Anda di halaman 1dari 23

BLOK CLINICAL DENTAL SCIENCE LAPORAN KASUS APLIKASI BITEWING RADIOGRAPHY PADA KASUS ACUTE IRREVERSIBLE PULPITIS

Disusun oleh: Kelompok 1 Maulina Trianai Rifan Hanggoro Margareta Ermanda Prabani Putri P. Annisa Fauziah Andreta Farah Dila Arif Romadhona G1G011001 G1G011002 G1G011015 G1G011016 G1G011023 G1G011024 G1G011036

Diajeng Rita Tovani G1G011027 Yulinda Riski C. Affan Wirutomo Eka Dhamma A. G1G011050 G1G011051 G1G011052

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN GIGI PURWOKERTO 2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN................................................................................ A. Latar Belakang...................................................................................... B. Rumusan Masalah................................................................................. C. Tujuan................................................................................................... D. Manfaat................................................................................................ BAB II ISI........................................................................................................ A. Landasan Teori...................................................................................... 1. Bitewing Radiography.................................................................... a. Gambaran Umum...................................................................

i 1 1 2 2 2 3 3 3 3

b. Pembagian Teknik................................................................... 3 c. Pelaksanaan Teknik................................................................ d. Keuntungan dan Kerugian...................................................... e. Indikasi................................................................................... 2. Acute Irreversible Pulpitis (AIP).................................................... a. Gambaran Umum AIP............................................................ b. Etiologi AIP............................................................................ c. Manifestasi Klinis AIP........................................................... d. Patofisiologi AIP................................................................... e. Pemeriksaan Penunjang dan Terapi AIP................................ B. Pembahasan.......................................................................................... 1. Pemaparan Jurnal Kasus................................................................ 2. Interpretasi Gambar pada Film Bitewing dalam Kasus................. 3. Indikasi Penggunaan Bitewing Radiography pada Kasus.............. 4. Alasan Penggunaan Bitewing Radiography pada Kasus................ BAB III PENUTUP......................................................................................... A. Kesimpulan.......................................................................................... B. Saran..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 7 10 10 11 11 12 13 13 14 15 15 17 18 18 19 19 20 21

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Radiologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang diagnosis dan perawatan suatu penyakit dengan menggunakan sinar-x, termasuk mempelajari ilmu tentang film radiografi dan pemeriksaan visual struktur tubuh pada layar flurosensi atau menunjukan struktur tubuh tertentu dengan menggunakan bahan kimia yang radiopak sebelum pemeriksaan radiologisnya dilakukan. (Margono,1998) Sinar-x ditemukan oleh Wilhem Conrad Roentgen yaitu seorang ahli fisika dari Universitas Wurzburg, Jerman. Pertama kali ketika Roentgen melihat adanya sinar flurosensi yang timbul dari kristal barium platinosianida dalam tabung crookes- hittrof yang dialiri listrik. Setelah itu Dr. Otto Walkhoff pada tahun 1985 adalah dokter gigi pertama yang menggunakan sinar-x pada foto gigi premolar bawah dengan waktu 25 menit, namun seiring perkembangan teknologi sekarang menjadi 1/10 second. Di Indonesia sendiri penggunaan sinar-x pertama kali oleh R.M Notokworo seorang dokter lulusan dari Belanda. (Boel,2009) Radiografi yang digunakan di kedokteran gigi adalah intraoral yang meliputi teknik periapikal, bitewing dan oklusal, sedangkan ekstraoral meliputi teknik panoramik, foto lateral, cephalometri, dan lain lain. Persentasi kasus pada kelompok ini adalah dengan menggunakan teknik bitewing. Teknik ini termasuk dalam intraoral radiografi yaitu pemeriksaan gigi dan jaringan sekitar secara radiografi dan filmnya diletakan di mulut pasien. Pertama kali diperkenalkan oleh Raper pada tahun 1925 untuk mendeteksi karies pada permukaan proksimal gigi. Bitewing atau disebut juga interproximal radografi adalah termasuk teknik konvensional yang digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah pada daerah anterior dan posterior sehingga dapat digunakan untuk melihat permukaan gigi yang berdekatan dan puncak tulang alveolar (Margono, 1998).

