Ampas Jahe h0911064 - Bab2 PDF
Ampas Jahe h0911064 - Bab2 PDF
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Jahe
Jahe merupakan jenis tanaman temu-temuan (Zingiberaceae), sefamili
dengan temulawak, temu hitam, kunyit, kencur, dan lain-lainnya. Bagian
terpenting dari jahe adalah rimpangnya. Jika rimpang tersebut dipotong, maka
tampak warna daging yang bervariasi, dari putih kekuningan, kuning atau
jingga tergantung klonnya. Secara umum jahe memiliki rasa pedas karena
mengandung senyawa gingerol. Selain itu memiliki aroma harum dan kuat
akibat oleh adanya minyak atsiri yang umumnya berwarna kuning dan sedikit
kental. Sedangkan kandungan gingerol dipengaruhi oleh umur tanaman dan
agroklimat setempat dimana tanaman jahe tumbuh (Santoso, 1989). Namun
secara umum komposisi kimia rimpang jahe dipengaruhi oleh faktor jenis,
kondisi tanah, umur panen, cara budidaya, penanganan pasca panen, cara
pengolahan, dan ekosistem tempat tanaman ditanam (Koswara dkk., 2012). Dua
komponen utama yang terkandung dalam jahe yaitu komponen volatil berupa
oleoresin (4,0-7,5%), yang bertanggungjawab terhadap aroma jahe (minyak
atsiri) dengan komponen terbanyak zingiberen dan zingiberol. Sedangkan
komponen non volatil, penyebab rasa pedas pada jahe salah satunya adalah
gingerol (Bermawie dan Purwiyanti, 2013).
Tanaman jahe dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan rimpangrimpangnya, sehingga pemberian nama jenis atau varietas jahe disebut sebagai
klon. Varietas jahe yang berkembang di Indonesia dibedakan atas 3 klon
berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang. Ketiga klon jahe tersebut
adalah jahe merah, jahe emprit dan jahe gajah (Rukmana, 2000).
6
: Pteridophyta
: Angiospermae
: Monocotyledoneae
: Scitamineae
: Zingiberaceae
: Zingiber
: Zingiber officinale Rose (Suprapti, 2003).
Jahe Gajah
Jahe Emprit
Jahe Merah
Minyak
Atsiri (%)
1,62-2,29
3,05-3,48
3,90
Karakteristik
Pati
Serat Abu (%)
(%)
(%)
55,10
6,89
6,60-7,57
54,7
6,59
7,39-8,9
44,99
7,46
Air (%)
33,33
-
berwarna kuning hingga merah muda (Koswara dkk., 2012). Rasa yang
sangat pedas dan aroma tajam pada jahe merah disebabkan oleh adanya
senyawa kimia berupa gingerol. Sedangkan secara kenampakan, aroma jahe
disebabkan oleh kandungan atsiri yang umumnya berwarna kuning dan
sedikit kental. Secara umum, komponen yang terdapat pada rimpang jahe
adalah minyak yang mudah menguap (volatile oil), minyak tidak menguap
(nonvolatile oil), dan pati. Selain itu juga mengandung senyawa-senyawa
kimia berupa gingerol, 1,8-cineole, 10-dehydro-gingerdione, 6-gingerdione,
arginine, a-linolenic acid, aspartic, -sitosterol, caprylic acid, capsaicin,
chlorogenic acid, farnesal, farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung
kanji serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit. Kandungan minyak atsiri
jahe merah sekitar 2,58-2,72% dihitung berdasarkan berat kering
(Tim Lentera, 2004).
jahe merah hampir sama, namun yang berbeda hanya pada komponen kurkumen pada jahe merah tidak ditemukan (Sari dkk., 2014).
