Anda di halaman 1dari 20

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gunung Raung merupakan gunung berapi aktif yang berada dalam jajaran
Pegunungan Ijen. Gunung ini, masuk dalam daftar 19 gunung berapi yang dinyatakan
berstatus "Waspada" oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Raung
merupakan gunung bertipe stratovolcano, yang mempunyai kaldera di puncaknya
yang berbentuk lingkaran.

Kaldera Gunung Raung mempunyai dimensi luasan

sekitar 750 meter x 2,250 meter dan masih selalu mengeluarkan asap dan semburan
api. Gunung setinggi 3,332 meter ini, memunyai kawasan hutan dipterokarp bukit,
hutan dipterokarp atas, hutan montane, dan hutan ericaceous atau hutan gunung.
Raung, pernah menunjukkan keperkasaannya saat meletus pada tahun 1586 silam
yang menghilangkan nyawa ribuan warga setempat.Raung juga pernah lima kali
meletus secara beruntun sejak tahun 1586 hingga 1817.
Efek yang ditimbulkan saat gunung Raung meletus juga dirasakan sampai salah
satu desa di Jember bagian utara yaitu Rowosari. Desa Rowosari termasuk dalam
kecamatan Sumberjambe, dimana Kecamatan Sumberjambe adalah salah satu
Kecamatan di Kabupaten Jember yang secara geografis merupakan dataran tinggi
dengan ketinggian wilayah 446 mdpl sampai dengan 625 mdpl dan terletak 35 km
sebelah utara kota Jember terletak pada 08,06595 Lintang Selatan (LS) dan
113,89885 Bujur Timur (BT). Wilayah Kecamatan Sumberjambe berbatasan dengan
Kecamatan Pujer Kabupaten Bondowoso di bagian utara, Gunung Raung Kabupaten
Banyuwangi di bagian timur, Kecamatan Ledokombo di bagian selatan dan
Kecamatan Sukowono di sebelah barat. Luas wilayahnya meliputi 13.823,98 Ha yang
terdiri dari perkampungan 827,92 Ha ( 5,989 % ), sawah 2.009,5 Ha ( 14,536% ),
tegal 3.653,91 ( 26,43% ), perkebunan 1.032,67 Ha ( 7,470%) dan hutan 6.067,98 Ha
(43,894%).

Desa Rowosari berbatasan dengan kabupaten Bondowoso dan kaki

gunung raung. Desa Rowosari memiliki penduduk yang sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani, seperti halnya seperti daerah desa lain, hasil dari
pertanian tersebut kebanyakan adalah padi. Di desa Rowosari sendiri terdapat
beberapa dusun salah satunya yaitu dusun Lumbung. Dusun lumbung memiliki luas
wilayah 181.096,35 Ha dengan jumlah RW sebanyak 3 RW dan terdapat 7 RT. Dari
hasi sensus penduduk pada tahun 2012 dusun Lumbung memiliki jumlah penduduk
sebanyak pria sebanyak 671 orang dan wanita sebanyak 639 orang.
Dari data di atas diketahui bahwa dusun Lumbung berada di lereng gunung
Raung sehingga sangat berpotensi terkena dampak aliran lahar gunung Raung ketika
gunung tersebut meletus. Dengan jumlah penduduk yang dapat dikatakan banyak,
keadaan tersebut dapat mengakibatkan banyak bermunculannnya korban jiwa. Selain
itu, mengingat warga dusun Lumbung yang mayoritas mata pencahariannya adalah
dengan bertani, maka keadaan seperti itu akan menimbulkan banyak kerugian bagi
penduduk dusun Lumbung sendiri.
Berdasarkan data di atas maka mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember ingin memberikas suatu pelatihan kepada masyarakan Dusun
Lumbung Desa Rowosari Kecamatan Sumberjambe mengenai ketanggapan terhadap
bencana gunung meletus. Pelatihan ini dengan menggunakan pelatihan peta konjugasi
untuk jalur evakuasi pada bencana gunung meletus.

