Anda di halaman 1dari 65

KELEDAI YANG BIJAK

PENGARANG
TAUFIK AL-HAKIM

PENERJEMAH
H. HARITS FADLLY, LC.

EDITOR
Maya Hayati

PENERBIT
AL-HAIAH AL-MASHRIYAH AL-AMMAH LIL KITAB

Distributor
WWW.LENTERA-RAKYAT.SOS4UM.COM

Berkata Keledai yang bijak (Toma):


Jika hari telah siang, aku akan berjalan karena aku si bodoh yang sederhana,
sedangkan sahabatku adalah si bodoh yang berpangkat!
Dikatakan padanya:
Apakah perbedaan antara bodoh sederhana dan berpangkat?
Dia menjawab:
Si bodoh yang sederhana adalah yang tahu bahwa dirinya bodoh, adapun
si bodoh yang berpangkat adalah yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh.
(Legenda Lama)

untuk sahabatku
yang lahir dan mati tanpa berbicara denganku
tetapi ia telah mengajariku!

=1=

Aku mengenalnya pada hari- hari musim panas tahun lalu, di jantung kota Kairo,
di salah satu jalan rayanya. Pada pagi itu aku berjalan menuju salon cukur, ditemani
udara panas yang disertai hembusan angin sepoi-sepoi. Hatiku gembira ketika aku
berjumpa dengan wajah ceria berambut pirang dengan anjingnya, yang turun dari lift
bersamaku di hotel tempat aku tinggal, sehingga hampir saja aku bersiul dan
bersenandung. Lalu aku bergerak menuju salon cukur itu ketika tiba-tiba aku
melihatnya, makhluk yang telah ditakdirkan untuk menjadi sahabatku. Aku melihatnya
menanduk tembok bagaikan kijang. Di lehernya yang indah terikat simpul merah, dan
di sampingnya kulihat pemiliknya, petani desa paling kumuh yang pernah kulihat.
Orang-orang yang lewat berdiri memperhatikannya dengan takjub karena keindahan
bentuknya, serta gemulai langkahnya. Badannya kecil bagaikan boneka, putih bagaikan
kepingan keramik, bagus bentuknya bagaikan buatan seorang seniman. Dia berjalan
dengan santai seolah-olah ia berkata pada tuannya: Bawalah aku ke manapun kau
mau, karena semua yang ada di bumi takkan aku perhatikan.
Itulah seekor anak keledai kecil yang mendapat perhatian orang banyak, di jalan
yang besar. Pemandangan seperti itu di desa ini, sudah cukup menarik hati. Mata orang
memancarkan cahaya takjub, dan wanita-wanita Inggris yang memasuki toko Jurubi
tak dapat menahan kecintaan mereka padanya. Kalaulah ia merupakan sesuatu yang

dapat dibawa, maka mereka pasti takkan ragu-ragu untuk membelinya seperti halnya
sebuah souvenir.
Menurutku pemilik keledai itu akan menjualnya, karena aku telah mendengar
pemiliknya berkata kepada orang-orang yang berlalu, para penjual koran, dan anakanak: Lima puluh Piester! Tiba-tiba tanpa sadar kakiku melangkah menuju
kerumunan orang yang mengerubungi anak keledai itu - mataku selalu memperhatikan
makhluk kecil itu- dan mulutku mengucapkan: Tiga puluh Piester!
Maka kerumunan itu berpaling kepadaku dan hiruk-pikuk pun terdengar. Tibatiba aku melihat seorang lelaki muncul dari balik kerumunan. Dia adalah penjual koran
yang mengenalku dan menjual korannya kepadaku. Dia menarik anak keledai itu dari
tangan pemiliknya dan berteriak di mukanya: Tuan kita Beik telah meminta, dan
permintaannya harus kita patuhi!
Petani itu menepukkan tangannya di punggung anak keledainya seraya
berteriak: Tiga puluh Piester itu seekor ayam kalkun!
Beraninya kau menentang ucapan Beik!
Demi Allah aku takkan menjualnya kurang dari empat puluh Piester!
Kedua lelaki itu saling membentak dan tarik- menarik hingga hampir saja leher
anak keledai yang miskin itu terputus di tangan keduanya. Berakhirlah pertentangan itu
dengan kemenangan sang calo sukarela itu. Dengan paksa ia mengambil keledai itu
dengan tangannya, lalu menoleh kepadaku seraya berkata: Beik, berikan tiga puluh
Piester itu.
Sang penjual itu ragu-ragu dan ingin menolaknya, tapi lelaki itu menutup
mulutnya dengan tangannya seraya berteriak: Diam kamu! Tuanku Beik, berikan
uangnya dan terimalah anak keledai itu. Selamat ya! Jual beli yang halal!
Dia maju ke arahku sambil menarik keledai itu untuk menyerahkan kepadaku
ikatan merah yang menggantung di lehernya. Di sinilah kesadaranku kembali.
Perjanjian itu telah dilaksanakan meskipun sesungguhnya aku tidak menginginkannya.
Segala sesuatu telah berlalu dariku seolah-olah aku tak sadarkan diri karena harga yang
aku putuskan, yaitu tiga puluh Piester, tidak lain keluar dari mulutku tanpa pikir
panjang. Sebuah angka yang terucap dengan main- main, tapi hal itu menjadi sungguhan
dan anak keledai itu akhirnya menjadi milikku. Lalu apa yang akan aku lakukan
sekarang ketika aku masuk salon cukur ini, di manakah aku harus meletakkannya,
sedangkan aku tak punya rumah kecuali sebuah kamar dengan sebuah kamar mandi di
sebuah hotel yang terkenal?

Apalagi pada saat itu, di kantungku tak terdapat uang sejumlah tiga puluh
Piester. Pada pagi itu aku tidak membawa uang, kecuali surat berharga yang ingin aku
tukarkan dengan uang kecil. Semula aku berniat ingin menarik kembali perjanjian jual
beli itu, tapi niat tersebut tertahan, karena kedua penjual dan calo telah menyerahkan
keledai itu padaku.
Maka dengan kikuk aku berkata sambil menunjuk ke salon cukur: Tapi aku
ingin bercukur. Penjual koran itu segera menjawab: Silakan Tuan bercukur, dan aku
akan menunggu Tuan bersama anak keledai ini di depan pintu! Lalu aku berkata:
Tapi uang itu... Lelaki itu segera memotongku: Aku akan menuka rkannya segera di
kedai-kedaiku. Akhirnya kedua lelaki itu menutup jalanku, sehingga tak ada satu
perkataan atau alasan pun yang dapat menolongku. Aku berisyarat kepada keduanya,
dan mereka pun mengikutiku pergi ke salon cukur. Kemudian aku masuk dan berkata
pada tukang cukur untuk meminjamkan aku uang dari kotak uangnya. Dia pun
meminjamkannya, dan petani itu pun pergi. Penjual koran itu berdiri bersama anak
keledai itu di depan pintu salon cukur. Orang-orang yang lewat bergantian berkumpul
untuk memperhatikannya. Sedangkan aku sendiri, duduk sambil tercenung, bingung
memikirkan apa yang akan aku lakukan dengan bawaan ini.
Tukang cukur mulai menyabuni janggutku seraya memuji keindahan anak
keledai itu, dan berbicara tentang makanan atau perlakuan yang layak baginya.
Kemudian ia mulai membayangkan jikalau nanti anak keledai itu tumbuh besar, dan
dapat berlari bagaikan seekor kuda. Pelanggan salon lainnya menungguku dan
menyimpan segala tawa serta prasangka, yang terlintas di benak mereka. Sampai
akhirnya aku selesai bercukur, aku bangkit dan membayarkan surat berharga itu kepada
pemilik salon, dan dia pun mengambil haknya dariku.
Di luar, si penjual koran segera menemuiku seraya menyerahkan tali kekang
anak keledai itu kepadaku dan berkata: Lepaskan dia berlarian di padang rumput!
Aku berkata seolah ditujukan kepada diriku sendiri: Andai saja padang rumput itu ada,
pasti mudahlah permasalahan itu. Lelaki itu berkata: Lepaskan ia di atas loteng atau
di kandang bersama kambing. Aku berkata seolah aku tidak tinggal di hotel:
Bagaimana kalau kita melepaskannya di kamar mandi? Lelaki itu terbelalak: Kamar
mandi?! Tanpa komentar aku memerintahkan: Bawa dia ke penginapan."
Ya! Aku telah memikirkannya! Aku rasa anak keledai yang cantik itu tidaklah
lebih hina atau lebih aneh daripada seekor anjing yang kulihat dibawa oleh seorang
wanita berambut pirang tadi pagi. Jadi apa salahnya kalau dia pada hari ini
menemaniku, kujadikan tamuku, dan kubagi kamar dengannya hingga waktu Ashar.

Aku memang berniat untuk pergi hari ini -tepatnya pada waktu Ashar- ke sebuah desa
terdekat demi keperluan aneh yang akan kuceritakan kisahnya sebentar lagi. Jadi, dia
bisa tinggal bersamaku sampai nanti aku membawanya pergi ke ladang dan melepasnya
bermain, karena yang aku pikirkan hanyalah keperluan makanannya pada hari ini.
Tukang cukur tadi berbicara tentang makanannya, ia takkan makan kecuali susu karena
tukang cukur itu melihatnya seakan-akan baru lahir sehari atau dua hari lalu, dan ia
diharamkan dari tetek ibunya untuk dijual d i jalanan kota Kairo. Mungkin saja karena
kesusahan yang menimpa pemiliknya, karena seorang petani jika merasa lapar, ia akan
menjual segala sesuatu yang bisa dijual. Siapa yang tahu kalau anak keledai ini
merupakan akhir jalan cerita kesusahannya yang berkepanjangan?
Belum selesai aku melamun, lagi- lagi orang-orang mengerumuni kami. Aku
mengisyaratkan kepada penjual koran untuk segera membawa anak keledai itu dan aku
akan membuntutinya dari jauh. Lalu ia menarik tali kekang merah itu, dan anak keledai
tersebut hanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengetahui pergantian pemilik.
Aku hanya memperhatikannya dari jauh. Terkadang aku berfikir bahwa caranya
berjalan mirip denganku. Karena terbayang olehku, seolah-olah kepalaku terangkat dari
permukaan menuju angkasa luar yang tak terlihat, dan aku mengendalikan kehidupan
tanpa berkumpul dengan orang yang bersamaku atau mengetahui tujuanku.
Ya, cara jalanku terkadang sepertinya, pandanganku juga terkadang seperti
pandangannya yang kering terhadap dunia tenang yang aneh, dan pandangan itu telah
menghalangi manusia dari ketujuh pintu yang dicap itu. Ya Allah, ampunilah kelalaian
ini, karena aku telah menempatkan diriku untuk menyerupai makhluk aneh ini!

=2=

Kami pun tiba di hotel. Aku melirik seorang pelayan yang berdiri di depan
pintu, dan dia datang kepadaku. Dia adalah orang Noubi terpercaya yang biasa
membantuku, dan aku pun tak segan-segan untuk memberinya tips. Ketika ia sudah
dekat, aku menunjuk ke arah anak keledai yang dipegang oleh calo itu, dan
membisikkan

padanya

untuk

membawanya

melalui

tangga

pelayan

serta

meletakkannya di kamar mandi dalam kamarku. Lelaki itu terbelalak. Lalu kukeluarkan
kepingan perak dan meletakkannya di telapak tangannya. Maka dia pun segera tersadar
dari keheranannya dan bergegas untuk melaksanakan permintaanku yang hampir tak
masuk di akal. Dia menutupi anak keledai itu dan menggendongnya, lalu sambil

menoleh kiri dan kanan karena takut kalau ada orang yang melaporkannya kepada
Direktur hotel, ia seegra membawanya.
Lalu aku beralih ke si penjual koran. Ia sudah menungguku sambil menepuknepukkan tangannya untuk menagih upah. Aku pun memberinya kepingan perak
sehingga ia gembira dan berlalu seraya mengangkat tangannya ke langit, dan berdoa:
Semoga dengannya Tuhan membahagiakanmu, mengekalkannya untukmu, dan tak
menjadikan sakit hatimu! Dia menghilang di persimpangan jalan, sedangkan aku
hanya menatapnya tanpa mengetahui apakah ia mengejekku ataukah ia berkata dengan
sungguh-sungguh.
Aku memasuki hotel dari pintu utama dan berhenti sejenak di lobi, memandangi
para turis yang berlalu- lalang. Kemudian dengan lift aku naik ke kamarku di lantai
lima. Ketika memasukinya, aku menemukan segala sesuatu masih sama seperti saat aku
tinggalkan. Segalanya teratur di tempatnya. Buku-buku dan berkas-berkas di atas meja,
pakaian tergantung di dalam lemari, gramofon dan semua koleksi compact disc-ku,
serta vas-vas bunga di atas bufet, dan tanaman mawar anggun di beranda. Tak ada satu
pun yang menandai bahwa di tempat ini ada binatang tunggangan, sampai saat aku
menuju pintu kecil kamar mandi yang ada di kamarku, dan membuka pintunya. Saat
itulah aku melihat anak keledai itu berdiri dengan tenang di hadapanku! Sejenak aku
memperhatikannya dengan penuh ketakjuban, kemudian aku meninggalkannya dengan
tenang dan kembali ke kamar. Aku menekan tombol bel dan melepaskan lelah di kursi
besar yang terletak di samping pintu beranda. Tak lama terdengar ketukan pintu dan
muncullah pelayan. Aku berkata padanya: Satu cangkir kopi untukku dan susu
untuk... Tanpa sadar mataku mengarah ke kamar mandi. Tapi aku tak bisa melanjutkan
perkataanku karena pelayan ini belum tahu persoalan yang terjadi.
Dengan penuh hormat ia berkata: Untuk siapa?
Nanti kau juga akan tahu. Aku mengatakannya dengan terburu-buru dan
mengisyaratkan padanya agar segera melaksanakan permintaanku. Pelayan itu pergi
dan tak lama kemudian ia kembali dengan membawa nampan indah dari Kristopher,
yang di atasnya terdapat dua buah cangkir bersih dan dua teko. Dia meletakkan salah
satu cangkir dengan satu teko kopi di hadapanku, dan meletakkan cangkir yang satu
lagi beserta teko susu di sisi lain dari mejaku, kemudian ia menarik sebuah kursi untuk
diletakkan di dekat teko kedua itu. Aku tak dapat menahan senyuman. Keluarlah lelaki
itu dan menutup pintu dengan penuh kearifan, yang segalanya menandakan bahwa ia
telah paham, bahwa pelayan hotel itu telah terbiasa menghidangkan permintaan pada
waktu-waktu tertentu dalam keheningan yang aneh.

Tak ku biarkan diriku menyendiri. Dengan segera aku menuju kama r mandi
dengan membawa secangkir susu dan meletakkannya di atas karpet, tepat di bawah
mulut anak keledai itu. Aku menunggu kalau-kalau saja sahabatku ini menghirup satu
atau dua sedotan dari susu itu. Namun ternyata ia diam tak bergerak. Kedua matanya
memandangi cangkir itu tanpa peduli, sebagaimana mata seorang zuhud memandang
kehidupan dunia. Aku terkejut dan berkata sendiri: Ini mustahil. Walau bagaimanapun
tingkat kezuhudan filsuf ini, sesungguhnya secangkir susu tidak termasuk kemegahan
dan aku tak mengira bahwa makhluk kecil ini mampu menahan puasa dalam waktu
lama. Pasti ada suatu sebab. Aku tak dapat menemukan sebabnya karena aku baru saja
mengetahui watak aneh dari binatang ini. Karena segala pengetahuanku berkisar antara
sesuatu yang mereka sebut sebagai kemanusiaan. Yang mana menurutku hal itu tidak
akan peduli untuk menelan segala sesuatu yang disuguhkan kepadanya, baik itu yang
dapat dimakan ataupun tidak, bahkan daging saudaranya sendiri (ia makan_red), dia
selalu saja lapar dan haus pada sesuatu, dan dia tidak berbuat sesuatu kecuali untuk satu
tujuan tertentu, sampai-sampai shalat serta puasanya.
Akhirnya aku mengambil keputusan untuk meminta petunjuk dari tukang cukur,
karena sepengetahuanku dia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui dari
permasalahan ini. Dengan segera aku meninggalkan kamarku untuk turun ke jalan
menuju salon cukur. Tiba-tiba aku bertemu lagi dengan calo itu. Ketika ia melihatku, ia
langsung berteriak sambil tersenyum, dan berkata: Apa kabarnya?
Aku tertawa dan berkata padanya: Dengarlah hai..., siapa namamu?
Temanmu Dasuki.
Dengarkanlah hai Dasuki! Bukannya kamu bilang ia minum susu?
Benar, ia minum susu.
Apa pendapatmu kalau dia tidak mau minum, bahkan tak sedikitpun menoleh
ke cangkir?!
Lelaki itu terbelalak dan berkata: Cangkir?!
Aku menjawab: Iya, aku memesan untuknya secangkir susu...
Lelaki itu memotongku seraya berteriak: Kau memesan untuknya secangkir
susu!! Maaf ya, apa dia itu seorang turis?! Dia itu, tuanku Beik, seekor anak keledai
yang baru lahir dua hari... Dia menyusu langsung dari tetek ibunya... Maaf saja,
seharusnya ia itu harus memakai dot dari apotek!
Sekarang aku pun sadar akan kebodohanku seraya berkata: Iya benar, kamu
benar!

Aku tinggalkan dia dengan segera menuju apotek terdekat untuk membeli dot.
Apoteker itu bertanya padaku: Anak laki- lakinya berapa tahun umurnya?
Aku menjadi gugup dan berkata: Demi Allah, bukan anak laki- laki.
Apoteker itu berkata: Jadi anak perempuan?
Juga bukan anak perempuan.
Lelaki itu terbelalak, lalu bergumam: Bukan anak laki- laki juga bukan anak
perempuan, jadi apa. Apa ada jenis baru ketiga yang aku tidak tahu?!
Aku ingin meringankan keheranan orang itu, segera saja aku berkata:
Sebenarnya ia itu...
Iya saya paham, dia itu bukan anak bapak bukan?!
Anakku?! Tentu bukan, dia itu anak keledai kecil!
Anak keledai?? Oh, saya minta maaf!
Nampaklah penyesalan di wajah apoteker itu, dan dia pun segera mengambil
apa yang aku minta. Dia memberikan padaku sebuah botol besar yang di ujungnya
terdapat puting dari karet, dan berkata: Maaf, ini botol yang besar, cocok untuk anak
keledai yang sudah besar.
Aku pun tersenyum dan berkata kepadanya: Tidak perlu minta maaf.
Setelah membayarnya, aku segera membawa dot itu kembali ke hotel. Ketika
sampai di kamar, aku melihat pintu kamarku sudah terbuka. Aku teringat kalau aku
meninggalkannya sedemikian karena lupa. Dengan segera aku bergegas menuju kamar
mandi dan aku teringat juga kalau lupa menutup pintu kamar mandi sebelum
kepergianku. Aku melemparkan pandangan ke seluruh tempat, dan tak menemukan satu
tanda pun tentang keberadaan sahabatku. Aku pun terduduk heran. Ke mana dan
bagaimana ia bersembunyi? Mungkinkah ia diculik atau tersesat? Aku pergi ke lobi di
lantai itu, dan tiba-tiba aku mendengar tawa kecil keluar dari salah satu kamar. Aku
bergerak menuju suara itu hingga aku tiba di hadapan sebuah kamar yang pintunya
terbuka. Saat itulah aku melihat anak keledai tersebut sedang berada di hadapan cermin
tinggi di sebuah lemari pakaian sambil memperhatikan dirinya, sedangkan di
sampingnya ada seorang wanita berambut pirang tertawa terbahak-bahak.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berdiri mematung, tanpa satu
kata pun dapat terucap, hingga wanita itu berpaling ke arah pintu dan melihatku dengan
dot di tangan. Ia segera menghampiriku dan berkata: Maaf tuanku, apa dia...
Iya Nyonya, dia... Aku menggerakkan kepalaku mengisyaratkan akan adanya
hubungan antara aku dan anak keledai itu. Dia pun tertawa dan berkata padaku: Tadi
hampir saja terjadi guncangan di lantai ini. Tapi itu guncangan yang lembut. Dia

berjalan di lobi dengan tenang, dan memasuki tiap kamar yang didapatinya terbuka.
Lalu ia segera menuju cermin yang didapatinya, dan lama sekali berkaca di
hadapannya. Aku mendengar penghuni kamar sebelah menjerit kaget, karena ketika ia
sedang mengikatkan dasi di hadapan cermin, tiba-tiba ia melihat di antara kakinya ada
seekor anak keledai.
Wanita itu menceritakannya sambil tertawa sehingga aku pun ikut tertawa. Lalu
aku bertanya padanya: Lalu bagaimana ia bisa tetap tinggal di kamarmu?
Dia menjawab: Jadi, menurutku dia lari dari selangkangan kaki tetangga itu
karena takut akan jeritannya... Karena itu ia berlari menuju pintuku dan masuk tanpa
izin. Ketika ia melihat cermin, mulailah ia berkaca tanpa memberiku kesempatan.
Aku pun berkata: Alangkah bodohnya dia! Begitulah keadaan kebanyakan para
filsuf! Mereka mencari diri mereka dalam setiap cermin, dan tidak memberikan
kesempatan yang indah untuk berpaling!
Wanita itu tersenyum simpul sebagai tanda persetujuannya atas perkataanku.
Namun tiba-tiba parasnya berubah serius dan berkata: Benar, aku tak tahu mengapa ia
begitu memperhatikan persoalan ini.
Aku pun berkata: Menurutku, ia lupa akan dirinya dan mengingkari persoalan
benda, karena sampai jam ini, ia belum diberi makan apa pun.
Wanita itu menunjuk pada dot di tanganku. Kamu belum menyuguhinya susu
sedikit pun?
Aku sudah menyuguhinya, tapi dia tidak mau. Lalu aku menceritakan apa
yang aku lakukan, dan dia pun menertawai diriku sebagaimana tertawanya sang calo,
dan berkata: Tuanku, sepertinya kau belum pernah menjadi seorang bapak.
Aku berkata: Anda benar Nyonya, inilah awal kehidupanku menjadi seorang
bapak.
Ia menjulurkan tangannya dan meminta dot itu dariku seraya berkata: Jika kau
mengizinkan, bolehkah saya menggantikanmu untuk melakukan pekerjaan ini? Karena
sesungguhnya wanita itu lebih berhak untuk melakukannya.
Itu adalah pertolongan besar dan kebaikanmu Nyonya, takkan aku lupakan.
Aku mengucapkannya sambil meninggalkan anak keledai itu bersama alat makannya
dan sedikit susu yang kubawakan untuknya, kemudian aku pergi untuk mengurus
kembali pekerjaanku seraya bersyukur.

