BLOK EMERGENSI
TRAUMA PADA KEPALA
KELOMPOK A-12
Ketua
Sekretaris
Anggota
1102013130
1102013027
1102012139
1102013005
1102013028
1102013039
1102013073
1102013091
1102013146
1102013152
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016-2017
Skenario
TRAUMA PADA KEPALA
Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadan tidak sadar setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu. Ia mengendarai motor tanpa
menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian terpentah dan jatuh. Menurut pengantar, saat
jatuh ia pingsan, kemudian sempat sadar setengah jam, dan muntah muntah disertai darah dan
kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan.
Tanda vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 12x/menit
Circulation : tekanan darah 150/100 mmHg, frekuensi nadi 50x/menit
Regio wajah
Trauma didaerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Status neurologi
GCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3mm/5mm, RCL +/-. RCTL +/-, kesan
hemiparesis sinister, reflex patologis Babinsky -/+.
Kata sulit
1. Snoring: suara seperti mengorok yang disebabkan oleh tersumbatnya jalan nafas bagian
atas
2. Cerebrospinal rhinorrhea: suatu kondisi dimana cairan serebrospinal menyusup ke
saluran hidung sebagai pilek yang sangat berair
3. Maloklusi: seejenis malposisi dan kontak antar gigi mexilar dan mandibular sedemikian
rupa sehingga mengganggu gerakan menggiling rahang yang penting untuk proses
mengunyah.
4. Brill hematoma: pecahnya arteri ophtalmica sehingga darah masuk pada 2 rongga orbita
melalui fisura orbita
5. Anisokor: ketidaksamaan diameter dari kedua pupil
6. Reflex patologis babinsky: merupakan reflex dorsofleksi ibu jari kaki pada rangsangan
telapak kaki, timbul bila terdapat lesi di traktus piramidalis.
Pertanyaan
1. Mengapa bisa terjadi cerebrospinal rinorrhea?
2. Faktor apa saja yang daapat menyebabkan penurunan kesadaran?
3. Apa penyebab pupil anisokor?
4. Bagaimana penanganan pertama pada pasien ini?
5. Mengapa darah bisa keluar dari hidung dan telinga?
6. Mengapa pada pemeriksaan tanda vital terdapat bunyi snoring?
7. Mengapa bisa terjadi maloklusi dan krepitasi dari gigi?
8. Mengapa terjadi peningkatan tekanan darah, penurunan nafas dan bradikardi?
9. Mengapa reflex patologis babinsky bagian dextra positif?
10. Apa yang menyebabkan pasien nyeri kepala, muntah dan kembali tidak sadar?
11. Mengapa reflex cahaya langsung dan tidak langsung mata kanan negative?
12. Mengapa terjadi hemiparesis dextra?
13. Apakah pemeriksaan fisik dan penunjang pasien ini?
Jawaban
1. Fraktur lamina cribrosa sehingga mengakibatkan cairan cerebrospinal keluar melalui
hidung.
2. Penurunan kesadaran dapat terjadi akibat trauma dan nontrauma, on trauma dapat terjadi
karena penyakit stroke, henti jantung, dan meningoencephalitis.
3. Karena adanya lesi mensefalon
4. Diberikan bantuan hidup dasar berupa A; pembersihan jalan nafas B; oksigenasi C; cek
nadi dan resusitasi cairan
5. Pendarahan pada telinga bagian luar dan pada septum nasal
6. Karena terjadi penyumbatan jalan nafas, lidah jatuh ke dalam, sumbatan darah atau reflux
cairan lambung.
7. Karena terjadi trauma yang menyebabkan fraktur pada maxilla
8. Karena tanda khas pada cedera kepala (trias chusing)
9. Karena adanyakerusakan pada nervus bagian kiri
10. Trauma pada kepala yang menyebabkan terjadinya lesi atau hematom yang berakibat
meningkatnya tekanan intracranial
11. Karena terjadinya lesi nervus III sebelah kiri
12. Karena kerusakan otak sebelah kiri
13. Pemeriksaan Fisik: Inspeksi, Pengecekan tanda vital, GCS, reflex babinsky dan palpasi
Pemeriksaan Penunjang: EEG, Neuroimaging, CT scan dan MRI
Hipotesis
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh trauma yang mengakibatkan cedera kepala. Dapat
dikenali dengan tanda-tanda seperti: triascucshing, fraktur pada maxilla, fraktur pada lamina
cribrosa, pendarahan pada telinga bagian luar serta septum nasal dan kerusakan otak bagian kiri.
Hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan tanda vital, inspeksi GCS, reflex babinsky dan
palpasi dan pemeriksaan penunjang dengan EEG, Neuroimaging, CT scan dan MRI.
Penatalaksanaan pasien ini dengan cara pertolongan pertama pada bantuan hidup dasarSasaran
Belajar
LI 1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
LO 1.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Trauma Kepala
LO 1.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Trauma Kepala
LO 1.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala
LO 1.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala
LO 1.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Trauma Kepala
LO 1.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Trauma Kepala
LO 1.7 Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Trauma Kepala
LO 1.8 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Trauma Kepala
LO 1.9 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Trauma Kepala
LO 1.10 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Pendarahan Intrakranial
LO 2.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Pendarahan Intrakranial
LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Pendarahan Intrakranial
LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Pendarahan Intrakranial
LO 2.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Pendarahan Intrakranial
LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Pendarahan Intrakranial
LO 2.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Pendarahan
Intrakranial
LO 2.7 Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Pendarahan Intrakranial
LO 2.8 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Pendarahan Intrakranial
LO 2.9 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Pendarahan Intrakranial
LO 2.10 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Pendarahan Intrakranial
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii
LO 3.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Basis Cranii
LO 3.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Basis Cranii
LO 3.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Basis Cranii
LO 3.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Basis Cranii
LO 3.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Basis Cranii
LO 3.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Basis Cranii
LO 3.7 Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Basis Cranii
LO 3.8 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Basis Cranii
LO 3.9 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Basis Cranii
LO 3.10 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Basis Cranii
LI 4. Memahami dan Menjelaskan Fraktur 1/3 Wajah
LO 4.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Fraktur 1/3 Wajah
6
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan
kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan
ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan
yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimanapembuluh darah (kapiler)
pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan.
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis
tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan
tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja
pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak
terdapat fraktur yang masuk ke dalam rongga intrakranial.
Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran suturasutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat
mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala.
Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada durameter dan jaringan otak.
10
11
LO 1.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Trauma Kepala
1) Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami
pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau
tidak, adanya kejang. Keliarga pasien ditanyakan apa yang terjadi.
2) Pemeriksaan fisik umum
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan
jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar
bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur), soporokomo atau koma.43 Selain itu
ditentukan pula Skala Koma Glasgow sebagai berikut :
Respo
1 tahun
n Mata
4
Membuka mata spontan
3
Membuka mata dengan
perintah
2
Membuka mata oleh nyeri
1
Tidak membuka mata
Respo 1 tahun
n
0-1 tahun
Membuka mata spontan
Membuka mata oleh tarikan
Membuka mata oleh nyeri
Tidak membuka mata
0-1 tahun
12
motori
k
6
5
4
3
2
1
Respo
n
verbal
5
2
1
Mengikuti perintah
Belum dapat dinilai
Melokalisasi nyeri
Melokalisasi nyeri
Menghindari nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi abnormal (decorticasi)
Fleksi abnormal (decorticasi)
Ekstensi abnormal
Ekstensi abnormal (deserebrasi)
(deserebrasi)
Tidak ada respon
Tidak ada respons
5
0 - 2 tahun
tahu 2 5 tahun
n
Orientasi baik dan Menyebutkan kata
Menangis kuat
mampu
kata yang sesuai
berkomunikasi
Disorientasi tapi
Menyebutkan kata
Menangis lemah
mampu
kata yang tidak sesuai
berkomunikasi
Menyebutkan kata Menangis dan menjerit Kadang kadang
kata yang tidak
menangus/menjerit
sesuai (kasar,
lemah
jorok)
Mengeluarkan
Mengeluarkan suara
Mengeluarkan suara
suara
lemah
lemah
Tidak ada respon
Tidak ada respon
Tidak ada respon
Nilai tertinggi dari pemerikasan Skala Koma Glasgow (SKG) adalah 15 dan terendah adalah 3.
Berdasarkan nilai SKG trauma kapitis dapat dibagi atas :
kategori
Trauma kapitis
ringan
SKG
13 15
Trauma Kapitis
Sedang
9 12
3-8
Gambaran klinik
Pingsan 10 menit,
defisit neurologis (-)
Pingsan > 10 menit
s/d 6 jam, defisit
neurologis (-)
Pingsan >6jam,
defisit neurologis (+)
Skening Otak
Normal
Abnormal
Abnormal
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata tertutup, misalnya bila
kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk menimbulkan respon motorik dilakukan
13
dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama
jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.
3) Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter
antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi
menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu
terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan responnya
terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera
kepala.
Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon
cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu
kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi akson parasimpatis yang
menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.Perubahan pupil pada hematom epidural
dapat dilihat dari tabel
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional batang otak
(formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai gerakan bola mata
yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran
yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya
ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.
4) Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti
biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
14
obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang berupa
tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang
leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu
dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf
yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu :
a. nervus I (nervus olfaktoris)
b. nervus II (nervus optikus)
c. nervus III (nervus okulomotoris)
d. nervus IV (troklearis)
e. nervus V (trigeminus)
f. nervus VI (Abdusens)
g. nervus VII (fasialis)
h. nervus VIII (oktavus)
i. nervus IX (glosofaringeus)
j. nervus X (vagus)
k. nervus XI (spinalis)
l. nervus XII (hipoglosus)
nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai
saraf sensorik dan saraf motorik
5) Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat
peningkatan tekanan intracranial.
maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah tegak
lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis
servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada
foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan
intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
16
Trias Cushing adalah 3 tanda utama yang menindikasikan peningkatan tekanan intracranial.
Terdiri dari :
Hipertensi
Bradikardi
Depresi pernapasan
Akibat dari cederaotak, maka pembuluh darah otak melepaskan serotonin yang akan
melonggarkan endotel pembuluhdarah sehingga blood brain barrier terganggu dan terjadi udem
otak regional / diffuse. Kemudian udem akan menekan pembuluh darah yang mensuplai otak
menyebabkan iskemik jaringan otak.Ketika sel-sel otak kekurangan energy, pompa intraseluler
mulai tidak berfungsi, hal ini menyebabkan natrium memasuki sel-sel otak sehingga terjadi udem
di sel-sel otak. Udem otak regional yang terjadi menyebabkan kompresi ke jaringanotak, maka
mekanisme kompensasi untuk menahan kompresi adalah kenaikan TIK untuk menahan udem
yang menekan jaringan otak.
Dengan demikian tekanan arteri harus lebih besar dari TIK, maka dari itu hipotalamus
mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan vasoktriksi perifer sehingga tekanan
darah menjadi tinggi. Ketika tekanan darah arteri melebihi tekanan intra kranial,aliran darah ke
otak dipulihkan. Peningkatan darah arteri tadi menyebabkan rangsangan baroreseptor di badan
karotis sehinggamemperlambatdenyut jantung secara drastis yang menyebabkan bradikardi.
Ketika udem regional semakin mem besar maka TIK tidak bisa mempertahankan tekanan
perfusi otak, dengan demikian jaringan otak akan terkompresi, yang menyebabkan herniasi
transtentoral. Herniasi ini menyebabkan gangguan pada daerah batang otak ,menyebabkan
frekuensi nafas yang tidak teratur akibat akibat gangguan pada pusat pengatur pernafasan. Selain
itu ganguan juga terjadi pada pusat reflek muntah pada medulla oblongata akibat herniasi
tersebut, yang menyebabkan pasien muntah-muntah.