TINJAUAN KASUS
1. Pengertian
Gunung berapi atau gunung api secara umum adalah istilah yang dapat
didefenisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (bantuan dalam wujud cair
atau lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km dibawah permukaan bumi
sampai ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang
dikeluarkan pada saat meletus. Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi
gunung api yang paling dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang
busur Cincin Api Pasifik (Pasifik Ring of Fire). Busur Cincin Api Pasifik merupakan
garis bergeseknya antara dua lempengan tektonik (Wikipedia A, 2010)
Gunung berapi terdapat dalam beberapa bentuk sepanjang masa hidupnya.
Gunung berapi yang aktif mungkin berubah menjadi separuh aktif, istirahat, sebelum
akhirnya menjadi tidak aktif atau mati. Bagaimanapun gunung berapi mampu istirahat
dalam waktu 610 tahun sebelum berubah menjadi aktif kembali. Oleh itu, untuk
menentukan keadaan sebenarnya dari pada suatu gunung api itu, apakah gunung
berapi itu berada dalam keadaan istirahat atau telah mati (Wikipedia B, 2010)
Gunung berapi meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma
di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma
adalah cairan pijar yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat
tinggi, yakni diperkirakan lebih dari 1000 0C. Cairan magma yang keluar dari dalam
bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 700-1200 0C. Letusan
gunung berapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur sampai sejauh radius
18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh radius 90 km.
Tidak semua gunung merapi sering meletus. Gunung berapi yang sering meletus
disebut gunung berapi aktif (Wikipedia C, 2010)

2. Jenis-Jenis Gunung Berapi Berdasarkan Bentuknya


a.Gunung berapi kerucut atau gunung berapi strato (Stratovolcano)

Tersusun dari batuan hasil letusan dengan tipe letusan berubah ubah sehingga dapat
menghasilkan susunan yang berlapis lapis dari beberapa jenis batuan, sehingga
membentuk suatu kerucut besar (raksasa), kadang kadang bentuknya tidak
beraturan, karena letusan terjadi sudah beberapa ratus kali. Gunung Merapi
merupakan jenis ini.
b.Gunung berapi perisai (Shieldvolcano)
Tersusun dari batuan aliran lava yang pada saat diendapkan masih cair, sehingga
tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam), bentuknya akan
berlereng landai, dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Contoh
bentuk gunung berapi ini terdapat di kepulauan Hawai.
c. Cinder Cone
Merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan vulkanik menyebar di
sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk di
puncaknya. Jarang yang tingginya diatas 500 meter dari tanah di sekitarnya.
d. Kaldera
Gunung berapi jenis ini terbentuk dari ledakan yang sangat kuat yang melempar
ujung atas gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo merupakan jenis
ini.
2.1 Klasifikasi Gunung Berapi di Indonesia
a. Gunung Berapi Tipe A
Gunung berapi yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang kurangnya satu
kali sesudah tahun 1600.
b. Gunung Berapi Tipe B
Gunung berapi yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmetik,
namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara.
c. Gunung Berapi Tipe C
Gunung berapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih
terdapat tanda tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola
pada tingkat lemah.

3. Ciri-Ciri Gunung Meletus


Gunung berapi yang meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda, antara lain
a. Suhu di sekitar gunung naik.
b. Mata air menjadi kering.
c. Sering mengeluarkan suara gemuruh, kadang disertai getaran (gempa)
d. Tumbuhan di sekitar gunung layu
e. Binatang di sekitar gunung bermigrasi.
Apabila gunung berapi meletus, magma yang terkandung di dalam kamar magma di
bawah gunung berapi meletus keluar sebagai lahar atau lava, kehancuran oleh gunung
berapi disebabkan melalui berbagai cara seperti berikut : aliran lava,letusan gunung
berapi, aliran lumpur, abu, kebakaran hutan, gas beracun, gelombang tsunami, gempa
bumi.

