Anda di halaman 1dari 11

PERAN PEMILIK TANAH DALAM PASAR TANAH ADAT

Oleh: Djurdjani djurdjani@hotmail.com Jurusan Teknik Geodesi FT-UGM

INTISARI
Tidak akan terjadi proses pembangunan tanah sampai berada di tangan pemilik yang berkeinginan untuk melakukannya. Salah satu langkah proses pembangunan tanah adalah membawa tanah tersebut di pasar tanah. Tanah adat memiliki karaketeristik khusus seperti adanya ikatan aturan yang menaunginya, sejarah kepemilikan serta ikatan emosi antara tanah dan pemilik tanah. Tulisan ini mencoba menggali seberapa jauh peran pemilik tanah adat dalam membawa bidang tanah ke pasar tanah. Sebagai studi kasus adalah tanah adat di Kampong Baru, Kuala Lumpur. Jumlah sampel diambil adalah 43 pemilik tanah yang belum terbangun. Metode sampling yang digunakan adalah purposiv sampling. Analisis yang digunakan adalah kualitatif diskriptif. Hasil yang diperoleh adalah keinginan pemilik tanah tetap menjaga sebagai tanah adat menyebabkan mereka lebih cenderung mewariskan tanah daripada menjual tanah ke orang lain. Kata kunci: pasar tanah, tanah adat, pembangunan tanah, pemilik tanah

1. Pendahuluan Pembangunan tanah merupakan salah satu upaya untuk merubah penggunaan tanah dengan menanamkan investasi dalam bentuk tenaga atau modal di atas tanah sehingga akan meningkatkan produktifitas dari tanah tersebut (Mc Namara dalam Adams dkk., 1994). Pembangunan ini akan terlaksana bila tanah berada di tangan pemilik tanah yang menginginkan perubahan tersebut (Cadman dan Topping, 1995). Pada kondisi tertentu jika pemilik tanah yang memiliki hak penuh atas tanah tidak mampu secara produktif mengelola tanah, memindahkan sebagian atau seluruh haknya ke orang lain akan memberi manfaat kepada seluruh partai yang terlibat dan juga meningkatkan efisiensi penggunaan tanah (Greif, 2003). Dengan kata lain memindahkan sebagian (menyewakan) atau seluruh hak atas tanah (menjual) merupakan salah satu bagian dari proses pembangunan tanah. Pada awalnya pemahaman pasar tanah hanya didasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Namun demikian pendekatan ini tidak cukup karena belum memasukkan faktor sosial, hukum dan perilaku aktor sebagai faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan pasar. Tulisan ini akan menganalisis kasus terhambatnya suplai tanah di daerah

Kampong Baru yang terletak di jantung kota Kuala Lumpur, yang merupakan tanah adat, khususnya peran pemilik tanah. 2. Pasar Tanah Pasar bisa didefinisikan sebagai hubungan jual-beli antara penjual dan pembeli suatu komoditi atau jasa (Grinols, 1994). Sedangkan pasar properti bisa didefinisikan sebagai suatu seting (dari pada tempat) dimana transaksi properti dipengaruhi oleh pembeli dan penjual dan yang mewakilinya pada suatu bentuk yang disetujui dibawah aturan yang berlaku. Ball dkk (1998) menjelaskan bahwa pasar tanah merupakan bagian dari pasar properti, dimana 3 pasar yang lain adalah pasar pengguna, pasar dana dan pasar pembangunan. Ketiga pasar yang terakhir akan mempengaruhi pasar tanah. Dengan kata lain permintaan akan tanah dipengaruhi permintaan pasar lain (Dowall, 1995). Pasar tanah dapat berbentuk formal ataupun informal (Harvey dan Jowsey, 2004). Pasar bentuk pertama dicirikan dengan lebih terbukanya proses penyebaran informasi seperti melalui internet, surat kabar dan sering dalam proses desiminasi informasi tersebut melalui orang tengah seperti agen pemasaran. Sedangkan yang kedua, informasi disebarkan ke sasaran yang lebih terbatas seperti keluarga, kenalan dan sebagai orang tengah seperti broker (Muchunga, 2001). a. Faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran Menurut organisasi Kerjasama dan Pembangunan ekonomi (OECD) ada beberapa faktor yang mmpengaruhi permintaan tanah dan properti di pasar seperti Pendapatan Kasar Nasional (GNP), bunga bank, kebijakan pajak, kebijakan perumahan dan kebijakan non ekonomi. Bunga bank akan mempengaruhi jumlah dana yang dibelanjakan untuk konsumsi ataupun diinvestasikan. Jika bunga bank naik, jumlah investasi yang ditanamkan di peoperti akan menurun dan sebaliknya. Sementara bila GNP naik berarti pengeluaran dari seluruh penduduk adalah naik pula (Harvey dan Jowsey, 2004). Kebijakan pajak akan mempengaruhi kemampuan individu rumah tangga untuk mengalokasikan kekayaan untuk belanja properti. Sedangkan kebijakan tentang perumahan biasanya terkait dengan bantuan finansial yang