Tabel 2.2 Komponen Minyak Atsiri Jahe Emprit dan Jahe
Merah Hasil GC-MS
Komponen
Jahe Emprit (%)
Jahe Merah (%)
Kamfena
5,06
1,87
Beta mirsena
0,94
1,15
1,8 sineol
6,45
5,95
L-linalool
3,15
2,91
L-borneol
6,53
5,59
Neral
18,50
21,18
Geraniol
7,82
9,42
Sitral
26,04
30,35
4,62
-kurkumen
Sumber: Sari dkk. (2014)
10
11
Pengemasan minuman
jahe instan baik dengan pengemasan primer maupun sekunder.
Ampas jahe merupakan salah satu limbah industri yang dihasilkan saat
12
13
14
Suhu
mempengaruhi
rendemen
oleoresin
yang
diperoleh.
15
dengan pelarut, namun hal ini akan mengurangi hasil rendemen karena
adanya penggumpalan bahan saat proses ekstraksi sehingga mempersulit
pelarut dalam menembus bahan. Selain rendemen, kadar minyak atsiri pada
ukuran 40 mesh juga lebih tinggi (21,255%) jika dibandingkan dengan
ukuran 20 atau 60 mesh. Hal ini disebabkan karena selama pengecilan
ukuran yang terlalu kecil akan terjadi kehilangan atsiri akibat penguapan.
Jenis dan konsentrasi pelarut berpengaruh terhadap kualitas oleoresin
yang diperoleh. Dalam penelitian Amir dan Lestari (2013), jenis pelarut
yang digunakan dalam proses ekstraksi mempengaruhi kemampuan dalam
hal melarutkan komponen dalam bahan. Pelarut polar seperti etanol dan
aseton memberikan konsentrasi oleoresin lebih besar daripada pelarut non
polar. Hal ini disebabkan karena komponen dalam oleoresin tersusun oleh
banyak senyawa polar. Konsentrasi oleoresin tertinggi diperoleh dari pelarut
etanol karena memiliki tingkat kepolaran lebih tinggi daripada aseton.
Dalam penelitian Anam (2010), selain jenis pelarut, suhu ekstraksi juga
berpengaruh dalam penggunaan berbagai jenis pelarut. Pada awal ekstraksi
rendemen oleoresin yang dihasilkan dengan pelarut aseton mendekati
rendemen yang dihasilkan dengan pelarut etanol, namun pada hasil akhir
ekstraksi rendemennya semakin jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan viskositas. Viskositas aseton lebih rendah jika dibandingkan
dengan viskositas etanol. Semakin tinggi suhu, viskositas kedua pelarut
semakin rendah sehingga makin mudah untuk mengekstrak oleoresin namun
dibatasi oleh kepolaran dari pelarut. Adapun pengaruh konsentrasi pelarut,
menurut Ramadhan dan Haries (2010) semakin tinggi konsentrasi etanol
maka semakin rendah tingkat kepolaran pelarut yang digunakan sehingga
dapat meningkatkan kemampuan pelarut dalam mengekstrak kandungan
oleoresin yang bersifat kurang polar, sehingga rendemen yang diperoleh
semakin banyak. Pada penggunaan etanol dengan konsentrasi 99,8%
kenaikan rendemen yang signifikan hanya terdapat pada kurun waktu 0-1
16
jam karena kecepatan transfer massa akan turun seiring dengan naiknya
konsentrasi solute di dalam pelarut.
Pembuatan oleoresin jahe tidak hanya diperhatikan banyaknya
rendemen yang dihasilkan, namun kualitas oleoresin yang meliputi kadar
atsiri dan kandungan senyawa aktifnya. Faktor yang paling berpengaruh
dalam hal ini adalah lama waktu ekstraksi dan suhu. Pada ekstraksi oleoresin
jahe, komponen utama yang diinginkan adalah gingerol. Untuk memperoleh
gingerol maka suhu ekstraksi yang digunakan dibatasi suhu di bawah 45C,
karena pada suhu di atas 45C gingerol akan mengalami dekomposisi dan
sebagian akan berubah menjadi shogaol yang kualitasnya lebih rendah jika
dibandingkan dengan gingerol (Gaedcke, 2005). Menurut Ramadhan dan
Haries (2010), suhu optimum ekstraksi yang digunakan adalah 40C karena
jumlah rendemen yang dihasilkan tertinggi. Menurut Anam (2010), hal ini
dikarenakan oleh adanya interaksi antara faktor pelarut dan suhu terhadap
kadar minyak atsiri.
c. Oleoresin Ampas Jahe
Pembuatan oleoresin ampas jahe CV. Intrafood diadopsi dari penelitian
Nurlaili dkk. (2014) tentang pembuatan mikroenkapsulasi ampas jahe.