Tekanan yang diakibatkan udem regional otak juga mengakibatkan gangguan pada saraf
cranial nervus II dan III akibatnya mata pasien anisokor dan terdapat gangguan pada reflex
cahaya langsung dan tidak langsung. Udem otak regional jugamengakibatkan hemiparesis
sinistraakibat gangguan pdadecustio pyramidium pada medulla oblongata tempat persilangan
tractus corticospinal lateral, hal ini yang menyebabkan hemiparesis yang berbeda pada letak lesi.
DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan cedera
kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau
epilepsy (jika pasien kejang).
17
Airway
Breathing
Circulasi
Disability
Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae
cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.
Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak usahakan
untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya
fractur dasar tengkorak meliputi :
Ekimosis periorbital
Rhinorea
Otorea
Hemotimpani
Battles sign
Fractur linear/depresi
Pneumosefalus
Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
Therapy :
Pada 10 % kasus :
a. Masih mampu menuruti perintah sederhana
b. Tampak bingung atau mengantuk
c. Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 20 % kasus :
Tindakan di UGD :
a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CT. scan
b. CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
1. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci bersih
sebelum dilakukan penjahitan. Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang
tidak adekuat.
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan
penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka. Lakukan
insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka menunjukan adanya
robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf. Lakukan foto teengkorak / CT Scan. Tindakan
operatif
2. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya. CT Scan
dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di intra kranial atau adanya
suatu kontusio
3. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa dan untuk
mencegah kematian. Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara
cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan. Trepanasi
dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi
moderat dan pemberian manitol.
LO 1.8 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Trauma Kepala
Prognosis trauma kepala buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan
tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka
prognosisnya dubia, tergantung jenis trauma kepala, yaitu: pasien dapat pulih kembali
atau traumanya bertambah berat.
20
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara
tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan
kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis
berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan
antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3
hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks
cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu
setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang
sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk
bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan
luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler
baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah
sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan
ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain
sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
23
attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan
kejang
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat
didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim
otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan
oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi
oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun
vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai
perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh
darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema
cerebri.
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan
translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang
sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :
Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti
permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti
permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih
disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
Kontusio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi
dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya
coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak
struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu
kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
Edema cerebri
24
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema cerebri tidak
tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang
mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang
umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena
penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Perdarahan Subdural
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat
lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya
lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma
yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini
lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan
penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di
daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
25
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada
sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens
Perdarahan subdural :
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan
oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Perdarahan intraserebral
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia
basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Pendarahan Intrakranial
Perdarahan epidural :
26
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan
yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak
ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam
cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma
dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval
lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa
pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan
tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan
reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan
tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan
reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Perdarahan Subdural
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus
cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial
seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III,
epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak
jelas, sering diduga tumor otak.
Perdarahan Intraserebral
27
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang disebabkan oleh adanya
perdarahan ke dalam jaringan otak.Perdarahan intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai
dengan sakit kepala, yang diikuti oleh tanda-tanda kelainan neurologis (misalnya kelemahan,
kelumpuhan, mati rasa, gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan kebingungan). Sering
terjadi mual, muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu beberapa
menit.
Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan
stroke perdarahan.Pemeriksaan tersebut juga bisa menunjukkan luasnya kerusakan otak dan
peningkatan tekanan di dalam otak. Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika
diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Pembedahan bisa memperpanjang harapan hidup
penderita, meskipun masih dapat meninggalkan kelainan neurologis yang berat. Tujuan
pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah terkumpul di dalam otak dan untuk
mengurangi tekanan di dalam tengkorak.
Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan
selaput otak (rongga subaraknoid).Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding pembuluh
darah yang lemah (apakah suatu malformasi arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tibatiba. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling
sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera
kepala.
Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang
aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga
menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri wajah, penglihatan ganda atau gangguan
penglihatan lainnya. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu
sebelum aneurisma pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar
bisa diambil tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat. Pecahnya aneurisma biasanya
menyebabkan sakit kepala mendadak yang hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan
kesadaran sesaat. Beberapa penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali,
dengan perasaan bingung dan mengantuk. Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak akan
mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut
jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa
jam bahkan dalam beberapa menit, penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25%
penderita memiliki kelainan neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.
