Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Jahe
Jahe merupakan jenis tanaman temu-temuan (Zingiberaceae), sefamili
dengan temulawak, temu hitam, kunyit, kencur, dan lain-lainnya. Bagian
terpenting dari jahe adalah rimpangnya. Jika rimpang tersebut dipotong, maka
tampak warna daging yang bervariasi, dari putih kekuningan, kuning atau
jingga tergantung klonnya. Secara umum jahe memiliki rasa pedas karena
mengandung senyawa gingerol. Selain itu memiliki aroma harum dan kuat
akibat oleh adanya minyak atsiri yang umumnya berwarna kuning dan sedikit
kental. Sedangkan kandungan gingerol dipengaruhi oleh umur tanaman dan
agroklimat setempat dimana tanaman jahe tumbuh (Santoso, 1989). Namun
secara umum komposisi kimia rimpang jahe dipengaruhi oleh faktor jenis,
kondisi tanah, umur panen, cara budidaya, penanganan pasca panen, cara
pengolahan, dan ekosistem tempat tanaman ditanam (Koswara dkk., 2012). Dua
komponen utama yang terkandung dalam jahe yaitu komponen volatil berupa
oleoresin (4,0-7,5%), yang bertanggungjawab terhadap aroma jahe (minyak
atsiri) dengan komponen terbanyak zingiberen dan zingiberol. Sedangkan
komponen non volatil, penyebab rasa pedas pada jahe salah satunya adalah
gingerol (Bermawie dan Purwiyanti, 2013).
Tanaman jahe dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan rimpangrimpangnya, sehingga pemberian nama jenis atau varietas jahe disebut sebagai
klon. Varietas jahe yang berkembang di Indonesia dibedakan atas 3 klon
berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang. Ketiga klon jahe tersebut
adalah jahe merah, jahe emprit dan jahe gajah (Rukmana, 2000).
6

Secara taksonomi tumbuhan, tanaman jahe diklasifikasikan sebagai berikut:


Divisi
Subdivisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Pteridophyta
: Angiospermae
: Monocotyledoneae
: Scitamineae
: Zingiberaceae
: Zingiber
: Zingiber officinale Rose (Suprapti, 2003).

Tabel 2.1 Komposisi Berbagai Varietas Jahe


Jenis Jahe

Jahe Gajah
Jahe Emprit
Jahe Merah

Minyak
Atsiri (%)
1,62-2,29
3,05-3,48
3,90

Karakteristik
Pati
Serat Abu (%)
(%)
(%)
55,10
6,89
6,60-7,57
54,7
6,59
7,39-8,9
44,99
7,46

Air (%)
33,33
-

Sumber: Daryono (2010).

Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dilihat bahwasannya kadar minyak atsiri


tertinggi terdapat pada jahe merah yaitu dengan persentase 3,90%. Jahe emprit
memiliki kualitas lebih baik daripada jahe gajah dilihat dari sisi kadar minyak
atsiri yang lebih tinggi dan kadar air yang lebih sedikit dibandingkan dengan
jahe gajah. Komponen utama minyak atsiri jahe berupa seskuiterpen
hidrokarbon, dan paling dominan zingiberen (35%), kurkumen (18%), farnesen
(10%) dan sebagian kecil 40 hidrokarbon monoterpen. Dari hasil analisa dan
perhitungan menurut penelitian Daryono (2010), diperoleh rendemen oleoresin
jahe emprit sebesar 9,98% dan kandungan gingerol 33,23% dengan kondisi
perbandingan bahan masuk 1:5. Sedangkan pada jahe gajah diperoleh rendemen
8,94%.
a. Jahe Merah
Jahe merah (Zingiber officinale Linn. Var. rubrum) merupakan jenis
jahe yang memliki ukuran rimpang paling kecil dari jenis jahe lainnya.
Secara morfologi, jahe merah mirip dengan jahe biasa, namun rimpangnya
lebih kecil dan rasanya lebih pedas, kulitnya berwarna merah dan dagingnya

berwarna kuning hingga merah muda (Koswara dkk., 2012). Rasa yang
sangat pedas dan aroma tajam pada jahe merah disebabkan oleh adanya
senyawa kimia berupa gingerol. Sedangkan secara kenampakan, aroma jahe
disebabkan oleh kandungan atsiri yang umumnya berwarna kuning dan
sedikit kental. Secara umum, komponen yang terdapat pada rimpang jahe
adalah minyak yang mudah menguap (volatile oil), minyak tidak menguap
(nonvolatile oil), dan pati. Selain itu juga mengandung senyawa-senyawa
kimia berupa gingerol, 1,8-cineole, 10-dehydro-gingerdione, 6-gingerdione,
arginine, a-linolenic acid, aspartic, -sitosterol, caprylic acid, capsaicin,
chlorogenic acid, farnesal, farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung
kanji serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit. Kandungan minyak atsiri
jahe merah sekitar 2,58-2,72% dihitung berdasarkan berat kering
(Tim Lentera, 2004).

Gambar 2.1 Penampang Fisik Jahe Merah


b. Jahe Emprit
Jahe emprit atau disebut sebagai jahe putih kecil merupakan jenis jahe
yang digunakan sebagai bahan baku minuman, rempah-rempah dan
penyedap makanan. Ukuran rimpangnya lebih besar daripada jahe merah.
Bentuknya agak pipih, berwarna putih, serat lembut, dan aromanya kurang
tajam. Kandungan minyak atsirinya sekitar 1,5-3,3% dari berat kering
(Santoso, 1989). Secara kualitatif komponen minyak pada jahe emprit dan

jahe merah hampir sama, namun yang berbeda hanya pada komponen kurkumen pada jahe merah tidak ditemukan (Sari dkk., 2014).
Tabel 2.2 Komponen Minyak Atsiri Jahe Emprit dan Jahe
Merah Hasil GC-MS
Komponen
Jahe Emprit (%)
Jahe Merah (%)
Kamfena
5,06
1,87
Beta mirsena
0,94
1,15
1,8 sineol
6,45
5,95
L-linalool
3,15
2,91
L-borneol
6,53
5,59
Neral
18,50
21,18
Geraniol
7,82
9,42
Sitral
26,04
30,35
4,62
-kurkumen
Sumber: Sari dkk. (2014)

Gambar 2.2 Penampang Fisik Jahe Emprit/Sunti


c. Jahe Gajah
Jahe gajah merupakan jenis jahe yang mempunyai ukuran rimpang
paling besar, berwarna putih kekuningan ketika diiris melintang, seratnya
sedikit lembut, aroma kurang tajam, dan rasa kurang pedas. Jahe gajah
sering disebut sebagai jahe badak atau jahe kombongan (Bengkulu)
(Suprapti, 2003).

10

Gambar 2.3 Penampang Fisik Jahe Gajah


Jahe memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai bahan makanan dan
minuman, bumbu atau rempah, maupun obat-obatan. CV. Intrafood merupakan
salah satu industri makanan yang memanfaatkan jahe sebagai bahan baku
produk minuman instan. Varietas jahe yang digunakan adalah kombinasi dari
ketiganya untuk mempertahankan kualitas rasa yang cukup pedas. Namun
varietas utama yang sering dipakai oleh CV. Intrafood adalah varietas jahe
emprit (CV. Intrafood, 2014). Secara umum, proses pembuatan minuman jahe
instan skala rumah tangga menurut Afifah dkk. (2011) adalah sebagai berikut:
a. Penggilingan jahe dengan chopper yang bertujuan agar pori-pori sel pada
bahan terbuka sehingga zat-zat aktif dalam bahan mudah keluar.
b. Pemisahan ekstrak dengan cara ekstraksi dan filtrasi dimana ekstrak jahe
dipisahkan dari ampasnya, kemudian disaring dengan bantuan hand press.
Kemudian ekstrak hasil proses ekstraksi dan filtrasi diendapkan dalam ember
selama 1-2 jam untuk menghilangkan padatan berupa pati. Sedangkan
ampasnya dibuang.
c. Air jahe yang diperoleh, dilanjutkan tahap pemasakan yaitu ekstrak
ditambahkan gula pasir (sukrosa) untuk kembali membentuk padatan. Pada
tahapan ini terjadi kokristalisasi antara ekstrak jahe dengan bahan dinding
kapsul berupa sukrosa. Mekanismenya adalah sukrosa yang dipanaskan akan
mencair dan bercampur dengan bahan lain, saat terjadi penguapan akan

11

terbentuk kristal kembali. Proses kokristalisasi ini dipengaruhi oleh pH dan


suhu pemasakan. Jika pH terlalu rendah dan suhu pemasakan terlalu tinggi
maka larutan menjadi liat karena sukrosanya melebur sehingga terjadi
karamelisasi. pH optimal dalam proses kokristalisasi sekitar 6,7-6,8.
Sedangkan suhu pemasakan di bawah 160C.
d. Pengayakan dengan tujuan untuk memisahkan serbuk padatan granul agar
bentuknya seragam.
e.