4. Tingkat Isyarat Gunung Berapi


Status

Makna

Tindakan

Awas

1. Menandakan gunung 1. Wilayah

yang

berapi yang segera

terancam

atau sedang meletus

direkomendasikan

atau

untuk dikosongkan

ada

keadaan

kritis

yang 2. Koordinasi dilakukan

menimbulkan
bencana

secara harian
3. Piket Penuh

2. Letusan pembukaan
dimulai dengan abu
dan asap
3. Letusan

bahaya

berpeluang

terjadi dalam waktu

24 jam
Siaga

1. Menandakan gunung 1. Sosialisasi di wilayah


berapi yang sedang
bergerak

ke

terancam

arah 2. Penyiapan

letusan

atau

sarana

darurat

menimbulkan

3. Koordinasi harian

bencana

4. Piket penuh

2. Peningkatan intensif
kegiatan seismic
3. Semua

data

menunjukkan bahwa
aktifitas dapat segera
berlanjut ke letusan
atau

menuju

pada

keadaan yang dapat


menimbulkan
bencana
4. Jika tren peningkatan
berlanjut,

letusan

dapat terjadi dalam


waktu 2 minggu
Waspada

1. Ada aktivitas apa pun 1. Penyuluhan/ sosilisasi


bentuknya
2. Terdapat

2. Penilaian bahaya
kenaikan 3. Pengecekan sarana

aktivitas di atas level 4. Pelaksanaan


normal
3. Peningkatan aktivitas
seismik dan kejadian

terbatas

piket

vulkanis lainnya
4. Sedikit

perubahan

aktivitas

yang

diakibatkan

oleh

aktivitas

magma,

tektonik

dan

hidrotermal
Normal

1. Tidak
aktivitas

ada

gejala 1. Pengamatan rutin


tekanan 2. Survei

magma

dan

penyelidikan

2. Level aktivitas dasar

5. Etiologi
Letusan gunung berapi merupakan salah satu fenomena yang menjadi perhatian
utama di Indonesia, disebabkan bencana alam letusan gunung berapi menimbulkan
korban jiwa dan kerugian yang amat besar. Letusan gunung berapi dapat
menimbulkan gejala vulkanik seperti erupsi gunung berapi. Erupsi gunung berapi
membawa awan panas serta material vulkanik yang amat berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Luka bakar dan memburuknya kesehatan terutama pernafasan merupakan
dampak yang secara langsung dapat dirasakan manusia akibat erupsi gunung berapi
selain kerugian dari segi materil. Erupsi gunung berapi juga mengakibatkan
kerusakan kehidupan ekosistem disekitar wilayah gunung berapi. Hutan, udara,
sungai, sawah dan perkebunan penduduk menjadi tercemar akibat debu dan material
vulkanik yang muncul dari erupsi gunung berapi (Adiputro, 2002).
Letusan gunung berapi terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang
didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma merupakan cairan pijar
yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni

diperkirakan lebih dari 1.000 oC. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut
lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 700-1.200oC. (Pollard, 2007)
6. Epidemiologi
Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling
dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik
(Pacific Ring of Fire). Gunung berapi pada lokasi tersebut kebanyakan adalah gunung
berapi-gunung berapi aktif yang dapat membahayakan kehidupan umat manusia kirakira 500 juta orang tinggal di daerah yang beresiko di dekat 1.500 gunung berapi aktif
di seluruh dunia. Tanah subur dan puncak gunung berapi yang mengagumkan
menarik perhatian penduduk dan wisatawan, akibatnya jumlah orang yang terancam
resiko yang ditimbulkan gunung berapi yang berpotensi aktif terus meningkat
(Prager, 2006).
Indonesia memiliki gunung berapi-gunung berapi aktif yang lebih banyak dari
pada negara-negara lain, terdapat 129 gunung berapi aktif di Indonesia, di pulau
Sumatera terdapat 30 gunung berapi penyebaran gunung berapi di Indonesia
merentang sepanjang 700 km dari Aceh sampai ke Sulawesi Utara melalui Bukit
Barisan, Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku. Beberapa diantara gunung berapi
tersebut adalah gunung berapi yang pernah meletus dengan dahsyat, yang tak
terlupakan dalam sejarah peradapan manusia seperti Gunung Krakatau. (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Letusan Gunung Krakatau sekitar satu abad yang silam
menyebabkan sekitar 36 ribu orang yang berada di daerah sekitar Pulau Jawa dan
Pulau Sumatera meninggal dunia (Winardi, 2006).
Indonesia memiliki 139 gunung berapi dan tiga gunung berapi yang masuk dalam
status siaga yaitu: Gunung Soputan, Gunung Merapi, dan Gunung Sinabung. Gunung
Soputan di Sulawesi Utara meletus dan memuntahkan vulkanik setinggi 6 kilometer
pada tanggal 3 Juli 2011 lalu. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) mencatat awan panas yang membawa material dengan pijar vulkanik
setinggi 250 meter dari kawah. Erupsi terus terjadi dan susul menyusul ke arah utara
dan barat laut disertai kilat dan suara gemuruh.