2 B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan bitewing? 2. Bagaimana prosedur dalam pengambilan teknik bitewing? 3. Sebutkan keuntungan dan kerugian pada bitewing radiografi? 4. Bagaimana interpretasi dari foto bitewing yang terdapat dalam kasus? 5. Jelaskan mengenai indikasi bitewing yang berhubungan dengan kasus? 6. Apa alasan pemilihan teknik bitewing dalam kasus?

C. Tujuan 1. Mengetahui bitewing radiografi dan prosedur dalam pengambilan teknik bitewing. 2. Mengetahui keuntungan dan kerugian menggunakan teknik bitewing. 3. Menganalisa interpretasi dari foto bitewing dalam kasus. 4. Mengetahui indikasi bitewing secara umum dan dapat menganalisa indikasi dalam kasus. 5. Menganalisa alasan pemilihan bitewing dalam kasus.

D. Manfaat 1. Pembaca dapat mengetahui bitewing radiografi dan bagaimana cara kerja teknik bitewing. 2. Pembaca dapat mengetahui keuntungan dan kerugian dalam

pengambilan teknik bitewing. 3. Pembaca dapat memahami interpretasi foto bitewing yang terdapat dalam kasus. 4. Pembaca dapat mengetahui indikasi bitewing baik secara umum maupun dapat memahami indikasi dalam kasus. 5. Pembaca dapat memahami alasan pemilihan bitewing dalam kasus.

BAB II ISI

A. Landasan Teori 1. Bitewing Radiography a. Gambaran Umun Bitewing merupakan suatu teknik dalam radiologi kedokteran gigi secara intraoral yang dilakukan dengan cara pasien menggigit sayap dari film yang berfungsi sebagai stabilisasi film dalam rongga mulut (Langland and Langlais, 2002). Teknik foto bitewing merupakan suatu teknik konvensional yang digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah baik pada daerah anterior maupun posterior sehingga teknik bitewing berfungsi untuk melihat permukaan gigi yang terletak berdekatan dan puncak alveolar, mengetahui status periodontal pasien, dan sebagai evaluasi puncak tulang interproksimal ketika pemeriksaan periodontal (Hidayat, 2007). Teknik foto Bitewing awal mulanya ditemukan oleh Raper pada tahun 1925, dimana dasar teknik bitewing ini merupakan suatu teknik kesejajaran yang telah mengalami sedikit modifikasi yaitu sudut antara bidang vertikal dengan konus adalah 0o sampai 10o (Margono, 1998). b. Pembagian Teknik Menurut Whaites (2003), pembagian teknik radiologi intraoral bitewing, diantaranya adalah : 1) Molars (Posterior Teeth) Radiografi gigi posterior, menyesuaikan pada kepala pasien sehingga bagian permukaan oklusal gigi rahang atas terletak pada bidang horizontal. Paket film ditempatkan pada rongga mulut sehingga radiograf akan tampak gigi yang diinginkan. Bagian bawah film, terdapat antara lidah dan mandibula, sedangkan pada bagian atas film akan menghadap atap mulut. Pastikan pasien menggigit tab film secara perlahan dan sesuaikan tabung ke

4 angulasi rata-rata +8. Arahkan sinar pusat sehingga dapat langsung melalui ruang interproksimal menuju pusat film pada tingkat bidang oklusal. Ikuti instruksi yang ada di tempat pelaksanaan serta waktu pemaparannya.

Gambar proyeksi gigi premolar atas

Gambar proyeksi gigi premolar bawah

Gambar proyeksi gigi molar atas

Gambar proyeksi gigi molar bawah

Gambar proyeksi gigi molar bawah penyudutan

2) Insisivus (Anterior Teeth) Periapikal film dengan adaptor berfungsi untuk radiografi bitewing pada gigi anterior. Posisi kepala untuk eksposur bitewing anterior sama seperti pada gigi posterior. a) Central Area Paket film ditempatkan pada rongga mulut dengan pusat film sesuai bidang median. Bagian bawah harus ditempatkan antara lidah dan punggungan mandibula. Bagian atas kemudian ditempatkan menghadap ke palatum. Kemudian pastikan pasien agar menggigit paket film, sesuaikan tabung ke angulasi dari +8. Dan arahkan sinar pusat melalui ruang interproksimal antara gigi seri pusat pada bagian insisal.

Gambar proyeksi gigi insisivus atas

Gambar proyeksi gigi insisivus bawah

b) Lateral dan Cuspid Area Paket film diposisikan pada bagian wilayah gigi insisivus sentral, kemudian instruksikan pasien agar menggigit tab film secara perlahan untuk menahan posisi filmnya. Tekan tab distal hingga bagian permukaan mesial atas film terletak pada garis median lengkungan antara gigi insisivus sentral. Instruksikan pasien agar menggigit bagian akhir gigitan tegas pada tab film. Sesuaikan tabung ke angulasi dari +8 dan arahkan sinar pusat secara langsung melalui insisivus lateral pada bagian insisal. Serta ikuti instruksi yang terdapat pada tempat pelaksanaan beserta waktu pemaparannya.

Gambar proyeksi gigi caninus atas

Gambar proyeksi gigi caninus bawah

c. Pelaksanaan Teknik Teknik bitewing menggunakan film berukuran 3,2x4,1 cm. Ukuran dari film menentukan hasil dari radiogramnya, apabila film yang digunakan ukurannya lebih besar maka harus berhati-hati memasukkan kedalam mulut pasien agar tidak merasa sakit. Film yang sudah diberi tabs atau loops dimasukkan kedalam mulut pasien. Film dipegang oleh operator dengan jari telunjuk yang di letakkan pada tabs, sehingga tabs menyentuh permukaan oklusal dari gigi. Pasien diminta untuk menutup mulutnya secara perlahan, kemudian operator melepaskan jari telunjuk dan pasien diminta menggigit gigi-geligi atas dan bawah sehingga berkontak. Gambar proyeksi gigi caninus atas

Gambar penempatan bitewing di dalam mulut

Gambar sudut proyeksi

Hal yang terpenting adalah mendapatkan hasil sampai pada bagian proksimalnya tanpa terlihat gambaran rahang. Pembuatan teknik bitewing dipakai alat bite tabs dan bite loops (Buckenham and George, 1993). Menurut Margono (1998), bidang yang perlu diperhatikan dalam teknik bitewing, antara lain : 1) Bidang Horizontal Film atau pemegang film ditempatkan dlm mulut, dengan bagian quadran mandibula menjadi pandangan radiograf, arah sinar langsung menuju kontak dan untuk memperoleh hasil yg baik, arah sinar rontgen harus benar-benar lurus antara gigi dan sejajar dengan permukaan oklusal. Hal yang mungkin terjadi adalah terjadinya overlapping karena perbedaan lengkung maksila dan

9 mandibula, namun jika sinar-X langsung ditujukan pada kontak premolar bawah, maka overlapping tersebut akan diminimalisasi bahkan tidak terjadi. Dua proyeksi untuk gigi posterior baik premolar dan molar disarankan untuk dilakukan pada setiap kuadran. Proyeksi premolar mencakup separuh distal caninus mandibula dan mahkota premolar, karena caninus mandibula biasanya terletak lebih mesial daripada caninus maksila maka caninus mandibula digunakan sebagai patokan untuk menempatkan film bitewing premolar. Ujung film bitewing untuk proyeksi molar ditempatkan 1 atau 2 mm sebelah distal gigi molar yang telah erupsi baik maksila maupun mandibula.

Gambar proyeksi bitewing premolar

2) Bidang Vertikal Prinsip penempatan film dan arah sinar-X sama dengan proyeksi bitewing horizontal. Biasanya digunakan pada kondisi pasien dengan kehilangan tulang alveolar yang parah. Tujuan penempatan bagian panjang film ke arah vertikal adalah agar bagian-bagian jaringan pendukung gigi yang hilang dapat terekam secara lengkap.

10

Gambar proyeksi bitewing molar

d. Keuntungan dan Kerugian Menurut Whaites (2003), teknik bitewing memiliki keuntungan dan kerugiannya, diantaranya adalah : Keuntungan : 1) Puncak tulang alveolar mudah terlihat 2) Lebih meringankan untuk pasien dengan reflek muntah yang tinggi 3) Karies tahap awal lebih cepat terdeteksi Kerugian : 1) Pasien sering sulit mengoklusikan kedua rahang (mulut terlalu terbuka) sehingga puncak tulang alveolar tidak terlihat 2) Tidak terlihat regio periapikal dan ujung akar

e. Indikasi Menurut Margono (1998), indikasi teknik radiologi bitewing, diantaranya adalah : 1) Mendeteksi pejalaran karies 2) Mendeteksi adanya karies interproksimal 3) Melihat resorpsi tulang alveolar 4) Melihat kondisi jariangan pendukung gigi 5) Mendeteksi adanya kalkulus di area interproksimal

11 2. AIP (Acute Irreversible Pulpitis) a. Gambaran Umum AIP AIP (Acute Irreversible Pulpitis) merupakan suatu peradangan yang terjadi pada pulpa. Pulpa adalah jaringan yang mengandung banyak vaskuler (pembuluh darah), sehingga memiliki peranan penting dalam mensuplai darah dan memasok nutrisi. Pulpa juga mengandung pleksus saraf yang mengeluarkan serabut saraf kecil, sehingga mampu untuk mempersarafi seluruh daerah pulpa, termasuk daerah odontoblast dan predentin. Respon peradangan pada pulpa sangat cepat, sehingga apabila terdapat rangsangan eksternal, akan terjadi pulpitis sebagai respon peradangan dari pulpa. Pulpa yang terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf ini mampu menimbulkan terjadinya hiperemia (peningkatan aliran darah ke gigi) apabila terjadi peradangan pada pulpa (Baum, 1997). Pulpitis adalah peradangan pada pulpa sebagai respon jaringan ikat vaskuler dan sebagai respon peradangan jaringan pulpa terhadap iritasi dengan proses eksudatif sebagai peranan pentingnya. Respon inflamasi pada pulpa ini tergantung pada lama dan intensitas rangsangan. Apabila rangsanan yang muncul berlangsung lama dan intensitasnya ringan, maka jenis pulpitis yang terjadi adalah kronis, sedangakan jika rangsangan yang muncul berlangsung mendadak dengan intensitas yang berat, maka akan terjadi adanya pulpitis akut (Walton, 2003). Acute Ireversible Pulpitis (AIP) ialah suatu bentuk klasifikasi pulpitis berupa peradangan pada pulpa yang menunjukkan adanya gejala rasa nyeri yang sangat responsif terhadap rangsangan panas maupun dingin. Rasa nyeri yang ditimbulkan ialah spontan dan dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa jam. Rasa nyeri ini disebabkan karena adanya peningkatan tekanan intrapulpa dengan intensitas tinggi, berlangsung terus menerus dan terasa berdenyut (Armilia, 2007).

12 Berdasarkan Tarigan (2009), Acute Ireversible Pulpitis (AIP) ini merupakan akibat dan kelanjutan dari reversible pulpitis yang inflamasinya parah dan susah untuk dihilangkan, walaupun

penyebabnya telah dihilangkan. Komplikasi yang akan berlanjut dari Acute Ireversible Pulpitis (AIP) ini ialah terjadinya nekrosis pada pulpa.

b. Etiologi AIP Menurut Tarigan (2009), beberapa faktor penyebab yang menyebabkan terjadinya Acute Ireversible Pulpitis (AIP) antara lain : 1) Kesalahan prosedur operatif, sehingga menyebabkan perluasan pada dentin. 2) Terganggunya aliran darah pulpa yang diakibatkan karena trauma maupun pergerakan gigi dalam perawatan orthodonsi 3) Akibat terjadinya kerusakan gigi yang mampu menembus enamel dan dentin,sehingga dapat memberikan perubahan pada pulpa 4) Adanya infeksi, infeksi yang dimaksud ialah infeksi yang menyerang ruang pulpa maupun infeksi yang berasal dari abses gigi. 5) Trauma, trauma yang dimaksud ini ialah trauma yang menyerang gigi, dapat berasal dari efek kekuatan mengunyah makanan, bruxism, maupun adanya cedera pada gigi. 6) Adanya karies pada gigi.

13 c. Manifestasi Klinis AIP Menurut Harrison (1999), manifestasi klinis dari acute irreversible pulpitis sebagai berikut: 1) Rasa nyeri yang tajam secara terus menerus yang menjalar hingga ke belakang telinga, 2) Penderita tidak dapat mengetahui gigi mana yang sakit, 3) Kavitas terlihat dalam dan tertutup oleh tumpatan amalgam atau makanan, 4) Pulpa terbuka masih vital. Menurut Grossman (1995), acute irreversible pulpitis dibagi menjadi dua dengan gejala klinis sebagai berikut: 1) Acute Irreversible Pulpitis Serosa Gejala klinis berupa sakit proksimal yang hilang timbul yang terjadi terus menerus, terjadi penimbunan darah pembuluh darah pada pulpa. 2) Acute Irreversible Pulpitis Supuratif Adanya abses pada permukaan pulpa atau didalam pulpa, adanya rasa sakit yang menusuk nusuk, berdenyut, atau seperti gigi yang ditekan kuat sekali.

d. Patofisiologi AIP Patofisiologi dari Acute Ireversible Pulpitis (AIP) dimulai dari adanya infeksi berupa karies pada gigi. Apabila terjadi karies superfisialis yang tidak diberikan perawatan, maka kerusakan tersebut berlanjut dari enamel menuju ke dentin, sehingga akan menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut terjadi akibat rangsangan atau jejas yang menyentuh ujung sel odontoblas di perbatasan dentin dan enamel yang merupakan garis depan pertahanan jaringan pulpa. Apabila rangsangan atau jejas mencapai area jaringan pulpa, maka akan timbul rasa nyeri pulpa. Tahap selanjutnya ialah terjadinya reaksi sistem aliran darah mikro dan sistem seluker jaringan pulpa. Pada

14 tahap inilah yang menyebabkan terjadinya edema pada pulpa karena terjadi gangguan keseimbangan antara aliran darah yang masuk dengan aliran darah yang keluar. Edema yang terjadi pada pulpa dengan struktur rongga pulpa yang sempit ini mampu mengakibatkan sistem persarafan pulpa terjepit, sehingga akan timbul rasa nyeri yang sangat hebat. Persarafan pulpa gigi yang terjepit ini terdiri dari serabut saraf cabang sensorik ganglion trigeminal yang berfungsi untuk mendeteksi rangsangan kemudian meneruskannya menuju sistem saraf pusat, serta cabang otonomik ganglion servikal superior yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan jaringan pulpa dan menjaga sistem homeostatis. Kedua sistem pada jaringan pulpa inilah yang memiliki peranan penting dalam mengatur proses pemulihan atau sebagai reaksi jaringan pulpa terhadap cedera. Apabila jaringan pulpa tidak mampu menahan jejas yang masuk dan menimbulkan kerusakan yang semakin meluas, maka akan terjadi pulpitis irreversible. Pada proses yang berkelanjutan, jaringan pulpa yang meradang tersebut akan mengalami kerusakan secara menyeluruh dan mengakibatkan pulpa menjadi nekrosis atau terjadi kematian pada jaringan pulpa (Weine, 1996).

e. Pemeriksaan Penunjang dan Terapi AIP Menurut Grossman (1995), pada acute irreversible pulpitis dibutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menganalisa seberapa kerusakan yg tejadi pada jaringan pulpa dan pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan radiografi. Terapi atau prosedur tindakan medis yang dapat dilakukan untuk perawatan untuk acute irreversible pulpitis dibagi berdasarkan bagian-bagian gigi, yaitu: 1. Gigi akar tunggal: perawatan saluran akar 2. Gigi akar ganda: anastesi, pulpotomi, dan ekstirpasi jaringan pulpa untuk meredakan rasa sakit, pemberian egenol dan ditumpat sementara. Jika memungkinkan, diteruskan dengan perawatan saluran akar.

15 3. Pada akar lebar: dilakukan pulpotomi darurat dan pada kunjungan berikut dilakukan pulpotomi formokresol. Perawatan dapat juga dengan meringankan rasa sakit dengan memberi kresatin, eugenol, atau formokresol. Pengambilan secara bedah harus dipertimbangkan bila gigi tidak dapat di restorasi.

B. Pembahasan 1. Pemaparan Jurnal Kasus Seorang wanita berusia 25 tahun dibawa ke emergensi Rumah Sakit St. Helier UK setelah ditemukan pingsan di rumahnya. Setelah sampai dirumah sakit, ia mengalami koma hingga 6 jam dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit Atkinson Moreley UK dan dirawat oleh ahli saraf disana. Dari hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging) diketahui bahwa pasien mengalami pembengkakan yang tersebar pada otaknya. Berdasarkan riwayat penyakit pasien diketahui bahwa ia pernah mengalami sakit pada gigi atau rahang bawahnya di bagian kanan yang sudah berlangsung selama beberapa minggu. Rasa sakit yang dialami pasien menyebabkan pasien tidak dapat tidur dengan normal dan rasa sakitnya akan semakin parah apabila pasien mengonsumsi minuman hangat. Untuk mengatasinya, pasien mengonsumsi air dingin setiap harinya dan ia memperkirakan konsumsi air dingin perhari mencapai 10 liter. Selain mengonsumsi air dingin, setiap harinya pasien juga mengonsumsi analgesik berupa ibuprofen sebanyak 2,6 gram dan paracetamol sebanyak 2 gram setiap harinya. Pasien juga diketahui pernah mengunjungi beberapa dokter gigi untuk mengobati penyakitnya. Dokter pertama menyebutkan bahwa pasien mengalami gangguan pada sendi rahangnya dan gangguan tersebut akan sembuh dengan sendirinya. Dokter tersebut lalu memberikan pasien soft biteguard untuk digunakan pasien dan memberikan antibiotik. Namun, pasien tetap merasakan sakit pada giginya, akhirnya ia ke dokter lain dan di dokter tersebut ia tidak mendapatkan perawatan apapun tapi hanya diberikan antibiotik.

16 Para ahli saraf akhirnya menetapkan diagnosis bahwa pasien mengalami psychogenic polydipsia akibat konsumsi air berlebih. Konsumi air berlebih yang dilakukan pasien ini dapat menyebabkan hyponatremia dan encephalopathy. Pasien akhirnya diberikan obat berupa phenytoin untuk menormalkan kadar sodium dalam serum pasien, dan setelah diberikan obat tersebut kondisi pasien membaik selama 8 hari. Para ahli saraf juga menyimpulkan bahwa penyakit yang dialami pasien diawali adanya gangguan pada gigi pasien dan keterlambatan penanganan penyakit gigi yang dilakukan oleh para dokter gigi. Pasien kemudian melanjutkan perawatan giginya ke Departement of Restorative Dentistry of St. Georges Hospital. Hasil pemeriksaan gigi pasien memperlihatkan bahwa pasien tidak mengalami gangguan pada TMJ (Temporomandibular Joint). Pada rongga mulut pasien juga ditemukan adanya tumpatan amalgam pada tepi distoklusal gigi 45 serta adanya karies pada gigi 16 dan 36. Untuk menegakkan diagnosis dilakukan pengambilan gambar radiografi dengan teknik bitewing dan periapikal. Hasil radiografi bitewing memperlihatkan bahwa pasien

mengalami karies sekunder dibawah tumpatan amalgam pada gigi 45 dan dokter juga mendiagnosis bahwa pasien mengalami AIP (Acute Irreversible Pulpitis). Dokter akhirnya akan melakukan perawatan endodontik yang komplit pada gigi 45 pasien serta pada gigi 16 dan 36 diberikan tumpatan. Pasien juga disarankan untuk mengontrol plak giginya, melakukan diet, serta mengonsumsi tambahan fluoride setiap harinya.

17 2. Interpretasi Gambar pada Film Bitewing dalam Kasus

Berdasarkan gambar film bitewing pada kasus, maka interpretasi yang dapat diambil antara lain: a. Gigi 17 : tampak normal. b. Gigi 16 : terdapat restorasi amalgam kelas 2 di distal dan tambalan amalgam kelas 2 di mesial. c. Gigi 15 : terdapat restorasi amalgam kelas 2 di distal yang meluas ke mesial. d. Gigi 14 : terdapat restorasi amalgam kelas 2 dari distal sampai mesial. e. Gigi 24 : tampak normal. f. Gigi 25 : tampak normal. g. Gigi 26 : tampak normal. h. Gigi 37 : terdapat restorasi kelas 1 adhesive material. i. Gigi 36 : terdapat restorasi amalgam kelas 2. j. Gigi 35 : telah dirawat saluran akarnya dan terdapat restorasi inlay metal di distal sebagai coronal sealnya. k. Gigi 34 : tampak normal. l. Gigi 44 : tampak normal. m. Gigi 45 : terdapat restorasi amalgam kelas 2 pada distal dan terdapat karies sekunder di bawah restorasi tersebut yang mengenai kamar pulpa. Berdasarkan keluhan pasien dan didukung dengan gambaran radiograf ini, dokter gigi mendiagnosis adanya AIP di gigi ini. n. Gigi 46 : telah dirawat saluran akarnya dan terdapat restorasi inlay di mesial.

18 o. Gigi 47 : terdapat restorasi kelas 1 adhesive material dan karies proksimal di distal dekat servikal yang sudah mencapai dentin. p. Ada resorpsi semua puncak alveolar. (Whaites, 2007)

3. Indikasi Penggunaan Bitewing Radiography pada Kasus a. Adanya rasa sakit pada gigi yang sebelumnya ditambal oleh dokter gigi yang ditunjukkan dengan banyaknya tambalan amalgam. Hal ini harus diperiksa dengan pemeriksaan radiografi b. Kemungkinan adanya karies yang perlu diperiksa lebih lanjut

4. Alasan Penggunaan Bitewing Radiography pada Kasus a. Pemeriksaan radiologi dengan metode bitewing akan memperjelas diagnosis acute irreversible pulpitis pada gigi 45 karena pada gambaran radiografi bitewing terlihat kondisi gigi posterior, baik pada maksila atau mandibula b. Kemungkinan adanya karies sekunder pada gigi 45 bagian proksimal sampai pada bagian CEJ (Cemento-Enamel Junction) yang akan terlihat bila menggunakan metode bitewing, sedangkan dengan metode periapikal tidak akan terlihat jelas.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Radiografi dengan teknik bitewing adalah metode radiografi yang konvensional tetapi masih digunakan hingga saat ini. Radiografi bitewing merupakan teknik intraoral dengan cara memasukkan film berukuran 3,2x4,1 cm kedalam rongga mulut pasien dan berfungsi untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah pada daerah anterior maupun posterior serta sebagai evaluasi puncak tulang interproksimal ketika pemeriksaan

periodontal. Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengambilan foto bitewing ini antara lain molars (posterior teeth), insisivus (anterior

teeth) yang dibagi menjadi dua yaitu central area, lateral dan cuspid area. Bidang yang harus diperhatikan dalam pengambilan foto bitewing ini adalah bidang horizontal dan bidang vertikal. Teknik bitewing ini mempunyai beberapa kelebihan, yaitu puncak tulang alveolar mudah terlihat, lebih meringankan untuk pasien dengan reflek muntah yang tinggi, dan karies tahap awal lebih cepat terdeteksi. Namun foto bitewing ini juga memiliki beberapa kekurangan antara lain pasien sering sulit mengoklusikan kedua rahang (mulut terlalu terbuka) sehingga puncak tulang alveolar tidak terlihat serta regio periapikal dan ujung akar yang tidak terlihat. Interpretasi hasil dari gambar bitewing memperlihatkan bahwa terdapat beberapa gigi yang menjadi indikasi terjadinya acute irreversible

pulpitisantara lain pada gigi 16,15,14,36,37,47

terlihat adanya restorasi

amalgam,dan pada gigi 45 ditemukan adanya restorasi amalgam kelas 2 pada distal dan terdapat karies sekunder di bawah restorasi tersebut yang mengenai kamar pulpa. Indikasi penggunaan teknik bitewing pada kasus adalah adanya rasa sakit yang hebat dikarenakan karies dan ditemukan banyaknya tambalan amalgam yang terlihat karena penggunaan foto dengan teknik bitewing. Penggunaan teknik bitewing lebih efektif untuk melihat karies di proksimal

19

20 gigi hingga ke CEJ dibandingkan dengan menggunakan periapikal. teknik foto

B. Saran Saran penulis kepada pembaca terhadap laporan yang telah dibuat adalah : 1. Pembaca disarankan dapat mengetahui dan mengerti mengenai isi dari laporan ini mengenai tindakan yang dilakukan ketika menghadapi suatu kondisi seperti yang dialami oleh pasien pada kasus acute irreversible pulpitis agar lebih menjaga dan peka terhadap kesehatan gigi dan rongga mulut. 2. Pembaca dapat mengerti mengenai bagaimana menjaga dan merawat kesehatan gigi. Saran kepada penulis diharapkan mengerti dan memahami mengenai laporan yang telah dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Armilia, M., 2007, Penatalaksanaan Keadaan Darurat Edodontik, Tesis, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjajaran, Bandung. Baum, L., 1997, Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi, EGC, Jakarta. Boel, T., 2009, Dental Radiologi: Prinsip dan Teknik, USU, Medan Buckenham, T.M., George, C.D., 1993, Digital Sialography: Imaging and Intervention, The British Journal of Radiology, Vol. 67, No. 798, pp. 524530. Grossman, Loise., 1995, Ilmu Endodontik dalam Praktek, EGC, Jakarta Harrison, 1999, Prinsip- prinsip Ilmu Penyakit Dalam, EGC, Jakarta Hidayat, W., 2007, Gambaran Distribusi Teknik Foto Rontgen Gigi yang Digunakan di RSGM Universitas Padjadjaran, Makalah, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung. Margono, G., 1998, Radiografi Intraoral, EGC, Jakarta. Tarigan, R., 2002, Perawatan Pulpa Gigi (Edodonti), EGC, Jakarta. Walton, R., E. dan Torabijad M., 2003, Prinsip dan Praktik Ilmu Edodonsia, EGC, Jakarta. Whaites, E., 2007, Essential of Dental Radiography and Radiology, Ed. 4, Elsevier, United Kingdom. Weine, F. S., 1996, Endodontic Therapy, 5th edition, St. Louis Mosby, USA.

21

Anda mungkin juga menyukai