ditujukan pada rumah tangga berpenghasilan rendah seperti dalam bentuk pinjaman atau pemberian subsidi dalam bentuk fasilitas infrastruktur (OECD, 1992). Dari sisi penawaran, ketersediaan tanah merupakan salah satu unsur utama, meskipun belum jaminan bisa diwujukannya penyediaan properti (OECD, 1992). Ketersediaan tanah dipengaruhi oleh kondisi pasar, kebijakan perencanaan, faktor fisik dan motivasi pemilik tanah (Cadman Dan Topping, 1995). Faktor lain yang ikut berperan adalah distribusi dari infrastruktur, perencanaan dan kebijakan zonasi (Serra dkk, 2004). b. Aktor dalam pasar tanah Aktor utama yang mempengaruhi pasar tanah adalah pemerintah, pemilik tanah dan swasta (OECD, 1992; Fisher, 2005). Pemerintah berperan sebagai lembaga yang melaksanakan pendistribusian sumber daya alam dan yang membentuk model transformasi sosial. Seandainya pasar tidak efisien ada 2 pendapat terkait peran pemerintah yaitu membiarkan pasar untuk mencapai keseimbangan melalui perataan untuk kebutuhan bersama. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa pemerintah perlu terlibat dalam mengefisienkan pasar (Buitelaar, 2002; Rodenburg dan Vreker, 2002). Terhadap kegagalan pasar ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketidak sempurnaan pasar. Yang pertama keterlibatan tidak langsung melalui pembuatan aturan yang mendorong terciptanya pasar. Sedangkan yang kedua adalah terlibat langsung dalam pasar misalnya dengan memberikan investasi atau sokongan finansial ke dalam pasar misal pembebasan tanah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan (Rivkin, 1983). Aktor yang kedua adalah pemilik tanah. Hanya di tangan pemilik tanah yang meginginkan dibangunnya tanah kegiatan pembangunan tanah dapat dilakukan(Cadman dan Topping, 1985). Hubungan antara pemilik dan tanah diatur dalam sistem hak kepemilikan properti. Dari konsep hak di atas suatu properti pada dasarnya ada 3 hak yaitu hak memiliki, menggunakan dan mengambil keuntungan serta hak untuk membagi/memindahkan kepemilikan. Suatu tanah bisa diatasnya diletakkan hak dari lebih dari satu orang (Goodchild dan Munton, 1985). Khusus untuk tanah adat biasanya ada hubungan khusus antara tanah dan pemilik tanah karena tanah bisa merupakan manifestasi pribadi, hubungan sosial dan spriritual yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan identitas diri (Sheehan, 2002). Pada