LO 2.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Pendarahan
Intrakranial
Pemeriksaan penunjang
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
28
Pencitraan
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
29
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral.
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk
mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika
meluas.
Perdarahan intraserebral
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
30
Penurunan kesadaran.
Ataksia
Anisocoria
Moyamoya Disease
Cardioembolic Stroke
Cerebellar Hemorrhage
Cerebral Aneurysms
Dissection Syndromes
Emergent Management of
Subarachnoid Hemorrhage
Posttraumatic Epilepsy
Subdural Empyema
Thrombolytic Therapy in Stroke
Head Injury
Hydrocephalus
31
c) Brain
: mengurangi edema, memenuhi intake cairan dengan pemberian
cairan isotonis seperti RL 12 jam/kolf, atasi gelisah dan kejang.
d) Bladder : pasang kateter untuk miksi dan mengetahui output urine
e) Bowel
f) Burn
: demam diatasi.
2. Terapi Khusus
a. Anti udema : manitol bolus 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit, kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25-0,5 gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas 300320 mosm/L atau dengan gliserol 10% 10 ml/kg dalam 3-4 jam atau dengan furosemide 1
mg/kgBB IV. Pemberian steroid tidak diberikan secara rutin, bila ada indikasi harus
diikuti oleh pengamatn yang ketat.
b. Obat homeostasis : Transamic acid 6 gram/hari IV (2 minggu), berperan sebagai
antiinflamasi dan mencegah perdarahan ulang.
c. Anti hipertensi : bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140
mmHg berikan : Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40
mg/kg/menit infus kontinyu. Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik
105-140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg berikan : Labetalol 1020 mg IV selama 1-2 menit, ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai maksimmum
300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh Labetalol drip 2-8 mg/menit atau
Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu
atau Nimodipin. Bila tekanan sistolik <180 mmHg atau tekanan diastolic < 105 mmHg,
tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.
d. Bila terdapat kejang diatasi segera dengan Diazepam IV perlahan atau dengan
antikonvulsan lain.
e. Neurotropik agent : Piracetam 3x400 mg.
f. Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia dan skala Glasgow > 4, dan hanya
dilakukan pada penderita dengan : peradarahan serebelum dengan diameter lebih dari 3
cm dilakukan kraniotomi dekompresi, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel
atau serebelum dapat dilakukan VP shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akut disertai dengan ancaman herniasi.
g. Rehabilitasi : penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan dimobilisasi sesegera
mungkin bila klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Perubahan posisi badan dan
ekstremitas setiap 2 jam untuk mencegah dekubitus.
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling sering
di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata
ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur
bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan
fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan
kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatile
Anatomi
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital dan Os temporal,
pada regio temporal strukturnya lebih tipis, namun pada bagian ini dilindungi oleh otot-otot
temporalis.
Basis Craniii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa Cranii anterior, fossa Cranii media dan
fossa Cranii posterior
Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun kalvaria tengah adalah
bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan sekitar 5%
fraktur pada daerah posterior.
Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat
menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami
epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur
yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes
atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa
anterior
Fossa Cranii media : Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan
bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis
cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang
dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars
petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis
dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n.occulomotorius dan n.abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang
paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya
foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah
yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus
externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera
pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus
cavernosus robek.
Fossa Cranii posterior melindungi otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla
oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan di
posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii posterior
dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os
temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata
dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua
a.vertebralis.
Pada fraktur fossa Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot
postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu
posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah
mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada
os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini
dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua
fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi
fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk
fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus
cranialis.
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan
kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe
ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital.
Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang
stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah
cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil.
LO 3.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Basis Cranii
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang
tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada
wajah atau mandibula, atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi
foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit
biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering
dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak
disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah
mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut
cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor
berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar.
Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla
oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian
meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe
vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari
arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadiakibat
benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang
dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur
menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi padakepala dan kemungkinan besar
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium.
