Anda di halaman 1dari 14

AL-JARH WA AL-TADL

A. Pendahuluan
Kedudukan hadis (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah alQurn, sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadis
sahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun
bagaimana menentukan kesahihan suatu hadis, bukanlah kajian yang sederhana.
Para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi sampai generasi
mukhrijul hadth (periwayat hadis dan sekaligus penghimpun hadis) telah tidak
dapat dijumpai, karena telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan pribadi
mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dibidang periwayatan hadis,
diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal
(para periwayat) hadis.1
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis, dikembangkan
dua cabang ilmu yakni ilmu hadis riwayat, dan ilmu hadis dirayah. Ilmu riwayat
hadis objek kajiannya adalah bagaimana menerima dan menyampaikan kepada
orang lain, memindahkan dan mendiwankan sebuah hadis. Ilmu ini tidak
membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan adl, dhabith atau
fsiq yang dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi
merupakan objek kajian ilmu hadis dirayah. Ilmu hadis dirayah membahas secara
khusus keadaan perawi, karena kedudukan perawi sangat penting dalarn
menentukan kesahihan suatu hadis. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi hadis
adalah melalui ilm al-Jarh wa al-Tadl.2 Dengan demikian, al-Jarh wa al-Tadl
merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang sangat penting, karena dengan ilmu
ini sebuah hadis dapat dinilai, apakah ia s}ahih, hasan atau dhif; dilihat dari
segi kredibilitas perawinya.
Kritik terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama
ahli kitik hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi
1

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, tt.), 72.

Endad Musaddad, Ilmu al-Jarh wa al-Tadil, dalam http://www.scribd.com/doc/17336907/


endad-musaddadIlmu-Jarh-Wa-TaDil2 (diakses 07 November 2009), 165-166.

juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal-hal yang tercela dikemukakan
bukan untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan
dalam hubungannya diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang mereka
sampaikan.
Ulama kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan
seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran
islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat hadis sangat perlu
dikemukakan. Kejelekan dan kekurangan yang ditemukan hanya terbatas yang ada
hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan hadis.3
Secara umum ilm al-Jarh wa al-Tadl ini menggambarkan tentang
penilaian/kritikan secara kritis terhadap perawi hadis. Mereka-mereka yang dinilai
memiliki cacat, aib atau cela baik dari segi keadalahannya atau pun dari segi
ked}abitannya, maka ia akan menurunkan derajat hadis yang diriwayatkannya
sesuai dengan tingkatan kekurangan yang dimilikinya. Bahkan tidak mustahil, jika
terbukti pernah melakukan hal yang bertentangan dengan Islam, maka seluruh
hadisnya ditolak.
Tulisan ini berusaha mengetengahkan pengertian ilm al-Jarh wa alTadl, lafal tingkatan-tingkatan ilm al-Jarh wa al-Tadl, teori-teorinya dan juga
cara untuk meneliti sanad hadis dari kaca mata al-Jarh wa al-Tadl.
B. Pengertian al-Jarh wa al-Tadl
Al-Jarh atau tajrh secara bahasa merupakan isim mas}dar dari kata
kerja, jaraha - yajrahu - jarhan yang berarti melukai sebagian badan yang
memungkinkan darah dapat mengalir,4 juga diartikan memaki dan menistai, baik
dari muka ataupun dibelakang,5 selanjutnya dikatakan bahwa al-jarh juga berarti
mengaibkan seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang. Disamping itu
3

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 72.

Louis Maluf, Qamus al-Al-munjid Fi al-Lughah wa al-Alam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1996), 86.

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar ilmu hadits (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1980),
358.

juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat jaraha al-hkimu al-shhida
(hakim itu menolak saksi).
Menurut istilah, al-Jarh ialah:




Menyebut sesuatu yang dengan karenanya tercecatlah si perawi
(menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat).6
Tadl menurut bahasa berarti menyama ratakan, mengimbangi sesuatu
dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil. 7 Tadl berasal dari
kata adl yang juga merupakan asal kata dari adalah yang memiliki arti sifat
keistiqamahan, ketaqwaan, dan keislaman yang baik serta terhindar dari sifat-sifat
yang tidak terpuji.
Sedangkan dari segi istilah, al-adl adalah orang yang tidak nampak
padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu
diterima

beritanya

dan

kesaksiannya

apabila

memenuhi

syarat-syarat

menyampaikan hadis (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).


