Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN PEMULIAAN TERNAK

Saat ini peternakan semakin bertambah pesat dengan tumbuhnya kesadaran


masyarakat akan pentingnya protein hewani seperti telur dan daging, salah satu usaha
peternakan yang telah memasyarakat dan sudah tersebar diseluruh pelosok nusantara adalah
unggas lokal (ayam buras, itik dan burung puyuh). Ayam buras memiliki peranan yang cukup
besar dalam mendukung ekonomi pedesaan. Dibandingkan dengan ayam ras, ayam buras
mempunyai banyak kelebihan antara lain kemampuan daya adaptasi terhadap lingkungan
yang sangat baik, produktivitas tinggi, mudah dalam pemeliharaan serta relatif lebih tahan
terhadap penyakit.
Salah satu potensi ekonomis unggas adalah produksi telur. Tinggi rendahnya produksi
telur diduga memiliki keragaman genetik yang berbeda karena produktivitas suatu ternak
tergantung pada faktor lingkungan dan genetik. Hal ini sangat penting untuk peningkatan
mutu genetik ternak dan dapat membantu dalam seleksi ternak yang produktif dan ternak
yang tidak produktif.
Keragaman genetik merupakan salah satu dasar untuk mengetahui tingkat perubahan
nilai keberhasilan seleksi dalam suatu populasi dan dapat pula digunakan dalam penentuan
asal-usul ternak. Keragaman genetik dapat dilihat dengan menggunakan karakter alel dari
suatu lokus tertentu yang berasal dari cairan atau jaringan tubuh seperti darah, putih telur, dan
kuning telur.
Darah dan putih telur memiliki lokus protein yang berbeda. Lokus protein yang
terdapat pada darah antara lain pre-albumin, albumin, pre-tranferin, transferin dan
hemoglobin (Warwick et al., 1990) sedangkan lokus yang terdapat pada putih telur antara
lain ovalbumin, conalbumin dan lisozim (Meyer et al., 1960) dan masih banyak lagi lokus-
lokus yang lain. Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa darah dan telur merupakan potensi
yang berbeda dari segi kandungan protein didalamnya, tetapi sama-sama dapat digunakan
untuk menentukan keragaman genetik. Oleh karena itu perlu dicari bukti empiris mengenai
perbedaan keragaman genetik yang dilihat dari protein darah maupun putih telur serta
keragaman genetik antara produksi telur tinggi dan produksi telur rendah dalam suatu
populasi.
Perkembangan IPTEK cukup cepat khususnya dalam bioteknologi sel binatang. Dari
awal penemu sel pertama kali Robert Hooke dari Inggris tahun 1665 dengan menggunakan
mikroskop yang sangat sederhana, maka dimulailah perkembangan sel bagi kehidupan
mahluk hidup. Bagian yang penting sel bukanlah dinding selulosa (Robert Hooke) tetapi isi
dari sel tersebut. Pada tahun 1839 oleh Purkinye memperkenalkan protoplasma bagi zat hidup
dari sel. Sekarang ini dengan perkembangan IPTEK maka isi sel yang hidup merupakan suatu
sistem yang komplek. Materi yang disajikan dalam bab ini meliputi perkembangan sel dan
aktivitasnya meliputi kultur sel, membran plasma, nukleus dan fungsinya, organel
sitoplasma, struktur sel, dan selaput sel.
Kemajuan di bidang genetika, biologi sel dan molekuler, khususnya teknologi DNA
Rekombinan telah memberikan peluang baru dalam memanipulasi genom organisme untuk
mewujudkan berbagai keinginan pemulia. Diharapkan upaya ini memberikan dampak
signifikan bagi perbaikan sifat organisme melalui :
1. Melengkapi aktivitas pemulia dalam memperluas dan diversifikasi kumpulan gen
(gene pool) organisme
2. Mengintroduksi gen-gen spesifik yang tidak tersedia pada kumpulan gen yang
kompatibel secara seksual.
Perbaikan sifat organisme melalui teknik DNA rekombinan didasarkan pada
manipulasi molekuler gen-gen yang relevan dan tersedianya vektor untuk transformasi ke
dalam sel organisme tersebut. Teknologi ini menawarkan berbagai metode untuk isolasi,
manipulasi, dan ekspresi gen-gen dalam jaringan tertentu pada tingkat yang diinginkan.
Perkembangan sistem transfer gen ke dalam organisme, yaitu dengan mengintroduksi
gen-gen asing ke dalam sel organisme dan meregenerasikannya menjadi organisme hidup dan
fertil telah membuka kesempatan dalam upaya memodifikasi dan memperbaiki sifat-sifat
organisme. Namun karakterisasi dengan tepat terhadap sifat-sifat yang diunggulkan
merupakan langkah penting dalam menjamin keberhasilan penggunaan teknologi DNA
rekombinan
Teknologi unggas transgenik sangat bermanfaat untuk menciptakan modifikasi sifat
produksi pada pemuliaan unggas, biopfarmasi (penghasil protein farmasi dalam telur) dan
penyelidikan terhadap gen yang mempengaruhi perkembangan vertebrata. Teknologi
transgenik juga sangat menjanjikan untuk pengembangan ayam yang tahan penyakit seperti
yang telah sukses dilakukan pada tanaman.
Dibidang pengobatan, biofarmasi unggas tampaknya sangat efisien untuk
memproduksi protein terapi karena :
- Biaya yang rendah, waktu regenerasi yang pendek, dan mudah di tangani.
- Telur yang secara alami telah steril.
- Jumlah protein yang dihasilkan sangat besar.
- Jumlah telur pertahun yang dihasilkan sangat banyak.
Sedangkan untuk riset dasar unggas transgenik dapat digunakan untuk :
- Penelitian tentang gen yang terlibat dalam perkembangan vertebrate.
- Sebagai model untuk pengembangan penelitian dibidang biologi.
Kebutuhan biofarmasi terhadap protein glikosilat yang terlipat dalam struktur 3D
tertentu dengan cepat meningkat, begitu juga kebutuhan dibidang farmasi pada manusia.
Dibandingkan dengan mamalia, pola glikosilasi pada beberapa protein ayam lebih serupa
dengan manusia.
Banyak dari protein tersebut dengan susunan asal di produksi terutama dengan kultur
sel mamalia in vitro. Namun demikian rendahnya hasil yang diperoleh dan biaya yang tinggi
mendorong sistem produksi protein rekombinan untuk menggunakan hewan/ternak
transgenik sebagai bioreaktor. Kelenjar susu merupakan bioreaktor yang menjanjikan karena
potensi produksi susunya yang tinggi dan telah menghasilkan beberapa protein farmasi di
dalam air susu pada beberapa jenis ternak transgenik. Walaupun demikian terdapat
kelemahan kelenjar susu sebagai bioreaktor, yaitu lamanya interval generasi dan kesulitan
dalam memurnikan protein rekombinan yang dihasilkan karena rumitnya biokimia lemak dan
protein susu.
Penggunaan induk ayam dapat memecahkan masalah tersebut, disamping kelebihanya
yang lain yaitu interval generasi yang pendek (ayam menjadi dewasa pada umur 20 minggu),
biaya yang rendah dan tingkat kesuburannya tinggi. Pemurnian protein rekombinan juga
lebih mudah karena biokimia protein putih telur tidak serumit dibandingkan protein susu.
Fraksi albumin telur terdiri dari 3,5-4 gram protein dan ovalbumin menyusun lebih dari
setengah bagian protein tersebut.
Keberadaan inhibitor protease alami dalam telur dan kondisi steril di dalam telur juga
memberikan lingkungan yang ideal untuk menstabilkan aktivitas biologis protein asing dan
memungkinkan penyimpanan dalam jangka waktu lama tanpa kehilangan aktivitas
biologisnya.


