Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
50% - 60%
2. Retensio plasenta
16% - 17%
3. Sisa plasenta
23% - 24%
4% - 5%
5. Kelainan darah
Diagnosis
kemungkinan
- Atonia Uteri
- Robekan jalan
lahir
- Retensio
Plasenta
- Tertinggalnya
sebagian plasenta
- Inversio uteri
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah
dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari
dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).
b. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam
setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan (Wiknjosastro, 2005) :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila
sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi
untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan
oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III,
sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
c. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potonganpotongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus
menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus
dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
d. Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan
pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh
robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu
dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan
spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi
yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat
berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan
dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat
arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber
perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum
setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan
melakukan ligasi (Manuaba, 1998).
e. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam
kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan (Manuaba, 1998).
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus
uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali
ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab
inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu
menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum
terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam
beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005) :
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang
tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar
vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi,
apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri
yang keras dan bisa menyebabkan syok.
dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu
kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah
kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan
gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus dilakukan, yakni
menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah
plasenta lahir perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri
atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio plasenta), segera
dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).
samping seperti sakit kepala, mual, muntah, dan tekanan darah tinggi. Prostaglandin
juga efektif untuk mengendalikan perdarahan, tetapi secara umum lebih mahal dan
memiliki bebagai efek samping termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.
b. Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan
Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera dijepit dan
dipotong setelah persalinan, untuk memungkinkan intervensi manajemen aktif lain.
Penjepitan segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan pada bayi
yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat mencegah 20%
sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke bayi. Berkurangnya aliran darah
mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin yang lebih rendah pada bayi baru
lahir, dan dapat mempunyai pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu
kemungkinan manfaat bagi bayi pada penjepitan dini adalah potensi berkurangnya
penularan penyakit dari darah pada kelahiran seperti HIV.
c. Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara bersamaan
melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut
Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat ke bawah
dengan sangat hati-hati begitu rahim telah berkontraksi, sambil secara bersamaan
memberikan tekanan ke atas pada rahim dengan mendorong perut sedikit di atas
tulang pinggang. Dengan melakukannya hanya selama kontraksi rahim, maka
mendorong tali pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar. Tegangan
pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta tidak turun,
tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada kontraksi rahim yang berikut.
retrovaginal (keluarnya gas dan tinja dari vagina) dan kanker leher rahim. T yang
kedua adalah terlalu tua artinya hamil di atas usia 35 tahun. Risiko yang mungkin
terjadi jika hamil pada usia terlalu tua ini antara lain adalah terjadinya keguguran,
preeklampsia, eklampsia, timbulnya kesulitan pada persalinan, perdarahan, BBLR
dan cacat bawaan (Suryani, 2008).
Menurut penelitian Pardosi (2005), bahwa pada tingkat kepercayaan 95% ibu
yang berumur di bawah 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko mengalami
perdarahan postpartum 3,3 kali lebih besar dibandingkan ibu yang berumur 20 sampai
29 tahun. Selain itu penelitian Najah (2004) menyatakan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95% umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna sebagai
faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum.
2.4.2 Pendidikan
Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki
pengaruh pada peningkatan kemampuan
berfikir,
dimana
seseorang
yang
berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,
umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan
individu yang berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara
2.4.3 Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum
primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu
dalam menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin
sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus
semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi kehamilan (Manuaba, 1998).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas
1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada
paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2005).
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna
sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer (OR=2,87;
95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti (2007) menyatakan proporsi ibu yang
mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3
sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang
signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. Demikian juga
dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang
mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas >4 yaitu 69% dan
didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan
postpartum primer.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim
dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu
diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar
kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar 41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal
ini berarti ibu yang memiliki jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82
kali mengalami perdarahan pasca persalinan.
2.4.6 Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah
kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang
menyebabkan konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel
darah merah masih kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah
sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel
darah 18% dan haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun
terlalu rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%. Meningkatnya
volume darah berarti meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan untuk
memproduksi sel-sel darah merah sehingga tubuh dapat menormalkan konsentrasi
hemoglobin sebagai protein pengankut oksigen (Winkjosastro, 2000).
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi
komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan
metabolisme energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan
oksigen. Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah
merah karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat
bersalin ibu membutuhkan hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot
uterus dapat berkontraksi dengan baik.
Pemeriksaan
dan
pengawasan
hemoglobin
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat sahli. Hasil pemeriksaan dengan alat sahli dapat digolongkan
sebagai berikut (Manuaba, 1998) :
4 Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan
biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.
Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama postpartum
yang sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Sebab yang paling
umum dari perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pascapersalinan atau yang
biasa disebut perdarahan postpartum primer adalah kegagalan rahim untuk
berkontraksi sebagaimana mestinya setelah melahirkan, plasenta yang tertinggal dan
uterus yang turun atau inversi. Dari beberapa sebab perdarahan tersebut, salah satu
faktor pemicunya adalah paritas (Milaraswati, 2008).
Pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam
menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani
komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Pada paritas tinggi
(lebih dari 3), fungsi reproduksi mengalami penurunan, otot uterus terlalu regang dan
kurang dapat berkontraksi dengan baik sehingga kemungkinan terjadi perdarahan
pascapersalinan menjadi lebih besar (Manuaba, 1998).
dan mati, sakit dan sehat, BBLR dan normal, merokok dan tidak merokok dan
sebagainya (Yasril, 2009).
Pada regresi logistik, variabel independen yang digunakan dapat berupa
variabel kategorik maupun numerik. Namun sebaiknya menggunakan variabel
kategorik agar lebih mudah dalam menginterpretasikan hasil analisisnya. Bila salah
satu atau beberapa variabel independen merupakan variabel dengan skala nominal
dengan 3 atau lebih kategori, maka harus dibuat dummy variable
yang
Gambar 2.1 Perbandingan Model Kurva Regresi Logistik dengan Regresi Linier
penelitian tersebut dapat dihitung besar faktor risiko atau nilai Odds Ratio (OR), yang
merupakan perhitungan eksponensial dari persamaan garis regresi logistik.
Odds Ratio (OR) = exp() atau OR = e
Sedang batas-batas keyakinan OR sebagaimana biasa dihitung dengan
menggunakan koefisien regresi serta kesalahan baku (Standard Error) sebagai
berikut:
IK 95% = exp [i+/-1,96(i)]
Keistimewaan
kemampuannya
lainnya
menaksir
dari
analisis
probabilitas
regresi
individu
logistik
untuk
ganda
mengalami
adalah
peristiwa
Statistik G
Statistik G ialah rasio logaritmik antara Likelihood model tanpa variabel dan
Likelihood model dengan variabel. Rumusnya yaitu :
Uji Wald
Uji Wald diperoleh dengan membandingkan taksiran Maximum Likelihood
koefisien regresi (i) dengan taksiran kesalahan baku (SE). Rumusnya yaitu :
Wald = (/SE)2
Dengan batas kritis Wald > Z(/2) atau p-Value<
X1
X2
X3
X1
X2
X3
X4
Variabel Independen
Variabel Dependen
Perdarahan
Postpartum Primer
- Ya
- Tidak
Paritas
Umur
Pendidikan
Jarak Antar Kelahiran
Riwayat Persalinan
Buruk Sebelumnya
Status Anemia
Gambar 2.4
4. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memilik jarak antar kelahiran
<2 tahun lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki jarak antar kelahiran
>2 tahun.
5. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memiliki riwayat persalinan
buruk sebelumnya lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki
riwayat persalinan buruk sebelumnya.
6. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang anemia lebih besar
dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
7. Risiko perdarahan postpartum primer pada ibu yang memiliki paritas >3 lebih
besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki paritas 2-3 setelah dikontrol
variabel pengganggu (umur, pendidikan, jarak antar kelahiran, riwayat persalinan
buruk sebelumnya, dan status anemia).