Ampas jahe yang digunakan pada penelitian ini berasal dari UD. Sumber
Rejeki, Yogyakarta yang dikeringkan dengan oven pada suhu 50-60C
hingga mencapai kadar air 5-7%. Kemudian digiling dan diayak dengan
ukuran 40 mesh. Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi maserasi
dengan etanol 96%, dilakukan pengadukan 2 jam dan dilanjutkan pendiaman
selama 12 jam. Ekstrak yang diperoleh dievaporasi pada suhu 50C sehingga
diperoleh oleoresin dengan sifat fisik cairan kental yang berwarna cokelat
tua pada masing-masing sampel. Namun rendemen yang diperoleh berbedabeda pada masing-masing perlakuan, rendemen tertinggi didapat pada
perlakuan perbandingan bahan dengan pelarut (1:6) dengan rendemen 6,97%
17
pada sampel kering. Untuk sifat kimia dari oleoresin ampas jahe yang
diperoleh mengandung zingiberen dengan konsentrasi 37,13%. Namun untuk
senyawa gingerol dan shogaol tidak terdeteksi karena oleoresin yang
dihasilkan tergolong encer sehingga keberadaan senyawa tidak dapat
dideteksi oleh gas chromatography.
3. Pengemas Kertas Aktif
a. Pengemas Aktif
Pengemas aktif (active packaging) memiliki istilah lain diantaranya
yaitu smart, interactive, clever, maupun intelligent packaging. Sedangkan
pengertiannya dari pengemas aktif adalah suatu metode pengemasan yang
mempunyai indikator eksternal maupun internal untuk menunjukkan adanya
perubahan aktif dari produk dan menentukan mutunya. Kemasan ini bersifat
interaktif karena adanya interaksi aktif dari bahan kemasan dan bahan
pangan yang dikemas. Sebagaimana tujuan pengemas lainnya, kemasan aktif
bertujuan untuk mempertahankan mutu produk dan memperpanjang umur
simpan. Adapun kemampuan-kemampuan yang dimiliki kemasan aktif
adalah sebagai bahan
18
pengemas penyerap kelembaban seperti adsorpsi air oleh zeolit, selulosa dan
turunannya serta pengemas antimikroba (Dainelli dkk., 2008). Migrasi zat
dapat terjadi melalui kontak langsung antara makanan dengan bahan
kemasan melalui fase gas difusi dari lapisan kemasan ke permukaan
makanan. Untuk mengendalikan migrasi zat aktif yang terlalu tinggi ataupun
rendah maka perlu diperhatikan konsentrasi penambahan zat tersebut.
Teknologi kemasan aktif memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan
dengan penambahan langsung senyawa aktif karena migrasi zat aktifnya
lebih
kecil
dalam
mempengaruhi
perubahan
bahan
pangan
19
20
21
22
23
3) Tween 80
Tween 80 merupakan reagen yang ditambahkan pada campuran
bubur kertas untuk melarutkan ekstrak (Hadi, 2008). Tween 80
merupakan nama dagang dari polyxyethylene sorbitanmonooleat (poly
sorbat 80) yang bersifat tidak beracun dengan kekentalan seperti minyak
cair. Tween 80 berperan sebagai emulsifier yang digunakan untuk
meningkatkan kemudahan membentuk emulsi atau kestabilan emulsi.
Dalam pembentukan emulsi, tween berfungsi sebagai pembuat busa
yang mengikat air ke permukaan bahan sehingga bahan dah dikeringkan
oleh udara panas. Semakin besar konsentrasi tween dalam bahan, maka
makin banyak busa yang terbentuk dan makain besar pula jumlah air
yang teruapkan (Prasetyo dan Vicentius, 2005).
Konsentrasi tween 80 berpengaruh terhadap kadar air suatu bahan.
Hal ini disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada tween 80 yang
mengikat gugus OH dari air sehingga membuat bahan menjadi bersifat
higroskopis (Susanti dan Putri, 2014). Sifat higroskopis disebabkan oleh
busa yang terbentuk. Struktur busa stabil yang tersisa di prosuk akhir
membuat bahan bersifat porous sehingga mudah menyerap air kembali.
Semakin besar konsentrasi tween 80 maka reabsorbsi uap air pada
produk semakin meningkat pula. Namun pengaruh positif dari tween 80
adalah mampu membentuk lapisan pelindung diantara fase terdispersi
dan fase kontinyu sehingga mampu melindungi dari kerusakan oksidatif.
Hal ini disebabkan oleh sifat hidrofil yang kuat sehingga mampu
menstabilkan sistem yang bersifat minyak dalam air. Oleh karena itu
tween 80 mampu meningkatkan kadar vitamin C bubuk sari buah tomat
karena sifatnya sebagai pelindung dan meningkatkan karotenoid karena
sifatnya sebagai emulsifier (Kamsiati, 2006).
24
sehingga
kertas
menjadi
rata
dan
halus
sehingga
mampu
menghambat
pertumbuhan
mikroba
25
membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu
muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus
NH. Kitosan mempunyai kemampuan membentuk gel, film dan fiber
sehingga banyak digunakan dalam industri makanan, kosmetik,
kesehatan, farmasi, pertanian serta pengolahan limbah. Pada industri
makanan, kitosan digunakan sebagai suspensi padat, pengawet,
penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, dan
sebagainya (Trisnawati dkk., 2013).
Asam asetat digunakan sebagai media pelarut kitosan, karena
mengandung gugus karboksil yang berinteraksi dengan gugus amina
dari keduanya sehingga membentuk ikatan hidrogen dan mempermudah
pelarutan kitosan. Interaksi ini akan membentuk polikationat jika ada
molekul lain yang bermuatan negatif sehingga mempunyai kemampuan
sebagai anti mikroba (Pebriani dkk., 2012). Mekanisme penghambatan
mikroba oleh kitosan adalah dimana kitosan berikatan dengan protein
membran sel (glutamat) dan membran fosfolipid sehingga meningkatkan
permeabilitas inner membran (IM) yang mempermudah keluarnya
cairan sel (Trisnawati dkk., 2013).
Penambahan kitosan sebagai bahan pengisi pada pembuatan kertas,
memiliki pengaruh positif terhadap sifat fisik kertas yang dihasilkan.
Kitosan yang ditambahkan pada pembuatan film, dapat meningkatkan
nilai kuat tarik. Semakin banyak kitosan yang ditambahkan, maka nilai
kuat tarik pada film akan semakin meningkat pada formulasi tertentu.
Hal ini disebabkan oleh adanya pembentukan ikatan hidrogen antar
rantai sehingga edible film menjadi lebih rapat. Namun juga
berpengaruh terhadap elongasi produk, dimana semakin banyak kitosan
yang ditambahkan pada formulasi pati-kitosan maka elongasinya
semakin rendah (Setiani dkk., 2013).
26
setiap
pembuatan
produk.
