Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS
1.1 Identifikasi pasien
Pasien masuk ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 2 Januari
2016, dan diperoleh data identitas sebagai berikut :
1. Nama

: Tn. HT

2. Jenis kelamin

: Laki- laki

3. Usia

: 59 tahun

4. BB/TB

: 160 / 48 kg

5. Alamat

: Pematang Sulur, kota Jambi.

6. Pekerjaan

: Tukang Ojek

7. Agama

: Islam

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Sesak napas sejak 4 hari SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit
4 hari SMRS, pasien mengeluh sesak nafas, sesak dirasakan tiba-tiba, tidak
dipengaruhi dengan aktivitas dan cuaca, sesak nafas tidak berkurang dengan istirahat,
sesak tidak disertai nyeri dada, demam (-), nyeri ulu hati (-), jantung berdebar (-), batuk
(+),BAB biasa, BAK biasa.
Sejak 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk berdahak , dahak berwarna putih
dan kadang bewarna kehijauan. Mual (+), muntah (-), penurunan nafsu makan (+).
Pasien berobat ke dokter dan diberi obat mucohexyn, cetirizine, dan erytromycin,
namun keluhan tidak berkurang.
Riwayat penyakit Dahulu :

Riwayat darah tinggi (-)

Riwayat kencing manis disangkal


1

Riwayat asma disangkal

Riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal

Riwayat merokok (+) dari umur 21 tahun, 2 bungkus perhari, narkotika


(-).

Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat sosial ekonomi
Saat ini pasien bekerja sebagai tukang ojek. Keadaan ekonomi kurang.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 96 x/m,

Pernapasan

: 26 x/m

Suhu

: 36,9C

Kepala :
Normocephali, simetris, distribusi rambut merata, fraktur (-),
Mata :
CA (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), reflek cahaya (+/+)
THT :
Dalam batas normal
Leher :
Pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah
bening (-).
Dada :
Bentuk dada barrel chest, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-).

Paru :
I : Simetris kanan dan kiri, barrel chest, sela iga melebar (+)
P : Stem fremitus sama kanan dan kiri
P : Hipersonor pada kedua lapangan paru
A: Vesikuler menurun pada paru kanan, ronkhi basah (+) minimal pada basal paru
kanan dan kiri, wheezing (-).
Jantung :
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus cordis tidak teraba
P : batas jantung sulit dinilai
A : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
I : datar, distensi (-)
P : supel, hepar dan lien tidak teraba, NT (-), NL (-)
P : timpani
A : BU (+) N
Ekstremitas :
Gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-), akral
dingin (-), turgor baik.
1.4 Pemeriksaan Penunjang :
1.4.1

Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah rutin :

WBC

: 6,5 103/mm3

RBC

: 4.31 103/mm3 ( 3.80 5.80)

HB

: 11,8 g/dl

( 11,0 16,5)

HCT

: 36,9 %

(35,0 50,0)

PLT

: 170 103/mm3

( 150 390)

PCT

: .116%

( .100 - .500)

: 23,3 mg/dl

( 15 39 )

( 3,5 10.0 )

2. Kimia darah :

Ureum

Kreatinin : 0,6 mg/dl

(0,9 1,3)

3. Elektrolit :

Natrium

: 137,69 mmol/L

(135-148)

Kalium

: 3,47 mmol/L

(3,5-5,3)

Chlorida

: 76,52 mmol/L

(98-110)

Calcium

: 1,12 mmol/L

(1,19-1,23)

1.4.2 Pemeriksaan Radiologi ( Foto thorax PA)

Kualitas foto baik

Simetris

Trakea di tengah

Tulang-tulang baik, tidak terdapat fraktur

Hilus baik

Barrel chest, inspirasi dalam

Sela iga melebar dan iga mendatar

CTR < 50% memanjang, Aorta kalsifikasi

Sudut costophrenicus tumpul diafragma relatif datar.

Hiperlusen paru.