sumber:http :// staff.undip.ac.id/fp/seno_johari/2010/07/22/materi-kuliah-manajemen-pemuliaan-ternak

MANAJEMEN PEMBIBITAN TERNAK
RUMINANSIA II
A. Pengaruh Genetik dan lingkungan Terhadap Sifat fenotip
Fenotip atau sering dikenal dengan performans merupakan suatu karakteristik (baik
struktural, biokimiawi, fisiologis, dan perilaku) yang dapat diamati dari suatu organisme yang
diatur oleh genotip dan lingkungan serta interaksi keduanya. Pengertian fenotip mencakup
berbagai tingkat dalam ekspresi gen dari suatu organisme. Fenotip ditentukan sebagian oleh
genotip individu, sebagian oleh lingkungan tempat individu itu hidup, waktu, dan pada
sejumlah sifat, interaksi antara genotip dan lingkungan. Waktu biasanya digolongkan sebagai
aspek lingkungan (hidup) pula. Ide ini biasa ditulis sebagai
P = G + E + GE
Keterangan:
P : fenotip,
G : faktor genotip
E : faktor lingkungan
GE : interaksi antara faktor genotip dan faktor lingkungan
Pengamatan fenotip dapat sederhana (misalnya warna bulu pada sapi) atau sangat rumit
hingga memerlukan alat dan metode khusus. Namun demikian, karena ekspresi genetik suatu
genotip bertahap dari tingkat molekular hingga tingkat individu, seringkali ditemukan
keterkaitan antara sejumlah fenotip dalam berbagai tingkatan yang berbeda-beda.
Fenotip, khususnya yang bersifat kuantitatif misalnya produksi susu, produksi telur
pertambahan berat badan harian dan sebagainya, seringkali diatur oleh banyak gen. Cabang
genetika yang membahas sifat-sifat dengan tabiat seperti ini dikenal sebagai genetika
kuantitatif.

Seperti dikemukakan di atas, faktor genetik ditentukan oleh susunan gen di dalam kromosom
yang dimiliki oleh individu. Jumlah pasangan gen dalam suatu spesies ternak adalah tetap,
seperti yang tercantum di dalam Tabel 1. tetapi susunan gennya antara individu yang satu
dengan yang lainnya berbeda. Dalam sel yang terdapat di dalam tubuh hewan, kromosom
selalu terdapat secara berpasangan. Keadaan yang seperti ini disebut kromosom yang diploid.
Berbeda dengan kromosom yang ada sel tubuh, kromosom yang terdapat pada sel telur dan
spermatozoa tidak berpasangan. Keadaan yang semacam ini disebut kromosom yang haploid.
Kromosom semacam ini tercipta karena pada saat terjadinya proses spermatogeneisi maupun
oogenesis telah terjadi pembelahan reduksi sehingga kromosom yang keadaannya
berpasangan.
Penampakan ekspresi potensi ternak secara mendasar dipengaruhi oleh dua faktor utama yang
sating terkait satu dengan yang lainnya, yakni faktor genetic dan lingkungan termasuk
didalamnya manajemen pemeliharaan secara menyeluruh. Telah diketahui bahwa lingkungan
dan penanganan manajemen yang memadai atau sesuai dengan kebutuhan ternak tidak akan
memberikan ekpresi produksi (kualitas maupun kuantitas) yang diharapkan jika tidak
didukung dengan potensi genetic ternak yang baik. Begitu pula sebaliknya jika ternak
memiliki potensi genetic yang baik tidak akan terekspresikan secara optimal bila tidak
didukung oleh lingkungan dan manajemen yang maksimal. Dengan demikian kedua faktor
tersebut hendaknya memperoleh perhatian yang sama seriusnya dalam pemeliharaan
komoditas temak yang dilakukan.http://kenarimania.multiply.com/journal/item/57
B. Heretabilitas
1. Pengertian Heretabilitas
Heritabilitas atau daya waris adalah besaran bagi pengaruh keragaman genetik terhadap
keragamanfenotipik dalam suatu populasi biologis. Besaran ini tidak berdimensi dan
dinyatakan sebagai nisbah (rasio) dari dua varians (ragam). Dalam praktek genetika terapan
dikenal dua macam heritabilitas: heritabilitas arti luas, berupa nisbah varians genotipik
terhadap varians fenotipik, dan heritabilitas arti sempit, berupa nisbah varians genetik aditif
terhadap varians fenotipik http://id.wikipedia.org/wiki/Heritabilitas
2. Pentingnya Heretabilitas dalam pembibitan
Heritabilitas menempati posisi penting dalam analisis genetika populasi dan genetika
kuantitatif, dan menjadi salah satu pertimbangan utama dalam menentukan (assessment)
metode seleksi yang tepat bagi suatu populasi pemuliaan.
3. Cara Mengukur Heretabilitas
Nilai heritabilitas dapat dihitung dengan cara membandingkan atau mengukur hubungan atau
kesamaan antara produksi individu-individu yang mempunyai hubungan kekerabatan. Nilai
heritabilitas dapat dihitung menggunakan beberapa metode estimasi, diantaranya melalui
persamaan fenotipe ternak yang mempunyai hubungan keluarga, yaitu antara saudara
kandung (fullsib), saudara tiri (halfsib), antara induk dengan anak (parent and off spring).
Selain itu dapat juga menentukan heritabilitas nyata (realized heritability) berdasarkan
kemajuan seleksi. Estimasi nilai heritabilitas juga bisa didapat dengan menghitung nilai
ripitabilitas, yakni penampilan sifat yang sama pada waktu berbeda dari individu yang sama
sepanjang hidupnya. Ripitabilitas dapat digunakan untuk menduga sifat individu dimasa
mendatang.
Cara lain menduga nilai heritabilitas adalah dengan memakai hewan kembar identik asal satu
telur. Hewan kembar identik memiliki genotipe yang sama sehingga perbedaan dalam sifat
produksi diantara hewan kembar disebabkan oleh faktor non genetik.
Dari sudut praktis, nilai heritabilitas dalam arti sempit dapat didefenisikan sebagai persentase
keunggulan tetua yang diwariskan pada anaknya. Cara yang paling teliti untuk menentukan
heritabilitas suatu sifat adalah dengan melakukan percobaan seleksi untuk beberapa generasi
dan menentukan kemajuan yang diperolehnya, yang dibandingkan dengan jumlah keunggulan
dari tetua terpilih dalam semua generasi dari percobaan seleksi. Percobaaan seleksi dengan
menggunakan ternak besar sangat mahal dan membutuhkan waktu beberapa generasi. Selain
itu, hasilnya hanya berlaku khusus pada populasi ternak dimana seleksi dilakukan.
Rendahnya nilai heritabilitas bukan hanya disebabkan olah rendahnya variasi genetik namun
lebih banyak ditentukan oleh tingginya variasi lingkungan. Heritabilitas merupakan salah satu
pertimbangan paling penting dalam melakukan evaluasi ternak, metode seleksi dan sistem
perkawinan. Secara lebih spesifik heritabilitas merupakan bagian dari keragaman total pada
sifat-sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara ternak-ternak yang diamati.
Heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam fenotipik
4. Sex Rasio Seekor Sapi jantan
Pada pembibitan ternak potong normal, perbandingan antara jantan dan betina (sex ratio)
adalah 1:5
C. Prinsip Dasar Peningkatan Mutu Genetik pada ternak
1. Defineng breeding Goal
Program pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah.
Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan SOEHADJI (1990) adalah meliputi:
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa
daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk
memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi
semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok
sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan
Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang
unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali
(P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi
Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).
http://www.ebooklibs.com/genetik_sapi_potong.html
Kecenderungan genetik yang merupakan perubahan rataan nilai pemuliaan dari suatu
populasi dalam waktu tertentu untuk bobot sapih dan bobot setahun didapati menurun dengan
kemiringan berturut-turut 0,60 dan 0,30, sedangkan kecenderungan genetik pertambahan
bobot badan harian pascasapih meningkat dengan kemiringan 1,74 (analisa data dari 1991-
2000). Secara keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan genetik sapi Bali
di P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitiannya tersebut,
SUKMASARI (2003) juga menyarankan bahwa seleksi agar didasarkan pada nilai pemuliaan
agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat sehingga kecenderungan genetik sapi Bali di P3
Bali terus meningkat. Di luar wilayah pemurnian (Propinsi Bali) kebijakan pemerintah untuk
melakukan persilangan melalui IB dapat dilakukan dengan bangsa sapi lain. Sejak
diperkenalkannya teknologi IB, persilangan dengan semen-semen Bos taurus dan Bos indicus
banyak dilakukan, termasuk pada sapi Bali di daerah-daerah kantong bibit (NTT, NTB dan
Sulsel). Jika dikaitkan dengan kerentanan sapi Bali terhadap penyakit Jembrana dan MCF,
program persilangan berdampak positif terhadap kasus serangan penyakit tersebut. Sapi hasil
persilangan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut karena
pewarisan gen sapi Bos taurus, dan dengan demikian wilayah pengembangan sapi persilangan
ini dapat lebih luas. Di wilayah kantong bibit, berdasarkan pengalamannya peternak memiliki
kesukaan pada bangsa-bangsa tertentu dan memilih semen-semen dari bangsa tersebut untuk
dipergunakan dalam IB, seperti Simmental, Limousin, Hereford dan Brangus. Tidak jarang
anak betina hasil persilangan di-IB dengan bangsa sapi yang sama kembali dan demikian
seterusnya sehingga komposisi genetik sapi Bos taurus menjadi terus meningkat. Tindakan
yang demikian dipastikan akan menurunkan kemampuan adaptasi sapi hasil persilangan
tersebut pada lingkungan yang keras sehingga produktivitasnya menjadi menurun. Sampai
saat ini pada wilayah-wilayah tersebut banyak terbentuk keturunan sapi Bali dengan
komposisi genetik yang tidak jelas. Evaluasi terhadap persilangan pada sapi Bali nampaknya
perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi persilangan yang sesuai dengan
kondisi lingkungan dimana sapi tersebut dikembangkan. Seiring dengan berjalannya Otonomi
Daerah maka masingmasing wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan
mempunyai program persilangan untuk menghasilkan sapi yang cocok dengan sistem usaha
dan kemampuan sumberdaya alamnya. http://www.ebooklibs.com/genetik_sapi_potong.html
2. Genetic Evaluation
Perkembangan evaluasi genetik pada sapi berdasarkan prod uktivitas, yang meliputi:
perkembangan sistem pencatatan produksi susu, model kurva produksi susu, parameter
genetik, dan model evaluasi nilai pemuliaan. Sistem pencatatan produksi susu yang efisien
adalah dengan menggunakan catatan test day atau hari uji, karena pencatatan dapat dilakukan
dengan lebih sederhana tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva
produksi ataupun nilai pemuliaan. Kurva pendugaan produksi susu yang akurat adalah kurva
persamaan Ali-Schaeffer, karena kurva ini bisa menduga puncak produksi susu dan produksi
total dengan lebih tepat (r>0,99), dan kurva ini juga dapat digunakan untuk analisis
pendugaan parameter genetik. Pendugaan nilai pemuliaan dengan menggunakan model
regresi tetap (MRT) atau random (MRR), akan memberikan banyak manfaat dalam program
peningkatan mutu genetik sapi perah. Hal ini dimungkinkan karena dengan menggunakan
model analisis tersebut waktu test dapat dilakukan satu hari untuk seluruh peternakan
walaupun tingkat laktasi antar sapi berlainan dan mampu menduga nilai pemuliaan total dari
catatan tidak lengkap atau catatan yang pendek. Untuk aplikasi dilapangan MRT lebih
diunggulkan karena tidak terdapat masalah numerik dan analisisnya lebih mudah untuk
dilakukan. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/51819/
3. Selection
Arti pembibitan adalah suatu tindakan manusia untuk menghasilkan ternak bibit, dimana
yang dimaksud dengan temak bibit adalah ternak yang memenuhi persyaratan dan karakter
tertentu untuk dikembangbiakan dengan tujuan standar produksi /kinerja yang ditentukan.
Seorang peternak dapat menentukan dua hat yang berpengaruh terhadap peningkatan mutu
genetic temaknya yakni melalui :
- Memilih ternak yang dipakai sebagai tetua.
- Memilih ternak yang akan dikawinkan, http://www.ebooklibs.com
Alat atau metode yang dapat digunakan antara lain berupa
1 . Seleksi
2. Mengendalikan sistim perkawinan untuk ternaknya.
Dalam pemuliaan temak, seorang peternak cenderung untuk merubah atau menentukan hat-
hat yang terlihat seperti produktifitas ternak pada tingkatan tertentu yang diinginkan. Untuk
melakukannya diperlukan informasi atau data mengenai sifat-sifat yang akan diturunkan
tersebut atau sering disebut dengan sifat-sifat genetic misalnya seperti bobot badan, produksi
telur, warna bulu dan sebagainya. http://www.ebooklibs.com
Beberapa perbedaan sifat-sifat genetika tersebut sangat mudah dan dapat dilihat, dibedakan
dan dikelompokkan, misalnya ternak bertanduk dengan yang tidak bertanduk, warna kulit
tubuh merah ataupun hitam dan sebagainya. Sifat-sifat seperti itu dikenal sebagai sifat
kualitatif dan dikontrol oleh sejumlah kecil gen. Sedangkan kebanyakan sifat-sifat produktif
yang menjadi pengamatan peternak adalah dikontrol oleh pasangan-pasangan gen dan
termodifikasi oleh lingkungan yang dihadapi oleh ternak bersangkutan. Sifat-sifat produksi
Jim dikenal sebagai sifat kuantitatif dan tidak dapat dikelompokkan secara tegas misalnya
produksi daging, susu dan bulu (wool). http://www.ebooklibs.com
1. Sistim Perkawinan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dasar dalam pemuliaan ternak adalah untuk
meningkatkan produksi dan produktifitas ternak melalui perbaikan atau peningkatan mutu
genetiknya. Cara atau metode yang digunakan terdiri dari sistim perkawinan dan sistim
seleksi.
Sistim perkawinan yang selalu dan sering digunakan untuk meningkatkan mutu genetic
ternak antara lain :
a. Perkawinan dengan tujuan meningkatkan homosigotas (Inbreeding).
b. Perkawinan dengan tujuan meningkatkan heterogositas (Outbreeding).
2. Sistim Seleksi
Seleksi adalah istilah dalam pemilihan ternak yang menggambarkan proses pemilihan secara
sistimatis ternak-ternak dari suatu populasi untuk dijadikan tetua generasi berikutnya.
Pada dasarnya seleksi dibagi menjadi dua bentuk yakni:
a. Seleksi Alam Yaitu pemilihan hewan atau ternak menjadi tetua untuk generasi selanjutnya,
yang dilakukan oleh alam. Seleksi alarn yang berlangsung beratus tahun akan menghasilkan
ternak yang mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan alarn sekitar yang berlaku
setempat. http://www.ebooklibs.com
D. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat kemajuan Ggenetik
1. Heritabilitas
Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan ternak. Semakin tinggi
nilai heritabilitas suatu sifat yang diseleksi, maka semakin tinggi peningkatan sifat yang
diperoleh setelah seleksi. Tingginya nilai heritabiltas suatu sifat menunjukkan tingginya
korelasi ragam fenotipik dan ragam genetik. Pada kondisi ini seleksi fenotipik individu sangat
efektif, sedangkan jika nilai heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi dilakukan
berdasarkan kelompok. (http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-
heritabilitas-dalam-pemuliaan-ternak)
Sejak dulu selalu timbul pertanyaan tentang bagaimana sifat-sifat yang menguntungkan dari
individu superior ditransmisikan pada anak-anaknya. Pendugaan nilai heritabilitas dapat
membantu kita dalam menjawab pertanyaan penting tersebut. Modul ini menjelaskan defenisi
heritabilitas, metode pendugaan heritabilitas dan pengaruh heritabilitas terhadap perubahan
performan sternak.(http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-heritabilitas-
dalam-pemuliaan-ternak)
Heritabilitas merupakan salah satu pertimbangan paling penting dalam melakukan evaluasi
ternak, metode seleksi dan sistem perkawinan. Secara lebih spesifik heritabilitas merupakan
bagian dari keragaman total pada sifat-sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara
ternak-ternak yang diamati. Heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetik
terhadap ragam fenotipik. Ragam fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
Heritabilitas merupakan sebagian deskripsi dari satu sifat dalam satu kelompok ternak pada
beberapa kondisi. Variasi mungkin terjadi selama periode waktu yang sama antar kelompok
ternak atau variasi dalam kelompok ternak yang sama dalam waktu yang berbeda. Secara
alami perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan genetik dan perbedaan lingkungan
sekitarnya dari kelompok ke kelompok dari tahun ke tahun.