Pengemasan minuman
jahe instan baik dengan pengemasan primer maupun sekunder.
Ampas jahe merupakan salah satu limbah industri yang dihasilkan saat

tahap ekstraksi (pengepresan) maupun tahap destilasi. Di CV. Intrafood


dihasilkan limbah organik berupa ampas jahe sebesar 30 kg ampas dalam setiap
produksi 100 kg jahe segar. Sementara ini perusahaan memanfaatkan ampas
jahe untuk dijual kepada pihak kedua, sebagian diproses sebagai minyak atsiri,
dan sebagian dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organik di lahan milik
perusahaan. Di tahun ini baru ada percobaan dalam memanfaatkan jahe sebagai
bahan bakar berupa briket. Menurut penelitian Amir dan Puspita (2013),
dimanfaatkan untuk diambil oleoresinnya dengan perlakuan variasi pelarut
(etanol, n-Hexane, dan aseton) dan suhu ekstraksi (30C, 40C, 50C dan 60C)
diperoleh hasil konsentrasi tertinggi pada semua jenis pelarut dengan suhu
ekstraksi 40C dan pengadukan selama 5,5 jam. Demikian juga dengan
penelitian Budi (2009), memanfaatkan ampas jahe sisa hasil destilasi sebagai
oleoresin dengan pelarut n-heksan, namun dalam penelitian ini tidak ditemukan
senyawa gingerol dan shogaol. Kemudian berlanjut penelitian Nurlaili dkk.
(2014), memanfaatkan ampas jahe UD. Sumber Rejeki, Yogyakarta sebagai
mikroenkapsulasi oleoresin ampas jahe. Kandungan senyawa aktif berupa
zingiberen pada oleoresin ampas jahe masih cenderung tinggi (37,13%) namun
menurun setelah menjadi mikroenkapsulasi (1,50%). Dengan demikian, ampas

12

jahe CV. Intrafood masih bisa dimanfaatkan sebagai oleoresin karena


berdasarkan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ampas jahe masih
terdapat kandungan senyawa aktifnya.
2. Oleoresin Ampas Jahe
a. Oleoresin
Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh
dari ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Oleoresin memiliki
kelebihan yaitu lebih higienis dan mempunyai kekuatan lebih jika
dibandingkan dengan bahan asalnya. Selain itu penggunaan oleoresin lebih
disukai karena aromanya lebih tajam dan dapat menghemat biaya
pengolahan (Armando, 2009). Oleoresin dapat digunakan dalam industri
kue, daging, makanan kaleng, maupun penyedap makanan. dalam dunia
perdagangan produk-produk oleoresin dikenal dalam bentuk dispersed, fatbased, dan encapsulated. Bentuk dispersed dibuat dengan mencampur
oleoresin dengan media tertentu, seperti garam, tepung, maupun gula.
Bentuk fat-based dibuat dengan cara mencampurkan oleoresin dengan lemak
atau minyak nabati. Sedangkan bentuk encapsulated adalah bubuk oleoresin
yang dimasukkan dalam kapsul. Bentuk terakhir lebih tahan lama karena
pengurangan rasa dan aroma dapat diminimalisir (Tim Lentera, 2004).
Oleoresin rempah diperoleh dengan cara ekstraksi pelarut dan memiliki
karakter yang sama seperti bahan alaminya. Komponen utamanya berupa
minyak atsiri, fixed oil, pigmen, aroma tajam, dan antioksidan alami. Proses
untuk memperoleh oleoresin dilakukan dengan cara menguapkan pelarut
dalam kondisi vakum sehingga diperoleh oleoresin dengan karakteristik
kental hingga berbentuk pasta. Dengan demikian, oleoresin ini masih sulit
untuk ditambahkan ke dalam makanan secara langsung sehingga perlu
metode tertentu. Metode yang paling cocok untuk memanfaatkan oleoresin

13

adalah dengan menggunakan carrier, seperti agen emulsifikasi, pelarut,


maupun bahan enkapsulan (Peter, 2006).
Ekstraksi pelarut dilakukan dengan cara memasukkan bahan ke dalam
ekstraktor yang telah diberi pelarut, kemudian ekstraksi berlangsung secara
sistematik pada suhu kamar. Pelarut akan berpentrasi ke dalam bahan dan
melarutkan minyak, beberapa jenis lilin, albumin dan zat warna. Larutan
yang dihasilkan dipompa ke dalam evaporator dan minyak dipekaktkan pada
suhu rendah. Pemakaian dengan suhu yang rendah bertujuan untuk menjaga
senyawa aktif pada bahan. Kenampakan minyak yang diekstraksi dengan
pelarut menguap mempunyai warna gelap karena mengandung pigmen
alamiah yang bersifat tidak dapat menguap. Minyak hasil ekstraksi ini
memiliki keunggulan seperti mempunyai bau yang sama dengan bau asli
bahan (Guenther, 1987).
Proses ekstraksi ada beberapa metode, yaitu maserasi, digesti, perkolasi,
sokletasi dan maserasi dengan pengadukan. Maserasi adalah metode
ekstraksi dengan cara merendam bahan dalam pelarut dengan membutuhkan
waktu yang sangat lama, karena masih sederhana. Digesti merupakan
ekstraksi maserasi yang dikombinasikan dengan pemanasan, namun cara ini
tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas. Perkolasi adalah
ekstraksi dengan cara mengalirkan pelarut melalui serbuk simplisia dan
membutuhkan waktu yang lama. Sokletasi adalah ekstraksi dengan
menggunakan soxhlet, namun tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak
tahan panas. Sedangkan maserasi dengan pengadukan merupakan ekstraksi
maserasi dengan diberi pengadukan sehingga proses maserasi dapat
dipercepat waktunya menjadi 6-24 jam (Said, 2007).
b. Oleoresin Jahe
Oleoresin jahe berupa cairan pekat berwarna coklat tua dan mengandung
atsiri 15-35%. Senyawa yag terdapat di dalamnya berupa zingerol dan
zingeron (senyawa turunan fenol dan ketofenol), shogaol dan resin. Jahe

14

dalam bentuk oleoresin memiliki berbagai keuntungan, diantaranya memiliki


komposisi yang lebih seragam; lebih mudah distandarisasi, memiliki flavor
yang sama dengan aslinya; aroma lebih tajam; bebas dari mikroba, serangga,
maupun kontaminan lainnya; kadar air rendah; masa penyimpanan lebih
lama; dan kehilangan minyak essensial dapat ditekan saat penyimpanan jika
dibandingkan dengan bahan segar. Oleoresin jahe diperoleh dengan cara
mengekstraksi bubuk jahe kering dengan satu atau berbagai pelarut yang
sesuai, kemudian diuapkan dalam kondisi vakum. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi mutu oleoresin yang dihasilkan, diantaranya yaitu persiapan
bahan, jenis pelarut, metode yang digunakan, kondisi ekstraksi, dan ukuran
bahan.

Suhu

mempengaruhi

rendemen

oleoresin

yang

diperoleh.

Peningkatan temperatur akan meningkatkan rendemen oleoresin yang


diperoleh, karena solubilitas zat terlarut ke dalam pelarut akan meningkat
dan demikian pula laju ekstraksinya. Selain suhu, ukuran bahan juga
berpengaruh terhadap rendemen oleoresin, semakin kecil ukuran bubuk jahe
maka rendemen yang dihasilkan semakin besar karena meningkatnya luas
kontak ekstraksi sehingga laju difusi zat terlarut meningkat. Ukuran partikel
juga mempengaruhi kadar atsiri, dimana semakin kecil ukuran partikel maka
atsiri yang diperoleh semakin banyak (Prasetyo dan Cantawinata, 2010).
Pembuatan oleoresin jahe telah banyak dilakukan penelitian sehingga
mengalami perkembangan metode optimal dengan memperhatikan beberapa
faktor tertentu. Menurut penelitian Anam (2010), pembuatan oleoresin jahe
dilihat dari segi ukuran, bahan, pelarut, waktu dan suhu yang digunakan.
Berdasarkan ukuran bahan, rendemen oleoresin jahe tertinggi diperoleh pada
ukuran 40 mesh yaitu sebesar 20,601%. Dalam hal ini, pengecilan ukuran
dengan batas tertentu akan diperoleh rendemen tertinggi. Jika semakin besar
ukuran bahan yang akan diekstraksi maka akan memerlukan waktu lama
untuk memperoleh rendemen yang tinggi. Jika semakin kecil ukuran bahan,
semakin banyak sel-sel yang pecah sehingga memperluas bidang kontak

15

dengan pelarut, namun hal ini akan mengurangi hasil rendemen karena
adanya penggumpalan bahan saat proses ekstraksi sehingga mempersulit
pelarut dalam menembus bahan. Selain rendemen, kadar minyak atsiri pada
ukuran 40 mesh juga lebih tinggi (21,255%) jika dibandingkan dengan
ukuran 20 atau 60 mesh. Hal ini disebabkan karena selama pengecilan
ukuran yang terlalu kecil akan terjadi kehilangan atsiri akibat penguapan.
Jenis dan konsentrasi pelarut berpengaruh terhadap kualitas oleoresin
yang diperoleh. Dalam penelitian Amir dan Lestari (2013), jenis pelarut
yang digunakan dalam proses ekstraksi mempengaruhi kemampuan dalam
hal melarutkan komponen dalam bahan. Pelarut polar seperti etanol dan
aseton memberikan konsentrasi oleoresin lebih besar daripada pelarut non
polar. Hal ini disebabkan karena komponen dalam oleoresin tersusun oleh
banyak senyawa polar. Konsentrasi oleoresin tertinggi diperoleh dari pelarut
etanol karena memiliki tingkat kepolaran lebih tinggi daripada aseton.
Dalam penelitian Anam (2010), selain jenis pelarut, suhu ekstraksi juga
berpengaruh dalam penggunaan berbagai jenis pelarut. Pada awal ekstraksi
rendemen oleoresin yang dihasilkan dengan pelarut aseton mendekati
rendemen yang dihasilkan dengan pelarut etanol, namun pada hasil akhir
ekstraksi rendemennya semakin jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan viskositas. Viskositas aseton lebih rendah jika dibandingkan
dengan viskositas etanol. Semakin tinggi suhu, viskositas kedua pelarut
semakin rendah sehingga makin mudah untuk mengekstrak oleoresin namun
dibatasi oleh kepolaran dari pelarut. Adapun pengaruh konsentrasi pelarut,
menurut Ramadhan dan Haries (2010) semakin tinggi konsentrasi etanol
maka semakin rendah tingkat kepolaran pelarut yang digunakan sehingga
dapat meningkatkan kemampuan pelarut dalam mengekstrak kandungan
oleoresin yang bersifat kurang polar, sehingga rendemen yang diperoleh
semakin banyak. Pada penggunaan etanol dengan konsentrasi 99,8%
kenaikan rendemen yang signifikan hanya terdapat pada kurun waktu 0-1

16

jam karena kecepatan transfer massa akan turun seiring dengan naiknya
konsentrasi solute di dalam pelarut.
Pembuatan oleoresin jahe tidak hanya diperhatikan banyaknya
rendemen yang dihasilkan, namun kualitas oleoresin yang meliputi kadar
atsiri dan kandungan senyawa aktifnya. Faktor yang paling berpengaruh
dalam hal ini adalah lama waktu ekstraksi dan suhu. Pada ekstraksi oleoresin
jahe, komponen utama yang diinginkan adalah gingerol. Untuk memperoleh
gingerol maka suhu ekstraksi yang digunakan dibatasi suhu di bawah 45C,
karena pada suhu di atas 45C gingerol akan mengalami dekomposisi dan
sebagian akan berubah menjadi shogaol yang kualitasnya lebih rendah jika
dibandingkan dengan gingerol (Gaedcke, 2005). Menurut Ramadhan dan
Haries (2010), suhu optimum ekstraksi yang digunakan adalah 40C karena
jumlah rendemen yang dihasilkan tertinggi. Menurut Anam (2010), hal ini
dikarenakan oleh adanya interaksi antara faktor pelarut dan suhu terhadap
kadar minyak atsiri.
c. Oleoresin Ampas Jahe
Pembuatan oleoresin ampas jahe CV. Intrafood diadopsi dari penelitian
Nurlaili dkk. (2014) tentang pembuatan mikroenkapsulasi ampas jahe.
Ampas jahe yang digunakan pada penelitian ini berasal dari UD. Sumber
Rejeki, Yogyakarta yang dikeringkan dengan oven pada suhu 50-60C
hingga mencapai kadar air 5-7%. Kemudian digiling dan diayak dengan
ukuran 40 mesh. Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi maserasi
dengan etanol 96%, dilakukan pengadukan 2 jam dan dilanjutkan pendiaman
selama 12 jam. Ekstrak yang diperoleh dievaporasi pada suhu 50C sehingga
diperoleh oleoresin dengan sifat fisik cairan kental yang berwarna cokelat
tua pada masing-masing sampel. Namun rendemen yang diperoleh berbedabeda pada masing-masing perlakuan, rendemen tertinggi didapat pada
perlakuan perbandingan bahan dengan pelarut (1:6) dengan rendemen 6,97%

17

pada sampel kering. Untuk sifat kimia dari oleoresin ampas jahe yang
diperoleh mengandung zingiberen dengan konsentrasi 37,13%. Namun untuk
senyawa gingerol dan shogaol tidak terdeteksi karena oleoresin yang
dihasilkan tergolong encer sehingga keberadaan senyawa tidak dapat
dideteksi oleh gas chromatography.
3. Pengemas Kertas Aktif
a. Pengemas Aktif
Pengemas aktif (active packaging) memiliki istilah lain diantaranya
yaitu smart, interactive, clever, maupun intelligent packaging. Sedangkan
pengertiannya dari pengemas aktif adalah suatu metode pengemasan yang
mempunyai indikator eksternal maupun internal untuk menunjukkan adanya
perubahan aktif dari produk dan menentukan mutunya. Kemasan ini bersifat
interaktif karena adanya interaksi aktif dari bahan kemasan dan bahan
pangan yang dikemas. Sebagaimana tujuan pengemas lainnya, kemasan aktif
bertujuan untuk mempertahankan mutu produk dan memperpanjang umur
simpan. Adapun kemampuan-kemampuan yang dimiliki kemasan aktif
adalah sebagai bahan

penyerap O2 (oxygen scavanger), penyerap atau

penambahan CO2, ethanol emiters, penyerap air, sebagai antimikroba, bahan


penyerap yang dapat mengeluarkan aroma, dan pelindung cahaya. Selain itu
dilengkapi indikator-indikator berupa time temperature indicator yang
dipasang di permukaan kemasan, indikator O2, CO2, kejutan fisik serta
kerusakan mutu yang disebabkan oleh bahan-bahan volatil yang disebabkan
adanya reaksi kimia, enzimatis maupun aktivitas mikroba pada bahan
pangan (Julianti dan Nurminah, 2006).
Kemasan aktif diklasifikasikan menjadi 2 jenis utama, yaitu kemasan
non migrasi dan kemasan migrasi. Kemasan aktif non migrasi merupakan
kemasan aktif yang diinginkan karena tanpa adanya migrasi komponen aktif
dari kemasan ke dalam makanan. Contoh dari pengemas ini adalah

18

pengemas penyerap kelembaban seperti adsorpsi air oleh zeolit, selulosa dan
turunannya serta pengemas antimikroba (Dainelli dkk., 2008). Migrasi zat
dapat terjadi melalui kontak langsung antara makanan dengan bahan
kemasan melalui fase gas difusi dari lapisan kemasan ke permukaan
makanan. Untuk mengendalikan migrasi zat aktif yang terlalu tinggi ataupun
rendah maka perlu diperhatikan konsentrasi penambahan zat tersebut.
Teknologi kemasan aktif memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan
dengan penambahan langsung senyawa aktif karena migrasi zat aktifnya
lebih

kecil

dalam

mempengaruhi

perubahan

bahan

pangan

(Conte dkk., 2013).


Pengemas aktif yang banyak dijumpai saat ini adalah jenis oxygen
scavenger berupa silika gel yang dijumpai pada kemasan pangan maupun
non pangan. Adapun pengemas aktif yang sedang berkembang saat ini,
adalah pengemas dengan penambahan antimikroba, baik jenis edible film,
edible coating maupun kertas. Namun pengemas aktif jenis ini masih dalam
skala penelitian yang berlanjut untuk memperoleh mutu yang optimal dan
diterima masyarakat. Bahan antimikroba yang ditambahkan pada edibel film
atau coating berupa minyak atsiri, rempah dalam bubuk atau oleoresin,
kitosan, dan bakteriosin seperti nisin. Atau bahan dari senyawa kimia berupa
asam-asam organik seperti asam laktat, asetat, malat maupun sitrat.
Penambahan bahan aktif tersebut bisa ditambahkan ke dalam matriks
maupun dilapiskan pada lapisan filmnya (Winarti dkk., 2012).
Selain jenis film, pengemas yang dapat dibuat sebagai pengemas aktif
yaitu jenis pengemas kertas. Pengemas dengan bahan kertas maupun kertas
karton digunakan sekitar sepertiga dari jumlah total pasar kemasan. Sekitar
lebih dari 50% pengemas kertas digunakan oleh industri makanan. Pada
tanggal 16 Februari 1665, Charles Hildeyer menemukan kertas sebagai
kemasan produk makanan. Kemudian penggunaannya meluas selama bagian
akhir abad ke-19 untuk memenuhi industri manufaktur. Penggunaan

19

pengemas kertas dapat dijumpai pada semua kategori utama makanan,


seperti makanan kering produk sereal, makanan beku, coklat atau permen,
makanan instan, buah, sayuran maupun daging segar (Coles dkk., 2003).
b. Pengemas Kertas Aktif
Pengemas kertas maupun kardus merupakan pengemas yang terbuat dari
serat selulosa kayu maupun tanaman serat yang diambil dengan
menggunakan sulfat maupun sulfit. Kertas memiliki sifat penghalang yang
buruk sehingga tidak cocok untuk penyimpanan waktu lama. Dengan
demikian sifat pelindung kertas ditingkatkan dengan coating, laminating
maupun diisi dengan lilin maupun resin. Pengemas kertas memiliki
keunggulan dalam hal daur ulang dengan biaya yang relatif rendah. Dengan
demikian banyak digunakan dalam mengemas bahan-bahan hortikultura
(Opara dan Midtshwa, 2013). Kertas memiliki potensi sebagai pengemas
aktif karena kertas memiliki struktur berpori, sehingga agen antimikroba
yang terserap di pori-pori dapat meningkatkan kinerja bahan kertas, seperti
uap air dan permeabilitas gas, kekuatan fisik, sifat optik, dan sifat
permukaan, serta aktivitas antimikroba. Agen antimikroba bahan kemasan
dapat berdifusi ke produk makanan dan proses migrasi ini dapat
memperpanjang masa simpan produk yang dikemas (Rakchoy dkk., 2009).
Metode pembuatan pengemas kertas aktif tidak jauh beda dengan
pengemas aktif pada edible film atau coating, yaitu ditambahkan bahan aditif
pada matriks kertas maupun dilapiskan pada permukaannya. Penelitian
mengenai pengemas kertas telah dilakukan di berbagai negara. Dalam
penelitian Rusia, pengemas kertas dengan penambahan agen fungistatic
berupa preventol ON dan o-phenylphenol asam propionat dapat menghambat
pertumbuhan Rhizopus nigricans, Botrytis cinerea, Penicillium expansum,
Monilia fructigena, dan Trichothecium roseum pada buah maupun sayuran.
Agen fungistatic tersebut dapat menghambat semua jamur kecuali Rhizopus
nigricans dengan konsentrasi 0,5%, sedangkan untuk Rhizopus nigricans

20

efektif pada konsentrasi 1%. Penelitian di Jepang kertas ditambahkan


senyawa anti jamur berupa asam 1,17-diaguanidino-9-azaheptadecane
dengan konsentrasi awal 0,08% menjadi 10%. Selain itu Jepang juga telah
membuat pengemas kertas antimikroba dengan penambahan senyawa aktif
berupa garam mikrobisidal (rantai karbon 9 atau lebih) yang senyawanya
mengandung gugus guanidin lipofilik, digunakan untuk membungkus buah.
Di Italia, penambahan bakterisida maupun fungisida pada karton berupa
senyawa triakiltin mampu menghambat mikroba berupa Escherichia coli dan
Staphylococcus pyogenesvar aureus. Dan di India, kertas miyak ditambah
fungistatic berupa asam sorbat dan antioksidan dalam larutan karboksimetil
selulosa 2%. Bahan pangan yang dikemas dengan pengemas ini, dapat
bertahan minimal 10 hari (Brody dkk., 2001).
Proses produksi kertas secara industri terdiri dari proses stock
preparation, paper machine, dan finishing converting. Stock preparation
(penyediaan bahan) meliputi persiapan bahan baku pulp, penyiapan larutan
CaCO3, larutan filler non CaCO3, dan pembuatan bahan pewarna. Persiapan
bahan baku pulp terdiri dari 4 tahapan, yaitu proses pembuburan
(penghancuran) lembaran pulp dan broker paper menjadi buburan pulp
dengan menambah process water. Kemudian dari flow tank, bubur pulp yang
dihasilkan dilewatkan terlebih dahulu melalui filter untuk dibersihkan
kembali, baru kemudian digiling. Setelah itu disiapkan larutan CaCO3,
larutan filler non CaCO3 sebagai bahan pengisi pada kertas dan pewarna
kertas. Langkah selanjutnya adalah pencampuran masing-masing bahan.
Pada tahapan Paper Machine terjadi proses utama dalam pembuatan kertas,
dimana bubur pulp yang telah dicampur dengan bahan-bahan penunjang lain
yang telah disiapkan untuk dipress dan dikeringkan hingga menjadi jumbo
roll. Tahap terakhir dalam pembuatan kertas adalah finishing and converting
dimana kertas dalam bentuk jumbo roll diuji kualitasnya oleh Quality
Control (QC), kemudian untuk kertas yang lolos uji dikirim ke bagian

21

finishing untuk tahap pemotongan, penyortiran, dan pembungkusan


(Parlaungan, 2011).
c. Bahan-Bahan Pengemas Kertas Aktif
1) Pulp
Proses pembuatan pulp secara garis besar disampaikan oleh Adhi
dan Susanto (2012) dalam penelitiannya yaitu ada tahapan debarking,
chipping, cooking, cleaning, refining, mixing, the wet end, the wire,
press roll, dan the dry end. Debarking merupakan langkah pemisahan
kayu dari kulitnya. Chipping adalah proses pemotongan kayu yang tidak
mengandung kulit sampai ukuran 2 cm. Cooking yaitu pemasakan
potongan kayu dalam tungku, dicampurkan dengan bahan-bahan kimia
dan air sehingga menjadi pulp. Cleaning bertujuan untuk membuang
semua kotoran dan sisa kulit kayu, dimana pulp dicuci dengan air
kemudian dibleaching. Refining yaitu serat kayu ditempa untuk
mendapatkan panjang serat yang tepat, sehingga antar serat saling
terikat satu sama lain. Mixing yaitu pemasukan pulp yang telah
dihaluskan ke dalam mesin pengaduk dan ditambahkan ratusan liter air
dan ditambahkan

filler, bahan kimia, sizing

agent, dan pewarna.

Langkah-langkah selanjutnya adalah proses pembuatan kertas hingga


akhir. Adapun komponen penyusun kertas ada 5 komponen, yaitu:
a) Serat kayu selulosa berasal dari kayu, sebagai bahan utama
pembuatan kertas.
b) Filler (bahan pengisi) merupakan bahan yang memberikan opasitas
pada kertas, meningkatkan derajat keputihan dan kehalusan pada
kertas. Biasanya menggunakan CaCO3 atau tanah liat (clay).
c) Sizing agent (bahan perekat) sebagai pelapis permukaan kertas yang
berfungsi untuk menahan pembasahan yang berlebihan dan
penyebaran tinta.

22

d) Optical brightener adalah bahan untuk meningkatkan kecerahan


kertas.
e) Coating merupakan pengaplikasian pigmen mineral di atas
permukaan kertas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
permukaan dan kehalusan kertas, serta meningkatkan kualitas cetak.
2) Senyawa Antimikroba
Secara umum, proses pembuatan pengemas kertas aktif sama
dengan pembuatan pengemas kertas biasa. Perbedaanya hanya pada
penambahan senyawa aktif yang memiliki sifat interaksi aktif dari bahan
kemasan dengan bahan pangan yang dikemas. Penambahan senyawa
aktif bisa ditambahkan ke dalam matriks maupun dilapiskan pada
permukaan kemasan (coating). Penambahan senyawa antimikroba pada
makanan dapat dilakukan secara langsung maupun sebagai zat pelapis
pada kemasan dengan konsentrasi yang tinggi namun yang diharapkan
senyawa aktif yang terkandung memiliki aktivitas migrasi yang rendah.
Senyawa antimikroba yang ditambahkan berupa asam-asam organik
(asam sorbat, propionat maupun benzoat), bakteriosin (nisin, pediosin,
maupun laktin), minyak atsiri, enzim, dan fungisida. Komponen minyak
atsiri secara alami memiliki kemampuan sebagai antimikroba, mampu
menghambat perkembangbiakan mikroorganisme. Minyak atsiri yang
dimanfaatkan sebagai antimikroba seperti thyme, kayu manis, cengkeh,
dan oregano dengan komponen utama mereka adalah terpenoid dan
fenol (Khwaldia dkk., 2010).
Salah satu senyawa antimikroba yang bersifat alami adalah minyak
atsiri. Komponen minyak atsiri juga terkandung dalam oleoresin yang
tersusun atas oleo sebagai minyak dan resin. Minyak cenderung kurang
larut dalam air, sehingga dalam pembuatan pengemas kertas aktif perlu
ditambahkan emulsifier.

23

3) Tween 80
Tween 80 merupakan reagen yang ditambahkan pada campuran
bubur kertas untuk melarutkan ekstrak (Hadi, 2008). Tween 80
merupakan nama dagang dari polyxyethylene sorbitanmonooleat (poly
sorbat 80) yang bersifat tidak beracun dengan kekentalan seperti minyak
cair. Tween 80 berperan sebagai emulsifier yang digunakan untuk
meningkatkan kemudahan membentuk emulsi atau kestabilan emulsi.
Dalam pembentukan emulsi, tween berfungsi sebagai pembuat busa
yang mengikat air ke permukaan bahan sehingga bahan dah dikeringkan
oleh udara panas. Semakin besar konsentrasi tween dalam bahan, maka
makin banyak busa yang terbentuk dan makain besar pula jumlah air
yang teruapkan (Prasetyo dan Vicentius, 2005).
Konsentrasi tween 80 berpengaruh terhadap kadar air suatu bahan.
Hal ini disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada tween 80 yang
mengikat gugus OH dari air sehingga membuat bahan menjadi bersifat
higroskopis (Susanti dan Putri, 2014). Sifat higroskopis disebabkan oleh
busa yang terbentuk. Struktur busa stabil yang tersisa di prosuk akhir
membuat bahan bersifat porous sehingga mudah menyerap air kembali.
Semakin besar konsentrasi tween 80 maka reabsorbsi uap air pada
produk semakin meningkat pula. Namun pengaruh positif dari tween 80
adalah mampu membentuk lapisan pelindung diantara fase terdispersi
dan fase kontinyu sehingga mampu melindungi dari kerusakan oksidatif.
Hal ini disebabkan oleh sifat hidrofil yang kuat sehingga mampu
menstabilkan sistem yang bersifat minyak dalam air. Oleh karena itu
tween 80 mampu meningkatkan kadar vitamin C bubuk sari buah tomat
karena sifatnya sebagai pelindung dan meningkatkan karotenoid karena
sifatnya sebagai emulsifier (Kamsiati, 2006).

24

4) Komponen Filler (Pengisi)


Ada beberapa komponen yang ditambahkan pada pembuatan
pengemas kertas, salah satunya adalah komponen filler (pengisi) untuk
memperbaiki kualitas kertas. Dalam penelitian pembuatan kertas daur
ulang, penambahan kitosan mempengaruhi tingkat kehalusan dan
kekuatan tarik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kertas daur ulang
tanpa penambahan kitosan. Hal ini disebabkan oleh adanya kitosan
dalam serat-serat fiber selulosa yang mampu memperpendek dan
mempererat ikatan antar fiber selulosa dengan cara membentuk ikatan
hidrogen

sehingga

kertas

menjadi

rata

dan

halus

(Saputro dan Lina, 2009).


Kitosan merupakan polimer dari 2-amino-2 Deoksi-D-glukosa.
Kitosan mengandung senyawa nitrogen lebih dari 70%. Kitosan
dimanfaatkan sebagai pengawet makanan (pengganti boraks dan
formalin), pengolahan limbah, obat pelangsing, kosmetik, dan
sebagainya. Dalam kitosan terdapat gugus aktif yang berikatan dengan
mikroba

sehingga

mampu

menghambat

pertumbuhan

mikroba

(Mahatmanti dkk., 2008). Kitosan merupakan kitin yang telah


dideasetilasi. Proses pembuatan kitosan meliputi demineralisasi,
deproteinasi dan deasetilasi. Kitosan mempunyai rantai yang lebih
pendek daripada kitin, sehingga mudah mengalami depolimerisasi
selama penyimpanan yang lama dan suhu tinggi. Sifat dan penampilan
kitosan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi, seperti jenis pelarut,
konsentrasi, waktu, dan suhu proses ekstraksi. Secara fisik, kitosan
berwarna putih kecoklatan. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta
viskositas larutannya tergantung derajat deasetilasi dan derajat degradasi
polimer. Kitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang
bermuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam
empedu, dan fosfolipid. Kitosan larut dalam asam dan air dengan

25

membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu
muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus
NH. Kitosan mempunyai kemampuan membentuk gel, film dan fiber
sehingga banyak digunakan dalam industri makanan, kosmetik,
kesehatan, farmasi, pertanian serta pengolahan limbah. Pada industri
makanan, kitosan digunakan sebagai suspensi padat, pengawet,
penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, dan
sebagainya (Trisnawati dkk., 2013).
Asam asetat digunakan sebagai media pelarut kitosan, karena
mengandung gugus karboksil yang berinteraksi dengan gugus amina
dari keduanya sehingga membentuk ikatan hidrogen dan mempermudah
pelarutan kitosan. Interaksi ini akan membentuk polikationat jika ada
molekul lain yang bermuatan negatif sehingga mempunyai kemampuan
sebagai anti mikroba (Pebriani dkk., 2012). Mekanisme penghambatan
mikroba oleh kitosan adalah dimana kitosan berikatan dengan protein
membran sel (glutamat) dan membran fosfolipid sehingga meningkatkan
permeabilitas inner membran (IM) yang mempermudah keluarnya
cairan sel (Trisnawati dkk., 2013).
Penambahan kitosan sebagai bahan pengisi pada pembuatan kertas,
memiliki pengaruh positif terhadap sifat fisik kertas yang dihasilkan.
Kitosan yang ditambahkan pada pembuatan film, dapat meningkatkan
nilai kuat tarik. Semakin banyak kitosan yang ditambahkan, maka nilai
kuat tarik pada film akan semakin meningkat pada formulasi tertentu.
Hal ini disebabkan oleh adanya pembentukan ikatan hidrogen antar
rantai sehingga edible film menjadi lebih rapat. Namun juga
berpengaruh terhadap elongasi produk, dimana semakin banyak kitosan
yang ditambahkan pada formulasi pati-kitosan maka elongasinya
semakin rendah (Setiani dkk., 2013).

26

Jumlah kitosan yang ditambahkan memiliki persentase tertentu


dalam

setiap

pembuatan

produk.

Pada

pembuatan

bioplastik,

penambahan kitosan sebesar 1% dan 2% nilai kuat tarik mengalami


kenaikan. Namun pada penambahan kitosan 3% dan 5% akan
menurunkan kuat tarik bioplastik. Dengan demikian, semakin banyak
kitosan yang ditambahkan, maka bioplastik yang dihasilkan semakin
rapuh. Namun semakin banyak kitosan yang ditambahkan pada
bioplastik, maka tingkat kerusakan semakin rendah dan terdegradasi
lebih lama (Hartatik dkk., 2013).
Bahan pengisi lain yang ditambahkan pada pembuatan kertas adalah
pati tapioka untuk meningkatkan kualitas permukaan dan kehalusan
kertas, serta meningkatkan kualitas cetak. Pada pembuatan papan isolasi
dari campuran pulp limbah pembalakan hutan dan arang aktif, kerapatan
isolasi dengan perekat tapioka memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan
dengan perekat kitosan. Hal ini disebabkan oleh sifat kitosan yang sukar
larut dalam air (dalam keadaan panas atau hangat) dibandingkan dengan
pati tapioka. Pati tapioka mengandung rantai lurus dengan percabangan
(amilopektin) yang membentuk gel dalam air hangat sehingga dapat
mengikat serat-serat pulp pada proses perekatan. Sedangkan kitosan
mengandung kitin yang sukar larut dalam air, sehingga serat pulp
kurang sempurna dalam mengikat serat-serat sehingga struktur internal
lembaran papan isolasi kurang kompak (Roliadi dkk., 2012).
Perekat dalam pembuatan kertas mempengaruhi sifat ketahanan
tarik. Dalam penelitian pembuatan kertas seni dari pelepah pisang, sifat
ketahanan tarik dipengaruhi oleh adanya pati atau tapioka yang
tergelatinisasi pada proses pulping sebagai bahan perekat. Dengan
adanya perekat, maka lembaran kertas menjadi kuat dan tidak mudah
putus ketika direntangkan dan ditarik pada sisi-sisi yang berlawanan
(Sucipto dkk., 2009).

27

4. Karakter Pengemas Kertas Aktif


Karakteristik umum bahan pengemas kertas adalah bahan bersifat ringan
(densitas rendah); mempunyai sifat barrier (tahan) yang buruk terhadap cairan,
uap air, maupun gas; mempunyai tingkat kekakuan yang baik; bersifat
menyerap uap air dan cairan; dapat dilipat dan direkatkan dengan lem; mudah
robek; tidak mudah pecah dan permukaannya mudah dilakukan pencetakan
(Hariyadi, 2008). Karakteristik lain yang dimiliki kertas secara umum adalah
gramatur, ketebalan, kelembaban, surface strength (kemampuan permukaan
kertas menahan gaya tarik), stiffness (kemampuan menahan tegangan bending),
tensile strength (kekuatan tarik), tear strength (kekuatan robek), brightness
(kecerahan), whiteness (derajat putih), opasitas (tingkat keburaman), gloss atau
kilap, dan kehalusan (Adhi dan Susanto, 2012). Masing-masing karakteristik
dipengaruhi oleh bahan yang ditambahkan maupun teknik pembuatan kertas.
a. Kadar Air
Jumlah air mempengaruhi karakteristik pengemas, terutama kadar uap
air. Kadar uap air merupakan jumlah berat air yang terdapat dalam material
tertentu dan dijelaskan dalam prosentase berat terhadap material tertentu
dalam keadaan bebas air. Kadar uap air bervariasi, tergantung dengan
keadaan humidity ruangan. Udara pada suhu tertentu, akan terbentuk uap air.
Jika jumlah air maksimum, maka tekanan uapnya jenuh. Namun bila uap air
belum maksimum maka uap air tersebut merupakan relative humidity (RH).
Peningkatan temperatur akan menyebabkan RH akan turun, karena
peningkatan temperatur menyebabkan ruangan mengandung uap air lebih
tinggi. Sedangkan jika suhu menurun maka RH akan meningkat. Kertas
mengandung 8% uap air dalam kondisi RH 65%. Jika udara dingin, RH
meningkat menjadi 80% maka kertas akan menyerap uap air lebih tinggi
sehingga kadar air meningkat menjadi 12%. Jika suhu naik, RH turun
menjadi 48% maka kadar air kertas turun menjadi 7%. Bila udara terbuka
suatu material dapat menyerap atau melepas air, demikian juga pada ruang

28

tertutup maka kemasan mengalami hal yang sama. Konsep ini dinamakan
sebagai ERH (Equilibrium Relative Humidity), dimana uap air menembus
barrier yang terdapat pada kemasan. Perlindungan kemasan terhadap uap air
merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam umur simpan
suatu produk. Dengan demikian hal yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan kemasan adalah dengan cara memperlambat uap air dari udara
masuk ke dalam kemasan, sehingga kerusakan produk bisa ditunda
waktunya. Jumlah air yang terdapat pada bahan pangan tergantung kondisi
lingkungan dan pada persentase tertentu tidak berpengaruh terhadap suatu
produk, seperti pada biskuit yang mengandung kadar air 2% setelah
pemasakan

maka

tak

akan

ada

pengaruh

terhadap

konsumen

(Departemen Perindustrian, 2007).


b. Ketebalan
Ketebalan pengemas kertas merupakan jarak antara permukaan sisi atas
dan sisi bawah kertas yang diukur dalam satuan mikron. Pengukuran
ketebalan kertas dilakukan pada beberapa titik yang berbeda dan dilakukan
lebih dari satu kali pengukuran. Hal ini disebabkan karena dalam satu lembar
kertas memiliki ketebalan yang berbeda. Ketidakteraturan ketebalan
lembaran kertas sangat berhubungan dengan bahan baku dan proses
produksinya. Sebagaimana yang disampaikan Casey (1961) dalam Nurminah
(2002), pengaruh komposisi pulp serat pendek dan panjang akan
mempengaruhi kerapatan lembaran dan ketebalan kertas (Nurminah, 2002).
c. Ketahanan Tarik
Ketahanan

tarik

kertas

merupakan

kemampuan

kertas

untuk

mempertahankan keadaannya agar tidak putus bila dikenai regangan.