1.5 Diagnosa Kerja:


Emfisema paru dan sklerosis aorta.
1.6 Diagnosa Banding :
Bronkitis kronis.
1.7 Penatalaksanaan
Non farmakologis : Farmakologis

:-

Bedrest
Hindari faktor pemicu seperti asap, debu, dsb.
Hindari aktivitas yang berlebihan.
Oksigen 2-3 liter/menit (Bila Sesak)
IVFD Ringer Laktat 20 gtt/mnt
Ciprofloksasin 2 x 100mg
Bromhexine HCL 3 x 10 ml / hari.

1.8 Anjuran pemeriksaan:


- Pemeriksaan CT-Scan Thorax.
- Tes Fungsi Paru ( Spirometri).

1.9 Prognosa:
Quo ad Vitam
: Dubia ad malam
Quo ad fuctionam
: Dubia ad malam
Quo ad sanationam
: ad bonam

BAB II
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK merupakan
penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan
karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan
produksi sputum.1
Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena
prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat. Menurut survey dari WHO
(World Health Organization) tahun 2008, memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak dan
sebagai penyebab utama kematian akan meningkat dari urutan ke-6 menjadi ke-3.1
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting terjadinya PPOK
dengan persentase 10-20%. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang
perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam
jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Komponen-komponen asap rokok
tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Kebiasaan merokok pada masyarakat di indonesia yang semakin meningkat
menjadi 10 juta orang pertahun menyebabkan PPOK akan semakin banyak terjadi dan
akan menjadi salah satu masalah yang besar dalam bidang kesehatan di Indonesia. Di
Indonesia, tahun 2004 menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%). Menurut data Survey Kesehatan Nasional (SUKSENAS)
TAHUN 2001, PPOK merupakan penyebab kematian ke 2 di indonesia. Prevalensi
PPOK lebih tinggi pada pria daripada wanita dan menyerang sekitar 10% penduduk usia
40 tahun ke atas.2

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Paru Manusia
6

Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,

dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni saluran
pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui paru-paru atau
pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernafas,
oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli dan dapat erat hubungan
dengan darah didalam kapiler pulmonalis.8

Gambar

3.1

Anatomi

paru
Paru-paru

adalah

organ

berbentuk spons yang terdapat di dada. Paru-paru kanan memiliki 3 lobus, sedangkan
paru-paru kiri memiliki 2 lobus. Paru-paru kiri lebih kecil, karena jantung
membutuhkan ruang yang lebih pada sisi tubuh ini. Paru-paru membawa udara masuk
dan keluar dari tubuh, mengambil oksigen dan menyingkirkan gas karbon dioksida (zat
residu pernafasan).8
Lapisan di sekitar paru-paru disebut pleura, membantu melindungi paruparu dan
memungkinkan mereka untuk bergerak saat bernafas. Batang tenggorokan (trakea)
membawa udara ke dalam paru-paru. Trakea terbagi kedalam tabung yang disebut
bronkus, yang kemudian terbagi lagi menjadi cabang lebih kecil yang disebut bronkiol.
Pada akhir dari cabang-cabang ecil inilah terdapat kantung udara kecil yang disebut
alveoli. Di bawah paru-paru, terdapat otot yang disebut diafragma yang memisahkan
dada dari perut (abdomen). Bila Anda bernapas, diafragma bergerak naik dan turun,
7

memaksa udara masuk dan keluar dari paru-paru. Itulah peranan penting paru-paru.
Secara umum gangguan pada pada saluran napas dapat berupa sumbatan pada jalan
napas (obstruksi) atau gangguan yang menyebabkan paru tidak dapat berkembang
secara sempurna (restriktif). Misalnya, tumor yang besar di paru dapat menyebabkan
sebagian paru dan/saluran napas kolaps, sedangkan tumor yang terdapat dalam saluran
napas dapat menyebabkan sumbatan pada saluran napas. Tumor yang menekan dinding
dada dapat menyebabkan kerusakan/destruksi tulang dinding dada dan menimbulkan
nyeri. Cairan dirongga pleura yang sering ditemukan pada kanker paru juga menganggu
fungsi paru. 8
3.2 Definisi
Penyakit obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi
yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang
berbahaya.3
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi
akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat
akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas
yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi
sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan
dan gangguan tidur.
Dalam menilai gambaran klinis PPOK gejalanya sebagai berikut :
a. Gejala batuk sputum yang produktif
b. Sesak pada saat melakukan aktivitas
c. Hambatan aliran udara umunya irreversibel (tidak bisa kembali normal)
Penderita biasanya akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batukbatuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+). Sedangkan pada kondisi ringan
dapat tanpa keluhan atau gejala.3
3.2.1 Bronkitis kronis
Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan termasuk
atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik, proses
inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis kronik.
8

Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di


submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh
mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua
perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting alveolar attachments
menyebabkan pernapasan yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan
dan deformitas dinding saluran pernafasan.4
Rontgen thorax :
1. Sekitar 50% memberikan gambaran normal.
2. Tubular shadowsl tram lines : Bayangan garis-garis paralel dari hilus ke
apeks paru.
3. Corakan paru bertambah.

Gambar 3.2 Rontgen Bronkitis Kronis


Rontgen bronkitis kronis :
-

Jantung bentuk teardrop

Corakan bronkovaskular meningkat di daerah basal

Diafragma letak rendah (di bawah VT 10) dan cenderung mendatar

Gambaran jantung teardrop panah sudut kardio fremikus sinistra lancip

3.2.2. Emfisema5
Emfisema ditandai dengan pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal
yang disertai kerusakan dinding alveoli.
Gambaran radiologi emfisema secara umum
Akibat penambahan ukuran paru anterior posterior akan menyebabkan bentuk torak
kifosis, sedang penambahan ukuran paru vertikel menyebabkan diafragma letak rendah
dengan bentuk diafragma yang datar dan peranjakan diafragma berkurang pada
pengamatan dengan flouroskopi. Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh paru
atau lobaris atau pun segmental akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga
corakan jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran fibrosisnya dan vaskuler paru
yang relatif jarang.

Gambar 3.3 Emfisema tampak dari X-foto thorak lateral: Perhatikan barel chest dan diafragma
datar.

10

Gambar 3.4 Emfisema: gambaran hiperlusen pada paru, area yang vaskularisasi menurun, arteri
pulmonalis yang prominen dan pendataran dari diafragma.

1.

Emfisema lobaris
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan kelainan tulang rawan bronkus,

mukosa bronkial yang tebal, sumbatan mukus, penekanan bronkus dari luar oleh
anomali pembuluh darah. Gambaran radiologinya berupa bayangan radiolusen pada
bagian paru yang bersangkutan

dengan pendorongan mediastinum ke arah

kontralateral.

Gambar 3.5 Emfisema lobaris: bayangan radiolusen di hemitoraks kanan atas yang
mendorong mediastinum kearah kiri dan sisa jaringan paru lobus bawah-kanan terdesak
kebawah.

2.

Hiperlusen idiopatik unilateral


11

Adalah emfisema unilateral dengan hipoplasi arteri pulmonalis dan gambaran


bronkiektasis. Secara radiologi, paru yang terkena lebih hiperlusen tanpa
penambahn ukuran paru seperti pada umumnya emfisema lainnya.
3.

Emfisema hipertropik kronik


Gambaran radiologiknya menunjukan peningkatan aerasi dan penambahan ukuran
thorak yang biasanya hanya terjadi pada satu sisi. Sering ditemukan bleb dan bulla
yang berupa bayangan radiolusen tanpa struktur jaringan paru.

4.

Emfisema bulla
Bulla merupakan emfisema vesikuler setempat dengan ukuran antar 1-2 cm atau
lebih besar, yang kadang-kadang suker dibedakan dengan pneumotoraks.
Penyebabnya sering tidak diketahui, tapi dianggap sebagai akibat suatu penyakit
paru yang menyebabkan penyumbatan. Gambaran radiologinya berupa suatu
kantong radiolusen di perifer lapangan paru, terutama bagian apeks paru dan
bagaian basal paru dimana jaringan paru normal sekitarnya akan terkompresi
sehingga menimbulkan keluhan sesak nafas.