Ragam genetik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya introduksi bangsa ternak
yang baru ke dalam kelompok ternak asli dapat meningkatkan ragam genetik, bila terjadi
perkawinan di antara kedua bangsa ternak tersebut. Selain itu, efek seleksi dalam satu
kelompok ternak pada sejumlah generasi dapat menurunkan ragam genetik. Penggunaan
metode inbreeding dalam sistem perkawinan dapat menurunkan ragam genetik.
Penerapan manajemen praktis yang seragam dapat menurunkan ragam lingkungan. Sebagai
contoh, bila pada setiap ekor ternak diberikan jumlah pakan dengan kualitas yang sama, maka
ragam lingkungan akan menjadi turun. Sebaliknya, bila Anda melakukan penyesuaian untuk
lingkungan yang berbeda, dengan tujuan menghasilkan perbedaan performans maka ternak
diperlakukan secara berbeda.
Heritabilitas menunjukkan bagian atau persentase dari keragaman fenotipik yang disebabkan
oleh keragaman genetik additif. Semakin tinggi nilai h2 dapat diartikan bahwa keragaman
sifat produksi lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan genotipe ternak dalam populasi, dan
hanya sedikit pengaruh keragaman lingkungan.
Dari persamaan tersebut di atas juga dapat dilihat bahwa nilai h2 dapat meningkat (atau
mengecil) karena VA yang membesar atau VP yang mengecil. Oleh karena itu, dalam
pendugaan heritabilitas dianjurkan agar keragaman lingkungan yang dikenakan terhadap
populasi ternak diperkecil dengan memberikan lingkungan yang relatif homogen. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa perbedaan sifat produksi pada ternak disebabkan oleh karena
adanya perbedaan genotipe di antara ternak yang diamati.
(http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-heritabilitas-dalam-pemuliaan-
ternak)
Secara teoritis nilai heritabilitas berkisar dari 0 1, namun jarang ditemukan nilai ekstrim nol
atau 1 pada sifat kuantitatif ternak. Sifat produksi yang memiliki nilai heritabilitas nol adalah
sifat dimana semua keragaman fenotipik pada ternak disebabkan semata-mata oleh pengaruh
faktor lingkungan, dan diasumsikan pengaruh genetik tidak ada sama sekali. Nilai
heritabilitas 1 menunjukkan sifat kuantitatif dimana semua keragaman sifat disebabkan oleh
faktor genetik.
Nilai heritabilitas dibedakan atas tiga kategori yaitu kecil, sedang dan besar. Nilai
heritabilitas dikatakan kecil (rendah) jika nilainya 0 0,2; sedang: 0,2 0,4 dan besar (tinggi)
jika bernilai lebih dari 0,4. Preston dan Willis (1974) mengklasifikasikan nilai heritabilitas,
dikatakan rendah jika kurang dari 0,25, sedang jika nilainya 0,25 0,50 dan besar jika
bernilai lebih dari 0,50. Menurut Hardjosubroto (1994), nilai heritabilitas dikatakan rendah
apabila bernilai kurang dari 0,10; sedang jika nilainya antara 0,10 0,30 dan tinggi jika lebih
dari 0,30. Nilai heritabilitas memiliki sifat sebagai berikut:
1. Bukan suatu konstanta
2. Untuk setiap sifat (pada umumnya sifat kuantitatif) nilai heritabilitas suatu sifat dapat
berbeda karena perbedaan lokasi pengamatan, perbedaan kelompok ternak, waktu
pengamatan dan cara menghitung heritabilitas.
Nilai h2 untuk sifat-sifat ketegaran (fittnes) seperti sifat reproduksi dan daya hidup biasanya
kecil. Hal ini terjadi karena seleksi alam yang berlangsung lama membuat VA menjadi kecil.
Dalam kondisi ini maka peranan VD dan VI menjadi lebih penting. Karena nilai pemuliaan
(breeding value) ternak ditentukan oleh VA, maka h2 dapat dianggap sebagai parameter yang
memberikan gambaran mengenai keragaman nilai pemuliaan.
Warwick et. al. (1995) menyatakan bahwa nilai heritabilitas negatif atau lebih dari satu secara
biologis tidak mungkin. Bila hal tersebut ditemukan kemungkinan disebabkan oleh: (1)
keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga kelompok yang
berbeda, (2) metode statistik yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat memisahkan
antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif dan (3) kesalahan dalam
pengambilan contoh.
Nilai heritabilitas dapat meningkat atau menurun dengan berubahnya bagian komponennya.
Meningkatnya h2 dapat disebabkan oleh turunnya ragam lingkungan atau meningkatnya
ragam genetik. Sebaliknya bila ragam lingkungan meningkat atau ragam genetik menurun
maka heritabilitas akan turun. (http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-
heritabilitas-dalam-pemuliaan-ternak)
Heritabilitas secara tepat hanya berlaku pada populasi dan lokasi dimana nilai h2 tersebut
dihitung. Nilai heritabilitas negatif yang diperoleh dari pendugaan dengan banyak cara
analisis ragam (anova) kemungkinan disebabkan oleh : (a) jumlah pengamatan yang sedikit,
dimana semakin sedikit jumlah pengamatan semakin besar kemungkinan heritabilitas bernilai
negatif, (b) jika pendugaan nilai heritabilitas dihitung dari komponen pejantan maka peluang
terjadinya nilai heritabilitas negatif lebih kecil jika jumlah pengamatannnya sama dan jika
jumlah anak (pengamatan) dari setiap ekor pejantan atau induk tidak sama, dapat membuka
peluang heritabilitas negatif yang lebih besar.
http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-heritabilitas-dalam-pemuliaan-
ternak)
Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan ternak. Semakin tinggi
nilai heritabilitas suatu sifat yang diseleksi, maka semakin tinggi peningkatan sifat yang
diperoleh setelah seleksi. Tingginya nilai heritabiltas suatu sifat menunjukkan bahwa korelasi
antara ragam fenotipik dan ragam genetik yang tinggi. Pada kondisi tersebut seleksi individu
sangat efektif dilakukan, sebaliknya jika nilai heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi
dilakukan berdasarkan
seleksikelompok.(http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-heritabilitas-
dalam-pemuliaan-ternak)
Pengetahuan tentang nilai heritabilitas sangat diperlukan dalam melakukan program seleksi
dan rancangan perkawinan untuk perbaikan mutu genetik ternak. Pengetahuan ini bermanfaat
dalam menduga besarnya kemajuan untuk program pemuliaan berbeda. Disamping itu,
memungkinkan pemulia membuat keputusan penting apakah biaya program pemuliaan yang
dilakukan sepadan dengan hasil yang diharapkan. Nilai heritabilitas bermanfaat dalam
menaksir nilai pemuliaan seekor individu ternak.
(http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-heritabilitas-dalam-pemuliaan-
ternak)
2. Variasi Genetik
Keanekaragaman genetik (genetic diversity) adalah suatu tingkatan biodiversitas yang
merujuk pada jumlah total variasi genetik dalam keseluruhan spesies yang mendiami
sebagian atau seluruh permukaan bumi yang dapat didiami. Ia berbeda dari variabilitas
genetik, yang menjelaskan kecenderungan kemampuan suatu karakter/sifat untuk bervariasi
yang dikendalikan secara genetik. (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id)
Bidang akademik genetika populasi, terdapat beberapa hipotesis dan teori mengenai
keanekaragaman genetik. Teori netral evolusi mengajukan bahwa keanekaragaman adalah
akibat dari akumulasi substitusi netral. Seleksi pemutus adalah hipotesis bahwa dua
subpopulasi suatu spesies yang tinggal di lingkungan yang berbeda akan menyeleksi alel-alel
pada lokus tertentu yang berbeda pula. Hal ini dapat terjadi, jika suatu spesies memiliki
jangkauan yang luas relatif terhadap mobilitas individu dalam populasi tersebut. Hipotesis
seleksi gayut frekuensi menyatakan bahwa semakin umum suatu alel, semakin tidak bugar
alel tersebut. Hal ini dapada terlihat pada interaksi inang dengan patogen, di mana frekuensi
alel pertahanan yang tinggi pada inang dapat mengakibatkan penyebaran patogen yang luas
jika pathogen dapat mengatasi alel pertahanan tersebut.(http://perkebunan.litbang.depta.go.id)
Variasi genetik akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi
genetik dalam suatu populasi besar, ini menunjukkan individu dalam populasi beragam
sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan besar (BAHAR dan
ZEIN, 1993). Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor
pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan
fenotip bila dibandingkan dengan lingkungan. Untuk itu informasi sifat tersebut lebih
diperankan oleh faktor genetic atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana
sifat tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya. (http://perkebunan.litbang.go.id)
3. Seleksi Diferensial
Seleksi diferensial adalah keunggulan ternak-ternak yang terseleksi terhadap
rata-rata populasi (keseluruhan ternak).
Contoh 1:
rata-rata produksi susu laktasi satu sapi Fries Holland yang terseleksi adalah
3500 liter, sedangkan rata-rata produksi populasi adalah 3300 liter. Seleksi
diferensial (S) = 3500-3300 liter = 200 liter.
Kalau sifat tersebut dapat diukur pada ternak jantan dan betina, maka seleksi
biasanya dilakukan secara terpisah. Seleksi diferensial adalah rata-rata dari
keduanya.
Contoh 2:
Rata-rata bobot sapih populasi (seluruh ternak) ternak domba Priangan
yang betina adalah 9 kg dan jang jantan 13 kg. Rata-rata bobot sapih
ternak-ternak yang terseleksi yang betina adalah 12 kg dan yang jantan 15
kg.
S_= 15 13 kg = 2 kg
S_= 12 9 kg = 3 kg
Rata-rata seleksi diferensial =
2
2 3
= 2,5 kg
menghitung nilai Selection differential (S) :
= (Avg Wt jantan + Avg Wt betina)/2 - Avg Wt populasi
= (692 + 604)/2 - 454
S = 194
2. Menghitung Respon seleksi
R = S. h2
= 194 * 0.5 = 97,9 gram
Jadi berat rata anakan pada generasi F.1
F1 = Avg Populasi + R
= 454 + 97.9 = 551.9 gra
Contoh
Seorang petani ikan mas memiliki induk denganberat rata rata = 480 grm, dengan nilai SD=
60gram. Petani tersebut menyeleksi induk jantanbetina yang beratnya 630 gram untuk
programseleksi. Nilai h2 ikan mas 0.1 .
Berapa nilai peningkatan berat pada generasi
F.1
menghitung nilai Selection differential (S)
S : (Avg Wt jantan + Avg Wt betina)/2 - Avg Wt populasi
= 640- 480 = 150 gram
Menghitung Respon seleksi
R = S. h2
R = 150 * 0.1
= 15 gram
respon seleksi pada generasi F.1 adalah 15 gramagar populasi tersebut dapat mencapai nilai
rata2640 gram diperlukan program breeding sebanyak
intensitas seleksi = I = S / SD
= 150 / 60 = 2.5
Respon seleksi dapat ditingkatkan dengan :
meningkatkan nilai S
meningkatkan nilai h2
Menurunkan waktu interval antar generasi
4. Intensitas Seleksi
Kemajuan seleksi adalah suatu nilai yang menunjukkan seberapa perubahan proporsi karakter
target mengalami perubahan. Kemajuan seleksi ini dipengaruhi oleh :
(i) intensitas seleksi, artinya banyaknya tanaman yang terseleksi dari populasi, dan
(ii) metoda seleksi.
(iii) Hal lain yang turut mempengaruhi seleksi adalah efisiensi dan efektifitas seleksi.
Beberapa komponen yang mempengaruhi efisiensi seleksi menggunakan marka molekuler
dikemukakan oleh Brar (2002) antara lain adalah (i) macam marka molekuler yang
digunakan, (ii) tingginya kerapatan peta genetik secara molekuler, (iii) gen yang menjadi
sasaran seleksi harus terpaut sangat dekat dengan marka molekuler, (iv) protokol MAS
(Marker Assisted Selection).
Untuk menghitung kemajuan genetic adalah sebagai berikut :
R = h2.S, dimana R = respon seleksi ( Xp1 Xp2 ), h2 = heritabilitas sifat yang diseleksi, S =
diferensial seleksi (Xps Xp0 )
Nilai S bergantung pada variabilitas genetic populasi , makin besar (luas) maka nilai S makin
besar maka respon seleksi makin besar.
5. Inteerval Generasi
Interval generasi dapat diartikan sebagai rata-rata umur tetua/induk ketikaanaknya dilahirkan.
Setiap jenis ternak mungkin mempunyai intervalgenerasi yang berbeda. Interval generasi
dipengaruhi oleh umur pertamakali ternak tersebut dikawinkan dan lama bunting, dengan
demikian intervalgenerasi oleh faktor lingkungan seperti pakan dan tatalaksana.
Pemberianpakan yang jelek dapat memperpanjang interval generasi. Semakin cepatinterval
Jenis Ternak Interval Generasi
(Tahun)
Sapi perah 5-6
Sapi pedaging 4-5
Domba 3-5
Kambing 3-5
Ayam - 1 tahun
Kuda 9-13Babi 2-4
Ternak yang akan diuji dikawinkan dulu kemudian anak-anaknya dievaluasi apakah
menderita cacat atau tidak. Seleksi ini memakan waktu lama dan biaya cukup besar. Menurut
Lasley (1981) progeny test pada sapi memakan waktu lama, karena jarak generasi anak dan
generasi orang tua (interval generasi) sekitar 4 6 tahun.. Teknik analisis DNA memberikan
solusi terhadap masalah waktu, dimana ternak jantan dan betina yang akan dijadikan bibit
dianalisis terlebih dahulu, apakah mengandung DNA yang bermutasi atau tidak. Apabila
terbukti mengandung DNA yang bermutasi maka ternak jantan atau betina tersebut
disingkirkan sebagai calon bibit. http://dombagarut.blogspot.com/2008/01/seleksi-
perkawinan-ternak.html
6. Jumlah Sifat yang Ddiseleksi Bersama
Secara sederhana pelaksanaan seleksi dapat diartikan memperkenankan sekelompok ternak
menjadi penurun dari generasi berikutnya dan menghilangkan kesempatan dari kelompok lain
untuk memperoleh hal yang sama.
Seleksi individu paling berguna untuk sifat2 yang dapat di ukur pada kedua jenis kelamin
sebelum dewasa atau sebelum umur perkawinan pertama. Beberapa sifat yang termasuk
adalah laju pertumbuhan, skor tubuh ternak, berat bulu, wol, ketebalan lemak punggung dan
lain2. untuk satu program yang efektif yang diperlukan catatan penampilan produksi yang
dibuat pada selulruh populasi dimana seleksi akan dilakukan.
Seleksi individu mempunyai keterbatasan2 antara lain:
1.untuk sifat2 yang hanya tampak pada betina, seperti hasil susu dan telur atau sifat2 induk
(maternal) pada ternak potong, yang jantan tidak dapat dipilih berdasarkan penampilannya
sendiri.
2.catatan penampilan produksi susu dan telur dan kualitas induk baru tersedia setelah dewasa,
harus digunakan beberapa criteria selain penampilan individu.
3.untuk sifat2 yang heritabilitasnya rendah, penampilan individual dapat merupakan
indilkator nilai pemuliaan yang jelek.
4.penilaian penampilan individu atau bentuk tubuh yang muda dilakukan sering
menarikpemulia umtuk terlalu menekankan pada sifat itu dalam seleksi dibandingkan dengan
penggunaan optimum dari alat2 lain seperti seleksi silsilah atau seleksi keturunan.
Perubahan derajat heterozigositas tergantung dari hubungan kekerabatan ternak yang
disilangkan. Crossbreeding merupakan bentuk silang luar yang lebih ekstrim di bandingakan
dengan linecrossing. Hal ini karena dua individu dari dua bangsa yang berbeda akan lebih
jauh hubungan kekerabatannya disbanding dengan dua individu yang masih sebangsa,
walaupun mereka berasal dari galur yang berbeda. Oleh karena itu, umumnya crossbreeding
menghasilkan peningkatan derajat heterozigositas yang lebih cepat bila dibanding dengan
linecrossing.http://animal-intelektual.blogspot.com/2009/07/seleksi-individu-ternak.html
Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan maka keturunannya
cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat2
tertentu. Fenomena ini disebut Hybrid Vigor yang nilainya dapat diukur. Pengukuran
kuantitatif Hybrid Vigor disebut heterosis yang didefinisikan sebagai persentase peningkatan
performa dari ternak2 hasil persilangan diatas rataan tetuanya.
Dalam menentukan atau memilih beberapa kelompok yang akan dijadikan sebagai basis
pembibitan, harus memenuhi beberapa kreteria dibawah ini, antara lain yaitu:
1. Potensi alam: lahan atau padang rumput cukup luas; artinya ketersedian pakan hijauan
untuk ternak cukup banyak dan mudah didapatkan disekitar wilayah tersebut.
2. Tersedianya pakan-pakan tambahan seperti dedak padi, jagung, dan limbah-limbah
pertanian lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://kenarimania.multiply.com/journal/item/57

http://id.wikipedia.org/wiki/Heritabilitas

http://task-list.blogspot.com/2008/10/sapi-bali-perbaikan-mutu-genetik.html

http://www.ebooklibs.com/genetik_sapi_potong.html

http://pustaka.unpad.ac.id/archives/51819/

http://www.ebooklibs.com/red.php?web=http://disnaksulsel.info/index2.php?option=com

http://pratamasandra.wordpress.com/2009/04/05/manfaat-heritabilitas-dalam-pemuliaan-
ternak/

http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/jurnal/Jurnal 2007/J-
Vol13_3_2007/p
Diposkan 8th March 2011 oleh Junaedi Edi
http://peternakanjunaedi.blogspot.com/2011/03/manajemen-pembibitan-ternak-ruminansia.html


PEMBIBITAN KAMBING DAN DOMBA YANG BAIK
PEDOMAN PEMBIBITAN KAMBING DAN DOMBA YANG BAIK
(GOOD BREEDING PRACTICE)
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 57/Permentan/OT.1 60/10/2006
TANGGAL : 20 Oktober 2006

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing dan domba merupakan ternak yang memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap
bermacam-macam pakan hijauan serta mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap berbagai
keadaan lingkungan. Pengembangan Kambing dan domba mempunyai prospek yang baik
karena disamping untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri, Kambing dan domba
juga memiliki peluang sebagai komoditas ekspor.
Untuk itu bibit Kambing dan domba merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan
dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangannya secara berkelanjutan.
Pembibitan Kambing dan domba saat ini masih berbasis pada peternakan rakyat yang berciri
skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak
terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis.
Kebijakan pengembangan usaha pembibitan Kambing dan domba diarahkan pada suatu
kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta
terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan dan pengawasannya.
Maksud dan Tujuan
Maksud
Maksud ditetapkannya pedoman ini yaitu:
bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan Kambing dan domba (good
breeding practice) untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik;
bagi petugas dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah,
sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam
pengembangan pembibitan Kambing dan domba (good breeding practice).
Tujuan
Tujuan ditetapkannya pedoman ini agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan Kambing
dan domba dapat diperoleh bibit Kambing dan domba yang memenuhi persyaratan teknis
minimal dan persyaratan kesehatan hewan.
Ruang lingkup
Ruang lingkup yang diatur dalam pedoman ini meliputi:
Sarana dan prasarana;
Proses produksi bibit;
Pelestarian lingkungan;
Monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Pengertian
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan:
Pembibitan adalah kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri
atau untuk diperjualbelikan.
Bibit ternak adalah semua hasil pemuliaan ternak yang memenuhi persyaratan tertentu
untuk dikembangbiakkan
Spesies adalah sekelompok ternak yang memiliki sifat-sifat genetik sama, dalam kondisi
alami dapat melakukan perkawinan dan menghasilkan keturunan yang subur.
Rumpun adalah sekelompok ternak yang mempunyai ciri dan karakteristik luar serta sifat
keturunan yang sama dari satu spesies.
Galur adalah sekelompok individu ternak dalam satu rumpun yang dikembangkan untuk
tujuan pemuliaan dan/atau karakteristik tertentu.
Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada
sekelompok ternak dari status rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu.
Pemurnian adalah upaya untuk mempertahankan rumpun dari jenis (spesies) ternak
tertentu.
Persilangan adalah cara perkawinan, dimana perkembangbiakan ternaknya dilakukan
dengan jalan perkawinan antara hewan-hewan dari satu spesies tetapi berlainan rumpun.
Seleksi adalah kegiatan memilih tetua untuk menghasilkan keturunan melalui pemeriksaan
dan/atau pengujian berdasarkan kriteria dan tujuan tertentu dengan menggunakan metoda
atau teknologi tertentu.
Silsilah adalah catatan mengenai asal-usul keturunan ternak yang meliputi nama, nomor dan
performan dari ternak dan tetua penurunnya.
Uji performan adalah pengujian untuk memilih ternak bibit berdasarkan sifat kualitatif dan
kuantitatif meliputi pengukuran, penimbangan dan penilaian.
Sertifikasi bibit adalah proses penerbitan sertifikat bibit setelah melalui pemeriksaan,
pengujian dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.
Village Breeding Center yang selanjutnya disingkat VBC adalah suatu kawasan
pengembangan peternakan yang berbasis pada usaha pembibitan ternak rakyat yang
tergabung dalam kelompok peternak pembibit.
Kawasan sumber bibit adalah wilayah yang mempunyai kemampuan dalam pengembangan
bibit ternak dari rumpun tertentu baik murni
ataupun persilangan secara terkonsentrasi sesuai dengan agroekosistem, pasar serta
dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Wilayah sumber bibit ternak adalah suatu agroekosistem yang tidak dibatasi oleh
administrasi pemerintahan dan mempunyai potensi untuk pengembangan bibit ternak dari
spesies atau rumpun tertentu.
Unit pembibitan ternak adalah wilayah sumber bibit dasar (foundation stock) dan bibit Induk
(breeding stock) yang dilengkapi dengan stasiun uji performan.
BAB II
SARANA DAN PRASARANA
Lokasi
Lokasi usaha pembibitan Kambing dan domba harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata
Ruang Daerah (RDTRD) setempat
Mempunyai potensi sebagai sumber bibit Kambing dan domba serta dapat ditetapkan
sebagai wilayah sumber bibit ternak
Terkonsentrasi dalam satu kawasan atau satu Village Breeding Center (VBC) atau satu unit
pembibitan ternak
Tidak mengganggu ketertiban dan kepentingan umum setempat, untuk peternakan yang
sudah berbentuk perusahaan dibuktikan dengan izin tempat usaha
Memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak
mencemari lingkungan
Jarak antara usaha pembibitan Kambing dan domba dengan usaha pembibitan unggas
minimal 1.000 meter;
Khusus pembibitan domba tidak berdekatan dengan sapi Bali.