Al-tadl menurut istilah:















Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang
memandang adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya. 8
Dengan demikian, ilmu Jarh wa tadl adalah:





Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang pentadlannya (memandang adil para rawi)
6

Ibid.

Ibid.

Ibid.

dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata


itu.9
C. Lafal Tingkatan-Tangkatan al-Jarh Wa al-Tadl
Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu
derajat dari segi keadilannya, ked}abithannya, dan hafalan mereka. Di antara
mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan
ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang
adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadis. Maka Allah
menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama yang sempurna
pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan jarh dan
tadl, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan
tadl ada enam tingkatan, begitu pula dengan jarh (ada enam tingkatan).10 Berikut
adalah tingkatan al-Jarh dan al-Tadl.

Tingkatan al-Jarh

Hukumnya

Pertama:
yang
menunjukkan
adanya
kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam
tingkatan al-jarh seperti : layyin al-hadth
(lemah haditsnya), atau fhi maql (dirinya
diperbincangkan), atau fi>hi d}afun
(padanya ada kelemahan).

Untuk dua tingkatan pertama


tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah terhadap hadis mereka,
akan tetapi boleh ditulis untuk
diperhatikan saja. Dan tentunya
orang untuk tingkatan kedua
lebih rendah kedudukannya
Kedua: yang menunjukkan adanya pelemahan
daripada tingkatan pertama.
terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan
sebagai hujjah; seperti : fuln l yukhtajju bini
(Fulan tidak boleh dijadikan hujjah), atau
d}afun, atau lahu mankir (ia mempunyai
hadis-hadis yang munkar).
Ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan Sedangkan empat tingkatan
tidak boleh ditulis hadisnya, seperti : fula>n terakhir tidak boleh dijadikan
9

Ibid., 155.

10

Jumlah peringkat yang berlaku untuk al-jarh wa al-tadil tidak disepakati oleh ulama hadis.
Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi empat peringkat untuk al-jarh dan empat
peringkat untuk al-tadil, sebagian ulama ada yang membaginya lima peringkat untuk al-jarh dan
lima peringkat untuk al-tadil. Dan sebagian ulama lagi ada yang membaginya masing-masing
kepada enam peringkat.

d}aif jiddan (lemah sekali), atau l yuktabu sebagai hujjah, tidak boleh
hadthuhu (tidak ditulis haditsnya), atau l ditulis, dan tidak dianggap
yahillu al-riwyah anhu (tidak halal sama sekali.
periwayatan darinya), atau laisa bi-shaiin
(tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk
Ibnu main bahwasannya ungkapan laisa bisyaiin sebagai petunjuk bahwa hadis perawi itu
sedikit).
Keempat: yang menunjukkan tuduhan dusta
atau pemalsu hadis, seperti : fuln muttaham bi
al-kadhib (dituduh berdusta) atau muttaham
bi al-wad}i (dituduh memalsukan hadis),
atau yashriqu al-hadth (mencuri hadis), atau
matrk (yang ditinggalkan), atau laisa bi thiqah
(bukan orang yang terpercaya).
Kelima: yang menunjukkan sifat dusta atau
pemalsu dan semacamnya; seperti : kadhdhb
(tukang dusta), atau dajjl, atau wad}d}}a
(pemalsu hadis), atau yakdhib (dia berbohong),
atau yad}}au (dia memalsukan hadis).
Keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang
berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan;
seperti : fuln akdhab al-ns (Fulan orang yang
paling pembohong), atau ilaihi al-muntah f
al-kadhib (ia adalah puncak dalam kedustaan),
atau huwa ruknu al-kadhib (dia rukun
kedustaan).
Tingkatan al-Tadl

Hukumnya

Pertama: yang menggunakan bentuk superlatif


dalam pentadl-an, atau dengan menggunakan
wazan afala dengan menggunakan ungkapanungkapan seperti : Fulnun ilaihi al-muntah f
al-tathabbuti (Fulan kepadanyalah puncak
ketepatan dalam periwayatan) atau Fulnun
athbat al-ns (Fulan orang yang paling kuat
hafalan dan ingatannya).