7. Dampak
Debu vulkanik yang dikeluarkan oleh gunung meletus mengandung banyak unsur
gas kimia, seperti: Hidrogen Sulfida (H2S), Karbon Monoksida (CO), Nitrogen
Dioksida (NO2), gas Amoniak (NH3), dan Sulfur Dioksida (SO2). Unsur-unsur
tersebut sangat tidak bersahabat dengan tubuh manusia pada umumnya. Selain itu
debu vulkanik juga mengandung unsur gas kimia yang paling berbahaya yaitu SiO2
yang berupa mikrostruktur yang dapat membahayakan mata dan paru-paru. Sehingga
dengan adanya letusan gunung berapi tersebut dapat menimbulkan tingginya angka
kejadian penyakit ISPA. Selain itu, dampak yang sangat kentara dari letusan gunung
berapi adalah banyak bermunculannya korban jiwa baik itu akibat langsung maupun
akibat jangka panjang letusan gunung berapi tersebut.
Selain memiliki beberapa dampak negatif, letusan gunung berapi ini juga
memiliki dampak yang positif bagi masyarakat. Letusan gunung berapi dapat
membuat tanah disekitar daerah letusan menjadi gembur karena letusannya
mengandung unsur N,P,S. Hal ini nantinya juga akan bermanfaat bagi warga sekitar
untuk perbaikan status ekonomi guna menunjang kehidupannya.
8. Pencegahan
Terjadinya bencana gunung meletus memang tidak dapat dihindari karena
kehendak Tuhan. Namun dapat dilakukan tindakan untuk mengantisipasi terjadinya
gunung meletus, sehingga dapat diketahui sejak dini saat gunung akan
meletus.Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana gunung
meletus antara lain:
1. Mengenali tanda-tanda bencana, karakter gunung dan ancaman-ancamannya
2. Membuat peta ancaman, mengenali daerah ancaman, daerah aman
3. Membuat sistem peringatan dini
4. Mengembangkan Radio komunitas untuk penyebarluasan informasi status
gunung api

5. Mencermati dan memahami Peta Kawasan Rawan gunung api yang


diterbitkan oleh instansi berwenang
6. Membuat perencanaan penanganan bencana mempersiapkan jalur dan tempat
pengungsian yang sudah siap dengan bahan kebutuhan dasar (air, jamban,
makanan, pertolongan pertama) jika diperlukan
7. Mempersiapkan kebutuhan dasar dan dokumen penting
8. Memantau informasi yang diberikan oleh Pos Pengamatan gunung api
(dikoordinasi oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).
Pos pengamatan gunung api biasanya mengkomunikasikan perkembangan
status gunung api lewat radio komunikasi
9. Tatalaksana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana gunung berapi dalam situasi terdapat
potensi terjadi bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana.
Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam
menghadapi kejadian bencana.

Peringatan dini dilakukan untuk pengambilan

tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi resiko terkena bencana serta
mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
Hal yang dapat dilakukan dalam menangani letusan gunung berapi adalah dengan
kegiatan penyelamatan atau evakuasi korban bencana, yakni dengan penyediaan dan
pengoperasian peralatan yang diperlukan untuk mendukung dan memberikan akses
bagi pelaksanaan kegiatan pencarian dan penyalamatan atau evakuasi korban bencana
beserta harta bendanya di lokasi dan keluar dari lokasi bencana. Selain itu kegiatan
tanggap darurat lainnya yang dapat dilakukan adalah memulihkan kondisi dan fungsi
sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana yang bersifat darurat atau sementara
namun harus mampu meencapai tingkat pelayanan minimal yang dibutuhkan dan
menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi perawatan dan penampungan
sementara para korban bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi resiko bencana
bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana gunung berapi.