Pada
pembuatan
bioplastik,
27
28
tertutup maka kemasan mengalami hal yang sama. Konsep ini dinamakan
sebagai ERH (Equilibrium Relative Humidity), dimana uap air menembus
barrier yang terdapat pada kemasan. Perlindungan kemasan terhadap uap air
merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam umur simpan
suatu produk. Dengan demikian hal yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan kemasan adalah dengan cara memperlambat uap air dari udara
masuk ke dalam kemasan, sehingga kerusakan produk bisa ditunda
waktunya. Jumlah air yang terdapat pada bahan pangan tergantung kondisi
lingkungan dan pada persentase tertentu tidak berpengaruh terhadap suatu
produk, seperti pada biskuit yang mengandung kadar air 2% setelah
pemasakan
maka
tak
akan
ada
pengaruh
terhadap
konsumen
tarik
kertas
merupakan
kemampuan
kertas
untuk
29
30
ketahanan tariknya. Ketahanan lipat kertas dapat diukur pada mesin maupun
silang mesin (machine and cross machine), dimana arah mesin mengacu
pada garis lipatan yang tegak lurus dengan arah mesin kertas. Pada
umumnya, ketahanan lipat kertas pada arah mesin lebih besar daripada silang
mesin yang juga menunjukkan kekuatan tarik yang juga lebih besar pada
arah mesin (Syafurjaya dan Hasanah, 2009).
e. Aktivitas Antimikroba
Karakter khusus yang dimiliki oleh pengemas aktif adalah adanya
interaksi aktif dari bahan kemasan dan bahan pangan yang dikemas, salah
satunya adalah sebagai antimikroba yang dapat memperlama umur simpan.
Film PP dengan penambahan minyak atsiri kayu manis dan oregano
menunjukkan bahwa bahan pangan dapat disimpan selama 2 bulan lebih,
tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan. Dengan demikian senyawa
atsiri yang ditambahkan pada pengemas dapat memperpanjang masa simpan
karena adanya senyawa antimikroba (Lopez dkk., 2007).
Tanda-tanda kerusakan bahan pangan secara umum yaitu adanya
perubahan kekenyalan pada produk daging dan ikan, pelunakan tekstur pada
sayuran, perubahan kekentalan pada susu maupun santan, pembentukan
lendir, pembentukan asam, perubahan warna, dan perubahan bau.
Kebusukan yang terjadi pada daging ditandai dengan terbentuknya senyawa
berbau busuk seperti amonia, H2S, indol dan amin yang merupakan hasil
pemecahan protein oleh mikroba. Secara organoleptik, kerusakan daging
ditandai dengan adanya perubahan bau, warna, kekenyalan, penampakan,
dan rasa yang menyimpang dari bahan aslinya. Secara kuantitatif, tandatanda kebusukan pangan belum trelihat pada kisaran jumlah mikroba 105-106
kecuali pada susu mentah (Siagian, 2002). Sedangkan tanda kerusakan
mikrobiologi pada sayuran dan buah yaitu, busuk air pada sayuran yang
disebabkan oleh adanya pertumbuhan bakteri; perubahan warna yang
disebabkan oleh pertumbuhan kapang dengan membentuk spora berwarna
31
hitam, hijau, abu-abu, biru hijau dan sebagainya; serta bau alkohol rasa asam
dan pembentukan gas yang disebabkan oleh khamir atau bakteri asam laktat
(Koswara, 2009).
Kerusakan produk pangan yang disebabkan oleh mikroba dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu sifat dan komposisi bahan penyusun serta kondisi
lingkungan (pH, ketersedian air, suhu maupun oksigen). Buah yang baru
dipanen telah ditumbuhi mikroba (mikroflora), namun tidak sampai
menyebabkan adanya pembusukan. Mikroba penyebab pembusukan buah
dapat tumbuh bila terjadi pelukaan selama proses pemanenan, kondisi suhu
dan kelembababan saat penyimpanan, maupun keberadaan lalat yang ikut
menyebarkan mikroba. Pembusukan buah, pada umumnya disebabkan oleh
infeksi jamur (kapang). Kapang yang berhasil diisolasi dari berbagai buah
adalah Aspergillus sp., A. niger, Penicilliumsp., P.italicum, P.digitatum,
Gloeosporium musae, Fusarium sp, Monocillium spp yang ditemukan di
buah pisang. Mikroba pembusuk merupakan pembatas utama dalam
memperpanjang masa simpan buah (Rakhmawati, 2013).