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis,dan sebaliknya, cedera
yang fatal pada membran, pembuluh-pembuluh darah, dan otak mungkin terjadi tanpa fraktur.
Otak dikelilingi oleh cairan serebrospinal,diselubungi oleh penutup meningeal, dan terlindung di
dalam tulang tengkorak.Selain itu, fascia dan otot-otot tulang tengkorak manjadi bantalan
tambahan untuk jaringan otak. Hasil uji coba telah menunjukkan bahwa diperlukan kekuatan
sepuluhkali lebih besar untuk menimbulkan fraktur pada tulang tengkorak kadaver dengankulit
kepala utuh dibanding yang tanpa kulit kepala.Fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan
hematom, kerusakan nervus cranialis,kebocoran cairan serebrospinal (CSF) dan meningitis,
kejang dan cedera jaringan(parenkim) otak. Angka kejadian fraktur linear mencapai 80% dari
seluruh fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini terjadi pada titik kontak dan dapat meluas jauh dari
titik tersebut. Sebagian besar sembuh tanpa komplikasi atau intervensi. Fraktur
depresimelibatkan pergeseran tulang tengkorak atau fragmennya ke bagian lebih dalam
danmemerlukan tindakan bedah saraf segera terutama bila bersifat terbuka dimanafraktur depresi
yang terjadi melebihi ketebalan tulang tengkorak. Fraktur basis craniimerupakan fraktur yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak yang bisa melibatkan banyak struktur neurovaskuler pada
basis cranii, tenaga benturan yang besar, dandapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal
melalui hidung dan telinga danmenjadi indikasi untuk evaluasi segera di bidang bedah saraf.
LO 3.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik Basis Cranii
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids
(battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan
memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian
konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara
yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum
dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat
sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan
nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower
cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan
XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Khusus di regio temporal,
kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis Craniii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Lantai
dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa
media tempat lobus temporalis dan fossa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang otak
dan otak kecil (serebelum).
Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur
ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Craniii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur
fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis
Craniii dan tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis dibandingkan daerah
kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi
selaput otak (meningitis).
Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak antara lain:
1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada bagian basis
Craniii fossa anterior.
2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS) dari hidung
(rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak melalui telinga
menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal
dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah
terkumpul disamping membrane timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya
pada bagian basis Craniii fossa media.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII (parase otot
wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.
LO 3.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Basis Cranii
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik.
Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma.
Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak
lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera
penetrasi antara lain :
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan
pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal.
Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin
lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih
menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view
dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur
depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau
osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya
fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada
cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan
rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat
membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga
dimensi tidak diperlukan
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah
frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi)
atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.
Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya.
Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak
dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka
kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan.
Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada
pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan
yang lama.
Pendekatan Ekstra Craniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi.
Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada
koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi,
trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi
kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka
kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit
menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis,
pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur
linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur,
termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari
meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera
diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah
digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian
antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic
golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui meningens. Meningkatnya
tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada
duramater dan menjadi terperangkap.TIK yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada
dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi
untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg
position.
LI 4. Memahami dan Menjelaskan Fraktur 1/3 Wajah
LO 4.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi Fraktur 1/3 Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang
nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian
atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus
maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di
sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6) menggambarkan
adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah
serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya
cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.
LO 4.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Fraktur 1/3 Wajah
ANAMNESIS
Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum pasien tiba di departemen
emergency. Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai
cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan
inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi resusitasi
pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan
kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal
gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le
Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan
bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit
dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi. Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan
radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto
polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai
pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.
Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari
foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rima
orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat
fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk
menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat
digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus
maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.
Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort I,II, dan III
bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan lateral di superior maupun
inferior (perpotongan antara panah hitam dan putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk
mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress
pterigomaksilari.
Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat klasifikasi ini cukup
sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam mengklasifikasikan fraktur maksila,
terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan. Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid
terutama pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu
mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort.
Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi. Kedua, untuk
mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masingmasing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le
Fort II, dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka
tipe Le Fort dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ketiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe tersebut,
maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen
tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.
Skema dibawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe Le Fort. Pada Le
Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami fraktur, struktur ini tetap utuh
pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II, rima orbita inferior (tanda panah) yang
mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I dan III. Pada Le Fort III, yang mengalami fraktur
adalah zygomatic arch (tanda panah) namun utuh pada Le Fort I dan II
Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien penderita
fraktur maksilofasial ialah:
Bagaimana kejadiannya?
Kapan kejadiannya?
Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang
kemungkinan dapat menyebabkannya?
Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan
penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi tetanus
terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit kepala,
kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman penglihatan,
diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi
jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada rahang,
kaku di daerah telinga, dan trismus.
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik termasuk
pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena trauma,
termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti laserasi,
abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan adanya
perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus
kompleks dan fraktur rima orbita.
Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa penglihatan,
pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral mandibula
serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi pada area
gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala
pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu
jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di daerah
sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut
secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya
edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk
dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk memperjelas suatu
diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat
memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view,
open-mouth Townes view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto
diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan
periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat
menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien
dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan
neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi.
Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Waters view,
lateral skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.
Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-tempat
tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk mencapainya. Untuk
mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal, rima infraorbital,
lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah
zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk daerah
frontal, nasoethmoidal, orbitalateral, arkus zygomatic dilakukan melalui insisi koronal
bila diperlukan.
Reduksi Fraktur. Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara anatomis.
Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering dilakukan dengan kawat
interosseous. CT scan atau visualisasi langsung pada fraktur membantu menentukan yang
mana dari keempat pilar/buttress yang paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi
terlebih dahulu sebagai petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan
fiksasi maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah
Pada Le Fot II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rinorhea
cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung
dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang
mengalami fraktur, penyaturan yang salah, obstruksi system lakrimal anesthesia atau hipostesia
infraorbital, devialisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus.
LI
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula (Muchlis,
2011).
Fraktur maksilofasial adalah terputusnya kontinuitas tulang-tulang pembentuk wajah seperti
mandibula, maksila, tulang nasal, zygoma, palatum, tulang frontal, dan tulang orbita.
LO 5.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi Fraktur Maksilo Fasial
Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis
yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca, 2005).
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik,
terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan
terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan
terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan
yang tepat dan secepat mungkin.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan
kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya
mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan
lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat
permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat
mungkin.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan / atau
posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding
posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau
dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital,
tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian
terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris
adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang
ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau
saluran nasofrontal.1,7
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.1
Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.
Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan
memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas
melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis
memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.
Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui
tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral
melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.
Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah
dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis
fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke
fosa sphenopalatina.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan
leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma
langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau
dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang
bawah.
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera
pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.
Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus
alveolaris.
Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan
bola mata dan penurunan visus
LO 5.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Fraktur Maksilo
Fasial
ANAMNESIS
Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu,
merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien
kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa
lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur,
nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo?
Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki manifestasi
berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan
membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? Apakah pasien dapat
menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah
daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?
PEMERIKSAAN FISIK
A. Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
-
Luka tembus.
Ecchymosis, epistaksisi.
Defisit pendengaran.
B. Palpasi
Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan
hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda
asing seperti pasir, batu kerikil.
Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan
infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma
dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung
orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti
adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian
medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus
medial.
Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi.
Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara
Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah
hidung.
Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan
pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang
retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
Dengan inspeksi kita dapat mengetahui kelainan-kelainan yang terjadi seperti adanya jejas
mislanya hematoma,edema, deformitas, maloklusi, trismus dan kelainan gerak bola mata dan
deformitas. Setelah pemeriksaan inspeksi menyeluruh dan teliti kita sudah menduga
kemungkinan tulang wajah apa yang mengalami kelaina/patah. Selanjutnya kita lakukan
pemeriksaan palpasi untuk mendukung inspeksi kita. Kelainan yang kita dapati antara lain nyeri
tekan, stab off/deformitas, krepitasi, malloklusi, floating maksila dan unstable mandibula.
Pemeriksaan inspeksi dan palpasi ini dilakukan baik intraoral maupun ekstraoral.
Tidak mudah untuk dapat menegakkan diagnosis fraktur maxillofacial namun dengan
ketrampilan pemeriksaan fisik yang baik dan benar serta teliti dan ditunjang dengan banyak
pengalaman, diagnosis dapat ditegakkan dengan mudah. Untuk konfirmasi, selanjutnya kita
dapat melakukan pemeriksaan penunjang radiologis skull AP/lateral untuk fraktur nasal dan
mandibula.
Pada fraktur Zygoma dan maksila dapat kita konfirmasi dengan roengent posisi waters.
Sedangkan untuk mengetahui fraktur mandibula secara menyeluruh hingga condylus kita
lakukan roentgen Panoramic.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Wajah Bagian Atas :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
b. CT-scan aksial koronal.
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
1) CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
2) CT scan aksial koronal.
3) Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles).
3. Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
Posteroanterior (Caldwells).
Posisi towne
dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap
airway harus tetap dilakukan. Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama
atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Selama
memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi,
fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan
pada riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya.
Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis perrtama dapat dilihat dengan foto lateral,
walaupun tidak semua jenis fraktur akan terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan
kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus
dibuka untuk sementara maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat
imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada
penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perlukaan yang
mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest
dengan kontusio paru dan open pneumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada saat
dilakukan primary survey.
Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama pasca
bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Ada
3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik
yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak
dapat berkurang yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit dapat
membantu diagnosis hipovalemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama
pada wajah dan ekstremitas jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah
pucat, keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia.
Periksalah pada nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi yang cepat
dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan
tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar harus dikelola pada
primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan penekanan pada luka. Tourniquet
sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal,
sehingga tourniquet hanya dipakai bila sudah ada amputasi traumatik.
Sumber perdarahan internal bisa berasal dari perdarahan dalam rongga toraks, abdomen,
sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai
akibat
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah penyembuhan
tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan
fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan penyembuhan,
penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil
perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan sebagai
penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan segmensegmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk mengimobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan, oklusi
sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya di cegah dan dihilangkan
terlebih dahulu.
Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat merawat luka
akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan terbuka
dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan malunion.
Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi
tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung.
Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area
fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka dilakukan bila diperlukan
reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah berpindahnya segmen
tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur angulus, dimana tarikan otot
masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen proksimal mandibula.
LO 5.8 Memahami dan Menjelaskan Prognosis Fraktur Maksilo Fasial
Fiksasi intermaksilari merupakan tatalaksana paling sederhana dan salah satu yang palingefektif
pada fraktur. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi fraktur,maka akan
dapat banyak deformitas pada wajah yang dapat dieliminasi. Sedangkan fraktur yangbaru
ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan
secaraparsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan
kalaupundilakukan tetapi sulit untuk direduksi.
Prognosis umumnyacukup baik apabuila dilakukan penanganan cepat dan tepat, namun dapat
timbul kompliasi yang menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila tidak tertangani
dengan baik
LO 5.9 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Fraktur Maksilo Fasial
Pencegahan dapat dilakukan dengan pencegahan primer yaitu dengan menghindari trauma. Sama
dengan pencegahan cedera lainnya yakni pencegahan primer sekunder dan tersier
LO 5.10 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Fraktur Maksilo Fasial
Komplikasi awal fraktur dapat berupa perdarahan ekstensif serta gangguan pada jalan nafas
akibat pergeseran framen fraktur, edema, dan pembengkakakn soft tissue. Infeksi pada luka
maksilari lebih jarang dibandingan pada luka fraktur mandibula. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya tidak terjadi kecuali obstruksi sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Mohlan, A. (1996). Major Diagnosis Fisik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Masjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Swartz, M. (1997). Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua.
Gajah Mada University Press, 1991
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University
Press, 2003
Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,
1981
Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981.
Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK
USU. 2006
Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com.
2004
Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis,
University of MissouriKansas City School of Medicine, Kansas City,
Missouri.
Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos ,
Stawicki SPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and
comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11