Anda di halaman 1dari 18

Pertemuan ke-2, Tanggal: 15 September 2016

MATERI SAP 1

KELOMPOK 2

NAMA KELOMPOK :
LUH PUTU GITA CAHYANI
GEDE TEGUH PRASETYA MUTTIWIJAYA
TEBUANA AGUNG PUTRA
DEWA AYU NYOMAN SHINTYA DEVI

(10)
(14)
(16)
(23)

REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
1.1.

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR PAJAK PENGHASILAN, SUBJEK DAN


OBJEK PPh

1.2.

Hampir semua orang maupun organisasi atau badan dalam melaksanakan

aktivitasnya semata-mata untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan sehingga bisa


memberikan kepuasan batin bagi pelaku atau pendirinya. Penghasilan atau keuntungan
disini bukan berarti hanya bertambahnya uang atau barang, tetapi juga bertambahnya
nilai kekayaan seseorang atau badan termasuk yang kekayaan/ harta tidak berwujud. Atas
dasar itulah, Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima maupun
diperoleh Wajib Pajak yang bersumber dari manapun, baik dari dalam maupun luar
negeri.
1.3.

Di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPh) diatur di dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah berkali-kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Pengertian penghasilan
menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Pengertian pajak penghasilan menurut Undang-Undang PPh tidak menampik sumber
atau asal-muasal penghasilan, tetapi lebih fokus terhadap adanya tambahan kemampuan
ekonomis. Kemampuan ekonomis inilah yang menjadi tolak ukur yang baik dalam
menentukan kemampuan Wajib Pajak untuk memikul bersama-sama biaya pemerintah
untuk membangun negeri.
A. Subjek Pajak PPh
1.4.
Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima aau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah :
1. A. Orang Pribadi
1.5.
B. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organsasi yang sejenis, lembaga, dan
bentk badan lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
1.6.
Subjek pajak dapat dibedakan menjadi :
1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
Orang pribadi bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari
daam jangka waktu 12 bulan, atau
Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu :
1.7.
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Subjek Pajak Warisan, yaitu :
1.8.
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2

2. Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari :


a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
1.9.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang :
1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu :
1.10. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang :
1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia
2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
B. Objek Pajak PPh
1.11.
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan bentuk
apapun.
1.12. Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalti,
keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah
satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti :
a. Keuntungan karena pembebasan utang.
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
d. Hadiah undian.
1.13.
Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan
bagi Wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi Objek Pajak hanya penghasilan yang
berasal dari Indonesia saja.
1.14.

ASAS PEMUNGUTAN PAJAK


1.15.

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang

pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai
3

contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undangundang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas
atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
1.16.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam

menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak


penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan
untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili
1.17.

Berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang

diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan,
orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya
bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya
akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas
penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar
negeri (world-wide income concept).
2. Asas sumber
1.18.

Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan
yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang
bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi
persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan
tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau
berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan
1.19.

Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status

kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini,
tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti
halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini
dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak
atas world wide income.

1.20.

