PATOFISIOLOGI NYERI NEUROPATIK - Dr. Darwin Solo-1 PDF
PATOFISIOLOGI NYERI NEUROPATIK - Dr. Darwin Solo-1 PDF
Abstrak
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang diawali atau disebabkan lesi primer atau disfungsi
atau gangguan yang menetap pada sistem saraf perifer ataupun saraf sentral.
Diantara bentuk nyeri yang bersifat menetap, maka nyeri neuropatik digambarkan
sebagai keluhan yang paling sulit baik bagi peneliti maupun klinisi. Banyak kemajuan
akhir akhir ini dalam perkembangan neurosains dan tekhnologi moderen, namun karena
mekanisme yang mendasarinya sulit dipahami, pengobatan yang efektif berdasarkan
mekanisme tetap masih sulit. Nyeri neuropatik tidak dapat sembuh sendiri (self limited).
Pengetahuan yang sedang berkembang umumnya berasal dari percobaan binatang yang
menggunakan cedera saraf traumatik untuk mempelajari nyeri neuropatik. Beberapa
penyebab merupakan etiologi, meliputi agent infeksi, penyakit metabolik, penyakit
neurodegenerative dan trauma fisik.
Patofisiologi sindroma nyeri neuropatik sangat kompleks, sementara berbagai teori yang
mampu menerangkan terjadinya nyeri neuropatik dan penelitian masih terus berkembang
sampai saat ini.
Pendapat terkini mengemukakan bahwa terjadinya nyeri neuropatik dibedakan atas
mekanisme perifer dan mekanisme sentral. Pada mekanisme perifer yang terjadi adalah
sensitisasi neuron perifer, sprouting kolateral serabut tipe A, meningkatnya aktifitas
sprouting dan kerusakan akson, dan perubahan ekspresi saluran ion. Sedangkan pada
mekanisme sentral terjadi sensitisasi sentral, reorganisasi koneksi sinaptik spinal dan
kortikal serta disinhibisi atau perubahan jaras inhibisi.
Klasifikasi yang sesuai untuk nyeri neuropatik didasarkan pada struktur anatomi, yakni
menurut tempat terjadinya proses patologi, dengan sub-klasifikasi berdasarkan etiologi.
Namun untuk kepentingan klinis praktis klasifikasi berdasarkan mekanisme sangat
membantu pemahaman yang lebih dalam tentang nyeri neuropatik.
avulsi
radiks,
painful
traumatic
mononeuropathy,
painful
polyneuropathy, sindroma nyeri sentral, sindroma nyeri pasca operasi dan sindroma
nyeri regional kompleks (John Scadding. 2005)
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan patofisiologi nyeri neuropatik.
Pada CCI berupa ligasi longgar nervus iskhiadikus dengan benang chromic gut, timbul
reaksi inflamasi akibat kehilangan banyak serabut tipe A dan sebagian serabut tipe C
dan sedikit badan sel. Akibat ini terjadi nyeri spontan, alodinia dan hiperalgesia.
Pada PNL dilakukan ligasi agak ketat pada nervus iskhiadikus dan terbentuk perilaku
nyeri spontan, alodinia dan hiperalgesia. Pada PNL ini komponen inflamasi lebih
sedikit dibandingkan dengan CCI. Pada SNL dilakukan cedera pada sarah spinal L5 dan
L6 yang membentuk nervus iskhiadikus. Model ini kondusif untuk melihat respon
cedera pada tingkat ganglion radiks dorsalis (DRG).
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa alodinia terjadi pada percobaan model
SNL dengan frekwensi respon 80%, diikuti PNL 60% dan CCI dijumpai frekwensi
45%. Penelitian ini sudah dikembangkan oleh Decoster dan Woolf pada nervus tibialis
dan nervus peroneus komunis. Untuk model cedera difus digunakan efek cedera dari
fotokimia / iradiasi laser untuk mendapatkan cedera iskhemik pada untuk mendapatkan
cedera pada medulla spinalis. Kemudian diciptakan lesi menyerupai keadaan penyakit
dengan menggunakan streptozocin pada neuropati diabetika. Dengan injeksi
streptozocin yang menginduksi diabetes akan terjadi alodinia dan hiperalgesia.