Salah satu kapang penyebab kerusakan buah adalah Aspergilus niger.
Koloni jamur Aspergilus niger memiliki bentuk yang tidak beraturan dengan
tepi yang tidak rata. Secara visual, pada awal pengamatan, miselium jamur
berwarna putih dan pada hari ke-3 warna miselium berubah kehitaman.
Sedangkan secara mikroskopis, Aspergilus niger memiliki ciri-ciri hifa hialin
dan bersekat, konidiofor tegak dan panjang, serta kepala konidia membesar
dan berisi konidia. Konidia terdiri dari satu sel dan warna koloninya
bervariasi, tergantung pada jenisnya. Konidia atas A. niger berwarna hitam,
hitam kecoklatan maupun hitam violet dengan bagian atas membesar dan
membentuk globusa, konidiofor halus, tidak berwarna, vesikel globusa
dengan bagian atas membesar, dan bagian ujung serupa batang kecil
(Afriyeni dkk., 2013).
32
Ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
mekanisme
33
Metode uji antimikroba dapat dilakukan dengan pengukuran dari radius atau
diameter daerah penghambatan dari pertumbuhan bakteri di sekitar cakram
kertas (paper disc) yang diisi dengan senyawa antimikroba pada media agar,
penghambatan pertumbuhan bakteri pada medium agar dengan senyawa
antimikroba yang terdifusi dalam agar, konsentrasi penghambatan minimum
(MIC) dari senyawa mikroba dalam media cair, dan perubahan optical
density (OD) atau kekeruhan di dalam cairan media pertumbuhan yang
mendandung senyawa antimikroba. Terdapat tiga faktor utama yang
mempengaruhi hasil metode pengujian aktivitas mikroba, yaitu komposisi
rempah atau herbal yang akan diuji, jenis mikroba, dan metode yang
digunakan untuk menumbuhkan serta menghitung jumlah bakteri yang
bertahan hidup. Pada metode cakram kertas (paper disc), daerah
penghambatan tergantung pada kemampuan minyak atsiri berdifusi secara
merata ke dalam agar dan juga melepaskan senyawa volatil dari minyak.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil adalah keterlibatan banyak
komponen aktif dan konsentrasinya. Semakin tinggi konsentrasi maka sifat
bakterisidalnya juga semakin tinggi (TPC Project Udayana University,
2004).
Inkorporasi minyak atsiri ke edible film menyebabkan terjadinya
penghambatan pertumbuhan antimikroba. Hal ini ditandai dengan minyak
atsiri yang akan terdifusi ke media agar kemudian menghasilkan zona bening
pada media pertumbuhan mikroba. Edible film dengan inkorporasi minyak
atsiri jahe merah mampu menghambat pertumbuhan Pseudomonas putida
dan Pseudomonas fluorescence. Inkorporasi 0,1% minyak atsiri jahe merah
pada edible film tapioka mampu menghambat Pseudomonas putida sebesar
2.45 cm dan Pseudomonas fluorescens sebesar 1.92 cm (Utami, 2012).
Oleoresin jahe juga memberikan efek antimikroba pada bakteri Gram positif
maupun negatif. Data MIC (minimum inhibitory concentration) dan IZ
(inhibition zone) oleoresin jahe dari Vietnam menurut penelitian Stoyanova
34
dkk. (2006), aktivitas tertinggi melawan bakteri gram positif dan negatif
memiliki nilai MIC dan nilai IZ berbeda-beda pada masing-masing mikroba,
pada bakteri Staphylococcus aureus IZ:19, Enterococcus faecalis IZ:8,
Klebsiella pneumoniae IZ:8, dan Candida albicans IZ:8.
f. Sifat Kimia
Kemampuan jahe sebagai antimikroba dikarenakan terdapat senyawa
tertentu yang bersifat sebagai anti bakteri maupun anti jamur. Senyawa
antifungal yang terkandung dalam jahe adalah gingerol, gingerdiol dan
zingerone. Sedangkan flavonoid, fenolik, alkaloid, terpenoid dan minyak
atsiri
dapat
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme
patogen
(Utami dan Desty, 2013). Komponen kimia utama penyusun atsiri jahe
adalah zingiberen yang diduga mempunyai kemampuan antimikroba.