=3=

Urusan yang mengharuskan aku pergi ke desa pada hari itu sangatlah berat
karena keanehannya. Mungkin kau bertanya-tanya tentang keanehan tersebut.
Karenanya, akan aku ceritakan kisah tersebut di sini.
Sejak seminggu yang lalu, tepatnya pada waktu Ashar, bersama udara yang
sangat panas aku duduk menghadap beranda untuk menghirup udara segar yang
bertiup. Tiba-tiba terdengar deringan telepon di sampingku. Aku mengangkatnya
dengan tangan yang lemas tanpa bergerak dari tempatku. Aku mendengar operator
hotel itu menyambungkan aku dengan suara lain di luar, suara seorang lelaki yang
berbicara dengan bahasa Perancis, dan meminta waktu padaku untuk bertemu
dengannya.
Aku bertanya padanya tentang maksudnya bertemu denganku. Dia berkata
bahwa dia adalah wakil dari perusahaan film yang ingin berbicara denganku perihal
pekerjaan ini. Lalu aku membuat janji untuk bertemu dengannya sore hari itu di lobi
hotel.
Pada saat yang dijanjikan, aku bertemu dengannya. Ternyata ia adalah seorang
pemuda berambut pirang tanpa kumis, dan berpenampilan rapi. Dia menyapaku dengan
hormat. Kami lalu duduk bersama, dan ia mulai berbicara dengan lancarnya tentang
kaset film yang kebanyakan proses syutingnya diambil di pedesaan Mesir. Dia
langsung memilih para aktor dan aktrisnya dari para petani yang tinggal di pedesaan itu
tanpa mengambil para aktor profesional Mesir, agar ia mampu meyakinkan kejujuran
dalam pengambilan gambar. Kesemua itu telah dibungkus dalam satu bingkai sinema
yang telah selesai dibuat. Dan yang bertanggung jawab atas pendanaan produksi ini
semua adalah perusahaan perfilman Perancis.
Aku memotong pembicaraannya dengan lembut. Lalu apa yang kalian
inginkan dariku setelah semua penjelasan ini?
Dia berkata: Dialog.
Kemudian ia mengeluarkan dari tas kecil, sebuah skenario cerita yang ditulis
dengan mesin ketik, satu rangkap dengan menggunakan bahasa Inggris dan satu lagi
dengan bahasa Perancis yang keduanya diberikan padaku, lalu dia berkata: Demi
memudahkanmu, berikanlah padaku kesempatan untuk menyederhanakan kisah itu
dalam dua kata. Dia pun memaparkan cerita panjang lebar yang tak dapat aku bedakan
mana awal dan akhirnya. Tabiatku adalah tidak dapat tahan mendengarkan orang
berbicara lebih dari lima menit. Setelah itu aku melanglang buana di lembah, melayang
di angkasa, kemudian lupa akan keberadaanku dan orang di sekelilingku. Aku berada
dalam keadaan linglung. Dan, hal itulah yang menghalangiku untuk mendengarkan

orasi penting. Hal itu kerap kali mengagetkanku, karena ia bisa hadir, bahkan pada saat
aku berada di arena perfilman dan pencarian buku.
Aku membayangkan bahwa asal pikiranku adalah bagai gas yang banyak, yang
mana aku harus berusaha untuk mengumpulkannya. Jika aku lengah sedikit saja, maka
ia akan lepas dariku dan kembali seperti semula. Oleh karena itu, aku tak dapat
berkonsentrasi pada lelaki di hadapanku, kecuali setelah ia mengisyaratkan bahwa
kisahnya telah selesai.
Permasalahan yang aneh bukan?
Iya, aneh sekali. Aku mengatakannya seolah-olah aku memperhatikan, karena
suaraku terdengar begitu bersemangat. Namun sesungguhnya saat itu aku sangat jauh
dari semangat untuk segala sesuatu. Kemarau bulan Juni, pekerjaanku sepanjang tahun,
dan segala kejadian yang menjumpaiku selama itu, telah menghancurkan perasaanku.
Telah menjadikanku seseorang yang tak berguna kecuali duduk di atas kursi sambil
berpikir tentang kapal-kapal laut, menyiapkan acara-acara musim panas di Eropa, serta
mencari peninggalan sejarah Tuskanini dan Bruno Voltaire. Tak pelak lagi, permintaan
produksi film ini akan membuatku sangat gembira jika diajukan dua bulan sebelumnya.
Jadi, kalaulah sinema itu adalah buatan ujung jemariku sendiri, maka jumlah halaman
perbincangan skenario dapat dipastikan tak akan melebihi sepersepuluhnya, seperti
halnya jumlah halaman yang sekarang ia letakkan di hadapanku. Tetapi, karena kurang
beruntung, pada hari itu aku berada dalam keadaan terkejut, yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Kalaupun seseorang memintaku untuk menghembuskan nafas, aku akan
merasa terkekang karenanya. Pada waktu itu segala kebencianku telah terkumpul pada
sesuatu yang bernama: penulisan dan segala sesuatu yang butuh penulisan. Maka
penulisan surat adalah bencana besar, penulisan kartu adalah musibah, dan penulisan
makalah bisa menyebabkan aku melakukan kejahatan. Ketika lelaki lain meminta
pendapat padaku tentang pekerjaan itu, dengan terus terang aku meminta maaf karena
tak dapat melakukannya. Musim pekerjaan telah usai, aku telah menetapkan waktu
bepergian, dan segalanya telah selesai. Lelaki itu bertanya padaku: Kapan kau pergi?
Pada permulaan Juni.
Baik sekali, di depan kita masih ada satu bulan dan ini suda h cukup bagi kita.
Selesailah pertemuan kami dan lelaki itu pun pergi dengan meninggalkan kedua berkas
itu untuk aku pelajari lebih lanjut. Dia optimis kalau hanya dengan membaca kisah itu
akan timbul dalam diriku keinginan untuk membuat dialog. Dia pergi untuk kembali
lagi padaku pada waktu yang telah ditentukan. Aku membawa berkas riwayatnya dan

meletakkannya tertutup sebagaimana mestinya dengan segala isinya; pahlawan


kebaikan dan kejahatan yang tidak kuketahui, tertidur tanpa kubangunkan.
Sampai kemudian ia datang padaku pada hari berikutnya, dan berbicara perihal
pekerjaan mereka serta bertanya tentang keadaan desa. Aku hanya menjawab dengan
jawaban seadanya sambil berusaha menutupi kebosananku demi menghormatinya.
Lelaki itu aneh! Dia masih saja terus berusaha untuk meyakinkan diriku meskipun aku
telah menolak. Aku telah mengatakan padanya bahwa aku siap untuk memberitahukan
segala kabar tentang pedesaan, asalkan hal itu dilakukan pada waktu yang
memungkinkan kami untuk bertemu. Tapi dengan cara mengik at kontrak kerja yang
ditanyai pada waktu tertentu, itulah perlakuan yang aku tidak suka. Kemudian aku
merekomendasikan seorang penulis

yang aku ketahui salah seorang yang

berpengalaman dalam pekerjaan ini. Wajah lelaki itu memerah seraya berkata:
Perusahaan ini hanya menyebutkan namamu.
Aneh! Aku katakan itu dengan wajah heran.
Lelaki itu berkata: Sungguh perusahaan inilah yang telah memegang banyak
produk riwayat-riwayat Imil Zola dan menyebarkan produk Zola -yaitu gedung
Syarbantih milik Faskil dan perusahaannya. Dari gedung inilah salah satu kisahmu
telah tersebar, sehingga mengantarkan kami padamu ketika kami membutuhkan
seorang penulis Mesir yang menuliskan dialog pedesaan.
Di sinilah hilang ketakjuban itu. Memang aku ingat bahwa di permulaan ta hun
itu datang padaku dengan cara yang sama, dua permohonan dari dua perusahaan
perfilman Perancis. Keduanya meminta padaku agar mereka dibolehkan untuk
menyadur kisah ini. Ketakjubanku pada waktu itu adalah terhadap cara mereka
mengetahui alamatku.
Semua ini bagus. Tetapi maaf, semua itu tidak menggoyahkan sikapku.
kataku pada lelaki itu. Lalu ia pun memandang lama wajahku, seolah-olah mengalir di
pikirannya bahwa aku menyimpan sesuatu. Kemudian ia bangkit sambil mengharap
padaku untuk memikirkannya sekali lagi, lalu ia pergi setelah mengatakan akan
kembali lagi.
Ia benar-benar kembali pada hari berikutnya. Kali ini ia tidak sendiri. Seorang
lelaki lain menemaninya. Ia mengenalkan aku padanya seraya mengatakan bahwa ia
adalah penanggung jawab keuangan dan kepegawaian, khusus untuk film ini.
Kemudian mereka berdua mengeluarkan dari tas, beberapa permohonan dan berkas.
Berkata padaku lelaki aneh itu: Aku lupa mengatakan padamu bahwa perusahaan di
Perancis benar-benar telah mengikat perjanjian dengan penulis Perancis ......... untuk

menuliskan istilah Perancis untuk dialogmu. Karena dialog itu tentunya akan tetap
dalam aslinya, yaitu berbahasa Arab jika dibuat dalam kaset Arab, tapi kaset Perancis
tentunya ......... akan menentukan istilahnya secara menyeluruh setelah kami
mengirimkan padanya terjemahan utama. Dan inilah contoh perjanjian yang telah ia
tanda tangani!
Dia menyerahkan perjanjian itu padaku. Pandanganku jatuh pada jumlah uang
yang didapatkan penulis untuk melaksanakan pekerjaan ini: tiga puluh ribu Frank.
Kemudian kulihat pula persyaratannya, yang di antaranya adalah: mengumumkan
namanya di atas papan perak dengan huruf yang besarnya sama dengan besar huruf
nama sutradaranya. Aku tersenyum melihat dunia yang baru bagiku ini, yang aneh
pemikirannya, gejolaknya, dan keinginannya! Lelaki itu tidak berlama- lama denganku.
Segera ia mengambil berkas dari temannya, dan menyerahkannya padaku seraya
berkata: Dan ini adalah perjanjian yang kami mohon Anda bisa membubuhi tanda
tangan di atasnya. Aku melihat berkas itu. Ternyata tertera berbagai macam pasal yang
diketik dengan menggunakan bahasa Perancis. Di atasnya tercetak kop nama
perusahaan, dan di bawahnya tanda tangan perwakilan perjanjian. Dan aku melihat
pada jumlah uang, ternyata jumlahnya hanya lebih sedikit dari yang diberikan kepada
penulis Perancis yang tidak banyak berbuat itu. Telah diperhatikan besarnya huruf
nama antara aku dan dia -perihal yang membuatku tersenyum sekali lagi- senyuman
yang bercampur dengan perasaan takjub dan rela.
Suatu hal yang membuatku untuk berpikir sedikit adalah pasal terakhir. Di sana
disebutkan bahwa perusahaan akan segera membayar uang muka yang jumlahnya agak
banyak pada saat penandatanganan kontrak. Di sini aku mulai memperhatikan
permasalahan secara keseluruhan dengan sungguh-sungguh, seraya berkata dalam hati:
Hanya satu cara untuk mendapatkan dua ratus Pound, yaitu dengan membubuhkan
tanda tanganku di sini.
Pada saat itulah aku mulai merasakan kekuatan harta, dan aku mengetahui
bahwa harta itu terkadang mampu menentukan pengambilan suatu keputusan, bahkan
dalam permasalahan sastra, pemikiran, ataupun kesenian. Ya, mengapa tidak?!
Kalaulah orkestra Bethoven di London tidak di dasari oleh uang lima puluh Pound,
tentu takkan dibuat Symphoni kesembilan! Kalaulah seorang seniman itu tidak
memerlukan harta untuk hidup, terkadang ia memerlukannya untuk menghasilkan
karya. Jadi, seniman itu terkadang bagaikan seorang wanita cantik yang harus
mengambil cara-cara yang menghanyutkan! Sesungguhnya wanita jika tidak dic intai
dari lubuk hatinya, maka ia harus menggoda dengan gemerlap emas, dan seniman jika

belum terpancar dari jiwanya sesuatu, maka ia harus membuka jalan dengan kapak
emas. Itu adalah perilaku aneh yang tak ada hubungannya dengan kepribadian,
kekerasan, ataupun tamak akan kemegahan. Hal itu terkadang adalah sesuatu yang
masuk dalam rahasia jiwa manusia. Sesungguhnya hati seniman dan hati wanita,
keduanya terdapat peti sihir yang tak dapat terbuka sendiri dengan sekali lewat,
melainkan harus dengan membakar banyak dupa di hadapannya.
Satu hal ini sajalah yang membuatku menyimpan perjanjian itu dalam waktu
lama, dan aku merasa kalau aku takkan melepaskannya kecuali setelah aku tanda
tangani, tanpa terbayang olehku pekerjaan apa yang akan aku lakukan pada waktu itu,
juga tanpa memikirkan apakah aku mampu menuntaskannya dalam jangka waktu yang
terbatas itu. Meskipun demikian, aku sebenarnya tidak begitu memerlukan uang
tersebut. Karena, tak kurang dari sepuluh hari lalu aku telah menerima sejumlah uang
karena persoalan yang persis seperti persoalaan ini; yaitu ketika seorang pedagang buku
terkenal bernama Haji ......... ingin membelikan buku-buku untukku, dan perdagangan
ini telah berlangsung antaranya dan penanggung jawab buku-buku tersebut. Ya, hal itu
merupakan tabiat malasku, hingga aku tidak menghiraukan permasalahan sepele seperti
ini. Akhirnya, aku dinobatkan sebagai seorang wakil yang menangani permasalahan
percetakan, pendistribusian, penghasilan, jual beli, dan segala rincian yang aku
usahakan untuk mengumpulkannya. Wakilku itu telah tahu bahwa aku tak peduli
dengan persoalan seperti ini, jadi ia tak pernah meminta perhitungan sedikitpun, dan
aku sendiri tak pernah memperhitungkannya. Yang penting ia memberikan jumlah uang
yang aku inginkan sewaktu aku perlukan. Adapun sisanya, aku tak menghiraukannya
karena dia tahu bagaimana cara mengatur segala sesuatu bersama para pedagang buku.
Hingga sampai pada hari itu, seorang Haji melangkahinya dan mendatangiku secara
langsung. Tanpa aku lihat wajahnya, aku langsung membentak: Penawaran dan
perhitungan dengan Muhammad Afandi...!
Maka berdirilah dia dengan tubuhnya yang besar, mengenakan pakaian
tradisional sambil menyelempangkan jubah beratnya di pundaknya, dan kedua matanya
-yang tak pernah kulihat dalam keadaan sehat- memerah. Dia berkata padaku dengan
logat tradisionalnya yang aneh: Subhanallah? Memangnya ada orang yang bicara
tentang penawaran atau perhitungan? Hai Ustad z, bershalawatlah untuk Nabi dan
mintalah untuk kita secangkir kopi tawar!
Aku pun meminta kopi dan Haji itu duduk berbicara tentang beberapa cerita
lembut menggelitik, yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan yang dibawanya.
Haji itu seorang pembicara yang aneh lagi hebat. Pendengar takkan bosan dengannya.

Ia juga terkenal sangat pandai dan cerdik. Sekali waktu ia berbangga diri bahwa dia itu
adalah seorang lelaki yang tekun. Dia mampu dengan sendirinya mengumpulkan
kekayaan tak kurang dari lima ribu Pound, dan dengan kecakapannya ia mampu
menguasai perdagangan buku di seantero dunia Arab. Dia berbicara tentang
perwakilannya di Sanad, India, Srilanka, Pesisir emas, Barat jauh, dan Timur bawah,
bagaikan seseorang yang penuh pengalaman. Dia tidak melupakan andilnya dalam
penyebaran buah pemikiran kita kepada akal manusia di seluruh tempat tersebut, dan
menyebarkan sastrawan Mesir serta karangan-karangannya ke negara- negara yang
sebelumnya tak terpikir dapat dimasuki.
Dialah Napoleon buku. Dia membuka tanah yang jauh dan mengutus bala
tentara kotak-kotak besar, yang di dalamnya terdapat hasil dari para sastrawan serta
ulama pembawa pemikiran penting yang berlimpah.
Kemudian ia bercerita perihal keberangkatan ibadah hajinya yang terakhir, dan
apa yang ia lihat di negeri Hijaz. Haji itu menunaikan ibadah haji tiap tahun, agar dapat
memohon berkah kepada Allah untuk dirinya dan seluruh perwakilannya. Jadi dia
bekerja untuk akhiratnya seolah-olah ia akan mati besok, dan bekerja untuk dunianya
seolah-olah ia akan hidup selama- lamanya.
Dia masih saja terus bercerita hingga aku merasa telah hanyut di dalamnya.
Yang dapat kulakukan hanyalah tersenyum, dan aku merasa telah melupakan segalanya
kecuali cerita indah tersebut. Pada saat itu, ia merogoh dadanya dan mengeluarkan
kantung plastik besar. Dikeluarkannya lembaran uang sepuluhan Pound seraya
menghitungnya dengan suara tinggi, Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh,
lima puluh. Aku akhirnya mengetahui maksudnya. Segera saja kubentak ia, Apa yang
kamu lakukan Haji! Aku bilang penawaran itu dengan Muhammad Afandi... Dia tidak
menoleh padaku dan berlalu begitu saja. Sambil terus menghitung uang ia berkata, Hai
Ustadz, sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar! Enam puluh,
tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh, seratus... Aku takut hal itu berakhir
buruk, maka aku kembali membentak, Pak Haji, kumohon! Bapak tahu kalau aku
membenci perhitungan. Dia membiarkan aku berteriak semauku dan terus
mengeluarkan uang serta menghitung. Seratus dua puluh, seratus tiga puluh, seratus
empat puluh, ... lima puluh, enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh,
dua ratus...
Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku hanya tak menghiraukan
kelakuannya. Tetapi lama-kelamaan, aku tak bias menahan diri untuk tidak melirik, dan
tanpa sengaja aku melihat lembaran uang yang sedang dihitungnya. Begitu pula

telingaku tak pernah lepas dari kencangnya suara hitungannya. Ia terus menghitung.
Dan, ketika hitungan itu lewat dari dua ratus, perlawananku mulai menurun, gejolakku
menenang, dan saraf-sarafku mulai melemah. Akhirnya kudengar ia berkata, Dua ratus
tujuh puluh Pound. Ambil dan hitung kembali. Aku melirik ke kantung plastik di
tangannya yang hampir kosong, dan hanya tertinggal beberapa lembar pound untuk
keperluannya. Aku tak mampu menahan diriku. Dengan segala kekuatan kurampas
kantung plastik itu dan berteriak. Demi Allah, kau takkan keluar dari sini dengan
sepeser pun! Aku pun mengosongkan segala yang ada di kantung plastik itu, dan aku
dapatkan di dalamnya tiga lembaran lagi dan beberapa uang koin. Dia berteriak padaku,
Baiklah Ustadz, sisakan untukku ongkos delman.
Ongkos delman cuma tiga Piester!
Aku berikan padanya yang ia minta, dan dia berkata, Tiada daya upaya kecuali
hanya kepada Allah. Kemudian ia mengambil surat untuk Muhammad Afandi agar ia
dapat mengambil buku-buku yang ia butuhkan, lalu ia pun pergi. Selang dua hari
kemudian, datanglah Muhammad Afandi berteriak padaku, Haji itu melakukannya?
Melakukan apa?
Buku-buku yang harganya lebih dari lima ratus Pound dia beli hanya sekitar
setengah harga!
Kemudian ia menceritakan perihal perundingan mereka berdua pada hari yang
lalu, dan mengatakan bahwa ia menolak membayar apa yang telah diambilnya dengan
harga empat ratus Pound. Dia terus mengambil harga itu dengan harapan, andai saja
aku tidak mendengarkan Haji itu atau menanyakan kembali pendapatnya sebelum
memutuskan kesepakatan seperti ini. Aku menghilangkan kepercayaannya, sedangkan
ia adalah orang yang dipercaya. Rasa iba menimpanya ketika ia tahu bahwa aku
melakukan pekerjaanku dengan menggunakan perasaan,

yang mana hal itu

bertentangan dengan kepentingan. Bagai orang gila dia terus mengulang-ulang,


Mustahil! Setengah harga itu hal yang mustahil!
Aku memandanginya dan tersenyum. Aku ingin menenangkan keadaan dengan
berkata: Benar mustahil! Agar kau tahu bahwa aku terkadang melakukan sesuatu yang
mustahil!
Muhammad berkata, Maaf, bukankah Tuan hanya bisa menulis buku saja. Saya
mohon Ustadz, sebaiknya kamu mengarang saja dan jangan melakukan yang lainnya.
Aku pun tertawa dan meredakan kegelisahannya. Aku me ngakui kesalahanku
dan menceritakan alasanku padanya, serta mengatakan kelemahanku di hadapan
kecerdikan Haji itu. Dia telah membius sarafku dengan lembaran-lembaran itu, yaitu

ketika ia mengeluarkannya dari dalam kantung plastik di hadapanku, bagaikan seo rang
pawang yang mengeluarkan mantra-mantra dari kantung plastiknya untuk membius
saraf-saraf ular.