Untuk tiga tingkatan pertama,


dapat
dijadikan
hujjah,
meskipun sebagian mereka
lebih kuat dari sebagian yang
lain.

Kedua: dengan menyebutkan sifat yang


menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-adil-annya,
dan ketepatan periwayatannya, baik dengan
lafadh maupun dengan makna; seperti :
thiqatun-thiqah, atau thiqatun-thabt.

Ketiga: yang menunjukkan adanya penthiqahan


tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti :
thiqah, thabt, atau hfiz}.
Keempat: yang menunjukkan adanya keadilan
dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan
kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti :
Saduq, Mamun (dipercaya), mahalluhu alshidq (ia tempatnya kejujuran), atau l basa
bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk
Ibnu Main11 kalimat l basa bihi adalah
thiqah.

Adapun tingkatan keempat dan


kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadis mereka
boleh
ditulis,
dan
diuji
ked}abit}an mereka dengan
membandingkan dengan hadishadis
para
thiqah
yang
d}a>bit}. Jika sesuai dengan
hadis mereka, maka bisa
Kelima: yang tidak menunjukkan adanya
dijadikan hujjah, dan jika tidak
penthiqahan ataupun celaan; seperti : fuln
sesuai, maka ditolak.
shaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya anhu alhadth (diriwayatkan darinya hadis), atau hasan
al-hadth (yang baik hadisnya).
Keenam: isyarat yang mendekati celaan (jarh),
seperti : fuln s}alih al-hadth (hadisnya
lumayan), atau yuktabu hadthuhu (ditulis
hadisnya).

Sedangkan untuk tingkatan


keenam, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadis mereka
ditulis untuk dijadikan sebagai
pertimbangan saja, bukan untuk
pengujian, karena mereka tidak
d}a>bit}.12

D. Teori al-Jarh wa al-Tadl13


Para kritikus hadis, ada kalanya sependapat dalam menilai pribadi
periwayat hadis tertentu dan ada kalanya berbeda pendapat. Selain itu, adakalanya
seorang kritikus dalam menilai periwayat tertentu berbeda, misalnya saja pada
suatu saat dia menyatakan laisa bihi bas, dan pada saat yang lain menyatakan
d}aif tehadap periwayat tertentu tersebut. Padahal, kedua lafal itu memiliki
pengertian dan peringkat yang berbeda. Dengan adanya beberapa teori yang telah
11

Ibnu Main dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia
ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut
Al- T{ah}h}n, Mahmd, Taisr Mus}t}alah} al-hadth, (Riydh: Maktabah alMarif, 2004) h 189-181.
12

13

Istilah teori dalam hal ini kurang tepat, tetapi penggunaan istilah ini dipakai untuk memudahkan
pemahaman tentang adanya kaedah yang diikuti oleh ulama ahli kritik hadis dalam melakukan
kritik terhadap para periwayat hadis.

dikemukakan oleh ulama ahli hadis, diharapkan hasil penelitian terhadap


periwayat hadis dapat lebih obyektif.
Berikut teori yang dikemukakan oleh ulama jarh wa tadl dan perlu
dijadikan bahan oleh para peneliti hadis dalam melakukan kegiatan penelitian,
khususnya berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis.14
1.






Artinya

: al-tadl didahulukan atas al-jarh

Maksudnya : Bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan
dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan atau
yang dipilih, adalah kritikan yang berisi pujian.
Alasannya : Sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat
tercela merupakan sifat yang datang kemudian, maka yang harus
dimenangkan adalah sifat dasarnya.
Pendukung : An-Nasai (wafat 303H/915M)
Pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori tersebut
karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang
dimiliki oleh riwayat yang dinilainya, sedangkritikus yang
mengemukakan celaan adalah kritikus yang mengetahui
ketercelaan periwayat yang dinilainya.
2.







Artinya

: al-jarh didahulukan atas al-tadl

Maksudnya : Bila seorang periwayat dinilai tercela oleh seorang kritikus dan
dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan atau
yang dipilih, adalah kritikan yang berisi celaan.

14

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 76-81.