BAB 3
INTERVENSI YANG DISARANKAN

3.1 Picot Frame Work

3.2 Sumber Literatur


Kami mendapatkan literatur dari web yang berjudul Pengembangan Peta
Rencana Kontijensi Bencana Gunung Api dangan Studi Kasus: Gunung Api Lokon
oleh penulis jurnal M. Abdul Basyid. Seain itu terdapat jurnal dan artikel pendukung
lain yang berjudul Menuju Kota Tnggap Bencana (Penataan Lingkungan Pemukiman
untuk Mengurangi Resiko Bencana) yang di tulis oleh Sukawi pada Seminar Nasional
Eco Urban Desain, 23 Oktober 2008. Penanggulangan Bencana Gunung Merapi
Berdasarkan Sistem Penanggulangan Bencana Nasional (The Management Of
Merapi Volcano Disaster Based On The National Disaster Management System) oleh
Suwardi anggota Pengarah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jurnal Dialog
Penanggulangan Bencana yang dibina oleh kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. Dampak Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana terhadap Kesiapsiagaan
Komunitas Sekolah (Studi Kasus di Calang, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya) yang di
tulis oleh Khairuddin, Ngadimin, Sri Adelila Sari, Melvina, Tati Fauziah. Tanggap
Darurat Bencana (Studi Kasus: Tanggap Darurat Bencana Gunung Api Merapi
Kabupaten Sleman Tahun 2010) oleh Fitra Haris. Pedoman Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana: Prasarana Sarana Ke-PU-an Kementerian Pekerjaan
Umum oleh Kementrian pekerjaan Umum.
Literature didapat dengan cara melakukan searching di internet menggunakan
kata kunci Pelatihan Penanganan Gunung Meletus. Dari beberapa kata kunci tersebut
kemudian dilakukan akses ke beberapa situs terkait sehingga diperoleh beberapa
penelitian terkait penggunaan terapi tersebut.

Beberapa alamat dari literature yang kami temukan adalah sebagai berikut :
a. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=57332&val=4285&title=
Pengembangan%20Peta%20Rencana%20Kontijensi%20Bencana%20Gunung
%20Api
b. http://eprints.undip.ac.id/32379/1/Menuju_Kota_Tanggap_Bencana__Sukawi.pdf
c. http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/1_Artikel_sarwidi.pdf.dppm.uii.ac.id
.pdf
d. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20%20Siti%20Irene%2
0Astuti%20D,%20M.Si./JURNAL%20DIALOG%20PENANGGULANGAN
%20BENCANA%20VOL%201%20NO%201%20THN%202010.pdf
e. http://114.134.65.70/uploads/pubs/480.pdf
f. http://www.tdmrc.org/id/wp-content/uploads/2011/04/58-65_dampakpelatiahn.pdf
g. http://pustaka.pu.go.id/uploads/resensi/pedoman_penyelenggaraan_penanggul
angan_bencana.pdf.
Literature yang diperoleh merupakan hasil penelitian terkini (5 tahun terakhir) dan
beberapa penelitian juga membahas terkait penanganan letusan gunung dengan cara
penanganan lain. Sehingga dapat dibuat perbandingan tingkat keefektifan penanganan
peta rencana kontijensi bencana gunung api.

3.3 Teori dan Konsep Intervensi


3.3.1 Definisi
Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana Gunung Api ini
merupakan salah satu intervensi dalam upaya mengantisipasi terjadinya
kemungkinan ancaman letusan gunung dan dalam rangka peningkatan
kesiapsiagaan daerah. Penyusunan rencana kontijensi dibuat pada tahapan
prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi terjadinya suatu

bencana. Rencana kontijensi dibuat untuk memastikan apakah pemerintah daerah


maupun masyarakat siap dalam menghadapi potensi terjadinya suatu kondisi
darurat (bencana). Apabila bencana terjadi, maka Rencana Kontinjensi dapat
dijadikan Rencana Operasi Tanggap Darurat (Emergency Operation Plan)
setelah terlebih dahulu melalui kaji cepat (rapid assessment). Sehingga jika kita
akan menerapkan intervensi Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana
Gunung Api harus melakukan kajian pustaka terlebih dahulu terkait daerah yang
akan diintervensi untuk mengetahui efektivitas pengembangan peta rencana.
3.3.2 Mekanisme
Intervensi dengan menerapkan peta rencana kontijensi bertujuan untuk
mengembangkan peta-peta untuk keperluan rencana kontijensi bencana gunung
berapi. Banyak tindakan yang harus dilakukan terlebih dahulu agar dapat
menerapkan Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana Gunung Api.
Seperti diantaranya harus mengkaji data dan mempersiapkan peralatan serta
kemudian pelaksanaan pembuatan topologi.
Data yang digunakan dalam pengembangan peta rencana kontijensi
bencana gunung berapi ini terdiri atas data spasial dan data nonspasial. Aspek
spasial dalam suatu rencana kontijensi sangat penting sehingga perlu dikaji
terlebih dahulu peta apa saja yang diperlukan dalam proses melakukan
pengambilan keputusan berbasis spasial. Data spasial terdiri atas peta RBI, citra
satelit Landsat, peta tematik, dan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung
api yang dimaksud. Adapun data nonspasial meliputi data kepadatan penduduk
serta data sosial ekonomi. Peralatan yang digunakan meliputi perangkat keras
komputer dan perangkat lunak pengolah citra dan sistem informasi geografis
(SIG). Pada pelaksanaan pembuatan peta kontijensi perlu dilakukan persiapan
terlebih dahulu seperti mengidentifikasi wilayah yang rawan dan mulai
menjalankan pengelolaan citra satelit.
3.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi
3.3.3.1 Indikasi