(Bridges et al. 2001)
III. Mekanisme Neuronal Nyeri Neuropatik
Teori yang bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri neuropatik sampai saat ini masih
terus berkembang, (John Scadding. 2003). Dari literatur yang ada, secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa ada beberapa pendapat yang berkembang tentang nyeri
neuropatik ini. yaitu:
Pendapat pertama adalah bahwa tidak terlihat perbedaan patofisiologi terjadinya
nyeri neuropatik perifer dan sentral (John Scadding. 2003 dan Meliala. 2004)
Pendapat yang kedua menggambarkan bahwa patofisiologi nyeri neuropatik
perifer dan sentral mengalami mekanisme yang berbeda (Bridge et al. 2001 dan
Campagnolo DL. 2005)
Pendapat yang pertama mengemukakan bahwa nyeri neuropatik disebabkan
mekanisme, karena terbentuknya impuls ektopik pada SSA, sensisitisasi perifer dan
sentral, interaksi serabut saraf, disinhibisi dan seduksi mekanime inhibisi normal
(Meliala.2004) serta plastisitas neuron (Scadding. 2003)
Pendapat yang kedua mengemukakan bahwa terjadinya nyeri neuropatik
dibedakan atas mekanisme perifer dan mekanisme sentral. Pada mekanisme perifer yang
terjadi adalah sensitisasi neuron perifer, sprouting kolateral serabut tipe A, meningkatnya
aktifitas sprouting dan kerusakan akson, serta perubahan ekspresi saluran ion. Sedangkan
pada mekanisme sentral terjadi sensitisasi sentral, reorganisasi koneksi sinaptik spinal
dan kortikal serta disinhibisi atau perubahan jaras inhibisi (Campagnolo DL. 2001 dan
Bridges et al. 2003)
lesi SSA, terutama yang kronik, kadang kadang ditemukan adanya campuran nyeri
neuropatik dan nyeri inflamasi (Meliala, 2004). Reseptor vaniloid yang terdapat pada
serabut saraf tipe C dapat menjadi peka terhadap rangsangan panas. Reseptor vaniloid
adalah saluran kation nonselektif dan berperan pada sensasi termal dan nyeri inflamasi.
Sensitisasi juga dapat timbul terhadap mediator lain seperti PGE2, serotonin,
bradikinin, epinefrin, adenosin dan nerve growth factor (NGF) yang bekerja pada
reseptor akson yang bersangkutan (Djoenaidi Widjaja. 2004).
o Interaksi serabut (Ephaptic Conduction)
Dalam keadaan normal, aliran impuls pada masing masing serabut saraf berjalan sendiri
sendiri dan tidak saling mempengaruhi. Akan tetapi bila ada lesi maka hubungan antar
neuron dapat berubah. Perubahan pertama berupa hilangnya isolasi glia yang
memungkinkan terjadinya short circuit antara serabut yang mengalami lesi dengan
serabut yang sehat disekitarnya dinamakan ephaptic crosstalk (EC). EC terlihat pada
binatang dimana tampak adanya eksitasi SSA yang sehat oleh SSA tetangganya yang
mengalami lesi. Proses ini berlangsung akut dan segera hilang. Akan tetapi beberapa
minggu kemudian dapat muncul kembali dan bertahan lebih lama. Dalam proses EC
dimungkinkan SSA yang bernilai ambang rendah yang mengalami lesi merangsang
nosiseptor, maka terjadi allodinia. Perubahan kedua dalam interaksi abnormal antar
serabut saraf ialah apa yang dinamakan Crossed After Discharge (CAD). CAD berbeda
dengan EC, sebab pada CAD medianya adalah zat kimiawi yang menyebabkan aktivasi
berbagai jenis serabut tetangga SSA yang mengalami lesi. Impuls tunggal CAD tidak
berarti. Akan tetapi hyperexitability (oleh karena lesi) memungkinkan terjadinya
hiperalgesia. Dari kedua bentuk interaksi abnormal antar serabut saraf ini yang penting
dalam proses nyeri neuropatik ialah yang mengalami lesi dimana akhiran SSA dapat
mengaktivasi berbagai jenis SSA tetangganya dan menyebabkan nyeri seperti kesetrum
(electric shock-like pain) yang paroksismal seperti yang terlihat pada penderita
nneuralgia trigeminal. Dasar kelainan pada proses interaksi abnormal antar serabut
saraf ialah adanya ectopic discharge dan penurunan nilai ambang. Kedua hal tersebut
menjadi sasaran terapi seperti yang telah disebutkan sebelumnya (Bridges et al. 2001
dan Meliala, 2004).
Mekanisme Sentral.
Sensitisasi sentral.
Sensitisasi sentral terjadi pada tingkat medula spinalis pada wide-dynamic-range
neurons yang menghasilkan gejala yang lebih lama, berlebihan dan menyeret
dermatom yang tidak terlibat (Romanof ME. 2006). Meningkatnya jumlah aksi
potensial sebagai respons terhadap stimuli noksious dan berlangsung lebih lama.
Peningkatan respons ini dapat mencapai 20 kali lipat dari normal (Lucas Meliala.
2001). Pada sebagian penderita sensitisasi sentral terjadi setelah trauma pada susunan
saraf perifer akibat perubahan proses nyeri di kornu dorsalis. Aktifasi terus menerus
pada nosiseptor akibat trauma saraf perifer menyebabkan aktifasi reseptor NMDA.
Aktifasi nosiseptor yang terus menerus ini memberi sinyal pada reseptor protein kinase
dan fosforilasi reseptor NMDA yang mengakibatkan penimbunan Ca++ intraseluler.
Perubahan yang lama pada eksitabilitas membran neuron selanjutnya akan
menimbulkan perubahan pada eksitabilitas neuron kornu dorsalis. Kemudian akan
terjadi perubahan fenotip pada neuron nosiseptif seperti merekrut terminal serat - A
kedalam kornu dorsalis superfisial sehingga menyebabkan aktifasi serat A yang
menyimpang dari neuron nosiseptif (Djoenaidi Widjaja. 2004).
Reorganisasi anatomi medula spinalis.
Dapat dipertimbangkan pada re-organisasi medula spinalis dalam merespon terhadap
cedera saraf perifar. Pada keadaan normal klas yang berbeda neuron aferen primer
serabutnya berakhir pada lamina kornu dorsalis spesifik. Sebagai generalisasi, sel
nosiseptive berdiameter kecil yang bermielin A dan serabut saraf C yang tidak
bermielin berakhir pada lamina superfisialis (I dan II) kornu dorsalis sedangkan neuron
berdiameter besar dengan serabut bermielin serabut A di lamina III dan IV. Lamina V
adalah daerah konvergensi input. Woolf et al. Mendemonstrasikan bahwa sesudah
aksotomi nervus iskhiadikus, terminal sentral dari neuron aferen primer saraf bermielin
besar mengalami sprouting kedalam lamina II dari kornu dorsalis superfisialis. Koerber
et al juga memperlihatkan adanya sprouting serabut A kedalam lamina II kornu
dorsalis
superfisialis
sesudah
aksotomi
perifer.
Woolf
et
al
kemudian
Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya sprouting ini telah diteliti. Bennet et al
menyelidiki apakah pemberian intratekal NGF, NT-3 atau BDNF sesudah aksotomi
nervus iskhiadikus mencegah terjadinya sprouting ini. Diamati juga bahwa pada
pemberian NGF, tetapi tidak NT-3 atau BDNF akan mencegah sprouting serabut A
kedalam lamina II.
Kemaknan fungsional dari sprouting memerlukan pemahaman yang lebih
seksama. Serabut tipe C secara normal meng-inervasi lamina II dan bertanggungjawab
terhadap sinyal nosiseptif, sementara serabut tipe A adalah neuron konduksi yang
sangat cepat melayani input non noksious ambang rendah. Karena itu jika serabut A
menyebar kedalam lamina II dan mempertahankan kontak sinaps fungsional yang kuat
dengan neuron orde kedua, seterusnya input non noksious ambang rendah serabut A
diterjemahkan sebagai nosispesi. Hal ini dapat menjelaskan kenapa terjadi alodinia,
dimana hal ini sebuah hipotesa yang ditunjang oleh data elektrofisiologis. Ini
dibuktikan dengan penelitian pada tikus percobaan dimana neuron kornu dorsalis pada
potongan medula spinalis transversa. Pada tikus normal, sel lamina II memperlihatkan
respon latensi memanjang terhadap stimulasi berambang tinggi. Namun sesudah
pemotongan nervus iskhiadikus dan sprouting berikutnya serabut A kedalam lamina
II, 54% aktifitas pada lamina II diawali oleh stimulasi ambang rendah dan respons
latensi cepat diperlihatkan pada lamina III tikus normal ((Bridges et al. 2001).
Hipereksitabilitas medula spinalis.
Inflamasi persisten akibat cedera saraf tepi pada susunan saraf eferen akan
menimbulkan hipereksitabilitas yang berlangsung lama pada neuron kornu dorsalis, dan
proses ini disebut sinsitisasi sentral. Pada hipereksitabilitas ini terjadi penurunan
ambang aktivasi neuron spinal dan munculnya fenomena wind up. Wind-up ditandai
dengan peningkatan respon pada pengulangan serangan serabut tipe C dan keadaan ini
penting pada terjadinya hiperalgesia.
