Anda di halaman 1dari 14

3.3.

Katalis Katalis adalah zat yang ditambahkan pada reaksi kimia dengan tujuan untuk mempercepat reaksi tersebut. Katalis dapat mempercepat reaksi kekanan atau kekiri sehingga keadaan setimbang lebih cepat tercapai, katalis ini disebut dengan katalis positif. Penambahan katalis juga dapat menghambat reaksi, katalis tersebut disebut katalis negative atau anti katalis atau inhibitor. Penambahan katalis akan mempengaruhi laju reaksi. Pada teori tumbukan dan distribusi energi molecular Maxwell Boltzman pada gas, tumbukan-tumbukan menghasilkan reaksi jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang cukup untuk memulai suatu reaksi. Energi minimum yang diperlukan disebut dengan reaksi aktifitas reaksi. Katalis dapat dibagi berdasarkan dua tipe dasar, heterogen dan homogen. Reaksi heterogen, katalis berada dalam fase yang berbeda dengan reaktan. Reaksi homogen, katalis berada dalam fase yang sama dengan reaktan. Proses katalitik menggunakan katalis heterogen dalam industri pertama kali pada tahun 1857, menggunakan Pt untuk mengoksidasi SO2 menjadi SO3 dalam larutan asam. Tabel 3.1. Beberapa contoh katalis heterogen dalam dunia industri Reaksi
C4H10 Butena dan C4H6 (butadiena) CH4 atau hidrokarbon lain + H2O CO + H2 C2H2 + 2H2 C2H6 Cr2O3 - Al2O3 Ni support Pd dalam Al2O3 atau padatan pendukung NiSulfida. Hidrocraking CO + 2H2 CH3OH Logam (seperti Pd) pada zeolit Promotor ZnO dengan Cr2O3 atau promoter Cu1 ZnO dengan Cr2O3 atau Al2O3.

Katalis

Mekanisme yang tepat dari katalis heterogen belum dimengerti secara sempurna. Walaupun demikian tersedianya electron d dan orbital d pada atom-atom permukaan katalis memegang peranan penting. Oleh karena itu aktifitas katalisis heterogen banyak dilakukan pada sejumlah besar unsur peralihan (transisi) dan senyawa senyawanya. Aktifitas katalis banyak dilakukan oleh sejumlah besar unsure peralihan (transisi) dan senyawa senyawanya. Aktifitas katalisis banyak dilakukan oleh sejumlah besar unsure peralihan (transisi) dan senyawanya. Tersedianya electron dan orbital d pada atom-atom permukaan katalis memegang peranan penting. Persyaratan kunci dalam katalisis heterogen ialah bahwa pereaksi fase gas atau larutan diadsorpsi kepermukaan katalis (Fessenden,1986). Mekanisme dari katalis padat dengan reaktan fasa gas, dimana terjadi pembentukan kompleks reaktan dengan katalis setelah pembentukan produk adalah sebagai berikut : 1. Reaktan terbawa oleh aliran gas pembawa sampai kepermukaan luar partikel katalis. 2. Difusi reaktan dari permukaan luar masuk melalui pori dalam partikel katalis. 3. Reaktan diadsorpsi pada sisi aktif katalis sehingga menimbulkan energi adsorpsi 4. Reaksi pembentukan produk antara permukaan sampai terjadinya produk. 5. Produk didesorpsi dari katalis keluar melalui pori bagian partikel katalis. 6. Difusi produk menuju permukaan luar partikel katalis. 7. Produk mengikuti aliran gas pembawa. Persyaratan kunci dalam katalisis heterogen ialah bahwa pereaksi fase gas atau larutan diadsorpsi kepermukaan katalis. Tidak semua atom atom permukaan sama efektifnya sebagai katalis, bagian yang efektif tersebut disebut sisi aktif katalis. Pada

dasarnya, katalis heterogen mencakup (1) adsorpsi pereaksi, (2) difusi pereaksi sepanjang permukaan, (3) reaksi pada sisi aktif membentuk hasil reaksi yang diadsorpsi, dan (4) lepasnya (desorpsi) hasil reaksi.