Menurut hasil penelitian dari jurnal indikasi pengembangan peta


rencana kontijensi Bencana gunung meletus digunakan pada tahapan
prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi terjadinya
suatu bencana. Pengembangan peta rencana kontijensi dibuat untuk
memastikan apakah pemerintah daerah maupun masyarakat siap dalam
menghadapi potensi terjadinya suatu kondisi darurat (bencana). Apabila
bencana terjadi, maka Rencana Kontinjensi dapat dijadikan Rencana
Operasi Tanggap Darurat (Emergency Operation Plan) setelah terlebih
dahulu melalui kaji cepat (rapid assessment).
3.3.3.2 Kontraindikasi
Pengembangan peta rencana kontijensi Bencana gunung meletus
tidak dapat digunakan pada bencana yang sudah terjadi tanpa dilakukan
kaji cepat (rapid assessment) terlebih dahulu karena peta rencana kontijensi
ini digunakan untuk memastikan masyarakat siap dalam menghadapi suatu
bencana.
3.3.4 Efek Samping
Penyusunan rencana kontijensi merupakan salah satu rencana yang dibuat
pada tahapan prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi
terjadinya suatu bencana. Perencanaan pada hakikatnya adalah alat yang
digunakan untuk memastikan masa depan yang lebih baik. Dalam konteks resiko
bencana, masa depan yang lebih baik dicirikan dengan kesiapan untuk
menghadapi bencana, kemampuan untuk meminimalisir dampak bencana, dan
kemampuan untuk pulih dengan baik, baik itu bagi entitas sosial atau sebuah
sistem. Salah satu instrument perencanaan untuk memastikan masa depan yang
lebih baik dalam menghadapi berbagai resiko bencana adalah apa yang disebut
dengan perencanaan kontijensi. Rencana kontijensi dibuat untuk memastikan
apakah pemerintah daerah maupun masyarakat siap dalam menghadapi potensi
terjadinya suatu kondisi darurat (bencana). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penyusunan rencana kontijensi ini tidak memiliki efek samping apapun.

3.3.5 Efektivitas dan Keamanan Penggunaan


Pada analisis jurnal Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana
Gunung Api didapatkan pengkajian bahwa Indonesia terletak pada tingkat risiko
ekstrem. Risiko ini diukur dengan menganalisis dampak bencana terhadap
manusia yaitu jumlah kematian setiap bencana selama 30 tahun terakhir. Petapeta rencana kontijensi yang dihasilkan terdiri atas peta kerentanan fisik dan
ekonomi, peta kerentanan sosial, peta kawasan rawan bencana, serta peta
kawasan risiko bencana.Keefektifan pengembangan peta rencana kontijensi yaitu
dapat memberikan informasi untuk kesiapan menghadapi bencana dan
memprediksi dampak dari bencana gunung meletus.
Pengembangan peta rencana kontijensi ini dapat dikembangkan di
Indonesia. Saat ini di Indonesia terdapat 129 gunung berapi yang masih aktif dan
500 tidak aktif. Gunung berapi aktif yang ada di Indonesia merupakan 13 persen
dari seluruh gunung berapi aktif di dunia, di mana 70 gunung di antaranya
merupakan gunung berapi aktif yang rawan meletus dan 15 gunung berapi kritis.
Bahaya letusan langsung berupa muntahan dan jatuhan material-material atau gas
beracun. Dalam musim penghujan gunung berapi dapat menimbulkan bahaya
tidak langsung berupa aliran lahar atau perpindahan material vulkanik yang
membahayakan. Pengembangan peta rencana Kontijensi ini dapat dikembangkan
di daerah rawan bencana di Indonesia untuk merencanakan, memprediksi, dan
melakukan kegiatan penganggulangan bencana gunungapi. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi atau menanggulangi banyaknya korban akibat bencana
gunung meletus.
3.4 Implikasi dan Rekomendasi Intervensi
Penggunaan Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana Gunung Api
ini merupakan salah satu intervensi dalam upaya mengantisipasi terjadinya
kemungkinan ancaman gunung meletus dan dalam rangka peningkatan
kesiapsiagaan daerah. Dalam penggunaannya Penyusunan rencana kontijensi
dibuat pada tahapan prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi

terjadinya suatu bencana. Rencana kontijensi dibuat untuk memastikan apakah


pemerintah daerah maupun masyarakat siap dalam menghadapi potensi
terjadinya suatu kondisi darurat (bencana).
Perawat

yang

melakukan

intervensi

gunung

meletus

tetap

harus

memperhatikan factor psikologis agar selama evakuasi pasien merasa tenang.


Berikut intervensi-intervensi tambahan bagi masyarakat yang terkena dampak
gunung meletus :
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintah, organisasi lingkungan,
palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman
bencana kepada masyarakat.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal-hal
berikut.
a) Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
b) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota
keluarga yang lain.
c) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa
persediaan makanan dan penggunaan air yang aman.
d) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon
darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan ambulans.
e) Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau poskoposko bencana.
f) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa seperti
pakaian seperlunya, radio portable, senter beserta baterainya dan lainnya.
g) Bersama tim dokter, menyiapkan kebutuhan rumah sakit lapangan dan tim
ambulans

h) Berdiskusi bersama tim dokter tentang penyakit yang timbul akibat


bencana sehingga dapat mempersiapkan obat-obatan/alat kesehatan yang
sesuai.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana Gunung Api ini merupakan
salah satu intervensi dalam upaya mengantisipasi terjadinya kemungkinan ancaman
letusan gunung dan dalam rangka peningkatan kesiapsiagaan daerah. Rencana
kontijensi dibuat untuk memastikan apakah pemerintah daerah maupun masyarakat
siap dalam menghadapi potensi terjadinya suatu kondisi darurat (bencana). Apabila
bencana terjadi, maka Rencana Kontinjensi dapat dijadikan Rencana Operasi
Tanggap Darurat (Emergency Operation Plan) setelah terlebih dahulu melalui kaji
cepat (rapid assessment). Adapun Rencana kontijensi dibuat untuk memastikan
apakah pemerintah daerah maupun masyarakat siap dalam menghadapi potensi
terjadinya suatu kondisi darurat (bencana). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penyusunan rencana kontijensi ini tidak memiliki efek samping apapun. Selain Itu
perlu juga agar diberikan pendidikan kesehatan sehingga pada saat kejadian bencana
masyarakat dapat melakukan pertolongan pertama dalam melakukan dan juga upaya
penyelamatan diri
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan Pengembangan Peta Rencana Kontijensi Bencana Gunung Api
sebagai seorang perawat harus memperhatikan dan juga mampu melakukan
koordiansi dengan pemerintahan dan juga masyarakat. Selain itu perawat sebagai
educator

dalam memberikan pengarahan

dalam promosi

kesehatan

untuk

meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana Serta simulasi


persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.

Dafpus:
Kementerian Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana: Prasarana Sarana Ke-PU-an Kementerian Pekerjaan Umum. Dari:
http://pustaka.pu.go.id/uploads/resensi/pedoman_penyelenggaraan_penanggul
angan_bencana.pdf. [diakses pada tanggal 8 November 2014].
Sarwidi. 2013. Penanggulangan Bencana Gunung Merapi Berdasarkan Sistem
Penanggulangan Bencana Nasional (The Management of Merapi Volcano
Disaster

Based

on

System).

Dari:

http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/1_Artikel_sarwidi.pdf.dppm.uii.ac.id
.pdf. [diakses pada tanggal 8 November 2014].
Adiputro, B.A. 2002. Arahan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia. Jakarta :
Bakornas Pbp
Pollard, J. 2007. Gunung Berapi. Bali: Yayasan IDEP
Ellen J. Prager. 2006 .Sains dan sifat gempa bumi, gunung berapi dan Tsunami.
Bandung: Pakaraya
Winardi, A. dkk. 2006. Gempa Jogja, Indonesia dan Dunia. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24459/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai