BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan Etika dalam Ekonomi
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan ekonomi
berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten
Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.
Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang
penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke
rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan issa-asetnya daripada
mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan
pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf
itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak
sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus
itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua
dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta
pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan
sebelumnya, bagaimana perusahaan
bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya
etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui,
kepentingan utama ekonomi adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders.
Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan
hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian
rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam ekonomi . Namun,
belakangan beberapa akademisi dan praktisi ekonomi melihat adanya hubungan sinergis antara
etika dan laba. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral
Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang
menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka
panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006)
dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh
integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya
kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal
berbeda. Memang beretika dalam ekonomi tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu,
para pengusaha dan praktisi ekonomi harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran
masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan
konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai
perusahaan di Indonesia. Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance
Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak
profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Praktik Ekonomi Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik ekonomi yang dijalankan selama ini masih
cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak
terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat
yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan
meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja,
sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik
dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis
moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu
memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok.
Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi
para pelaku ekonomi/bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika ekonomi, terutama
bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini
masih cenderung pada sisi emosional saja dan terkadang mengkesampingkan konteks ekonomi
itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha
perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak
mengenal sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu
dapat berubah. Baswir (2004)
berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu
relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih
belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk
menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para
pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan
wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi.
Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan
di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahamimasalah
etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah
hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara
perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan
perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai issal, sama sekali tidak
dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena
masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum.
Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan
pelanggaran hak asasi manusia.
BAB II
EKONOMI DENGAN ETIKA
Epistemologi Etika Ekonomi
dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari
(inevitable normativeelements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan
tidak hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya.
Elemen-elemen normatif ini, atau keharusan (oughtness), konflik dengan aspek-aspek
perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan
sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian,
pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka
menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas
mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas
nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan
masyarakat.
Etika Ekonomi: Suatu Kerangka Global
Masalah etika dalam ekonomi dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap
(Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masingmasing dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau
meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam
melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan
membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang
atau barang, maupun pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak
mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan
sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap,
tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan
menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit
kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
SI
L
A
Sumitro
Djojohadikusumo
Mengenal
Etika &
Moral
Agama
Berupaya
senantiasa dekat
dengan Tuhan
dengan ibadah
Roda
perekonomi
an
digerakkan
rangsangan
ekonomi,
sosial, &
moral
II
Titik berat
pada
nuansa
manusiawi
dalam
menggalan
g hub.
Ekonomi
dlm
perkemb.
masyarakat
Ada
kehendak
kuat dari
masyarakat
untuk
mewujudka
n
pemerataa
n sosial
(egalitarian
)
Berupaya
mengurangi &
memberantas
kemiskinan dlm
penataan ekonomi
masyarakat
III
Membuka
kesempata
n ekonomi
secara adil
bagi semua
Nasionalis
me
menjiwai
setiap
kebijakan
ekonomi
Pola kebijakan
ekonomi & cara
penyelenggaraanny
a tdk menimbulkan
kekuatan yg
menggangu
persatuan bangsa
IV
Bermuara
pada
pelaksanaa
n
Koperasi
merupakan
sokoguru
perekonomi
demokrasi
ekonomi &
politik
an &
bentuk
konkret
usaha
bersama
Memberi
warna
egalitarian
& social
equity dlm
proses
pembangu
nan
Imbangan
yg tegas
antara
perencanaa
n di tingkat
nasional &
desentralis
asi
Pola pembagian
hasil produksi lebih
merata antar
golongan, daerah,
kota-desa.
protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam
yang sangat berharga.
Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam
sebuah ekonomi. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup
makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan
lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa.
Beberapa kondisi yang diperlukan market system
untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b)
Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan
informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem
dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi
keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara
makro.
Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan
memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan
ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau
trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,
perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan
berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu
menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga
dengan baik.
Standar moral merupakan tolok ukur etika ekonomi. Dimensi etik merupakan dasar
kajian dalam pengambilan keputusan. Etika ekonomi cenderung berfokus pada etika terapan
daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam
pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi
(Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi
pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi
(dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle
of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan
sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat,
antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang
berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b)
Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,
dan kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu
keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok
sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan,
pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan
kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution
(gantirugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi
negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain;
dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak
yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang
penebus kerugian.
Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya
kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan
kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara
rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu
mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang,
selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct)
yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam ekonomi sudah tentu harus
disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya.
dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berekonomi perlu pembicaraan yang transparan
antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan
hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang
mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait
yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh
kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas
untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu
pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu
aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah
dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan
tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara
pelaku ekonomi besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk
itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia
ekonomi tersebut.
5. Menerapkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu
memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.
Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan
keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan
dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk
memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi
apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam
dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan
nama bangsa dan negara.
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan
Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut,
seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang
itu akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa
mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan
santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling
menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap
menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi.
Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan
kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong
pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis
itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai,
meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan
berbisnis dengan etika ekonomi adalah menerapkan aturan-aturan umum
mengenai etika pada perilaku ekonomi. Etika ekonomi menyangkut moral, kontak sosial, hakhak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika
mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan
ekonomi yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha
maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah
bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan
cara peka dan toleransi.
BAB III
PE N UTU P
1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan kebaikan (rightness) atau
moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai
aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik
(good atau buruk (bad). Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu
berubah.
2. Etika ekonomi adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan
segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan ekonomi yang etik.
3. Paradigma etika dan ekonomi adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi
paradigma etika terkait dengan ekonomi atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di
era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika ekonomi
merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting
diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond. 2006. Etika Ekonomi. Dalam Kompas Senin, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Buchholtz, R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River,
N.J.: Prentice Hall.
Dalimunthe, Rita F. 2004. Etika Ekonomi. Dalam Website Google: Etika Ekonomi
danPengembangan Iptek.
DeGeorge, R. 2005. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th ed.
Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT
Gramedia, Jakarta.
Sayangnya biaya sosial dari perubahan jarang dibayar oleh para promotor inovasi. Biaya
tersebut berupa hilangnya pekerjaan, perubahan dalam masyarakat, perekonomian, dan
lingkungan. Biaya-biaya ini tak mudah diukur. Tantangan sosial yang paling mendasar berasal
dari masyarakat yang berdiri di luar proses. Dampak teknologi baru bukan mustahil tak
dapat diprediksi. Kewaspadaan dan keterbukaan yang berkesinambungan merupakan
tindakan yang penting dalam usaha perusahaan memenuhi kewajibannya.
Dampak inovasi dan perubahan terhadap tenaga kerja menimbulkan banyak masalah
dibanding aspek pembangunan lainnya. Banyak pegawai menganggap inovasi mengecilkan
kemampuan mereka. Hal ini mengubah kondisi pekerjaan serta sangat mengurangi kepuasan
kerja. Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan lapangan
kerja dan menciptakan tenaga kerja yang mampu bekerja dalam masa perubahan. Termasuk
di dalamnya adalah mendukung, melatih, dan mengadakan sumber daya untuk menjamin
orang-orang yang belum bekerja memiliki keahlian dan dapat bersaing untuk menghadapi
dan mempercepat perubahan.
PASAR DAN PEMASARAN
Monopoli adalah contoh yang paling ekstrem dari distorsi dalam pasar. Ada banyak alasan
untuk melakukan konsentrasi industri, misal, meningkatkan kemampuan berkompetisi,
memudahkan permodalan, hingga semboyan yang terkuat adalah yang menang.
Penyalahgunaan kekuatan pasar melalui monopoli merupakan perhatian klasik terhadap
bagaimana pasar dan pemasaran dilaksanakan. Kecenderungan untuk berkonsentrasi dan
kekuatan nyata dari perusahaan raksasa harus dilihat secara hati-hati.
Banyak kritik diajukan pada aspek pemasaran, misal, penyalahgunaan kekuatan pembeli,
promosi barang yang berbahaya, menyatakan nilai yang masih diragukan, atau
penyalahgunaan spesifik lain, seperti iklan yang berdampak buruk bagi anak-anak.
Diperlukan kelompok penekan untuk mengkritik tingkah laku perusahaan. Negara pun dapat
menentukan persyaratan dan standar.
PENGURUS DAN GAJI DIREKSI
Unsur kepengurusan adalah bagian penting dari agenda kebijaksanaan perusahaan karena
merupakan kewajiban yang nyata dalam bertanggungjawab terhadap barang dan dana orang
lain. Perusahaan wajib melaksanakan pengurusan manajemen dengan tekun atas semua harta
yang dipertanggungjawabkan pada pemberi tugas. Tugas terutama berada pada pundak
direksi yang diharapkan bertindak loyal, dapat dipercaya, serta ahli dalam menjalankan
tugasnya. Mereka tidak boleh menyalahgunakan posisinya. Mereka bertanggung jawab pada
perusahaan juga undang-undang. Dalam hal ini auditing memegang peranan penting dalam
mempertahankan stabilitas antara kebutuhan manajer untuk menjalankan tugasnya dan hak
pemegang saham untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para manajer. Perdebatan
mengenai gaji direksi terjadi karena adanya ketidakadilan dalam proses penentuannya,
ruang gerak yang dimungkinkan bagi direksi, kurang jelasnya hubungan antara kinerja
organisasi dan penggajian, paket-paket tambahan tersembunyi dan kelemahan dalam
pengawasan. Tampaknya gaji para direksi meningkat, sementara tingkat pertumbuhan
pendapatan rata-rata cenderung menurun, dan nilai saham berfluktuasi. Hal ini menimbulkan
kritik dan kesadaran untuk menyoroti kenaikan gaji para eksekutif senior. Informasi dan
pembatasan eksternal merupakan unsur penting dalam upaya menyelesaikan penyalahgunaan
yang terjadi.
TANTANGAN MULTINASIONAL
Sering terjadi, perusahaan internasional mengambil tindakan yang tak dapat diterima
secara lokal. Banyak pertanyaan mendasar bagi perusahaan multinasional, seperti
kemungkinan masuknya nilai moral budaya ke budaya masyarakat lain, atau kemungkinan
perusahaan mengkesploitasi lubang-lubang perundang-undangan dalam sebuah negara demi
kepentingan mereka. Dalam prakteknya, perusahaan internasional mempengaruhi
perkembangan ekonomi sosial masyarakat suatu negara. Mereka dapat mensukseskan
aspirasi negara atau justru malah membuat frustasi dengan menghambat tujuan nasional.
Hal ini meningkatkan kewajiban bagi perorangan maupun industri untuk melaksanakan aturan
kode etik secara internal maupun eksternal.
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi
kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan
diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku.
Dalam etika bisnis, terdapat tiga jenis masalah yang dapat dihadapi antara lain :
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang
muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum dan sistem sosial lainnya dimana
bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang
dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan
tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktek dan struktur organisasional perusahaan
individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar
individu tertentu dalam perusahaan. masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas
keputusan, tindakan dan karakter individual.
Contoh kasus etika bisnis :
Tugas softskill pelanggaran etika bisnis yang terjadi pada era globalisasi
Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan
salah.studi ini berkonsentrasi pada standart moral sebagaimana telah diterapkan dalam
kebijakan,institusi, dan perilaku bisnis.etika bisnis juga merupakan standart formal yang
diterapkan kedalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk
memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang
ada dalam organisasi.
globalisasi
Globalisasi adalah nama dari revolusi dunia yang hampir menyentuh seluruh sendi
kehidupan manusia, bahkan menyentuh relung hati yang paling dalam. Dari sisi ekonomi,
globalisasi ditandai dengan adanya kapatilisme pasar bebas. Mahkluk inilah yang menjadi
tulang punggung globalisasi. Prinsipnya, semakin kita membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan
semakin kita membuka perekonomian bagi perdagangan bebas dan kom-petisi, perekonomian
anda akan semakin efisien dan berkembang pesat.
pelanggaran etika bisnis di era globalisasi ini merupakan hal yang wajar dan biasa saja.
Besarnya perusahaan dan pangsa pasar, tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaranpelanggaran etika berbisnis sekalipun telah diawsai dengan ketatnya per-aturan. Banyak
pelanggaran etika bisnis yang dilakukan oleh para pembisnis yang tidak bertanggung jawab. Hal
ini membuktikan terjadinya persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan untuk menguasai
pangsa pasar dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi kemajuan perusahaan tanpa
memperdulikan etika berbisnis. Menghalalkan segala cara adalah salah satu cara untuk
menguasai pangsa pasar dan mencari keuntungan yang besar. Dengan demikian, untuk
mewujudkan bisnis yang menguntungkan dan sehat, maka etika dan norma bisnis harus
dijalankan tanpa harus menghalalkan segla cara bahkan mengorbanak lawan bisnis.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. antara lain
adalah :
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab social ( social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan infomasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Mampu menyatakan yang benar itu benar
6. Menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan
7. Menghindari sifat 5K (kolusi, kongkalikong, katabelece, koneksi, komisi)
8. Menumbuh kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. menumbuhkan sikap saling percaya antara pengusaha 1 dan golongan pengusaha lainnya
11. perlu adanya sebagian etika bisnis yang di \tuangkan dalam suatu hukum positif yang berupa
peraturan perundang-undagan
Contoh Pelanggaran Etika Bisnis
1. Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Jombang membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak
pengembang
memberikan
spesifikasi
bangunan
kepada
kontraktor.
