Skripsi Prevalensi Infestasi Tungau Kudis Pada Anjing Di Kawasan Wisata Di Bali
Skripsi Prevalensi Infestasi Tungau Kudis Pada Anjing Di Kawasan Wisata Di Bali
SKRIPSI
Oleh:
Julian Satria
1209005120
SKRIPSI
Oleh:
Julian Satria
1209005120
Menyetujui/Mengesahkan
Pembimbing I
Pembimbing II
Panitia Penguji
Sekretaris
Anggota
Anggota
Anggota
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 20 Juli
1995 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, putera dari ayah bernama Abdul
Syahid Buduha dan ibu Fatmawati.
Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 3 Lalonggasumeeto pada
tahun 2001, SMP Negeri 3 Soropia pada tahun 2006, dan SMA Negeri 7 Kendari
pada tahun 2009. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya sebagai
mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada tahun 2012.
Penulis melakukan penelitian di Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan judul Prevalensi Infestasi
Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di Bali sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana.
ABSTRAK
Anjing merupakan sahabat terbaik manusia. Dalam pemeliharaannya, anjing
dapat terserang berbagai macam penyakit. Kedekatan hubungan antara manusia
dan anjing memunculkan potensi terjadinya penularan penyakit, khususnya yang
bersifat zoonosis. Potensi penularan penyakit zoonosis tentunya akan berpengaruh
pada daerah wisata di Bali, karena dapat menyebabkan penurunan jumlah
wisatawan yang akan berkunjung. Sarcoptes scabiei, Demodex spp., dan
Otodectes cynotis adalah tungau kudis pada anjing yang diklasifikasikan sebagai
penyakit zoonosis. Objek penelitian adalah 100 ekor anjing yang ada pada
kawasan wisata di Bali yang relatif padat dikunjungi wisatawan. Anjing yang
teramati mengalami gejala kudis dikerok kulitnya dan kemudian diperiksa dengan
mikroskop untuk mengidentifikasi tungaunya. Sampel dinyatakan positif apabila
ditemukan minimal satu parasit dalam setiap stadium perkembangannya. Pada
penelitian ini, didapatkan 14 ekor anjing yang mengalami gejala kudis. Dari hasil
pemeriksaan ditemukan 8 sampel kerokan kulit yang positif terinfestasi tungau
kudis. Jenis tungau yang ditemukan adalah Demodex sp. dengan prevalensi 8%.
Sehubungan dengan besarnya prevalensi tersebut, perlu perhatian yang serius
terhadap anjing-anjing yang berada di kawasan wisata di Bali, terutama
menyangkut kebersihan dan kesehatan kulit agar terus diupayakan.
Kata kunci: Zoonosis, Sarcoptes scabiei, Demodex spp., dan Otodectes cynotis.
ii
ABSTRACT
Dog is a humans best friend. In daily, Dog can be attacked by various
disease. Relationship between human and dog can potentially disease contagion,
particularly zoonotic diseases. Potential of contagion by zoonotic diseases will
certainly affect tourist area in Bali, Because it can decrease the number of tourist
who come to visit. Sarcoptes scabiei,Demodex sp., and Otodectes cynotis are
mange mites in dog that classified as a zoonotic diseases. The research used 100
dogs in Bali tourist area which crowded by visitor. Dogs were observed that have
sympton of mange were scraped skin and then examined by microscope to
identify mite. Sample tested positive when found at least one parasite in every
stage developmental. The result from this research, obtained 14 dogs that have
symptoms of mange. The result of examination of skin scrapings found eight
positive samples infested by mange mites. The type of mange mites were found is
Demodex sp. Because this research has shows that high prevalence, needs serious
attention to dogs in Bali tourist area, especially related to hygene and care about
skin health.
Key Words: Zoonosis, Sarcoptes scabiei, Demodex sp., and Otodectes cynotis.
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP............................................................................................
ABSTRAK........................................................................................................
ABSTRACT.....................................................................................................
UACAPAN TERIMAKASIH...........................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR TABEL.............................................................................................
i
ii
iii
iv
vi
vii
ix
BAB I
1
1
3
4
4
PENDAHULUAN.............................................................................