Lahan
Lahan untuk usaha pembibitan Kambing dan domba harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Bebas dari jasad renik patogen yang membahayakan ternak dan manusia Sesuai dengan
peruntukannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber Air
Usaha pembibitan Kambing dan domba hendaknya memiliki sumber air yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
Air yang digunakan tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi
Sumber air mudah dicapai atau mudah disediakan
Penggunaan sumber air tanah tidak mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat.
Bangunan dan Peralatan
Untuk pembibitan Kambing dan domba sistem semi intensif dan intensif diperlukan
bangunan, peralatan, persyaratan teknis dan letak kandang yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
Bangunan:
kandang pejantan;
kandang induk;
kandang pembesaran;
kandang isolasi ternak yang sakit;
gudang pakan dan peralatan;
unit penampungan dan pengolahan limbah.
Peralatan:
tempat pakan dan tempat minum;
alat pemotong dan pengangkut rumput;
alat pembersih kandang dan pembuatan kompos;
peralatan kesehatan hewan;
c. Persyaratan teknis kandang:
konstruksi harus kuat;
terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh;
sirkulasi udara dan sinar matahari cukup;
drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan;
lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak;
luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung;
kandang isolasi dibuat terpisah.
d. Letak kandang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
mudah diakses terhadap transportasi;
tempat kering dan tidak tergenang saat hujan;
dekat sumber air;
cukup sinar matahari, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur utara-
selatan;
tidak mengganggu lingkungan hidup;
memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.
E. B i b i t
Klasifikasi
Bibit Kambing dan domba diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
bibit dasar (elite/foundation stock), diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang
mempunyai nilai pemuliaan di atas nilai rata-rata;
bibit induk (breeding stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit dasar;
bibit sebar (commercial stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit induk.
Untuk menjamin mutu produk yang sesuai dengan permintaan konsumen, diperlukan bibit
ternak yang bermutu, sesuai dengan persyaratan teknis minimal setiap bibit Kambing dan
domba sebagai berikut:
Persyaratan umum:
Kambing dan domba harus sehat dan bebas dari segala cacat
fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal,
serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;
semua Kambing dan domba betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing
serta tidak menunjukkan gejala kemandulan;
Kambing dan domba jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada
alat kelaminnya.
Persyaratan khusus:
Persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk masing-masing rumpun ternak adalah sebagai
berikut:
Kambing Peranakan Ettawah
Kualitatif :
warna bulu belang hitam, putih, merah,coklat dan kadang kadang putih
tanduk kecil,
muka cembung daun telinga panjang dan terkulai kebawah, bergelambir yang cukup besar
daerah belakang paha, ekor dan dagu berbulu panjang
kualitatif :
Bentina umur 8 -12 bulan
tinggi badan minimal 55 cm, berat badan minimal 15 Kg
jantan umur 12 -18 bulan
tinggi badan minimal 65 cm, berat badan minimal 20 kg
Kambing Kacang
kualitatif :
Warna bulu bervariasi dari putih campur hitam, coklat atau hitam sama sekali
Tanduk mengarah ke belakang dan membengkok keluar
Hidung lurus, leher pendek, telinga pendek berdiri tegak ke depan,
kepala kecil dan ringan
kuantitatif :
Betina umur 8-12 bulan Tinggi badan minimal 46 cm Berat badan minimal 12 kg
Jantan umur 12-18 bulan Tinggi badan minimal 50 cm Berat badan minimal 15 kg
Kambing Saaenen Lokal
kualitatif :
Warna belang belang hitam putih, atau merah atau cokelat putih
tidak bertanduk atau bertanduk kecil
kepala ringan, leher panjang dan halus, dahi lebar, telinga pendek mengarah ke samping
kuku lurus dan kuat
tubuh panjang, dada lebar dan dalam
ambing dan puting susu besar dan lunak
kuantitatif :
Betina umur 8-12 bulan Berat badan minimal 40 kg
Jantan umur 12-18 bulan Berat badan minimal 40 kg
Domba Garut
kualitatif :
Warna hitam, putih atau putih dan hitam
betina tidak bertanduk
jantan bertanduk melingkar besar dan berukuran besar, pangkal tanduk kanan dan kiri
hampir bersatu
tubuh lebar, besar dan kekar, kaki kokoh, daun telinga sedang terletak di belakang tanduk
telinga rumpun seperti daun, hiris, bulu halus dan panjang
kuantitatif :
Betina umur 8-12 bulan Tingi badan minimal 62 cm Berat badan minimal 30 kg
Jantan umur 12-18 bulan Tingi badan minimal 65 cm Berat badan minimal 60 kg
Domba Ekor gemuk
kualitatif :
Warna Bulu putih dan, kasar tidak bertanduk
ekor besar, lebar dan panjang
kuantitatif :
Betina umur 8-12 bulan Tingi badan minimal 52 cm Berat badan minimal 25 kg
Jantan umur 12-18 bulan Tingi badan minimal 60 cm Berat badan minimal 60 kg
Domba Lokal
kualitatif :
Warna Bulu bermacam macam
betina tidak bertanduk, jantan bertanduk kecil tidak melingkar
bentuk badan kecil
kuantitatif :
Betina umur 8-12 bulan Tingi badan minimal 40 cm Berat badan minimal 10 kg
Jantan umur 12-18 bulan Tingi badan minimal 45 cm Berat badan minimal 15 kg
F. Pakan
Setiap usaha pembibitan Kambing dan domba harus menyediakan pakan yang cukup bagi
ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat.
Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang
mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah. Kualitas pakan hijauan
tergantung umur pemotongan, palatabilitas dan ada tidaknya zat toksik (beracun) dan anti
nutrisi.
Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak
terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan,
mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor.
Air minum disediakan tidak terbatas (ad libitum).
G. Obat hewan
Obat hewan yang digunakan meliputi sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami.
Obat hewan yang dipergunakan seperti bahan kimia dan bahan biologik harus memiliki
nomor pendaftaran. Untuk sediaan obat alami tidak dipersyaratkan memiliki nomor
pendaftaran.
Penggunaan obat keras harus di bawah pengawasan dokter hewan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang obat hewan.
H. Tenaga Kerja
Tenaga yang dipekerjakan pada pembibitan ternak Kambing dan domba harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Sehat jasmani dan rohani
Tidak memiliki luka terbuka
Jumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan, yaitu setiap 1 (satu) orang/hari kerja, untuk 5 (lima)
satuan ternak (ST)
Telah mendapat pelatihan teknis pembibitan Kambing dan domba, kesehatan hewan
dan keselamatan kerja
BAB III
PROSES PRODUKSI BIBIT
Pemeliharaan
Dalam pembibitan Kambing dan domba, pemeliharaan ternak dapat dilakukan dengan sistem
semi intensif dan sistem intensif.
Sistem semi intensif yaitu pembibitan Kambing dan domba yang menggabungkan antara
sistem pastura dan sistem intensif. Pada sistem ini dapat dilakukan pembibitan Kambing dan
domba dengan cara pemeliharaan di padang penggembalaan dan dikandangkan.
Sistem intensif yaitu pembibitan Kambing dan domba dengan pemeliharaan di kandang.
Pada sistem ini kebutuhan pakan disediakan penuh.
Produksi
Berdasarkan tujuan produksinya, pembibitan Kambing dan domba dikelompokkan ke dalam
pembibitan Kambing dan domba rumpun murni dan pembibitan Kambing dan domba
persilangan.
Pembibitan Kambing dan domba rumpun murni, yaitu perkembangbiakan ternaknya
dilakukan dengan cara mengawinkan Kambing dan domba yang sama rumpunnya.
Pembibitan Kambing dan domba persilangan, yaitu perkembangbiakan ternaknya dilakukan
dengan cara perkawinan antar ternak dari satu spesies tetapi berlainan rumpun.
Seleksi Bibit
Seleksi bibit Kambing dan domba dilakukan berdasarkan penampilan (performance) anak dan
individu calon bibit Kambing dan domba tersebut, dengan mempergunakan kriteria seleksi
sebagai berikut:
Kambing dan Domba induk
induk harus dapat menghasilkan anak secara teratur 3 (tiga) kali dalam 2 tahun
frekuensi beranak kembar relatif tinggi
total produksi anak sapihan diatas rata-rata.