Fenomena wind-up ini menurut data elektrofisiologis menunjukkan bahwa 90%
pembesaran neuron kornu dorsalis bagian lumbal medula spinalis memperlihatkan ciri
khas abnormal sesudah terjadinya CCI.
Penelitian farmakologi memperlihatkan bahwa glutamat suatu asam amino eksitatori
yang merupakan neurotransmiter eksitatori utama yang dilepaskan pada ujung sentral
neuron nosiseptif aferen primer sesudah stimulasi nyeri. Glutamat bekerja pada
sejumlah reseptor post sinaptik, dan informasi lain menyatakan bahwa subtipe NMDA
ionotropik terdekat dilibatkan pada inflamasi dan sensitisasi sentral yang diinduksi
dengan cedera saraf.
o Disinhibisi (disinhibition), kegagalan atau seduksi mekanisme inhibisi normal.
Dalam keadaan normal ada beberapa mekanisme sentral yang bekerja mengontrol
nyeri. Jalur pengontrolan ini bekerja secara desenden ke medula spinalis. Ada 3
komponen utama yaitu neuron di periventrikularis dan periakuaduktus substansia grisea
di mid-brain dengan hubungan eksitasinya ke medulla oblongata bagian rostrokaudal
dan nukleus retikularis para-gigantoselularis. Neuron di medula oblongata bagian
keadaan sistem saraf (cedera). Ini adalah efek positif dari plastisitas neuronal (Hamori.
2001).
Fenomena plastisitas terjadi akibat mekanisme yang beragam (multiple
mechanism) dimana terjadi perubahan kapasitas neuron meliputi fungsi, profil kimia
dan strukturnya (Wood and Salter. 2000). Keadaan ini menyebabkan terjadinya
perubahan anatomi dan neurokimia pada sistem saraf terutama pada neuron sensorik
primer dan neuron kornu dorsalis (Wood and Salter. 2000 dan Amantea et al. 2000).
Gambar 4. Model jalur isyarat LTP dan plastistas
sentral akibat cedera.
A. Pada ACC, aktivitas mencetuskan eksitatori glu tamat neurotransmiter. Aktivasi glutamat reseptor
NMDA mengakibatkan meningkatnya Ca++ pada
dendritik spine. Ca++ berfungsi sebagai sinyal intra seliler yang penting untik mencetuskan rangkaian
biochemical events yang berkontribusi terhadap
ekspresi LTP.
B. Pada sinaps ACC, kemungkinan melintasnya AM
PA GluR1 postsinaps menimbulkan potensiasi
sinaps.
C. Inflamasi atau saraf yang cedera menyebabkan
perubahan presinaptik dan postsinaptik pada sinaps
ACC. Meningkatnya pelepasan glutamat demikian
juga perubahan postsinaptik pada repson yang dimediasi oleh reseptor AMPA membantu meningkatkan
informasi noksious sensorik didalam otak, suatu ke mungkinan mekanisme seluler pada nyeri persisten.
Eksitatori
menyebabkan
asam
amino
memainkan
peranan
yang
mendasar,
sehingga
Drugs/Toxic
Infection
Diabetic
Cuban neuropathy
Alcoholic Tanzanian neuropathy
Pellagra
Burning feet syndrome
Beri beri
Jamaican neuropathy
Amyloid
Isoniazid Thalium
Cisplatin Arsenic
VincristinClioquinol
Nitrofurantoin
Disulfiram
HIV
Acute Inflammatory polyneuropathy
(Guillain Barre) / CIDP
Hereditary
Fabrys disease
Dominantly inherited sensory neuropathy
/ HSAN
Malignant
Myeloma
Tabel 2.
Central Causes of Neuropathic Pain
Spinal Rood/Dorsal Ganglion
Prolapsed disc
Root avulsion
Arachnoiditis
Surgical rhizotomy
Post herpetic neuralgia
Tumour
Trigeminal neuralgia
Spinal Cord.
Trauma including compression
Syringomyelia and intrinsic tumour
Multiple sclresosis
Vascular: Infarction, hemorrhagic and AVM
Spinal dysraphisme
Vitamin B12 deficiency
HIV
Syphilis
Anterolateral cordotomy
Brain Stem
Lateral medulary syndrome Multiple sclerosis
Tumour
Tuberculoma
Thalamus
Infarction
Hemorrhage
Tumours
Surgical lesion
Trauma
Tumour
Satu mekanisme dapat menimbulkan beberapa gejala yang berbeda. Selanjutnya gejala
yang sama pada pasien yang berbeda mungkin disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.
Akhirnya lebih dari satu mekanisme dapat bekerja pada seorang pasien, dan mekanisme
ini dapat berubah dengan berjalannya waktu. Dengan demikian pada pasien nyeri
neuropatik adalah tidak mungkin memprediksi mekanisme yang bertanggung jawab
untuk nyerinya berdasarkan hanya etiologi neuropati atau berdasarkan distribusi dan sifat
gejala (Clifford and Mannison. 1999).
V. Kesimpulan
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang bersifat khronik yang sampai saat ini pemahamannya
masih sulit.
Melalui percobaan binatang telah banyak dicapai kemajuan dalam kajian neurosains dan
teori yang mendasarinya, namun sampai saat ini patofisiologi nyeri neuropatik masih
terus berkembang terutama dalam dekade terakhir ini.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa patofisiologi nyeri neuropatik perifer dan
sentral berbeda. Pada mekanisme perifer yang terjadi adalah sensitisasi neuron perifer,
sprouting kolateral serabut tipe A, meningkatnya aktifitas sprouting dan kerusakan akson,
serta perubahan ekspresi saluran ion. Sedangkan pada mekanisme sentral terjadi
sensitisasi sentral, reorganisasi koneksi sinaptik spinal dan kortikal, hipereksitabilitas
medula spinalis serta disinhibisi atau perubahan jaras inhibisi, .
Berdasarkan klasifikasi etiologi, terlihat luasnya rentang dan sangat bervariasinya
penyebab nyeri neuropatik, maka masih dijumpai kekosongan teori yang mampu
menjembatani pemahaman teori yang ada dengan beragamnya jenis neuropatik. Karena
itu hipotesa yang mendasari nyeri neuropatik masih akan terus berkembang.
VI. Referensi
1. John Scadding. Neuropathic Pain. ACNR. Volume 3 Number 2 May/June 2005.
2. Planjar-Prvan M, Bielen I, Baraba R and Buljan R. Pathophysiologic Basis of
Treatment of Neurogenic Pain. Acta Medica Croatica, 2004; 58 (3): 197-205.
3. Treede et al. Neuropathic Pain: Redefinition and a Grading System for Clinical and
Research purposes. Neurology 2007 doi 10.1212/01.wnl.0000282763.29778.59.
4. Lucal Meliala. Terapi Rasional Nyeri: Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik. Pokdi
Nyeri PERDOSSI 2004
5. Zhuoa M. 2007. Neuronal Mechanism for Neuropathic Pain. Molecular Pain 2007.
Jun 6; 3:14
6. Fazen, Edward L, Ringkamp and Matthias. The Pathophysiology of Neuropathic
Pain: A Review of Current Research and Hypotheses. Neurosurgery Quarterly.
17(4) 245-262. December 2007
7. Pasero C. Pathophysiology of Neuropathic Pain. Pain Manag Nurs, 2004 Dec; 5(4
Suppl 1): 3-8.
8. B. Amantea, A. Gemeli. D. Militano. I. Salatino and S. Caroleo. Nneuronal
Plasticity and Neuropahic Pain. Minerva Anesthesiology (2000) 66: 901-11.
9. Mark E. Romanof. Neuropathic Pain. In:Decision Making in Pain Management. 2nd
Ed. Editor Ramamurthy, Rogers and Alanmanou. Mosby Elesevier. 2006.
10. Lucas Meliala. Patofisiologi Nyeri Neuropatik. Dalam: Nyeri Neuropatik:
Patofisiologi dan Penatalaksanaan.Pokdi Nyeri PERDOSSI. 2001.
11 Fletcher A. White, Hosung Jung and Richard J. Miller. Chemokine and the
Pathophysiology of Neuropathic Pain. PNAS, December 18, 2007 Vol. 104 no. 51,
20151 20158.
12. Denise L. Campagnolo. Neuropathic Pain and Parasthesia. Director of Multiple
Sclerosis Clinical Research, Barrow Neurology Clinic Phoenix, Arizona.
13. D. Bridges, SWN Thompson and ASC Rice. Mechanism of Neuropathic Pain.
British Journal of Anasthesia 2001. 87:12-26.
http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/871/12
14. Clifford J. Woolf and Michael W. Salter. Neuronal Plasticity: Increasing the Gain in
Pain. Science 9 June 2000. Vol 200. no. 5472, pp. 1765-1768.
15. Joszef Hamori. Neuronal Plasticity. http://www.ana.sote.hu/hamori/plast html.
16. Clifford J. Woolf and Richard J Mannison. Neuropathic Pain: Etiology, Symptoms,
Mechanisms and Management. The Lancet. Vol. 353. June 5, 1999.