun 1999, UNAIDS melaporkan bahwa ada 755.000 kasus (65.000 orang meninggal) dan bulan Agustus 2003 justru terdapat 899.000 kasus HIV&AIDS (125.000 meninggal), lebih dari perkiraan WHO.

Di Filipina terdapat kasus lain. Penggunaan kondom di Filipina ditolak oleh pihak oposisi. WHO memperkirakan pada tahun pada tahun 1991 bahwa pada tahun 1999 di Filipina kasusnya akan mencapai 80.000 90.000. Dalam tahun 1999 UNAIDS mendapatkan 1.005 kasus (225 meninggal) dan pada tahun 2003 di Filipina terdapat 1.946 kasus (260 meninggal). Jika dibandingkan, jumlah penduduk Thailand (66 juta) lebih kecil dibanding dengan Filipina (82 juta), maka otomatis UNAIDS Epidemic Update 2004 mengakui bahwa Thailand merupakan negara yang rendah penularan HIV&AIDS dan UNAID tidak berbicara apa pun tentang Filipina yang menggunakan abstinensi, monogami, dan kesetiaan kepada pasangan sebagai suatu metode yang baik.vi 4. Kondom: persoalan medis dan moral Persoalan kondom bukan hanya persoalan medis, untuk mereduksi penularan HIV&AIDS tetapi juga merupakan persoalan moral karena menyangkut siapa yang menggunakan kondom, untuk apa menggunakan kondom, dan terlebih lagi menyangkut kepentingan-kepentingan yang bermain di dalamnya, terutama persoalan ideologi dan ekonomi. Persoalan medis pertama adalah bahwa kondom ternyata tidak memberikan perlindungan total terhadap penularan HIV. Fakta ini tidak bisa ditutupi dengan memberikan kesan bahwa kondom itu efektif untuk mencegah HIV&AIDS. Mempromosikan kondom dengan safe sex tanpa memberikan penjelasan yang jujur dan benar tentang kondom tidaklah dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Motivasi dasar pencegahan HIV dengan kondom memang tidak dimaksudkan untuk mempromosikan seks bebas dan ketidaksetiaan terhadap pasangan. Namun jika melihat bahwa persoalan HIV&AIDS juga menyangkut persoalan perilaku, maka kondom dengan sendirinya tidak mengubah perilaku moral. Maka promosi kondom saja tidaklah cukup untuk menjawab persoalan HIV&AIDS terutama berkaitan dengan perubahan perilaku seksual yang berisiko terinfeksi HIV&AIDS. Promosi kondom yang besar-besaran memberikan kesan bahwa usaha solusi praktis dan promosi yang tidak seimbang atas metode-metode lain tidak mendapat tempat dan perhatian yang cukup dalam pengejawantahannya. Metode abstinensi dan kesetiaan pada pasangan serta pendidikan seksualitas kehilangan gema dalam promosi internasional, padahal metode itu memberikan jaminan bagi pencegahan HIV&AIDS. Metode tersebut bukan hanya praktis tetapi juga mampu memberikan solusi bagi pendidikan dan penghayatan seksualitas secara manusiawi. Persoalan kondom bagi pencegahan HIV&AIDS berdampak pula pada moral seksual dan moral perkawinan di mana setiap tindakan seksual bercirikan manusiawi, eksklusif, dan terbuka pada keturunan. Dan berkembangnya penyebaran HIV&AIDS justru dapat menjadi kesempatan yang baik untuk membangkitkan kembali arti kedewasaan hidup seksual, relasi seksual yang bertanggung jawab, monogami, dan kesetiaan kepada pasangan dalam perkawinan. 5.Pertimbangan moral: CAFOD dan catatannya Pertimbangan moral pernah diungkapkan oleh CAFOD London, Inggris dan ini menjadi prinsip umum pendampingan pencegahan HIV&AIDS bagi lembaga-lembaga yang berbasis agama katolik. Pertimbangan moral yang diberikan oleh CAFOD berpangkal pada pengalaman 20 tahun mendukung program pencegahan dan penanggulangan HIV&AIDS. CAFOD menganalisis persoalan-persoalan itu dengan problem tree yang dibagi menjadi tiga tingkatan: impact, risk dan vulnerability. Pencegahan HIV&AIDS berhubungan dengan membatasi dampak, mengurangi risiko

dan menurunan faktor-faktor kerentanan. Berikut diberikan beberapa pertimbangan moral dari CAFOD dan kemudian akan diberikan catatan kritis atas pertimbangan moral itu. Cara yang digunakan untuk mengurangi risiko: abstinensi, menunda hubungan seksual, monogami, mengurangi partner hubungan seksual, mengurangi aktifitas seksual, penggunaan kondom, seks non penetratif, penggunaan jarum suntuk yang aman, transfusi darah yang aman, peringatan awal bagi petugas kesehatan, pencegahan penularan ibu ke anak, konseling dan tes, serta pengobatan penyakit menular seksual. CAFOD menyadari bahwa metode ini ada yang bersifat mencegah penuh dan mencegah sebagian. CAFOD menolak prinsip reduksionis (membuat stratifikasi dan menggunakan kriteria yang lebih rendah jika yang lebih tinggi tidak tercapai). Melainkan melihat strategi ini secara integral mengingat kemampuan individu dan kelompok masyarakat, kompleksitas tanggung jawab dan situasi real yang dihadapi. Semakin banyak diadopsi maka akan semakin rendah resikonya. CAFOD menggunakan pendekatan gradual dalam moral atau yang disebut dengan prinsip gradualitas.vii Pencegahan yang diusulkan adalah perubahan tingkah laku. Perubahan perilaku sering disalahmengerti ketika diterapkan dalam penanganan HIV&AIDS dengan pendapat bahwa perubahan perilaku dapat dibuat oleh seseorang dengan tegas setelah mendapat informasi yang benar, karena setiap orang otonom. Pendekatan individualis ini mengurangi peranan mengesampingkan sosialitas, budaya setempat dalam pencegahan HIV&AIDS. Pendekatan individualis dinilai tidak sesuai dalam pencegahan penularan HIV&AIDS. Pencegahan HIV&AIDS perlu mempertimbangkan kemampuan individu untuk menerima dan memahami faktor-faktor yang mereduksi, dan selain itu juga lingkungan sekitar yang melingkupinya perlu diperhatikan dalam mengakomodasi perubahan perilaku. Faktor pencegahan selanjutnya adalah melihat peranan informasi, pendidikan dan komunikasi (EIC). EIC merupakan model yang memberikan informasi akurat dan yang diperlukan untuk mencegah HIV&AIDS, yang diharapkan ada perubahan dalam tingkah laku. Namun demikian EIC juga tidak mampu mendaat pada masyarakat rentan. Pendekatan yang berkembang yaitu pendekatan ABC (abstinence, be faithful dan using condom). CAFOD melihat bahwa tidak bisa hanya menekankan program abstinence saja. Kasus ini berhasil di Uganda. ABC harus dilihat sebagai salah satu faktor reduksi yang simpel dan mudah. Abstinence dilihat sebagai yang berciri dogmatis dan tidak simpatik oleh kelompok non religius. Dan program ini banyak ditinggalkan. Abstinence perlu dikembangkan lebih lanjut karena itu berarti: menunda usia hubungan seksual yang pertama, tidak melakukan hubungan seks sebelum mempunyai ikatan resmi, memilih hubungan seksual dalam ikatan yang panjang dan tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Prinsip abstinensi ini sulit untuk menjangkau mereka yang berada di dalam situasi dan budaya rentan penularan. Be faithful dalam arti kesetiaan pada pasangan dapat diterapkan secara lebih luas pada: kesetiaan pada satu pasang entah dalam perkawinan maupun dalam relasi yang jauh, mengurangi jumlah pasangan, mengurangi relasi seksual dan secara konsisten menggunakan kondom secara tepat dan konsisten. Strategi be faithful ini

pada awalnya banyak ditolak, namun demikian ternyata metode ini paling efektif di antara negara-negara yang menggunakan metode ABC. Condom Use. Kondom ketika digunakan secara konsisten dan tepat dapat mereduksi, bukan mencegah secara total, resiko tertular HIV&AIDS. Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan kondom secara konsisten efektif bagi kelompok yang beresiko tinggi terkena HIV&AIDS (seperti pekerja seks dan mereka yang tidak mampu. Harus diakui juga bahwa penggunaan kondom di berbagai tempat dan masyarakat umum kurang efektif sebagai program kesehatan).viii Choose what you can change today, choose what you want to change tomorrow. Panafsiran C tidaklah hanya condom only atau condom mainly. UNAIDS menjelaskan bahwa perhatian pada kondom perlu memperhitungkan konteks sosial, termasuk kebijakan pemerintah, sosial ekonomi, status, tingkat pendidikan, relasi gender dan spiritualitas.ix Kondom bukanlah satu-satunya yang dipromosikan; kondom dipromosikan bagi situasi-situasi emergensi. Dari prinsip ABC itu, CAFOD memberikan beberapa kesimpulan: Pencegahan HIV tidak dapat direduksi hanya pada solusi quick fix saja, sehingga diperlukan program-program pencegahan yang berjangka panjang. Pendekatan pencegahan haruslah komprehensif: mengurangi dampak, menurunkan resiko dan menurunkan kerentanan. Perlunya kolaborasi dan saling melengkapi serta menghindari kemutlakan satu pandangan saja, terutama berkaitan dengan pandangan-pandangan dogmatis. Strategi pencegahan harus didasarkan pada pemahaman dan situasi masyarakat yang dituju. Strategi menjadi efektif jika ada dukungan dan menyentuh kehidupan masyarakat setempat. Metode ABC dalam masing-masing detailnya perlu dilihat secara strategis dan simultan, karena masing-masing mempunyai efektifitasnya sendiri-sendiri. Pertimbangan moral CAFOD (Catholic Overseas Development Agency) di Inggris ini memang banyak digunakan sebagai kesepakatan di antara lembaga-lembaga yang berbasis Katolik. Pengalaman-pengalaman bekerja sama dengan lembaga-lembaga agama lain, non-government organization (NGO) maupun lembaga pemerintahan serta program 20 tahun yang dijalankan menjadi sumber pertimbangan moral bagi CAFOD dimanfaatkan untuk menggunakan prinsip ABC drngan aneka catatan di atas. Tentunya prinsip ini tidak hanya digunakan untuk mereka yang beragama Katolik tetapi untuk orang-orang yang berasal dari kepercayaan lain. Dari prinsip moral pencegahan ABC terutama C (Condom atau Choice), CAFOD perlu kembali mengingat pemahaman mengenai pendekatan moral gradualitas yang didasarkan pada pemikiran moral Kevin Kelly dan Enda McDonagh. Ada beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan: 1. Paus Yohanes Paulus dalam Familiaris Consortio 34 menunjukkan bahwa pendekatan gradualitas hendaknya jangan sampai melihat hukum sebagai tujuan yang dapat dicapai di masa mendatang, mereka harus mengusahakannya sebagai perintah Kristus untuk mengatasi persoalan secara konsisten. Hukum gradualitas bukanlah gradualitas hukum seakan-akan ada hukum yang berbeda untuk kelompok orang tertentu. Penggunaan kondom secara moral walaupun diperhitungkan sebagai sarana pencegahan emergensi dan cocok pada situasi dan kondisi tertentu, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai metode yang secara moral benar.

2. Eksistensi penjelasan abstinence dan be faithful yang demikian luas secara moral Katolik perlu diberi catatan kritis karena metode abstinence dan be faithful yang dimaksudkan Gereja Katolik adalah abstinence dan be faithful yang diletakkan dalam penghormatan terhadap hubungan seksual dalam kerangka perkawinan dan kesetiaan pada pasangan dalam perkawinan. 3. CAFOD melihat bahwa promosi kondom secara parsial efektif bagi kelompok yang beresiko. Moralis CAFOD mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu digunakan prinsip minus mallum (Lesser evil) dengan tujuan pada perubahan pribadi, budaya dan komunitas. Prinsip tersebut perlu dikembalikan kepada Veritatis Splendor no. 76 untuk tidak mengaburkan nilai kebenaran dan kewajiban moral. Seksualitas bagi moral Katolik dipandang sebagai way of loving dan menjadi bermoral ketika terwujud dalam ikatan perkawinan. Seks ada untuk tujuan pengungkapan kasih dan prokreasi. Kedua-duanya hadir di dalam perkawinan. Hubungan seksual pranikah dan extra marital merupakan bentuk pengingkaran dari moral seksual dan moral perkawinan. Penggunaan kondom dalam hubungan seksual memisahkan antara nilai seksualitas: dimensi unitif dan prokreatif. Dan cinta kasih perkawinan tidak habis dan bukan melulu adalah relasi seksual. Cinta kasih perkawinan mempunyai makna mendalam sebagai ungkapan kesatuan pribadi, pendewasaan relasi, totalitas pemberian diri, pelayanan yang menjadi tanda kehadiran dan kasih Tuhan kepada manusia. Dalam pertimbangan moral yang demikian, Gereja Katolik tidak mempromosikan prinsip ABC tetapi dengan setia pada panggilannya ambil bagian dalam mempromosikan abstinensi dan be faithful dalam kerangka moral seksual dan perkawinan Katolik. 6.Excelensi moral Katolik dan kelemahan manusiawi: moral kemurahan Persoalan yang dihadapi oleh CAFOD maupun oleh para aktifis yang bekerja secara praktis, memang kadang prinsip umum moral Katolik ini seakan menolak kompromi dan menolak ABC CAFOD sebagai cara yang tepat dalam pencegahan penularan HIV&AIDS. Di balik ketegasan moral Gereja Katolik, Gereja juga adalah sebagai ibu yang memberikan pendampingan dan kemurahan serta kerahimannya bagi kelemahan-kelemahan manusiawi. Ada beberapa prinsip dasar kemurahan pastoral yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan: 1.Teologi Sapiensial (kebijaksanaan) yang dikenal dengan hukum gradualitas. Kebenaran tetaplah kebenaran tetapi karena kelemahan manusiawi seseorang dapat bertumbuh menuju kebaikan dengan segala kemampuannya (jalan kesempurnaan). Tetapi harus dipahami bahwa hukum gradualitas tidak sama dengan gradualitas hukum. Sama halnya dengan penerimaan Ensiklik Humanae Vitae berkaitan dengan keluarga bertanggung jawab (KB) oleh aneka kontroversi Wali Gereja di berbagai negara. Demikian juga paralel halnya dengan persoalan pencegahan HIV&AIDS, termasuk penggunaan kondom sebagai sarana pencegahan HIV&AIDS. 2.Prudensia Pastoral. Kemurahan pastoral haruslah berorientasi kepada keselamatan: bahwa keselamatan jiwa-jiwa merupakan hukum yang tertinggi. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan: a) perlu ditolak rigorisme moral yang mengarah pada pengutukan; b) penerimaan pastoral pihak yang tidak bersalah karena ketidaktahuan; c) penerapan kriteria moral menurut situasi konkret pribadi, tidak mencari kesempurnaan sistem moral tetapi keselamatan dan kesempurnaan pribadi dalam situasi konkret.

3.Selain kemurahan pastoral perlu diperhitungkan juga ekuitas pastoral seperti yang diungkapkan oleh Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II. Ekuitas pastoral Sapiens Aequitas ini mau menunjukkan bahwa ada situasi hidup di mana normanorma umum tidak dapat mengatur dan menentukan, karena memang hukum dan norma moral bisa mencakup banyak hal. Maka perlu mengedepankan nilai-nilai cinta kasih dan kemurahan hati. Dalam hal ini perlulah discernment (ketajaman) bersama. Ada beberapa langkah discernment (memahami) yang dapat diberlakukan untuk mengambil keputusan moral dalam pencegahan HIV&AIDS. 1.Sikap mendengarkan dengan hati. Situasi, kondisi, baik budaya, masyarakat maupun pribadi hendaknya menjadi titik pijak bagi pengambilan keputusan moral yang bertanggung jawab. Karena pribadi yang bersangkutanlah yang paham dan menjadi subyek moral. 2.Memahami kerapuhan pribadi bukan sebagai excuse (alasan) tetapi sebagai kemampuan optimal yang dapat diusahakan. 3.Proses pendampingan bertahap dan pertobatan menuju ke arah kesempurnaan. 4.Mengambil keputusan untuk abstinensi secara dewasa dan kristiani. Penutup Kisah orang Samaria yang baik hati dalam Luk 10: 25-37 kiranya dapat menjadi motivasi dan penggerak dasar bagi usaha-usaha untuk memerangi HIV&AIDS dan mengasihi korban. Yesus bertanya, Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? Jawab orang itu, Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya. Kata Yesus kepadanya, Pergilah dan perbuatlah demikian. (ay. 36-37). Moment ini adalah moment untuk bekerja sama dengan kekhasan dan tanggung jawab moral bersama untuk memerangi HIV&AIDS dan menjadikannya kesempatan untuk membangun moralitas hidup.

Alfonso Cardinal Lopez Trujillo, Family Values Versus Safe Sex, 1 Desember 2003, no.3. Cf. Yohannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Pastor Bonum, no. 141. ii S.G. Arnold, J.E. Whitman, C.H. Fox dan M.H. Cottler-Fox, Latex Gloves not Enough to Excuse Viruses, in Nature 335 (1988) 6185: 19. B.A. Hermann, S.M. Retta and L.E. Rinaldi dalam A Simulated Physiologic Test of Latex Condoms, Konferensi Internasional AIDS ke-5, Montreal 1989 (Abstracts WAP 101). Lih. B.A. Rozenzweig, A; L.E. Budnick, Observations of Contraception 53 (1996) 1: 49-53. Penelitian ini dikutip oleh Jacques Suaudeau, Sesso sicuro, dalam Pontifical Council for the Family (Ed.), Lexicon. Termini ambigui e discussi su famiglia, vita e questioni etiche, Edizioni Dehoniane Bologna, 2003, hlm. 797-798. iii Lih. B.A. Rozenzweig, A. Even dan L.E. Budnick, Observations of Scanning Electron Microscopy Detected Abnormalities of Non Lubriceted Latex Condoms, dalam Contraception, 53 (1996): 49-53. iv Williard Cates, How Much Do Condoms Protect Against Sexually Transmitted Diseases? Dalam IPPF Medical Bulletin, 31 (Feb 1997) 1:2-3. v Dapat dilihat dalam brosur yang dibuat. vi Rene Josef Bullecer, Telling the Truth: AIDS Rates for Thailand and the Philipines. Executive Director, HLI Visayas Mindanao. Lih. UNAIDS & WHO AIDS Epidemic Update 2004 hlm. 3. vii McDonagh Enda, Theology in a time of AIDS Irish Theological Quarterly Vol. 60 No. 2, 1994. Kelly Kevin, New Directions in Sexual Ethics. Moral Theology & the Challenges of AIDS Cassell, 1999. Keenan James F. (Ed.) Catholic Ethicist on HIV& AIDS Prevention Continuum Publication, 2000. Bate Stuart C (ed), Responsibility in a time of AIDS. A Pastoral Response by Catholic Theologians and AIDS Activist in Southern Africa Cluster Publications, 2003. viii PANOS, Missing the Message 20 years of learning from HIV&AIDS, 2003. CAFOD, HIV Prevention, Condom and Catholic Ethics, CAFODs policy statement and When Dogma Costs Lives Tablet, 26th June 2004. ix UNAIDS, A Communications Framework for HIV&AIDS: A New Direction, Penn State, 1999. Sumber: Dikutip dari buku Kondom dan pencegahan HIV&AIDS: pandangan agama-agama. Interna Pustaka hlm. 60-74, 120. Footnote 12-20 dari buku menjadi i-ix dalam kutipan ini. Izin dari dr. Alphinus R. Kamboji, Ketua Interna, per sms 18 April 2012, Bisa dikutip asal menyebutkan sumbernya kepada Ella Sutiyono, Perdhaki Pusat.

Anda mungkin juga menyukai