Calon pejantan
bobot sapih terkoreksi terhadap umur 90 (sembilan puluh) hari umur induk dan tipe
kelahiran dan disapih
bobot badan umur 6, 9, dan 12 bulan diatas rata-rata
pertambahan bobot badan pra dan pasca sapih baik
libido dan kualitas spermanya baik
penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya
Calon induk
bobot sapih terkoreksi terhadap umur 90 (sembilan puluh) hari tipe kelahiran dan disapih
bobot badan umur 6 dan 9 bulan di atas rata-rata
pertambahan berat badan pra dan pasca sapih baik
penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya
Perkawinan
Dalam upaya memperoleh bibit yang berkualitas, perkawinan Kambing dan domba
dilaksanakan sebagai berikut:
Teknik kawin alam dengan rasio jantan dan betina 1:5-10.
Teknik Inseminasi Buatan (IB) menggunakan semen beku atau semen cair dari pejantan yang
sudah teruji kualitasnya dan dinyatakan bebas dari penyakit hewan menular yang dapat
ditularkan melalui semen.
Dalam pelaksanaan kawin alam maupun IB harus dilakukan pengaturan penggunaan
pejantan atau semen beku/semen cair untuk menghindari terjadinya kawin sedarah
(inbreeding).
Ternak Pengganti (Replacement Stock ) Pengadaan ternak pengganti (replacement stock),
dilakukan sebagai berikut:
Calon bibit betina dipilih 25% terbaik untuk replacement, 25% untuk pengembangan
populasi kawasan, 40% dijual ke luar kawasan sebagai bibit dan 10% dijual sebagai ternak
afkir;
Calon bibit jantan dipilih 10% terbaik pada umur sapih dan bersama calon bibit betina 25%
terbaik untuk dimasukkan pada uji performan.
Afkir (Culling)
Pengeluaran ternak yang sudah dinyatakan tidak memenuhi persyaratan bibit (afkir/culling),
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
Untuk bibit rumpun murni, 50% Kambing dan domba bibit jantan peringkat terendah saat
seleksi pertama (umur sapih terkoreksi) dikeluarkan dengan dikastrasi dan 40%nya dijual ke
luar kawasan
Kambing dan domba betina yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bibit (10%)
dikeluarkan sebagai ternak afkir
Kambing dan domba induk yang tidak produktif segera dikeluarkan.
Pencatatan (Recording)
Setiap usaha pembibitan Kambing dan domba hendaknya melakukan pencatatan
(recording), meliputi:
Rumpun;
Silsilah;
Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/kawin alam)
Kelahiran (tanggal, bobot lahir)
Penyapihan (tanggal, bobot badan)
Beranak kembali (tanggal, paritas)
Pakan (jenis, konsumsi)
Vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan/treatment)
Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak)
Score wool penutup tubuh (khusus untuk domba)
Persilangan
Persilangan yaitu salah satu cara perkawinan, perkembangbiakan ternaknya dilakukan dengan
cara perkawinan antara hewan-hewan dari satu spesies yang berlainan rumpun. Untuk
mencegah penurunan produktivitas akibat persilangan, harus dilakukan menurut ketetuan
sebagai berikut:
Kambing dan domba yang akan disilangkan harus berukuran di atas standar atau setelah
beranak pertama
Komposisi darah Kambing dan domba persilangan sebaiknya dijaga komposisi darah
Kambing dan domba temperatenya tidak lebih dari 50%
Prinsip-prinsip seleksi dan culling sama dengan pada rumpun murni
Sertifikasi
Sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi. Dalam hal belum ada
lembaga sertifikasi yang terakreditasi, sertifikasi dapat
dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Sertifikasi bertujuan untuk meningkatkan nilai ternak.
Sertifikat bibit Kambing dan domba terdiri dari:
Sertifikat pejantan dan betina unggul untuk Kambing dan domba hasil uji performan
Sertifikat induk elite untuk Kambing dan domba induk yang telah terseleksi dan memenuhi
standar.
Kesehatan Hewan
Untuk memperoleh hasil yang baik dalam pembibitan Kambing dan domba harus
memperhatikan persyaratan kesehatan hewan yang meliputi:
Situasi penyakit
Pembibitan Kambing dan domba harus terletak di daerah yang tidak terdapat gejala klinis
atau bukti lain tentang penyakit radang limpa (nthrax), kluron menular (Brucellosis) dan
kudis (scabies).
Pencegahan/Vaksinasi
pembibitan Kambing dan domba harus melakukan vaksinasi dan pengujian/tes laboratorium
terhadap penyakit hewan menular tertentu yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang
mencatat setiap pelaksanaan vaksinasi dan jenis vaksin yang dipakai dalam kartu kesehatan
ternak
melaporkan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan
setempat terhadap kemungkinan timbulnya kasus penyakit, terutama yang diduga/dianggap
sebagai penyakit hewan menular;
penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan dan diperhitungkan secara
ekonomis
pemotongan kuku dilakukan minimal 3 (tiga) bulan sekali
Dalam rangka pengamanan kesehatan setiap pembibitan Kambing dan domba harus
memperhatikan hal-hal tindak biosecurity sebagai berikut:
Lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar serta bebas dari hewan piaraan lainnya
yang dapat menularkan penyakit
Melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan menyemprotkan insektisida pembasmi
serangga, lalat dan hama lainnya
Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari satu kelompok ternak ke kelompok
ternak lainnya, pekerja yang melayani ternak yang sakit tidak diperkenankan melayani
ternak yang sehat
Menjaga agar tidak setiap orang dapat bebas keluar masuk kandang ternak yang
memungkinkan terjadinya penularan penyakit
Membakar atau mengubur bangkai kerbau yang mati karena penyakit menular
Menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu dipintu masuk
perusahaan
Segera mengeluarkan ternak yang mati dari kandang untuk dikubur atau dimusnahkan oleh
petugas yang berwenang
Mengeluarkan ternak yang sakit dari kandang untuk segera diobati atau dipotong oleh
petugas yang berwenang.
BAB IV
PELESTARIAN LINGKUNGAN
Setiap usaha pembibitan Kambing dan domba hendaknya selalu memperhatikan aspek
pelestarian lingkungan, antara lain dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Menyusun rencana pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan sebagaimana
diatur dalam: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Peraturan Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Melakukan upaya pencegahan pencemaran lingkungan, sebagai berikut:
mencegah terjadinya erosi dan membantu pelaksanaan penghijauan di areal peternakan
mencegah terjadinya polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga, pencemaran air
sungai dan lain-lain
membuat dan mengoperasionalkan unit pengolah limbah peternakan (padat, cair, gas)
sesuai kapasitas produksi limbah yang dihasilkan. Pada peternakan rakyat dapat dilakukan
secara kolektif oleh kelompok.
BAB V
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Monitoring dan Evaluasi
Untuk mempertahankan kualitas bibit Kambing dan domba yang dihasilkan, perlu dilakukan
monitoring dan evaluasi sebagai berikut:
Monitoring dan evaluasi kualitas bibit dilakukan secara berkala dengan sampling acak
minimal sekali setahun.
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan pengumpulan data performan tubuh, performan
produksi, performan reproduksi dan kesehatan bibit Kambing dan domba.
Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh pejabat fungsional pengawas bibit ternak di dinas
yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan
kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk secara khusus oleh Kepala Dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat.
Pelaporan
Pejabat fungsional pengawas bibit ternak atau petugas yang ditunjuk pada dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota wajib membuat laporan
tertulis secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dan
laporan tahunan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan
kesehatan hewan kabupaten/kota.
Di samping laporan tersebut di atas, setiap pelaku usaha pembibitan Kambing dan domba
wajib membuat laporan teknis dan administratif secara berkala untuk kepentingan internal,
sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat diadakan perbaikan secepatnya.
BAB VI PENUTUP
Pedoman ini bersifat dinamis dan akan disesuaikan kembali apabila terjadi perubahan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai