Anda di halaman 1dari 81

Pemimpin Umum dan : Ketua IAUI

Penanggung Jawab
Pemimpin Redaksi

: dr. Sunaryo Hardjowijoto

Redaksi Pelaksana

: dr. Urip Murtedjo

Dewan Redaksi

: Prof. Dr. Widjoseno Gardjito


Prof. Dr. Sadatoen Soerjohardjo
Dr. dr. Sahala Sihombing
Dr. Djoko Rahardjo
Dr. dr. Doddy M. Soebadi

Koresponden

: Jakarta
Bandung
Semarang
Yogyakarta
Surabaya
Ujung Pandang
Palembang
Denpasar

dr. Rochani
dr. Suwandi Sugandi
dr. R. Yuwono
dr. Sunsang Rochadi
dr. Adi Santoso
dr. H. Malawat
dr. D. Hudaya Sudarma
dr. Bowo Laksono

Sekretaris

: Yanti K. Soedirman

Alamat Redaksi

: Sekretariat UPF Bedah Sentral


Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6-8,
Surabaya 60286
Telp. 40061 66 Pes. 294,41020

Diterbitkan oleh

: Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)

ISSN

: 0853-4438

JURNAL UROLOGI
INDONESIA
( JURI )
VOL. 4 No. 2

DAFTAR ISI
BULAN JULI

TAHUN 1994
Halaman

Editorial
Susunan Panitia PKB Urologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo.
Sambutan Dekan FK Unair ..
Sambutan Direktur RSUD Dr. Soetomo...

2
2
3
3

Susunan Acara .. 4
1. Gawat Darurat Urologi Alogaritma Penanganannya dan Prevalensi 1993
di RSUD Dr. Soetomo
dr. Soenaryo Hardjowijoto.
4
1. Retensi Urin : Permasalahan dan Penanganannya
Prof. Dr. Widjoseno Gardjito..

10

1. Akut Skrotum
Dr. Sabilal Alif

14

1. Urosepsis
Dr. Soenaryo Hardjowijoto.

18

1. Trauma Urogenital
Dr. Adi Santoso

23

1. Uropati Obstruktif
Dr. dr. Doddy M. Soebadi 32
1. Kedaruratan Penis
Basuki B Purnomo, Tarmono, Sunaryo Hardijowijoto

37

1. Hematuria
dr. FX Sri Hartono.. 43
1. Penanganan Batu Uretra Laki-laki
Ardy Santosa...48
Daftar Riwayat Hidup. 52
Berita Kegiatan IAUI..
Petunjuk Untuk Penulis...

EDITORIAL

Pertama-tama redaksi mohon maaf karena sampai sejauh ini tugas kami untuk
mengunjungi para sejawat daerah tetap tersendat-sendat. Walaupun begitu kami redaksi
belum patah semangat untuk berusaha mengunjungi sejawat sekalian.
Pada penerbitan kali ini kebetulan program studi Urologi FK Unair / RSUD dr.
Soetomo Surabaya, menyelenggarakan : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
dengan topik : Gawat Darurat Urologi, maka topik-topik pembicaraan PKB tersebut kami
muat dalam majalah ini. Walaupun PKB tersebut bersifat Regional tetapi Redaksi percaya
bahwa topik-topik yang dibahas tersebut juga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Berita organisasi IAUI yang penting, juga kami muat dalam penerbitan kali ini.
Sekali lagi Redaksi sangat mengharapkan partisipasi sejawat untuk memberikan masukan
baik berupa tulisan ilmiah, laporan perjalanan, pengalaman praktis singkat selama
menjalankan profesi (urologist in work), kritik dan saran, yang semuanya itu sangat penting
bagi redaksi untuk tetap dapat mempertahankan kelangsungan dan majalah ini.
Akhir kata selamat menikmati sajian kali ini.

REDAKSI

SUSUNAN PANITIA
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN UROLOGI
TOPIK : GAWAT DARURAT DI BIDANG UROLOGI
Tanggal

: 26 Maret 1994

Tempat

: Gedung Tirta Graha (PDAM)


Jl. Prof. Dr. Moestopo No. 2 Surabaya

Pelindung
: - Dekan FK. Unair
Direktur RSUD Dr. Soetomo
Pengarah
: - Ka. Lab/UPF Ilmu Bedah FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Ka. PS Urologi Lab/UPF Ilmu Bedah
FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Seksi Ilmiah
Seksi Akomodasi
& Perlengkapan
Seksi Dokumentasi
& Publikasi
Seksi Acara

: dr. Sakti Hoetomo


: dr. Soetojo
: dr. Ahmad Bi Utomo
: Devita Dyahwati
: dr. Amat Mulia Asnar
: Yanti K. Sudirman
: dr. Antono Pratanu
Dr. Tarmono
: dr. Suharto Widjanarko
dr. Yohanes Antony Christian
: dr. Djoko SuryoPrawiroatmojo
: dr. Chrisna Setiawan
dr. Moh. Ishaq Hardiansyah

Seksi Pembantu umum : dr. Wahyu Djati


Dr. Setya Anton Tusarawardaya
Seksi Konsumsi

: dr. NovitaAbraham
Endang K. Astoeti
Endang Tri Setiawati

EDITORIAL

Pertama-tama redaksi mohon maaf karena sampai sejauh ini tugas kami untuk
mengunjungi para sejawat daerah tetap tersendat-sendat. Walaupun begitu kami redaksi
belum patah semangat untuk berusaha mengunjungi sejawat sekalian.
Pada penerbitan kali ini kebetulan program studi Urologi FK Unair /RSUD dr.
Soetomo Surabaya, menyelenggarakan : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
dengan topik : Gawat Darurat Urologi, maka topik-topik pembicaraan PKB tersebut kami
muat dalam majalah ini. Walaupun PKB tersebut bersifat Regional tetapi Redaksi percaya
bahwa topik-topik yang dibahas tersebut juga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Berita organisasi IAUI yang penting, juga kami muat dalam penerbitan kali ini.
Sekali lagi Redaksi sangat mengharapkan Partisipasi sejawat untuk memberikan masukan
baik berupa tulisan ilmiah, laporan perjalanan, pengalaman praktis singkat selama
menjalankan profesi (urologist in work), kritik dan saran, yang semuanya itu sangat penting
bagi redaksi untuk tetap dapat mempertahankan kelangsungan dan majalah ini.
Akhir kata selamat menikmati sajian kali ini.

REDAKSI

Jurnal Urologi Indonesia

SUSUNAN PANITIA
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN UROLOGI
TOPIK : GAWAT DARURAT DI BIDANG UROLOGI
Tanggal
Tempat

: 26 Maret 1994
: Gedung Tirta Graha (PDAM)

Jl. Prof. Dr. Moestopo No. 2 Surabaya


Pelindung
: - Dekan FK. Unair
Direktur RSUD Dr. Soetomo
Pengarah
: - Ka. Lab/UPF Ilmu Bedah FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Ka. PS Urologi Lab/UPF Ilmu Bedah
FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
Seksi Ilmiah

: dr. Sakti Hoetomo


: dr. Soetojo
: dr. Ahmad Bi Utomo
: DevitaDyahwati
: dr. Amat Mulia Asnar
: Yanti K. Sudirman
: dr. Antono Pratanu
Dr. Tarmono

Seksi Akomodasi
& Perlengkapan
Seksi Dokumentasi
& Publikasi
Seksi Acara

: dr. Suharto Widjanarko


dr. Yohanes Antony Christian
: dr. Djoko SuryoPrawiroatmojo
: dr. Chrisna Setiawan
dr. Moh. Ishaq Hardiansyah

Seksi Pembantu Umum : dr. Wahyu Djati


De. Setya Anton Tusarawardaya
Seksi Konsumsi

: dr. NovitaAbraham
Endang K. Astoeti
Endang Tri Setiawati

Vol. IV No. 2 - Juli 1994

1. : Pendaftaran
2. : Pembukaan :
- Laporan Ketua Pelaksana
Sambutan

SESSION I
Moderator
Sekretaris

: Dr. dr. Doddy M. Soebadi


: dr. Amat Mulia Asnar
1. : Prevalensi Kasus-kasus Gawat Darurat Urologi
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
(dr. Sunaryo Hardjowijoto).
1. : Retensi Urin Permasalahan dan Penanganannya
(Prof. Dr. Widjoseno Gardjito).

09.30-10.00
SESSION II
Moderator
Sekretaris
10.30-11.00

11.30-12.00
12.00-12.15
12.30-13.00
13.00-

1. : Akut Skrotum
(dr. Sabilal Alif)
: Diskusi
1. : Rehat Kopi
: dr. sabilal Alif
: dr. Sakti Hoetama
: Urosepsis
(dr. Sunaryo Hardjowijoto).
1. : Trauma Urogenital
(dr. Adi Santoso)
: Obstruktif Uropati
Dr. dr. Doddy M. Soebadi
: Hematuria
(dr. FX. Sri Hartono)
: Diskusi
: Door Prize
Makan Siang

Jurnal Urologi Indonesia

GAWAT DARURAT UROLOGI


PREVALENSI 1993
DAN ALOGARITMA PENANGANANNYA
DI FK UNAIR/RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
Soenaryo hardjowijoto
Seksi Urologi Lab/UPF Ilmu Bedah
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Traktus Urogenital yang lingkup studi dan pelayanan Urologi, sebagaimana organ
tubuh yang lain, juga dapat mengalami keadaan gawat darurat. Keadaan gawat darurat yang
dapat dialami oleh traktus urinarius adalah :

Rudapaksa (trauma)
Infeksi berat, seperti urosepsis, dan pyonefrosis
Obstruksi aliran urin akut, seperti kolik ureter, retensi urin dan anuria
Strangulasi, misalnya torsio tesis dan priapismus
Hematuria gross.

Diseksi urologi, bagian ilmu bedah FK Unair/RS Dr. Soetomo Penderita dengan gawat
darurat urologi dilayani di Instalasi Gawat Darurat yang buka terus menerus selama 24 jam
dan dilayani oleh dokter jaga yunior dan dokter jaga senior sebagai konsultan. Setiap dokter
jaga diwajibkan mencatat sema penderita gawat darurat urologi pada lembar khusus untuk ini
memuat identitas penderita, diagnosa kegawat-daruratannya, diagnosa penyakit primearnya,
diagnosa sekunder/penyakit lain dan tindakan yang dilakukan dan pada pagi hari berikutnya
melaporkan penderita-penderita tersebut pada forum laporan pagi.
Garis besar penanganan dari sebagian besar keadaan gawat darurat urologi telah
diatur secara tertulis dalam protokol pelayanan (alogaritma).

Alogaritma penanganannya adalah sebagai berikut :

Vol. IV No. 2 Juli 1994


Gawat Darurat Urologi-Alogaritma Penanganannya dan
Prevensi 1993 di FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1. Trauma Tumpul Ginjal


ANAMNESA :
Trauma Tumpul Abdomen/Pinggang
Multi Trauma
PERKASA :
Kedaan Umum, Kesadaran, Tensi, nadi, Respirasi, Temperatur
Status Lokalis :
Jenis
Massa
Nyeri tekan
Laboratorium :
Hb, Kreatinin Serum
Sedimen Urin
Pasang Infus
Pielografi Infusion
(USG)
atau CT Scan Abdomen
KLASIFIKASI KERUSAKAN GINJAL

KUNTIOSIO
RUPTUR
RUPTUR
FRAGMENTED
RENIS
GINJAL
GINJAL
/SHATTERED
KU baik
dengan
Ekstravasasi
- KU Labil
Minimal/
- Ekstra asasi
Moderat
luas

Observasi

Observasi

Soenaryo Hardjowidjoto

1. Ruptura Uretra

Ekplorasi
Laparotomi

Eksplorasi
Laparotomi

NON VISUALIZED
KONTUR BAIK

Segera
Arteriografi

ANAMNESA :
Trauma Panggul / Perineum
Hematuria /Bloody Discharge Perurethram
PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan Umum
Keadaan Lokal
PEMERIKSAAN IMAGING
Foto Panggul
Uretrografi

RUPTUR URETRA ANTERIOR

Sistostomi
Debridement
Aproksimasi/anastomose
Stent Uretra
Silikon Kateter 16F
Selama 3 Minggu

RUPTOR URETRA POSTERIOR


Sistostomi
Primary Endoscopic Realignment
(PER)
- Dalam tempo 2 minggu
- Kalau perlu didahului reposisi dan
- Fiksasi simfisis pubis

Prevalensi 1993 di FK Unair /RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1. Urosepsis
Febris/pernah febris
Gejala Obstruksi Urologik (+)
Manipulasi Urologik (+)
Diagnosa : UROSEPSIS
PERIKSA :
Keadaan umum/status lokalis
Sekaligus dipasang infus
Pemeriksaan darah lengkap, kreatinin serum, BUN,
Sakar darah acak (bila > 40 tahun)
PH darah, elektrolit, gas darah
Pemeriksaan urin lengkap ; sedimen lengkap
Biakan dan tes kepekaan antibiotika
(sedepat mungkin urin dari miksi spontan)

Pielografi infusion, USG Urologik


Foto Toraks (setelah pasang CVP)
EKG
Pasang CVP (catat tinggi air)
Pasang Indwelling Kateter (catat urin yang keluar)
TERAPI / TINDAKAN
ANTIBIOTIKA KOREKSI CAIRAN

HEMODIALISA

1. Ampisilin + (Makrolid),
Bila terdapat
Gentamisin elektrolit, asam/basa
S.Kreatinia > 10
ATAU
K > 7 mg%
Efema paru
1. Sefalosporia
Generik III

OPERASI
CITO
Bila
Pynonefrosis
primer
Urologik

OPERASI
URGEN
Untuk
kelainan

Soenaryo Hardjowijoto

4. Retensi Urin
ANAMNESA :
- Tidak bisa kencing sejak.
- Gejala LUTS sebelumnya ?

PEMERIKSAAN FISIK
Buli-buli penuh

RETENSI URIN

BPH

Striktura
Uretra

Batu
Uretra

Bekuan
darah

Neuropati /
kausa belum jelas

Kteterisasi

Sistomi

Lubrikasi

Evakuasi
Endoskopik

Kateterisasi

Batu Keluar

Poliklinis

Batu masuk Buli

D.K

Lithotripsi

Note : - Urin yang keluar saat dipasang kateter harus dilihat volume dan sifat fisiknya

- Lakukan colok dubur setelah evaluasi urin.

Gawat Darurat Urologi Alogaritma Penanganannya dan


Prevalensi 1993 di FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

5. Anuria
Anuria
Keadaan Umum
Status Lokal :
- Traktus Urinarius
- Darah lengkap
- S.Kreatinin/BUN
- Elektrolit/PH darah
- PaO2, PCO2, BE
- CVP, DK

F Foto Toraks
BOF ( IVP
USG

NON OBSTRUKTIF
Perawatan
Nefrologik

MERAGUKAN

Tes Diuretik dengan


persiapan tindakan
- Diversi Urin
- By pass

RPG
Double Setup

OBSTRUKTIF
Diversi Urin/
By Pass
Terapi Definitif

- Bila terdapat indikasi, hemodialisa mendahului tindakan operatif

Soenaryo Hardjowijoto

1. Kolik Ureter

Kolik Ureter
Periksa :
Keadaan umum
Keadaan lokal
Darah lengkap
S.Kreatinin / BUN
Sedimen Urin
Foto Polos Abdomen (BOF)
SPASMOLITIKUM / NSAID

SEMBUH

TIDAK SEMBUH
MAKIN FREKWEN

POLIKLINIS
Dipertimbangkan Pemasangan
D.J. Stent

Gawat Darurat Urologi Alogaritma Penanganannya dan


Prevalensi 1993 di FK Unair /RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1. Akut Skrotum
Akut Skrotum
Kapan mulai
Aktifitas saat terjadi keluhan
ISK sebelumnya
Febris ?
Suhu aksilla dan rektal
Keadaan/Status Lokal
Posisi testis
Phren tes
Epiodimimis
Laboratorium
Darah lengkap
Kreatinin serum
Sedimen urin

STETOSKOP DOPPLER
(Optional)

Epididimitis/Orchitis

Meragukan

Torsi Testis

Detor Manual

Eksplorasi

Ntibiotika dan
Antiinflamasi 4-6 mg

Orkhidopeksi/Orkhidektomi
dan
Orkhidopeksi Kontralateral

Evaluasi Kausal
Soenaryo hardjowijoto

1. Gross Hematuria
GROSS HEMATURIA
Urin terbukti masih merah

Periksa
Keadaan Umum
Keadaan Lokal

Darah Lengkap
Serum Kreatinin
Sedimen Urin

BOF
USG Urologik (Ginjal + Buli-buli)

MRS

EVALUASI LENGKAP
IVP
Sitologi Urin
Sistoskopi

Kausa Jelas

Kausa Belum Jelas

Terapi Definitif

Evaluasi Berencana
(Poliklinis)

Gawat Darurat Urologi Alogaritma Penanganannya dan


Prevalensi 1993 di FK Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Keadaan gawat darurat urologi yang lain seperti priapismus, parafimosis dan lainlain karena proses diagnosa dan penanganannya tidak terlalu rumit, tidak terlalu banyak
alternatif, saat ini tidak atau belum dibuat protokol /alogaritmanya.
Lembar laporan jaga selama tahun 1993 dikumpulkan dan diteliti dan didapatkan
prevalensi gawat darurat urologi sebagai berikut :

Tabel 1 Prevalensi Gawat Darurat Urologi


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Diagnosa Gawat
Darurat
Retensi Urin
Kolik Ureter
Rudapaksa
Infeksi Berat
Akut Sakrotum
Cross Hematuria
Anuria
Tumor Wilms
Batu Utera anterior
(tanpa retensi urin)
Parafimosis
Priapismus
Lain-lain
Non Emergency
Total

%
559
301
167
145
86
60
48
18
7
6
2
18
115

1532

36,48
19,64
10,90
9,46
5,61
3,91
3,13
1,17
0,45
0,39
0,13
1,17
7,56

100

Soenaryo Hardjowijoto

Tabel 2 : Jenis Rudapaksa


No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Jenis Rudapaksa
Kontusi ginjal
Laserasi Ginjal
Ruptura ginjal
Ruptura
pedikal
ginjal
Luka Tusuk ginjal
Ruptura ureter
Kontusi Buli-buli
Ruptura Buli-buli
Ruptura
uretra
posterior
Ruptura
uretra
anterior
Ruptura penis
Ruptura testis
Vultus apertum darah
genital (penis &
Skrotum)

%
67
6
8
1
6
1
5
4
22
17
4
1
25

167

40.1
3.6
4.9
0.6
3.6
0.6
2.9
2.4
13.2
10.2
2.4
0.6
14.9

100

Tabel 3 : Jenis Infeksi Berat


No
1
2
3
4

Jenis Infeksi Berat


Urosepsis
Pynefrosis
Abses
Perirenal/Periuretral
Abses Skrotum /
Testis

%
138
1
2
4

145

95.2
0.7
1.4
2.7

100

Tabel 4 : Jenis Akut Skrotum


No
1
2

Jenis Infeksi Berat


Urosepsis
Pynefrosis

N
53
33
86

%
61.63
38.37
100

Bila melihat tabel-tabel di atas bahwa sebagian besar dari keadaan gawat darurat
urologi dapat ditangani di rumah sakit di Kabupaten Bahkan di tingkat Puskesmas.2

RETENSI URIN

PERMASALAHAN DAN PENATALAKSANAANNYA


Widjoseno Gardjito
Lab/UPF Ilmu Bedah
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN

Retensi Urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering
ditemukan dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Berarti bahwa seorang dokter atau perawat dimanapun dia bertugas kemungkinan
besar pernah atau akan menghadapi kelainan ini. Oleh karena itu, yang
bersangkutan harus bisa mendeteksi kelainan tersebut dan selanjutnya dapat
melakukan penanganan awal secara benar.
Bilamana retensi urin tidak ditangani sebagaimana mestinya, akan mengakibatkan
terjadinya penyulit yang memperberat morbiditas penderita yang bersangkutan.
Pada dasarnya tidak diperlukan peralatan maupun ketrampilan yang khusus untuk
mendeteksi dan menangani penderita dengan retensi urin, apapun yang
menyebabkan terjadinya kelainan tersebut.
Permasalahan yang sering dihadapi seorang dokter atau perawat adalah :
- Retensi urin tidak dideteksi karena kelainan ini tidak terpikirkan, penderita tidak
mengeluh atau mengatakan bahwa masih bisa kencing secara berkala (inkontinensi
paradoksa).
- Retensi menambah penderitaan atau menimbulkan penyulit yang merugikan, bahkan
bersifat permanen dan hal ini dapat terjadi karena dokter atau perawat menangani
kelainan tersebut tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan, belum
berpengalaman atau peralatan yang dibutuhkan tidak dimiliki.
Pada kuliah ini akan diuraikan secara mendasar sebab-sebab terjadinya retensi urin, cara
mendeteksi dan cara melakukan penanganan secara benar dan akan diketengahkan pula
beberapa pifalls dan tips yang perlu diketahui oleh seorang dokter maupun seorang
perawat bila menghadapi kasus retensi urin.
Tujuan Umum :
Setiap dokter dan perawat mampu mendeteksi dan melakukan tindakan awal secara benar
dimana dan kapan saja pada setiap kejadian retensi urin.
Tujuan Khusus :
Setelah mengikuti kuliah ini yang bersangkutan :
- Mengetahui mendeteksi terjadinya retensi urin, baik yang akut maupun yang kronis.
- Memahami berbagai alternatif dan cara menangani retensi urin secara benar.
- Memiliki kemampuan untuk memilih alternatif penanganan yang tepat sesuai dengan
peralatan dan keterampilan yang dimiliki.
- Mengetahui penyulit yang dapat terjadi bila penanganan awal tidak adekuat.
- Memahami cara merawat lanjutan termasuk bagaimana merujuk penderita yang sudah
dikelola pada fase awal.
PEMBAHASAN
Definisi :

Retensi urin adalah keadaan dimana penderita tidak dapat mengeluarkan urin yang terkumpul
di dalam buli-buli sehingga kapasitas maksimal dari buli-buli dilampaui.
Proses Miksi :
Buli-buli berfungsi ganda :
1. Menampung urin sebagai reservoir. Pada fase ini otot buli-buli (detrusor) dalam
keadaan relaksasi sedangkan sfingter dalam keadaan tegang (menutup). Bila volume urin
mencapai kapasitas fisiologis (pada orang dewasa berkisar antara 250-400 ml), akan
timbul rangsangan untuk miksi, namun proses miksi masih bisa ditangguhkan karena
ditahan oleh yang bersangkutan. Bila volume urin mencapai kapasitas maksimal (pada
orang dewasa berkisar antara 500-600 ml), rangsangan untuk miksi makin meningkat,
sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman dan proses miksi masih bisa ditahan sementara
dengan menegangkan sfingter uretra eksternum secara sadar (otot bergaris).
2. Mengosongkan isinya, disebut proses miksi. Peristiwa ini memerlukan kerja sama
yang terkoordinir secara harmonis antara detrusor yang berkontraksi dan sfingter yang
mengalami relaksasi sehingga urin memancar keluar sampai buli-buli kosong.
Pada kedua fase tersebut diatas, buli-buli mencegah pengaliran urin kembali ke dalam ureter
(mencegah terjadinya refluks).
Proses miksi akan berlangsung lancar bila detrusor dan sfingter dalam keadaan baik,
berfungsi normal (terkoordinir secara harmonis) dan tidak terdapat hambatan di uretra.
Penyebab Retensi Urin
Kelemahan detrusor
Cedera/gangguan pada sumsum tulang belakang, kerusakan serat saraf (diabetes
melitus), detrusor yang mengalami peregangan/dilatasi yang berlebihan untuk waktu
lama.
-

Gangguan koordinasi detrusor-sfingter (dis-sinergi) :


Cedera/gangguan sumsum tulang belakang di daerah cauda equina.
Hambatan pada jalan keluar :
*
Kelainan kelenjar prostat (BPH, Ca)
*
Striktura uretra
*
Batu uretra
*
Kerusakan uretra (trauma)
*
Gumpalan darah di dalam lumen buli-buli (clot retention) dll.

Akibat Retensi Urin


- Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan di dalam
lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
- Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat di dalam lumen akan
menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi hidroureter dan
hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
- Bila tekanan di dalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan di daerah
uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit) tanpa bisa ditahan oleh
penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan urin. Keadaan ini disebut :
inkontinensi paradoksa atau overflow incontinence.
- Tegangan dari dinding buli-buli terus meningkat sampai tercapai batas toleransi dan
setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi sehingga kapasitas bulibuli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat kekuatan kontraksi otot buli-buli
akan menyusut.

- Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) dan
bila ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius seperti pielonefritis,
urosepsis, khususnya pada penderita usia lanjut.
Gambaran Klinis
- Rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat pada perut bagian bawah hingga
daerah genital.
- Tumor pada perut bagian bawah.
- Tidak dapat kencing.
- Kadang-kadang urin keluar sedikit-sedikit, sering, tanpa disadari, tanpa bisa ditahan
(inkontinensi paradoksa).
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Anamnesis :
*
Tidak bisa kencing atau kencing menetes/sedikit-sedikit.
*
Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah.
*
Riwayat trauma : straddle, perut bagian bawah/panggul, ruas tulang
belakang.
*
Pada kasus kronis, kkeluhan uremia.
Pitfall :
Retensi urin pada :
* Penderita cedera pada sumsum tulang belakang (paraplegi), tidak merasakan nyeri
bila buli-buli penuh.
* Penderita trauma tulang panggul yang disertai kerobekan uretra, rasa nyeri kabur
karena juga dirasakan nyeri akibat kerusakan struktur lainnya.
Inspeksi :
*
Penderita gelisah.
*
Benjolan/massa perut bagian bawah.
*
Tergantung penyebab : batu dimeatus eksternum, pembengkakan
dengan/tanpa fistulae di daerah penis dan skrotum akibat striktura uretra, perdarahan
per uretra pada kerobekan akibat trauma.
Palpasi dan Perkusi :
*
Teraba benjolan/massa kistik-kenyal (undulasi) pada perut bagian bawah.
*
Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis atau
menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat mengganggu.
*
Terdapat keredupan pada perkusi.
Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli yang penuh, dikaitkan dengan
jarak antara simfisis-umbilikus.
* Tergantung penyebab :
Teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.
Teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang panjang.
Teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur.
Teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total uretra
posterior.
Kepastian diagnosis :
* Foto polos abdomen dan genitalia :
Terlihat bayangan buli-buli yang penuh dan membesar
Adanya batu (opaque) di uretra atau orifisium internum.

* Uretrografi untuk melihat adanya striktura, kerobekan uretra, tumor uretra.


* Ultrasonografi untuk melihat volume buli-buli, adanya batu, adanya pembesaran
kelenjar prostat.
Pitfall :

* Pada wanita dewasa, massa di perut bagian bawah harus dibedakan antara
buli-buli yang penuh akibat retensi urin, uterus yang membesar karena kehamila
atau sistoma ovarii yang besar.
Tips :
* Tanpa adanya fasilitas radiologi, disarankan untuk melakukan kateterisasi (kateter
nelaton 16F) untuk memastikan diagnosis sekaligus untuk menanggulangi retensi urinnya
(lihat syarat-syarat dan tehnik kateterisasi).
* Pada pria tidak dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dan menangani retensi urin
dengan kateter logam.
PENATALAKSANAAN :
Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan ditetapkan
berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya.
Pilihannya adalah :
1. Kateterisasi
2. Sistostomi suprapubik
*
Trokar
*
Terbuka
3. Pungsi suprapubik
1. Kateterisasi :
Syarat-syarat :
Dilakukan dengan prinsip aseptik
Digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar, jenis Foley
Diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter
Diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap
Diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1X saja
(biasanya tidak diperlukan antibiotika sama sekali)
Kateter tetap dipertahankan sesingkat mungkin, hanya sepanjang masih dibutuhkan.
Teknik kateterisasi :
Kateter Foley steril, untuk orang dewasa ukuran 16-18 F.
Desinfeksi dengan desinfektans yang efektif, tidak mengiritasi kulit genitalia
(tidak mengandung alkohol).
Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 2-4% yang
dimasukkan dengan semperit 20 cc serta nipple uretra di ujungnya. Jelly tersebut
sekaligus berperan sebagai pelicin. (Pada batu atau striktura uretra, akan dirasakan
hambatan pada saat memasukkan jelly tersebut).
Kateter yang diolesi jelly K-Y steril dimasukkan ke dalam uretra. Pada
penderita wanita biasanya tidak ada masalah. Pada penderita pria, kateter dimasukkan
dengan halus sampai urin mengalir (selalu dicatat jumlah dan warna/aspek urin),
kemudian balon dikembangkan sebesar 5-10 ml.
Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong
penampung steril dan dipertahankan sebagai sistem tertutup.
Kateter difiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atau di daerah
inguinal dan diusahakan agar penis mengarah ke lateral, hal ini untuk mencegah
terjadinya nekrosis akibat tekanan pada bagian ventral uretra di daerah penoskrotal.

Perawatan Kateter tetap :


Penderita dengan kateter tetap harus :
Minum banyak untuk menjamin diuresis.
Melaksanakan kegiatan sehari-hari secepatnya bila keadaan mengijinkan.
Membersihkan ujung uretra dari sekrit dan darah yang mengering agar
pengaliran sekrit dari lumen uretra terjamin.
Mengusahakan kantong penampung urin tidak melampaui ketinggian bulibuli agar urin tidak mengalir kembali ke dalamnya.
Mengganti kateter (nelaton) setiap dua minggu bila memang masih
diperlukan untuk mencegah pembentukan batu (kateter silikon : penggantian setiap 68 minggu sekali).
Pitfalls :
*
Ukuran kateter yang terlalu besar akan menekan mukosa uretra dan
menghambat pengaliran sekrit yang diproduksi sehingga mengundang terjadinya
uretritis dengan segala konsekuensinya (a.l. striktura).
*
Mengembangkan balon dari kateter yang ujungnya belum masuk sempurna
di dalam lumen buli-buli akan menimbulkan nyeri dan bila dipaksakan dapat
menimbulkan lesi pada uretra.
*
Melakukan kateterisasi secara kasar akan menimbulkan nyeri dan terjadi
spasme dari sfingter sehingga kateter tidak dapat masuk.
Tips :
*
Menggunakan jelly dari bahan yang larut dalam air dan tidak menimbulkan
iritasi pada mukosa uretra (jelly K-Y).
*
Menghindari penggunaan antibiotika pada pemakaian kateter tetap karena
akan mengundang tumbuhnya kuman yang kebal. Penggunaan antibiotika hanya
dibenarkan bila terjadi bakteriemia atau terdapat ancaman sepsis.
*
Mengusahakan pengaliran urin selalu lancar (bebas : dari tekukan selang
kantong penampung, dari gumpalan darah, dari debris dan sebagainya) dengan
mengusahakan diuresis yang memadai dan mengusahakan sistem tertutup yang tidak
mengganggu.
*
Mengatasi spasme sfingter dengan menekan tempat tersebut selama
beberapa menit dengan ujung kateter sehingga begitu terjadi relaksasi, kateter akan
masuk dengan lancar (perlu kesabaran !).
*
Mencegah balon dikembangkan di dalam lumen uretra dengan cara
memasukkan kateter sedalam mungkin ke dalam buli-buli, balon dikembangkan dan
setelah itu kateter ditarik kembali sehingga balon terletak tepat pada orifisium
internum.
1. Sistostomi Trokar :
Indikasi :
1.
Kateterisasi gagal : struktura, batu uretra yang menancap (impacted).
2.
Kateterisasi tidak dibenarkan : kerobekan uretra pada trauma.
Sebagian ahli berpendapat bahwa sistostomi pada pria lebih aman daripada kateter tetap
karena penyulit akibat pemakaian kateter pada uretra dapat ditiadakan (uretritis, striktura,
fistula).
Syarat-syarat :
Retensi urin dan buli-buli penuh, kutub atas lebih tinggi pertengahan jarak
antara simfisis-umbilikus.
Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trokar (< - > 20F).
Pitfalls :

*
Cara kerja yang tidak sistematis dan kurang cepat bisa berakibat buli-buli
sudah menguncup(karena semua urin mengalir keluar) sebelum berhasil masuk ke
dalam lumen buli-buli.
*
Kekuatan besar untuk mengatasi tahanan dari kulit dan fasia dapat
menyebabkan dorongan kelewatan sehingga trokar menembus dinding belakang bulibuli.
Tips :
*
Siapkan segala peralatan sebelum mulai melakukan sistostomi sehingga
dapat bekerja cepat. Dicek ukuran kateter dan balon dites terlebih dahulu.
*
Untuk menghindari tahanan dari kulit dan fasia, kedua struktur tersebut
ditusuk/ disayat terlebih dahulu dengan pisau tajam sehingga trokar dapat
menembus dinding buli-buli dengan mulus.
*
Ujung kateter Foley dipotong beberapa milimeter distal dari balon, sehingga
segmen kateter yang masuk lumen buli-buli tidak terlalu panjang.
Sistostomi Terbuka :
Indikasi :
Lihat sistostomi trokar
Bila sistostomi trokar gagal
Bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu di dalam
buli-buli evaluasi gumpalan darah, memasang drain di rongga Retzii, dan
sebagainya.
Perawatan kateter sistostomi jauh lebih sederhana daripada kateter tetap melalui uretra.
Demikian pula penggantian kateter sistostomi setiap dua minggu, lebih mudah dan tidak
menimbulkan nyeri yang berarti.
Kadang-kadang saja urin merembus di sekitar kateter.
3. Pungsi Buli-buli
Merupakan tindakan darurat sementara bila kateterisasi tidak berhasil dan fasilitas/ sarana
untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tidak tersedia. Digunakan jarum pungsi dan
penderita segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana dapat dilakukan sistostomi.
Penderita dan keluarga harus diberi informasi yang jelas tentang prosedur ini karena tanpa
tindakan susulan sistostomi, buli-buli akan terisi penuh kembali dan sebagian urin
merembes melalui lubang bekas pungsi.
CARA MERUJUK PENDERITA :
Rujukan ditentukan oleh masalah atau diagnosis yang dihadapi, karena tindakan awal
(kateterisasi, sistostomki maupun pungsi suprapubik), harus diikuti dengan evaluasi lanjutan
dan tindakan definitif.
Beberapa contoh kasus rujukan :
Masalah / Jenis Penyakit
Batu Uretra

Strikture uretra dengan


penyulit (fistulae dsb.)

Rujukan
Dicoba didorong ke dalam buli-buli
Dokter/ahli bedah : vesikolitotomi
Ahli urologi : litotripsi transuretral
(dewasa),
transversikal
(anak),
vesikolitotomi
atau

tanpa

Ahli bedah : eksisi, uretrostomi


Ahli urologi : sachse, eksisi,
uretrostomi, rekonstruksi

Paraplegi akibat trauma pada fase akut

Secepatnya kateterisasi intermiten


Dirujuk bila terdapat indikasi untuk
stabilisasi dari ruas tulang belakang
dsb.

BPH

Ahli bedah : prostatektomi terbuka


Ahli urologi : TUR prostat,
prostatektomi terbuka
Bila kondisi umum tak mengijinkan,
jangan dirujuk, kateter seumur hidup

Ca Prostat

Ahli urologi : TUR untuk


desobstruksi
Stadium terminal : sistostomi
(kadang-kadang tidak efektif karena
volume buli-buli mengecil) tak usah
dirujuk

Atonia buli-buli
Diabetic Bladder

bladder training
Ahli urologi : sistometri, bladder
training, BNI dsb.

Dis-sinergi detrusor-sfingter

Clot-retention

Ahli urologi : sistometri, endoskopi,


pemeriksaan profil uretra, BNI dsb.
Ahli bedah : evaluasi (sistostomi ?)
Ahli urologi : evakuasi, koagulasi,
reseksi (transuretral)

Kerobekan Uretra

Dirujuk bila hemodinamik sudah


stabil : bila disertai kontusio serebri,
dirujuk setelah GCS membaik dan
stabil

Tips :
Bila merujuk hendaknya penderita dan keluarga diberi informasi yang jelas mengenai
langkah-langkah evaluasi maupun definitif yang akan dilakukan sehingga yang bersangkutan
dapat mempersiapkan diri baik fisik, mental maupun dari segi sosio-ekonomi.
KESIMPULAN
* Untuk mendeteksi retensi urin tidaklah sulit. Diperlukan perhatian dan kewaspadaan
dari dokter maupun perawat yang bersangkutan.
* Untuk menangani retensi urin tidak dibutuhkan keahlian maupun ketrampilan khusus.
Diperlukan pemahaman akan syarat-syarat dan tekniknya serta cara-cara merawatnya.
* Diinformasikan pula mekanisme rujukan.
* Dengan memperhatikan pitfalls dan tips, penanganan retensi urin sebagai tindakan
awal akan mengurangi penderitaan dan mencegah terjadinya penyulit yang lebih serius.

AKUT SKROTUM

Sabilal Alif
Program Studi/Seksi Urologi
Lab/UPF Ilmu Bedah
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Akut skrotum adalah keadaan-keadaan dimana didapatkan adanya nyeri mendadak yang hebat
di dalam skrotum dan seringkali disertai pembengkakan dari isi skrotum. Keadaan ini
memerlukan penanganan yang cepat dan tepat karena beberapa penyebab dari akut skrotum
ini adalah problem vaskular sehingga prognosanya sangat dipengaruhi oleh lamanya
gangguan vaskular tersebut berlangsung.
Dalam menangani kasus akut skrotum harus selalu diingat bahwa dalam keragu-raguan
sebaiknya dianggap atau dipakai diagnosa kerja yang resikonya lebih besar, sehingga dapat
dihindari komplikasi-komplikasi yang sangat merugikan penderita. Dan tentu saja untuk
kasus yang memerlukan pembedahan harus segera dirujuk kepada ahli urologi/ahli bedah
yang terdekat untuk mendapatkan penanganan yang sebaik-baiknya.
Selama tahun 1993 di IGD RSUD Dr. Soetomo, kami tangani 85 kasus akut skrotum dengan
perincian diagnosa 34 torsio testis dan 51 epididimitis.
Dari 34 torsio testis yang kami tangani 1 diantaranya diagnosa preoperasinya hernia
inguinalis lateralis inkarserata. Jadi diferensial diagnosa yang harus dipertimbangkan dalam
menangani akut skrotum adalah :
1. Torsio testis
2. Epididimitis
3. Hernia inkarserata
4. Torsio apendik testis
5. Torsio apendik epididimis
6. Tumor testis
Data yang kami peroleh dari penelitian selama 2 tahun (1 Januari 1989 31 Desember 1990)
menunjukkan bahwa dari 75 kasus torsio testis yang kami tangani 43 kasus diantaranya telah
diperiksa oleh dokter dan 25 kasus (58%) didiagnosa salah. Dan dari 10 kasus yang telah
diperiksa oleh paramedis 9 diantaranya didiagnosa salah. Melihat angka-angka diatas sungguh
sangat memprihatinkan bahwasanya viabilitas testis yang kami dapat hanya sebesar 28%
(21/75), dimana sebagian besar dari penderita sebenarnya sudah minta pertolongan kepada
tenaga medis (dokter/perawat).
Torsio Testis
Pada tahun 1936 Abeshouse melakukan penelusuran literatur dan mempublikasikan 350 kasus
torsio testis, selanjutnya berdasarkan 102 laporan ; Skoglund mencatat 718 kasus torsio testis
yang lain. Dan pada tahun 1976 Williamson mempelajari 353 kasus torsio testis dengan
insiden dalam satu tahun 1 tiap 4000 laki-laki berumur < 25 tahun, dan resiko torsio 1 dari
160 laki-laki berumur < 25 tahun. Ada 2 puncak insiden torsio testis yakni tahun pertama dan
pubertas. Insiden torsio testis pada 24 jam pertama kelahiran cukup tinggi dan mungkin
sebagian besar darinya terjadi intrauterin sehingga pada saat lahir penderita ini mempunyai
massa intraskrotal padat, dan akhirnya kehilangan testis karena orchidektomi atau atrofi.
Meskipun puncak insiden pada tahun pertama dan pubertas, namun masih dilaporkan 41
kasus torsio testis pada pria yang telah berumur > 40 tahun.
Testis yang ektopik atau kriptorkismus bisa mengalami torsio apabila tidak dilakukan
orchidopeksi atau orchidektomi. Besarnya resiko torsio pada testis jenis ini dibandingkan
testis normal tidak diketahui. Wiliamson melaporkan 20 kasus, Wright melaporkan 7 kasus
dan Donohue dan Utley melaporkan 4 kasus. Dari penelusuran kumulatip terhadap 520 kasus,

didapatkan 34 kasus (6,5%) terjadi pada testis ektopik. Nyeri abdomen akut ipsilateral pada
testis yang tidak teraba harus dipikirkan kemungkinan terjadinya torsio testis intra abdominal.
Beberapa laporan menunjukkan frekwensi yang sama antara kanan dan kiri, sedangkan
beberapa laporan yang lain menyebutkan bahwa frekwensi kiri lebih sering daripada kanan.
Etiologi
Desensus testis ke dalam skrotum yang normal membawa prosesus vaginalis, yakni
penonjolan dari kantong peritoneum. Biasanya prosesus ini akan mengalami obliterasi bagian
proksimalnya sehingga hanya tersisa bagian yang mengelilingi testis saja. Oleh karena
epididimis melekat pada dinding postero lateral skrotum, maka pembungkusan testis oleh
tunika vaginalis ini tidak lengkap, dan funikulus spermatikus pun tidak terbungkus oleh
tunika vaginalis ini. Pada testis yang epididimisnya tidak melekat erat pada dinding skrotum,
maka seluruh testis, epididimis dan ujung distal funikulus spermatikusnya terbungkus oleh
tunika vaginalis, sehingga memungkinkan testis ini berputar di dalam tunika vaginalis.
Testis yang sistem penggantungnya tidak normal ini apabila mengalami rudapaksa, gerakangerakan tubuh tertentu atau kontraksi kuat. Kremaster akan mudah mengalami torsio
intravaginal.
Torsio testis disebut intravaginal apabila testisnya berputar di dalam tunika vaginalis parietalis
dan disebut torsio testis ekstravaginal apabila tunia vaginalis parietalisnya ikut berputar
bersama testis, epididimis dan funikulus spermatikusnya.