=4=

Aku telah menandatangani kesepakatan, dan lelaki berambut pirang yang rapi
itu banyak berselisih denganku karenanya. Aku tak tahu apa kedudukan sebenarnya
dalam pekerjaan itu. Sebagaimana yang aku tahu, lelaki itu adalah sutradara film
tersebut, atau mungkin juga perwakilan dari manajer kantornya. Dengan perkiraan ini
dia ingin aku mengkhususkan waktu untuk bertemu. Lalu aku menetapkan waktu antara
jam empat sampai jam enam sore setiap harinya -yaitu waktu yang biasa dihabiskannya
berbaring di atas sofa besar.
Ketika ia datang kami saling bertukar pikiran tentang keadaan pedesaan Mesir.
Aku menyumbangkan beberapa gagasan, sementara aku dalam keadaan a ntara sadar
dan mengantuk. Aku mengundangnya untuk berkumpul di beranda kamar sambil
menghirup udara segar, daripada di dalam lobi atau ruang konferensi yang penuh
dengan kepengapan. Dengan demikian, aku tetap duduk di sofaku tanpa berpindah
tempat, sebagaimana biasanya. Hanya saja ada yang tidak berubah setiap kali kami
mulai membicarakan persoalan, yaitu perasaan lemas, kebodohanku akan rincian alur
kisah yang ia utarakan padaku berkali-kali, dan kemalasanku untuk menelaah kembali
skenario hingga akhir. Semua itu tak bisa kudapatkan obatnya.
Kunjungan dan perbincangan kami telah berlalu satu pekan dan kami belum
berbuat apa-apa. Akhirnya aku merasa malu dengan keadaanku dan dengan kesabaran
sutradara itu. Hingga pada suatu hari yang panas ketika ia sedang menjelaskan tentang
kepribadian seorang pelaku utama dalam kisahnya, aku berkata padanya, Maaf, pasti
engkau telah putus asa denganku sebagaimana aku telah putus asa dengan diriku
sendiri!
Dia menjawab dengan tersenyum, Aku? Putus asa?! Seorang sutradara yang
putus asa tak berhak mendapat gelar sutradara. Pembuatan film itu memerlukan
kesabaran yang tiada habisnya. Tidak! Jangan takut! Aku takkan putus asa darimu.
Yang terpenting adalah bahwa aku hanya memerlukan sedikit waktu. Sesungguhnya
seorang sutradara harus selalu memulai menyulam cuaca yang menyelubungi para aktor
dan pembantunya. Dia harus menggiring mereka langkah demi langkah menuju dunia
kisah, zamannya, dan tempatnya. Kemudian setelah itu ia harus menundukkan mereka

secara tersembunyi ke bawah kendalinya, sebagaimana halnya sedang menhpnotis


orang."
Tanpa sadar aku menguap sambil berkata padanya, Benar, buktinya kamu
datang padaku setiap Ashar sejak seminggu lalu untuk menidurkanku!
Langsung saja ia menoleh padaku sambil tersenyum, Yang kau maksud dengan
tidur itu apa?!
Maaf, sesungguhnya maksudku...
Tidak apa-apa, tidak apa-apa. dia mengatakannya sambil tertawa. Kita
mungkin bisa lebih bersemangat kalau meninggalkan kamar ini dan meletakkan diri
kita di tempat berlangsungnya kisah itu.
Kemudian aku diberitahu bahwa mereka sesungguhnya telah menemukan desa
kecil di jalan al-Badrasyin, setengah jam berkendaraan dari kota Kairo. Mereka
menyewa sebuah rumah bagus yang telah dikosongkan pemiliknya, yang terdiri dari
dua tingkat. Mereka telah mengirim orang yang bertugas untuk membenahi tempat itu
hingga layak untuk melakukan syuting film. Dia mengatakan bahwa dia harus tinggal
di tempat itu sebanyak mungkin untuk dapat merasakan suasana pedesaan
sesungguhnya, serta mampu memilah- milah alur kisah itu atau para lakon yang diambil
dari para petani itu. Dia memulai pembahasannya dengan sudut pandang pengambilan
gambar, lalu menutup perkataannya seraya berkata, Andai saja kau ikut serta dan
tinggal bersama kami di desa itu.
Aku tak dapat menahan diriku dan segera berkata, Itu mustahil. Aku punya
pekerjaan di Kairo yang tak mungkin aku tinggalkan.
Lelaki itu meminta maaf, lalu mencoba untuk memberikan jalan keluar, yaitu
dengan menawarkan sebuah kendaraan yang akan membawaku pulang-pergi Kairo
setiap harinya, asalkan aku bersedia meluangkan sebagian besar waktuku bersama
mereka di desa itu. Dia juga meyakinkan padaku bahwa kenyamananku di rumah desa
itu akan terpenuhi, dan mereka akan menyediakan untukku sebuah kamar yang paling
bagus. Dia juga menyebutkan bahwa kamerawan bersama istrinya telah tinggal di
rumah itu sejak awal penyewaan, dan mereka sangat bahagia tinggal di sana.
Ucapan itu berlalu begitu saja dan aku tidak mau lagi mendengarkan apa yang
dia ucapkan. Karena sebutan desa dan hidup di sana membuatku risih semenjak aku
tinggal di sana beberapa tahun lalu, yang tak pernah akan terlupakan dalam sejarah
hidupku. Sesungguhnya bayangan pedesaan yang aku bawa sangatlah menyakitkan,
meskipun dulu aku menyukai kejiwaan pedesaan yang tulus dan ruh petani yang mulia.
Tapi aku membenci pemandangan pedesaan yang buruk dan kehidupan petani yang

jorok. Maka aku berkata pada lelaki itu, Aku tidak harus ikut bersama kalian, cukup
bagiku naskah kisah di hadapanku ini sambil menuliskan dialognya di dalam kantorku
ini." Tetapi lelaki itu terus saja mendesakku, hingga aku merasakan kalau ada sesuatu
yang lain selain perbincangan yang ia maksudkan dariku dan dari keberadaanku di
dekatnya, yaitu pengetahuan dan penjelasan tanah, manusia, dan tukar pengalama n
yang dia kira bias kuberikan di setiap episode pekerjaan ini. Segalanya berakhir dengan
isyarat jelas untukku, bahwa ia sedih dengan sikapku. Dia memohon padaku agar aku
dapat membantunya dalam pekerjaan sekuat mungkin. Bukan karena perjanjian yang
telah mengikatku dengan mereka, tapi demi kesenian dan persahabatan yang mulai
terjalin antara kami. Ucapannya mulai menyentuhku. Aku memikirkan apa yang
mungkin dilakukan. Maka aku menawarkan untuk bersama mereka di desa itu pada
malam Jum'at hingga paginya setiap pekan, dan agar ia selalu mengontakku dengan
surat atau telepon sepanjang pekan, untuk menanyakan segala sesuatu yang ia
butuhkan. Dia pun menerimanya. Lalu aku menanyakan kapan perjalanan itu akan di
mulai. Dia berkata, Jika kau bisa, mulai hari Kamis depan. Yakni pada hari aku
menemukan anak keledai itu. Demikianlah terbersit di benakku untuk membawanya
bersamaku ke desa pada hari itu.

=5=

Kutinggalkan anak keledai itu bersama wanita berambut pirang dengan penuh
ketenangan. Aku percaya bahwa ia telah berada di tangan lembut yang menyayanginya,
dan aku berharap kalau saja aku yang berada di posisinya. Terkadang aku berlebihan
terhadap beberapa hal, dan kebencianku mendorongku untuk tidak dapat menahan
akibatnya. Maka aku kuatkan keinginan untuk lari dari muka wanita itu sampai tiba
waktu bepergian di sore hari ini, karena aku takut titipanku akan dikembalikan sebelum
waktunya kubawa keledai itu pergi ke desa, sehingga aku harus menahan bebannya
sedangkan aku sendiri tak mampu memikul beban diriku sendiri. Aku tinggalkan hotel
untuk pergi makan siang di salah satu kedai di kota, dan takkan kembali kecuali pada
waktu yang tepat.
Tepat pada jam tiga aku kembali ke kamarku. Belum sempat aku duduk di
kursi, tiba-tiba telepon berdering sebagai tanda kedatangan sutradara itu. Aku
memanggilnya untuk naik, dan ternyata dia datang dengan pakaian perjalanan; yaitu
celana berkantung selutut, baju lengan pendek, dan topi besar yang terbuat dari
dedaunan.

Segala sesuatu telah siap berangkat, dan kendaraan di pintu hotel sedang
menunggu. katanya.
Aku bangkit dan melihat tampangku di cermin seraya berkata, Penampilanku
akan tampak berbeda sendiri di antara kalian.
Berpakaianlah sepertiku!
Dari mana aku mendapatkan pakaian seperti ini sekarang?
Ya... kau dapat membelinya di jalan nanti katanya. "Ayolah!"
Segera kubawa tas kecil yang telah kupersiapkan sejak pagi hari tadi. Di
dalamnya terdapat berbagai kebutuhanku yang cukup untuk satu malam di luar. Aku
membunyikan bel dan meminta tolong pelayan untuk menurunkannya ke bawah.
Sebelum pelayan itu datang, aku ingat bahwa Nona berambut pirang itu telah berputarputar mencariku setiap waktu dan aku pun tahu sebabnya.
Aku menoleh kepada sutradara itu seraya berkata, Apa mungkin aku membawa
seorang teman dekat?
Karena sutradara itu telah mendengar pelayan tadi mengatakan kalimat
Madmozel (Nona_pen.), langsung saja ia menjawab, Tentu saja, kamarku di rumah
desa itu cukup untuk dua ranjang!
Ia melontarkan senyuman penuh makna, sehingga aku paham akan maksudnya.
Sejenak aku terdiam, lalu berkata, Lebih baik bagiku untuk segera memperkenalkan
sahabatku itu. Kemudian aku meminta izin untuk pergi ke kamar sebelah.
Dia duduk di kursi besar menunggu kedatanganku. Aku pergi bersama pelayan
ke tempat wanita itu, dan mengetuk pintunya dengan lembut. Ia membukanya. Ketika
ia melihatku, langsung saja ia berteriak sambil tersenyum, Nah! Akhirnya kau muncul
juga! Hampir saja aku putus asa dengan lelaki aneh yang meninggalkan anak
keledainya kemudian menghilang!
Maaf Nyonya, sesungguhnya aku ingin membiarkan anak keledaiku itu
senantiasa dalam kelembutanmu selama mungkin!
Ia tersenyum dan berkata dengan gugup, Maaf saja, aku tak mampu berbuat
apa-apa untuknya. Aku telah menanyakanmu untuk memberitahukan bahwa dia
menolak minum susu itu dengan cara tersebut juga. Jadi menurutku, dia harus menyusu
dari induk keledai yang baru saja melahirkan. Aku sedih dengan binatang miskin ini!
Dia pasti akan mati kelaparan jika tidak segera mendapatkannya.
Segera aku berkata, Aku akan mencarinya di pedesaan, dan untung saja aku
sekarang akan berangkat. Aku mengatakannya sambil mataku mencari keberadaan

anak keledai itu. Aku menemukannya sebagaimana saat kutinggalkan, yaitu di depan
cermin besarnya sambil berkaca memperhatikan dirinya dengan seksama.
Aku berkata padanya, Apakah kau memperkenankan aku untuk membawa
Filsuf ini?
Sambil tersenyum ia menjawab, Tentu saja, duh Filsuf!
Aku mewakili dirinya mengucapkan terima kasih pada Nyonya, dan aku
sendiri juga berterima kasih karena kebaikanmu. Aku takut kalau saja hal ini
membebanimu sebagaimana kebanyakan para filsuf itu membebani si cantik yang
lembut.
Sambil memberikan tali kekangnya ia berkata, Sebaliknya, aku senang ketika
bersamanya. Good bye! Ia mengisyaratkan dengan tangannya isyarat perpisahan yang
aneh kepada seekor binatang kecil, lalu meninggalkannya.
Aku segera menggiring keledai itu masuk ke kamarku untuk menemui sang
sutradara. Kenalkan, sahabatku...
Lelaki itu segera berdiri dan berbalik. Ketika tiba-tiba ia menemukan seekor
anak keledai, ia terkejut dan tersenyum. Kemudian ia tertawa senang lagi takjub. Ia
menerimanya sambil mengusap- usap kepala kecilnya dengan telapak tangannya.
Selamat datang sahabat! Pasti saja dia itu asal wahyumu.
Saya harap begitu...
Kelakuanmu menakjubkan, siapakah namanya?
Aku belum memutuskan nama untuknya, tetapi aku suka memanggilnya
dengan Filsuf.
Lelaki itu berteriak, Kau benar, tak ada nama lain yang cocok untuknya selain
nama ini. Ayolah Filsuf!
Pelayan itu ingin menurunkannya dari tangga pelayan, tapi sutradara itu ingin ia
turun bersama kami dan ia sendiri yang menuntunnya turun. Kami bergerak menuju lift
dan turun ke lobi hotel di hadapan semua orang. Kami menembus tempat itu menuju
pintu utama, sementara mata orang mengikuti kami dengan penuh ketakjuban. Kami
memperhatikan Tuan ......., manajer ....... dan kedua matanya tak percaya kalau ada
anak keledai yang berjalan di atas porselin lobi hotel... Ini mustahil... Dia tidak tahu apa
yang akan dilakukan. Segera kulemparkan senyuman dan penghormatan. Para hadirin,
tuan dan nyonya, melirik padanya dengan senyuman, tawa, serta kegembiraan.
Manajer itu tak dapat menahan dirinya dan akhirnya ia pun tersenyum seperti
yang lainnya. Kami segera keluar dan menemukan kendaraa n besar yang di dalamnya
ada seorang wanita muda yang manis. Ia memakai kaca mata yang menunjukkan gairah

semangat untuk bekerja, dengan mengenakan pakaian bepergian. Di depan kemudi,


seorang pemuda kekar juga

mengenakan pakaian bepergian.

Sutradara

itu

memperkenalkan mereka padaku, bahwa mereka berdua adalah para pembantunya.


Mereka berdua telah menerima kami dengan senang hati, khususnya Filsuf, sampaisampai kami melalaikannya. Pembantu wanita itu bergeser memberi tempat di
depannya untuk sahabat kecil itu. Ia lalu berdiri di tempat itu sambil menjulurkan
kepalanya ke luar mobil.
Setelah semua mendapatkan tempat duduk, kami melaju hingga tiba di jalan
Fouad. Kami berhenti di depan sebuah toko pedagang besar untuk membeli pakaian
seperti yang mereka pakai. Aku turun dari mobil dan membeli apa yang aku perlukan.
Ketika aku kembali, tiba-tiba aku menemukan banyak orang berkerumun di sekitar
mobil. Orang yang berlalu berkerumun dalam lingkaran besar. Mereka memperhatikan
anak keledai itu menjulurkan kepalanya.
Datanglah polisi lalu lintas untuk membubarkan kerumunan itu, dan menolong
kami agar dapat terbebas dari mereka. Ayo bubar semua! Ada apa ini! Seumur-umur
kalian tidak pernah ya melihat keledai naik kendaraan?! teriak mereka.
Kami menoleh kepadanya dari dalam mobil sambil berkata, Terima kasih
banyak! Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Giza, lalu melalui bypass
menuju al- Badrasyin.

=6=

Perjalanan kami tidak begitu mulus. Setiap kali sutradara itu menemukan
pemandangan aneh, kami berhenti sejenak. Dia sangat menyukai pemandangan pohon
al-Jummaiz (yaitu pohon yang buahnya menyerupai buah Tin_pen.) yang mengalir air
di bawahnya, dengan bebek-bebek berenang. Segera ia mengeluarkan kamera foto
untuk mengabadikan pemandangan ini, seraya berkata bahwa tempat ini sangat cocok
sebagai salah satu tempat syuting, dimana si petani Aminah dan Mahdi (kedua aktor
dalam film itu) saling bertemu. Aku berkata, Jadi tempat ini jauh dari desa yang
seharusnya pengambilan kisah itu dilakukan?
Dia berkata, Apa bedanya, kita mencari pemandangan yang kita inginkan lalu
kita tempelkan pada kaset yang kita inginkan.
Tetapi ini berbeda dari yang sesungguhnya.

Tentu saja ini berbeda dari tempat sesungguhnya secara geografis jika kau
mau, dan aku rasa kita adalah para seniman, bukan para insinyur bangunan. Yang kita
inginkan adalah hakikat seni itu.
Lelaki ini benar. Sungguh hakikat seni itulah yang seharusnya diperhatikan oleh
seorang seniman. Hakikat ini segala bentuknya adalah memilih pemandangan dan
mengaturnya hingga menciptakan suatu makhluk seni yang sempurna, memiliki
karakteristik tersendiri dan kejiwaan yang baru. Dia tidak memikirkan bagaimana
caranya mengumpulkan unsur-unsur itu. Pada saat itu terlintas di benakku kata Muller
ketika ia dituduh telah mengumpulkan beberapa kisah atau dua kisah pendahulunya,
dan telah mengeditnya. Tetapi ia berkata, Aku mengambil segala sesuatu yang
bermanfaat untukku dari mana saja. Aku mengatakannya kepada sahabatku dan ia
berkata, Sungguh tak diragukan lagi bahwa perkataan ini adalah syiar setiap sutradara
dan seluruh seniman, baik itu riwayat, musik, lukisan, sinema, dan lain- lain. Karena di
dalamnya terdapat makna hakikat seni.
Kami terus berbincang-bincang seperti ini hingga tiba di desa tujuan semula.
Desa itu terletak di sebelah kiri jalan bypass yang kami lalui. Kami telah melihatnya
dari kejauhan. Desa itu tampak telah tertutupi oleh pohon kurma. Kendaraan kami
berbelok memasuki jalan sempit dari tanah yang menghubungkan kami ke desa
tersebut. Mobil itu jalan perlahan di antara gundukan kompos dan kotoran. Kemudian
berhamburan keluarlah menyambut kami, gonggongan anjing dan anak-anak kecil
petani dengan lalat-lalat yang mengerubungi bulu mata mereka. Mobil kami lalu
berhenti di tempat yang tak mungkin lagi untuk maju, karena jalannya terlalu sempit
dan hanya cukup dilewati pejalan kaki. Daerah itu bagai gang kecil, atau bahkan lorong
di antara tempat tinggal yang mirip seperti sangkar-sangkar binatang liar. Semua keluar
menyambut kami, karena kamerawan dan istrinya bersama beberapa pesuruh
perusahaan yang ditugaskan menjaga rumah itu, telah menyambut kami. Mereka
membawa barang-barang ringan yang kami bawa, dan menurunkan anak keledai
dengan bantuan seorang nona pembantu.
Langsung saja aku bertanya kalau-kalau ada induk keledai yang baru saja
melahirkan anak di desa itu. Salah seorang anak kecil yang berkumpul mengatakan
padaku, kalau di rumah seorang yang bernama Sa'dawi, ada induk keledai yang baru
melahirkan.
Di manakah Sadawi itu?
Dia adalah tetangga kami.

Sejenak aku memandangi anak kecil yang lemah ini sambil mengingat
perkataan salah seorang dokter kami, bahwa tak ada satu pun anak kecil di desa Mesir
yang tak pernah dimasuki Anklastoma dan Balharsia. Penyakit-penyakit ini khususnya
yang juga mempengaruhi kerja aktif otak, sehingga menurunkan daya tangkap dan
mematikan sumbu kecerdasan.
Pelayan kami tidak menghiraukan perkataan anak kecil itu. Mereka berpendapat
agar anak keledai itu dibawa ke rumah kepala desa agar ia menyelesaikan
permasalahannya. Bagian administrasi telah memberitahukan tentang kebaikan para
tamu asing kepada kepala desa, dan aku sudah tahu bahwa kepala dusun serta
pembantunya telah mengetahui kedatangan kami pada hari ini, maka mereka berdua
membujuk kepala desa untuk datang menyambut kami. Tetapi sutradara cerdik itu
mengetahui maksud

mereka berdua.

Sambil tersenyum ia berkata padaku,

Sesungguhnya mereka berdua mengira bahwa kita akan melakukan pengambilan


gambar dengan memerlukan para aktor, dan mereka tak ingin ketinggalan untuk
menyaksikannya!
Kami meninggalkan mobil yang dijaga oleh warga. Kami berjalan di gang dan
lorong, di antara tingkatan-tingkatan rumah. Anak-anak kecil berpenyakit dan anjing
kurapan itu mengikuti kami. Para lelaki yang duduk sambil menghirup teh hitam di atas
meja berdiri karena kami lewat. Dari belakang pintu nampak kepala perempuan
berselubung asap panggangan, dan mereka menyembunyikan wajah di balik cadar
hitamnya. Para pemuda pemudi bermunculan menengok kami dari atas loteng dengan
tangan berlumuran kotoran binatang. Mereka sedikit mengalihkan perhatian kepada
kami daripada menyusun kotoran-kotoran itu!
Itulah pedesaan kumuh yang selalu aku ketahui. Tak ada faedah yang dapat
diharapkan darinya, tak ada apa-apa hari ini kecuali permohonan maaf dan penyesalan.
Aku menyesali kedatanganku. Keputus-asaan melandaku. Lalu aku menoleh kepada
teman-temanku, dan kulihat di wajah mereka keceriaan serta kegembiraan terpancar.
Sutradara itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata kepada pembantunya,
Lihatlah! Segala sesuatu nampak indah!
Aku membuka lebar- lebar mataku di hadapan mereka, memandangi apa yang
mereka sebut keindahan. Sutradara itu melihat seorang anak perempuan kecil yang
kumuh keluar dari antara tanah dan kayu bakar di atas loteng sebuah rumah. Di tangan
anak itu tampak seekor kucing kusam. Baik anak maupun kucing itu, keduanya
berlumuran tanah serta kotoran. Lelaki itu membidikkan kameranya kepada mereka
dengan gembira. Aku berteriak padanya, Apakah ini sesuatu yang indah?!

Oh, tentu. Jawabnya antusias.


Semua makhluk miskin yang kumuh ini?!
Itu lebih indah menurut seni daripada makhluk yang memakai pakaian
kebesaran pada pesta dansa di istana Imperatur Butrasberg!
Keindahan seni!
Iya, betul.
Hakikat seni itu juga tak ada hubungannya dengan kebersihan dan kekumuhan,
keutamaan dan kehinaan, atau kemunduran dan kemajuan!
Iya, benar.
Aku tak ingin melanjutkan perbincangan dengannya mengenai hal ini,
sebaiknya aku diam saja. Aku cukup memperhatikan bagaimana caranya memandang
segala sesuatu. Pada mulanya aku memang takjub dengan cara berpikirnya. Dia tidak
menggambarkan

sesuatu

dengan

akalnya,

melainkan

menggambarkan

dan

memikirkannya dengan matanya. Indra penglihatan pada sutradara ini aku kira adalah
segala sesuatu baginya.
Kami melewati dua orang petani yang sedang menggiling gandum untuk
memisahkan antara biji gandum dengan jerami. Jerami- jerami itu beterbangan dari
dalam alat penggiling. Pemandangan tersebut tak lepas dari mata seniman sinema itu,
lalu ia berteriak takjub, Hujan emas!
Aku melihat sepertinya- memang benar kalau jerami- jerami yang keluar dari
alat penggiling itu berhamburan di udara bagaikan uang Dinar yang berjatuhan.
Sahabatku itu mengabadikannya dengan kameranya, dan sambil tersenyum dia berkata
kepadaku, Jika kau ingin mengungkapkan pemandangan ini dengan penamu, maka
kau cukup mengolah kata-kata. Tapi aku membutuhkan ungkapan secara visual! Nah,
inilah perbedaan antara aku dan kau!
Ucapannya membuatku takjub. Aku terdiam dan berpikir sendiri. Kalau saja
kami para penulis menggunakan penglihatan kami atau bahkan seluruh indera yang
kami miliki seperti ini, maka pemandangan apa atau kebenaran apa yang mungkin
dapat kami angkat untuk manusia? Tetapi penulisan menurut kebanyakan penulis
hanyalah ungkapan bahasa yang terkumpul di gudang ingatan, dan kemudian
dikeluarkan pada waktu tertentu. Sesuatu hal yang menyebabkannya hanya mewakilkan
maksud tujuan belaka. Sebaiknya seorang penulis itu benar-benar ahli, agar
menghasilkan tulisan yang lebih dari itu. Dari sisi ini persahabatanku bersama sutradara
itu bermanfaat, dan untuk pertama kalinya aku menyukai persahabatan ini.

Akhirnya sampailah kami di rumah yang disiapkan untuk kami. Rumah itu
berdiri di tengah-tengah rumah penduduk bagaikan seorang kepala desa yang sedang
memberikan pengarahan kepada para bawahannya, tanpa mengenal perbedaan
karakteristik di antara mereka satu per satu. Rumah ini rumah yang besar, terdiri dari
dua lantai, terbuat dari batu bata merah, dan bercat kehijau-hijauan. Jendelanya besar
tertutupi teralis, temboknya kasar, plafonnya tinggi, dinding ruangannya diukir dengan
cat yang menggambarkan kebesaran dan keluasan. Tetapi meskipun demikian, tetap
saja sangat jauh dari sentuhan seni. Tak ada taman kecil di sekelilingnya, tak ada
gerbang yang menerima para tamu di depan pintu besarnya, tak ada kamar mandi yang
tersedia peralatan penting, melainkan orang yang masuk seolah-olah hanya melalui
sebuah lorong gelap lagi sempit, yang mana di sebelah kanan dan kirinya adalah kamarkamar besar yang tinggi plafonnya, yang mengeluarkan uang banyak demi segala
ukirannya. Rumah itu menggambarkan bahwa pemiliknya kaya kantong, tapi miskin
ruhani. Hatiku menjadi terenyuh karenanya.
Mereka lalu mengajakku ke kamar yang disediakan untukku. Kamar itu adalah
kamar yang terindah dari yang lainnya. Mereka meletakkan di dalamnya perabotanperabotan ringan yang dipergunakan dalam perjalanan. Tetapi aku melihat jendelanya
sama seperti yang lainnya, menjorok ke arah gundukan-gundukan kompos yang
menghantarkan hawa busuk ke hidungku. Aku menyendiri di dalam kamarku sambil
mengeluarkan beberapa keperluan dari dalam tas kecilku. Saat itu matahari mulai
tenggelam dan kegelapan mulai menyelimuti rumah itu dengan suasana baru. Para
pelayan menyalakan lampu dan menyiapkan meja untuk makan malam. Tetapi
sutradara itu masih saja bekerja, karena sayup-sayup aku mendengar suara mesin ketik
datang dari salah satu kamar yang jauh. Mereka tidak mau menggangguku, hingga tiba
waktu makan malam mereka memanggilku untuk datang ke meja yang terdapa t di
loteng rumah. Udara di dalam rumah sangat panas dan nyamuk-nyamuk semakin
banyak berdatangan. Kami duduk di depan meja yang di atasnya diletakkan bunga yang
tumbuh di kebun yang dikumpulkan oleh istri kamerawan, dengan bantuan perempuanperempuan desa. Mata kami menerawang ke angkasa yang bersih dan bulan purnama,
sambil menikmati udara sejuk yang mengalir lembut. Duduk di kursi terdepan, istri
kamerawan yang telah merawat rumah itu, dan duduk di sampingnya nona pembantu
yang telah menanggalkan kaca matanya, hingga tampak gemerlap warna hijau bola
matanya yang indah, bagaikan mata seekor kucing. Ia juga telah menanggalkan pakaian
perjalanan dan menggantinya dengan pakaian wanita yang anggun. Kami memakan
makanan ringan yang sangat lezat. Kami menikmati waktu yang indah itu dalam

perbincangan tentang Filsuf. Berkata istri kamerawan itu, Saya harap ia juga telah
menyantap makan malamnya!
Aku berkata, Oh, tentu saja. Kepala desa itu pasti bisa mendapatkan induk
keledai yang dapat memberinya hidangan lahir dan batin, yaitu sedikit susu dan kasih
sayang!
Sutradara itu berkata, Aku ingat sesuatu! Kita bisa memanfaatkan Filsuf itu
untuk iklan.
Seraya tersenyum aku berkata, Ya benar, inilah yang kurang dari Filsuf, yaitu
orang dapat memanfaatkannya sebagaimana yang dilakukan kebanyakan filsuf! Tetapi
aku tak tahu dari segi mana kita dapat memanfaatkannya. Yang aku ketahui dia itu
'Filsuf' yang diam dan terkekang selamanya oleh semua perkataan di dalam dadanya.
Nona pembantu itu berkata sambil tertawa, Kita cukup

mengambil

gambarnya!
Sutradara itu berkata, Iya, gambarnya yang anggun dan berwibawa. Aku lupa
mengatakan padamu bahwa Nona ....... spesialisasinya di bidang ini. Dialah yang
menyiapkan media massa dengan berbagai bahasa, dan bertanggung jawab
menyebarkannya ke seluruh majalah sinema di dunia.
Memang benar, dahulu ketika seorang teman berselisih denganku di sebuah
hotel tentang beberapa majalah bergambar yang khusus mengenai perfilman yang
dikeluarkan di Eropa dan Amerika, di dalamnya disebutkan kabar proyek-proyek
perusahaan, dan di antaranya kabar tentang film yang dia siapkan bersama nama-nama
penanggung-jawabnya.
Lalu ia melanjutkan perkataannya: Iya, saya mohon Nona menyetujui
perjanjian saham tersebut. Sekarang marilah kita bersama-sama membantunya dan
berpikir bersamanya: apa yang akan kita katakan? Ya, mungkin kita bisa mengatakan
bahwa anak keledai ini adalah pencetus ilham seorang penulis dialog, dan mereka
berdua tak mungkin dapat dipisahkan. Lalu kami akan mengambil gambar kalian
berdua.
Aku berkata, Benar, iklan untuk seorang penulis dialog yang sangat bagus!
Yaitu dikabarkan bahwa ilhamnya takkan turun kecuali dari seekor keledai!
Lalu mereka tertawa semua. Istri kamerawan itu menoleh padaku seraya
berkata, Bukan begitu tuanku, tapi akan tersirat dari sana bahwa kau adalah salah
seorang yang menyayangi binatang.
Kalau demikian maksudnya, itu benar. Ya, aku memang sangat menyukainya,
dan saya mohon maaf kalau karena kehidupanku yang sering pindah ini membuatku

tidak dapat memperhatikannya. Hari ini saja aku ingin ada seseorang yang bisa
memperhatikanku. Oleh karena itu, cukuplah aku menyaksikannya saja. Aku akan
selalu senang ketika berlalu di jalan dan melihat seekor monyet kecil di antara
sekelompok monyet. Aku takkan lupa kalau suatu pagi aku pernah melihat seekor
monyet duduk bersama pemiliknya di depan sebuah restoran, dan telah diletakkan di
antara mereka semangkuk kacang dengan minyak. Lelaki itu makan sesuap, lalu ia
menyuapi monyet itu bagaikan seorang ayah dengan a naknya.
Kedua wanita itu berkata bersamaan, Ini baru aneh.
Lalu aku melanjutkan, Benar. Mulailah aku memperhatikan monyet- monyet di
jalanan kota Kairo hingga para pemiliknya mengenalku. Salah seorang dari mereka
ketika melihatku berlalu, langsung saja datang sambil berteriak kepada monyetnya:
Beri salam kepada tuan Beik! Monyet itu lalu berdiri di antara kakinya bagaikan
manusia, dan mengangkat tangannya ke atas kepalanya mengisyaratkan salam. Lalu
aku memberinya uang dan mengatakan pada pemiliknya untuk membelikannya kacang.
Salah satu pemandangan terindah di mataku adalah ketika seekor monyet kecil
menunggangi seekor kambing berpakaian merah dan anjing berantai, sambil
berlompatan dari satu pundak ke pundak lainnya bagaikan seorang tuan besar yang tak
mungkin berjalan di atas rintangan.
Kamerawan itu tertawa dan berkata, Pemandangan yang pantas untuk
diambil!
Aku berkata padanya, Yang lebih penting lagi adalah pemandangan sebuah
keluarga aneh yang pernah aku lihat di sebuah jalan. Mereka menanggalkan
perlengkapannya di dekat sebuah tong sampah, dan nampak sekali kalau mereka
menahan lapar, letih, serta kesusahan. Orang-orang telah mengasingkan mereka,
masyarakat membicarakan mereka, dan tak seorang pun yang mengenal hak kehidupan
bagi mereka. Aku bergerak ke tengah-tengah jalan, dan tak tersisa di sana seorang pun
yang peduli.
Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri. Seseorang dari keluarga yang duduk
meringkuk itu mencari kulit-kulit semangka, potongan-potongan roti, dan sisa-sisa
makanan di tong sampah. Berpencaranlah anggota keluarga itu. Setiap anggota di sudut
mengeluarkan tangannya, mulutnya, atau taringnya, sesuai dengan bentuk binatang,
agar menutupi perutnya yang kosong. Berebutan bersama mereka kucing dan anjing
tersesat, yang meminta hak mereka dari hidangan itu. Kemudian dia memberi makan
semuanya, dan nampak di wajah mereka tanda keridhaan. Hal itu membuatku iba, lalu
aku mendekatinya dan melemparkan sebuah koin perak kecil. Mata si miskin itu tak

menyangkanya. Maka segera ia melompat dan berteriak pada keluarganya dengan


sebuah teriakan kegembiraan yang teramat besar, bahwa telah datang jalan keluar yang
dapat mendorong mereka pada harapan serta pekerjaan. Bermainlah anak-anak!
Malam, malam, takkan kuhiraukan! Hai si kecil Maimun, berjogetlah untuk tuan kita
Beik. Semoga Allah takkan menimpakan padanya keburukan sehari pun!
Kumpulan itu bergerak riang, kambing mengembek, anjing menggonggong, dan
monyet berlompatan. Aku melihat kegembiraan, dengan sinar kehidupan yang
terpancar dari mata mereka semua, seolah-olah dengan atraksi itu mereka ingin
menyuguhkan segala keindahan yang ada dalam lubuk hati mereka. Namun pekerjaan
pada pagi itu menungguku, dan waktu itu bukanlah waktu untuk menyaksikan atraksi
monyet dan kambing. Maka aku membiarkan keluarga itu untuk tidak melakukan
akrobat, tapi mereka menolak. Lelaki itu tidak membiarkan aku berlalu sebelum temantemannya melakukan kewajibannya. Aku melihat kesungguhan dalam diri mereka, dan
aku memahami bahwa mereka tidak sudi menerima sedekah. Mereka itu bukanlah
tukang minta- minta, tapi mereka mengambil upah dari pekerjaan yang mereka lakukan
dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin melukai perasaan lelaki itu, maka aku berkata
padanya: Baiklah, cepat mainkan!
Sutradara dan kamerawan itu tersenyum. Lalu Nona pembantu berkata, Benar,
sungguh di diri beberapa binatang terdapat kecerdasan yang menakjubkan!
Dan kepatuhan. tambah sang istri kamerawan.
Segera aku berkata, Adapun tentang kepatuhan, aku takkan sekali-kali lupa
dengan kepatuhan anjing Fox.
Semuanya dengan heran bertanya, Fox?!
Iya, anjing betina yang ada di tanah kami. Semua orang tak menghiraukannya,
mereka meninggalkannya tidur dimana ia mau dan makan kotoran apa saja yang
dijumpainya. Para petani takkan memikirkan persoalan b inatang yang tak berharga di
pasar ternak itu. Dan puncak kelalaian mereka terhadap anjing itu adalah dengan
menamainya dengan nama apa saja. Semua anjing menurut mereka bernama Fox, jadi
dinamailah anjing ini dengan nama Fox. Namun Fox tetap saja seperti biasanya, dalam
keadaan terhina. Meskipun demikian dia itu seekor penjaga tanah yang tak pernah tidur.
Sampai akhirnya datanglah seorang lelaki dari desa sebelah hendak mengambilnya,
agar dapat melahirkan anak dari anjing jantannya. Pemilik tanah itu mengatakan bahwa
dia boleh mengambilnya karena mereka tidak membutuhkannya. Lelaki itu datang
dengan membawa tali dan beberapa kerat roti. Yang satu adalah alat untuk membujuk
jika ia menurut, dan yang satu lagi adalah alat untuk memaksa jika ia membangkang.

Tetapi Fox hanya menurut dan patuh kepada lelaki itu. Mulanya para petani heran
melihatnya, tetapi siang harinya anjing itu telah kembali lagi ke tempat semula. Lelaki
itu kembali dengan geram. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa lalai hingga anjing itu bisa
kembali. Dia lalu mengambilnya, dan anjing itu tetap saja patuh kepadanya. Mata
penduduk memperhatikan anjing itu. Dan ia berbalik memandang wajah orang-orang
dengan tenang, seakan-akan dengan sombongnya ia berkata: 'Kalian jangan takut,
sebentar lagi aku akan kembali!' Dan memang benar! Tak lebih dari satu jam kemudian
anjing itu telah kembali ke tempatnya semula. Akhirnya lelaki itu putus asa akan
rencananya mengawinkan anjing tersebut, dan semua orang yakin kalau kepatuhan
anjing itu kepada pemiliknya adalah lebih baik baginya daripada perkawinan.
Istri kamerawan itu menoleh padaku dan berkata, Tidakkah kau sependapat
denganku kalau dalam diri binatang ini terdapat sesuatu?! Yaitu kemanusiaan dengan
makna tinggi yang sebenarnya?
Aku sangat setuju dengannya. Ini benar, bahkan dalam diri mereka terkadang
ada sifat kemanusiaan yang melebihi manusia sendiri! Sungguh pikiran kejahatan itu
tak ada dalam diri binatang. Sebagian besar binantang mencintai kedamaian,
kekeluargaan, dan kenyamanan. Sebagian kecilnya yang disebut dengan binatang buas,
tidak tahu apa itu makna permusuhan. Manusia sajalah di antara makhluk bumi yang
memandang bahwa penindasan terhadap sesama manusia adalah kejayaan dan
kebanggaan!
Berkata istri sang kamerawan, Aku sependapat denganmu. Sungguh keganasan
manusia telah mencapai batasan yang harus kita kembalikan perumpamaannya kepada
binatang, agar kita dapat meluruskan pandangan kita padanya, dan mengambil teladan
mulia yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia jika ia memang benar-benar
menginginkan kedamaian di muka bumi.
Kami terus berbincang-bincang hingga jam sembilan malam. Istri kamerawan
itu bangkit dan memohon pamit untuk turun, karena para perempuan desa sedang
menunggunya. Semenjak ia ada di desa itu, ia selalu meneteskan obat pada mata
mereka serta memperhatikan keadaan mereka.
Kami rasa sebaiknya kami juga turun ke kamar masing- masing agar bisa
bangun pagi dan melihat matahari terbit esok hari. Sutradara itu mengatakan bahwa ia
ingin mendapatkan gambar yang indah saat matahari itu terbit di antara pepohonan
kurma.

=7=

Aku masuk ke kamarku yang menyerupai neraka Jahannam. Hawa panas


mencekat nafasku dan memenuhi ruangan. Suara nyamuk terdengar berdesing di
telinga. Datang padaku salah seorang pelayan dari petani desa yang bergabung
membantu para seniman itu. Dia meletakkan obat di dalam belanga, yang kemudian
mengepul asap darinya sepanjang malam, menghalau nyamuk dan serangga lainnya.
Dia mengatakan bahwa istri kamerawanlah yang memesan itu untukku. Tak luput
darinya segala cara untuk menciptakan kenyamanan di desa ini, maka aku patut
berterima kasih untuknya.
Aku memperhatikan kebersihan petani yang satu ini, lalu aku pun menanyakan
tentang dirinya. Dia berkata bahwa nyonya asing itulah yang mengajarkannya untuk
selalu menjaga kebersihan, dan ia setiap hari mengawasi sendiri cucian bajunya setiap
hari. Dia berjanji untuk membantu mengobati kesehatannya selagi ia mampu, dan
mengawasi makanannya, tidurnya, pekerjaannya, serta menepatkan segala sesuatu
dengan jam. Jadi wanita itulah yang melaksanakan pekerjaan ini untuk dirinya dan
seluruh orang yang di sekelilingnya, atau yang datang ke rumah tersebut untuk bertanya
darinya. Sesungguhnya seluruh hari yang telah ia lewatkan semenjak ia mempersiapkan
rumah ini, sudahlah cukup untuk menciptakan suasana kekeluargaan. Apalagi ditambah
dengan kepribadiannya yang mulia dan hatinya yang penyayang. Seluruh orang
menyukainya dan patuh terhadap perintah serta nasehatnya. Kemudian lelaki itu
bercerita kepadaku betapa banyak kotoran, hewan melata, dan debu yang memenuhi
rumah ini sebelum ditempati. Jadi rumah ini sejak lama memang tidak ditempati. Petani
itu memandangi sekeliling kamarku dan berkata dengan logat pedesaan, Nyonya asing
itu dengan sendirinya berdiri setelah kami keluar dari ruangan ini. Segala sesuatu
ditutupi tanah! Karena ruangan ini, maaf saja, sudah lama tertutup semenjak hari
terbunuhnya lelaki itu di dalamnya.
Aku berkata dengan gemetar, Terbunuh di dalamnya?
Ia melanjutkan perkataannya, Ya, mereka menghajarnya dengan kapak.
Dia siapa?!
Laki- laki itu.
Laki- laki siapa?
Tuan Malthi, pemilik rumah ini.
Kemudian ia menceritakan kisah itu padaku seraya berkata bahwa pemilik
rumah ini dahulu adalah seorang rentenir yang datang ke desa ini selama bertahuntahun, dan meminjamkan uang kepada para keluarga demi perhiasan perempuan

mereka, sampai-sampai tak ada di desa itu yang dapat digadaikan kecuali alat pembuat
keramik. Maka ia tak segan-segan mengambil segala milik orang lain dan
menggabungkan dengan miliknya, sehingga ia menjadi kaya raya. Tetapi orang-orang
membencinya hingga ingin membunuhnya. Ketika ia sedang duduk di kamarnya itu
sambil memilah- milah segala perhiasan yang ia simpan sebagaimana yang ia lakukan
setiap malam sebelum tidur, datanglah beberapa orang jahat memotong- motong
tubuhnya. Sejak malam itulah tak ada satu orang pun yang tidur di ruangan ini. Orang
bilang kalau ruangan ini ada penghuninya, dan kalau tiba tengah malam akan terdengar
suara gemericik perhiasan sebagaimana yang terdengar ketika sang rentenir itu masih
hidup.
Setelah aku mendengar perkataan petani itu, aku berkata dengan suara yang
masih bergetar, Jadi aku adalah orang pertama yang tidur di dalamnya setelah kejadian
itu?!
Iya, benar.
Ketakutan segera saja merayap dalam diriku. Dan maaf saja, kalau sebenarnya
aku ini takut sekali dengan yang namanya hantu. Langsung saja aku menjerit, Cepat
panggil sutradara itu, semoga Allah mencongkel matanya!
Petani itu pergi untuk memanggilnya. Tinggallah aku sendiri di ruangan itu
sambil memandangi sudut-sudut yang tak tampak jelas oleh sinar lampu. Ketika
terbayang olehku perhiasan-perhiasan itu, aku pun merinding. Aku tahu bahwa aku
takkan dapat memejamkan mataku sepanjang malam di ruangan ini. Ya, aku takut
dengan hantu dan aku malu untuk mengakui hal ini. Lelaki sepertiku yang banyak
memperhatikan dasar-dasar sesuatu dan inti- inti benda, makanannya adalah filsafat
pragmatis (al-wadhiyyah) yang kenyang dengan hasil- hasil ilmiah. Ya, oleh sebab
itulah mengapa mataku takut dengan hantu. Jadi, ketakutan itu datang dari terjadinya
benturan mendadak pada Mantek hasil- hasil penerapan di kehidupan kita, khususnya
kehidupan akal kita. Petani ini - yang telah membayangkan wujud secara khurafattakkan begitu kaget dengan munculnya hantu. Adapun saya, seorang cendekiawan yang
memahami wujud itu atas dasar Mantek akal, tak dapat membayangkan dengan akal
bagaimana wujudnya hantu itu. Sebelum ia muncul, akalku akan membayangkannya
bagai wujud suatu makhluk yang akan menyambar atau menghilangkan akalk u dengan
cepat.
Aku selalu merasa heran dengan kisah Fost, bahwa seorang ilmuwan filsuf itu
tak mendapatkan hasil dengan kehadiran Mafisto, kecuali jika ilmuwan ini mampu
mencapai derajat keilmuan yang membuatnya hanya diam menunggu keajaiban yang

datang kepada ilmu -semoga saja itu adalah maksud daripada Joteh. Iya, menurutku tak
ragu lagi kalau seorang lelaki seperti Kant atau Auguste Comte, jika melihat hantu pasti
akan lebih takut seribu kali lipat daripada lelaki seperti pendeta Salt Antoan atau
pendeta San Toma, karena ketakutanku pada malam itu akan suara perhiasan tuan
Malthi, belum sampai pada keyakinanku akan kemungkinan munculnya suara itu. Jadi,
yakin atau tidak yakin takkan memajukanku atau pun memundurkanku, tapi sebenarnya
aku takut pada diriku. Aku lebih takut pada khayalanku yang dipenuhi dengan berbagai
macam gambaran, daripada terhadap

hantu yang sebenarnya. Sesungguhnya

menurutku, orang yang paling takut adalah orang yang lebih deras khayalannya. Aku
tak takut pada kenyataan, aku tak takut pada kematian, tak takut marabahaya, tak takut
kekerasan, dan tak takut untuk mengucapkan kata berani dengan sungguh-sungguh.
Aku kira itulah kebenaran, meskipun di belakangnya ada tiang gantung. Tetapi aku
takut tinggal di tempat yang dikatakan padaku tempat itu berpenghuni. Ya, kata inilah
yang satu-satunya tinggal di benakku sebagai hantu, hingga terbitnya matahari.
Tak lama kemudian aku mendengar ketukan halus di pintuku, dan hampir tak
terlihat muncullah sutradara itu. Aku malu menceritakan padanya segala sesuatu yang
tadi terlintas di benakku, karena ia mungkin akan salah memahami sikapku, lalu ia akan
mengejekku atau berfikiran macam- macam padaku. Aku mencoba mencari sebab lain
agar aku dapat pindah dari kamar ini mulai malam ini. Maka dengan suara parau sambil
meletakkan tangan di leher, aku berkata, Ukh, panas.
Dia tidak membiarkanku terus berbicara, dan langsung setuju sambil mengipasngipaskan sapu tangan di wajahnya, Iya benar, sekarang panas sekali. Bagaimana
kalau kita naik ke atas loteng untuk menghirup sedikit udara segar dan membicarakan
pekerjaan besok hingga malam melarut serta udara menyejuk di dalam kamar?
Langsung saja aku mengambil kesempatan itu. Demi Allah, tak ada yang lebih
baik dari itu!
Kami pun keluar dari kamar itu. Aku mengharap agar hal itu berlangsung lama
hingga aku takkan kembali lagi ke dalam kamarku itu selamanya. Kami naik ke atas
loteng dan tak menemukan seorang pun. Seluruh teman kami telah terlelap di kamarnya
masing- masing, kecuali sutradara itu. Untungnya pelayan itu mendapatkannya belum
tertidur dan masih berjalan-jalan di atas loteng sejak teman-temannya meninggalkannya
sehabis makan malam tadi. Keindahan malam dan kebersihan udara telah menyegarkan
otaknya untuk berpikir tentang seninya. Meja makan itu masih saja ada setelah segala
piring dibereskan. Tak tersisa satu pun di atasnya selain botol Alborto, beberapa
cangkir, dan termos yang di dalamnya ada kopi hangat. Lalu kami pun duduk.

Sutradara itu berkata padaku: Satu gelas Alborto, atau satu cangkir kopi?
Karena aku sudah berniat untuk begadang, maka aku segera berkata, Kopi
yang banyak!

=8=

Sahabatku meneguk dua gelas Alborto yang menghilangkan semangat otaknya,


dan aku meneguk dua cangkir kopi yang membuka kedua mataku hingga
mempersiapkan diriku untuk melalui malam yang aku tak ingin terulang lagi.
Datanglah keheningan di antara kami. Lalu lelaki itu memotongnya dengan berkata,
Sekarang waktunya untuk pekerjaan. Kita gunakan kesempatan ini untuk membahas
masalah skenario.
Aku merasa kalau rasa lemas itu mulai menggerogoti sarafku dan hampir
membuatku mengantuk. Aku yakin bahwa tidur itu akan menyerangku jika lelaki ini
mulai bercerita tentang kisahnya. Maka langsung aku bangkit melompat, Bagaimana
kalau kita jalan-jalan di jembatan desa ini?
Dia langsung berkata, Ide yang cemerlang.
Kemudian dia bangkit dan turun bersamaku ke jalan. Kami menemui di depan
gerbang, dua orang yang sedang meronda, yang ditugaskan oleh kepala desa untuk
menjaga rumah kami. Mereka berdua tak membiarkan kami berjala n sendirian di
malam hari tanpa penunjuk jalan. Maka salah seorang dari mereka tetap tinggal
menjaga di pintu, dan yang lainnya mengikuti kami dengan senapan laras panjang dari
pemerintah, yang digunakannya untuk menakut-nakuti. Kami berjalan menuju jembatan
dan menjumpai rombongan petani yang pulang dari kampung sebelah ke rumah
mereka. Mereka memulai menyapa kami, dan kami pun membalas sapaan mereka.
Hampir saja tak nampak di belakang kami ada seorang penjaga, sehingga mereka tahu
bahwa kami ini orang penting dan segera menghormati. Berkata sahabatku padaku,
Bagaimana kalau kita meminjam dari mereka dua ekor keledai yang dapat kita
tunggangi dalam perjalanan ini?
Kaum itu akhirnya tahu maksud kami, dan mereka berseru dari hati mereka,
Oh tentu, silakan, silakan!
Mereka mengangkatnya ke atas keledai itu. Aku melihat salah seorang dari
mereka ada yang terus menerus menggaruk. Aku memperingati sahabatku seraya
berkata, Jangan lupa kalau kutu busuk telah hinggap di tubuh orang-orang miskin itu!

sahabatku berkata ketika ia memperbaiki posisinya di atas keledai, Tak apaapa, nanti aku akan mengganti pakaianku sebelum tidur. Aku pun ikut naik ke atas
keledai. Kami menjanjikan para petani itu untuk mengembalikan keledai itu kepada
mereka bersama penjaga kami, dan mereka merelakannya. Kami lalu mulai berjalan,
dan sutradara itu gembira dengan tunggangan itu.
Ia menoleh kepadaku, dan sambil tersenyum ia berkata, Betapa mulianya
mereka! Mungkin saja kutu busuk itu tinggal di tubuh mereka karena kemuliaan
mereka kepada tamu! Walau bagaimanapun, aku tetap menghormati jiwa yang baik
seperti ini dengan penuh penghormatan. Kau pasti akan mendapatkan perbedaan cara
bermuamalah (berinteraksi_pen.) mereka jika kau datang ke desa Eropa lalu kau
bertanya kepada penduduknya suatu hal yang remeh. Mereka akan mengatakan: Tidak,
sungguh bangsamu tak ragu lagi sangat mulia. Adapun kekotoran tampang adalah
suatu hal yang mengherankan, dan aku tak tahu apa penyebabnya? Apakah itu
disebabkan karena sedikitnya air, tapi kalian memiliki dua laut besar dan satu sungai
panjang, serta udara panas yang menggoda badan untuk mandi!
Tiba-tiba dia terdiam, dan tiba-tiba keluarlah teriakan yang meninggi dari
mulutnya, Keledai ini akan membawa kita masuk ke dalam air!
Dia benar, keledai itu berjalan tak seperti biasanya. Dia tidak bisa diam ketika
kami tunggangi. Dia meninggalkan jalan luas dan memilih untuk berjalan di pinggir
jembatan parit itu. Tak tersisa antaranya dan jurang kecuali beberapa jengkal saja,
sedangkan ia terkadang mempercepat langkahnya atau menabrakkan kakinya. Seolaholah ia tidak merasa aman atau nyaman. Ia berjalan menuju bahaya sambil bermainmain dengannya menggunakan ujung-ujung kakinya. Sebagaimana yang dilakukan para
sufi yang meninggalkan jalan-jalan pemikiran ibadah, dan bermain dengan pemikiran
mereka sendiri di pinggiran tanpa batas.
Sejenak kami berjalan dengan keheningan sambil memperhatikan kebun,
tumbuhan, dan air yang mengalir di parit. Cahaya bulan purnama itu telah
memberikannya warna dan bentuk baru. Segala sesuatu di sekeliling kami terdiam.
Udara itu seharusnya berhembus lebih lembut. Kami juga melihat semua makhluk di
sekeliling kami seolah-olah terdiam dan tidak terdiam. Seolah-olah di sana ada nafas
yang tersembunyi dan mengilhami segala sesuatu untuk menari- nari, yang tak mampu
dirasakan dengan indera lahir kita. Terbayang oleh kita seakan telinga mendengar tawa
bagai bisikan, dan gerakan bagai gerak tubuh yang mabuk, seakan-akan semua
makhluk sedang bermandikan cahaya bulan.

Sutradara itu bergumam, Sekarang aku melihat segala sesuatu sebagaimana


orang memandang dari balik tirai yang dibuat para sutradara opera ketika mereka
mewujudkan mimpi. Aku tak mendapatkan jawaban.
Suasana kami kembali hening. Segala keindahan di sekeliling kami telah
membuat lidah kami kelu untuk berbicara.
Sahabatku berbisik, Alangkah indahnya desa ini!
Dia memperbaiki duduknya dan kembali bercerita tentang istri kamerawan yang
telah tinggal di desa ini selama seminggu. Dia telah menuai kegembiraan dan
ketakjuban terhadap desa ini. Dia berharap kalau kehidupannya berlangsung di tempat
itu. Berharap seluruh kehidupannya disumbangkan untuk para petani itu memperhatikan perbaikan kehidupan dan memperluas pengetahuan mereka, agar
mereka merasakan keindahan dari apa yang telah diberikan oleh alam. Dia berkata
bahwa matahari dan bulan di negara ini selalu bekerja seperti seorang penjahit ulung.
Mereka berdua bagai memakaikan pakaian indah kepada seluruh makhluk! Kecuali
petani, ia telah keluar dengan perhitungan. Karena kebutuha n pakaiannya bukanlah
merupakan spesialisasi matahari dan bulan. Ya, segala sesuatunya bersih dan indah di
desa ini, kecuali manusia! Nah, inilah keanehan yang selalu menyelubunginya!
Sambil menghela nafas aku berkata kepada sahabatku, Aku juga merasakan
keanehan selama bertahun-tahun!
Dia berkata, Apa sebabnya?
Aku pun berpikir dan seolah-olah hanya berbicara kepada diri sendiri, Sebab?
Sebabnya jelas! Baru saja kau sendiri yang mengatakannya tanpa kau sadari. Sebabnya
adalah tak ada di Mesir, seorang perempuan pun yang seperti istri kamerawan itu.
Sebabnya dapat kita simpulkan dengan jelas ketika kita kembali pada sejarah pedesaan
Eropa. Ambillah contoh desa kalian di Perancis. Apa yang terjadi di dalamnya? Pada
saat zaman Sistem Swastanisasi berada di tangan orang-orang ternama, merekalah yang
memperbaiki pedesaan. Dimulai dengan pemimpin kawasan yang membangun
istananya yang indah lagi bersih, dan dia tinggal di dalamnya bersama istri serta anakanaknya. Dia menjadikan para penduduk kawasan itu sebagai pembantunya yang
bekerja untuk kepentingannya, dan sebaliknya ia bekerja demi pelindungan mereka.
Sedangkan istrinya, ia melakukan pembinaan terhadap penduduk, agar ia dapat
mengangkat derajat para penduduk desa itu. Karena dia yang selalu berdiam di de sa,
maka ia mengadakan hubungan dengan istri para pembesar desa dan memasukkan
pengetahuan tentang kebersihan serta kebaikan ke seluruh rumah. Dia telah menjadi
satu-satunya konsultan kesehatan dan rumah di desa itu. Jika para perempuan ditimpa

penyakit, maka mereka menanyakan obat kepadanya. Dan jika terjadi sesuatu, maka
mereka meminta nasihat darinya. Dia adalah pengatur keperluan rumah, kesehatan,
kebersihan, dan budi pekerti bagi desa serta kawasan itu. Sebagaimana suaminya
adalah sebagai pengatur masalah keamanan dan hukum. Istri itulah yang menjadi hakim
penentu terhadap segala sesuatu yang bergulir dalam kehidupan masyarakat,
sebagaimana suaminya adalah hakim mutlak bagi permasalahan perang atau
perdagangan.

Perempuan

itulah

yang

mengatur

pesta-pesta,

mempersiapkan

masyarakat, menyebarkan contoh-contoh kebaikan seperti pakaian, akhlak, dan festival.


Para istri orang kaya di desa atau keluarganya selalu mengikuti gaya hidupnya, sampai
akhirnya datanglah zaman Demokrasi.
Keadaan itu tak berbeda juga. Di pedesaan, kedudukan istri yang mulia itu
digantikan oleh istri raja besar atau istri orang desa yang kaya. Telah terwariskan segala
sifat seorang nyonya yang mulia, dan orang-orang di bawahnya -yaitu para petani
wanita- memperoleh kedudukan sebagai penyuluh. Adapun di daerah perkotaan, istri
para pedagang dan saudagar telah mendapat tempat sebagai istri yang mulia dan
mewariskan kewajiban yang sama terhadap masyarakat. Dialah yang mengunjungi
desa-desa miskin, mengayomi orang sakit serta memberi mereka oba t-obatan dan uang,
membawakan untuk anak-anak manisan dan mainan. Tak pernah ada zaman di Eropa,
yang mana wanitanya kosong dari kewajiban sebagaimana seorang pemimpin. Karena
ia tahu, bahwa kata pemimpin bukanlah sebutan asal, melainkan menandakan pekerjaan
dalam masyarakat yang membutuhkan waktu dan tenaga. Kata itu memiliki makna
kekuasaan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, baik itu di desa maupun
di kota. Penamaan politik sosial masyarakat di Eropa telah berganti, tetapi
kewajibannya belum berubah. Warna tangga sosial itu telah berwarna lain, tetapi
tangga ini tetap berdiri karena ia termasuk rahasia kehidupan yang kekal.
Memang seharusnya ada salah satu tingkatan yang lebih maju kekayaannya atau
keilmuannya dari tingkatan yang lain, hanya saja yang terlihat di Eropa adalah bahwa
setiap tingkatan yang berada di atas selalu menjulurkan tangannya kepada tingkatan di
bawahnya. Ada ikatan erat antara tingkatan-tingkatan itu. Ada contoh dan teladan, yang
diberikan oleh tingkatan atas kepada tingkatan bawah.
Inilah yang terjadi di Eropa. Adapun di Mesir, tak terjadi seperti demikian.
Sistem Swastanisasi di Mesir, berada di tangan Aristokrat asing seperti Mongol atau
Turki Utsmani. Mereka tidak menganggap petani itu adalah pembantu mereka seperti
halnya di Eropa, tetapi mereka menganggapnya sebagai seorang hamba sahaya
sebagaimana anggapan orang Timur, bahkan lebih rendah daripada hamba mereka.

Menurut mereka, anjing dan kuda lebih mempunyai kemuliaan di mata mereka
daripada para petani itu, yaitu petani yang berbicara bukan dengan bahasa mereka dan
lahir di negeri yang bukan negeri mereka.
Orang desa Perancis menganggap yang mulia itu adalah tuan, tetapi tuan itu
menganggap orang desa sepertinya adalah orang Perancis, dia berperang bersamanya.
Adapun Tuan Turki Utsmani menganggap petani Mesir dari tanah kotor. Mereka
takkan pernah memberikannya peluang untuk masuk tentara atau mengikuti pesta dan
pertemuan. Demikianlah pekerjaan laki- laki. Adapun pekerjaan wanita -istri para lelaki
itu, yang kebanyakannya adalah dari selir-selir berkulit putih- tak ada pekerjaan lain
kecuali memuaskan nafsu tuannya. Dengan kata lain, ia telah ditempatkan dalam posisi
haram, tanpa kepribadian, tanpa kepentingan, dan tanpa pekerjaan kecuali segala
sesuatu yang biasanya dilakukan oleh wanita yang dimiliki. Ditambah lagi, perasaannya
akan pengucapan kata petani yang merendahkan kedudukannya. Dialah orang yang
diperintahkan, hina, tak bisa diharapkan, dan tak dapat mengangkat kedudukan dirinya
atau orang lain. Oleh karena itu, kehidupan sosial masyarakat di Mesir terbelah menjadi
dua kubu, yang mana satu sama lainnya tak saling menolong, sehingga tangga sosial
masyarakat itu tampak berbentuk aneh: satu golongan di atas dan satu golongan di
bawah, dan tak ada di antara keduanya kecuali kekosongan. Tingkatan-tingkatan di
antara keduanya telah hancur tergusur.
Berakhirlah Sistem Swastanisasi di Mesir, kemudian datanglah zaman modern.
Dan tentu saja keadaan ini belum juga bisa berubah. Jadi, seorang raja kaya atau petani
kaya yang telah menduduki tempat Tuan Utsmani telah diwarisi tabiat dan wataknya.
Raja petani ini menikahi selir-selir putih dan menjadikan mereka dalam keharaman.
Terkadang ia juga mengambil anak-anak keturunan petani sepertinya.
Kemudian bidah taklid Turki, yaitu menikahi selir putih itu, mulai sirna.
Muncullah kebangsaan Mesir, yang bersamaan dengannya bermunculan juga dasardasar dan aliran-aliran baru, yaitu seorang wanita Mesir dapat belajar di sekolahsekolah dan universitas, tentang bagaimana cara berbica ra di hadapan masyarakat.
Mereka memperbanyak lafadz kemerdekaan dan persamaan dengan kaum pria. Mereka
menuntut segala macam haknya di sana sini. Hal itu didorong oleh keinginannya untuk
mengikuti saudarinya di Eropa. Cahaya itu telah sedikit memasuki kepalanya lewat
pendidikan, tetapi jiwanya kebanyakan masih seperti jiwa seorang selir putih. Ia masih
jauh untuk dapat menjadi seorang Nyonya seperti di Eropa. Nyonya yang menjadikan
dirinya sebagai pengemban tugas di masyarakat; melakukan pengayoman orang-orang
fakir, pengobatan penduduk desa yang sakit, perbaikan kerusakan rumahnya, dan

perombakan segala keburukan di lingkungannya. Nyonya yang menjadikan dirinya


sebagai seseorang yang berkepribadian di samping suaminya, bertanggung jawab atas
sesuatu yang tak dapat dia tangani. Nyonya seperti ini yang merupakan unsur kekuatan
dalam suatu masyarakat, yang belum kita dapati. Tetapi yang kita dapati sekarang
adalah wanita yang memakai pakaian baru lagi megah, mengikuti gaya para Nyonya.
Mereka telah mahir dalam beberapa hal ketika tampil dalam pesta, akting sinema, dan
pandai berbicara dalam beberapa bahasa.
Tetapi...
Aku tak dapat melanjutkan kisahku, karena tiba-tiba suara aneh terdengar
berlalu di udara yang tenang, dan membuat perasaan ini merinding. Waktu itu kami
telah berjalan hingga sampai pada suatu rumah besar yang bagus. Tak ada satupun
cahaya atau suara yang keluar dari rumah tersebut, kecuali suara aneh itu. Kami
menoleh ke arah penjaga kami dengan gemetar. Ia menenangkan kami sambil berkata,
Ini adalah istana Pasha.
Kemudian ia mengatakan bahwa tak ada yang tinggal di dalamnya kecuali
kepala kampung yang mendiami lantai dasar. Adapun lantai atas ditempati oleh burung
hantu, yang merupakan sumber dari suara aneh itu. Lalu ia menjelaskan seluk beluk
istana itu dengan segala perabotan yang ada di dalamnya, dan ia berkata dengan logat
pedesaannya, Andaikan kalian berkesempatan masuk dan berkeliling di dalamnya, itu
akan lebih baik! Tak ada yang menyainginya kecuali istana Beik Abdul Ghani!
Lalu kami menanyakan tentang istana yang terakhir itu dan ia berkata bahwa
istana itu ada di seberang jembatan, bertempat di kampung yang luas milik Beik itu.
Dia berkata bahwa istana itu juga tertutup, karena Beik beserta istri dan anaknya tinggal
di Kairo. Aku tak dapat menahan diriku hingga aku menoleh kepada sahabatku seraya
berkata, Bukankah kamu lihat istri- istri Pasha dan Beik itu? Mereka meninggalkan
pekerjaan sebagai Nyonya di sini dan tinggal di kota Kairo, agar bisa setiap malam
pergi ke bioskop-bioskop. Demikianlah yang dilakukan perempuan-perempuan kita
sekarang setelah mereka keluar dari sangkar selir putih! Itulah sahabatku,
sesungguhnya Nyonya yang patut menyandang gelar ini adalah istri temanmu sang
kamerawan itu. Dialah yang telah mewariskan kepribadian para nyonya yang mulia itu.
Jadi aku paham bagaimana ia bisa menjadi bermanfaat bagi kemanusiaan di manapun ia
berada. Ia ingin tinggal di sini agar dapat mengangkat derajat petani miskin ini, dan dia
tidak mengikat diri dengannya kecuali dengan hubungan kemanusiaan. Engkau
menanyakanku sebab tentang kekotoran petani ini dan aku telah mengatakan, serta akan
selalu berkata padamu bahwa penyebabnya adalah perempuan. Pada hari perempuan

Mesir mampu membebaskan diri dari ruh selir putih dan bersema yam ruh para
nyonya, maka pada saat itu marilah kita lihat pedesaan serta para petani Mesir.

=9=

Ketika sampai pada tengah malam, kami kembali ke rumah. Sahabatku


mengantarku ke depan pintu kamar seraya berkata, Tidurlah yang nyenyak.
Aku langsung mengingat hantu dan suara perhiasan di tengah malam.
Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa waktu keluar para hantu itu selalu melegenda,
maka aku hanya berdiri terpaku. Sahabatku berkata, Ada apa denganmu?
Tidur pada saat seperti ini adalah mustahil, panas dan banyak nyamuk.
Kemudian aku menarik tangannya dan berkata, Ayo kita kembali naik ke atas
loteng.
Terserah engkau.
Kami pun naik lalu duduk di kursi, beristirahat sejenak setelah mengendarai
keledai. Tak lama kemudian sutradara itu berbalik me noleh dan berkata padaku,
Bagaimana kalau kita ambil kesempatan ini untuk kembali berbicara tentang
skenario.
Aku mengeluh dalam hatiku , Uh, aku lari dari hantu di bawah, tapi dapat
skenario di atas!
Sutradara itu tak membiarkan aku berpikir sejenak, ia langsung berkata, Apa
pendapatmu tentang sikap Hasan?
Aku menoleh heran kepadanya, Hasan siapa?
Bapaknya Mahdi.
Mahdi itu siapa?
Aneh! Ya salah seorang tokoh dalam kisah kita.
Oh, maaf.
Apa kau kira kalau sikap cintanya terhadap Aminah itu hal biasa?
Aminah siapa?
Kamu aneh! Ya seorang tokoh dalam skenario kita juga.
Oh, maafkan saya.
Kamu cepat sekali lupa, tapi tak apa-apa.
Dia memandangku dengan pandangan maklum yang membuatku malu. Aku
melihat bahwa lebih aman kalau aku menjauh dari perbincangan ini, maka aku bangkit
mencari sesuatu yang dapat menyibukkan kami dari kisah itu. Aku menemukan tangga

kayu yang tersandar di dinding kamar di atas loteng, yang dahulu digunakan sebagai
menara sarang burung merpati. Aku pun menaiki tangga itu hingga sampai ke puncak
menara. Tempat itu adalah tempat tertinggi di rumah itu, atau bahkan tempat tertinggi
di desa itu. Dari sana aku dapat melihat pemandangan kebun, parit, jalan, dan tempat
tinggal penduduk. Aku berdiri di puncaknya sambil menikmati pemandangan indah.
Lalu aku memanggil temanku dan dia pun naik. Dia berdiri di sampingku sambil
memperhatikan pepohonan kurma yang gemulai bergerak bersama angin, dan cahaya
bulan

menerawang di antara dedaunannya.

Sahabatku tak

dapat

menahan

kekagumannya, lalu berteriak, Lihat! Pepohonan itu seperti seorang wanita yang
bergerak gemulai mengenakan jilbab dari sutra!
Kami memperhatikan segalanya dengan ketenangan, dan keheningan itu
menyelubungi desa. Segala sesuatu di sana telah tertidur. Tiba-tiba sahabatku menunjuk
pada beberapa rumah petani di sekeliling kami dan berbisik, Lihat di atas loteng ini.
Aku menengok ke arah yang ia maksud dan berbisik, Apa?
Tidakkah kau lihat di sana?
Aku memperhatikan pandanganku dan berkata, Katakan padaku apa yang kau
lihat?
Dia berkata padaku dengan nada heran, Udara yang naik ke loteng itu
diselubungi kehitam- hitaman, tak ada yang dapat melihatnya kecuali mata yang indah
lagi bercahaya. Lihat, ia bergoyang bagaikan batang kurma yang mabuk bermain
dengan angin. Pepohonan itu adalah keindahan desa yang telah menjadikan malam
sebagai waktu yang tepat untuk bertemu dengan para perindu yang menunggu di bawah
dinding!
Aku menahan tawaku dan berkata padanya, Sekarang ini kita sangat jauh dari
kisah Romeo dan Juliet. Para wanita itu juga meninggalkan kamar dan naik ke loteng
karena lari dari panas, kutu busuk, dan nyamuk. Tak ada alasan lain selain itu.
Tetapi sahabatku tidak menghiraukan perkataan ini karena ia tidak ingin melihat
sekelilingnya itu sebagai hakikat yang nyata. Bagai orang yang bermimpi ia kembali
berkata bahwa Aminah, tokoh dalam kisahnya, sebaiknya keluar pada malam hari
seolah-olah ia hantu yang mengintai kekasihnya Mahdi dari atas loteng, dan Mahdi
melihatnya bagai matahari yang terbit dari Timur yang sinarnya telah membuat bulan
sakit. Warnanya telah menerangi wajah dan matanya yang berkilauan, hingga membuat
burung-burung berkicauan di pagi yang indah. Aminah hampir saja tak melihat
kekasihnya

menaiki

tembok,

karena

takut

kalau

keluarganya

mengetahui

kedatangannya. Maka ia meneriakkan sesuatu padanya... Sahabatku menoleh dan


berkata padaku, Di sini mulailah dialog itu, apa yang sebaiknya wanita ini katakan?
Aku menjawabnya dengan kesombongan yang tersembunyi, Ia berkata,
"Mengapa dan bagaimana kau datang ke sini sedangkan tembok ini tinggi. Oh, kalau
keluargaku melihatmu pasti mereka akan membunuhmu." Lalu ia menjawab, "Cinta itu
telah meminjamkan sayapnya padaku untuk memanjat tembok ini. Tumpukan batu tak
mungkin bisa menahan cinta. Cinta itu telah meminjamkan kepandaian padaku, maka
aku meminjamkannya mataku. Aku bukanlah seorang pelaut, tetapi jika kau adalah
sebuah pesisir di salah satu Samudra, niscaya aku segera mengembangkan layar dan
mengarungi lautan untukmu." Aminah kembali berkata, "Aku takut keluargaku
memergokimu di sini lalu mereka membunuhmu." Mahdi menjawab, Sayang sekali,
sungguh kedua matamu itu lebih sangat berbahaya bagiku daripada dua puluh kapak
mereka." Aminah berkata, Apa kau benar-benar mencintaiku? Kau bilang iya." Mahdi
menjawabnya, "Iya, aku bersumpah demi bulan yang menyinari pepohonan kurma ini."
Aminah berkata, "Tidak, jangan bersumpah demi bulan. Bulan ini berubah-ubah setiap
saat. Aku takut cintamu padaku seperti itu dan tidak kokoh. Jangan, jangan bersumpah.
Cukuplah kebahagiaanku dengan melihatmu. Kebahagiaanku malam ini belum
sempurna karena ia telah datang dengan tiba-tiba bagai kilat menyambar, yang lenyap
cahayanya sebelum kita bisa berteriak ada kilat!.
Sahabatku menoleh sambil seolah-olah marah padaku. Dia berkata, Apa kau
mengejekku? Itu kan dialognya Shakespear!(begini bkn tulisannya?)
Sambil tersenyum aku berkata, Apa boleh buat, kamu hanya melihat sesuatu
dengan mata khayalan dan cerita. Sesungguhnya hakikat yang aku ketahui bahwa di
desa seperti ini tak pernah kulihat kecintaan yang tinggi seperti itu, yang telah
menyusup ke dalam bingkainya bulan, matahari, angin, bunga, dan embun. Jikalau saja
kecintaan seperti itu ada, pastilah ada kebersihan di sini. Pastilah akan ada suatu
perasaan, dan pastilah akan muncul suatu keindahan. Bagi seorang wanita tak ada
keinginan untuk bersolek atau berperasaan tentang segala sesuatu yang indah, kecuali
karena panah cinta. Segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta di sini tidak lain adalah
cinta pada binatang atau cinta hamba sahaya; yaitu sesuatu yang rendah lagi hina yang
datang dan pergi tanpa bekas, kecuali bekas kebendaan biologis yang biasanya ada
pada golongan monyet atau beruk. Adapun cinta yang datang hingga membuka mata
dan jiwa untuk melihat kebaikan serta beberapa perasaan yang tinggi, takkan pergi
sampai membentuk pemiliknya menciptakan suatu bentuk baru, dan menampilkan
suatu kewibawaan! Kecintaan itu adalah sebaik-baik sekolah tinggi bagi perasaan

manusia. Kecintaan itu adalah sesuatu yang mengalir darinya seni dan keindahan, yang
keduanya merupakan pilar kemanusiaan. Kecintaan itu takkan kita dapati di dunia ini
sekarang, karena keberadaannya bermakna bahwa manusia yang lebih tinggi telah ada,
dan hal inilah yang tak mungkin kita terima setelah ada nya semua makhluk miskin ini.
Mungkin kau bertanya, mengapa tidak ada kecintaan seperti itu di sini? Maka
aku akan menjawab sekali lagi, karena penyebab itu tetap menjadi penyebab.
Sesungguhnya cinta mulia itu takkan muncul di suasana kehambaan, takkan tumbuh
kecuali di bumi kemerdekaan ruhani. Seorang wanita Mesir yang merawat selir takkan
memahami cinta itu kecuali seperti halnya para selir itu memahaminya. Sesungguhnya
cinta murni itu harus jatuh benih-benihnya dari langit, dan bukan dari dunia haram
yang tertutup langitnya.
Di sini sahabatku memotong pembicaraanku dan berteriak, Aneh, apakah
belum berakhir zaman haram itu? Aku melihat wanita Mesir telah bepergian untuk
belajar serta tampak modern.
Aku berkata padanya, Iya, revolusi ini memang telah terjadi. Reformis sosial
Qasim Amin telah berusaha sepanjang hidupnya demi menghancurkan belenggu
haram itu. Ia telah berhasil dan wanita telah menghancurkan belenggunya, lalu
muncul di masyarakat seolah-olah ia adalah wanita modern. Ia gembira dan merasa
bahwa ia telah sampai pada akhir. Tetapi sangat disayangkan! Jelas oleh mataku bahwa
dia masih dalam belenggu lain yang tidak ia perhatikan! Mungkin harus ada usaha
Qasim Amin berikutnya agar mampu menyelesaikan perjalanan itu! Memang wanita
Mesir telah keluar dari penjara lahirnya, tapi ia belum dapat keluar dari penjara
batinnya! Yaitu penjara yang menyerupai haram batin, tapi ia tak merasakannya
karena daya tangkap batinnya masih pendek. Sesungguhnya cinta mulia itu masih
gamang, bukan hanya bagi wanita desa saja melainkan bagi wanita kota yang
berpendidikan juga. Karena ruh selir putih yang utuh masih bersemayam dalam diri
para perempuan itu. Jikalau didapati cinta mulia ini di desa atau kota, niscaya langsung
didapati seni yang besar.
Sesungguhnya aku, yang mana kapasitasku adalah seorang periwayat, tak
mampu membuat dialog antara seorang wanita Mesir kepada seseorang yang
dicintainya. Jika ada dua orang di taman yang disinari bulan, apa yang mereka berdua
perbincangkan? Sangat sulit aku mengkhayalkan sesuatu yang indah yang terlintas di
antara mereka berdua. Karena wanita itu meskipun telah bebas secara fisik, namun dia
merasa masih ada sesuatu yang memenjarakannya. Dia tidak tahu apa yang akan
dikatakan kepada kekasihnya ketika bertemu nanti. Tak ada dalam sejarah hidup

sebelumnya yang dapat membantunya, tak ada lafadz sederhana yang mampu ia
ungkapkan, dan tak ada sesuatu dalam pikirannya yang dapat menolongnya. Eropa itu
berbicara tentang cinta karena di hadapan mereka ada gambar dewa Pipatris, kekasih
penyair Danti dan Lora de Tofaz pendamping Petrorik. Sehingga terbayang di antara
keduanya beberapa kejadian penting, dan teringat apa yang telah ia pelajari dari segala
keindahan syair, kejadian, norma mulia yang melahirkan cinta suci lagi murni it u.
Sesungguhnya seni, syair, dan sastra telah mengajarkan wanita Eropa apa yang harus
dikatakan dan bagaimana bersikap jika ia mencinta. Karena seni dan sastra merupakan
keharusan bagi nyonya besar istana sejak Zaman Swastanisasi. Jadi mereka sangat
menguasai syair dan seniman, serta memahami segala hal yang dimaksud dari hasil
karya seni itu.
Lalu siapakah orangnya kalau bukan wanita, yang mampu merasakan keindahan
alam dan perasaan?! Kemudian para nyonya istana itu mewariskan keahlian ini kepada
wanita awam, sehingga mereka mampu menerima seni yang dengannya mereka
memperindah ruhani mereka dengan memilih perhiasan yang dapat memperindah tubuh
mereka. Akhirnya mereka bisa membuka salon kecantikan untuk para seniman dan
penyair itu. Tentu saja itu merupakan warisan dari nyonya istana yang mampu
mengolah keindahan. Seorang nyonya patut dikatakan nyonya sesungguhnya, jika telah
mengalir di darahnya kebebasan dan kepemimpinan yang selalu membuatnya
merasakan bahwa ia sedang menjaga sesuatu atau melindungi manus ia. Oleh karena itu,
Eropa selalu melakukan rutinitas nasional untuk melindungi para fakir miskin, anakanak, orang-orang sakit, dan sebisa mungkin para seniman; yakni sekelompok orang
yang memerlukan perasaan seorang wanita lembut. Inilah makna kemerdekaa n ruhani
bagi wanita, yaitu kemerdekaan yang aku inginkan untuk anak-anak perempuan di
Mesir dan Timur.
Terkadang aku ditimpa kesulitan dari mereka karena aku bersungguh-sungguh
memaksakan mereka agar mampu mencapai tujuan ini. Sungguh aku akan merasakan
adanya revolusi besar-besaran jika jenjang tangga ini telah dicapai oleh kebangkitan
wanita Mesir dan Timur, yaitu dengan cara keluarnya mereka dari belenggu haram
batin, menanggalkan segala bekas selir, dan sampai pada tingkatan nyonya yang dapat
menciptakan serta melindungi sesuatu."

= 10 =

Sahabatku mengangkat kepalanya lalu menoleh padaku sambil berkata,


Apakah wanita Mesir telah mendengar pendapatmu ini?
Segera aku berkata, Aku takkan meninggalkan setiap kesempatan tanpa
mengutarakan pendapatku padanya, karena aku adalah salah satu penulis yang paling
keras menjaga kepentingannya. Sebaiknya aku mengatakan padamu sesuatu: Dalam diri
wanita Mesir ada keutamaan besar, yaitu ia mampu berkembang cepat dalam
kesenyapan. Oleh karena itu, aku berani berterus-terang padanya sampai menjurus pada
kekerasan sebagaimana yang aku sebutkan tadi, agar ia mampu memandang kembali
apa yang tertinggal ketika ia sedang melangkah luas. Dalam pikiranku bahwa
kemudahan yang berkembang antara wanita Mesir penyebabnya ringan, yaitu
kebiasaannya yang hanya menyimpan tabiat wanita Mesir terdahulu di bawah pakaian
selir Utsmani. Kewajiban kita tidak lain adalah mengingatkannya untuk menanggalkan
pakaian ini sedikit demi sedikit, agar tampaklah hakikat kebesarannya dulu; yaitu
mampu mengatur rumah, kerajaan, memperhatikan kesenian, dan meletakkan dasardasar peradaban. Aku akan selalu berbicara seperti ini dan takkan berhenti darinya,
walaupun dirintangi oleh kebencian umum, sampai nanti aku melihat wanita Mesir
menanggalkan pakaian selir putih sehingga muncul di baliknya keturunan Nefertiti dan
Hatsyipsut!
Berkata sahabatku, Tidakkah terpikirkan olehmu, daripada kau berpindahpindah hotel, lebih baik kau menikah agar dapat menanggalkan pakaian itu dengan
tanganmu sendiri?
Aku berkata padanya dengan nada agak tinggi, Aku bisa menanggalkan
pakaian seseorang? Lihatlah temanku, kau sesungguhnya tidak mengenaliku. Memang
aku dahlulu ingin menikah dengan seorang wanita Mesir. Tetapi ada suatu hal yang
menghadangku; yaitu aku tak tega dengannya karena kebiasaanku yang merepotkan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh para dokter bahwa aku dalam keadaan yang sulit ini,
mungkin dapat menyulitkannya, bahkan menyulitkan wanita Eropa yang terbiasa
memahami suaminya dalam keadaan seperti ini, mempelajari akhlaknya dan tabiatnya
dalam kesabaran penuh, serta menyediakan kehidupan yang sesuai dengannya.
Sungguh meskipun aku ini terlihat keras berkata terhadap wanita Mesir, tapi sangat
lembut terhadap mereka dan aku tak ingin mendorong mereka ke dalam cobaan berat
ini.
Aku rasa kau telah berlebihan.
Aku tak berlebihan. Beban itu akan terasa berat baginya, dan aku ini seorang
lelaki bebas yang hidup di udara bebas. Aku mungkin bisa mengendalikan sesuatu dari

atas secara global, dan bukan secara rinci. Barangsiapa yang ingin hidup bersamaku,
maka ia harus menanggung segala kesusahan atau tanggung jawab, dan meninggalkan
untukku global perusahaan atau sedikitnya permasalah besarnya. Ringkasnya,
sebaiknya istriku itu menjadikan aku ini sebagai pemilik undang-undang yang memiliki
dan tidak dapat menghukum! Aku juga memerlukan tangan-tangan mahir yang mampu
menyembunyikan kekuasaannya di balik sarung tangan lembut, juga memerlukan
politik yang mahir hingga aku tak merasakan kenyataan. Ia memberikan aku perasaan
kebebasan mutlak, dan akulah pemegang perintah serta larangan. Setelah itu, terserah
kalian bagaimana cara merampas dariku kebebasan itu dengan kelembutan yang tak
nampak. Sangat berbahaya bagi siapa saja yang meletakkan belenggu di kakiku dan aku
merasakan tusukannya! Tetapi keberhasilan yang cemerlang bagi siapa saja yang
mampu mengikatku tanpa aku rasakan, yaitu dengan benang sutra lembut hingga aku
dapat bergerak leluasa tanpa merasakan keberadaannya! Aku seorang lelaki yang tak
suka membohongi diriku sendiri, tetapi aku suka orang lain berbohong kepadaku!
Maka tertawalah sahabatku itu dan berkata, Aku kira keinginanmu itu tak sulit
untuk didapat, tetapi aku kira kau belum berusaha untuk mencarinya.
Mencari?! Apakah aku mencari orang yang aka n meletakkan belenggu di
tanganku? Tak pernah ada terciptakan seekor burung yang mencari seorang pemburu!
Meskipun demikian...
Meskipun demikian apa? keluar dari mulutnya ucapan itu bagai ingin
mengetahui rahasia di baliknya.
Maka aku berkata padanya sambil mengingat-ingat, Aku hampir saja menikah
sepuluh tahun yang lalu, tetapi...
Kemudian kembali aku mengingat- ingat tentang janji itu dan aku tersenyum.
Terlintas dalam benakku gambar kejadian yang menahan keinginanku untuk
melanjutkan pernikahan itu. Pada suatu Ashar aku naik kendaraan yang ditarik dua
ekor kuda, dan di sampingku ada salah seorang yang memperhatikan keperluanku.
Kami melihat kusir itu mengayunkan cambuk ke arah salah satu kuda, maka kuda itu
miring ke arah temannya seolah-olah ia mengadu kesakitan, dan kepala kedua kuda itu
saling bersentuhan. Melihat hal itu kami mulai berbincang-bincang bahwa kendaraan
kehidupan itu demikian; takkan terasa kepedihannya jika terikat antara kedua
mempelai, ikatan yang menguatkan putaran rodanya, dan keduanya saling mendukung
setiap datang Qadar dengan salah satu cambuknya. Lalu kami berkata, 'Siapa yang tahu
kalau ini juga rahasia di balik kesulitan yang kita lihat di beberapa kota; yaitu ketika
seseorang menggunakan satu kuda untuk kendaraannya.' Kemud ian kami terus

berdiskusi hingga kami mengatakan, 'Mengapa kesulitan itu tidak berjalan di atas
kendaraan kehidupan.' Saat itulah perkataan itu mulai ditujukan padaku, dan ia berterus
terang kalau kendaraan hidupku setelah hari ini sebaiknya tidak aku tarik sendiri,
karena ia bisa membebaniku sesuatu yang tak mampu aku topang, sedangkan aku
adalah seorang lelaki yang berperangai aneh. Mungkin saja aku berjalan tidak jelas
hingga membentur sesuatu di jalan karena tidak tahan dengan cambukan kusir. Atau
siapa pula yang tahu kalau sewaktu-waktu aku membinasakan kusirku, dan aku lari
sendiri membawa kendaraan itu tanpa penerang, terus berlari membawanya tanpa
petunjuk hingga akhirnya aku menabrak tembok.
Segala sesuatu berakhir dengan teriakan orang

yang memperhatikan

keperluanku itu, 'Kamu harus menikah.'


Maka aku berkata padanya, 'Tidak, aku bukan seperti halnya kuda itu. Tetapi
aku adalah seekor keledai liar yang memiliki warna alami hitam putih (zebra_pen.),
betapa indahnya ia jika menarik gerobak kota! Tetapi pelana itu tak dapat menyentuh
kepalanya! Ia diciptakan untuk bermain di hutan dan hidup dalam kebebasan alami
yang liar. Suatu mukjizat jika seseorang mampu membuat mereka menjadi jinak:
Seorang wanita yang ditangannya cambuk dari sutera menaklukkannya dengan
kesabaran, dan menari di atas pundaknya di gelanggang sirkus dengan diiringi musik
romantis! Maka sampai akan ada seorang wanita Mesir yang menaklukkan keledai liar
(zebra_pen.) di hutan Afrika kita, sampai sejauh itulah harapanku untuk menikah, da n
itu sangat sedikit kemungkinannya!'
Orang yang memperhatikan urusanku itu berteriak, 'Saudaraku, jangan
mempersulit keadaan! Keledai liar atau keledai jinak, yang penting keduanya keledai!
Mereka menikah, hidup, serta melahirkan keturunan jantan dan betina dalam lindungan
Allah, dua puluh empat karat! Hal ini sudah tertuliskan untuk kita semua. Aku mohon
dengarkanlah nasehatku, dan berusahalah sekuat mungkin untuk melakukannya!'
'Pada saat ini waktuku sempit.'
Ia memotong ucapanku sambil berteriak, 'Serahkan padaku permasalahan itu.'
Tak lewat satu bulan, aku menemukan orang mulia yang bertemu empat mata
denganku dan meletakkan foto seorang wanita aneh. Ia berkata padaku: 'Apa kau suka?'
Aku memperhatikan foto itu sejenak lalu aku berkata padanya, 'Dari sisi apa?'
Dia berteriak padaku, 'Tolonglah Filsuf, apakah wajahnya cocok?'
'Cocok.'
'Selesai sudah.'

Kemudian ia menarik tanganku dan berkata, 'Cepat berikan foto terakhir


milikmu.'
'Satu-satunya foto terakhir yang aku miliki adalah foto paspor.'
'Tidak bisa! Bangunlah, ayo kita buat foto lain!'
Lalu ia menarik tanganku dan membawaku ke studio foto terkenal. Kamerawan
itu meletakkan aku di depan papan bertirai hitam, dan ia ingin menarik tongkat dariku
agar tanganku ini bisa diletakkan di atas Drabizin(bisa diterjemahin nggak?) palsu
yang didatangkannya. Aku menolaknya, dan ia pun mengembalikan tongkatku. Orang
yang datang bersamaku melihat berdiriku dan ia rupanya tidak menyukainya, maka ia
berteriak kepada kamerawan itu, 'Dia berdiri di atas apa?'
Kamerawan itu berkata, 'Dia berdiri di atas tangga.'
Lalu ia berteriak, 'Apa hubungannya tangga dengan Drabizin? Coba buat dia
berdiri di tengah-tengah taman dan letakkan mawar di sekelilingnya. Angkat tirai yang
menyedihkan ini dari sisinya, dan letakkan penggantinya dengan gantungan melati atau
serumpun anggur! Singkatnya, buat pemandangan yang menggembirakan.' Kemudian
ia mendekati kamerawan itu dan membisikkan sesuatu di telinganya. Menganggukangguklah kepala kamerawan itu sambil berkata, 'Aku paham maumu.'
Segera ia mendatangkan tirai merah, pemandangan hijau, dan beberapa rumpun
bunga seraya berkata, 'Insya Allah aku akan membuatnya seperti bulan di langit!' Aku
ingin berteriak takjub dengan mukjizat ini, tapi aku terdiam oleh pemandanganpemandangan indah itu. Lalu kamerawan itu masuk ke dalam sesuatu yang mirip
dengan selimut hitam yang menutupi kameranya. Tak lama ia di dalamnya, lalu keluar
seraya berteriak: 'Satu, Dua, Tiga! Selamat!'
Aku meninggalkan tempatku berfoto dan mendatangi kamerawan itu sambil
berpesan padanya, 'Fotonya harus alami, jangan membuat perubahan!' Tanpa kusadari,
yang memperhatikan urusanku itu menarikku darinya dan mendorongku jauh-jauh, lalu
berkata pada kamerawan itu, 'Jangan kau dengarkan perkataannya!'
Kemudian ia menoleh padaku sambil berkata, 'Apa ada orang di dunia yang
berkata pada kamerawan untuk tidak membuat perubahan? Khususnya untuk Tuan!'
'Yang penting, aku harus melihat negatifnya dulu.'
Kamerawan itu berkata, 'Negatif foto bisa dilihat keesokan paginya.'
Kami pergi untuk kembali lagi esok hari. Ketika tiba keesokan harinya, aku
datang sendiri ke studio foto itu agar dapat melihat hasil negatif foto dengan sembunyisembunyi. Foto itu diperlihatkan padaku dan aku memperhatikan wajahku. Aku dapati
kalau kumisku tidak sama panjangnya, salah satunya lebih pendek dari yang lainnya.

Lalu kami mencari jalan keluarnya. Aku berkata bahwa satu-satunya perubahan yang
aku perbolehkan adalah dengan menambahkan bulu di kumis yang pendek agar
menjadi sama panjang dengan yang lainnya. Lalu aku pergi, sementara hari semakin
siang. Setelah itu aku bertemu dengan orang yang memperhatikan urusanku. Aku
menceritakan padanya perihal kumis itu. Dia tidak terlihat heran karena ia juga berlalu
di studio foto itu setelah kedatanganku. Ketika ia tahu permasalahan kumis itu, dia
memerintahkan kepada kamerawan untuk melenyapkannya semua. Tatkala aku
mendengar darinya perkataan itu, langsung saja aku berteriak, 'Dihilangkan semua?!'
'Memangnya kenapa?'
'Aku berkumis dan kalian melakukannya tanpa kumis, ini namanya penipuan!'
'Maaf saja, apa kita berbuat penipuan di Kompialah(hal.111)!'
'Memangnya penipuan itu hanya di Kompialah?!'
'Jadi maksud Anda agar keluarga Besan mengatakan kalau seseorang datang
melamar dengan kumis dan janggut?!'
'Apa kita akan melakukan kecurangan?!'
'Apa kamu paham kalau foto calon pengantin wanita itu tidak ada kecurangan di
dalamnya?'
'Sungguh aneh!'
'Tentu, hal itu sudah dipahami. Nanti akan jelas olehmu kalau yang kami
lakukan ini tidak ada bandingannya dengan apa yang mereka lakukan. Tenang sajalah!'
Maka langsung aku berkata, 'Alhamdulillah, aku sudah tenang. Jikalau hanya
bentuk yang kita inginkan, jadi permasalahannya adalah...'
Dia langsung memotong, 'Oh tidak. Permasalahan itu terbungkus dua puluh
empat karat. Kekayaannya terkenal dan penyelidikan kita benar. Adapun keadaan
ekonomimu sudah jelas.'
'Jadi itukah maksud kalian dari permasalahan itu?'
'Tentu saja, memangnya apa selain itu?'
Aku tak dapat menahan kesabaran. Aku bangun tanpa lama-lama menunggu
kesulitan jawaban itu, lalu pergi. Dan sampai saat ini pemikiran untuk menikah itu telah
hengkang dariku. Tak pernah kembali lagi hantunya kecuali bersamaan dengan
ingatanku akan perbincangan ini sebagaimana yang kau dengar. Dengan mengingatnya
aku langsung muak untuk melanjutkannya. Jadi perusahaan ini di antara dua jiwa yang
saling mengikat janji satu sama lain dalam berjalan mengarungi rintangan kehidupan,
dan senantiasa berdiri dengan jalan seperti ini. Jika cara ini cocok untuk kebanyakan
orang, tapi apakah cocok juga untuk orang sepertiku, dimana kehidupan pemikirannya

telah mempengaruhi kepribadian temannya?! Oleh karena itu, aku memilih jalan
selamat dan menolak untuk berpetualang. Khawatir kalau nanti aku jatuh dalam
kesalahan yang dapat merusak seluruh kehidupanku.
Kembalilah aku menyendiri. Penyedirian dingin yang menyelimutiku dari
segala penjuru. Sesungguhnya aku ini hanyalah bagai sebuah kubu kosong di tengahtengah padang pasir salju. Aku meletakkan di dalamnya secara kebetulan, sebuah kuali
bergolak yang mengepul uap darinya, yang tidak lain adalah pemikiran yang keluar dari
jendelaku dan sampai kepada sekelompok manusia. Jika seorang wanita memasuki
kubu ini, siapakah yang dapat menjamin apa yang akan dilemparkan wanita itu ke
dalam kuali, dan apa pula yang akan menguap darinya setelah itu!
Demikianlah aku menjalani hidup dengan berpindah-pindah, tersesat tanpa tahu
tempat atau alamat yang jelas. Tak ada hotel atau penginapan yang tak pernah aku
tempati, sampai suatu hari aku terguncang dengan keadaan ini serta tak ingin hidup
terus seperti ini bagai kehidupan sebuah pemikiran yang kelam dan jiwa yang linglung.
Maka aku ingin mencoba kehidupan baru untuk tetap tinggal di tempat yang aku pilih
sendiri di salah satu kawasan indah di kota Kairo. Menjorok ke sungai Nil, terlihat dari
jendelanya Benteng (Benteng Sholahuddin_pen.) dan Piramida. Aku sendiri yang
memilih perabotannya, membuat kantor yang bagus, lemari- lemari buku, mobil, dan
aku tinggal sendirian. Di sekelilingku hanya ada pembantu, koki, dan supir.
Lalu apa yang terjadi? Aku tak mampu bertahan dengan kehidupan seperti itu
selama satu tahun. Ketiga pembantuku satu persatu pergi dari pikiranku. Pembantu
orang Noubi itu telah menghancurkan piringan-piringanku yang mahal. Aku
menyelidikinya dan ternyata ia memata- mataiku. Ketika aku keluar pada pagi hari, dia
memutar Gramofon dan meletakkan apa yang dia dapati dari piringan yang ternyata
adalah piringan Beethoven dan Mozart. Dia merasa tidak enak bekerja kecuali dengan
mendengarkan musik ini.
Adapun koki, awalnya ia tampak mahir menggunakan tangannya. kemudian
kemampuannya menurun, sampai-sampai makanan yang dibuatnya itu terasa hanya
sebagai pekerjaan rutin, karena tak ada rasanya. Terkadang aku meninggalkan makanan
yang tersedia untukku dan pergi ke restoran kota. Makanan untuk pembantuku itu
bentuknya lain dari makananku. Kebanyakan makanannya lebih lezat.
Bukan hanya itu, aku juga telah tahu kalau koki itu membuat makanan yang
banyak untuk kemudian ia jual kepada para satpam tetangga. Dan pembantu itu
mengundang seluruh temannya dari Noubi setiap Ashar setelah kepergianku, untuk
minum teh bersama-sama. Hal itu tidak mengherankan bagiku. Sungguh, jumlah

pengeluaran untuk diriku sendiri tanpa kusadari adalah sama dengan jumlah
pengeluaran untuk sebuah keluarga beranggotakan sepuluh orang. Hal itu tak ada yang
mengingatkan padaku kecuali tamu yang lewat. Semua perbuatan ini tidak membuatku
marah, tapi yang benar-benar membuatku naik pitam adalah ketika aku mendapatkan
sebuah paku kecil di dalam salah satu macam makanan yang hampir saja aku telan.
Pada saat itu kesabaranku habis. Aku memahami kalau pembantu tanpa pengawasan
adalah salah satu bahaya umum. Suatu hari aku tak dapat menahan diriku dan berteriak,
'Demi Allah, aku pasti akan menikah dan aku serahkan diriku pada Allah!'
Adapun supir, ia tak pernah mendengarkan perintahku ketika aku suruh untuk
tidak mengebut. Aku benci kecepatan karena hal itu menghalangiku untuk berpikir.
Meskipun aku telah mengatakan padanya bahwa aku tidak terburu-buru karena tak ada
yang aku buru. Aku ini adalah musuh waktu dan zaman, sampai-sampai aku tak punya
jam karena waktu menurutku bukanlah bagai emas melainkan bagai tanah seperti
halnya tubuh kita. Tapi ia tetap saja melaju kencang seakan-akan ia ingin melemparku
secepat mungkin, menyelesaikan urusan denganku lalu melakukan urusannya.
Terkadang aku membiarkannya menunggu di pinggir jalan dan berjalan bebas sambil
berpikir semauku.
Kemudian aku tahu bahwa diriku tidak suka begadang, sangat pemalas, dan
cukup berkata padanya setiap Ashar, 'Ayo keluar ke tempat yang penuh udara segar.'
'Di mana?'
'Pilih tempat semaumu.'
Maka ia membawaku ke tempat yang ia pilih tanpa penolakan dariku.
Terkadang ia berhenti sejenak seraya mengatakan bahwa udara di sini segar serta
pemandangannya indah, dan aku tak berbicara karena pikiranku selalu berlainan arah
dengannya selama ia tidak terburu-buru denganku, dan tidak berkata padaku silakan,
kecuali ketika melihat bahwa telah datang waktu untuk bergerak. Lalu ia membawaku
ke tempat yang biasa aku minum teh. Jika aku memerintahkannya sore hari untuk pergi
ke bioskop, dia sudah tahu bahwa dia tidak harus bertanya bioskop yang mana, tapi ia
langsung membawaku berkeliling ke setiap tempat, lalu berhenti sejenak di salah satu
pintunya. Jika aku turun, berarti kewajibannya telah berakhir. Tapi kalau aku belum
turun, ia akan membawaku ke tempat lainnya. Jika kami telah melewati semuanya dan
aku belum turun juga, dia dengan sendirinya akan membawaku pulang ke rumah dan
berkata padaku silakan, lalu aku turun dari mobil tanpa berkata apa-apa. Dia telah
merasakan adanya kekuasaan yang luas di tangannya, maka ia memanfaatkannya
belakangan ini, bagai orang bejat yang memanfaatkan kebebasan bangsa. Maka jika ia

ingin melaksanakan salah satu urusannya, ia berkeliling ke tempat-tempat itu dengan


cepat, sehingga aku tak

mampu terbangun dari perhatianku. Kemudian ia

mengembalikan aku ke rumah sebelum jam sembilan sambil berkata silakan, dan aku
turun tanpa menyadari apa yang telah terjadi. Suatu malam aku paham akan
kemauannya, dan pada saat itu aku ingin sekali begadang. Aku tak dapat menahan
diriku dan langsung saja aku berteriak, 'Maumu aku ini tidur Maghrib ya?! Demi Allah,
aku takkan turun.'
Begitulah keadaanku di tempat tinggal pribadiku bersama para pembantu itu.
Aku menetap seperti itu selama beberapa waktu. Aku memendam dalam diriku
mikrobat revolusi besar terhadap sistem itu. Suatu hari rumah itu hening dari yang
mereka sebut dirinya sebagai pembantu. Ketika menjelang pagi aku menyiapkan koper
dan memanggil satpam pintu, meminta darinya agar mencarikan orang yang dapat
menggantikan menjaga rumah beserta perabotannya ini. Dia mengatakan bahwa ada
orang Inggris bersama istrinya, maka aku meninggalkan kepada mereka berdua
segalanya, bahkan buku-bukuku. Aku keluar dari rumah itu tanpa membawa segala
sesuatu, bahkan botol air, kalengan keju, selai, susu, teh, roti. Aku usir para pembantu,
aku tinggalkan mobil, dan melaju sendiri mengenyam kemerdekaan baru.
Aku berpindah-pindah hotel, mengelilingi jalan, melompat ke gerbong-gerbong
trem dan bus, bercampur dengan masyarakat. Aku merasakan kalau darah itu kembali
mengalir panas di urat-uratku, kakiku gembira telah kembali menyentuh tanah,
pikiranku kembali meloncat bersemangat bersama perjalanan dengan kaki ke setiap
penjuru, dan perhatian orang kepadaku menyuburkan kembali otakku yang dahulu
terkurung lama di balik kaca. Aku berdiri memperhatikan penjual jagung. Sambil dia
memanggangnya di atas gerobak kecilnya, aku bersenda gurau dengannya tanpa ada
yang terburu-buru denganku atau mobil menungguku. Aku mendengarkan obrolan
panjangnya pada malam itu bersama penyapu jalan, aku bergabung dengan mereka
berdua dalam perbincangan, dan begadang bersama. Aku lihat penyapu jalan itu
meladeni penjual jagung karena ingin mendapatkan jagung, dan penjual itu sama sekali
tidak menyadarinya, dia tak pernah mengundangnya karena pekerjaan itu adalah
pekerjaan, menurut ungkapan para pedagang. Aku akhirnya membeli dua jagung bakar,
yang satu aku berikan kepada tukang sapu itu dan yang satu lagi untuk diriku. Maka
tukang sapu itu dengan ikhlas berdoa untukku, lalu makan sambil bercerita sebuah
kisah yang indah tentang orang awam padaku.

Kisah ini kembali terlintas di benakku ketika sutradara itu bertanya padaku dan
sama sekali tidak kujawab kecuali dengan senyuman yang keluar karena mengingat
cerita itu.

= 11 =

Gemulai embun pagi mendatangi kami. Maka aku pun menghentikan


pembicaraan. Berakhirlah urusanku untuk "menahan" sahabatku. Sekarang ia bebas
untuk pergi dan berbuat semaunya. Adzan Shubuh berkumandang dari salah satu
menara surau desa itu, dan kami melihat para petani bermunculan ke atas loteng untuk
mengeluarkan binatang ternak menuju ladang. Kami mendengar suara kamerawan itu
berteriak menyeru kami dari bawah rumah, mengajak kami untuk mengambil gambar
matahari terbit. Kami melihat istrinya yang bersemangat itu sedang mengatur para
pembantu dan menghangatkan susu, serta menyiapkan sarapan pagi.
Kami tak sempat menghabiskan minuman kopi dan susu karena bergegas
menuju pekerjaan. Aku mengingat keledaiku, maka aku pun mengutus seseorang untuk
mengambilnya dari rumah kepada desa. Mereka mendatangkannya seraya berkata
bahwa mereka telah membawanya keliling ke seluruh keledai, baik itu yang baru saja
melahirkan atau yang sedang mengandung di desa ini, tapi ia tidak mau mendekati
susunya dan tetap melakukan puasa sufi, sehingga kami rasa bahwa ia pasti akan mati.
Maka sang sutradara berteriak: Siapkan kamera kami sekarang untuk mengambil
gambar Filsuf sebelum ia menjumpai ajalnya.
Mereka mendudukkan aku di atas alat giling gandum yang di belakangnya
tampak tumpukan gandum, dan mereka mendorong anak keledai lemah itu ke
sampingku. Keledai miskin itu bergerak sebagaimana yang mereka inginkan tanpa ada
pemberontakan. Ia melihatku telah membuka kedua telapak tangan di atas paha, maka
ia maju dan meletakkan kepalanya di antara kedua telapak tanganku itu. Sutradara itu
berteriak girang. Ini sikap yang bagus, Filsuf itu berpikir sambil meletakkan
kepalanya di telapak tangannya!
Maka aku memotong sambil menanggapi, Kedua telapak tangan itu milikku.
Kamerawan itu berkata sambil mengambil gambar, Tak ada bedanya.
Maksudku tak apa-apa, tak ada salahnya.
Tak ada bedanya? Tidak, tapi di sana ada bedanya. Filsuf ini lebih berhak
mendapat gelar seperti ini daripada aku, meskipun aku ini benar-benar seorang filsuf.
Tidak tampak darinya bahwa ia mengetahui apa yang ia lakukan. Bentuk kamera itu

tidak mengundang perhatiannya sebagaimana yang dilakukan sebuah cermin, yang


mampu membuatnya mengetahui dirinya sendiri. Itulah yang selalu ingin kami
dapatkan, dan itulah maksud para filsuf di setiap waktu dan tempat. Adapun kamera itu
adalah alat orang untuk mengambil gambar, tapi seorang filsuf sebenarnya tidak peduli
akan pendapat orang terhadap dirinya!
Mereka selesai memotretnya dan kami menyerahkan Filsuf itu kepada salah
seorang petani untuk mengembalikannya ke tempat dia menunggu Qada yang sudah
pasti menjemput kita sepanjang masa. Kami berjalan menyusuri sawah ladang sampai
hampir saja sendi-sendiku terasa mau copot. Adapun para sahabatku, mereka tak
tampak merasa letih, karena mereka telah lama menggandrungi kehidupan di desa ini.
Tak ada satu binatang pun yang lepas dari pemotretan mereka, dan tak ada satu pun
peralatan tani yang lepas dari pengambilan gambar. Juga tak ada kakek tua, pemuda
tegar, atau pemudi anggun yang tidak mereka berhentikan untuk diambil gambar nya,
dibuat heran, dan direpotkan. Kemudian mereka memberikan setiap orang itu, beberapa
peser uang logam perak yang khusus disiapkan untuk kepentingan seperti ini. Sehingga
berkumpul di sekeliling kami orang tua, pemuda-pemudi, dan anak-anak beserta
binatang piaraan mereka. Setiap orang mengatakan, Foto kami!, Tolonglah ambil
gambar kami! Beri uangnya pak, lalu potret anak-anak itu! Aku akhirnya
meninggalkan mereka semaunya dan duduk meringkuk di pinggir jalan kampung
sambil menunggu waktu datangnya jalan keluar. Lalu berkata pada diriku sendiri, Ah,
andai saja datang sebuah bis dan aku letakkan kakiku di dalamnya.

= 12 =

Akhirnya Ashar itu tiba, aku pun mengingatkan sahabatku akan waktu
kepulanganku. Aku mengingatkannya akan keharusanku berada di Kairo pada sore itu.
Ia lalu memerintahkan pembantu untuk menyiapkan mobil dan mengambil tas kecilku.
Aku berpamitan kepada semuanya dan dengan basa-basi aku mengatakan pada meraka
bahwa aku akan kembali lagi sesegera mungkin. Sutradara itu memerintahkan sang
pembantu untuk mengantarkan aku sampai ke hotel dan mengatakan padaku bahwa ia
akan datang ke Kairo dalam dua atau tiga hari la gi. Ia akan mengunjungiku, dan
berpesan agar memfokuskan konsentrasiku pada permasalahan dialog itu. Ia berharap
kalau aku dapat menuliskan sesuatu karena aku telah melihat keadaan desa tempat
dilakukannya pengambilan gambar nanti. Ia juga menegaskan kalau akulah satusatunya orang yang ditunggu untuk memulai pengambilan gambar film itu, karena

segala sesuatu telah siap: skenario film, tempat syuting, semua aktor dan aktris telah
ada, dan sekian rol film telah disediakan oleh perusahaan dan tersimpan baik d i gudang,
di bawah kendali sutradara. Jadi segala sesuatu telah tersedia kecuali dialognya. Aku
pun menenangkannya dalam dua kata. Dia menyalamiku tanganku dengan keras, dan
mengantarku naik ke mobil, lalu kami melaju.
Aku tiba di hotel sore itu dengan keletihan yang tak terhingga akibat begadang
pada malam yang kelam itu. Segera aku naik ke kamarku. Aku menanggalkan pakaian
yang berlapiskan debu serta kutu busuk. Aku mandi dan berendam dalam air hangat
selama satu jam, lalu aku segera menuju tempat tidur. Aku pun tertidur pulas, tak tahu
apa yang terjadi kecuali ketika aku terbangun pada keesokan paginya.
Kehidupanku kembali berlalu seperti biasanya, dan terlupakan olehku segala
kejadian yang baru saja berlalu serta apa yang harus aku lakukan nanti. Aku dis ibukkan
oleh berbagai macam pekerjaan. Hari demi hari berlalu tanpa terasa, sampai ketika
akhirnya datanglah sutradara itu pada suatu sore. Ketika kami bertemu, ia langsung
memulai pembicaraan dengan teriakan gembira, Kami telah temukan seorang
Aminah yang cantik!
Aku mengerutkan dahi. Aminah?!
Tokoh dalam kisah itu.
Oh!
Lihat. Ia mengeluarkan dari kantungnya sebuah pas foto seorang wanita desa
yang benar-benar cantik. Aku memperhatikannya sejenak dan berkata padanya, Di
mana kau menemukannya?
Aku takkan berbohong padamu. Bukan aku yang menemukannya. Kami telah
mencari ke sana ke mari di desa itu atau di desa tetangga, orang yang pantas untuk
memerankan Aminah. Maka kami akhirnya pergi ke orang desa ternama ......... yang
bekerja untuk perusahaan Eropa dan Amerika, yang bertempat tinggal di dekat Piramid.
Ia telah terbiasa memahami wajah, kuda, unta, dan orang-orang yang cocok untuk
memerankan seluruh film yang menayangkan tentang Mesir, Timur, pedesaan, atau
padang pasir. Aku datang padamu sekarang untuk mengajakmu pergi ke tenda orang itu
besok, karena akan ada atraksi kuda orang Badui. Ia juga akan memperlihatkan pada
kita pemuda-pemudi desa untuk kita pilih menjadi pemeran-pemeran pembantu dalam
film nanti. Oleh karena itu, engkau sebaiknya bersama kami mulai besok pagi."
Aku membayangkan wajah hantu yang menggerayangiku pada hari ketika aku
pergi ke desa, maka aku berteriak, Ini mustahil! Aku menjelaskan berbagai macam
alasan.

Akhirnya lelaki itu hanya mampu mengatakan, Sedikitnya kau b isa hadir
dalam makan malam.
Makan malam apa?
Dia mengatakan padaku bahwa penanggung jawab keuangan dan kepegawaian
telah menyiapkan sebuah tenda di samping Piramid untuk sebuah santap malam besok
sore, dengan mengundang para keluarga Eropa yang bersangkut paut dengan kesenian
ini.
Yang ini juga tidak. Aku bukan orang yang suka berkumpul, jadi tak ada
manfaatnya kalian mengundangku untuk datang ke makan malam itu. Tinggalkanlah
aku sendiri dengan urusanku, kataku bersikeras.
Dia lalu mengatakan bahwa selingan itu takkan melebihi dua jam, dan akan ada
mobil yang membawaku kembali ke hotel sebelum jam delapan malam. Kemudian ia
bangkit minta izin dan berkata, Sampai besok.
Ia pergi tanpa membicarakan satu hal pun tentang dialog itu dan aku pun
gembira. Aku berkata dalam hati bahwa kebaikannya ini harus dibalas dengan kebaikan
juga. Aku pun menguatkan tekad untuk mempelajari dialog itu pada Ashar besok.
Ketika hari esok itu tiba, maka seperti biasanya aku dilalaikan oleh banyak hal, hingga
datanglah petang. Aku berdiam sendiri di kamarku. Sambil menanggalkan pakaian, aku
melihat kesempatan datang untuk membuka lembaran skenario itu. Sambil menahan
diri, aku mempelajari skenario itu dengan diselimuti hawa panas sehingga keringat
bercucuran dari dahiku. Makna demi makna -kalaupun ada maknanya- melebur dekat
dari pikiranku. Tak ada yang dapat menolongku dari keadaan itu kecuali suara telepon
yang mengabarkan bahwa sebuah mobil telah menungguku di pintu hotel. Aku
mengembalikan skenario itu pada tempatnya semula, lalu segera turun dan naik mobil
itu hingga tiba di hadapan sebuah tenda yang terletak di padang pasir Piramid. Aku
turun dan menuju ke sana. Aku melihat banyak undangan yang telah berdatangan, yang
kebanyakan telah aku kenal sebelumnya. Mereka meletakk an meja makan di luar, dan
meletakkan kursi-kursi panjang di atas pasir. Jadi, barangsiapa yang ingin duduk di
kursi dia bisa duduk, dan barangsiapa yang ingin makan atau minum dia bisa
mendekati meja makan itu. Kegembiraan serta kemeriahan menghiasi tempat itu. Sang
sutradara setiap waktu mengumumkan bahwa akulah yang membuat dialognya, seolaholah ia ingin mempermalukan aku. Walau bagaimanapun, banyak orang yang berkatakata tentangku, Rupanya sinema itu telah menarik perhatianmu!
Aku tak tahu apa yang harus aku jawab. Maka aku pun bergumam dengan
perkataan yang tak jelas. Akhirnya aku menyelinap di antara para hadirin, dan duduk di

atas kursi panjang sambil memperhatikan padang pasir yang terbentang di hadapanku
bagaikan lautan. Aku melihat cahaya bulan bermainan dengan pasir hingga terlihat
bagai gelombang ombak. Aku memejamkan mataku sambil berkhayal sedang menaiki
sebuah perahu layar menuju Eropa yang indah. Aku merasakan keberadaan seseorang
di sampingku, yang duduk di sebuah bangku panjang yang koso ng. Aku menoleh, dan
ternyata ia adalah salah seorang wanita yang diundan. Ia ingin berbicara denganku.
Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung berkata, Kamu suka menyendiri ya?
Aku berkata tanpa bergerak, seolah-olah aku berbicara pada diriku sendiri,
Sudah ditakdirkan padaku begini.
Aku lihat kamu lari dari semua orang.
Sebelum mereka lari dariku.
Aku pun memilih untuk tetap diam. Ia tak tahu apa yang harus dibicarakan lagi,
lalu ia melihat ke langit dan berkata, Bulan itu sungguh indah.
Ia telah mengubah dirinya hingga darahnya mengering dan beku, hingga ia
takkan bangun kecuali oleh tusukan yang mengeluarkan racun. Ada beberapa
permasalahan yang jika seseorang menusukkannya padaku pasti aku mengeluarkan
komentar, lalu setelah itu aku kembali diam merenungi diriku.
Permasalahan apakah yang menusukmu sekarang?
Diriku sendiri. Maukah kau aku tunjukkan bentuk diriku sebagaimana yang
aku lihat sekarang ini? Aku ini sebuah bangunan yang berdiri di atas air yang mengalir ,
atau sebuah istana yang dibangun di atas pasir. Tak ada sesuatu pun pada diriku yang
dapat bertahan kekal. Aku tidak memuja sesuatu, tidak menghormati seseorang, dan
tidak memandang serius kecuali pada satu hal: yaitu pemikiran. Cahaya yang terang ini
ada di puncak Piramid yang memiliki empat sudut: keindahan, kebaikan, kebenaran,
dan kebebasan. Piramid inilah sesuatu yang teguh dalam keberadaanku. Sebagaimana
yang kau lihat, aku ini bukanlah orang yang suka berkumpul. Aku bukanlah orang yang
pandai berkata-kata, suka berguyon dalam kumpulan, dan tak bisa berbicara di hadapan
orang banyak. Jika kau hadir dalam suatu undangan, para hadirin takkan dapat
menunggu lama kehadiranku melebihi angin lalu, dan memandang seperlunya tanpa
terlihat cahaya keberadaannya. Sejak lama orang yang mengetahuiku berselisih
pendapat denganku, dan mereka masih saja demikian sekarang. Di antara sebagian
orang ada yang menganggap aku ini sederhana. Ini benar, dan aku takkan mengatakan
lebih dari itu.
Wanita itu terdiam sebentar, lalu berkata, Aku telah membaca salah satu
bukumu dan kau telah mengarang sejumlah tulisan dengan jiwa besar, kocak, dan

dengan ungkapan yang ringan. Maka demikianlah aku menggambarkan dirimu dalam
kehidupan nyata.
Maaf, aku telah memupuskan prasangkamu.
Tidak, prasangkaku tidak pupus. Tapi engkau bagai bulan yang bercahaya dari
jauh.
Lalu aku langsung menyambung perkataannya, Dan jika aku mendekatinya,
aku mendapatinya sebagai sosok yang gelap.
Segera ia berkata dengan nada memohon, Maaf, aku tidak bermaksud
berandai-andai sejauh ini.
Seharusnya memang demikian, agar ada kesamaan antara kebenaran dan
keindahannya, meskipun demikian itulah kebenaran yang sesungguhnya.
Engkau berlebihan dalam menyikapi dirimu.
Tidak.
Aku lihat kau sekarang misalnya, telah memulai pembicaraan yang menarik.
Karena kamu tahu bagaimana cara memasukkan perkataan yang aku
perhatikan. Aku seperti ular malas di hari- hari musim dingin yang tetap diam
melingkar, tapi menurut orang lain aku seorang yang mahir lagi cerdik. Suatu hari
berkata salah seorang yang memperhatikanku, 'Kamu aneh, kau bisa tidak tahu sesuatu
yang seharusnya semua orang tahu, dan mengetahui sesuatu yang orang tidak tahu!'
Berkata pula pemilik motel tempat aku tinggal selama beberapa hari, 'Izinkanlah aku
mengungkapkan sesuatu yang menyatakan tentang pendapatku akan dirimu. Terkadang
kamu terlihat tidak tahu apa yang kau inginkan, bahkan terkadang tampak darimu, aku
mohon maaf jika perkataan ini kasar, bahwa kau kurang cerdas dan sederhana dalam
berpikir. Tetapi terkadang juga tampak melebihi kami dalam kecekatan ataupun
pemikiran. Tak ragu lagi, kau ini adalah salah satu teka-teki!' Di setiap tempat aku
mendengar ada orang yang mengatakan hal seperti itu padaku. Oleh karena itu, aku
kehilangan

kejelasan

dalam

mengarungi kehidupan.

Kegamangan

ini

telah

mempengaruhi kepribadianku sehingga aku senantiasa mencarinya. Sejak kecil aku


sering berlama-lama memperhatikan sampai berlalu kehidupanku, sambil berharap
dalam setiap perkembangannya agar dapat kembali normal seperti sedia kala.
Keadaanku selalu saja seperti anak keledai yang kami temukan dan kami beri nama
Filsuf. Ia terlahir sejak dua hari, dan pergi dari botol susu menuju hadapan cermin
lemari untuk memperhatikan dirinya!
Begitulah diriku. Sejak kecil aku lari dari kemegaha n kehidupan yang
menghanyutkan

para

pemuda-pemudi,

menuju

sebuah

cermin

agar

dapat

memperhatikan diriku di dalamnya. Perhatian itu lebih jauh dari perhatian Nersis akan
dirinya di sungai Ghadran. Perhatian itu bukanlah perhatian kebanggaan dan
kecongkakan, melainkan perhatian orang yang sedang mencari dalam kebingungan.
Akulah orang yang paling menerobos penjuru diri sendiri, karena aku meyakini bahwa
alam itu takkan bersemayam pada diriku, hingga ia takkan memberiku satu cahaya pun.
Aku adalah sebuah jasad kelam yang menerangi (sebagaimana yang kau katakan)
dengan pemikiran yang keluar dariku, dan tak ada lagi hal lain kecuali itu. Tapi
sesungguhnya aku ini adalah sebuah tanah tandus dimana semuanya bebatuan yang tak
dapat ditempati oleh manusia. Apakah kau pernah mendengar seseorang tinggal di
suatu masyarakat tanpa teman? Akulah orang yang tinggal sendirian dalam masyarakat
tanpa teman itu. Aku tak melihat orang kecuali berkepentingan untuk berbincangbincang sedikit perihal sastra, pemikiran, atau kesenia n, yaitu orang-orang yang
seprofesi denganku. Dengan terpaksa aku berjumpa dengan mereka. Adapun sisa
kehidupanku adalah jauh dari masyarakat. Aku tidak menanyakan orang lain dan orang
pun tak menanyakan tentang diriku, karena aku tidak memiliki sifat yang dapat menarik
perhatian orang lain atau meladeni mereka ketika bersahabat denganku. Aku senantiasa
berusaha mencari dan menggali di seluruh penjuru diriku, dengan harapan dapat
menemukan di antara celahnya sebuah logam berharga yang sedikit bercahaya. "
Lalu aku terdiam dan wanita itu tak berani untuk bicara. Ketika telah tampak di
wajahnya tanda-tanda ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba salah seorang undangan
menemuinya sehingga ia sibuk berbicara padanya. Aku kembali menutup mata dan
menyerahkan khayalanku. Malam indah bersama angin lembut saling berdampingan
mendatangkan kantuk di kelopak mataku, hingga aku tak merasakan sesuatu di
sekelilingku kecuali jatuhnya penutup ringan dari wol, yang diletakkan oleh tangan
lembut untuk menutupi tubuhku. Kemudian datang beberapa bisikan yang sampai ke
pikiranku, setiap kali diriku terjaga oleh beberapa sebab. Terbayangkan olehku bahwa
aku mendengar seseorang berkata, Apakah dia tidur?
Maka berkata suara lembut seorang wanita, Sebenarnya aku ingin bertanya
padanya.
Lalu suara lain menjawabnya, Jangan kau bangunkan dia, tidurnya itu sudah
pulas.
Wanita itu berkata, Dia aneh. Kami ingin ia berbincang-bincang dengan kami,
tetapi ia malah melewati malam tanpa begadang.
Lalu suara yang aku kenal menjawabnya.

= 13 =

Sahabatku sang sutradara itu mengunjungiku pada keesokan harinya dan


berkata padaku dengan nada bercampur sedikit kesombongan, Saya harap kau telah
tertidur nyenyak tadi malam.
Aku berkata padanya, Semoga saja hal itu tidak mengecewakan para tamumu.
Tentu tidak, kalau saja hal itu terjadi pada orang lain pasti akan timbul makna
lain. Tapi hal itu datang dari dirimu dan kamu boleh berbuat apa saja.
Apa yang kau maksud?
Maksudku, bahwa bagi seorang seniman hal itu adalah suatu kebebasan yang
tak dapat dirasakan oleh orang lain. Dahulu seorang pelukis besar bernama Picasso
menghadiri pesta-pesta malam dengan seragam kerja yang bersimbahan cat, sedangkan
orang lain tidak boleh datang kecuali dengan Frak.
Begitu pulalah keadaannya dalam kebanyakan pertemuan yang aku ikuti: orang
yang hadir dan juga hilang, serta yang bersama kami, tapi ia tidak bersama kami.
Kemudian mereka kembali berbahagia seperti semula sampai akhirnya malam semakin
larut dan tibalah waktu pulang. Mereka melihat bahwa aku harus dibangunkan, maka
mereka pun membangunkan aku. Mereka menyiapkan tempatku di mobil dan aku pun
meninggalkan mereka dengan keadaan setengah sadar.
Terima kasih atas semua kemurahanmu yang kau berikan padaku.
Memang nyatanya demikian. Aku tak menginginkan apapun darimu kecuali
satu hal!
Satu saja?
Iya. Aku telah menunggu tema dialog itu, dan aku mengira kalau kau akan
mengutarakannya sedikit kepada hadirin.
Aku langsung memotongnya. Aku berbicara di hadapan hadirin?! Siapa yang
bilang padamu bahwa aku biasa berbicara di hadapan para hadirin atau yang tak hadir.
Dia berkata sambil memandangku, Aku dahulu tidak tahu kebiasaanmu, tapi
sekarang aku telah memahaminya. Kau tidak berbicara di hadapan orang tetapi kau
membuat dialog yang harus diutarakan oleh para pemeran kisahmu.
Dia melihat padaku dengan pandangan cemas dan berkata, Apa kau tidak bisa
begitu juga?
Aku tak bisa.
Tampak darinya bahwa ia tidak paham denganku. Ia terus saja memandangiku
dengan pandangan penuh tanda tanya sambil menunggu jawaban. Aku berkata padanya,

Telah jelas olehku suatu hal yang tak kuketahui sebelum melihatmu, yaitu seorang
penulis yang sesungguhnya tak mungkin menikmati pekerjaannya di sinema, karena
dalam sinema itu segalanya tunduk di bawah sutradara. Jadi, sutradara film adalah
pengatur segala sesuatu dan dialah yang menciptakan suasana pekerjaan dengan
tabiatnya. Pembuat skenario, penulis dialog, pengatur gambar, pengatur suara,
kamerawan, para pemeran film dan seterusnya itu, hanyalah unsur-unsur atau bagianbagian

yang

terpecah-belah.

Sutradaralah

yang

mengumpulkannya

dan

mengarahkannya kepada sesuatu yang ia inginkan. Perumpamaannya adalah seperti


seorang penulis dalam bidangnya. Seorang penulis yang sesungguhnya adalah juga
yang menundukkan segala sesuatu di bawah kehendaknya. Dialah yang mengumpulkan
gambar, pertunjukan, penelitian, percobaan, kejadian di masyarakat, berita sejarah, dan
legenda para pendahulu. Lalu ia meramu dari semua ini atau dari sebagian darinya,
sebuah unsur kesenian yang berdiri dengan sendirinya. Seorang penulis sesungguhnya
bukanlah yang memaparkan dengan bahasanya suatu kalimat besar lagi indah, tapi
adalah yang menciptakan suatu dunia yang penuh dengan orang-orang yang hidup
berjalan dan merasakan tanpa membutuhkan pena orang lain dala m menciptakan
lingkungan seperti ini. Shakespear, Muller dan Joteh, adalah para penulis yang
sesungguhnya karena kisah-kisah mereka mampu menggambarkan bagi kemanusiaan,
sebuah dunia besar nan indah, dengan hanya membaca sendiri tanpa membutuhkan
suatu sanggar atau pun pemeran. Meskipun bekas-bekas mereka sangat memerlukan
pemeranan agar orang-orang yang kita sebut-sebut sebagai penulis itu dapat berdiri di
dalamnya.
Seorang penulis yang sesungguhnya itu adalah yang menyeluruh, bukan yang
sebagian saja. Bahkan tingkatan para penulis itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat
kemampuan mereka akan keseluruhan dan kesempurnaan itu. Jadi para penulis besar
menurutku adalah mereka yang diberi langit, semua kunci perasaan manusia. Mereka
mampu membuat menangis, membuat tertawa, mengangkat perasaan dan pemikiran ke
puncak khayalan, syair, dan tasawuf. Juga mereka mampu menurunkannya ke tengahtengah kenyataan kehidupan dunia. Oleh karena itu pulalah ketiga orang yang tadi aku
sebutkan adalah para penulis besar yang sempurna. Shakespear di komedi, drama dan
syairnya, telah mengelilingi semua yang manusia sebut dengan perasaan, serta
karyanya telah tergantung di dunia pemikiran yang terkenal. Begitu pula Muller, dia
telah menunjukkan dengan kisah-kisahnya kalau ia mampu bersenda gurau. Adapun
sisi baiknya, dia benar-benar orang yang cerdas lagi sempurna ketika kebanyakan orang
tampak kehebatannya hanya terbatas di salah satu sisi perasaan kemanusiaannya saja.

Dunia-dunia yang mereka ciptakan bagai bintang-bintang terang yang berenang-renang


di alam pemikiran, tapi sinarnya hanya berada di lingkaran cahaya dunia ini. Kemudian
sesungguhnya seorang penulis besar seperti seorang sutradara film, mampu meletakkan
tabiatnya dalam suatu karya yang bukan ciptaannya. Contohnya Shakespear telah turun
dalam kebanyakan kisah-kisah Itali, Muller dalam kebanyakan kisah-kisah Spanyol,
dan Goethe dalam kebanyakan legenda-legenda zaman pertengahan. Maka seorang
penulis besar bagai seorang pahlawan besar yang terkadang berada di tanah yang bukan
miliknya,

ia

mampu

menaklukkannya,

meletakkan

sistem pemerintahannya,

mewarnainya dengan warna pemikiran serta kebudayaannya, lalu meletakkan bendera


kepandaiannya agar sejarah mengetahuinya.
Aku kembali terdiam dan menoleh pada sahabatku yang berkata dengan nada
sedih, Dan hasilnya?
Aku bangkit mengambil lembaran- lembaran kisahnya dan memberikan
padanya. Lalu aku mengeluarkan daftar cek sambil berkata, Hasilnya adalah, aku akan
mengembalikan uang kalian dan kita batalkan perjanjian ini.
Lelaki itu terdiam sambil menunduk sejenak, lalu ia mengangkat kepalanya
seraya berkata, Saya harap kau menunggu sejenak dan izinkan aku berkata kasar
padamu, bahwa kau adalah orang termalas yang pernah aku jumpai. Semua perkataan
yang baru saja kau ucapkan hanya sebuah alasan yang mampu membebaskanmu dari
pekerjaan ini, tapi aku ingin kau memikirkannya sejenak, karena pengunduran dirimu
itu merupakan kejutan bagiku yang takkan dapat kuterima.
Aku berpikir sejenak, lalu berkata, Semoga kau benar. Mungkin saja karena
panas, letih, dan susah payah. Walau bagaimanapun, tak ada harapan aku bekerja di
sini. Jadwal keberangkatanku telah dekat. Jika kau melihat dialog itu dapat aku bawa ke
Swiss, aku yakin mampu menyelesaikannya selama dua pekan di atas pegunungan
indah, danau, dan udara bersih itu. Perjalanan dengan pesawat terbang sangat cepat.
Jika kau mau aku bisa mengirimkan padamu hasil buatanku sedikit demi sedikit, dan
akan tiba padamu dalam jangka waktu dua hari. Jika kau mau, setelah itu aku akan ke
Perancis untuk bertemu dengan Tuan ...... untuk menolongnya meletakkan istilahistilah Perancis. Bagaimana pendapatmu?
Lelaki itu berpikir sejenak, lalu berkata, Aku tak bisa menjanjikanmu hal itu.
Aku harus mengatur waktu bersama para kamerawan dan para pembantu, a gar aku
dapat melihat kemampuan pengambilan gambar tanpa dialog di beberapa bagian film,
hingga kami dapat menghindari hari libur yang panjang.
Dia bangkit dan pergi untuk kembali ke desa itu keesokan paginya.

= 14 =

Hari demi hari berlalu dan sahabatku sang sutradara itu tak tampak batang
hidungnya. Tinggal dua hari lagi jadwal waktu keberangkatan kapal laut yang telah aku
pesan tiketnya, dan aku tak cemas akan hal itu, apalagi memikirkannya. Tak ada
sesuatu pun yang dapat membebaskan aku dari panasnya musim panas di Kairo, maka
aku berkata pada diriku sendiri, Aku akan membawa kisahnya dan menulis dialog
untuknya dari Eropa, semoga saja aku dapat mengirimkan sedikit dialog padanya agar
dapat menenangkan hatinya. Pada hari berikutnya aku pergi ke Alexa ndria, lalu aku
berlayar hingga tiba di Losirin dimana di sana ada konser perdana musik Tuskanini. Di
sinilah aku melupakan Mesir dan segala pekerjaannya. Aku tidak mengingat skenario,
film, sutradara, dialog, dan aku lupa juga mengatakan padanya tentang kepergianku dan
tempat tinggalku, bahkan aku juga melupakan keledaiku Filsuf; keadaannya,
cerminnya, pengajarannya, dan apa saja yang terjadi padanya. Aku meninggalkan
Swiss menuju Perancis. Aku berjalan-jalan di gunung Safo yang tinggi dan aku lelap
dalam ketenangan. Aku tidak membuka satu lembar pun, tidak membaca satu buku
pun, tidak melayangkan satu surat pun, dan tidak membawa pena atau kertas, tapi aku
membawa tongkat gunung yang berujung besi. Di tanganku yang lain aku membawa
tongkat pancing dan kaleng makanan yang aku bawa mengelilingi danau-danau kecil
sambil bermain- main memancing ikan yang berkeliaran di bawah hidungku serta
meremehkan makananku.
Aku kembali ke Mesir sebelum bulan September. Aku menemukan dua surat
menungguku yang datang dari para pengacara perusahaan. Yang pertama berisikan
perjanjian serta perintah untuk melaksanakannya, dan yang kedua tindak lanjut akibat
dari keterlambatan. Ketika itu aku terjaga dari mimpi musim panas dan ingat akan
segala sesuatu. Aku mengeluarkan buku tulis skenario dari tas dan bertekad untuk
bekerja. Wisata itu telah memberiku semangat baru hingga aku mau membuka kisah
itu, dan aku berkata pada diriku sendiri, Sedikitnya aku akan berbuat sesuatu, lalu aku
akan menelpon sutradara itu agar ia melihat bahwa aku tidak melupakannya sepanjang
waktu. Tetapi bacaan itu tak menambah keyakinan padaku kecuali keyakinan bahwa
pekerjaan ini mustahil bagiku. Para tokoh dalam kisah itu sangat jauh dari perasaanku,
aku tidak melihat mereka, tidak mengetahui mereka. Mereka itu asing bagiku,
bagaimana mungkin aku bisa membuatkan perkataan yang keluar dari mulut mereka
sebagaimana dokter gigi membuatkan gigi emas palsu di mulut orang? Maka dengan

putus asa aku meletakkan kembali lembaran itu. Aku bangkit menulis surat kepada
sutradara itu agar menemuiku, dan aku berteriak di dalam kamar, Aku harus
memahamkan lelaki ini bahwa aku tidak bisa membuatkan pembicaraan orang lain,
tetapi aku bisa membuat orang yang dapat berbicara!
Suasana politik pada waktu itu begitu menegangka n. Telah tersebar kerusakan
di jiwa bangsa yang menamakan dirinya mulia. Mereka meninggalkan pengajaran
orang-orang yang telah mengetahui dirinya sendiri sehingga mereka dapat menyingkap
keindahan dan kebersihan demi kemanusiaan. Dan menyerahkan urusan kepemimpinan
kepada mereka yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh sehingga muncullah di dalamnya
hawa nafsu bejat, kezhaliman, dan pertumpahan darah.
Sutradara itu tidak mengetahui keberadaanku di Kairo ketika telah dimulai
pembantaian manusia. Dia mendatangiku sambil berkata, Peperangan itu telah
menghentikan penyempurnaan film ini, dan kami beberapa hari lagi akan pergi. Aku
mohon maaf atas surat-surat tercatat, karena kepergianmu dan pemutusan kabar
darimulah yang memaksa kami melakukan hal itu agar kami dapat berapologi di
hadapan perusahaan tentang tanggung jawab keterlambatan itu.
Aku berkata padanya, Lalu perjanjian yang ada di antara kita?
Dia menjawab, Tentu saja tetap berlanjut hingga pekerjaan ini dimulai
kembali.
Kapan?
Setelah perang.
Aku berpikiran untuk membatalkan perjanjian itu.
Mengapa? Jangan buru-buru putus asa. Waktu di hadapan kita sangat luas
untuk berpikir panjang dan bekerja lambat, kami tentunya akan mengingatmu ketika
kami memerlukanmu.
Selain urusanku kepada perusahaan ini dan sedikitnya menyelesaikan situasi
untuk sementara waktu, penyelesaian ini tak kuduga. Hatiku sangat tenang
mendengarnya. Maka aku berkata pada sahabatku sang sutradara, Marilah ikut aku ke
restoran hotel, aku mengundangmu makan malam.
Dia berkata padaku ketika kami turun dengan lift ke ruang makan di lantai
dasar, Saya harap ini bukan makan malam perpisahan.
Saya harap demikian juga.
Kami duduk dan ia memulai bicara, Aku punya kabar buruk untukmu.
Aku menoleh padanya dengan cemas, Apa?
Dia menjawab dengan nada memelas, Temanmu Filsuf...

Aku memotongnya, Dia mati?


Pada hari pelayaranmu.
Oh, sayang sekali! Aku telah melupakannya. Aku telah melanggar janji.
Bayangan bentuknya, kepiawaiannya, dan puasanya..., dan aku berkata, Dia dahulu
bagus, zuhud, dan bijaksana!
Sutradara itu berkata, Jangan sedih, aku akan mengirimkan padamu foto yang
pernah kita ambil.
Aku berkata seolah berkata sendiri, Fotonya! Iya, aku ingat hari ketika kalian
mengambil fotonya.
Kemudian aku membayangkan ketika ia meletakkan kepalanya di telapak
tanganku seolah-olah ia sedang berpikir. Kalau saja ia berpikir seperti kita dengan
kepalanya, ah, tentu saja filsuf kecil ini dapat mencapai puncak kesucian, yaitu
puncak yang senantiasa ingin dicapai oleh Goethe. Sahabat kecil ini dapat melihat
kehidupan dan kematian dari satu lubang, melihat makhluk hidup dan mati dengan satu
mata, dan mampu menerobos seluruh alam dengan tubuhnya yang kecil lagi kurus
dalam dua hari serta bergerak tanpa ada yang menyangka bahwa ia adalah seorang
pemimpin yang berbahaya atau seorang pemikir yang hebat. Sesungguhnya hal yang
hina yang sering kita sebut sebagai anak keledai menurut pandangan kebenaran mulia
adalah sebuah makhluk yang patut mendapatkan penghormatan. Pada satu waktu
sesuatu yang kita sebut sebagai pemimpin, mereka menyandangnya dan tidak melihat
kalau kelalaian itu telah menunggangi mereka. Mereka menurut kebenaran mulia
adalah makhluk yang patut mendapatkan olok-olokan! Ya, aku selalu merasakan kalau
kecintaanku terhadap anak keledai itu adalah cinta yang dibarengi dengan suatu hal lain
selain kasih sayang dan kasihan; tidak lain hal itu adalah penghormatan. Segala puji
bagi Allah kalau ia mati sebelum ia besar hingga ia ditunggangi. Tentu saja aku akan
malu dari hal itu, karena aku mendengar dalam setiap langkah anggunnya bisikanbisikan yang keluar dari lubuk hatinya: Wahai zaman! Wahai zaman! Kapankah kau
menengah hingga aku dapat menunggangimu. Aku ini si bodoh yang sederhana,
sedangkan sahabatku adalah si bodoh yang berpangkat!

Anda mungkin juga menyukai