tanah adat tertentu sering pemilik tidak memiliki hak penuh terhadap tanah misal bangsa Indian di Canada yang hanya membolehkan kepemilikan hak atas tanah pada kelompoknya (Matthew, 2004). Menurut Adams (1994) ada dua macam karakteristik sikap pemilik tanah yaitu bersifat aktif dan bersifat pasiv. Yang ketiga ialah sektor swasta. Dalam hal ini pengembang merupakan aktor swasta yang berperan secara langsung di pasar tanah. Karena pengembang mempunyai pengaruh langsung pada pasar pembangunan yang nantinya berpengaruh pada pasar tanah. 3. Lokasi studi dan Metoda riset Kampong Baru merupakan pemukiman dengan luas sekitar 100 ha yang terletak di dekat pusat bisnis kota Kuala Lumpur. Menurut undang undang pertanahan tahun 1897 ditetapkan sebagai pemukiman yang dicadangkan untuk orang Melayu (MAS). Hanya orang Melayu yang boleh memiliki hak di atas tanah Kampong Baru. Untuk mengetahui karakteristik jual beli tanah adat di lokasi studi, maka data sekunder jual beli tanah adat di Kampong Baru tahun 1996-2006 diperoleh dari Jawatan Penilaian dan Penghidmatan Properti Kuala Lumpur (JPPH). Data ini selanjutnya dipisahkan berdasar tipe transaksi dan juga adanya keterkaitan antara penjual dan pembeli. Sedangkan untuk mengetahui karakteristik dan peran pemilik tanah dilakuan dengan cara membagi quesionair kepada 43 pemilik tanah yang tidak terbangun. Pemilihan sampel dilakukan secara purposiv sampling. Untuk selanjutnya dilakukan pengelompokan berdasar keinginan untuk menjual tanah serta alasan yang menyertainya. Analisis dilakukan secara deskriptiv. 4. Hasil dan Pembahasan Sebagaimana yang dijelaskan di butir 2, bahwa analisis pasar tanah tidak bisa dilepaskan dari pasar yang lain. Untuk itu pasar tanah untuk properti lain di Kuala Lumpur akan didiskusikan telebih dahulu. 1. Kecenderungan transaksi properti di Kuala Lumpur (1996-2005) Pasar properti di Kuala Lumpur untuk 5 sektor utama ditunjukkan oleh Gambar 1

14000 N um ber of transactions 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Year Residential Commercial Industrial Agricultural Development Land Others 277 0 329 0 1996 7856 1138 200 1997 8467 1113 182 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

6304 7,592 8,506 9,963 10,480 11,09712,66213,292 644 119 0 216 0 1,029 1,011 1,266 1,236 1,633 2,309 2,438 219 0 107 0 182 0 181 1 400 0 253 5 259 0 251 2 326 0 301 0 381 0 420 0 367 0 362 0

Gambar 1 Jumlah transaksi untuk sektor penting (Sumber: Property Market Report, 1996-2005) Gambar 1 menunjukkan bahwa diantara sektor penting, sektor perumahan masih merupakan sektor yang paling dominan. Ini ditunjukkan oleh jumlah transaksi yang mencapai sekitar 86 %. Selanjutnya diikuti oleh sektor komersial yang mencakup 11 persen dari total volume transaksi, selanjutnya diikuti oleh sektor industri yang memperoleh sekitar 2.2 persen dan yang terakhir adalah tanah siap kembang meliputi 1.9 persen. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pasar properti di Kuala Lumpur cukup hidup dan berkembang bahkan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan pasar akan ruang cukup berarti di wilayah Kuala Lumpur 2. Transaksi tanah adat MAS Kampong Baru (1996-2006) Ada 2 tipe transaksi berdasar keterbukaan informasi di Kampong Baru yaitu transaksi di pasar secara terbuka dan yang kedua berdasar transaksi internal. Tipe yang pertama ditunjukkan adanya uang nyata dalam kejadian transaksi, sedangkan yang kedua dicirikan salah satunya adalah adanya hubungan darah antara penjual dan pembeli dan tidak adanya uang nyata dalam transaksi (Faridah, 2006). Hasil transaksi ditunjukkan oleh Gambar 2 berikut:

30 25 Transactions 20 15 10 5 Year 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 1 0 2 1 1 2 0 2 2 0 2 12 5 7 4 3 1 12 5 7 21 7 14 26 13 13 15 3 12 8 4 4