3.4. Zeolit dan Katalis Logam Zolit dapat ditingkatkan kinerjanya dengan cara menempelkan logam katalis pada zeolit. Logam yang diembankan pada zeolit akan dapat meningkatkan aktivitas katalis secara keseluruhan karena logam-zeolit akan memiliki fungsi ganda yaitu disamping logam sebagai katalis zeolitnya sendiri bersifat katalis, katalis semacam ini biasanya disebut sebagai katalis bifungsional. Logam yang biasa digunakan untuk katalis biasanya logam-logam transisi. Logam-logam transisi mempunyai daya adsorpsi yang kuat karena mempunyai pasangan elektron menyendiri pada orbital d. adanya elektron pada orbital d didukung dengan keadaan elektron orbital s akan menjadi konsentrasi yang lebih besar pada keaktifan yang tinggi dalam pemutusan dan pembentukan ikatan kimia. Hal ini yang menyebabkan logam-logam transisi makin reaktif sebagai katalis (Hegedus, at al, 1999). Logam transisi Ni dan Mo tersulfidasi memilki prospek untuk digunakan sebagai katalis hidrodesulfurisasi, hidrodenitrogenasi dan perngkahan. Ni sebagai promotor dan Mo sulfida sebagai kokatalis yang diemban pada -Alumina dapat mengaktalis proses hidrogenasi minyak bumi dan minyak batubara di industri (Li 1999a).

3.5.

Isoterm Adsorpsi

Istilah adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Adsorpsi adalah peristiwa menempelnya atom/molekul suatu zat pada permukaan zat lain karena tidak ada kesetimbangan gaya dalam permukaan sedangkan absorpsi adalah masuknya zat yang diserap kedalam adsorben. Zat yang diadsorpsi adalah adsorbat sedangkan zat yang mengadsorpsi adalah adsorben (Ismail, 1999). Secara umum proses adsorpsi dapat diartikan sebagai proses penyerapan suatu zat oleh zat lain yang prosesnya hanya terjadi pada permukaan zat tersebut, sehingga dalam hal ini luas permukaan mempunyai peranan penting. Isoterm adsorpsi menyatakan hubungan antara tekanan parsial adsorbat dengan jumlah zat yang teradsorpsi pada temperatur tetap dalam keadaan setimbang. Dengan kata lain, adsorpsi isoterm menunjukkan ketergantungan jumlah zat yang teradsorpsi terhadap tekanan setimbang dari gas pada temperatur tetap. Nilai ini bervariasi dari 0 pada P/Po = 0 ke tak terhingga P/Po = 1. Sudut kontak dari uap yang terkondensasi = 0, ini berarti permukaan terbasahi secara sempurna. Apabila garis isoterm mendekati garis vertikal melalui P/Po, menunjukkan sudut kontak dari uap = 0, yang berarti bahwa permukaan terbasahi secara sempurna (Lowell, S & Shields, J.E., 1984). Ukuran dan bentuk pori dalam suatu padatan bervariasi. Pengkalsifikasian pori awalnya dilakukan oleh Dubinin yaitu berdasarkan lebar rata-rata kemudian disempurnakan oleh Internasional Union of Pure and Applied Chemistry menjadi seperti berikut ini : (Gregg, S.J. ; 1981) Fenomena isoterm adsorpsi merupakan fenomena yang menarik. Beberapa ilmuwan yang mempelajari dan mengajukan beberapa teori mereka tentang isotrem adsorpsi :

1. Isoterm Freundlich Isoterm Freudlich merupakan salah satu persamaan yang menghubungkan jumlah materi yang terserap dengan konsentrasi material dalam larutan : m = K C1/n dengan : m C K dan n = massa terserap/unit massa adsorbent = konsentrasi = konstanta

Bila wujudnya gas, persamaannya menjadi : V = k P1/n dengan : V P K dan n = volume = tekanan = konstanta

Isoterm Freundlich tidak dapat digunakan jika konsentrasi atau tekanan adsorbat sangat besar.

2. Isoterm Langmuir Proses adsorbsi dapat dijelaskan melalui proses kimia. Jika adsorbatnya gas, kesetimbangannya : A(g) + S dengan : A = gas adsorbat AS

= sisi terbuka di permukaan

AS = molekul terserap dari A atau sisi tertutup di permukaan Konstanta kesetimbangannya :


K = x AS xs P

dengan : xAS xs P = fraksi mol tertutup di permukaan = fraksi mol sisi terbuka di permukaan = tekanan gas

Namun xAS lebih umum digunakan , sehingga xs = (1-) dan persaman sebelumnya menjadi :
Kp = 1

Persamaan ini terkenal disebut isoterm Langmuir dengan K = konstanta kesetimbangan untuk adsorpsi. Untuk mencari harga :
=
Kp 1 + Kp

Jumlah substansi terserap, m akan sebanding dengan untuk adsorbent tetentu sehingga m = b. Bila dikonversikan ke persamaan sebelumnya menjadi :
1 1 1 = + m b bKp

Dengan memplotkan 1/m dengan 1/p harga k dan b bisa ditentukan dari nilai slope dan interseptnya.

3. Isoterm Brunauer, Emmet dan Teller (BET) Brunauer, Emmet dan Teller pada tahun 1938 memperluas teori kinetik Langmuir untuk adsorpsi multilayer. Metode BET untuk menghitung luas permukaan adalah sebagai berikut :
1 1 C 1 P = + W (( Po / P ) 1 WmC WmC Po

..............

(1)

W Wm

= Berat gas total yang terserap pada tekanan relatif P/Po (g gas/g adsorben) = Berat gas nitrogen yang membentuk lapisan monolayer pada permukaan zat padat (g gas/g adsorben)

P Po P/Po C

= Tekanan adsorbat dalam keadaan setimbang = Tekanan uap jenuh adsorbat pada keadaan setimbang = Tekanan relatif = Tetapan BET
s +1 i

Untuk mencari C pada persamaan BET yang tetap yaitu : C =

Persamaan BET (1) berupa garis lurus apabila dibuat grafik 1/W{(P/Po)-1} versus P/P dan berat gas nitrogen yang membentuk lapisan satu lapis (monolayer), Wm dapat ditentukan dari nilai slope (s) dan intersep (i) ini : Slope
= C 1 WmC 1 WmC

......................................................

(2)

Intersep = Jadi berat

...................................................... yang membentuk monolayer

(3) didapatkan dari

nitrogen

menggabungkan persamaan (2) dan (3) sehingga didapatkan persamaan :

Wm =

1 (s + i)

......................................................

(4)

Aplikasi metode BET ini dapat digunakan untuk menghitung luas permukaan. Untuk itu perlu diketahui luas rata-rata molekul gas teradsorp. Luas permukaan, S, dari cuplikan diperoleh dari persamaan : Ss = dengan : N M = Bilangan Avogadro (6,02 x 1023 partikel/mol) = Berat molekul dari gas teradsorp (g/mol) Wm N x10 20 m 2 M .............................................(5)

Wm = Berat gas teradsorpsi monolayer = Luas rata-rata molekul teradsorp Total volume pori dihitung pengukuran adsorpsi pada P/Po cukup tinggi sehingga diasumsikan semua pori terisi dengan adsorbat sebagai fasa terkondensasi. V p = W a / l Lowell, S & Shields, J.E (1984) juga menjelaskan mengenai penentuan rata-rata ukuran pori dapat diperkirakan dari volume pori dengan mengasumsikan geometri pori adalah silindris sehingga jari-jari pori rata-rata dapat dihitung dari rasio total volume pori dan luas permukaan BET, sesuai dengan persamaan berikut : rp = 2 V p / S s dengan : rp = Jari-jari pori rata-rata Vp = Volume pori total Ss = Luas permukaan spesifik

Jenis-jenis Isoterm Adsorpsi Berdasarkan interaksi yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat maka adsorpsi dibedakan menjadi : 1. Adsorpsi Fisika Adsorpsi fisika terjadi jika inetraksi antara adsorbat dan permukaan adsorben hanya disebabkan oleh gaya van der waals, karena itu adsorpsi fisika disebut juga adsorpsi van der waals. Adsorpsi fisika berlangsung cepat, reversibel, dan molekul teradsorp tidak terikat kuat pada permukaan adsorben sehingga panas adsorpsinya kecil (hanya beberapa kilojoule). Isoterm adsorpsi fisika dikelompokkan menjadi lima berdasarkan klasifikasi Brunauer, Deming, Deming dan Teller (BDDT). Grafik adsorpsi isoterm tipe I biasa disebut tipe Langmuir. Isoterm ini jarang ditemukan untuk material nonpori, umumnya pada karbon teraktivasi, silica gel dan zeolit yang mempunyai pori sangat halus. Nilai asimtot ini menunjukkan mikropori yang terisi seluruhnya. Tipe isoterm ini diperkirakan untuk kemisorpsi reversible. Grafik isoterm tipe II kadang disebut isoterm berbentuk S atau sigmoid. Umumnya ditemui pada material nonpori atau pada material yang diameter porinya lebih besar dari mikropori. Perubahan titik atau lengkungan dari isoterm selalu terjadi dekat dengan titik akhir dari lapisan tunggal adsorbat yang pertama, dengan kenaikan tekanan relatif (P/Po), kemudian lapisan kedua sampai lapisan tertinggi dan berakhir sampai tingkat kejenuhan ketika jumlah lapisan adsorbat menjadi tidak terbatas. Titik B menunjukkan bahwa molayer sudah sempurna terbentuk.

Gambar 3. Tipe Isoterm Adsorpsi Fisika

Grafik isoterm tipe III berbentuk konveks. Sistem ini relatif jarang dan merupakan tipe dimana gaya adsorpsinya relatif rendah. Pada dasarnya dikarakteristik oleh panas adsorpsi yang lebih kecil dari panas pencairan adsorbat. Oleh karena itu, selama adsorpsi berlangsung, adsorpsi tambahan lebih mudah terjadi karena interaksi adsorbat dengan lapisan yang menyerap lebih besar daripada interaksi dengan permukaan adsorben. Isoterm tipe IV terjadi pada adsorben yang memiliki jari-jari pori sebesar 15 1000 . Saat nilai P/Po kecil, tipe isotermnya mirip tipe II namun peningkatan adsorpsi menyolok sekali pada nilai P/Po yang lebih besar yakni saat kondensasi pori (kapilaritas) terjadi.

10

Isoterm tipe V sama dengan tipe III namun kondensasi pori terjadi pada nilai P/Po yang lebih tinggi. Tipe ini relatif jarang ditemui. Ukuran pori untuk isoterm ini sama range pori tipe IV.

2.

Adsorpsi Kimia Jika molekul teradsorpsi bereaksi secara kimia dengan permukaan, fenomena ini

disebut kemisorpsi. Karena ikatan kimia diputuskan dan dibentuk dalam proses kemisorpsi maka panas adsorpsi mempunyai range nilai yang sama dengan reaksi kimia (mencapai 400 KJ). (Castelan, 1982) Menurut Cheremisinorff (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain : 1. sifat fisika dan kimia adsorben yaitu luas permukaan, ukuran pori dan komposisi kimia 2. sifat fisika dan kimia adsorbat yaitu ukuran molekul, polaritas molekul dan komposisi kimia 3. sifat fase cairan yaitu pH dan suhu 4. konsentrasi dari fasa terserap untuk fasa cair 5. waktu kontak antara fasa terserap dengan adsorben Ada beberapa aspek kemisorpsi yang menarik khususnya dalam katalis yaitu: 1. kecepatan adsorpsi kemisorpsi reaktan atau desorpsi produk terindikasi lambat dan oleh sebab itu merupakan tahap penentu laju dalam katalitik.

11

2. panas kemisorpsi merupakan ukuran kekuatan ikatan yang terbentuk antara adsorben dan adsorbat. Berbagai variasi panas adsorpsi dengan lapiasan permukaan menunjukkan adanya keheterogenan permukaan. Sifat alami spesies terkemisorp yang tampak, misalnya melalui absorpsi infra merah membuktikan adanya intermediet kimia dalam suatu reaksi.

3.6.

Mekanisme Langmuir-Hinshelwood Asumsi utama pada mekanisme Langmuir-Hinshelwood (Gasser, 1985) adalah: 1. Reaksi permukaan adalah tahap penentuan laju. 2. Isoterm Langmuir dapat dipakai untuk mendeskripsikan keseimbangan antara fase gas dan reaktan teradsorpsi. 3. Reaktan teradsorpsi bersaing pada sisi permukaan. 4. Pada reaksi bimolekular, reaksinya terjadi pada 2 spesies teradsorpsi. Pada umumnya, reaksi permukaan tidak berbeda dengan reaksi fasa gas atau larutan. Perbedaan utamanya adalah energi bebas pada keadaan intermediet lebih rendah pada reaksi permukaan daripada dalam keadaan gas. Sehingga ini mengakibatkan laju reaksi pada reaksi permukaan lebih tinggi daripada fasa gas atau larutan. Ada tiga tipe umum reaksi permukaan; yaitu reaksi permukaan yang mengikuti mekanisme Langmuir-Hinshelwood, reaksi permukaan yang mengikuti mekanisme Rideal-Eley dan reaksi permukaan yang mengikuti mekanisme

12

precursor. Gambar 4 menunjukkan skema ketiga mekanisme untuk reaksi hipotetis A+B

A-B.
B A B B A B A A B B A B A B A B A Rideal - Eley A A B A B B A B A B A Precursor A B A B A B A

Langmuir - Hinshelwood

Gambar 4. Skema mekanisme (a) Langmuir-Hinshelwood, (b) Rideal-Eley dan (c) Precursor untuk reaksi A + B A-B Pada mekanisme Langmuir-Hinshelwood, mula-mula A dan B teradsorpsi pada permukaan katalis. Kemudian A dan B teradsorpsi bereaksi untuk membentuk kompleks A-B teradsorpsi. Akhirnya kompleks A-B terdesorpsi. Keadaan ini disebut mekanisme Rideal-Eley pada kimisorpsi reaktan A. Selanjutnya A bereaksi dengan masuknya molekul B untuk menghasilkan kompleks A-B. Kemudian kompleks A-B terdesorpsi. Dalam mekanisme precursor A teradsorpsi. Selanjutnya B bertabrakan dengan permukaan dan memasuki keadaan precursor yang bergerak. Precursor memantul/mengambul pada permukaan sampai masuknya molekul adsorben A. Sehingga precursor bereaksi dengan A dan menghasilkan kompleks AB, sampai mengalami desorpsi (Masel, 1996). Gambar 5 menunjukkan masing-masing reaksi dapat mengalami reaksi sebaliknya yaitu A-B

A + B. Untuk reaksi Langmuir-Hinshelwood molekul A-

B teradsorp, kemudian terdekomposisi menjadi A dan B teradsorp, dan membentuk A dan B terdesorpsi. Sebaliknya jika molekul A-B terdesorp terdekomposisi menghasilkan sebuah molekul teradsorp dan spesi B fase gas, salah satu reaksi

13

sebaliknya mengikuti Rideal-Eley. Jika produk sebuah precursor, maka salah satu reaksi harus mengikuti mekanisme Precursor.
B A B B A B A A B B A B A B A B A Rideal - Eley A A B A B B A B A B A Precursor A B A B A B A

Langmuir - Hinshelwood

Gambar 5. Skema mekanisme (a) Langmuir Hinshelwood; (b) Rideal Eley; (c) Precursor untuk reaksi A B A + B

14

Anda mungkin juga menyukai