Namun
dalam
karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan kepada nasabah itu dengan
cara yang bijak dan tepat.
4. Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan ABC menyelenggarakan pendidikan setingkat SMP. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 750.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar, sehingga
setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak ada informasi
maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid. Setelah didesak oleh
banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk
pembelian seragam guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan
melanggar prinsip transparansi.
Suatu kenyataan skarang ini yang kita hadapi dalam masyarakat adalah tentang prilaku
menyimpang dari ajaran agama, moral, dan merosotnya etika bisnis. Tumbuh gejala kurangnya
rasa solidaritas, tanggungjawab sosial, tingkat kejujuran, saling curiga, dan sulit percaya kepada
seorang pengusaha jika berhubungan untuk pertama kali. Kepercayaan baru terbentuk jika sudah
terjadi transaksi beberapa kali. Namun ada saja yang mencari peluang untuk menipu, setelah
terjadi hubungan dagang yang mulus dan lancar beberapa kali, dan pembayaran lancar kalau
sudah saling percaya. Tapi akhirnya yang astu menipu yang lainnya, memanfaatkan kepercayaan
yang baru terbentuk.
Gejala persaingan yang tidak sehat, menggunakan cek mundur dan cek kosong, utang
menunggak tidak dibayar, penyogokan, saling mematikan di antara pesaing dengan cara
membuat isu negatif terhadap lawan, dan komersialisasi birokrasi tampaknya merupakan hal
biasa. Hal yang kurang etis sering pula dilakukan dalam hal memotong relasi saingan. Apabila
seseorang mempunyai langganan setia, kemudian oleh lawannya disaingi dengan menawarkan
barang dengan harga yang lebih murah, malah kadang-kadang harga rugi. Ini akan berakibat
mematikan saingan dan merugikan diri sendiri dan sama sekali tidak etis.
Berbisnis Dengan Etika Bisnis
Pelaksanaan etika bisnis di masyarakat sangat didambakan oleh semua orang. Namun banyak
pula orang yang tidak ingin melaksanakan etika ini secara murni. Mereka masih berusaha
melanggar perjanjian, manipulasi dalam segala tindakan. Meraka kurang memahami etika bisnis,
atau mungkin saja mereka paham, tetapi memang tidak mau melaksnakan. Etika bisnis sangat
dibutuhkan dalam dunia bisnis, karena hal ini akan mendukung terjadinya persaingan secara
sehat di antara para pengusaha. Begitu pen-tingnya etika bisnis maka ada tiga sasaran dan ruang
lingkup pokok etika bisnis, yaitu sebagai berikut:
Etika bisnis sebagai etika profesi membahas sebagai prinsip, kondisi, dan masalah yang
terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran ini lebih ditujukan kepada para manajer
dan pelaku bisnis, dan sering lebih berbicara mengenai bagaimana perilaku bisnis itu yang baik
dan etis, maka dalam lingkupnya yang pertama ini sering kali etika bisnis disebut etika
manajemen.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam
perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas
aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai
keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu
tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan,
tindakan dan karakter individual.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan
sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.
1)
2)
3)
4)
5)
Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas
bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran.
Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam
penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam
hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan
yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan
sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau
perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya
maupun perusahaannya.
Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban
diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai
perilaku moral yang nyata? Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini .
Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat,
organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu
dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan
mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka
adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama yang dilakukan manusia.
Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal berpikir
bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti standar
moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama
seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta mentaati peraturan formal yang tidak
ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi
bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik
organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral.
Sumber Referensi
http://reza-ajie.mhs.narotama.ac.id/2012/10/08/tugas-etika-bisnis-makalah-pelanggaran-etikabisnis/
http://n2cs.wordpress.com/2012/11/03/etika-bisnis/
http://handy10208564.blogspot.com/2012/12/etika-bisnis-dan-korupsi.html
http://okaardhi.wordpress.com/category/etika-bisnis/
http://citraanggreini.blogspot.com/2011/11/etika-bisnis.html
http://hizkiayufioctaviani.blogspot.com/2013/10/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis_15.html