Total number of transactions Transaction in Market Bequeth/internal trans

Gambar 2 Kecenderungan transaksi tanah di Kampong Baru (1996-2006) (Sumber: JPPH, 2006) Gambar 2 menunjukkan bahwa transaksi internal mendominasi transaksi di Kampong Baru yang ditunjukkan jumlah transaksi lebih dari 60 %. Fakta ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gullick (1969) dan Evers dan Korff (2000) bahwa orang Melayu lebih suka menjaga tanahnya lewat pewarisan kepada keturunannya atau membagi tanahnya menjadi banyak pemilik. Dibanding dengan tanah adat lain yang berlokasi di Kuala Lumpur tanah di Kampong Baru relative lebih mahal dengan di tempat lain seperti di Sungai Pencala. Di tahun 2001 harga tanah permeter persegi di Kampong Baru sekitar RM 430, sementara di Sungai Pencala harga permeternya adalah RM 150. Ini disebabkan lokasi Kampong baru lebih dekat dengan pusat bisnis di Kuala Lumpur daripada tanah adat yang lain. Meski harga pasar tanah di Kampong Baru relative lebih tinggi dari tanah adat di tempat lain, namun karena adanya kendala kepemilikan tanah menyebabkan harganya masih lebih rendah dari tanah di sekitarnya. Sebagai contoh tanah untuk perumahan yang terletak di Jalan Kemuning (100 meter dari Kampong Baru) setiap meter berharga antara RM 2070-RM2260 sementara di Kampong Baru berharga RM 537 RM 949 permeternya. Aktor yang terlibat dalam transaksi secara umum dapat dibedakan menjadi individu dan perusahaan. Karena itu proses jual beli bisa terjadi antara individu ke

individu, individu ke perusahaan, perusahaan ke individu dan perusahaan ke perusahaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 3.
16 14 12 # Transaction 10 8 6 4 2 Year - Individu-individu - Individu - Company - Company - individu - Company- company 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 0 1 0 0 0 2 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 8 1 2 1 2 1 0 1 5 7 0 0 15 5 1 0 15 6 0 5 12 0 1 2 5 0 1 2

Gambar 3 Tipe transaksi berdasar aktor yang terlibat (1996-2006) (Sumber : JPPH, 2006) Gambar 3 menunjukkan bahwa individu ke individu mendominasi proses transaksi yaitu mencapai 62 persen. Jumlah ini diikuti oleh transaksi perusahaan ke perusahaan 16 %, perusahaan ke individu 5 %. Fenomena ini dari kacamata pembangunan tanah kurang menarik karena individu biasanya memiliki problem keuangan. Distribusi aktor yang terlibat dalam transaksi disajikan dalam Tabel 1: Tabel 1: Aktor yang terlibat dalam Transaksi Tanah Jumlah transaksi (prosentase) Aktor yang terlibat Individu - individu Individu - Perusahaan Perusahaan - Individu Perusahaan - Perusahaan Pasar 37 37 5 21 Internal 77 13 6 4

(Sumber : JPPH, 2006)

Tabel 1 menunjukkan bahwa individu mendominasi transaksi internal jika tujuan pemindahan hak atas tanah adalah dalam rangka mewariskan ke anak atau keluarga. Sementara transaksi di pasar sekitar 63 % didominasi oleh perusahaan. 3. Sikap pemilik tanah dari sudut hak atas tanah Berdasar hasil quisionair tentang keinginan untuk mempertahankan hak atas tanah bisa dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu keinginan tetap mempertahankan semua hak atas tanah, mempertahankan sebagian hak atas tanah dan berkeinginan untuk melepas seluruh hak atas tanah. Kelompok pertama dicirikan oleh keinginan untuk mempertahankan hak dan tak ingin menyewakan tanahnya, kelompok kedua dicirikan keinginan untuk mempertahankan hak tapi berkeinginan pula untuk menyewakan tanah sedangkan kelompok ketiga dicirikan oleh keinginan untuk menjual tanah. Ini sesuai definisi yang dikemukakan oleh Buitelaar (2003b) bahwa pemindahan sebagian hak atas tanah hanya mengubah kandungan hak yang dimiliki, sedangkan memindah semua hak atas tanah akan merubah kepemilikan tanah. Hasil quisionair dapat dilihat di Tabel 2. Konflik antara pemilik tanah merupakan salah satu alasan yang dikemukakan oleh pemilik tanah no 31 yang ingin menjual tanah. Ini karena kepemilikan ganda sering memicu mereka khususnya terkait penerapan hak penggunaan. Problem keuangan menyebabkan pemilik tanah nomor 14,31,35,40 dan 41 yang awalnya ingin tetap menjaga hak-hak nya dan membangun tanah namun berubah dengan keinginan untuk menjual. Tabel 2. Sikap dan alasan mempertahankan/melepas hak atas tanah No 1 2 3 Sikap Melepas semua hak Menjaga sebagian hak Menjaga semua hak Prosentase 23 33 44 Alasan Menghindari konflik, masalah keuangan, tetap tinggal di luar Kamp. Baru Tinggal di KB, memperoleh penghasilan dari tanah, menjaga Tanah untuk Melayu, lokasi bagus Tanah warisan, Menjaga tanah untuk orang Melayu, lokasi bagus, mudah melakukan bisnis, tetap tinggal di KB

Berbagai alasan dijelaskan oleh pemilik tanah yang ingin mempertahankan hak atas tanahnya seperti karena tanah warisan, menjaga tanah Melayu, lokasi yang bagus, mudah melakukan bisnis dan tetap tinggal di Kampong Baru. Tanah warisan merupakan alasan sebagian besar yang dinyatakan pemilik tanah. Bagi mereka tanah yang diwariskan oleh orang tua dianggap sebagai mandat yang harus dijaga sebaik baiknya. Bahkan pemilik tanah no 5,8,18,20,28 dan 35 dengan tegas menyatakan apapun kondisinya termasuk pembebasan tanah mereka akan tetap berusaha menjaga hak haknya. Ini sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Mooya dan Cloete (2005) yang menemukan dalam risetnya tentang pasar tanah di pinggiran kota dimana pemilik tanah lebih suka melepas tanahnya ke saudaranya daripada menjual lewat pasar. Ini merupakan perwujudan konsep bahwa kepememilikan tanah merupakan salah satu bentuk keamananan dan kekayaan daripada sebagai benda yang dapat diperjualbelikan. Grup ke tiga adalah pemilik tanah yang ingin menjaga haknya tapi mereka tidak keberatan jika sebagian haknya dilepas ke orang lain selama periode tertentu misalnya melalui penyewaan. Pemilik tanah tetap memiliki hak untuk melepas/membagi kepemilikan tapi melepaskan hak untuk menggunakan/mengambil keuntungan pada orang lain untuk waktu tertentu. Mendasarkan pada kriteria yang digunakan oleh Adams dkk (1994), kelompok pertama dapat dikategorikan sebagai pemilik tanah yang aktif dalam pasar tanah karena berkeinginan untuk menjual, kelompok kedua diklasifikasikan sebagai mempunyai potensi sebagi pemilik tanah aktif sedangkan yang terakhir dikelompokkan sebagai pemilik tanah pasif. 5. Kesimpulan Paper ini telah mendiskusikan bagaimana peran pemilik tanah terhadap pasar tanah adat. Berdasar quesionair terhadap pemilik tanah dapat diklasifikasikan ada sekelompok pemilik tanah yang bersifat aktiv, berpotensi untuk aktiv dan pemilik tanah yang bersikap pasiv. Kampong Baru sebagai tanah adat pada dasarnya memiliki potensi untuk dibangun karena terletak dekat jantung kota. Namun penetapan sebagai tanah untuk orang Melayu telah membentuk hubungan khusus antara pemilik tanah dan tanah. Pemilik tanah merasa bahwa hak atas tanah tersebut perlu dipertahankan sehingga lebih