Ketahanan tarik kertas menentukan kemampuan kertas sebagai pengemas.
Kekuatannya dipengaruhi oleh arah serat dalam lembaran pulp yang sejajar
dengan arah tarikannya maupun ikatan antar serat yang makin besar
(Zulfikar, 2009). Serat selulosa mempengaruhi sifat yang memenuhi

29

kebutuhan dalam pembuatan kertas. Ketangguhan serat ditentukan oleh


bahan mentah dan proses yang digunakan dalam pembuatan pulp. Lignin
yang terikut dalam pulp menurunkan kekuatan kertas dan menyebabkan
kertas menguning, dengan demikian lignin perlu dikurangi. Hal ini
dikarenakan lignin bersifat menolak air dan kaku sehingga menyulitkan
dalam proses penggilingan. Pengaruh waktu perendaman yang bervariasi
berpengaruh dengan pelunakan kertas yang akan dibentuk menjadi pulp,
sehingga dalam hal ini kandungan serat penting untuk diperhatikan
(Dahlan, 2011).
Proses penggilingan pada tingkat tertentu dapat meningkatkan kekuatan
tarik, namun pada penggilingan yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penurunan kekuatan tarik yang disebabkan terjadinya disintegrasi
serat. Kekuatan tarik suatu kertas berbeda-beda, karena dalam setiap jenis
kertas yang dihasilkan dengan penambahan bahan-bahan tertentu untuk
mendapatkan sifat tertentu sesuai dengan tujuan penggunaan kertas tersebut.
Peningkatan kadar air kertas juga mempengaruhi ketahanan tarik pada titik
keseimbangan kertas. Salah satu faktor yang paling penting adalah adanya
penambahan bahan pengisi dan sizing dalam pembentukan lembaran kertas
(Nurminah, 2002). Bahan perekat, seperti tapioka yang digunakan pada
proses pulping pembuatan kertas pelepah pisang berperan dalam
meningkatkan ketahan tarik kertas. Adanya pati tapioka yang tergelatinisasi
akan menyebabkan tiap lembaran kertas menjadi kuat dan tidak mudah putus
saat direntangkan dan ditarik pada sisi berlawanan (Sucipto dkk., 2009).
d. Ketahanan Lipat
Ketahanan lipat merupakan kemampuan kertas dalam menahan
beberapa kali lipatan sebelum terputus. Ketahanan lipat kertas dapat
dianggap sebagai modifikasi pengujian ketahanan tarik, dimana kertas diberi
tekanan hingga mengalami kerusakan. Namun hasil uji ketahanan lipat ini
dipengaruhi oleh kemampuan fleksibilitas kertas dibandingkan dengan

30

ketahanan tariknya. Ketahanan lipat kertas dapat diukur pada mesin maupun
silang mesin (machine and cross machine), dimana arah mesin mengacu
pada garis lipatan yang tegak lurus dengan arah mesin kertas. Pada
umumnya, ketahanan lipat kertas pada arah mesin lebih besar daripada silang
mesin yang juga menunjukkan kekuatan tarik yang juga lebih besar pada
arah mesin (Syafurjaya dan Hasanah, 2009).
e. Aktivitas Antimikroba
Karakter khusus yang dimiliki oleh pengemas aktif adalah adanya
interaksi aktif dari bahan kemasan dan bahan pangan yang dikemas, salah
satunya adalah sebagai antimikroba yang dapat memperlama umur simpan.
Film PP dengan penambahan minyak atsiri kayu manis dan oregano
menunjukkan bahwa bahan pangan dapat disimpan selama 2 bulan lebih,
tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan. Dengan demikian senyawa
atsiri yang ditambahkan pada pengemas dapat memperpanjang masa simpan
karena adanya senyawa antimikroba (Lopez dkk., 2007).
Tanda-tanda kerusakan bahan pangan secara umum yaitu adanya
perubahan kekenyalan pada produk daging dan ikan, pelunakan tekstur pada
sayuran, perubahan kekentalan pada susu maupun santan, pembentukan
lendir, pembentukan asam, perubahan warna, dan perubahan bau.
Kebusukan yang terjadi pada daging ditandai dengan terbentuknya senyawa
berbau busuk seperti amonia, H2S, indol dan amin yang merupakan hasil
pemecahan protein oleh mikroba. Secara organoleptik, kerusakan daging
ditandai dengan adanya perubahan bau, warna, kekenyalan, penampakan,
dan rasa yang menyimpang dari bahan aslinya. Secara kuantitatif, tandatanda kebusukan pangan belum trelihat pada kisaran jumlah mikroba 105-106
kecuali pada susu mentah (Siagian, 2002). Sedangkan tanda kerusakan
mikrobiologi pada sayuran dan buah yaitu, busuk air pada sayuran yang
disebabkan oleh adanya pertumbuhan bakteri; perubahan warna yang
disebabkan oleh pertumbuhan kapang dengan membentuk spora berwarna

31

hitam, hijau, abu-abu, biru hijau dan sebagainya; serta bau alkohol rasa asam
dan pembentukan gas yang disebabkan oleh khamir atau bakteri asam laktat
(Koswara, 2009).
Kerusakan produk pangan yang disebabkan oleh mikroba dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu sifat dan komposisi bahan penyusun serta kondisi
lingkungan (pH, ketersedian air, suhu maupun oksigen). Buah yang baru
dipanen telah ditumbuhi mikroba (mikroflora), namun tidak sampai
menyebabkan adanya pembusukan. Mikroba penyebab pembusukan buah
dapat tumbuh bila terjadi pelukaan selama proses pemanenan, kondisi suhu
dan kelembababan saat penyimpanan, maupun keberadaan lalat yang ikut
menyebarkan mikroba. Pembusukan buah, pada umumnya disebabkan oleh
infeksi jamur (kapang). Kapang yang berhasil diisolasi dari berbagai buah
adalah Aspergillus sp., A. niger, Penicilliumsp., P.italicum, P.digitatum,
Gloeosporium musae, Fusarium sp, Monocillium spp yang ditemukan di
buah pisang. Mikroba pembusuk merupakan pembatas utama dalam
memperpanjang masa simpan buah (Rakhmawati, 2013).
Salah satu kapang penyebab kerusakan buah adalah Aspergilus niger.
Koloni jamur Aspergilus niger memiliki bentuk yang tidak beraturan dengan
tepi yang tidak rata. Secara visual, pada awal pengamatan, miselium jamur
berwarna putih dan pada hari ke-3 warna miselium berubah kehitaman.
Sedangkan secara mikroskopis, Aspergilus niger memiliki ciri-ciri hifa hialin
dan bersekat, konidiofor tegak dan panjang, serta kepala konidia membesar
dan berisi konidia. Konidia terdiri dari satu sel dan warna koloninya
bervariasi, tergantung pada jenisnya. Konidia atas A. niger berwarna hitam,
hitam kecoklatan maupun hitam violet dengan bagian atas membesar dan
membentuk globusa, konidiofor halus, tidak berwarna, vesikel globusa
dengan bagian atas membesar, dan bagian ujung serupa batang kecil
(Afriyeni dkk., 2013).

32

Bakteri pembusuk pada daging, salah satunya adalah Pseudomonas


flourescens yang merupakan jenis bakteri Gram negatif yang berbentuk
batang lurus atau kokus. Pada umumnya bakteri ini memproduksi pigmen
yang mudah larut air. Sebagian besar bakteri ini bersifat aerob obligat dan
oksidase positif. Bakteri ini pada umumnya bersifat mesofil dengan suhu
pertumbuhan 37C dan tidak tahan terhadap panas (mati pada suhu lebih dari
43C). Bakteri ini tidak tahan terhadap CO2 dan keadaan kering, namun pada
aw 0,970-0,998 dapat tumbuh dengan baik (Koswara, 2009).
Senyawa antimikroba merupakan senyawa biologis maupun kimia yang
dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba penyebab kebusukan
atau keracunan pada bahan pangan. Komponen antimikroba bersifat dapat
menghambat maupun membunuh bakteri atau kapang. Zat aktif yang
terkandung dalam berbagai ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat
mikroba patogen maupun perusak bahan pangan. Zat aktif tersebut dapat
berasal dari bagian tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun,
maupun umbi. Mekanisme penghambatan antimikroba dalam membunuh
maupun menghambat yaitu pertama kali merusak dinding sel bakteri
sehingga menyebabkan adaya lisis. Kemudian terjadi perubahan pada
membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel
yang selanjutnya akan terjadi denaturasi sel sehingga kerja enzim dalam sel
terhambat.

Ada

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi

mekanisme

penghambatan oleh senyawa antimikroba, yaitu gangguan pada senyawa


penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat
menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim
dan destruksi atau kerusakan fungi material genetik (Koswara, 2009).
Rempah maupun herbal mempunyai kemampuan sebagai senyawa
antimikroba alami. Minyak atsiri yang diekstrak dari rempah dan herbal
dengan gabungan banyak senyawa akan memberikan efek antimikroba.

33

Metode uji antimikroba dapat dilakukan dengan pengukuran dari radius atau
diameter daerah penghambatan dari pertumbuhan bakteri di sekitar cakram
kertas (paper disc) yang diisi dengan senyawa antimikroba pada media agar,
penghambatan pertumbuhan bakteri pada medium agar dengan senyawa
antimikroba yang terdifusi dalam agar, konsentrasi penghambatan minimum
(MIC) dari senyawa mikroba dalam media cair, dan perubahan optical
density (OD) atau kekeruhan di dalam cairan media pertumbuhan yang
mendandung senyawa antimikroba. Terdapat tiga faktor utama yang
mempengaruhi hasil metode pengujian aktivitas mikroba, yaitu komposisi
rempah atau herbal yang akan diuji, jenis mikroba, dan metode yang
digunakan untuk menumbuhkan serta menghitung jumlah bakteri yang
bertahan hidup. Pada metode cakram kertas (paper disc), daerah
penghambatan tergantung pada kemampuan minyak atsiri berdifusi secara
merata ke dalam agar dan juga melepaskan senyawa volatil dari minyak.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil adalah keterlibatan banyak
komponen aktif dan konsentrasinya. Semakin tinggi konsentrasi maka sifat
bakterisidalnya juga semakin tinggi (TPC Project Udayana University,
2004).
Inkorporasi minyak atsiri ke edible film menyebabkan terjadinya
penghambatan pertumbuhan antimikroba. Hal ini ditandai dengan minyak
atsiri yang akan terdifusi ke media agar kemudian menghasilkan zona bening
pada media pertumbuhan mikroba. Edible film dengan inkorporasi minyak
atsiri jahe merah mampu menghambat pertumbuhan Pseudomonas putida
dan Pseudomonas fluorescence. Inkorporasi 0,1% minyak atsiri jahe merah
pada edible film tapioka mampu menghambat Pseudomonas putida sebesar
2.45 cm dan Pseudomonas fluorescens sebesar 1.92 cm (Utami, 2012).
Oleoresin jahe juga memberikan efek antimikroba pada bakteri Gram positif
maupun negatif. Data MIC (minimum inhibitory concentration) dan IZ
(inhibition zone) oleoresin jahe dari Vietnam menurut penelitian Stoyanova

34

dkk. (2006), aktivitas tertinggi melawan bakteri gram positif dan negatif
memiliki nilai MIC dan nilai IZ berbeda-beda pada masing-masing mikroba,
pada bakteri Staphylococcus aureus IZ:19, Enterococcus faecalis IZ:8,
Klebsiella pneumoniae IZ:8, dan Candida albicans IZ:8.
f. Sifat Kimia
Kemampuan jahe sebagai antimikroba dikarenakan terdapat senyawa
tertentu yang bersifat sebagai anti bakteri maupun anti jamur. Senyawa
antifungal yang terkandung dalam jahe adalah gingerol, gingerdiol dan
zingerone. Sedangkan flavonoid, fenolik, alkaloid, terpenoid dan minyak
atsiri

dapat

menghambat

pertumbuhan

mikroorganisme

patogen

(Utami dan Desty, 2013). Komponen kimia utama penyusun atsiri jahe
adalah zingiberen yang diduga mempunyai kemampuan antimikroba.
Kandungan zingiberen bervariasi antara jenis jahe satu dengan jahe lainnya.
Adapun golongan fenol, flavonoid, terpenoid dan minyak atsiri pada jahe
merupakan golongan senyawa bioaktif yang juga dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat dilihat dari daerah bebas mikroba yang
terbentuk di sekitar kertas cakram yang mengandung ekstrak segar rimpang
jahe (Sari dkk.., 2013). Untuk mengetahui komposisi kimia oleoresin ampas
jahe pada pengemas kertas aktif dapat dilakukan dengan pengujian Fourier
Transform Infra Red (FT-IR). Dalam FTIR menggambarkan informasi data
yang sangat kompleks sehingga akan menggambarkan secara menyeluruh
suatu bahan. Spektroskopi FTIR merupakan suatu teknik analisis yang cepat,
sederhana, dan non-destruktif dengan seluruh sifat kimia dalam contoh dapat
diungkapkan dan dimunculkan pada spektrum FTIR. Perubahan yang terjadi
pada posisi pita dan intensitasnya dalam spektrum FTIR akan berhubungan
dengan

perubahan

komposisi

(Purwakusumah dkk., 2014).

kimia

dalam

suatu

bahan

35

g. Sifat Sensoris
Faktor terpenting yang perlu diperhatikan pula dalam pembuatan
pengemas kertas aktif adalah sensoris, karena parameter ini menentukan
tingkat penerimaan konsumen saat dikomersialkan. Film PP dengan
penambahan minyak atsiri kayu manis dan oregano menunjukkan bahwa
bahan pangan dapat disimpan selama 2 bulan lebih, tidak memiliki efek
negatif terhadap kesehatan, namun sifat organoleptik mengalami perubahan
akibat dari senyawa aktif yang dikeluarkan. Dengan demikian, pengemas
kertas aktif dalam penelitian ini perlu diketahui tingkat kesukaan dari panelis
(Lopez dkk., 2007). Pengaruh penambahan zat ekstraktif pada pengemas
kertas aktif memiliki pengaruh yang kurang baik terhadap proses pulping
dan kualitas kertas yang dihasilkan. Zat ekstraktif, terutama yang berupa
minyak dan lemak akan dapat mengurangi kekuatan ikatan antar serat. Selain
itu kandungan ekstraktif yang tinggi akan menyebabkan timbulnya noda
pada kertas (Mariani, 2010).
Pemanfaatan tumbuhan sebagai pengemas, di wilayah Afrika, Asia dan
Amerika Selatan sebagai pengemas tradisional masih banyak digunakan.
Daun tumbuhan tersebut memiliki kemampuan dalam memberikan aromatik,
pewarna alami, kemampuan sebagai enzim dan antimikroba (terutama yang
mengandung minyak atsiri). Interaksi pengemas tersebut dengan makanan
akan memberikan perubahan tekstur, sifat organoleptik dan memperlambat
pembusukan oleh mikroba. Dengan demikian ada beberapa peraturan yang
perlu diperhatikan mengenai pengaruh bahan aktif yang kontak dengan
makanan, yaitu tidak membahayakan kesehatan manusia, tidak membawa
perubahan yang tidak dapat diterima dalam komposisi dan tidak membawa
penurunan karakteristik organoleptik (Danielli dkk., 2008).

36

B. Kerangka Berpikir
Jahe segar yang telah dicuci
Emprit:Merah (1:1)

Pengepresan

Sari jahe

Pengolahan minuman jahe


instan

Ampas Jahe

Pengolahan menjadi oleoresin

Terdapat
senyawa
aktif
antimikroba dan antifungal

(Proses Produksi di CV Intrafood)


Dapat ditambahkan pada bahan
pengemas kertas

Pengemas
Kertas Aktif

Uji karakter fisikokimia, sensori,


penghambatan
mikroba
dan
penyimpanan.
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah penambahan oleoresin ampas jahe pada
pembuatan pengemas kertas aktif mempengaruhi karakter fisik, kimia, sensori,
aktivitas antimikroba dan karakter fisik serta aktivitas antimikroba pada pengemas
aktif terpilih selama penyimpanan.

Anda mungkin juga menyukai