Diagnosa
Gejala utama dari torsio testis adalah nyeri testis yang hebat dan biasanya mendadak. Nyeri
ini bisa terbatas di skrotum tetapi bisa juga menjalar sepanjang perjalanan funikulus
spermatikus yakni ke inguinal dan perut bagian bawah. Pada beberapa penderita nyeri
terutama dirasakan di perut bagian bawah ipsilateral bahkan di perut bagian atas atau di
pinggang. Testis yang bersangkutan membengkak, letaknya lebih tinggi dan horisontal
dengan funikulus spermatikus yang menebal, kadang-kadang bisa diraba adanya lilitan
funikulus spermatikus. Pada saat permulaan epididimis masih teraba tetapi tidak pada posisi
yang normal. Dan penderita mengalami mual, muntah dan panas badan.
Alif dkk. mendapatkan gejala klinis dari 75 kasus torsio testis yang dirawat di RSUD Dr.
Soetomo sebagai berikut :
Gejala Klinis
Nyeri testis
Nyeri perut bawah
Testis bengkak
Letak testis lebih tinggi
Testis horisontal
Epididimis teraba
Panas badan
Mual/muntah

Ada
73 (97,3 %)
60 (80,0 %)
75 (100 % )
68 (90,7 %)
46 (61,3 %)
18 (24,0 %)
26 (34,7 %)
31 (41,3 %)

Tidak ada
2 (2,7 %)
15 (20,0 %)
-7 (9,3 %)
29 (38,7 %)
57 (76,0 %)
49 (65,3 %)
44 (58,7 %)

Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium sebelum operasi menunjukkan 44 penderita *58,7


%) lekositosis (> 10.000) dan hanya 4 penderita (5,3 %) yang mengalami lekosituria (> 5/lp).
Torsio testis seringkali mengalami reposisi spontan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya
penderita yang mempunyai riwayat serangan yang sama pada masa sebelumnya dan sembuh
dengan sendirinya.
Kesalahan diagnosa yang paling sering dibuat adalah epididimitis dan merupakan penyebab
utama keterlambatan pengobatan dan rendahnya angka viabilitas testis. Tanda dari Prehn
adalah berkurang atau hilangnya nyeri pada epididimitis apabila testis diangkat, sedangkan

pada torsio testis nyerinya tidak akan berkurang. Akan tetapi banyak ahli yang berpendapat
bahwa tanda dari Prehn ini tidak bisa dijadikan pegangan.
Tidak adanya keluhan traktus urinarius dan urinalisis yang normal banyak ditekankan oleh
para ahli. Madsen menganjurkan memeriksa cairan prostat untuk membedakan epididimitis
dari torsio testis. Dari 50 kasus epididimitis yang belum memperoleh antibiotika, dia
mendapatkan cairan prostatnya penuh dengan lekosit, sedangkan dari 6 kasus torsio testis dia
hanya mendapatkan < 50 sel lekosit per lapangan pandang kecil. Menurut Madsen
epididimitis akut dan prostatitis akut biasanya terjadi bersamaan.
Levy mendapatkan korelasi antara hasil pemeriksaan radionuclide scanning dengan hasil
pembedahan sebesar 89%, sedangkan Rodriguez dengan mempergunakan doppler
ultrasound mendapatkan koelasi 79% terhadap hasil pembedahan. Dari hasil-hasil tersebut
nampak bahwa radionuclide scanning merupakan pemeriksaan yang paling dapat dipercaya
tetapi tidak banyak rumah sakit yang mempunyai fasilitas pemeriksaan ini, dan bagi rumah
sakit yang mempunyai fasilitas pun tidak tersedia pelayanan 24 jam.
Terapi
Pada setiap kasus torsio testis harus selalu dicoba pada kesempatan pertama untuk melakukan
detorsi manual, kecuali nyata-nyata telah terjadi perlekatan testis ke dinding skrotum.
Kadang-kadang hanya dengan mengangkat testis sudah bisa terjadi reposisi, tetapi apabila
belum berhasil maka dicoba memutar ke testis lateral, apabila belum berhasil juga maka
dicoba memutar ke medial.

Keberhasilan detorsi manual tidak menghilangkan indikasi untuk melakukan


eksplorasi oleh karena reposisi manual testis tidak menjamin bisa mengembalikan
testis ke posisinya yang normal.
Apabila pada eksplorasi didapatkan torsio testis atau tanda-tanda bekas torsio testis yang
dapat berupa testis yang kebiruan, hematoma pada funikulus spermatikus atau hidrokel
sekunder, maka tergantung pada viabilitas dari testisnya apakah akan dilakukan orchidopeksi
atau orchidektomi, dan dilanjutkan dengan orchidopeksi kontralateral.
Cara orchidopeksi adalah dengan memasang 3 jahitan antara tunika albuginea dan tunika
Dartos dengan mempergunakan bahan yang tidak diserap misalnya sutera. Tamil melaporkan
terjadinya torsio testis kontra lateral 5 tahun setelah orchidopeksi mempergunakan chromic
catgut. Sedangkan Kuntze melaporkan 2 kasus torsio testis yang telah difiksasi dengan
chromic catgut.
Epididimitis akuta
Adalah sindroma klinis akibat dari keradangan, nyeri dan pembengkakan dari epididimis yang
berlangsung kurang dari 6 minggu.
Etiologi
Penyebab dari epidimitis akuta dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Sexually transmitted : C. trachomatis, N. gonorrhoeae
2. Non sexually transmitted : Enterobacteriaceae, Pseudomonas, biasanya bersamaan
dengan infeksi traktus urinarius atau prostatitis.
Patogenesis dan Patologi
Proses epididimitis menjalar dari vas deferens ke kauda epididimis. Pada fase akut epididimis
membengkak dan mengalami indurasi, serta infeksinya menjalar dari kauda ke kaput. Tunika
vaginalis mengeluarkan cairan serious yang bisa menjadi purulen. Funikulus spermatikus
menebal dan testis membengkak akibat kongesti tetapi jarang terlibat di dalam proses
infeksinya.
Klinis

Penderita-penderita epididimitis seringkali juga mendapatkan gejala urethritis atau prostatitis.


Nyeri bisa sangat hebat dan menjalar dari skrotum ke daerah perjalanan dari funikulus
spermatikus bahkan sampai ke pinggang. Pembengkakan bisa berlangsung sangat cepat,
dalam waktu 3-4 jam ukuran epididimis bisa menjadi dua kali lipat.
Diagnostik Fisik
Skrotum dan isinya biasanya membesar, dengan daerah inguinal dan perut bawah biasanya
sedikit tegang. Pada mulanya epididimis yang membesar dengan konsistensi lebih padat
masih bisa dibedakan dari testis, tetapi setelah beberapa jam/hari kadang-kadang sudah tidak
dapat dibedakan lagi.
Funikulus spermatikus menebal karena oedema, hidrokel sekunder karena keradangan
terbentuk setelah beberapa hari, dan mungkin terdapat discharge dari uretra.
Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap akan menunjukkan adanya lekositosis dan shift to the left. Dari
kultur urine biasanya didapatkan kuman Pseudomonas, N. gonorrhoeae, atau C. trachomatis.
Differensial Diagnosa

Umur
Omset
Nyeri
Bengkak
Letak
Posisi testis
Letak epididimis
Febris
Lekositosis
Lekosituria

Torsio Testis
< 30 tahun
mendadak
+
+
lebih tinggi
horizontal
tak tentu
+/+/(-)

Epididimitis
semua umur
pelan-pelan
+
+
normal
vertikal
posterolateral
+/+/(+)

Terapi
1. Epididimitis sekunder dari bakteriuria :
Kultur urine dan tes sensitifitas
Antibiotika spektrum luas, misalnya : tobramycin, cotrimoxazol, quinolone
Tirah baring dan penyangga skrotum
Dipertimbangkan untuk rawat inap
Evaluasi penyakit primer di traktus urinarius
2. Epididimitis sekunder dari STD :
Pengecatan gram dari usapan uretra
Antibiotika : tetracycline
4 x 500 mg atau
doxycycline
2 x 100 mg atau
3-4 minggu
cyprofloxacine 2 x 500 mg
Tirah baring dan penyangga skrotum
Pemeriksaan dan terapi terhadap istri

KEPUSTAKAAN
1. Alif, S. dkk : Torsio Testis di RSUD Dr. Soetomo ; Studi Prospektif Selama 2 Tahun,
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 1991.

2. Berger, R.E. : Sexually Transmitted Diseases. In : Walsh, P.C. et al (Eds.) :


Campbell's Urology, Philadelphia, W.b. Saunders, 1992.
3. Ireton, R.C. & Berger, R.e. : Prostatitis & Epididymitis. In : The Urologic Clinics of
North America, Vol. 11, No. 1, 1984.
4. Meares, E.M. : Nonspecific Infections of the Genitourinary Tract. In : Tanagho, E.A.
& Mc aninch, J.W. (Eds.) : Smith's General Urology, San Fransisco, Lange, 1992.
5. Wilbert, D.M. et al : Evaluation of the Acute Scrotum by Color Coded Doppler
Ultrasonography, J. Urol, 149 : 1475, 1993.

<30 th ( Eksplorasi

(-)

Flow

> 30 th ( Doppler /
Radionuclide
Scanning
(+)

< 30 th
> 30 tahun

Gram usapan urethra

Gram MSU

Tx. Go

Tx. C. trachomatis

Tx. sesuai tes


sensitifitas

Tx. Istri

Tx. kelainan strukturtraktus urinarius

UROSEPSIS
Sunaryo Hardjowijoto
Program Studi/Seksi Urologi
Lab/UPF Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Urosepsis adalah keadaan septikaemia yang berasal dari fokus infeksi di traktus urinarius.
(1,4)
Insiden urosepsis merupakan 1/3 dari seluruh kejadian septikaemia. (6)
Mortalitasnya mencapai 15% dan akan menjadi 50-90% bila disertai dengan syok, karena itu
untuk menekan mortalitasnya pertolongannya harus cepat dan adekwat. (1,6)
Karena merupakan penyebaran infeksi maka kuman penyebabnya sama dengan kuman
penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu golongan kuman coliform negatifgram
seperti Escheresia Coli, Klebsiella, Enterobakter, Serratii, Proteus dan Pseudomonas
Aeruginosa (1,4,6). E Coli merupakan penyebab terbanyak, mencakup 46% disusul Proteus
sekitar 19% (1).
Karena merupakan penyebaran dari fokus infeksi di traktus urinarius maka terdapat keadaan
tertentu dari traktus urinarius yang merupakan faktor utama dari terjadinya urosepsis, yaitu
adanya obstruksi dan atau manipulasi dari traktus urinarius.
Patogenesa dari gejala klinis urosepsis adalah akibat dari masuknya endotoksin, suatu
komponen lipopolisakarida dari dinding sel ke dalam sirkulasi darah. Adanya endotoksin ini
menyebabkan terjadinya reaksi hemopoeitik. Sistem makrofag melalui monosit akan
memproduksi mediator yaitu interleukin yang mempengaruhi pusat pengatur suhu di
hipotalamus dan menimbulkan febris. Sekitar 10% dari penderita septikaemia kuman negatif
gram pada awalnya tidak menunjukkan reaksi febris (1,6).
Reaksi hemopoetik selain menghasilkan interleukin, juga menghasilkan mediator yang lain.
Mediator tersebut mengaktifkan komponen yang berperan aktif dalam koagulasi seperti
komplemen, fibironolitik, kinin, faktor XII (Hageman). Reaksi hemopoetik ini bila berlanjut
terus dapat menyebabkan terjadinya fibrinolisis dan deseminasi koagulasi intravaskular.
Aktivasi dari kinin, tepatnya bradikinin menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan
meningkatnya permeabilitas vaskuler.
Reaksi hemopoetik di dalam vaskular paru menyebabkan terjadinya agregasi granulosit yang
dapat menyebabkan berkembangnya keadaan sindroma distress respirasi akut (ARDS).
Diagnosa dari urosepsis dibuat berdasarkan akumulasi data yang didapat dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorik dan rontgenologik.
Dari anamnesa, data yang positif adalah adanya demam, panas badan dengan menggigil
dengan didahului atau disertai gejala dan tanda obstruksi aliran urin seperti nyeri pinggang,
koliek dan atau benjolan di perut atau pinggang. Keluhan febris yang terjadi setelah gejala

infeksi saluran kencing bagian bawah yaitu polakisuria dan disuria juga sangat mencurigakan
terjadinya urosepsis. Demikian pula febris yang menyertai suatu manipulasi urologik.
Pada sebagian kecil, penderita urosepsis tidak disertai dengan febris yaitu pada penderita tua,
penderita yang keadaan umumnya kurang baik atau pada mereka yang mendapat
kortikosteroid.
Sesak napas, hiperventilasi dan respirasi alkalosis juga dapat merupakan gejala dari adanya
sepsis kuman negatif gram.
Pada pemeriksaan fisik yang diketemukan dapat sangat bervariasi. Pada keadaan yang dini,
keadaan umum penderita masih baik, tekanan darah masih normal, nadi biasanya meningkat
dan temperatur biasanya meningkat antara 38-40 C. Bila urosepsis berlanjut akan terjadi syok.
Syok dapat terjadi melalui 2 tahap (1). Tahap pertama, masih dini disebut sebagai syok hangat
(warm shock) dengan tanda-tanda akral masih hangat, walaupun tahanan vaskular menurun
tekanan darah masih normal karena cardiac output masih dapat ditingkatkan, tekanan vena
sentral menurun.
Bila berlanjut maka akan masuk dalam tahap syok dingin dengan tanda-tanda akral dingin,
tekanan darah dan cardiac output menurun dan terjadi asidosis metabolik karena tertimbunnya
laktat.
Pada urosepsis juga dapat terjadi gangguan hemostasis dengan gejala adanya ptechiae,
purpura atau echomose. Bila urosepsis disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dapat terjadi
gangrenosum suatu eritema yang dengan cepat mengalami nekrose.
Pemeriksaan satus lokalis sepanjang traktus urinarius penting untuk menentukan pre eksisting
anomalinya dan yang diketemukan sangat bervariasi tergantung kelainan primernya. Pada
umumnya pre eksisting anomali adalah hal-hal yang menyebabkan stasis urin seperti
urolithiasis, stenosis, obstruksi bladder outlet, al.l. prostat hipertrofi, striktura uretra, dll.
serta dapat pula stasis urin karena buli-buli neuropati.
Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosa urosepsis adalah adanya lekositosis
dengan hitung deferensial ke kiri, lekosituria dan bakteriuria.
Bila urosepsisnya cukup berat atau pre eksisting anomali sudah cukup lama berlangsung
terhadap peningkat kreatinin serum.
Sampai sejauh ini belum diketemukan cara pemeriksaan laboratoriumk yang cepat dan
patognomonik untuk mendiagnosa urosepsis.
Pemeriksaan pembiakan urin dan test kepekaan antibiotika sangat penting untuk menentukan
jenis antibiotika yang diberikan.
Bila penderita tampak sakit berat maka perlu diperiksa elektrolit, pH dan analisa gas darah.
Pemeriksaan rontgen yang sederhana, yang selalu dapat dikerjakan di RS di Kabupaten yaitu
foto polos abdomen (BOF = buik overzicht foto) sering sangat membantu menegakkan
diagnosa urosepsis serta menentukan fokus dari injeksi. Yang diperhatikan pada hasil foto
adalah adanya bayangan radio opak sepanjang traktus urinarius, kontur ginjal dan
bayangan/garis batas muskulus psoas.
Pemeriksaan pyelografi intravena (PIV) dapat memberikan data yang penting yaitu :
- Macam kelainan primer urologiknya
- Lokalisasi dan derajat dari obstruksi
- Fungsi dari ginjal
Hal-hal di atas juga penting untuk menentukan kecepatan bertindak.
Pada penderita urosepsis bila ginjal menunjukkan non visualized dan disertai massa ginjal
yang membesar serta nyeri tekan pada palpasi maka biasanya terdapat pyonefrose dan
memerlukan drainage segera.
Bila pemeriksaan PIV tidak dapat dikerjakan karena kreatinine serum terlalu meningkat, maka
pemeriksaan ultrasonografi akan sangat membantu menentukan adanya obstruksi dan juga
dapat untuk membedakan antara hidro dan pyonefrosis.
Penanganan penderita urosepsis harus cepat dan adekwat. Pada prinsipnya penanganannya
terdiri dari (1,4,5,6) :
A. Pemberian antibiotika
B. Resusitasi cairan dan elektrolit

C. Drainage dari timbunan nanah


D. Tindakan definitif secepatnya (urgent) untuk kelainan urologik primernya
Pemberian antibiotika yang segera dan efektif merupakan kunci dari keberhasilan penanganan
urosepsis (4). Karena harus cepat dan efektif maka antibiotika yang diberikan adalah yang
berspektrum luas dan mencakup semua kuman yang sering menyebabkan urosepsis yaitu
golongan aminoglikosida atau golongan sefalosporin generasi ke III.
Sefalosporin generasi I dan II tidak digunakan oleh karena yang generasi I hanya efektif
untuk E coli dan Klebsiella, sedang yang generasi ke 2 walaupun sedikit efektif untuk
Enterobacter dan Serratia tetapi sama sekali tidak efektif untuk Pseudomonas (3).
Untuk golongan aminoglikosida, misalnya gentamisin, dosisnya adalah 1,5 2 mg (7).
Sedangkan untuk sefalosporin generasi ke 3 dianjurkan diberikan 2 gr dengan interval 6-8 jam
dan untuk golongan cefoperazone dan ceftriaxone dengan interval 12 jam (3).
Oleh karena sebagian besar penderita disertai dengan demam maka pemantau yang cukup
efektif.
Untuk keberhasilan terapi antibiotika adalah suhu penderita. Bila dalam tempo 2-3 x 24 jam
penderita masih tetap febris maka harus dipikirkan :
1. Kuman resistent terhadap antibiotika yang diberikan
2. Dosis tidak cukup
3. Terdapat obstruksi, misalnya hidronefrosis atau timbunan nanah misalnya pyonefrosis
atau pyosistis yang harus segera ditindak.
Cox (2) serta Scully dan Henry (8) memberikan aztreonam 3 x 1 gr sehari pada penderita
dengan septikaemia kuman gram negatif dan mendapatkan hasil yang baik pada 96-98%
kasus.
Antibiotika diberikan sampai 3-5 hari bebas febris.
Yang dimaksud dengan resusitasi cairan, elektrolit dan asam basa adalah mengembalikan
keadaan tersebut menjadi normal.
Urosepsis adalah penyakit yang cukup berat sehingga biasanya oral intake menurun.
Keadaan demam/febris juga memerlukan cairan ekstra.
Kebutuhan cairan dan terapinya dapat dipantau dari tekanan darah, tekanan vena sentral dan
produksi urine.
Bila penderita dalam hipotensi atau syok (tensi < 90/60 mmHg), maka diberikan sejumlah
volume cairan sehingga tekan vena sentral yang dipantau lewat pipa CVP bertahan sekitar 1015 cm H2O dan diberikan larutan kristaloid dengan kecepatan 15-20 ml/menit.
Bila dengan pemberian cairan yang adekwat tekanan darah tetap rendah perlu segera
diberikan obat vasoaktif. Yang sering diberikan adalah Dopamin drip dengan dosis 2 sampai 5
g/kg berat badan/menit.
Dengan pemberian dopamine cardiac output dan produksi urin akan membaik.
Pemberian albumine juga dianjurkan, sedangkan pemberian kortikosteroid masih
kontroversial.
Bila terdapat gangguan elektrolit juga harus dikoreksi. Bila K serum 7 meq/L atau lebih perlu
dilakukan hemodialisa. Hemodialisa juga diperlukan bila :
- Kreatinin serum
> 10 mg%
- BUN
> 100 mg%
- Terdapat edema paru
Bila terdapat ARDS dengan Parterial kurang dari 50 mmHg dan pCO2 lebih besar dari 50
mmHg perlu dilakukan pernafasan dengan respirator (1).
Drainage yang segera perlu dikerjakan bila terdapat timbunan nanah misalnya pyonefrosis
atau hidronefrose berat (derajat IV-V).
Pyonefrosis dan hidronefrose yang berat menyebabkan terjadinya isemia sehingga
mengurangi penetrasi antibiotika.
Drainage dapat dikerjakan secara perkutan atau dengan operasi biasa (lumbotomi).

Penderita yang telah melewati masa kritis dari septikaemia maka harus secepatnya dilakukan
tindakan definitif untuk kelainan urologi primernya.
Pada penderita urolithiasis yang mengalami septikaemia dengan pemberian antibiotika yang
adekwat secara klinis dapat sembuh tetapi tidak mungkin mempertahankan sterilitas urin
selama batu tidak dikeluarkan karena antibiotika tidak dapat masuk ke dalam batu dimana
kuman bersembunyi.
Di seksi Urologi Bagian Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo penderita urosepsis
ditangani dengan algoritma sebagai berikut (5) :
Febris/pernah febris
Gejala Obstruksi Urologik
Manipulasi Urologik

(
Diagnosa : UROSEPSIS

(
Keadaan umum / status lokalis
Sekaligus dipasang infus
Pemeriksaan darah lengkap, Kreatinin Serum, BUN
Sakar darah acak (bila > 40 tahun)
pH darah, elektrolit, gas darah
Pemeriksaan urin lengkap, sedumen lengkap
Biakan dan tes kepekaan antibiotika
(sedapat mungkin urin dari miksi spontan)

(
Pielografi infusion, USG Urologik
Foto toraks (setelah pasang CVP)
EKG

(
Pasang CVP (catat tinggi air)
Pasang indwelling kateter (catat urin yang keluar)

(
TERAPI / TINDAKAN

ANTIBIOTIK KOREKSI CAIRAN HEMODIALISA OPERASI CITO OPERASI URGEN


1. Ampisilin +
(Makrolid)
Bila terdapat
Bila
Untuk
Gentamisin
Elektrolit, Asam
S. Kreatinin > 10
Pyonefrosis
kelainan primer
ATAU
Asetat
K > 7 mg%
urologik
2. Sefalosporin
edema paru
Generik III

Penderita-penderita urosepsis tersebut selain direkam dalam catatan medik baku (status) juga
dilengkapi dengan lembar pengumpul data (LPD) khusus untuk urosepsis.
Selama tahun 1993 telah dirawat sebanyak 138 penderita. LPD dari penderita yang dirawat
selama bulan Juli 1993 sampai dengan akhir Desember 1993, dikumpulkan dan diteliti dengan
hasil sebagai berikut :
- Jumlah penderita 60 orang
- Umur berkisar antara 8 bulan sampai 80 tahun, sebanyak 29 penderita berada pada
usia 30 sampai 60 tahun
- Jenis kelamin : pria 42 orang (70%) ; wanita 18 orang (30%)
- Karakteristik yang lain dari penderita terlihat seperti tabel-tabel berikut :

Tabel 1 : Kelainan Urologik Primer


Kelainan Urologik Primer
Urolithiasis
B.P.H.
Striktur Uretra
Karsinoma Buli-buli
Karsinoma Prostat
Karsinoma testis lanjut
Stenosis vesiko ureter
Sindroma Prune-Billy
Buli-buli neuropati
Karsinoma servix uteri lanjut
dengan hidronefrose
Hidronefrose kausa belum
jelas

N
38
10
3
2
1
1
1
1
1
1
1

%
63,3
16
5
3
1
1
1
1
1
1
1

60

100 %

Dari sejumlah 60 penderita tersebut pada 6 penderita urosepsis terjadi setelah manipulasi
urologik yaitu 1 penderita ESWL, 4 penderita pasca kateterisasi, 1 penderita pasca
pemeriksaan uretrografi.
38 penderita dengan urolithiasis rinciannya adalah sebagai berikut :
- Batu pyelum : 25 orang
- Batu ureter
: 8 orang
- Batu buli-buli : 5 orang
Berdasarkan pemeriksaan PIV dan USG, semua penderita dengan batu pyelum dan batu ureter
sejumlah 33 orang, semuanya disertai dengan hidronefrosis dengan derajat yang bervariasi.
Dari sejumlah penderita ini pada 11 orang disertai dengan pyonefrose.
Dari 5 orang penderita batu buli, pada 2 orang disertai dengan hidronefrosis bilateral.
Tabel 2 : Gejala dan tanda yang diketemukan
Gejala dan Tanda
Febris dan nyeri pinggang
Febris saja
Febris dan retensio urin
Febris,
nyeri
pinggang,
retensio urin
Febris dan anuria
Febris dan disuria
Febris dan benjolan pinggang
Febris dan hematuria
Nyeri pinggang saja
Sesak dan anuria

N
30
16
7
1
1
1
1
1
1
1

%
50
26,7
11,7
1,66
1,66
1,66
1,66
1,66
1,66
1,66

60

100 %

Lama keluhan berkisar antara 1 sampai 3 bulan.


Keluhan terlama berupa nyeri pinggang yang kemudian disertai febris.
Keluhan febris berlangsung antara satu sampai dua minggu.
Pada satu orang penderita sesak dan anuria merupakan satu-satunya gejala yang didapatkan.

Retensio urin didapatkan pada 8 penderita dengan rincian penyebab, 2 orang karena BPH, 3
orang karena striktur uretra, 1 orang karena batu buli-buli, 1 orang karena buli-buli neuropati
dan 1 orang karena sindroma Prune-Belly.
Tabel 3 : Tindakan Urologik Sito
Jenis Tindakan
Kateterisasi
Sistostomi
Drainage ginjal (nefrostomi)
DJ ureter stent

N
56
4
13
1

Kateterisasi dikerjakan pada 56 penderita dimana pada 8 orang penderita diantaranya


kateterisasi selain untuk pemantauan produksi urin juga untuk drainage urin.
Sistotomi dikerjakan pada 4 orang penderita dengan kelainan urologik primer 3 orang dengan
striktur uretra dan 1 orang dengan BPH dan batu buli multipel.
Pada 2 orang penderita sistostomi dikerjakan dengan teknik trokar dan pada 2 orang lainnya
dengan teknik seksio alta.

Drainage ginjal atau nefrostomi dikerjakan pada 13 penderita, sebelas diantaranya


ternyata memang betul pyonefrosis. Dari 13 penderita ini semuanya secara klinis
disertai dengan gejala yang khas yaitu febris, nyeri tekan pada daerah ginjal dan
PIV menunjukkan non visualized pada ginjal yang bersangkutan (12 penderita
dengan PIV).
By pass urin dengan memasang double J sten dikerjakan pada satu penderita dengan batu
ureter.
Tabel 4 : Biakan Urin
Jenis Kuman
Pseudomonas aeruginosa
Enterobacter
E Coli
Pseudomonas & E Coli
E Coli & Enterobacter
Citrabacter
Striptokokus viridans
Tidak ada pertumbuhan

N
13
8
5
2
1
1
1
19

Total diperiksa

10

Dari kuman-kuman yang dapat diidentifikasi ternyata Pseudomonas merupakan penyebab


yang terbanyak yaitu 15 dari 31 penderita atau sekitar 48%.
Disusul oleh Enterobacter sebanyak 9 dari 31 pnderita atau sekitar 29%.
Cox (2) pada penelitiannya terhadap 145 penderita dengan Complicated urinary tract
infections mendapatkan kuman penyebabnya adalah Pseudomonas aeruginosa pada 55
penderita, Providencia rettgeri pada 12 penderita dan Enterobacter pada 10 penderita.
Jadi antara satu dengan lain rumah sakit pola dari kuman penyebab infeksi dapat berlainan.
Hal ini sebetulnya mengundang ahli mikrobiologi klinik untuk lebih aktif dan lebih dini
dalam turut menangani infeksi saluran kencing dan juga prevensinya.

Tidak adanya pertumbuhan kuman pada 19 penderita serta tidak diperiksanya biakan urin
pada 10 penderita juga menggambarkan kurang baiknya penyelenggaraan pemeriksaan
mikrobiologi. Ditengarai terdapat 2 hal yang menyebabkan tidak tumbuhnya kuman dari
spesimen urin yaitu :
- Penderita telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum spesimen urin diambil, baik
ketika masih diluar rumah sakit maupun beberapa hari setelah dirawat di rumah sakit.
- Prosedur penyimpanan spesimen urin yang kurang benar sebelum dikirim ke
laboratorium mikrobiologi.
Kedua hal ini kiranya juga memperkuat perlunya ahli mikrobiologi berada di instalasi gawat
darurat sehingga dapat dilibatkan dalam penanganan penderita dengan infeksi berat sejak dari
awal.

Tabel 5 : Antibiotika yang diberikan


Jenis Antibiotika
Ampicilin + Gentamycin
Cefotaxim
Ceftriakson
Dibekacin
Tobramycin
Netromycin
Pefloxacin

N
18
34
1
3
1
1
2

Total diperiksa

60

Sefalosporin generasi ke 3 khususnya Cefotaxim merupakan antibiotika yang paling banyak


digunakan. Ini dapat dimengerti oleh karena pemberian obat tunggal lebih mudah
dibandingkan dengan pemberian kombinasi dan juga Sefalosporin kurang nefrotoksik
dibanding aminoglikosida. Kerugiannya adalah obat golongan ini harganya lebih mahal.
Karena Sefalosporin generasi ke 3 paling sering digunakan dan mengingat kuman penyebab
paling sering adalah Pseudomonas maka perlu diingat bahwa tidak semua Sefalosporin
sensitif untuk Pseudomonas. Sefalosporin generasi ke 3 yang aktifitas antipseudomonasnya
baik adalah cefoperazone dan ceftazidine (3).
Cunha (3) menganjurkan pemberian intravena dengan dosis 2 gram setiap kali pemberian
dengan interval 2-3 x /24 jam tergantung jenis sefalosporinnya.
Kombinasi antara ampicilin dan aminoglikosida diberikan pada 18 penderita. Pada 4
penderita secara klinis tidak menunjukkan perbaikan dan diganti dengan sefalosporin generasi
ke 3.
Tabel 6 : Hasil penanganan
Perjalanan Penyakit
Membaik / sembuh
Memburuk
/
meninggal
Total

N
52
8

%
86,7
13,3

60

100 %

Dari 60 penderita yang diteliti ternyata pada 8 penderita (13,3%) keadaan penderita makin
memburuk. Pada 4 penderita meninggal di rumah sakit dengan kausa : septic syok (2
penderita), myokard infark akut (1 penderita) dan tumor testis yang lanjut (1 penderita).

4 penderita lainnya diminta dibawa pulang oleh keluarganya dalam keadaan terminal yang
secara medis diramalkan akan meninggal.
Terdapat 11 penderita yang pada saat datang ke rumah sakit dalam keadaan syok. Dari 11
penderita ini 8 penderita syok dapat diatasi dan selanjutnya menjadi lebih baik, 3 penderita
lainnya meninggal.
Jadi secara keseluruhan mortalitas di klinik kami adalah 13,3%. Angka ini tidak berbeda
dengan klinik lain.
Sedangkan mortalitas dari penderita yang datang dengan syok sebesar 27%, jadi lebih baik
dari data yang didapatkan dari klinik lain.

KEPUSTAKAAN
1. Bahnson R.R. : Urosepsis. Urol Clin. N.A. : Vol. 13, No. 4, 627 635, 1986.
2. Cox C.E. : Aztreonam therapy for Complicated Urinary tract Infections Caused by
Multidrug-Resistant Bacteria. Reviews of Infections Diseases Vol. 7 Suppl. 4, 767-771,
University of Chicago, 1985.
3. Cunha B.A. : Third Generation Cephalosporins. A rational Basis for selection Health
Commonications Press. New Jersey, 1985.
4. Hardjowijoto S. : ABC dari managemen urosepsis. Simposium Urologi, Januari 1989,
Manado.
5. Hardjowijoto S. : Urosepsis, dalam : Algoritma Gawat Darurat Urologi Program Studi
Urologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 1992.
6. Levine F.S. & Staskin D.R. : Genitourinary Infection dalam : Manual of Urology
Chapter 18, p. 205-224, Editor Siroky MB & Krane R.J. Little, Brown and Co. Boston,
1990.
7. Panitia Medik Farmasi dan Terapi : Pedoman Penggunaan Antibiotik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, 1992.
8. Scully B.E. & Henry S.A. : Clinical Experience with Aztreonam in the Treatment of
Gram Negative Bacterimia. Reviews of Infections Disease Vol. 7 Suppl. 4, 789-793,
University of Chicago, 1985.

TRAUMA UROGENITAL
Adi Santoso
Program Studi/Seksi Urologi
Lab/UPF Ilmu Bedah
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Suatu trauma atau rudapaksa dapat menyebabkan gangguan pada fungsi vital seperti
pernapasan, kardiovaskular dan susunan saraf pusat.
Dalam kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini tentunya banyak dirasakan dampak
positifnya, tetapi tentunya ada pula dampak negatifnya, seperti :
* Kecelakaan lalu lintas dengan korban yang besar akibat dari makin cepatnya laju
kendaraan bermotor dan meningkatnya jumlah kendaraan di jalan raya.

* Kecelakaan kerja
* Tindak kriminal
* Olah raga : balap motor, body kontak
Dengan semakin meningkatnya jumlah korban akibat kejadian tersebut di atas, semakin
meningkat pula cidera yang mengenai tractus urogenitalis.
Oleh karena itu penderita dengan trauma, umumnya merupakan penderita gawat darurat yang
memerlukan pertolongan dengan cepat dan tepat. Jadi faktor waktu, ketepatan diagnosa, dan
keterampilan bertindak memegang peranan yang sangat penting.
Pada trauma tajam/tembak tidak menimbulkan kesulitan dalam diagnostik, tetapi pada
umumnya keadaan penderita cukup gawat, dimana tindakan yang tepat dan cepat pada menitmenit pertama dapat berarti besar dan menentukan hidup atau mati penderita. Dari data-data
kasus trauma tractus urogenitalis yang tercatat di IGD RSUD Dr. Soetomo selama tahun 1993
adalah sebagai berikut :
Data berdasarkan kelompok umur :
Kelompok Umur
< 1 tahun
1-10 tahun
11-20 tahun
21-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
61-70 tahun
> 70 tahun

N
3
8
23
63
27
15
11
3
3

%
1.9
5.3
14.7
40.3
17.3
9.6
7
1.9
1.9

Jumlah
Data berdasarkan jenis trauma

156

100

Jenis Trauma
Kontusi Buli
Ruptur buli
Kontusi ginjal
Laserasi ginjal
Ruptur ginjal
Ruptur pedikel ginjal
Luka tusuk ginjal
Ruptur uretra anterior
Ruptur uretra posterior
Ruptur ureter
Ruptur testis
Trauma genital
V.apertum penis
V.apertum skrotum
V.apertum pinggang
Robekan otot pinggang

N
5
4
58
6
8
1
5
17
22
1
1
21
1
2
3
1

%
3.2
2.6
37.2
3.8
5.1
0.6
3.2
10.9
14.1
0.6
0.6
13.5
0.6
1.2
1.9
0.6

Jumlah

156

100

Dari jenis kelamin maka pria menempati urutan terbanyak yaitu sebanyak 143 penderita
sedangkan wanita hanya 13 penderita.

PENGELOLAAN TRAUMA GINJAL


Secara anatomi ginjal yang terletak di dalam rongga retroperitoneal sebenarnya merupakan
organ yang cukup baik terlindung oleh tulang iga bagian bawah, musculus lumbo dorsalis/m.
otot psoas yang kuat dan kolumna vertebralis.
Macam/mekanisme trauma :
A.

Blunt trauma = trauma tumpul


Misal :
- Kecelakaan lalu lintas
- Terpukul/olahraga
- Terjatuh/kecelakaan kerja

Gambar :

B.

Penetrating trauma
trauma tajam = stab wound
trauma tembak = shotgun wound
Gambar :

Keadaan-keadaan patologis ginjal yang dapat memperberat kerusakan ginjal meskipun


hanya mendapat trauma ringan.
Misal :
Hydronephrosis
Polikistik/multikistik ginjal
Tumor ginjal
dan penyebab tersering dari trauma tumpul ginjal adalah : kecelakaan lalu lintas (7080%).
Trauma yang mengenai ginjal dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung.
Langsung
: ginjal tergencet benda :
- tumpul

- luka tusuk
- luka tembak
Tidak langsung : jatuh dari ketinggian (efek diselerasi dari gaya)
( sehingga menyebabkan terputusnya pedikel ginjal

Figure 18-4. Mechanisms of renalinjury. Left : Direct blow to abdomen. Smaller


drawing shows force of blow radiating from the renal hilum. Right : Falting on buttocks
from a height (contrecoup of kidney) Smaller drawing shows direction of force exerted
upon the kidney from above. Tear of renal pedicle.

KLASIFIKASI
Yaitu derajat kerusakan yang terjadi pada ginjal.
Dibagi 4 macam :
1. Kontusio (85%) : memar atau hematome sub kapsuler dengan kapsul ginjal masih
utuh.
2. Laserasi minor (10%) : kerusakan korteks parenkim ginjal bagian superficial tanpa
disertai kerusakan sistem kaliseal atau medula ginjal.
3. Laserasi mayor (15%) (Ruptur Ginjal) : kerusakan parenkim ginjal yang meluas
mulai dari korteks dan medula ginjal atau ke sistem kaliseal.
4. Trauma vasculer (5%) (Renal Pedicle Injury) : Oklusi atau avulsi/terputusnya vasa
renalis.
Gambar Klasifikasi trauma ginjal
Gambar Perlukan Ginjal Minor :

Figure 1-9. Minor renal injuries

Gambar Perlukaan Ginjal Mayor :

Figure 1-10. Mayor renal injuries

Diagnosa
Anamnesa :
* Riwayat dan mekanisme trauma pada abdomen khusus kwadran atas atau pinggang.
* Adanya mikroskopik hematuri atau gross hematuri.
Pemeriksaan Fisik :
* Tanda vital : tensi, nadi, respirasi, temperatur
* Status umum : kepala sampai dengan kaki
* Jejas di pinggang
* Massa dan nyeri di pinggang
* Paralitic ileus ( bila terjadi kebocoran urine ( masuk rongga intra peritoneal
Pemeriksaan Laboratorium :
* Urine sedimen
* Hemoglobine darah
* Faal ginjal
Pemeriksaan Radiografi :
a. IVP, guna :
*
Mengetahui derajat kerusakan yang terjadi pada ginjal yang terkena trauma
*
Memberi informasi ginjal sisi yang lain
*
Mengetahui ada tidaknya kelainan ginjal sebelumnya
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada IVP :
1.
Bentuk dan batas kontras ginjal
2.
Ekskresi dari kontras
3.
Distribusi dari sistem kalisel
4.
Ekstravasasi dari kontras
b. Arteriografi renal :
Kegunaan :
*
Bila iVP tak dapat menjelaskan kondisi ginjal
Misal : non visual ginjal
*
Trauma pedikel ginjal

*
Terapi embolisasi
Non visualisasi ginjal dapat disebabkan :
1.
Avulsi vasa renalis
2.
Thrombosis a. renalis
3.
Spasme vasculer
Kerugian : - tidak praktis
- invasif
c. Renal scan :
Keuntungan :
*
Sederhana
*
Cukup aman
*
Tidak terpengaruh bayangan usus/faeces
*
Kadang-kadang pada kasus non visual (IVP) cara ini masih terlihat
Kerugian : mahal
d. CT scan :
Keuntungan :
*
Tidak invasif
*
Sensitif dan akurasi cukup tinggi untuk melihat :
- Laserasi parenkim ginjal
- Ekstravasasi urin
- Hematome retroperitoneum
- Deteksi trauma vaskuler
- Kerusakan organ : liver, limpa, pankreas
e. Ultrasonography = USG abdomen
Keuntungan :
Tidak invasif
Radiasi efek (-) :
* Anak
* Ibu hamil
Teknik mudah
Dapat memberikan informasi mengenai kerusakan organ-organ intra
abdominal yang lain.

Pengelolaan
Prinsip pada trauma ginjal adalah untuk :
- Menyelamatkan/mempertahankan fungsi ginjal
- Mengurangi morbiditas ginjal
1. Penetrating Trauma :
Trauma tajam dan luka tembak harus dikerjakan eksplorasi laparotomi irisan
transperitoneal.
2. Trauma tumpul :
Bisa non operatif = konservatif atau operatif
Pada kontusio renis semua semua sependapat bahwa sikap yang diambil adalah konservatif.
Indikasi operatif bila :
* Pendarahan yang sulit diatasi secara konservatif
* Ekstravasasi urine (urinoma)
* Infeksi ( ABSES
Pengelolaan konservatif pada prinsipnya sebagai berikut :

* Tirah baring total, diberikan antibiotik Broadspectrum


* Pemeriksaan berkala secara ketat dari tanda-tanda vital (T,N,R, suhu), status lokalis,
urin sedimen, Hb.
Penderita trauma segera dirujuk bila :
1. Perdarahan yang hebat : diusahakan lebih dulu mengatasi keadaan syok.
2. Ekstravasasi urine (kebocoran) dengan tanda-tanda infeksi
TRAUMA URETER
- Jarang terjadi
- Diagnosa dini kadang-kadang sulit gejala-gejala baru nampak bila sudah terjadi
tanda-tanda infeksi karena adanya urine infiltrat/phegmon/gejala-gejala gagal ginjal atau
anuri/oliguri.
Penyebab :
1. Eksternal trauma :
*
Penetrasi :
- luka tusuk
- luka tembak
*
Operasi darah rongga pelvis :
- terligasi
- terpotong
2. Internal trauma :
*
Ureteral catheterization
*
Intra ureteral manipulation
Endourologi :
*
Retrograde pyelogram
*
Ureteroscopi
*
Stenting ureter
Diagnosa :
1. Intra operativ iv inj. 5cc methylene blue atau indigocarmine ( urine leakage
2. Post operative
IVP
Retrograde pyelografi
Gejala-gejala :
- Nyeri abdominal
- Masa abdomen
- Demam yang tak diketahui sebabnya
- Gejala gagal ginjal dengan segala macam komplikasinya
Managemen :
Tergantung : - lokasi
- kondisi : ureter dan buli-buli
- general kondisi : sepsis, hemorhage, abses
Terapi :
1. Deligasi
2. Stent ureter
3. Reimplantasi ureter
4. Transureteouretroskopi
5. Autotransplantasi

6. Ureterolisis
7. Diversi ureter

TRAUMA BULI-BULI
Macam trauma :
1. Trauma tumpul :
Kontusi buli-buli
Ruptur buli ekstraperitoneal
Ruptur buli intraperitoneal
2. Trauma tajam (penetrating bladder injury)
Luka tembak
Luka tusuk
Iatrogenik / instrumentasi

Figure 1. Penetrating bladder injury. A. Pelvic fracture. B.


Gunshot wound. C. Stab wound.

Diagnosis :
- Riwayat trauma daerah perut bagian bawah
- Hematuri (94%)
- Infiltrat urin prevesikal
- Anuri
- 95% ruptur buli ekstraperitoneal bersamaan dengan fraktur pelvis
- Pada ruptur buli intaperitoneal terjadi akibat trauma tumpul abdomen bagian bawah
pada saat buli-buli penuh sehingga terjadi perobekan buli pada daerah yang lemah
(fundus).

Gambar : Ruptur Buli Intraperitoneal :

Pemeriksaan Fisik :
Didapatkan adanya :
- Nyeri perut bagian bawah
- Peritoneal iritasi ; terutama pada ruptur buli intraperitoneal
Radiologis :
1. Plain foto abdomen : terdapat adanya fraktur pelvis, benda asing, peluru
2. Sistografi : dengan 300 cc kontras dilakukan foto secara A.P (antero-posterior)
Gambar : Sistografi

Tes Buli-buli :
Buli diisi cairan PZ steril 300-400 cc kemudian cairan dikeluarkan lagi dan dinilai :
* Berapa cc yang tertampung keluar
* Bila jumlah tetap : tidak ada kebocoran
* Bila jumlah menurun : terdapat kebocoran
Terapi :
Prinsip :

*
*
*
*

Diversi urin harus adekuat


Drainase urin dari perivesikal area
Jahit ruptur buli-buli
Pada Ruptur Intraperitoneal :
Eksplorasi laparotomi
Bladder repair
Pasang drain cavum retzii
Pada Ruptur Ekstraperitoneal :
Konservatif : pasang DK 7 hari
Infiltrat urin bertambah besar : harus dilakukan eksplorasi dan pasang drain
pada cavum retzii

TRAUMA URETRA
Macam Trauma :
1. Trauma uretra posterior
2. Trauma uretra anterior
Berdasarkan penyebab bisa :
* Trauma tumpul
* Trauma tajam
* Akibat instrumentasi uretra
1. Trauma Uretra Posterior
Kecelakaan lalu lintas : 90% oleh karena fraktur pelvis
Manipulasi kateter
Manipulasi endoskopi

Gambar trauma uretra posterior :

Figure 1. Mechanism of posterior uretrhal disruption, a classic Illustration


Figure 2. Most frequent appearance of posterior ure-thral disruption. Disruption is in the distal
membranous urethra or deep bulb.

2. Trauma Uretra Anterior


*
Manipulasi kateter atau endoskopi
*
Straddle Injury; yaitu suatu bentuk trauma dimana penderita jatuh
mengangkang mengenai daerah perineum pada suatu benda keras
*
Kecelakaan lalu lintas
*
Intercourse
*
Self manipulasi : erotic manipulation
*
Bite / human
Gambar straddle injury dari uretra

Figure 1. Straddle injury to the urethra

Ruptur uretra posterior dapat komplit atau inkomplit.


Ruptur uretra posterior komplit buli dan prostat akan terangkat ke atas/displacement, dan
rongga retzii terisi darah/urin.

Gambar jenis ruptura uretra posterior

Diagnosis :
Anamnesa :
* Riwayat trauma
* Mekanisme trauma hematome
Pemeriksaan fisik :
* Infiltrat urin/hematome di daerah skrotal atau perineum dan batang penis
* Retensi urin
* Bloody discharge : perdarahan per uretra
* RT : prostat melayang/displacement
Urine Sedimen : eritrosit urin (+) ( bila dapat kencing
Radiologis :
* Retograde uretrografi
* AP pelvic foto
Terapi :

1. Initial : segera sistostomi transpubik baik trokar ataupun terbuka


2. Rekonstruksi :
*
Uretrotomia interna = sachse
*
Anastomose uretra
*
Primary Endoscopic Realignment (PER)
TRAUMA GENITALIA EKSTERNA
1. Trauma Penis :
Trauma tumpul : saat sanggama (corporal ruptur)
Trauma tajam : dipotong/amputasi penis
Kecelakaan kerja : celana tersangkut mesin (avulsi)
Terapi : tergantung kerusakan yang terjadi
2. Trauma Skrotum dan Testis :
Tembakan
Tumpul
Kecelakaan lalu lintas
Bila terjadi laserasi kulit : dilakukan debridement dan penjahitan
Bila testis intak : tanam subcutaneous di kulit paha atas
Bila testis hancur : orkhidektomi
KEPUSTAKAAN
1. Aninch J.W : Injuries to the genitourinary tract. Smith General Urology 13th ed, 308326, 1992.
2. Cain HD : genitourinary tract emergencies traumatic condition. Emergency treatment
and management, 318-322, 1985.
3. Carlton GE, Bright TC : Injury to the genitourinary system. Campbell's Urology 4th
ed, 881-943, 1978.
4. Devine JC, Guirreiro WG : Initial evaluation of urologic injury, 1-8, 1984.
5. Guerriero WC : Assesment and diagnosis of urinary and genital injuries, Urogenital
trauma Vol. 2, 1-25, 1985.
6. Hardjowijoto S : Pengelolaan trauma ginjal. Warta IKABI 2:171-180, 1989.
7. Mitchell JP : Iatrogenic injuries of the ureter. Urinary trant trauma, 67-78, 1984.
8. Selvaggi P, Cormiol : Bladder Z plasty for the repair of the ureteric injuries.
Experimental study in sheep. British journal of urology, vol. 71 No. 6;667-671, June
1993.
9. Sokeland J : Injuries to the urinary tract. A pocket reference. Urology 2nd ed, 326332, 1989.

UROPATI OBSTRUKTIF
Pedoman Penatalaksanaan
Doddy M. Soebadi
Seksi Urologi Lab/UPF Ilmu Bedah
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

ABSTRAK. Uropati obstruktif sering dijumpai atau terlewatkan dalam praktek sehari-hari. Tingginya
angka kejadian penyakit batu saluran kemih menyebabkan kita harus selalu waspada akan
kemungkinan terjadinya hal ini. Uropati obstruktif yang dibahas adalah anuria obstruktif dan
obstruksi yang menyebabkan stasis urin disertai bakteriemia atau urosepsis. Kewaspadaan harus
disertai dengan pengetahuan yang memadai mengenai patofisiologi serta penanganan praktis yang
dapat dilakukan oleh dokter umum maupun spesialis yang jauh dari pusat yang lengkap fasilitasnya.

Indikasi pemakaian antibiotika, pentingnya tindakan nefrostomi, harus sepenuhnya dipahami,


sehingga pasien mendapatkan penanganan yang seoptimal mungkin. Tindakan nefrostomi terbukti
menolong kesembuhan pasien lebih cepat, sehingga menyelamatkan ginjal dari kerusakan yang lebih
parah.

Keadaan gawat darurat urologi yang sering menyebabkan penderita mencari pertolongan
dokter adalah kolik dan retensi urin akuta. Kedua keadaan tersebut sering menimbulkan nyeri
hebat yang tak tertahankan. Retensi urin juga merupakan uropati obstruktif saluran kemih
bagian bawah. Sedangkan uropati obstruktif saluran kemih bagian atas (ureter ke atas),
seringkali tidak disadari oleh penderita maupun dokter yang memeriksa. Seringkali penderita
datang ke dokter, atau dirujuk oleh sejawat dokter umum dalam keadaan obstruksi yang
lanjut. Tulisan ini dimaksudkan untuk membantu para sejawat di garis depan untuk
mendeteksi dan memberikan pengobatan yang lebih baik pada keadaan uropati obstruktif.
Uropati obstruktif yang akan dibahas dalam makalah ini adalah anuria obstruktif dan
hidronefrosis atau pionefrosis yang disertai dengan bakteriemia dan urosepsis, sehingga
membutuhkan tindakan darurat. Anuria adalah keadaan dimana produksi urin kurang dari 200
ml dalam 24 jam. Sedangkan anuria obstruktif adalah anuria yang disebabkan oleh obstruksi
pasca renal, baik bilateral maupun unilateral pada keadaan ginjal tunggal atau ginjal
kontralateral tak berfungsi. Bakteriemia adalah masuknya kuman ke dalam darah, klinis
menyebabkan febris dan dapat disertai menggigil. Sedangkan gejala dini dari urosepsis adalah
gejala bakteriemia disertai dengan takikardia, takipneu, hipotensi dan oliguria ; dapat disertai
perubahan mental : bingung dan gelisah, dan pada kasus-kasus lanjut menjadi letargi, stupor
dan kulit dingin serta basah.
Bakteriemia negatif-gram mempunyai angka mortalitas 15% sedangkan syok septik sebesar
50%.
Dari catatan medik Seksi Urologi RSUD Dr. Soetomo/FK Unair, selama tahun 1993 tercatat
48 kasus anuria, dimana 34 kasus adalah uropati obstruktif.
Penyebab terbanyak adalah batu ginjal atau ureter (lihat Tabel 1).
Tabel 1
Penyebab anuria obstruktif di Seksi Urologi tahun 1993
Batu ginjal bilateral
Batu ginjal dan ureter bilateral
Batu ureter bilateral
Batu ginjal 1 sisi & ureter sisi lain
Batu ginjal 1 sisi
Batu ureter 1 sisi
Karsinoma ovarium
Karsunoma serviks
Karsinoma buli-buli

12
5
5
2
3
1
1
4
1

PATOFISIOLOGI
Uropati obstruktif dengan akibat hidronefrosis adalah keadaan yang sering terjadi pada
penyakit-penyakit urologi. Obstruksi dari yang ringan sampai yang berat, mempengaruhi faal
dan bahkan dapat merusak ginjal. Mekanisme yang diajukan adalah bahwa kenaikan tekanan
pada sistem kolekting dan berkurangnya aliran darah ke ginjal menyebabkan atrofi dan
nekrosis. Semua fungsi ginjal terganggu, dan makin berat obstruksi, makin berat kerusakan
yang terjadi.
Pemulihan kembali setelah uropati obstruktif diteliti oleh Hinman (1926, 1934). Penelitian
pada anjing tersebut menunjukkan bahwa pembebasan setelah obstruksi komplit selama 2
minggu dan nefrektomi dari ginjal kontralateral, fungsi ginjal pulih sekitar 50%. Anjing tidak

dapat hidup bila obstruksi komplit terjadi selama 4 minggu dan dilakukan nefrektomi dari
ginjal kontralateral. Penelitian ini menunjukkan betapa besarnya akibat obstruksi terhadap
faal ginjal.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kemampuan pemulihan kembali faal ginjal adalah ada
tidaknya infeksi.

KLINIS
Semua penderita dengan riwayat atau episode batu saluran kemih memerlukan evaluasi yang
sangat individual. Setiap penderita mempunyai riwayat dan sifat tersendiri, sehingga tidak
dapat digeneralisasikan. Akan tetapi, secara garis besar, dapat dibuat suatu pegangan untuk
pengelolaan uropati obstruktif. Anamnesa mengenai penyakit lalu atau penyakit lain
(pembedahan, keganasan dan lain sebagainya) menjadi sangat penting untuk mengarahkan
diagnosis penyebab.
Evaluasi keadaan umum
Amat penting mengetahui riwayat kesehatan penderita sebelumnya. Anamnesa pernah kolik,
disuria, keluar batu, atau operasi saluran kemih sebelumnya; dan ditunjang dengan data
obyektif berupa hasil pemeriksaan urin, darah, foto dan sebagainya, sangat membantu
menentukan diagnosis dan terapi yang tepat.
Apapun penyebabnya, gejala klinis dari uropati obstruktif pada umumnya hampir sama.
Gejala dapat sangat tersamar atau tak ada keluhan sama sekali, dapat pula sangat hebat.
*
Nyeri tumpul pinggang belakang. Rasa nyeri ini biasanya menetap, tidak
menjalar, tetapi dapat pula disertai dengan episode kolik. Pada obstruksi karena
stenosis subpelvis, karena merupakan kelainan bawaan, biasanya gejala sangat
tersamar.
*
Demam atau menggigil. Bila sudah terjadi hidronefrosis yang terineksi atau
lebih lanjut lagi pionefrosis, penderita merasa demam dan atau menggigil.
*
Anuria. Anuria dapat terjadi bila obstruksi komplit terjadi mendadak pada
penderita dengan ginjal tunggal (pasca nefrektomi atua agenesis kontralateral), atau
pada obstruksi bilateral.
*
Massa pada pinggang. Pada pemeriksaan fisik dapat teraba massa yang kistik
pada pinggang dengan nyeri ketok yang positif. Pada pemeriksaan ketok pinggang,
penderita merasakan adanya nyeri atau sesuatu di dalamnya (berbeda dengan sisi
yang sehat).
Pemeriksaan klinik sangat penting dalam menegakkan diagnosis, karena itu harus dilakukan
seteliti mungkin.
LABORATORIK

Urin
Pemeriksaan urin dapat menunjukkan lekosituria, hematuria atau normal bila obstruksi
komplit. Biakan urin dapat positif atau negatif.
Penting mengetahui apakah ada infeksi saluran kemih atau tidak sebelum melakukan terapi.
Biakan dan tes kepekaan antibiotika merupakan pegangan sebagai profilaksis dan terapi.
Prinsip pemberian antibiotika : hanya diberikan sebagai profilaksis bila akan dilakukan
tindakan, dan diberikan sebagai terapi bila batu sudah tidak ada atau pada keadaan
bakteriemia dan urosepsis.

Darah
Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan laju endap darah yang tinggi, dan pada infeksi
yang akut terdapat lekositosis dan gambaran hitung jenis yang menggeser ke kiri.
Faal ginjal dapat normal atau abnormal. Pada keadaan abnormal, jangan lupa keadaan ginjal
yang kontralateral (yang tidak ada batu atau yang tidak ada keluhan). Mungkin salah satu

ginjal sudah kurang/tidak berfungsi, atau malahan agenesis atau sudah dinefrektomi
sebelumnya. Kemungkinan obstruksi bilateral juga harus dipikirkan.
RADIOLOGIK
Ultrasonografi
Ultrasonografi menunjukkan adanya pelebaran sistem kolekting, pada kasus-kasus batu ureter
proksimal kadang-kadang dapat dilihat ureter yang melebar.
Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya batu yang radio-opak, disertai adanya
gambaran perselubungan yang memutih pada daerah ginjal. Pada kasus-kasus batu non-opak
atau kasus bukan batu (stenosis subpelvis, trauma ureter iatrogenik, atau keganasan pelvis)
hanya tampak perselubungan daerah ginjal.
Pielografi intravena
Pielografi intravena (PIV) juga menunjukkan pelebaran kolekting sistem sampai pada tempat
obstruksi. Kadang-kadang fungsi ginjal yang obstruktif amat jelek, sehingga hanya tampak
gambaran nefrogram yang samar-samar membesar.
Pemeriksaan ini sangat membantu pemilihan tindakan.
TERAPI
Untuk memilih dan menentukan terapi, perlu dievaluasi terlebih dahulu, apakah perlu ditindak
akut atau elektif. Pada anuria obstruktif, harus segera dilakukan nefrostomi. Pada obstruksi
bilateral dipilih sisi yang nyeri, bila nyeri kedua sisi paling sedikit nerostomi satu sisi. Hal-hal
lain yang perlu dipertimbangkan adalah : adanya bakteriemia (mulai subfebris atau febris),
atau sudah sampai pada urosepsis (demam tinggi, menggigil, keadaan umum yang toksik,
nadi cepat dan shock).
Setelah diagnosis uropati obstruktif dan urosepsis, rencanakan tindakan yang akan dilakukan.
Pemberian antibiotika yang sesuai (sesuai dengan hasil kultur urin, bila ada : atau dengan
kombinasi ampisilin-aminoglikosida, atau sefalosporin generasi ketiga) segera diberikan
dengan mengingat faal ginjal.
Dianjurkan memberikan 1 gram ampisilin kombinasi dengan gentamisin 80 mg, atau 1 gram
sefalosporin generasi ketiga, intravena.
Pedoman kapan harus dilakukan terapi darurat atau segera adalah adanya urosepsis. Setelah
diagnosis komplikasi urosepsis ditegakkan (berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan di atas),
maka segera dilakukan persiapan. Pertama-tama pertimbangkan anestesi : umum atau lokal.
Untuk hidro atau pio-nefrosis yang teraba dari luar dan terlihat pada USG atau foto polos
abdomen atau PIV parenkin sudah sangat tipis, dapat dilakukan anestesi lokal. Pertimbangan
lain untuk anestesi lokal adalah keadaan umum penderita yang sangat jelek, sehingga anestesi
umum tak mungkin dilakukan.
Sebelum tindakan bedah dilakukan, perlu diingat pemberian informasi kepada penderita dan
keluarga mengenai keadaan sakitnya, perlunya tindakan darurat, serta resiko-resiko yang
dapat timbul bila tidak dilakukan dan bila dilakukan tindakan bedah. Penderita dan keluarga
harus menandatangani persetujuan tindakan medis (informed consent) yang tertulis.
TEKNIK OPERASI
NEFROSTOMI

Nefrostomi untuk uropati obstruktif dapat dilakukan dengan 2 cara :


1.
2.

Terbuka
Perkuatan

1. Nefrostomi Terbuka
Cara ini merupakan cara yang klasik, dikerjakan sejak lama, tetapi sampai sekarang masih
tetap dikerjakan, terutama di tempat-tempat dengan fasilitas terbatas. tetapi meskipun
demikian, cara ini tetap efektif dalam mengatasi uropati obstruktif.
Setiap ahli bedah, bahkan dokter umum di tempat terpencil yang sudah biasa melakukan
prosedur bedah ginjal, dapat melakukannya.

Perlu ditekankan, bahwa prosedur nefrostomi dalam hal uropati obstruktif


merupakan tindakan darurat dan sementara, dimana selalu dipikirkan tindakan
definitif selanjutnya.

Anestesi
Untuk prosedur ini diperlukan anestesi umum, regional atau lokal. Bila keadaan umum
penderita sangat jelek (septik, asidosis, anuria, dsb.) maka terpaksa dilakukan dengan anestesi
lokal, dengan syarat hidronefrosis amat besar, teraba dari luar, bila ada pemeriksaanpemeriksaan USG/foto polos abdomen/PIV menunjukkan parenkim yang tipis, dan penderita
tidak terlalu gemuk.
Sekali lagi perlu ditekankan, apabila indikasi sangat kuat, sedangkan anestesi umum tidak
dapat atau tidak mungkin dilakukan, jangan segan-segan melakukannya dengan anestesi
lokal.

Teknik operasi
Karena tujuan nefrostomi adalah mengeluarkan urin yang tersumbat, maka perlu ditekankan
bahwa prosedur ini dilakukan dengan baik, sehingga dapat mengalirkan urin dengan baik
pula.
Sayatan kulit seperti pada lumbotomi (ics XI-XII) akan tetapi lebih pendek, kurang lebih 1015 cm. Diperdalam sampai subkutan, lemak perirenal, kapsula Gerota, sampai pada ginjal.
Ada 2 macam teknik operasi nefrostomi terbuka :
Teknik pertama, bila korteks masih tebal. Dalam hal ini ginjal harus dibebaskan sampai
terlihat pelvis renalis. Pelvis dibuka dengan sayatan kecil : 1-1,5 cm. Klem bengkok
dimasukkan melalui sayatan pada pelvis tersebut ke arah kaliks inferior atau medius
menembus korteks sampai keluar ginjal, kemudian kateter Foley Ch 20 dimasukkan ke dalam
pelvis dengan cara dijepitkan pada klem (lihat gambar 1).

Gambar 1 :
Teknik nefrostomi terbuka dengan
cara membuka pielum.

Gambar 2 :
Teknik nefrostomi terbuka dengan
menembus langsung korteks yang
tipis

Isi balon dengan akuades atau PZ steril sampai 3 sampai 5 cc saja. Tutup pelvis renalis
dengan jahitan satu-satu dengan benang yang dapat diserap. Dengan cara ini dijamin bahwa
ujung kateter berada di dalam pielum, sehingga pekerjaan kita untuk membuat drainase tidak
sia-sia.
Teknik kedua, bila korteks sudah sangat tipis, dengan sayatan 1-1,5 cm pada korteks
langsung dimasukkan kateter Foley Ch 20 atau 22, sedapat mungkin ujung kateter berada di
dalam pielum. Isi balon dengan akuades atau PZ sterilk 3 sampai 5 cc saja (lihat gambar 2).
Pada tempat keluar kateter (pada dinding ginjal) dibuat jahitan fiksasi dengan benang yang
dapat diserap (cat-gut, chromic atau polyglycolic-acid). Jahitan dapat berupa jahitan kantung
tembakau atau matras.
Setelah fiksasi, yakinkan sekali lagi bahwa ujung kateter berada dalam pielum atau setidaknya
di dalam kaliks yang dapat menjadi drainase yang baik dan adekuat. Bila ternyata drainase
kurang baik, jangan segan-segan melakukan perbaikan.
Catat dengan baik cairan yang keluar : urin jernih atau keruh, pus purulen atau serus,
bercampur darah ; dan berapa cc yang keluar.
Luka operasi ditutup lapis demi lapis dengan jahitan situasi, dengan meninggalkan drain
vakum sekitar ginjal. Bila mungkin, keluarkan kateter melalui lubang yang terpisah dengan
luka operasi. Jangan lupa membuat fiksasi yang kokoh dengan benang sutera ukuran agak
besar (nomor 1 atau 1-0). Fiksasi ini sangat penting, karena fungsi ginjal penderita amat
tergantung pada drainase melalui kateter ini. Hubungkan ujung kateter dengan ujung kantong
urin.

Batu dalam kaliks dan pielum

Pada waktu melakukan nefrostomi, maka operator selalu tergoda untuk sekaligus mengambil
batu di dalam kaliks atau pielum. Untuk mempertimbangkan hal ini, perlu diingat tujuan dari
tindakan ini. Tindakan ini adalah tindakan darurat, yang mempunyai semboyan : cepat masuk,
cepat keluar. Jadi sebaiknya hanya batu/batu-batu yang dapat dengan mudah diambil melalui
sayatan pada korteks/pielum saja yang diambil. Batu yang tidak terambil, dapat diambil
dengan pembedahan elektif setelah masa kritis terlampaui.
2. Nefrostomi Perkutan
Cara ini dapat dilakukan dengan fasilitas alat fluoroskopi (image intensifier atau c-arm
fluoroscopy) di dalam kamar bedah; dan oleh ahli bedah yang mempunyai pengalaman yang
cukup.
Cara ini dapat dilakukan pada ginjal yang teraba dari luar, korteks tipis, dan penderita tidak
terlalu gemuk.

Anestesi
Dapat dengan anestesi umum, regional/spinal atau lokal.

Gambar 3 : Tehnik nefrostomi perkutan

Teknik operasi
Penderita dengan posisi tengkurap, perut sisi yang sakit diganjal bantal tipis. Dilakukan
punksi ke arah ginjal (lihat gambar 3), bila yang keluar urin, masukkan kontras secukupnya,
sehingga tampak gambaran sistem kolekting di monitor, bila perlu lakukan punksi kedua ke
arah yang lebih tepat (biasanya kaliks inferior atau medius).
Mandrin atau isi jarum punksi bagian dalam dikeluarkan, masukkan kawat penuntun (guide
wire) ke dalam bungkus (sheats) jarum punksi. Lakukan dilatasi dengan dilatator khusus,
masukkan kateter Foley Ch 20 dengan tuntutan kanula khusus (lihat gambar).
Kembangkan balon 5-100 cc dengan akuades atau larutan garam fisiologis, fiksasi kateter
dengan kulit, sambung ujung kateter dengan ujung kantong urin.
PERAWATAN PASCA BEDAH
Pembebasan obstruksi berakibat hilangnya cairan dan elektrolit dalam jumlah besar. Jadi
sangat penting mengukur jumlah urin/cairan yang keluar melalui nefrostomi dan drain sebagai
pedoman terapi cairan dan elektrolit.
Antibiotika dilanjutkan dengan memperhitungkan faal ginjal sampai dengan 3 hari bebas
panas.

Perawatan kateter nefrostomi harus dilakukan oleh paramedis dan dokter yang merawat.
Jangan sampai kateter tertekuk, terjepit atau tertarik, sehingga mengganggu kelancaran aliran.
Segera setelah keadaan penderita stabil : tensi dan nadi baik, tidak ada febris, buat foto
pielografi antegrad. Kontras dimasukkan ke dalam ginjal melalui ujung kateter Foley. Foto ini
berguna untuk mendapatkan data mengenai letak obstruksi dan menentukan tindakan
selanjutnya.
Nefrostomi pada uropati obstruktif bersifat sementara. Segera setelah keadaan umum
mengijinkan (sepsis mereda, fungsi ginjal optimal), lakukan tindakan definitif untuk
mengatasi penyebab uropati obstruktif.
Bila penyebabnya batu, pertimbangkan pengambilan batu atau nefrektomi. Nerostomi yang
mengeluarkan pus terus menerus, harus dilakukan nefrektomi. Bila setelah beberapa hari pus
mereda, diganti urin jernih, dan fungsi ginjal masih cukup baik (dengan melihat klirens
kreatinin, studi isotop/renogram, radiologik parenkim ginjal masih tebal), lakukan
pengambilan batu atau pembedahan untuk mengatasi penyebab uropati obstruktif
(pengambilan batu, pieloplasti, ureterolisis, rekonstruksi ureter dan lain-lain).
Pada kasus-kasus keganasan, prognosis penyakit primer dan kualitas hidup penderita menjadi
pertimbangan tindakan selanjutnya. Pada karsinoma serviks uteri misalnya, obstruksi dapat
disebabkan oleh invasi karsinoma, tetapi dapat pula sebagai akibat radiasi beberapa waktu
yang lalu, sedangkan karsinomanya sendiri sudah tenang.
PROGNOSIS
Pada kasus-kasus yang ditangani dengan baik, uropati obstruktif dapat diatasi dan
memberikan prognosis yang baik.
KESIMPULAN
Uropati obstruktif dengan disertai bakteriemia dan urosepsis dapat berakibat fatal bila tidak
segera dilakukan drainase. Begitu pula anuria obstruktif harus segera dilakukan nefrostomi.
Tindakan nefrostomi dapat segera menolong penderita dari keadaan gawat darurat.
Nefrostomi harus dijamin memberikan drainase yang baik dan adekuat. Prognosis baik bila
urosepsis dapat diatasi.
Bacaan yang dianjurkan
Blandy J. 1978. Operative Urology. Blackwell Scientific Publications, Oxford.
Mayor G, Zingg EJ. 1976. Urologic Surgery : Diagnosis, Techniques and Postoperative
Treatment. Georg Thieme Publ., Stuttgart.
Siroky MB, Krane RJ. 1990. Manual of Urology : Diagnosis and Therapy. Little, Brown
& Co., Boston.
Wolfsthal SD. 1989. Medical Perioperative Management. Prentice-Hall International Inc.

KEDARURATAN PENIS

Basuki B Purnomo, Tarmono, Sunaryo Hardijowijoto


Seksi Urologi Lab. / UPF Ilmu Bedah
FK Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Awal tahun ini perhatian masyarakat dunia semapt tertuju pada kasus Lorena Bobbitt yang
kontroversial, karena dibebaskannya dia dari segala tuntutan hukum setelah beberapa bulan
sebelumnya memotong penis suaminya. Dalam segi medis, terpotongnya penis merupakan
salah satu kedaruratan penis yang bila tidak segera ditangani akan menimbulkan persoalan
yang serius akibat cacat fisik dan psikis yang ditimbulkannya.contoh kedaruratan penis
lainnya adalah : Priapismus, Ruptur atau fraktur penis dan Strangulasi penis. Meskipunn
insiden kasus-kasus kedaruratan penis masih jarang dijumpai, tetapi ramalan akan terjadinya
peningkatan kasusu ini kemungkinan akan terjadi karena makin meluasnya penggunaan
injeksi intrakavernosa untuk diagnosis dan terapi impotensia yang diketahui dapat
menginduksi timbulnya priapismus, makin beragam gaya, perilaku dan kecemburuan seksual
yang dapat meningkatkan kejadian trauma amputasi penis, ruptura penis ataupun strangulasi
penis.
Berikut akan dibahas berbagai kedarurtan penis yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, dengan harapan dapat berguan sebagai acuan para praktisi didaerah dalam
menangani atau merujuk kasus-kasus tersebut.
ANATOMI DAN FISIOLOGI PENIS
Penis terdiri dari 3 jaringan erektil yaitu 2 buah korpora kavernosa dan 1 korpus spongiosum
yang membungkus urertra anterior dan berakhir disebelah distal sebagai glans penis.korpora
kavernosa dibungkus oleh tunika albugenia yang merupakan jaringan elastis dan kolagen
yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri pada saat ereksi atau flaksid. Ketidga korpora
ini secara bersama-sama dibungkus oleh fasia dari colles. Tiap-tiap korpus terdiri dari
jaringan berongga (spongy) yang berupa lakunae atau trabekkel dan terdiri atas entodel dan
lapisssan otot polos. Korpora akan menjadi tegang dan mengeras bilalakuna-lakuna tersebut
penuh berisi darah (saat Ereksi) dan jika darah sudah dipompa keluar makapenis akan
melemah (Flaksid)15
Vaskularisasi 11,15,26
Penis mendapat nutrisi dari a. pudenda interna yaitu cabang a hipogastrika yang menuju
ke perineum melalui kanaldari Alkock.Di perineum a pudenda interna bercabang
menjadi a. kavernosa (a,sentralis), a.dorsalis penis yang memberialiran darah untuk glans
penis dan preputium dan a. bulbouretralisyang memberi darah untuk kelenjar
cowperdan uretra.
Sistem Vena terdiri dari :
1. V. dorsalis superfisialis, yang menerima drainase dari kulit dan preputium, kemudian
bermuara pada V. safena.
2. V. dorsalis profunda yang menerima drainase dari glans penis (pleksus venosus
retrokoronal), vv emisaria (korpus bagian distal dan tengah), dan vv sirkumfleksa,
kemudian bermuara pada pleksus periprostatikus Santorini.
3. V.kavernosa yang menerima drainase dari v. emisaria (penis bagiann basis dan hilus)
dan bermuara pada v. pudenda interna.
4. V. Bulbour etralis yang berhubungan dengan v. dorsalis profunda dan v pudenda
interna.
Inervasi15,26

Penis mendapatkan inervasi otonomik (simpatik dan parasimpatik ) serta


somatik(sensorik dan motorik). Sepasang n. kaversus yang bersifat otonomik berasal dari
pleksus pelvikus memberikan inervasi pada a.helesin (a.kavernosa terminale) dan otot
polos kavernosa (jaringan erektil). Sepasang a. dorsalis penis bersifat somatosensorik
menerima implus afferen dari reseptor dikulit, glans, uretra dan korpus kavernosa
kemudian bersatu menjadi n. pudensus. Serabut somatosensorik juga berada pada
n.pudensus yang memberi inervasi pada otot ischiokavernosus dan bulbokavernosus.
Ereksi15
Yang memegang peranan penting pada proses ereksi adalah jaringanerektil penis yaitu : otototot polos kavernosus, arterioral11. pada keadaan flaksid (rangsangan simpatik) terjadi
peningkatan tonus dari otot-otot polos tersebut sehingga darah tidak dapat mengisi ronggarongga sinusoid.dilatasi arterial dan kompresi vena sehingga rongga sinusoid akan terisi darah
dan korpora menjadi tegang /keras.

Amputasi Penis
Biasanya terjadi pada penderita dengan gangguan jiwa yang mencoba memotong penisnya
sendiri, isteri atau kaum homoseksual yang memotong penis pasangannya karena cemnburu
atau jengkel,atau pada tindakan sirkumsisi yang dilakukan oleh seorang yang
belumberpengalaman9,11,16,22
Di RSUD Dr.Soetomo selama tahun 1988-1993 hanya terdapaty 3 kasus amputasi penis yang
datang ke UGD, 2 diantaranya dengan amputasi total dan amputatnya tidak dibawa, serta 1
kasus lainnya amputasi parsialyang berhasil dilakukan penyambungan kembali. 1 kasus
aamputasi totaldilakukan oleh ibu penderita yang mendereita ganguan jiwa, 2 kasusu lainnya
dilakukan oleh penderita sendiri yang juga dengan ganguan jiwa.
Contoh kasus :
S, 23 tahun (penderita Schizophrenia Hebefrenik) dibawa ke UGD karena batang
kemaluannya dipotong sendiri dengan pisau dapur 3 jam sebelumnya. Pada penis 1/3
proksimal didapatkan korpus kavernosa kiri,v. dorsalis supersifialis, a. dorsalis kiri terpotong,
demikian juga uretra dan korpus spongosium terpotong setengah lingkaran pada bagian kiri.
Struktur sebelah kanan semuanya utuh. Setelah dilakukan debredeman dipasang kateter uretra
sebagai spint kemudian dikerjakan anastomose uretra, korpus kavernosum dan kulit tanpa
menjahit neurovaskuler secara mikrokopik.dipasang sisitosomi. Dan penderita dipulangkan
pada hari ke 17 dengan luka baik dan telah mendapatkan pengobatan dibagian Psikiatri.
Setelah amputasi bagian distal penis akan mengalami iskemia dan akhirnya menjadi nekrose.
Hipotermia akan mengurangi metabolisme jaringan sehingga akan memperlamaischemic
survival time. Pada penis cold ischemic survival time cukuplama yaitu sekitar 24 jam yaitu
sekitar 24 jam (11). Seorang ahli bedah perlu memahami masa iskemia organ sebelum
melakukan penyambungan kembali.
Replantasi Penis :
Sebelum era bedah mikroskopik penyambungan kemabli dilakukan dengan anastomose
sederhana dari uretra, korpora (fasia Buck) dan kulit penis tanpa melakukan anastomose
vaskuler dan saraf. Pasca bedah tidak jarang penderita kehilangan kulit penis atau bahkan
glans akibat maserasi sehingga harus menjalani dedrideman dan tandur kulit yang akan
memperlama rawat tinggal. Sebagian besar dapat kembali ereksi, intromisi, dan ejakulasi,
meskipun mereka kehilangan sensasi daerah glans11,16,22
Mikroreplantasi akan mengembalikan penis secara kosmetik ( anatomik) dan
fungsionalmendekati normal serta memperkecil terjadinya penyulit yang terjadi pada
replantasi sederhana9,11. tahapan mikroreplantasi adalah : 1) amputat dimasukkan dalam es
yang terbuat dari larutan Ringer Laktata sampai dapat dialkukan anastomose, 2)
eksplorasikedua ujungb distal dan proksimal dengan memperhatikan struktur-struktur ayngb
akan disambung ( kalau perlu dilakukan debridemandengan hati-hati), 3) stabilasi mekanik

dengan memasang kateter uretra sebagai spilnt, kemudian ueretra disambung 2 lapis dengan
spatulasi (mukosa dijahit kromik 6-0, adventetia dan jaringan erektil dengan PDS 4-0 atau 50, arteri disambung dengan benang nyilon 11-0, vena dan nervus dengan nylon 9-0 atau 10-0.
fasia dartos dijahit dengan PGA 5-0 atau 6-0, sedangkan kulit dengan kromik 4-0 atau 5-0. 4)
dilakukan diversi suprapublik samapi 2-3 minggu. Hidrasi dijaga dengan baik, suhu tubuh
dipertahankan normal, jika perlu dilakukan pemanasan lokal untuk menjamin dilatasi perifer.
Dianjurkan untuk monitoring dengan Doppler Sonografi.

Priapismus
Adalah ereksi berkepanjangan tanpa disertai hasrat seksual dan sering disertai rasa nyeri.
Istilah Pripismus berasal dari kata Yunani Priapus yaitu nama dewa kejantanan14,15,27,30
Menurut etiologinya priapismus dibedakan menjadi primer (idiofatik) dan sekunder15
Pripismus sekunder dapat disebabkan oleh : kelainan pembekuan darah (anemia bulan sabit,
lekemi dan emboli lemak), trauma perineum/geniltalia, nerogen (anestesi regional),
keganasan, obat-obatan (alkohol, psikotropik, antihipertensi) dan injeksi intrakavernosa
dengan zat vasoaktif yang saat ini mulai banyak dilakukan oleh para dokter sebagai salah satu
cara diagnosis dan terapi impotensia. Di RSUD DR. Soetomosejak 1989-1993 telah dirawat 6
penderita priapismus dengan dugaan penyebab : 1. priapismus primer, 2. penderita dikirim
keahli penyakit dalam dengan lekemi ( CML dan sindroma Mieloproliferatif dengan
trombositosis), 1 penderita hipertensi yang menggunakan antihipertensi, dan 2 penderita
akibat injeksi intrakavernosa sebelumnya (tabel 1)
Kegagalan penis untuk melemas kembali ini dapat terjadi karena : ganguan mekanisme venooklusi (outflow) sehingga darah tak dapat keluar dari jaringan erektil, atau akibat
peningkatan aliran darah ke jaringan erektil (inflow) 14,15,21,25 sehingga dibedakan 2
jenis priapismus yaitu :
1. Low-Flow Pripismus ( Statis = Ischemic) yaitu berupa ereksi berkepanjangan dan
diikuti rasa nyeri.
2. High-Flow Pripismus ( non-Ischemic) yang sering tanpa nyeri dan prognosanya
lebih baik.

LUE dkk (1986) membedakan keduanya dengan mengukur tekanan dan


memmeriksa analisa gas darah intrakavernosa.
Patologi Jaringan Penis pada Priapismus
Ereksi berkepanjangan 4-6 jam harus dicurigai Priapismus. Nyeri biasanya terjadi 6-8 jam.
SPYCHER dan HAURI (1986) menyatakan : akibat kegagalan hemodinamik pada korpora
kavernosa pertama-tama akan terjadi edem jaringan pada interstitiel trabekula, yang kemudian
setelah 24 jam terjadi kerusakan dan nekrose sel-sel yang luas. ( 48 jam terjadi pembekuan
darah dalam kaverne dan destruksi endetel sehingga jaringan-jaringan trabekel kehilangan
daya elastisitasnya.25.
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya14,15,30. dari anamnesa dan pemeriksaan fisik yang diteliti diharapkan
dapat mengetahui penyebab priapismus. Pemeriksaan lokal akan dijumpai batang penis yang
tegang tanpa disertai ketegangan pada glans penis. Adanya pulsasi a.kavernosa dengan
bantuan Doppler Sonografi dan analisa gas darah yang diambil intrakavernosa dapat
membedakan jenis ichemic aatu non ischemic14
Terapi
Prinsipnya adalah sesegera mungkin mengeluarkan darah yang ada di korporakavernosa
karena akan memperberat kerusakan jaringan erektilyang amat menentukan reversibilitas
potensi seksual penderita. Terapi Pripismus tidak spesifik yaitu 2,5,8,14,21,27,28,29,30
1) Konservative, 2) Aspirasi dan irigasi intrakavernosa (shunt) dan 4) ligasi/embolisasi a.
pudenda interna.

1. Konservative, dilakukan pada priapismus sekunder sambil mengobati penyakit


primernya15,27. meliputi : pemberian hidrasi yang baik, sedativa, onema dengan es
saline, kompres pada skrotum atau penis, masaseprostat dan epidural anesti.tindakan yang
lebih agresif dikerjakan jika terapi konservative gagal.WASMER ( 1981) melaporkan dari
29 penderita dengan terapi konservative 2 penderita sembuh sempurna, sedangkan 5
penderita mengalami detumesen sebagian.
2. Aspirasi dan irigasi intrakavernosa14,15, aspirasi darah intrakavernosa saja atau
kemudian disusulirigasi (instalasi) zat -(adrenergik yang diecerkan , memberi kan respon
yang sangat baik pada priapismus akibat ejeksi vasolidator intrakavernosal (LUE dkk,
1986). Cara ini dapat pula dicobakan pada priapismus spontanea non iskemia atau
iskemia derajat ringan dengan hasil yang cukup baik. Sedangkan untuk Pripismus dengan
Iskemia derajat berat tindakan utama adalah mengeluarkan darah secepatnya dengan
pintas kavernosa (shunting). LUE melakukan aspirasi 10-20 ml darah intrakavernosa
dengan jarum scalp vein no 21 G,kemudian instalansi 10-20mg epinefrin atau 100-200
mg Fenilefrin yang dilarutkan dalam 1 ml larutan garam fisiologis setiap 5 menit hingga
penis mengalami detumesensi. Jikadilakukan ( 24 jam setelah serangan, hampir semua
kasus dapat sembuh dengan cara ini, tetapi bila (36-48 jam yaitu setelah terjadi anoksia
jaringan biasanya tindakan ini tak ada gunanya . tetapi FREYMAN (1992) berhasil
melakukan instilasi Streptokinase pada priapismus yang telah berlangsung 14 hari dan
sebelumnya telah gagal dengan instilansi -(adrenergik5
3. Jalan Pintas (Shunting) dari kavernosa28,29,30, tindakan ini harus segera
diperkirakan terutama pada priapismus veno-oklusive (Static) atau yang gagal dengan
terapi medikamentosa/aspirasi. Hal ini untuk mencegah timbulnya sindroma
kompartemen yang akan menekan a.kavernosa yang berakibat iskemikorporal.
a. Pintas korporo-Glanuar : Winter (1078) melakukan sepintas korporakovernosa
dengan glans penis sehingga aliran darh venus akan keluar dari korpora kavernosa dan
diharapkan aliran darah arteriel akan kemabli normal. Dengan lokal anestesi (lidokain)
dan sedative dilakukan aspirasi pada korpora melalui glans penis dengan jarum 18G
disusul irigasi denagn cairan fisiologis atau heparin. Dengan jarum biopsi (Tru-Cut) glans
penis ditusuk sampai menembus septum korona (hati-hati jangan sampai menembus
uretra), jarum kemudian diputar atau dipluntir-pluntir kemudian ditarik keluar, akan
terlihat jaringan septum dan korona yang fibriotik. Tindakan tersebut diulangi pada sisi
ayng sama hingag terbentuk 1-2 fistula antara glans dengan korporakavernosa. Penis akan
detumesen dan pendarahan dari glans cukup dijahit dengan angka 8. tidak dianjurkan
mengunakan beben tekan karena akan menghambat aliaran darah dikorpus spongiosum
sehingga berakibat iskemia dan nekrose penis. Dianjurkan pada jam-jam pertama untuk
selalu memeras-meras penis guna mempelancar peredaran darah dispongisium. Jika
timbul tumesensi kemabli prosedur ini dapat diulangi dalam 12-24 jam, atau dilakukan
anastomose pintas spongiokavernosum atau safeno-kavernesum. Dari 41 penderita yang
menjalani trindakan ini sebagai prosedur prime keberhasilannya 49 %, tetapi jika diulang
setelah gagal denagn tindakan pertama angka keberhasilannya 70% (WINTER, 1988).
Dari 6 penderita ayng dirawat di UGD RSUD Dr. Soetomo semuanya dilakukan operasi
Winter, 4berhasil (terjadi detumensi) dan 2 gagal. Dari 2 yang gagal 1 dicoba dengan
operasi pintas spongiokavernosum tetapi terjadi tumesensi kembali dalam 24 jam dan
akhirnya dikerjakan pintas safero-karvernosum dan penis berhasil detumesensi, 1 yang
lain menjalani operasi pintas safero- kavernosum, tetapi sayang penderita ini sedikit demi
sedikit penisnya mengalami nekrose sehingga harus diamputasi sampai batas penis.
b. Pintas Kopora-spongiosum, para priapismus yang terjadi beberapa hari bagian distal
kavernosum sering menjadi fibrotik sehingga tak mungkin mengalirkan darh dari
kavernosum ke spongiosum secara adekuat, sehingga perlu dilakukan pintas disebelah
proksimal. Dengan anestesi, dibuat insisipada basis penis di perbatasan antara korpus
kavernosum dan spongiosum pada sisi yang sama. Pasang kateter uretra untuk
menghindari kerusakan pada uretra. Dibuat jendela berbentuk elips pada tunika albugenia
korpus kavernosum dan korpus spongiosum. Kedua jendela dihubungkan dengan jahitan
jelujur 2 semisirkuler, sehingga terjadi aliran darh dari kavernosum kespongiosum.

c. Pintas safero- kavernosum, dengan anesti dibuat 2 insisis yaitu diatas v. sefena dan
para lateral basis penis. V. safena dibebaskan dari insesinya kedalam v.femolaris. dibuat
terowongan subkutan antara v. safena dengan basis penis v. safena ditarik melalui
terowongan tersebut kemudian dianastomosekan denagn jendela yang sudah dibuat pada
tunika albugenia korpus kavernosum dan dijahit jelujur 2 semisirkuler.
Penyulit :
Penyulit dapat berupa : retensi urin, infeksi, impotensia (sekitar 50%) traumma
uretra,gangren, divertikal pada basis penis atau fistula uretrokutan setelah pintas kaverno
spongiosum, trombosis, fibrosis dan priapismus rekuren28,29,30. 6 penderita ayng kami
rawat 3 dapat ereksi kembali dan 1 penderita mengalami nekrose penis. 1 penderita (T, 36
tahun) mengalami penyulit pasca bedah fistula urerokutan dan striktura uretra anterior setelah
tindakan pintas keverno spongiosum.
Tabel 1 : penderita pripismus di RSUD Dr. Soetomo selama 1989-1993
Identitas
1. H, 43 th
2. M, 30 th
3..T, 36 th

4. A, 22 th
5. Tw, 52 th
6. S, 52 th

Penyebab
Inj.intrakavemosa
Lekemia(CML),
trombositosis
Primer (?)

Inj.
Intrakavemosa
Mtihipertensi
Lekemi (CML)

UGD setelah
1 hari
1 hari

Terapi
Aspirasi? Winter
Winter

Keterangan
Ereksi ?
Ereksi parsial

2 hari

Winter,
SpongKav,Saf-Kav

Ereksi +, Fistel
Uretro-kutan

3 hari

Aspirasi?, Winter

Ereksi +

6 hari
5 hari

Winter
Winter,Saf-Kav,
Amputasi

Ereksi ?
Nekrose +

Fraktur (ruptura) Penis


Adalah robeknya tunika albugenia penis yang terjadi sewaktu penis dalamn keadaan ereksi.
Pada saat ereksi lapisan tunika albugenia menjadi tipis dan elastisitasnya berkurang apalagi
kalau pernah terkena infeksi (fibrosis). Jika saat ereksi tersebut penis dibengkokkan atau
mendapatkan cedera tumpul yang melebihi daya elastisitasnya, akan terjadi robekkkan pada
tunika albugenia18,20
Kejadian fraktur penis amatjarang 8,15,20. selama 3 tahun (1990-1993) dirawat 4 penderita di
RSUD Dr. Soetomo dengan umur 18-50 tahun, 2 penderita akibat menekuk penisnya sendiri
karena ereksi ayng terlalu lama untuk dimasukkan ke celana dalam, 1 penderita
menekukkannya saat manstrubasi dan 1 penderita tertekuk saat senggama (tabel 2)
Gejala Klinik
Saat kejadian penderita mendengar suara retakanpada penis dan dikuti denagn nyeri, penis
berangsur melemas, benglkok, membiru dan bengkak1,18,20. adanya ganguan miksi sampai
retensi urine harus dicurigai adanay ruptura uretra yang tidak jarang menyertainya19
meskipun hematon luas yang menekan uretra juga dapat memberikan gejala yang sama20
pemeriksaan fisik terlihat penis yang bengkaka, dengan ekimose atau kebiruan/kehitaman
yang terbatas pada batang penis, tetapi jika fasia dari Buck robek, hermaton atau urin dapat
meluas hingga ke perineum dan skrotum. Penis akan mengalami angulasi (bengkok) kearah
yang berlawanan dengan tempat ruptur. Pada hematom yang tidak begitu luas, temapt ruptur
dapat diraba sebagai defek pada tunika albugenia20
Diagnosis
Dapat ditegakkan secara klinis (anmnesa dan pemeriksaan klinik) dengan mudah. Pada
fraktur penis dengan gejala yang tidak khas beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan

radiologis antara lain kavernosograsfi yaitu menyuntikan bahan kjontras kedalam korpus
kavernosum kemudian diikuti denagn fluoroskopi sehingga dapat diketahui adanay ruptur dan
tempat ruptur pada tunika albugenia sehingga mempermudah eksplorasi20
Mengingat resiko terjadinya reaksi dan timbulnya finbrosis korpus kavernosum akibat bahan
kontras pada kavernosografi, KOGA(1993) menganjurkan pemakaian USG sebagai alat
diagnose dan pemeriksaan lanjutan pada fraktur penis12 pada dugaan adanya ruptur uretra,
pemeriksaan uretrografi retrograd harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum dilakukan
ekplorasi19,20
Terapi
Masih kontroversial. Dahulu lebih cenderung dilakukan tindakan konservatif denagn tekanan
bebat tekan dan elevasi penis, kompres dingin, antibiotika, sedatifa dan antiinflamasi4,10,18
Terapi ini tidak jarang menimbulkan penyulit berupa abses dan hematon penis, fibrosis
ditempat ruptur yang berakibat angulasi dan nyeri saat ereksi sehingga memerlukan tindakan
pembedahan 4,18 saaat ini beberapa ahli lebih memilih untuk segera melakukan pembedahan
1,6,18,19,20karena dapat mengembalikan kemampuan ereksi penis seperti semula,
mengurangi terjadinya penyulit jangka panjang dan mengurrangi masamondokk dirumah
sakit. 1 dari 4 penderita ayng kami rawat datang denagn devisi dan hematon minimal, dengan
perawatan konservative selama1 minggu hematom dan deviasi penis berkurang, tetapi sayang
penderita ini tak pernah kontrol kemabli.
Teknik dengan menggunakan anestesi regional atau umu, dilakukan insisi sirkumferensial di
korona glandis, kulit disingkapkan kearah proksimal hingga basis penis samapi seluruh
batang penis terlihat. Hematom dievakuasi samapai bersih hinga tempat ruptur pada tunika
dapat terlihat. Setelah dilakukan debrideman secukupnya tempat ruptur dijahit dengan kromik
3-0 kateter perlu dipasang sebelum eksplorasi dan dipertahankan selama operasi untuk
memastikan ada/tidaknya ruptur uretra1
Pasca bedah dianjurkan pemberian diazepam guna mencegah timbulnnya ereksi. Ke tiga
penderita yang kami rawat menjalani evakuasi hematom dan penjahitan defek tunika
albugenia dengan hasil baik, tanpa kelainan dari ereksi.

Penderita fraktur penis di RSUD Dr. soetomo selama 1990-1993


Identitas
1. S, 23 th

Mekanisme
Trauma
Ditekuk sendiri
(ereksi terlalu
lama)

UGD setelah
14 jam

2. Sy, 18 th

Tertekuk saat
senggama

3 hari

3. W, 50 th

Ditukuk sendiri
(manstrubasi)

1 hari

4. U, 43 th

Ditekuk sendiri
(ereksi terlalu
lama)

1 hari

Pemeriksaan

Terapi

Keterangan

Bunyi krek,
deviasi ke kanan
dan hematonm
luas
Henmaton +
deviasi minimal,
kavgrafi, ekstra
minimal
Hematom luas

Evakuasi repair

Ereksi tegak

Konsevatif

Repair

Ereksi tegak

Hematon luas
deviasi s/d 70o

Evakuasi repair

Ereksi tegak

Stangulasi penis
Adalah terjeratnya penis oleh benda yang melingkar pada penis sehinga menimbulkan
gangguan hemodinamik disebelah distal jeratan, berupabendungan aliran darah vena yang
berakibat odem, hipoksemia samapai nekrose jariangan.

Merril17 membedakan strangulasi penis menjadi 2 yaitu : yang menimpa orang dewasa dan
yang menimpa anak-anak/ bayi. Pada dewasa biasanaya karena kesengajana memasukkan
benda berongga natu menjerat penisnya pada saat ereksi3,26 benda yang dimasukkan bisa
cincin karet /logam, pipa botol atau tali. Sedangkan pada anak/bayi dapat disebabkan oleh
kelainan orang tua misalkan melingkarkan tali pada batang penis anknnya dengan tujuan
mencegah enuresis, atau karena terjerat seutas rambut yang terdapat pada popok bayi ataupun
karena sengaja anak yang lebih besar sbermain-main dengan melingkarkan tali pada
penis17,23.
Karean stangulasi penis adalah kedaruratan vaskular pada penis maka pada pemeriksaan fisik
harus diperhatikan suhu, warna, sensibilitas, denyut nadi (dapat dibbantu denagn Doppler
sonografi) dan miksi24 kelainan yang ditemukan tergantung padab lamanya stangulasi muali
dari odem sampai nekrose penis bagian distal jeratan.
Di RSUD Dr. Soetomo selam 5 tahun terakhir hanya ada 2 kasus yaitu pada bulan Juni dan
Juli 1991 ayng telah dilaporkan oleh Lie L13
Kasus 1 :
S, 33 tahun ke UGD dengan kemaluan bengkak dan tak bisa kencing setelah 9 jam
sebelumnya dipasang cincin baja pada kemaluannya sebelum bersanggama. Fisik dijumpai
buli yang penuh, cincin baja pada pangkal penis, penis odem, merah keunguan, keras, luka
lecet pada kulit di dekat cincin. Dicoba dikeluarkan dengan pelicin tidak berhasil, akhirnya
tanpa anestesi dilakukan pemotongan cincin dengan gerinda mesin poles (selama
menggerinda cincin disiram dengan air untuk menghilangkan panas yang ditimbulkan).
Setelah cincin dikeluarkan, dipasang kateter dan keluar urine jernih. Penderita pulang pada
hari ke 7 dengan luka baik tanpa keluhan miksi dan ereksi.
Kasus 2 :
A, 25 tahun (dengan gangguan jiwa) dibawa ke UGD karena luka pada kemaluan akibat
dipasang cincin pada penis selama 10 hari. Fisik : gizi kurang trdapat cincin baja pada
penis, odem, tegang, keras, merah keunguan dengan laresari kulit yang berbau busuk
bercampur urine. Cincin berhasil dikeluarkan dengan gerinda listrik. Pada uretrografi
terdapat lesi uretra minimal dan dilakukan diversi suprapubik. Selama perawatan luka
membaik; tetapi penderita melarikan diri sebelum dievaluasi lebih lanjut.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya benda yang menjerat penis harus segera dikeluarkan, caranya tergantung
pada bahan, ukjuran dan lama jeratan. Jeratan oleh cincin baja sulit dikeluarkan apalagi bila
ada odem hebat di sebelah distal jeratan. Bila odem belum terlalu besar, pelepasan dapat
dilakukan seperti melepaskan cincin dari jari tangan seperti yang dianjurkan GREEN dan
BROWNING3.7. Seutas pita kecil atau nylon dilewatkan dibawah cincin dengan bantuan
klem bengkok yang telah diberi pelicin sampai ke proksimal cincin. Di sebelah distal cincin,
pita dililitkan pada penis yang sebelumnya telah pula diberi pelicin 2-3 cm. (gambar B).
Ujung proksimal pita ditarik ke distal dengan sudut 95o sampai cincin melewati lilitan pita
(Gambar C). Prosedur ini diulang sampai cincin keluar. Diameter penis yang amat besar dan
ketegangan penis yang hebat dapat dikurangi dengan menusuk glans dan kulit penis hingga
cairan odem beserta darah dapat dikeluarkan dan akan memperkecil diameter penis. Cincin
baja dapat juga dikeluarkan dengan memotongnya dengan gerinda baja berkecepatan tinggi.
Tetapi alat ini belum tentu tersedia dan sering menimbulkan panas yang dapat merusak
jaringan penis, karena itu selama digerinda harus selalu ditetesi air. Pengambilan jeratan
hanya merupakan awal pengobatan strangulasi penis; perawatan selanjutnya tergantung
derajat kerusakannya. Uretrografi perlu dilakukan bila ada kecurigaan lesi uretra24.
Kerusakan kulit yang luas memerlukan debrideman dan tandur kulit23,26.

KESIMPULAN
1. Kedaruratan penis walaupun jarang dan tidak membahayakan jiwa, harus ditangani
secepatnya karena dapat menimbulkan cacat fisik dan kejiwaan.
2. Pemakaian injeksi vasoaktif yang makin luas digunakan harus sudah diperhitungkan
akan kemungkinan timbulnya penyulit priapismus.
3. Untuk klinik-klinik yang tak terlalu jauh dari pusat rujukan, bila terjadi amputasi
penis dianjurkan untuk dirujuk secepatnya untuk dilakukan mikroreplantasi; tetapi pada
keadaan yang tak memungkinkan dapat dikerjakan anastomose sederhana karena hasilnya
cukup baik.

KEPUSTAKAAN
1. Al Saleh BMS, Ansari ER, Al Ali IH, Telly JY and Saheb A : Fracture of the penis in
Abu Dhabi. J. Urol, 134 : 274-275, 1985.
2. Bennet AL and Pillon RN : Non incisional therapy for priapism. J. Urol, 125 : 208209, 1981.
3. Browning WH and Reed DC : A method of treatment for incarceration of the penis. J.
Urol., 101 : 189-190, 1969.
4. Farah RN, Stiles R and Cerry JC : Surgical treatment of deformity and coital
difficulty in healed traumatic rupture of the corpora cavernosa. J. Urol, 120 : 118-119,
1978.
5. Frcyman H, Djamilan M, Thon WF, Stieefb CG and Jonas U : A Newtherapeutie
concept for lasting latrogenic priaism: A care report. J. Urol. 148:878-879, 1992.
6 Gross M, arnlod TL, and Waterhouse K : frakture of penis : Rationale of surgical
management. J.Urol. 106:708-710,1971 .
7. Greene LF : Miscelaneous Transurenthral procedure. In Transurethra Surgery, 1st ed.
Greene LF and Segura JW (eds), Philadelphia :WB Saunders Co, pp. 371,1979.
8. Haldsted DS, Wiegel JW, Noble MJ, Mebust WK : Papaverine induced priapism : 2
case report. J. Urol, 136 : 109-110, 1986.
9. Heyman AD,Thomson JB, rathod DM, Heller LW : Succesful replantation of the
penis using microvascular technique. J. Urol, 118 : 878-880, 1977.
10. Jallu A, Wani Na, Rashid PA : Fracture of the penis. J. Urol, 123 : 285-286, 1980.
11. Jordan GH, Gilbert DA : Management of amputation injuries of the male genitalia.
Urol. Clin. N.Am, 16 : 359-367,1989.
12. Koga S, Saito Y, Arakaki J, Nakamura N,Matsuoka M, Yohikawa M, Ohyama C :
Sonography in fracture of the penis. J. Urol, 72 : 228-229, 1993.
13. Lie L, Hardjowijoto S : Stangulasi penis : Laporan kasus.Lab/UPF I. Bedah FK
Unair/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1991.
14. Lue TF, Hellstrom WJG, McAninch JW, Tanagho EA : Priapism : a refined approach
to diagnosis and treatment. J. Urol, 136 : 104-108, 1986.
15. Lue TF : Physiology of erection and pathophysiology of impotence. In Campbell's
Urology, 6th ed. Wals PC, Retik AB, Stamey TA, Vaughan ED (eds), WB Saunders Co,
Philadelphia 1992, pp. 709-729.
16. Mc Robert JW, Chapman WH, Ansell JS : Primary anastomosis of the traumatically
amputated penis : Case report and summary literature. J. Urol,100 : 751-754, 1968.

17. Merril DC, Palmer JM : Male genital trauma. In Urogenital trauma, Vol. 2, Blaisdell
FW and Trunkey DD (eds), Thieme Stratton Inc, New York, 2 : 97-107, 1985.
18. Nicolaisen GS, Melamud A, William RD, McAninch JW : Rupture of the corpus
cavernosumk : Surgical management. J. Urol, 130 : 917-919, 1983.
19. Nymark J, Kristensen JK : Fracture of the penis and urethral rupture. J. Urol, 129 :
147-148, 1983.
20. Orvis BR, Mc Aninch JW: Penile Rupture. Urol. Clin. N.Am, 16: 369-375, 1989
21. Rriccardi RJR, Bhatt GM, Cynamon J. Bakal CW, Melman AM: Delayed High Flow
Priapism: Pathophysiology and management. J Urol, 109:119-121,1993
22. Schulmann ML: Reanastomosis of the amputated penis. J Urol, 109:432-433, 1973
23. Sheinfeld J, Cas LR, Erturk E, Cockett ATK: J Urol, 133:1042-1043,1985
24. Snoy FJ, Wagner SA, WoodsideJR, OrgelMG, Borden TA: Management of thepenile
incarceration.J Urol. 24.18-20, 1984
25. Spycher Ma, hauri D: The oultrastrukture of the erectile tissues in priapism. J Urol
135:142-147,1986
26. Stoller ML, LueTF, Mc Aninch JW: Constrictive Penile band injury: Anatomicaland
reconstructive considerations. J. Urol 137:740-742, 1987
27. Wasmer Jm,carrion HM,Mekros G,Polation VA : evaluation and tretment of priapism.
J Urol 125:204-207, 1981
28. Winter CC,McDowell G: Experience with 105 patients with priapism. J Urol,
140:980-983,1988
1. Winter CC: Priapism cured by creation of fistula between glans penis and corpora
cavernosa. J. Urol, 119: 227-228, 1978
2. Winter CC: Priapism. In Urologic Surgery 2nded, Glenn JF(ed), Harper and Row,
1975, pp.675-682

Hematuria FX Sri Hartono M.

HEMATURIA
FX. Sri hartono M.
Departemen Bedah RSAL Dr. Ramelan
Surabaya
ABSTRAK
Seperti diketahui penyebab hematuria adalah banyak dan luas, dengan derajad
kelainan dari ringan sampai berat, dimana derajad hematura tidak selalu sesuai dengan
kelainannya. Maka hematuria harus selalu dipertimbangkan sebagai gejala penyakit yang
serius sampai dibuktikan sebaliknya.
Mengingat kasusnya cukup banyak, maka pendeteksian secara dini dan penanganan
yang tepat adalah diperlukan dan ini perlu untuk diketahui oleh para sejawat dokter umum.
Hematuria dapat menunjukkan penyakit ginjal maupun urologi. Penyakit ginjal
sering ditandai oleh adanya cast dan hampir selalu ditandai dengan adanya proteinuria,
sehingga hematuria yang disertai proteinuria harus selalu dicurigai asalnya dari glomerulus
dan interstitial.
Dari beberapa pemeriksaan yang dilakukan, meskipun pada sebagian besat
penderita tidak didapatkan kelainan urologi yang jelas, tapi pada sebagian kecil penderita
didapatkan penyebab penyakit yang serius misalnya keganasan urologi atau penyakit
glomerulus ginjal.
Mengingat kemungkinan berbahaya hematuria mikroskopik yang ada, demikian pula
dari segi biaya dan ketidaknyamanan penderita pada pemeriksaan urologi yang
berkepanjangan, maka adalah sangat penting untuk menyusun langkah-langkah penanganan
penyakit tersebut.
DEFINISI/PENGERTIAN-PENGERTIAN
Hematuria yang berarti didapatkannya sel darah merah pada urine, pada umumnya
dikategorikan baik gross maupun mikroskopik. Untuk mikroskopik hematuria dikatakan
apabila didapatkan lebih dari 3 sampai 5 sel darah merah/lapang pandang.
Kategori yang lain :
Painless hematuria, gross
Asimptomatik mikroskopik hematuria
Inisial, terminal, total hematuria.
Gross hematuria bisa disertai dengan clot/bekuan darah dimana dapat berasal dari perdarahan
di ureter/ginjal, buli-buli dan prostat.

Initial hematuria : Penyebabnya ada di bawah sphincter externa


Terminal hematuria : penyebabnya ada di proximal urethra atau di leher/dasar buli-buli.
Total hematuria : Penyebabnya ada di buli-buli, ureter atau ginjal.
Idiophatic hematuria adalah hematuria dimana penyebabnya tidak dapat ditentukan, dan
ini didapatkan pada kira-kira 20% kasus hematuria.
False/pseudo hematuria : adalah diskolorasi dari urine karena pigmen dari pewarna
makanan dan myoglobin.
Factitious hematuria : adalah terdapatnya sel darah merah dalam urine oleh penyebab di
luar tractus urinarius.
Bagaimanapun, sumber hematuria tidaklah dapat dicari secara pasti hanya dengan
anamnesa saja.

DIAGNOSA :
Diagnose pada saat awal adalah dengan memastikan adanya sel darah merah pada urine. Hal
ini penting oleh karena warna merah pada urine bisa disebabkan oleh :
Erythrocyturia
Hemoglobinuria
Myoglobinuria
Pigmen makanan
Zat pewarna makanan
Obat-obatan : - Phenothiazine
- Phenazopyridine
- Porphyrin
- Phenolphtalein
Pemakaian strips reagen DIPSTIK akan mendapatkan hasil positif bila ditemukan sel darah
merah, hemoglobin atau myoglobin sehingga tidak spesifik untuk erytrocyturia.
1. Pengumpulan spesimen urine
Sebaliknya dilakukan di klinik/laboratorium dan bukan di rumah. Idealnya sebelum
pemeriksaan RT untuk mencegah kontaminasi dari sekresi Prostat.
1. Pada Pria
Desinfeksi genitalia externa/meatus urethara exterus
Diambil midstream urine
30 cc urine pertama dibuang
Urine berikutnya ditempatkan dalam tabung steril (150 100 cc)
1. Pada wanita
Desinfeksi genitalia externa
Kalau perlu dengan kateter untuk mengambil sampel urine
1.

Pada anak-anak :
Desinfeksi genitalia externa
Digunakan plastic bag yang bersih
Kalau perlu punksi supra pubik

1.

Tes 3 gelas :
Inisial urine
Midstream urine
Terminal urine

1. Strips reagen : tidak spesifik


1.

Pemeriksaan mikriskopik
Dengan pembesaran 400 x dari lensa mikroskop
Positif bila didapatkan lebih dari 3-5 sel darah merah/lapang pandang
Adanya casts dari sel darah merah yang berasal dari tubuli renalis atau collectibg
ducts adalah pathognomonis untuk kelainan di ginjal.

1. IVP : Merupakan indikasi untuk dilaksanakan pada penderita hematuria baik gross
maupun mikroskopik, kecuali pada anak-anak dengan hematuria mikroskopik
persisten dimana kemungkinan besar adalah oleh karena glomerulonephritis.
1. Urethhrocystoscopy :
Terutama pada gross hematuria, dicari sumber perdarahan dan diatasi, kalau perlu biopsi.
1. Ureteroscopy :
Dilakukan bila ada kelainan pada tractus urinarius bagian atas.
1. Pemeriksaan sitologi urine :
Dapat membantu menegakkan diagnosa terutama untuk mencari tanda keganasan.

1. Beberapa penyebab hematuria :


Glomerular Glomerulonephritis akut.
Renal
Penyakit polikistik ginjal
Nekrosis papillar
Inflamasid an infeksi
Malfermasi Vaskular
Urologik
Neoplasma
Batu
BPH
Striktur ureter
Endometriosis
Divertikulitas, apendisitis
Benda asing
Hematologiok
Koagulopati Kongenital dan didapat
Antikoagulasi teraputik
Penyakit sickle cell
Factitious
Perdarahan vaginal
Pseudo Hematuria
Pigmen makanan
Metabolit obat
1. Hematuria yang tidak diketahui penyebabnya :
(20% dari penderita tidak diketahui
penyebabnya meskipun
pemeriksaan urologi lebih lanjut. Beberapa cara follow-Up.
Penderitaharus diberitahu perlu follow-up lebih lanjut
Cytoscopy, bila kemudian timbul gross hematuria.

telah dilakukan

Anamnesa riwayat penggunaan obat sebelumnya (Aspirin & NSAID dapat


menyebabkan Koagulopati)
Pada hematuria mikroskopik yang peristen harus dievaluasi dengan urinalysis dan tes
sitelogi urine tiap 6 bulan. Tiap 1 tahun diperiksa tekanan darah dan fungsi ginjal.

PENATALAKSANAAN HEMATURIA

Hematuria
(Dugaan)

Anamnesa
Urinalysis
Pemeriksaan Fisik

> 3 RBC/CLP

< 3RBC/PLP

1. Proteinuria +

Pseudo hematuria
Nephrologi

Red cell cast


2. Bakteria +

3. IVP
Urethrocystos opy
Sitologi Urine

- Urine kultur
- Antibiotika
- IUP
- Urethrocystoscopy
- Kelainan + --------bedah
- Kelainan - -------- Evaluasi/Observasi

Data kasus Hematuria di RSUD dr. Soetomo selama 1993


Data berdasarkan jenis kelamin :
Pria
: 48 Kasus
Wanita
: 12 Kasus
Berdasarkan kelompok Umur
Kelompok Umur
< 1 tahun
1 - 10 tahun
11 - 20 tahun
21 - 30 tahun
31 - 40 tahun
41 - 50 tahun
51 - 60 tahun
71 - 70 tahun
70 tahun

Jumlah
0
3
3
9
12
7
12
9
3

Jumlah

60

Data berdasarkan jenis penyebab hematuria


Jenis Penyebab (Digaan)
Ca Buli
Urolithiasis
Sistitis
ISKB
Ca Cervix
BPH
Post TURP
Trauma
Post Millins
Post Proctoscopy
Tak diketahui

Jumlah
20
20
4
1
1
3
3
2
1
1
4

Jumlah

60

Prosentase
33,3
33,3
6,7
1,7
1,7
5
5
3,3
1,7
1,7
6,7

Data kasus Hematuria di jepang antara bulan April 1982 dan Maret 1987
Total
Highly significant lesions
Bladder Ca
Renal Cell Ca
Prostatic Ca
Renal pelvic Ca
Renal Parenchymal disease
Moderately Significant lesions
Renal parenchymal disease
Urilithiasis

Procentage
13
7
3
1
6

1,3
0,7
0,3
0,1
0,6

108
50

10,4
4,8

Primary UTI
Hydronephrosis
Caliceal diverticulum
Polycystic kidney
Neurogenic bladder
Vesical diverticulum
Vesicoureteral reflux
Insignificant Lesions
Renal cyst
BPH
Urethral trigonitis
Urehral caruncle
Prostatic calculi
No. Unexplained

18
10
3
2
2
1
1

1,7
0,9
0,3
0,2
0,2
0,1
0,1

171
31
31
10
3
563
1034

16,5
3
3
0,9
0,3
54,4

BEBERAPA PENYAKIT SPESIFIK


Glomerulonephrritis
Pada anak-anak sebagian besar dari penyebab hematuri adalah karena
glomerulonephhritis. Kebanyakan dari glomerulopati menyebabkan hematuri dan proteinuri
(proteinuri 2 + )
1. Acute post streptococcal glomerulonephritis terjadi bila antigen-antibody complex
terjebak dalam glomeruli. Sering terjadi pada anakpanak usia 3-10 tahun setelah
pharyngitis (streptococcus) atau impetigo. Pada urinalysis terdapat eytrocytturia,
proteinuria ringan dan cast. Titer Anti-streptolysin O meningkat dan total serum
compement menurun 95% sebuah spontan dan 5% dapat menjadi insufisiensi ginjal.
2. Nenign essential hematuria. Berger's disease merupakan bentuk dari acute focal
glomerulonephritis yang banyak terdapat pada laki-laki usia 12-55 tahun. Serinbg
disebut Ig G-Ig A nephropathy. Pada kebanyakan penderita tidak ada penurunan
fungsi ginjal tetapi pada 25% penderita dapat terjadi gagal ginjal progresif yang
disertai dengan hipertensi.
1. Benign familial hematuria. Didapatkan proteinuria pada kira-kira 505 dari penderita
tetapi biasanya proteinurianya minimal.
1. Exercice hematuria. Ditemukan adanya proteinuria dan silinder sel darah merah
pada sediomen urine penderita setelah melakukan exercise/olah raga. Sering kali
diagnosa exercise hematuri ditegakkan setelah disingkirkan diagnosa-diagnosa lain.

Sickle Cell Anemia


Penyakit kongenital yang disebabkan karena penggantian hemoglobin A dengan
hemoglobin S. Tidak ada terapi khusus dan biasanya penderita tidak dapat ditemukan
infeksi/keganasan sebagai penyebab tambahan dari perdarahan.
Terapi : Bed rest, pemberian cairan intra vena, terapio alkali oral/parenteral dan oksigenisasi,
diuretik dan irigasi lokal.

Hemorrhagic Cystitis
Karena penggunaan cyclophosphamide dan terapi radiasi dapat menyebabkan
perdarahan kandung kemih. Pada kebanyakan kasus dapat sembuh sendiri dalam waktu
kurang dari 48 jam. Sedangkan pada kasus yang berat penanganannya adalah sebagai berikut :

1. Cystoscopy dengan anestesi (spinal/general), bimana bekuan darah dikeluarkan,


perdarahan dirawat kemudian irigasi dengan PZ diteruskan, melalui 3-way folley
Catheter.
2. Bila perdarahan tetap terjadi, buli-buli diirigasi dengan larutan 1% garam aluminium
yang dilarutkan dalam air yang steril.
1. Formalin intravesical untuk mengatasi perdarahan p buli-buli. Disarankan larutan
1% formal;in untuk irigasi buli-buli. Konsentrasi yang lebih tinggi dapat
menyebabkan kontraktur buli-buli yang hebat. Cara pemberiannya adalah :
2. Dengan anestesi (general/spinal), semua bekuan darah dikeluarkan dan dicystogram
untuk melihat keutuhan buli-buli. Bila
terjadi vesico-utreteral reflex maka
pemberian formalin intravesical merupakan kontra-indikasi.
3. Dengan folley catheter 1% formalin dituangkan ke dalam barrel of a Tocmy syringe
kira-kira 15 cm diatas pubis dan gaya berat maka formalin akan turun sendiri.
Setelah dipergunakan 1000 ml larutan formalin, maka irigasi selesai.
4. Kemudian buli-buli dicuci dengan 1000 ml air (aqua destilata)
1. Silvernitrat, lebih ringan dari formalin dengan anestesi general/spinal. Melalui
catheter urethra dimasukkan 200 ml larutan silver nitrat 1% ke dalam buli-buli dan
setelah 15 menit keluarklan. Buli-buli diiringi terus dengan normal saline selama 2
hari.
1. Bila semua cara tidak berhasil maka dipasang catheter ureter/stent kiri dan kanan
untuk diversi urine.

Koagulopati yang Tampak Sebagai Hematuria


Penderita dengan hematuria yang tidak diketahui sebabnya harus diperiksa adanya
koagulopati dengan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial Thromboplastine time
(PTT), thrombine time (TT), platelet cunt dan bleding time. Bila curiga koagulopatika maka
harus konsultasi hematologis. penyebab-penyebab yang sering adalah :
1. Thrombocytopenia
Penurunan jumlah thrombocyte dapat karena drug induced (antioineiplastic agent,
thiazide diuretic, estrogen, alcohol) atau karena keganasan dan ITP.
1. Hemophilia
Disebabkan karena defisiensi faktor VIII atau IX congenital 130% penderita hemophilia
dapat mengalami hematuria.
1. Defisiensi faktor VIII congenital dengan pemanjangan dari PTT dan bleeding time,
hitung sel normal. Terapinya adalah pemberian Cryoprecipitate/fresh Frozen plasma.
1. Disseminated Intravascular Coagulation
Dapat disebabkan karena sepsis, Ca metasfase, penyakit hati, trauma dan liuka bakar.
Terapinya adalah mengatasi penyakit penyebab dan pada kasus tertentu diberi heparin.
1. Primary Fibrinolysis
Dapat terjadi pada karsinoma prostat dan selama sirkulasi extra corporeal. Terapinya
adalah kombinasi amiocaproid acid dan heparin.

KEPUSTAKAAN
1. Decision Making in Urology. Ed. Resnick et al. B.C. Decker Inc Toronto, 1985, P.45.

1. Manual f Urology Dioagnosis and Therapy Ed. Siroky MB, et. Al. Little, Brown &
Co. Bostom, Lendon, Toronto, P.87-94.
1. Murakami, S, et. Al. Strategies for Asymtomatic Microscopic Hematuria : A
Prospective Study of 1, 034 patients. Journal of Urology Vol. 144, 1990.

PENANGANAN BATU URETRA LAKI-LAKI


Ardy Santosa
Program Studi/Seksi Urologi
Lab/UPF Il;mu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Berbeda dengan di negara-negara Barat, di Asia dan Timur tengah Kasus batu uretra
cukup banyak dijumpai (di RSUD dr. Soetomo selama bulan jauari Sampai dengan juli 1992
dijumpai 36 kasus).
Kasus batu uretra ini sering menimbuilkan masalah klinik karena tiak jarang batu tersebut
melekat pada uretra (4,6,7).

Batu uretra jarang terjadi primer di uretra tetapi sering berasal dari uretra atau dari
buli-buli yang turun ke uretra, sedangkan penyebab timbulnya batu priemr yaitu biula ada
striktur uretra atau divertikel uretra.
TANDA, GEJALA DAN DIAGNOSA
Biasanya penderita datang dengan keluhan di suria (6) atau teraba bvatu d penisnya,
tetapi penderita yang datang di RSUD Dr. Soetomo Surabaya kebanyakan dengan retensi
urine sehingga kasus kedaruratan.
Diagnosa biasanya mudah karena dari anamnesa dan pemeriksaan fisik sudah jelas.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah dengan foto polos abdomen tampak penis , kecuali
batu non apaque Garumelgaard dan Hastak (3) menganjurkan pemeriksaan USG transrektal.
PENANGANAN
Peanganan batu paada uretra laki-laki tergantung pada ukruan batu, letak batu, umur
penderita dan kelinan lain yang didapat (2.4).
Dahulu penderita dengan batu uretra ini ditangani dengan cara mendorong batu tersebut
ea rah buli-buli dengan meta sound tetapi hal ini sangat berbahaya karena dapat
menimbulkan false route sehingga tidak danjurkan (40. Demikian pula cara milk out
atau ekstraksi batu melalui uretra akan merusakkan mukosa yang berakibat terjadi striktur
di kemudian hari (5,6) sehingga tidak dikerjakan algi.
Sherif dan Hafi (7) mencoba mengeluarkan batu uretra yang berukuran < 10 mm dengan cara
penderita disuruh kencing spontan, ternyata 77,8% dari kasusnya dapat kencing spontan
berikut batunya.
Uretrolithotomi eksterna hanya diekrjakan apabila batu tersebut impacted (melekat)
pada uretra atau batu tersebut terdapat di dalam divertikel karena sekaligus akan dikerjakan
divertikulektomi (5,8).
Durasi dan samuei (10 memecahkan batu pada uretra dengan alat ultra sound,
sedangkan selli (6) menggunakan EHL (Electrohydroulic Lithotripsy) dengan hasil yang baik.
Di RSUD Dr. Soetomo kita memakai cara-cara yang lebih sederhana tetapi dengan
hasil yang cukup baik dan sedikit menimbulkan kerusakan pada uretra.
Tehnik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk batu pada uretra posteruior
Bagan 1 :

Teknik Lubrikasi Posterior

Gambar 1 ; Tehnik Lubrikasi ke buli-buli


Keterangan :
Tangan kiri operator memegang ujung distal penis dan tangan kanan menyemprotkan
campuran lidocain jelly melalui meatus utera eksternus kemudian masukkan keteter
menetap sesuai ukuran uretra.
1. Untuk batu pada uretra anterior
Bagan 2 :

Teknik Lubrikasi Anterior

Gambar 2 : Tehnik lubrikasi ke anterior


Keterangan :
Ibu jari Asisten menekan uretra diproksimal batu. Tangan kiri operator memegang ujung
penis dan tangan kanannya menyemprotkan campuran lidocain Jelly melalui meatus uretra
eksternus. Pada saat uretra menggelembung diharapkan batu dapat keluar spontan.
1. Untuk batu pada meatus uretra eksterus
Tempatterakhir batu uretra adalah dimeatus uretra eksternus yang biasanya menyempit.
Untuk itu tidak boileh dilakukan estraksi batu tetapi meatus harus dilebarkan duli dengan
cara meatomi dengan tehnik sebagai berikut (lihat gambar 3).

Gambar 3 : Tehnbik Meatotomi


PENUTUP
Batu uretra pada laki-laki ternyata cukup banyak kita jumpai praktek sehari-hari dan kasus ini
Bering menimbulkan kedaruratan karena komplikasi yang ditimbulkannya. Untuk itu
penanganan yang baik harus dipahami oleh kita dalam melayani kesehatan sehingga tidak
menimbulkan kecacatan pada penderita tersebut.
KEPUSTAKAAN
1. Daruzi MH & Samiei MR : Ultrasonic Fragmentation in the Treatment of Male Urethral
Calculi. J. Urol. 443 - 495,1988.
2. Drach GW : Urinary lithiasis in Campbell's Urology, 5ed WB Saunders Philadelphia,
1170 -1171,1987.
3. Gammelgaard J and Hastak SM : Ultrasonic detection of urethral caculus. British J. of
Urology 57, 589 - 590, 1985.
4. Koga S et all : Urethral Calculi. British J. Urology 65, 288 - 289, 1990.

5. Paulk SC et al : Urethral Calculi. J. Urology 116, 436 - 439, 1976.


6. Selli C et al : Treatment of Male Urethral Calculi. J. UroL 132, 37 - 39, 1984.
7. Sherif AE and Hafi R : Proposed new method for non operative treatment of urethral
stones. J. Urol. 146, 1546 - 1547, 1991.
8. Sinha A and Rintoul RF : Giant Calculus in urethral diverticulum. British J. of Urology
54, 62, 1982.

RIWAYAT HIDUP
Nama :
Dr. Sunaryo Hardjowijoto
Tempat dan Tanggal Lahir
:
Madiun, 10 Pebruari 1946
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Agama :
Islam
Pangkat/Golongan
:
Penata/Gol. IVa
Jabatan :
Lektor
NIP
:
130 531 748
Alamat Rumah :
Jl. Jemursari I-2 Surabaya 60237
Telp. (031) 814965
Alamat Kantor :
Lab/UPF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60286
Telp. (031) 523001
Status Keluarga :
Isteri : dr. Widorini Soebandi
Anak :
: Pramita Fitriarini
: Almira Damayanti
: Prasastha Dedika Utama
Riwayat Pendidikan
:
1958 :
Sekolah Dasar
1962 :
Sekolah Menengah Pertama
1965 :
Sekolah Menengah Atas
1973 :
Lulus sebagai dokter umum di Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya
Desember 1978 :
Lulus sebagai Ahli Bedah Umum di
Fakultas Kedokteran Unair Surabaya
1978-1979
:
Pendidikan Urologi di FK Unair Surabaya
1979-1981
:
Pendidikan Urologi di University Hospital of
Groningen, The Netherlands
20 Maret 1982 :
Sertifikat Urologi dari Fakultas Kedokteran
Unair Surabaya
April-Juni 1986 :
Visiting Fellow at Kidney Center, Tokyo Womens'
Hospital , Tokyo-Japan

Mei-Juni 1988 :
Visiting Fellow at Dept. of Urology
St. Radboud University Hospital, Nijmegen
The Netherlands Especially for: Pediatric Urology,
Urological Oncology and Impotensia
November 1989:
Training ESWL, Hamburg-West Germany

1
1

JURNAL UROLOGI
INDONESIA
( JURI )
UNTUK KALANGAN SENDIRI
TERBIT SETIAP 6 BULAN
AKUT SKROTUM
LEKOSITURIA
Bakteria (+)
Bakteria (-)
Go (-)
Go (+)

Dewasa
Anak-anak
BATU URETRA
POSTERIOR

Lubrikasi ke buli-buli
Lubrikasi ke buli-buli
Berhasil
Berhasil

Gagal
Gagal
Sistostomi
DK
Sistostomi
Trokar Litotripsi
Vesikolitotomi
Panendoskopi
(Dorong Batu)
Panendoskopi
(Dorong Batu)
Litotripsi
DK

BATU URETRA ANTERIOR


Berhasil
Panendoskopi
(Dorong Batu)
Gagal
Uretrolithotomi
Gagal
Divertikulektomi
Divertikel (+)
Lithotripsi
Dorong
Striktur (+)
Striktur (-)
Sachse
Lithotripsi
Uretrolithotomi

Trokar Lithotripsi
Vesikolithotomy
Pulang
Anak-anak
Panendoskopi

Dewasa
Gagal
Berhasil
Lubrikasi ke anterior
Figure1
Figure 2

Anda mungkin juga menyukai