Gambar 3.6 Emfisema bula: perbercakan kedua paru dari proses spesifik dengan bayangan bula di
kedua paru atas.

5.

Emfisema kompensasi
Keadaan ini merupakan usaha tubuh secara fisiologik menggantikan jaringan paru
yang tidak berfungsi (atelektasis) atau mengisi thorak bagian paru yang terangkat
pada pneumonektomi.
12

6.

Emfisema senilis
Emfisema senilis merupakan akibat proses degeneratif orang tua pada kolumna
vertebra yang mengalami kifosis dimana ukuran anterior-posterior toraks
bertambah sedangkan tinggi toraks vertikal tidak berubah, begitu pula bentuk
diafragma tetap tidak berubah. Keadaan ini akan menimbulkan atrofi septa alveolar
dan jaringan paru berkurang dan akan diisi oleh udara, sehingga secara radiologik
tampak toraks yang lebih radiolusen corakan bronkovaskuler yang jarang dan
diafrgama yang normal.

Gambar 3.7 Emfisema senilis: bentuk toraks yang silindrik dengan kedua diafragma letak rendah
dan mendatar.

HCRT (High Resolution Computed Tomografi)


Dengan menggunakan HRCT daerah yang emfisema dapat ditunjukan secara
langsung. Pada HRCT emfisema ditandai dengan adanya daerah dengan hipodens yang
berbeda dengan parenkim paru normal disekitarnya.6
13

Emfisema panlobular melibatkan seluruh lobulus dan biasanya terkait dengan


defisiensi alpha1 proteinase inhibitor (alpha1-antitripsin) meskipun dapat disebabkan
oleh penyebab lain. Emfisema panlobular biasanya difuse dan paling berat pada lobus
bawah dan biasanya disertai daerah hipodens. Emfisema panlobular ringan bahkan yang
cukup berat dapat sulit untuk mendeteksi atau membedakan dari penyebab lain PPOK.
Pada umumnya terjadi pada perokok. Terdapat korelasi yang signifikan antara
pemeriksaan HRCT dengan pemeriksaan patologi pada pasien dengan emfisema
panlobular.6
Emfisema paraseptal ditandai dengan keterlibatan bagian distal lobus sekunder
terutama paling mencolok pada daerah subpleural. Emfisema Paraseptal dapat terisolasi
atau dapat terlihat dengan emfisema centrilobular. Emfisema paraseptal ringan mudah
dideteksi dengan HRCT. Emfisema jenis ini berhubungan dengan pneumotorax spontan.

Gambar 3.8 HCRT (High Resolution Computed Tomografi)


3.2.3 Bronkiektasis5

14

Bronkiektasis adalah suatu keadaan bronkus atau bronkiolus yang melebar


akibat hilangnya elastisitas dinding otot bronkus yang dapat disebakan oleh obstruksi
dan peradangan yang kronis, atau dapat pula disebabkan oleh kelainan kongenital.
Rontgen thoraks
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat ditemukan
gambaran seperti dibawah ini:
a.

Corakan bronkovaskuler kasar (+), biasanya di lapisan bawah paru

b.

Garis-garis translusen yang panjang menuju hilus dengan bayangan konsolidasi


disekitarnya (+)

c.

Bulatan-bulatan translusen yang membentuk honey comb appearance

d.

Kista-kista translusen berisi cairan (air fluid level) berbentuk seperti bulan sabit
(konkaf konveks)

e.

Hiperinflasi paru (+)

f.

Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai

diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk
gambaran honeycomb appearance atau bounches

of grapes. Bayangan cincin

tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus.

Gambar 3.9 Gambaran honeycomb appearance.

g.

Tramline shadow

15

Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan ini terlihat
terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna
hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus.
Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus.

Gambar 3.10 Tramline shadow


h.

Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8 mm.

Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran
ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis.

Gambar 3.11 (A). Tanda panah menunjukan gambaran Ring shadow (B).
Gambaran tubular shadow.
Bronkografi

16

Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam sistem


saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat
menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis
yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan
varikosis.