Alasannya : a) Kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap


pribadi periwayat yang dicelanya itu.
b) Yang menjadi dasar untuk memuji seseorang periwayat
adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis dan
persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti
tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang
bersangkutan.
Pendukung : Kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama usul fiqh banyak
yang menganut teori tersebut. Dalam pada itu, banyak juga
uklama kritikus hadis yang menuntut pembuktian atau
penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang
dikemukakan terhadap periwayatan tersebut.
3.







Artinya

: Apabila terjadi pertentangan antar kritikan yang memuji dan


yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan
yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai
penjelasan tentang sebab-sebabnya.

Maksudnya : Apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu


dan dicela oleh kritikus lainya, maka pada dasarnya yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan
yang mencela disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan
periwayat yang bersangkutan.
Alasannya : Kritikus yang mampu menjelaskan sebeb-sebab ketercelaan
periwayat yang dinilai lebih mengetahui terhadap pribadi
periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan
pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung : Jumhur ulama ahli kritik hadis.

Sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa:


a) Penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu harus relevan
dengan upaya penelitian.
b) Bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebabsebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia
memandang bahwa sebab-sebab ketercelaannya itu memang
tidak relevan atau tidak ada lagi, maka kritikannya yang
memuji tersebut harus dipilih.
4.














Artinya

: Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang


yang tergolong d}aif, maka kritikannya terhadap orang yang
thiqah tidak diterima.

Maksudnya : Apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak thiqah,


sedangkan yang dikritik adalah orang yang thiqah, maka
kritikan orang yang tidak thiqah tersebut harus ditolak.
Alasannya : orang yang bersifat thiqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih
cermat daripada orang yang tidak thiqah.
Pendukung : Jumhur ulama ahli kritik hadis.
5.





Artinya

: al-jarh tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara


cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan
tentang orang-orang yang dicelanya.

Maksudnya : Apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan


dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat

10

itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat


diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu
terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau
kemiripan nama tersebut.
Alasannya : Suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengeritik pribadi
seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar
dari keragu-raguan atau kekacauan.
Pendukung : Ulama ahli kritik hadis.
6.







Artinya

: al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami


permusuhan

dalam

masalah

keduniawian

tidak

perlu

diperhatikan.
Maksudnya : Apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki
perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawiandengan
pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan
tersebut harus ditolak.
Alasannya : Pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan
lahirnya pernilaian yuang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan
dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan
celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa
kebencian.15
Dalam sejumlah teori yang disertai dengan alasanya masing-masing itu,
maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan pernilaian yang
lebih obyektif terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.
Dinyatakan demikian, karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukankah
untuk mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu adalah
15

Sebenarnya banyak teori yang dikemukakan oleh ulama hadis, keenam teori yang dikutip dari
tersebut merupakan teori yang banyak dikemukakan oleh kitab-kitab hadis. Lihat M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 76-81.

11

dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila
kebenaran itu sendiri sulit dihasilkan.
E. Cara untuk meneliti sanad hadis dari kaca mata al-Jarh wa al-Tadl
Untuk meneliti sanad hadis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan.
Berikut adalah langkah-langkah dalam meneliti sanad hadis.
a. Langkah pertama: memastikan bahwa hadis yang akan diteliti memiliki sanad
yang lengkap, dari semenjak sahabat hingga ke para imam-imam penulis kitab
induk hadis, semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dsb. Jika
sanad hadis yang akan diteliti belum lengkap, maka hendaknya ditakhrj
terlebih dahulu guna melengkapi sanadnya. Karena penelitian dengan al-Jarh
wa al-Tadl tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya kejelasan sanad hadis.
b. Langkah kedua: Membahas dan mengkaji serta meneliti biografi setiap perawi
hadis secara mendetail, dengan meruju kitab-kitab induk dalam masalah
biografi dan al-Jarh wa al-Tadl seperti:
1. al-Trkh al-Kabr, Imam Bukhari.
2. al-Jarh wa al-Tadl, Imam Ibnu Abi Hatim.
3. al-Thiqt, Imam Ibnu Hibban.
4. Tahd}b al-Kaml fi asmil rijl, Imam al-Mizzi.
5. Tahd}b al-Tahd}b, Ibnu Hajar al-Athqlani.
6. Lisn al-Mizan, Ibnu Hajar al-Athqalni.
7. al-Mizan, Imam al-Dzabani, dsb.
Pencarian biografi dan al-Jarh wa al-Tadl ini bertujuan untuk mengetahui
perkataan ulama mengenai perawi yang sedang dibahas, kemudian menkaji
secara ilmiah ungkapan-ungkapan yang ada, agar kita dapat menentukan
penilaian akhir bagi perawi yang kita maksudkan.
c. Langkah keempat: Mempelajari thabaqt (tingkatan) setiap perawi hadis,
dengan mempelajari tahun wafatnya, usianya, kemudian juga penegasan
kembali dengan mencari tahu apakah dia benar-benar meriwayatkannya dari
perawi lain yang berada diatasnya, dan seterusnya. Hal ini dimaksudkan agar