STELSEL DAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

A. STELSEL PAJAK
1.21. Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel :
a. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
1.22. Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak yang didasari pada objek
(penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada setiap
akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang
dikenakan lebih realistis yaitu sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang
karena pemungutan pajak dilakukan setelah tutup buku, sehingga penghasilan yang
sesungguhnya telah diketahui. Sedangkan Kelemahannya adalah :
1. Pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (seteleh penghasilan riil diketahui)
yang dimana hal ini akan menghambat pemerintah dalam hal menjalankan sistem
pembangunan karena penerimaan pajak untuk pengeluaran pembangunan yang
seharusnya sepanjang tahun melainkan hanya diterima di akhir tahun.
2. Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi pada akhir tahun
sementara pada waktu tersebut belum tentu tersedia jumlah kas yang memadai.
3. Semua wajib pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga jumlah uang
yang beredar secara makro akan terpengaruh.
b. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelses)
1.23.
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasari pada suatu fiksi
(anggapan) yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh, penghasilan suatu tahun
dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan atau diketahui besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan,
karena pada stelsel ini penghasilan pada tahun berikut dianggap sama dengan tahun
sebelumnya akibatnya pemungutan pajak otomatis tidak perlu menunggu sampai akhir
tahun pajak berikutnya. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun
berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun sehingga pemeritah dapat menggunakan
penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran Negara sepanjang tahun dan uang hasil
pajak segera dapat masuk ke dalam kas Negara. Sedangkan kelemahannya adalah pajak
yang dibayarkan tidak berdasarkan pada keadaan sebenarnya atau sesungguhnya
sehingga akan merugikan Negara maupun wajib pajak karena tidak adanya keakuratan.
c. Stelsel Campuran
1.24.
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan atas kombinasi
antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung
berdasarkan sautu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan
dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak yang terhutang menurut
kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus
membayar kekurangan tersebut. Sebaliknya jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih
5

kecil dari mwnurut anggapan maka kelebihannya dapat diminta kembali (restitusi) atau
dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya. Adapun kelebihan dari system ini yakni
pemungutan pajak sudah dapat dilakukan pada awal tahun pajak, dan pajak yang
dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang. Sedangkan
kelemahanya yakni adanya tambahan pekerjaan administrasi karena penghitungan pajak
dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir tahun.
1.25.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut stelsel campuran.
Dimana pada awal tahun angsuran pajak berdasarkan besarnya pajak yang terutang pada
Surat Pemberitahuan tahun sebelumnya. Kemudian pada akhir tahun dihitung kembali
berdasarkan penghasilan yang sesungguhnya diperoleh pada tahun yang bersangkutan
(PPh pasal 25). Jika terdapat kekurangan maka wajib pajak harus melunasi kekurangan
pembayaran pajak dalam jangka waktu yang telah ditentukan (PPh pasal 29).
1.26.
B. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
1.27. Dalam memungut pajak dikenal beberapa system pemungutan pajak, yaitu :
a. Official Assessment System
1.28.

Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang

memberikan wewenang kepada aparatur perpajakan (fiskus) untuk menentukan sendiri


besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak dengan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam system ini, inisisatif serta kegiatan hitung menhitung pajak sepenuhnya berada di
tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan
pemungutan pajak tergantung pada aparatur perpajakan (peranana dominan ada apada
aparatur Negara). Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi
perpajakan pada tahun 1984. Adapun Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah :
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus
2. Wajib pajak bersifat pasif
3.
Utang pajak timbul setelah fiskus menghitung pajak yang terhutang dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
1.29.

Adapun kelebihan dari sistem pemungutan pajak sistem official assesment

yaitu tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada pemerintah (fiskus)
mengingat pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung kepada pelaksanaan
administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Sedangkan kelemahan
dari sistem pemungutan pajak official assesment diantaranya yakni :
(i) Meletakkan wajib pajak pada posisi yang lemah dan bersifat pasif karena mengikuti
ketetapan atau ketentuan yang dikeluarkan oleh fiskus.
(ii) Utang pajak timbul setelah terbitnya surat ketetapan pajak oleh fiskus, bisa menimbulkan
(iii)

kesewenangan dari aparat pajak dan korupsi.


Wajib pajak kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara untuk
kelangsungan pembangunan nasional.
6

(iv)Wajib pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakan.
1.30.

Salah satu contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah pajak

bumi dan bangunan (PBB).


b. Semiself assessment system
1.31.