memilih untuk mewariskan ke anak cucu atau saudara daripada menjual ke orang lain. Akibatnya pasar tanah adat terkendala dan proses pembangunan tanah adat terhambat. DAFTAR PUSTAKA Adams, D. (1994). Urban Planning and the Development Process. London: UCL Press. Adams, D., Russell, L. and Russell, C.T. (1994). Land for Industrial Development. Cambridge :E&FN SPON. Ball, M., Lizieri C and Bryan D.M. (1998). The Economics of Commercial Property Markets. London: Routledge. Buitelaar, E. (2002). New institutional economics and planning; a different perspective on the market versus government debate in spatial planning. GaP working paper series. Nomor 11. Nijmegen: Nijmegen School of Management. Buitelaar, E. (2003b). User rights regimes analysed. Proceeding of AESOP-ACSP Congress. Leuven. Cadman, D. and Topping, R. (1995). Property Development. 4th edition. London: E&FN Spon. Dowall,D.E. (1995). The Land Market Assessment. The Word Bank Report. Evers, H-D. and Korff, R. (2000). Southeast Asian Urbanism, The Meaning and Power of Social Space. Singapore: Lit Verlag. Faridah. (2006). Interview schedule with valuer from Valuation and Property Service Department. December 22. Fisher, P. (2005). The property development process. Case studies from Grainger Town. Property Management. Vol. 23 No. 3. 159-175. Goodchild, R. and Munton R. (1985). Development and the Landowner. Sydney: George Allen&Unwin. Greif, A. (2003). The emergence of Institutions to Protect Property Rights. Claude Menard and Mary M. S. (Ed.) Handbook on New Institutional Economics. Kluwer Press. Grinols, E.L. (1994). Micro Economics. Toronto: Houghton Miffin Company. Gullick, J.M. (1969). Malaysia. London: London Ernest Benn Limited. Harvey, J. and Jowsey, E. (2004). Urban Land Economics. (6th ed.). New York:Palgrave Macmillan. Matthew, S. M. (2004). Why native lands are worth less than freehold. Tenth Annual Conference Pacific RIM Real Estate Society. 25 28 January 2004. Bangkok. Thailand. Mooya, M.M. and Cloete, C.E. (2005). Property Right, Land Markets and Poverty in Namibias Extra legal Settlements: An Institutional Approach. Third World Bank/IPEA Urban Research Symposium: Land Development, Urban Policy and Poverty Reduction. 4-6 April 2005. Brasilia Brazil. Pp.1-28. Muchunga, V.P.M. (2001). Land market in Maputo and Matola Cities: Problem and Solution for Urban Planning. SARPN. Mozambique.

OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). (1992). Urban Land Markets Policies For The 1990s, Paris: OECD. Property Market Report (1996-2005). Valuation and Property Services Department, Ministry of Finance Malaysia. Putrajaya: Ministry of Finance Malaysia. Rivkin, M.D. (1983). Intervention through Direct Participation. In Harold B.D.(Ed.) Urban Land Policy, Issue and Opportunities. New York: Oxford University Press. Roderburg, C. A. and Vreeker R. (2002). The land market with multifunctional land use: how to deal with infrastructure?. European Regional Science Association (ERSA). Dortmund. Serra, M.V., Dowall D.E., Motta D. and Donovan M. (2004). Urban Land Markets and Urban Land Development: An Examination of Three Brazilian Cities: Braslia, Curitiba and Recife. IURD Working Paper Series 2004-03. University of California. Berkeley Sheehan, J. (2002). Toward Compensation to the Compulsory Acquisition of the Native Title Rights and Interests-Lessons from Australia. FAO/URP/RICS Foundation Pacific Land Tenure Conflict Symposium. 10-12 April 2002. USP Suva. Fiji. Valuation and Property Services Department, Federal Territory of Kuala Lumpur (JPPH). (2006). Listed of Land Transaction in Kampong Bharu 1996-2006. VPSD Database. Kuala Lumpur: Valuation and Property Service Department.

Anda mungkin juga menyukai