Kandungan zingiberen bervariasi antara jenis jahe satu dengan jahe lainnya.
Adapun golongan fenol, flavonoid, terpenoid dan minyak atsiri pada jahe
merupakan golongan senyawa bioaktif yang juga dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat dilihat dari daerah bebas mikroba yang
terbentuk di sekitar kertas cakram yang mengandung ekstrak segar rimpang
jahe (Sari dkk.., 2013). Untuk mengetahui komposisi kimia oleoresin ampas
jahe pada pengemas kertas aktif dapat dilakukan dengan pengujian Fourier
Transform Infra Red (FT-IR). Dalam FTIR menggambarkan informasi data
yang sangat kompleks sehingga akan menggambarkan secara menyeluruh
suatu bahan. Spektroskopi FTIR merupakan suatu teknik analisis yang cepat,
sederhana, dan non-destruktif dengan seluruh sifat kimia dalam contoh dapat
diungkapkan dan dimunculkan pada spektrum FTIR. Perubahan yang terjadi
pada posisi pita dan intensitasnya dalam spektrum FTIR akan berhubungan
dengan
perubahan
komposisi
kimia
dalam
suatu
bahan
35
g. Sifat Sensoris
Faktor terpenting yang perlu diperhatikan pula dalam pembuatan
pengemas kertas aktif adalah sensoris, karena parameter ini menentukan
tingkat penerimaan konsumen saat dikomersialkan. Film PP dengan
penambahan minyak atsiri kayu manis dan oregano menunjukkan bahwa
bahan pangan dapat disimpan selama 2 bulan lebih, tidak memiliki efek
negatif terhadap kesehatan, namun sifat organoleptik mengalami perubahan
akibat dari senyawa aktif yang dikeluarkan. Dengan demikian, pengemas
kertas aktif dalam penelitian ini perlu diketahui tingkat kesukaan dari panelis
(Lopez dkk., 2007). Pengaruh penambahan zat ekstraktif pada pengemas
kertas aktif memiliki pengaruh yang kurang baik terhadap proses pulping
dan kualitas kertas yang dihasilkan. Zat ekstraktif, terutama yang berupa
minyak dan lemak akan dapat mengurangi kekuatan ikatan antar serat. Selain
itu kandungan ekstraktif yang tinggi akan menyebabkan timbulnya noda
pada kertas (Mariani, 2010).
Pemanfaatan tumbuhan sebagai pengemas, di wilayah Afrika, Asia dan
Amerika Selatan sebagai pengemas tradisional masih banyak digunakan.
Daun tumbuhan tersebut memiliki kemampuan dalam memberikan aromatik,
pewarna alami, kemampuan sebagai enzim dan antimikroba (terutama yang
mengandung minyak atsiri). Interaksi pengemas tersebut dengan makanan
akan memberikan perubahan tekstur, sifat organoleptik dan memperlambat
pembusukan oleh mikroba. Dengan demikian ada beberapa peraturan yang
perlu diperhatikan mengenai pengaruh bahan aktif yang kontak dengan
makanan, yaitu tidak membahayakan kesehatan manusia, tidak membawa
perubahan yang tidak dapat diterima dalam komposisi dan tidak membawa
penurunan karakteristik organoleptik (Danielli dkk., 2008).
36
B. Kerangka Berpikir
Jahe segar yang telah dicuci
Emprit:Merah (1:1)
Pengepresan
Sari jahe
Ampas Jahe
Terdapat
senyawa
aktif
antimikroba dan antifungal
Pengemas
Kertas Aktif