Semiself assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang pada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang
terutang. Dalam sistem ini, setiap awal tahun pajak Wajib Pajak menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi Wajib
Pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak fiskus menentukan
besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak.
c. Self Assessment System
1.32. Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang yang
seharusnya dibayar setiap tahunnya sesuai dengan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku. Dalam system ini, inisiatif serta kegiatan menghitung memungut pajak sepenuhnya
berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung, mampu
memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku dan mempunyai kejujuran yang
tinggi serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Adapun ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalah :
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak
sendiri.
2. Wajib pajak bersifat aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, membayar,
melaporkan serta mempertanggungjawabkan sendiri pajak yang terutang.
3. Pemerintah (fiskus) tidak ikut campur dan hanya mengawasi maka dari itu fiskus tidak
perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu
saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau
terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.
1.33.
Adapun kelebihan dari sistem self assesment yaitu :
(i)
Wajib pajak dipercaya fiskus untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
(ii)

melaporkan sendiri pajak terutangnya.


Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak, wajib

(iii)

pajak bersifat aktif.


Pemerintah dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya sehingga dapat dialihkan

(iv)

untuk aktivitas perpajakan atau pemerintahan lainnya


Wajib pajak akan terdorong untuk memahami dengan baik sistem perpajakan yang
berlaku. Apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya maka wajib
pajak akan mendapatkan konsekuensi yang berat (denda bunga,kenaikan jumlah
pajak terutang dan sandera pajak/gijzeling serta yang lebih berat yaitu pidana pajak),
7

dan diharapkan dengan adanya sanksi tersebut wajib pajak akan memenuhi
1.34.
(i)

kewajiban-kewajiban perpajakannya.
Adapun kelemahan dari sistem self assesment yaitu :
Membebankan biaya tambahan kepada wajib pajak karena Wajib Pajak (WP) lebih
banyak mengorbankan waktu, usaha, dan biaya seperti untuk membayar jasa

(ii)

konsultan pajak.
WP dihadapkan keterbatasan informasi mengenai perubahan perpu perpajakan yang

(iii)

berlaku
Dan dalam pelaksanaannya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan bahkan bisa
disalah gunakan contohnya banyak WP yang sengaja tidak patuh dan kesadaran WP
rendah terhadap kewajibannya sehingga membuat WP enggan membayar pajak.
1.35. Salah satu contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah Pajak

penghasilan (PPn), pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa (PPN), dan pajak penjualan
atas barang mewah (PPnBM).
d. Withholding System
1.36.

Withholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan

wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib
pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pihak ketiga
ditempatkan sebagai pihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak tertentu
dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak. Pejabat pajak hanya berwenang
melakukan kontrol atau pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan atau pemungutan
pajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah ditentukan. Pemotong atau pemungut pajak
tidak boleh melakukan pelanggaran hukum dalam melakukan pemotongan atau pemungutan
pajak, termasuk dalam melakukan pelaporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada
pejabat pajak.
1.37.

Adapun kelebihan withholding tax system antara lain, dapat meningkatkan

kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar
pajaknya, pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarkan biaya,
serta meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan obyek pajak). Sedangkan
kelemahan dari Withholding Tax System ini diantaranya menimbulkan beban pemenuhan
kewajiban perpajakan (cost of compliance) yang tinggi, misalnya beban administrasi, beban
sanksi administrasi kalau terlambat memotong dan atau menyetorkan, atau belum memotong
pajaknya pihak lain. Sebagai contoh misalnya dalam pajak penghasilan pasal 21 dimana
pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun dan sebagainya yang kepadanya
diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak atas penghasilan yang mereka bayarkan.
1.38.

TARIF PAJAK
1.39.

Salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak

bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang8

undang pajak. Besarnya tarif dalam undang-undang pajak tidak selalu ditentukan secara
nilai persentase tetapi bisa dengan nilai nominal, seperti diuraikan di bawah ini macammacam tarif pajak.
1.40.
a. Tarif Tetap
1.41.

Tarif Tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa

memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam UU
No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dalam undang-undang bea meterai, tarif yang
digunakan adalah bea meterai dengan nilai nominal sebesar Rp 500 dan Rp 1.000. Nilai
nominal dalam perkembangannya selalu berubah-ubah. Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1995,
tariff bea meterai tersebut dinaikkan menjadi Rp 1.000 dan Rp 2.000 yang selanjutnya
dengan PP No.24 Tahun 2000 tarifnya dinaikkan lagi menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000.
b. Tarif Proposional (Sebanding)
1.42.

Tarif Proposional (sebanding) adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan

persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, makin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan makin
besar jumlah pajak yang terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No.18
Tahun 2000 (UU PPN) yang menggunakan tarif proposional sebesar 10%.
1.43.

Contoh :

1.44.

1.45.

Demikian pula dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) menggunakan tarif proposional sebesar 0,5% serta UU No. 21 Tahun 2000 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB) menggunakan tarif proposional
sebesar 5% (lima persen). Karena tarif proposional ini hanya menggunakan suatu tarif yang
persentasenya tetap, maka sering disebut juga dengan tarif tunggal.
c. Tarif Progresif

1.46.

Adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah

yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Tarif progresif dibedakan menjadi
tiga, yaitu :
1. Tarif Progresif-Proporsional, tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat
dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase tersebut
adalah tetap.
1.47.
Contoh :
1.48.

2. Tarif Progresif-Progresif, tariff berupa persentase tertentu yang makin meningkat


dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentasse tersebut juga
makin meningkat.
1.49.
Contoh :
1.50.

3. Tarif Progresif-Degresif, tariff berupa persentase tertentu yang makin meningkat


dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase tersebut
makin menurun.
1.51.
Contoh :
1.52.

d. Tarif Degresif
1.53. Adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah
yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun persentasenya semakin
10

kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar
karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Tarif ini tidak
pernah dipergunakan dalam praktik perundang-undangan perpajakan.
1.54. Contoh :
1.55.

e. Tarif Advalorem
1.56.

Tarif Advalorem

adalah

suatu

tarif

dengan

persentase

tertentu

yang

dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. Misalnya PT ABC mengimpor
barang jenis X sebanyak 1.000 unit dengan harga per unit Rp 100.000. Jika tarif bea
masuk atas impor barang tersebut 10%, maka besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah
sebagai berikut :
1.57.

Nilai barang impor

1.58.

= 1.000 x Rp 100.000
= Rp 100.000.000

1.59.

Tarif bea masuk 10%, maka

1.60.

Bea masuk yang harus dibayar

1.61.

= 10% x Rp 100.000.000

= Rp 10.000.000

f. Tarif Spesifik
1.62.

Tarif Spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang

tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu. Misalnya, PT BCD mengimpor barang jenis
X sebanyak 1.000 unit dengan harga Rp 100.000. Jika tariff bea masuk atas impor barang
Rp 100.000 per unit, maka besarnya bea masuk yang harus dibayar adalah :
1.63.

Jumlah barang impor

1.64.

Tarif Rp 100.000, maka

1.65.

bea masuk yang harus dibayar

1.66.
1.67.

= 1.000 unit

= Rp 100.000 x 1.000

= Rp 100.000.000
PENGHASILAN KENA PAJAK
1.68.

Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar

pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Besarnya
Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto.
11

Sedangkan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dihitung sebesar penghasilan netto
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat dapat
1.69.
1.70.

dirumuskan sebagai berikut :


Penghasilan Kena Pajak (WP Badan) = penghasilan netto
Penghasilan Kena Pajak (WP orang pribadi) = penghasilan netto PTKP
1.71.
Penghitungan besarnya penghasilan netto untuk wajib pajak dalam negeri

dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Menggunakan pembukuan
1.72.
Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi)
1.73.
= Penghasilan Netto PTKP
1.74.
= (Penghasilan bruto Biaya yang diperkenankan UU PPh) PTKP
1.75.
Penghasilan Kena Pajak (WP badan)
1.76.
= Penghasilan Netto
1.77.
= (Penghasilan bruto Biaya yang diperkenankan UU PPh)
2. Menggunakan Norma Penghitungan
1.78. Apabila dalam menghitung penghasilan kena pajaknya Wajib Pajak
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah
sama besarnya dengan besarnya (persentase) Norma Penghitungan Penghasilan Netto
dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.
1.79. Pedoman untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus
menerus serta diterbitkan oleh Dirjen Pajak berdasarkan pegangan yang ditentukan oleh
menteri keuangan.
1.80. Wajib Pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan adalah Wajib Pajak
orang Pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Peredaran bruto kurang dari Rp.600.000.000,00 per tahun.
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku.
3. Menyelenggarakan pencatatan.
1.81. Contoh perhitungan Penghasilan Kena Pajak menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto :
1.82. Wajib Pajak Alex kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 3 orang anak. Ia
seorang dokter gigi yang bertempat tinggal di Denpasar yang juga memiliki industri Rotan di
luar pulau Bali yaitu di irebon. Misalnya besarnya persentase norma untuk industri rotan di
Cirebon 12,5% dan dokter gigi di Denpasar 42,5%. Bantulah Alex menentukan penghasilan
kena pajaknya dalam periode 1 tahun!
1.83.
Peredaran dari Industri rotan di Cirebon setahun
Rp.400.000.000,00
1.84.
Penerimaan bruto seorang dokter gigi di Denpasar
Rp.100.000.000,00
1.85.
Penghasilan Netto :
1.86.
Dari Industri rotan
Rp.50.000.000,00
1.87.
Sebagai dokter gigi

12,5% x Rp.400.000.000,00
42,5% x Rp.100.000.000,00

Rp.42.500.000,00
1.88.
Jumlah Penghasilan netto
Rp.92.500.000,00
1.89.
PTKP
Rp.16.800.000,00
12

1.90.

Penghasilan Kena Pajak

Rp.75.700.000,00
1.91. TARIF PAJAK WPOP DAN BADAN
A. Tarif wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
1.92.

Contoh :Pasal 17 undang-undang pajak penghasilan untuk wajib pajak

pribadi dalam negeri

1.95.
1.97.

1.93. Lapisan Penghasilan Kena Pajak


Sampai dengan Rp. 50.000.000,Diatas Rp. 50.000.000,- s.d. Rp.

1.96.
1.98.

1.94. Tarif Pajak


5% (Lima Persen)
15% (Lima Belas

250.000.000,1.99. Diatas Rp. 250.000.000,- s.d. Rp.

Persen)
1.100. 25% (Dua Puluh Lima

500.000.000,1.101. Diatas Rp. 500.000.000,-

Persen)
1.102. 30% (Tiga Puluh
Persen)

1.103.

Tarif tertinggi bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri dapat

diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dengan peraturan pemerintah
B. Tarif Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
1.104.

Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak

badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%.Tarif pajak bagi wajib
pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, mulai berlaku sejak tahun pajak 2010,
diturunkan menjadi 25%. Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan
terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham
yang disetor diperdagangkan dibursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan
tertentu lainya dapat memperoleh tariff sebesar 5% lebih rendah daripada tarif yang
berlaku. Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00(50 miliar) mendapat fasilitas berupa pengurangan tariff sebesar 50%
yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000 (4,8 miliar)
1.105. Wajib Pajak Badan
1.107. Badan dan Bentuk usaha tetap (BUT)

1.108. Tarif

1.106. Tarif Pajak


pajak yang diterapkan

atas

penghasilan kena pajak bagi wajib pajak


badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
1.109. Badan
terbuka

yang

berbentuk

adalah sebesar 25%


perseroan 1.110. Yang paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan

saham

yang

disetor

diperdagangkan dibursa efek Indonesia dan


memenuhi persayratan lainya mendapat

13

tariff 5% lebih rendah dari tariff yang


berlaku
1.111. Badan yang memiliki peredaran bruto 1.112. Mendapat fasilitas berupa pengurangan
sampai dengan 50 miliar

tariff sebesar 50% yang dikenakan atas


penghasilan kena pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar
1.113.

1.114.
1.115.
1.116.
1.117. PPH POT/PUT
1.118.

Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran

bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan


oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk
berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk
tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk
subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan
pajak.
1.119.

Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal

22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM.
Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan. Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai
dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU
Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada
karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga
ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti
penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan
kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
14

o Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;


o Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
o Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja,
kertas, rokok, dan otomotif;
o Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor
oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan,
pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
o Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
1.120. Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga
sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada
WP badan dalam negeri, dan BUT. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk
memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk
memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan
(pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang
diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa
service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak
berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan
lainnya kepada WP luar negeri. Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun
badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26. Contohnya adalah pemotongan dan
penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib
Pajak berbentuk badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2)). Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan
lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi
penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan
pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak
Penghasilan pada SPT Tahunan. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk
memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi
penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas
penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak
pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan
15

objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan
pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2)
tersebut.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan
khusus. Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan
international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan
panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam
bentuk bangun guna serah. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja)
juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib
Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila
Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak
pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
1.121.
1.122.
1.123.
1.124.

Contoh Pemotongan:
-> PT X membayar jasa kena pajak kepada PT Y (PKP) sebesar Rp1.000.000
Maka PT X memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% x 1.000.000 = Rp20.000
Sehingga pembayaran 1.000.000 dari PT X ke PT Y telah dipotong PPh sebesar

Rp20.000 sehingga jumlah pembayaran yang diterima oleh PT Y adalah Rp980.000


1.125.
Contoh Pemungutan:
1.126.
-> PT A membayar jasa kena pajak kepada PT B (PKP)dengan harga penggantian
jasa kena pajak tersebut sebesar Rp1.000.000
1.127.
Maka PT B harus memungut PPN sebesar 10% X 1.000.000 = Rp100.000
1.128.
Sehingga pembayaran 1.000.000 dari PT A ke PT B telah dipungut PPN sebesar
Rp100.000 sehingga jumlah pembayaran yang diterima oleh PT B adalah Rp1.100.000
1.129. CARA MENGHITUNG PPh
1.130.

Menghitung pajak penghasilan (bagi wajib pajak dalam negri dan bentuk

usaha tetap) setahun dihitung dengan cara mengalikan penghasilan kena pajak dengan
tarif pajak sebaaimana diatur dalam UU PPh pasal 17 sebagaimana rumus berikut
1.131.
1.132.

Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Badan)


=Penghasilan Kena Pajak (PKP) x tarif pajak UU PPH Pasal 17

1.133.
1.134.
1.135.

= Penghasilan Netto x tarif pajak UU PPH Pasal 17


=(Penghasilan bruto-biaya yang diperkenankan UU PPh)x tarif pasal 17

1.136.
16

1.137.
1.138.
1.139.
1.140.

Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Orang Pribadi)


=Penghasilan Kena Pajak (PKP) x tarif pajak UU PPH Pasal 17
= (Penghasilan Netto-PTKP) X tariff pajak UU PPH Pasal 17

1.141.
1.142.

=(Penghasilan bruto-biaya yang diperkenankan UU PPh)x tarif pasal 17

1.143. Catatan :
1.144. Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang pada akhir tahun, Penghasilan kena
pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh
1.145. Contoh :
1.146. Peredaran bruto PT Makmur dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 4,5 miliar dengan
penghasilan kena pajak sebesar 500 juta perhitungan pajak terutang :
1.147. PKP dikalikan dengan tarif pajak penghasilan badan yang berlaku karena jumlah
peredaran bruto pt makmur tidak melebihi 4,8 miliar
1.148. Pajak penghasilan yang terutang (50%x25%)x500jt =Rp 62,5 jt
1.149.

17

1.150. DAFTAR PUSTAKA


1.151. Mardiasmo. 2008. Perpajakan. Edisi Revisi. ANDI, Yogyakarta.
1.152. Waluyo, Wirawan B Ilyas. 2013. Hukum Pajak. Edisi 6. Salemba Empat, Jakarta.
1.153. Luqman (2016). Pengertian Pajak Penghasilan (PPh). http://kringpajak.com/pengertianpajak-penghasilan. Diakses pada tanggal 4 September 2016.
1.154.

18

Anda mungkin juga menyukai