Gambar 3.12 Bronkografi; kini teknik yang kuno namun elegan dapat menunjukkan bronkiektasis
silindris yang disertai dilatasi bronkus lobus bawah. Pada gambar, didapatkan gambaran glove
finger shadow yang menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti jari-jari
pada sarung tangan.

CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk
mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak
kelainan jalan napas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi
tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan
resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus.
Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk
menentukan apakah diperlukan pembedahan.
CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan gambar yang menunjukan
dilatasi saluran napas dengan ketebalan dengan ketebalan 1,0-1,55 mm. Sebagai
konsekuensinya, saat ini pemeriksaan ini adalah teknik standar atau untuk
mengkonfirmasi diagnosis bronkiektasis.

17

Gambar 3.13 Pada CT resolusi tinggi menunjukan dilatasi


saluran napas pada kedua lobus dan lingula. Pada potongan
melintang, dilatasi saluran napas menunjukan ringlike
appearance.
3.3Epidemiologi
Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita
meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok wanita.
3.4

Faktor faktor Risiko PPOK

3.4.1 Merokok
Pada tahun 1964, penasihat committee surgeon general of the united states
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor resiko utama mortalitas bronkitis kronis.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis berkembang pada sekitar 15% perokok. Umur pertama
kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru
perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK.
Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem
pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru.1

3.4.2 Pemaparan akibat kerja


Peningakatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran
pernafasan juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja.
18

Pekerjaan seperti perusahaan penghasil tekstil dan kapas berisiko untuk mengalami
obstruksi saluran nafas.
Walaupun beberapa pekerjaan yang tepapar dengan debu dan gas yang berbahaya
berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan
dengan efek akibat merokok.7
3.4.3 Polusi udara
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal
dikota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota.
Meskipun demikian hubungan terjadinya PPOK dengan polusi udara masih belum bisa
di buktikan. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting
berbanding rokok.7
3.4.4 Faktor genetik
Defisiensi 1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk
terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi 1-antitripsin di
Amerika Serikat adalah kurang daripada satu. 1-antitripsin merupakan inhibitor
protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru.
Defisiensi 1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53
tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok.
3.5

Patogenesis PPOK
Perubahan patologis pada PPOK terjadi disaluran pernafasan, bronkiolus dan

parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan


makrofag

yang

melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh

antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang
disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh
fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang
terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam
patogenesis PPOK.8
3.6

Gejala Klinis PPOK

19

Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala


eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya
dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini ditandai dengan gejala yang khas, sesak napas
yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi
sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan
dan gangguan tidur.
Gejala klinis PPOK ini dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala
sistemik. Gejala respirasi berupa sesak napas yang bertambah berat, peningkatan
volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan
cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh peningkatan denyut
nadi serta gangguan status mental.9 Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien
mengalami gejala batuk, sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempuyai riwayat
terpajan faktor risiko.
3.7 Diagnosis
1. Anamnesis: 2
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2.

Pemeriksaan Fisik :2
pasien tampak kurus dengan Barrel shaped chest
vocal fremitus berkurang atau tidak ada
perkusi dada hipersonor, batas paru hati lebih rendah
suara napas berkurang, ekspirasi memanjang, suara tambahan (ronkhi atau
wheezing)

3.

Pemeriksaan penunjang :
20

a) Pemeriksaan radiologi5

Pada bronkiektasis, foto thoraks memperlihatkan tampak gambaran berupa


bronkovaskuler yang kasar yang umumnya terdapat di lapangan bawah paru,
honey comb appearance, atau gambaran garis-garis translucen yang panjang
menuju ke hilus dengan bayangan konsolidasi sekitarnya akibat peradangan
sekunder.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah
pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.
Pada bronkitis kronis, foto torak menunjukkan corakan bronkovaskuler
meningkat, diafragma rendah dan datar, jantung tear drop,gambaran tramp
lines, hiperairasi paru (+).
b) Pemeriksaan fungsi paru (spirometri)
c) Pemeriksaan gas darah
d) Pemeriksaan EKG
e) Pemeriksaan Laboratorium darah (gambaran leukositosis)
3.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan penderita PPOK adalah untuk mengurangi gejala,
mencegah eksaserbasi, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan
meningkatkan kualitas hidup. Adapun modalitas terapi yang digunakan terdiri dari unsur
edukasi, obat-obatan, oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
1.

Pencegahan: Mencegah terjadinya PPOK (hindari asap rokok), hindari polusi udara,
hindari infeksi saluran napas berulang), dan mencegah perburukan PPOK (berhenti
merokok, gunakan obat-obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang).

2.

Terapi eksaserbasi akut dengan:


a. antibiotik
b. terapi oksigen
21

c. chest fisioterapi
d. bronkodilator
3.

Terapi jangka panjang dengan:


a. antibiotik
b. bronkodilator
c. latihan fisik untuk meningkatkan toleransi fisik
d. mukolitik dan ekspektoran
e. terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 < 7,3 kPa (55 mmHg).
f.Rehabilitasi:
1) chest fisioterapi
2) Psikoterapi
3) Rehabilitasi pekerjaan (Okupasi Terapi)

BAB IV
KESIMPULAN

22

Seorang pasien laki-laki bernama Tn. Ht, usia 59 tahun datang dengan keluhan
sesak nafas sejak 4 hari SMRS. Pasien juga mengelukan batuk berdahak bewarna
putih kental dan kadang kehijauan yang sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien perokok sejak umur 21 tahun, merokok 2 bungkus sehari. Riwayat penyakit
sebelumnya disangkal, riwayat penyakit keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik thoraks didapatkan bentuk dinding dada barrel chest,
perkusi dada didapatkan hipersonor pada kedua lapang paru, pada auskultasi terdengar
bunyi vesikuler menurun pada paru kanan, ronkhi basah minimal pada basal paru kanan
dan kiri, serta tidak terdengar bunyi wheezing, pemeriksaan fisik lainnya dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan, pemeriksaan laboratorium ( darah
rutin, kimia darah, dan elektrolit) dalam batas normal, pemeriksaan radiologi didapatkan
gambaran hiperlusen parenkim paru, diafragma relatif datar, cor memanjang, serta aorta
kalsifikasi. Kesan yang didapatkan dari foto thorax tersebut adalah Emfisema thorax
dan sklerosis aorta. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang tersebut maka pasien didagnosis mengalami Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) / Emfisema Paru.
Untuk pemeriksaan lanjutan dan penatalaksanan di anjurkan untuk melakukan
pemeriksaan CT-Scan Thorax dan juga tes fungsi paru (Spirometri).

DAFTAR PUSTAKA

23

1. Riyanto BS. Penyakit paru obstruksi kronis,prevalensi dan diagnosis PPOK, dalam :
Sudoyo AW, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, jilid II.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Uniservitas
Indonesia; 2006. Hal. 985-984.
2. Menteri Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang
Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik. 2008
Di unduh dari : URL http:/,NvN.N,iv.depkes.go.id!downloadsi/,en.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2002. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease Surveillance. United States: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC). Available from:
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/ss5106a1.htm.

4. Tomas LS,Kachars.Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Di unduh dari URL:


hhtp://zuliesikawati.staf.u,Yiu.ac.idiwpcontetit/uploads/co pd.pdf.
5. Rasad, Sjahriar. Emfisema, Atelektasis, dan Bronkiektasis, dalam: Radiologi
Diasnostik. Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI Jakarta;2005. Hal. 108-115
6. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit
Paru FK Unair. Surabaya.
7. Stefani YW. Penelitian Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) di Rumah Sakit Paru Batu Malang :
Universitas Sumatera Utara; 2009.
8. Tomas LS,Kachars.Penyakit paru obstruksi kronik. 2008. Di unduh dari URL:
hhtp://zuliesikawati.staf.u,Yiu.ac.idiwpcontetit/uploads/copd.pdf.
9. Snell, SR. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC; 2006. hal.
88-90.

24

Anda mungkin juga menyukai