12

benar-benar kita dapat memastikan tidak adanya satu sanad pun yang hilang
dari rangkaian sanad yang ada.
d. Langkah kelima: memastikan perawi hadisnya dikenal, sehingga tidak ada
kemungkian perawi hadis tersebut mentadlis (perawi meriwayatkan hadis lain
yang semasanya, namun sesungguhnya tidak pernah mendengarkan hadis
tersebut darinya), memursalkan (mursal adalah hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi tabiin, dengan tanpa menyebut nama sahabat yang
meriwayatkannya) dan ikhtilat (yaitu perawi yang memiliki hafalan yang agak
berantakan, meskipun mungkin sebelumnya ia memiliki hafalan hadis yang
baik, yang disebabkan oleh karena faktor usia, penyakit dan sebab-sebab
lainnya). Namun, bila periwayatannya menggunakan lafal yang jelas, seperti
hadaththana atau akhbarana maka tidak perlu dilakukan penelitian ini.
e. Langkah keenam: adalah identifikasi hadis, yaitu:
1. Jika seluruh rangkaian yang kita teliti secara keseluruhan menunjukkan
bahwa mereka semua adalah perawi hadis yang thiqah dan adl, kemudian
tidak adanya keterputusan sanad, maka kita dapat memastikan bahwa
hadis ini secara sanadnya adalah sahih.
2. Kemudian jika syarat-syarat diatas seperti thiqah, adl dan d}habitnya
tidak optimal, maka hadis tersebut merupakan hadis hasan.
3. Namun bila syaratnya tidak lengkap, maka hadisnya merupakan hadis
d}aif.
F. Kesimpulan
Ilm al-Jarh wa al-tadl merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang
sangat penting, karena dengan ilmu ini, sebuah hadis dapat dinilai, apakah ia
s}ahih, hasan atau d}aif; dilihat dari segi kredibilitas perawinya.
Para ulama

membolehkan

al-Jarh wa al-Tadl

untuk menjaga

syariat/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Sebagaimana dibolehkan jarh


dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan
memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada
masalah hak dan harta.

13

Para ulama menetapkan tingkatan lafal jarh dan tadl, dan lafal-lafal
yang menunjukkan pada setiap tingkatan. Tingkatan tadl ada enam tingkatan,
begitu pula dengan jarh (ada enam tingkatan).
Terkadang terjadi pertentangan penilaian terhadap seorang perawi, ulama
yang satu mentadlkannya dan sedangkan yang lainnya mentajrhnya. Dalam
permasalahan ini para ulama menetapkan teori-teori jarh wa tadil. Teori yang
digunakan haruslah dipilih yang dapat menghasilkan pernilaian yang lebih
obyektif terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.
Dikarenakan tujuan penelitian yang sesungguhnya bukankah untuk mengikuti
teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu adalah dalam upaya
memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu
sendiri sulit dihasilkan.

14

DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: PT. Bulan
Bintang, tt.
Maluf, Louis, Qamus al-Al-munjid Fi al-Lughah wa al-Alam, Beirut: Dr alMasyriq, 1996.
Musaddad,

Endad,

Ilmu

al-Jarh

wa

al-Tadl,

dalam

http://www.scribd.com/doc/17336907/endad-musaddadIlmu-Jarh-WaTaDil2 (07 November 2009)


Salm, Amr Abdul Munm, Taisr Ulm al-Hadth li al-mutadin, dr al-dhiya,
2000.
al- T{ah}h}n, Mahmd, Taisr Mus}t}alah} al-hadth, Riydh: Maktabah alMarif, 2004.

Anda mungkin juga menyukai