1.1 Latar Belakang Penelitian............................................................
1.2 Rumusan Masalah........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................
5
5
6
7
8
9
10
10
10
11
11
12
12
13
13
14
14
15
15
15
16
17
19
19
19
19
19
vi
vii
20
20
20
20
21
22
22
26
26
26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
LAMPIRAN.....................................................................................................
27
32
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 (a) Anjing Kintamani; (b) German Sheperd; (c) Serigala.............
Gambar 2.3 Siklus hidup Sarcoptes scabiei dalam tubuh makhluk hidup ......
13
14
17
viii
23
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Kejadian Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata
di Bali .......................................................................................
22
23
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bali dikenal sebagai pulau surga dan menjadi tujuan wisata dunia. Pada
industri kepariwisataan, Bali selalu menempati peringkat teratas sebagai tempat
wisata yang wajib dikunjungi. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali
pada 2014 mencapai 3.768.362 orang, meningkat 14,96% dari tahun sebelumnya.
Sementara, kunjungan wisatawan domestik sampai Oktober 2014, mencapai
5.132.293 orang (Statistik Dinas Pariwisata Bali, 2015). Berkaitan dengan hal
tersebut, maka perlu diperhatikan semua hal yang membuat wisatawan merasa
nyaman, seperti fasilitas, kebersihan, dan hal lain, termasuk juga masalah
keamanan. Masalah keamanan yang dimaksud tidak hanya mencakup keamanan
dibidang fisik, tetapi juga keamanan dalam bidang kesehatan yang berkaitan
dengan penularan penyakit yang dapat terjadi di kawasan wisata. Salah satu
penyakit yang perlu diperhatikan adalah penyakit yang bersifat zoonosis.
Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di
antara hewan vertebrata ke manusia (Khairiyah, 2011) yang diperkirakan lebih
dari 200 penyakit yang bersifat zoonosis (Gusti, 2013). Pengetahuan dan
pemahaman penyakit-penyakit zoonosis, tentunya tidak hanya terbatas pada
penyakit-penyakit zoonosis yang klasik saja seperti rabies, anthrax, brucellosis,
dan lain-lainnya, namun seiring dengan perjalanan waktu beberapa penyakit
zoonosis terus berkembang dan siap mengintai hewan dan manusia setiap saat
(Suardana dan Soejoedono, 2005). Penyakit zoonosis dapat dibedakan antara lain
berdasarkan penularannya, agen penyebabnya, reservoir utamanya, dan asal
hewannya. Penyakit zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui
beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan
kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari
ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada
lingkungan yang tercemar. Penularan penyakit zoonosis dibagi menjadi empat,
yaitu;
direct
zoonosis, siklozoonosis,
metazoonosis,
dan
saprozoonosis.
zoonosis dibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit,
atau yang disebabkan oleh jamur (Khairiyah, 2011). Reservoir utama zoonosis
dapat berupa hewan piara atau hewan domestik, maupun satwa liar, yang
digolongkan menjadi tiga kriteria yaitu; antropozoonosis, amphixenosis, dan
zooanthroponosis Sedangkan berdasarkan hewannya dapat berasal dari kucing,
kera, sapi, babi, unggas, hewan liar, serta anjing (Suardana dan Soejodono, 2005).
Kehidupan masyarakat di Bali tidak lepas dari hubungan mereka dengan
anjing karena pada dasarnya memelihara anjing juga merupakan bagian dari
kebudayaan. Dekatnya hubungan manusia dengan anjing membuat penularan
penyakit zoonosis dari anjing dan manusia menjadi sangat potensial, khususnya
pada kawasan wisata di Bali. Penyebaran penyakit pada kawasan wisata akan
menyebabkan kenyamanan wisatawan yang berkunjung menjadi terganggu
dengan risiko tertularnya penyakit. Penyakit zoonosis dengan anjing sebagai
hewan penyebarnya juga dapat disebabkan oleh penyakit parasit, selain bakteri,
virus, jamur, dan agen lain. Tungau adalah salah satu penyakit parasitik yang
agennya juga dapat menginfestasi manusia, selain anjing sebagai hewan
pembawanya.
Dengan meningkatnya populasi anjing di Bali, maka risiko penyebaran
penyakit tentunya juga akan ikut meningkat. Anjing dapat terinfeksi berbagai
macam penyakit, salah satunya adalah penyakit kulit. Jumlah kasus penyakit kulit
pada anjing, kucing, dan kelinci cenderung meningkat pada tahun 2014 di daerah
Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Makasar, Yogyakarta, dan Pekanbaru. Salah satu
penyebabnya adalah scabies (Andrew, 2014). Gangguan kulit merupakan masalah
utama pada anjing-anjing lokal di Bali yang di sebabkan oleh berbagai faktor,
salah satunya adalah parasit eksternal (Widyastuti et al., 2012). Pada anjing
kintamani, prevalensi gangguan kulit karena infeksi parasit sebesar 15,2%,
dimana 5,5% disebabkan oleh infestasi scabies serta 4,6% infestasi tungau
demodex (Timur, 2014).
Kudis adalah gangguan pada kulit yang menyebabkan kegatalan dan
perubahan pada kulit. Kudis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
tungau (Price dan Bishop, 1942). Pada anjing kudis disebabkan oleh tungau
berasal dari agen parasitik seperti Sarcoptes scabiei, Domodex sp., dan Otodectes
cynotis. Ketiga jenis tungau ini akan menyebabkan rasa gatal pada anjing dan juga
menunjukkan gejala kudis pada kulit anjing penderita. Selain itu, tungau kudis ini
juga dapat menginfestasi manusia jika terjadi kontak langsung dengan anjing
penderita. Whardana et al. (2006) melaporkan bahwa infestasi scabies pada
manusia akan menimbulkan ruam-ruam dan rasa gatal yang parah. Sarcoptes
scabiei mampu memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan
dalam pembuatan terowongan, aktivitas makan dan melekatkan telurnya pada
terowongan tersebut. Lesi kulit berawal pada terjadinya eritrema yang terus
berkembang menjadi vesikula atau pustula. Adanya terowongan di bawah lapisan
kulit merupakan ciri khas dari infestasi tungau ini.
Tungau demodex menyerang semua mamalia, termasuk manusia (Suartha et
al., 2014). Tungau demodex akan menular ke manusia jika terjadi kontak
langsung dengan anjing penderita. Gejala awal demodex pada manusia ditandai
dengan adanya titik-titik merah dan makin melebar menjadi kudis (ILUNI-FK83,
2013)Tungau ini tidak akan bersifat patogenik pada individu yang sehat, tetapi
akan bersifat patogen saat daya tahan penderita menurun (Rather dan Hassan,
2014). Sedangkan Otodectes cynotis hanya menginfestasi kulit manusia sebagai
inang sementara dengan gejala yang tidak separah seperti pada hewan
(Kustiningsih, 2011). Karena dampak dari tungau kudis dapat merugikan anjing
dan juga manusia, khususnya di kawasan wisata di Bali, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui prevalensi Infestasi tungau kudis pada anjing di
kawasan wisata di Bali serta mengidentifikasi jenis-jenis tungau tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Berapakah prevalensi tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali?
2. Jenis-jenis tungau apa saja yang menyebabkan kudis pada anjing di kawasan
wisata di Bali?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anjing
Anjing merupakan mamalia karnivora yang sangat dekat dengan manusia.
Anjing merupakan binatang yang didomestikasi paling awal, yaitu sekitar 8.000
tahun yang lalu berdasarkan bukti-bukti arkeologi. Namun, beberapa ahli ada
yang menyebutkan bahwa anjing didomestikasi untuk pertama kali sekitar 10.000
tahun yang lalu (Puja, 2011).
manusia dalam berburu hewan liar untuk dikonsumsi, yang kemudian berkembang
untuk berbagai kepentingan hidup manusia. Karena anjing memiliki kesetiaan
pada pemiliknya membuat banyak orang menjadikan anjing sebagai peliharaan
dengan berbagai alasan, seperti sebagai teman, untuk kesenangan, menjaga rumah,
mengembala ternak, kebanggaan, dan tentunya untuk berburu (Gunawan, 2011).
Anjing diduga pertama kali hidup di Asia atau Eurasia, kemudian bemigrasi
ke seluruh benua terutama ke Amerika. Sisa-sisa deposit atau fosil anjing awal
prasejarah telah ditemukan di Denmark, Inggris, Jerman, Israel, Jepang, dan
China. Di Indonesia, bukti keberadaan anjing pada zaman dahulu dapat dilihat
dari situs purbakala Gilimanuk, Bali (Puja, 2011).
Sejarah anjing masih merupakan misteri atau belum banyak diungkapkan
orang. Hal ini disebabkan karena tidak adanya mata rantai yang dapat
menjelaskan hubungan anjing dengan kerabat liarnya pada zaman prasejarah.
Akan tetapi, kebanyakan ahli cenderung memperkirakan bahwa canis lupus
(serigala) merupakan nenek moyang dari anjing. Hal ini didasarkan pada berbagai
kesamaan yang dimiliki oleh anjing dan serigala (Puja, 2011). Ilustrasi perbedaan
antara anjing dan serigala terlihat pada Gambar 2.1.
c
a
Gambar 2.1 : (a) Anjing Kintamani; (b) German Sheperd; (c) Serigala (Yuliawati,
2014).
Anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai macam
variasi. Terdapat tiga badan otoritas di dunia yang mengurus masalah anjing
termasuk pengelompokannya, yaitu Federation Cynologique Internationale (FCI),
American Kennel Club (AKC), dan The Kennel Club. Masing-masing otoritas ini
membagi pengelompokkan anjing berdasarkan aturan atau ketentuan yang
dibuatnya sendiri. Pengelompokkan tersebut antara lain (Puja, 2011):
1) FCI membagi anjing menjadi 10 kelompok, yaitu anjing penggembala, Guard
Dog, Terrier, Dachshund, tipe primitif, anjing pelacak, pointing, Retrivier,
Companion, dan anjing pemburu.
2) AKC membagi anjing menjadi 7 kelompok, yaitu Herding, Working, Sporting,
Hound, Terrier, Toy, dan Non-Sporting.
2.2 Scabies
2.2.1 Etiologi
Scabies adalah penyakit kulit menular yang bersifat zoonosis dan
disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei . Penyakit ini tersebar luas di seluruh
dunia terutama pada daerah-daerah yang erat sekali kaitannya dengan lahan kritis,
kemiskinan, rendahnya sanitasi dan status gizi, baik pada hewan maupun manusia.
Tungau ini mampu menyerang manusia dan ternak termasuk hewan kesayangan
(pet animal) maupun hewan liar (wild animal) (Wardhana et al., 2006). Scabies
adalah penyakit kulit yang gatal dan menular pada mamalia domestik maupun
mamalia liar yang disebabkan oleh ektoparasit jenis tungau (mite) Sarcoptes
scabiei, dengan berbagai varietas seperti S. scabiei var.caprae pada kambing,
S.scabiei var.ovis pada domba, S.scabiei var.cuniculi pada kelinci, S.scabiei
var.suis pada babi, dan S. scabiei var. canis pada anjing, serta S. scabiei var.
hominis yang menginfestasi manusia. Meskipun antara mamalia satu dengan
lainnya berbeda varietas namun dimungkinkan terjadi penularan pada induk
semang lainnya (Wahyuti et al., 2009). Penyakit scabies tersebar di seluruh
Indonesia dan banyak menyerang hewan seperti; kambing, sapi, kerbau, domba,
babi, anjing dan kelinci (Kasmar, 2015).
2.2.2 Morfologi
Secara morfologi, spesies Sarcoptes scabiei berukuran sangat kecil dengan
tepi tubuh yang bundar (sirkuler) tidak teratur (Gambar 2.2). Tungau betina
berukuran 330-600 250-400 m dan tungau jantan berukuran 200-240 150200 m atau setengah dari ukuran tungau betina (Molin, 2009). Tungau S. scabiei
berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan
pipih pada bagian ventral. Permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan
kutikula serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang berjalan transversal. Pada
tungau betina ditemukan 3 pasang duri pendek pada bagian dorsal serta 6 pasang
duri panjang diantara beberapa rambut. Stadium larva mempunyai tiga pasang
kaki sedangkan dewasa dan nimpa mempunyai empat pasang kaki (Whardhana et
al., 2006).
Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk
kerucut yang bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma.
Anusnya terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki
alat penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina
berbentuk celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan
berbentuk huruf Y dan terletak diantara pasangan kaki empat (Kasmar, 2015)
Gambar 2.2 : Sarcoptes scabiei berserta telurnya (Walton dan Currie, 2007)
Sarcoptes dibedakan dengan genus lain berdasar adanya leg sucker
(pulvilus), dimana pada Sarcoptes jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada
kaki ke-1, 2 dan 4, sedang pada yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan ke2. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 1 sarcoptes mempunyai spesies atau
varian yang berbeda dan para ahli biologi dan fisiologi menyatakan bahwa
spesiesnya adalah S. scabiei yang spesifik terhadap setiap induk semangnya.
Bagaimanapun dimungkinkan penularan tungau dari bermacam-macam spesies
induk semang ke yang lain, demikian pula dimungkinkan berkaitan dengan proses
evolusi dari induk semang, namun masih dapat menularkan dari spesies satu ke
yang lain (Wahyuti et al., 2009).
2.2.3 Siklus Hidup
Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei terdiri dari telur, larva, nimfa, dan
kemudian dewasa (Gambar 2.3). Infeksi pada anjing dapat diawali dengan tungau
betina atau nimfa stadim kedua yang secara aktif membuat liang di dalam
epidermis atau lapisan tanduk. Di dalam liang tersebut akan diletakkan telur 2-3
butir setiap harinya (Subronto, 2010). Dalam pengamatan secara in vivo yang
dilakukan oleh Arlian dan Moher (1988), perkembangan dari bentuk telur hingga
10
menjadi dewasa memerlukan waktu 10,06-13,16 hari untuk tungau jantan dan
9,93-13,03 hari pada tungau betina.
Gambar 2.3 : Siklus hidup Sarcoptes scabiei dalam tubuh makhluk hidup (Molin,
2009)
Telur yang diletakkan pada liang yang dibuat akan menetas dalam 2-4 hari,
dan keluarlah larva yang berkaki 6. Dalam 1-2 hari, larva akan berubah menjadi
nimfa stadium pertama dan kedua, yang berkaki 8. Larva akan berkembang
menjadi tungau betina muda dan siap untuk kawin dengan tungau jantan. Tungau
betina yang tinggal di kantung di ujung liang, setelah 4-5 hari setelah kopulasi
akan bertelur lagi sampai berumur lebih kurang 3-4 minggu. Tungau akan mati
dalam beberapa hari di luar hospes, terutama bila lingkungannya kering.
Sedangkan di laboratorium dalam keadaan serasi dapat hidup sampai 3 minggu
(Subronto, 2008; 2010).
2.2.4 Patogenesis
Lesi scabies pada anjing biasanya mulai dari moncong, tepi daun telinga,
dan ke arah belakang dari badan. Tungau menginfeksi dengan menembus kulit,
menghisap cairan limfa, dan memakan sel-sel epidermis. Rasa gatal yang
ditimbulkan dari aktivitas tungau akan menyebabkan anjing menggaruk atau
11
menggosokkan badannya ke obyek-obyek keras dan berakibat terjadinya lecetlecet serta rontoknya rambut (Subronto, 2008;2010).
Perubahan patologi berupa eritem, pruritus, dan lalu timbul papulae yang
pecah. Selanjutnya terjadi pengelupasan kulit, dan terbentuk sisik-sisik. Bentuk
kudis mungkin kering, berbatas kurang jelas, dan tepinya tampak tidak beraturan.
Pada anjing muda selain rasa gatal, mungkin tanpa disertai pembentukan papilae
(Subronto, 2010).
2.2.5 Gejala Klinis
Infestasi biasanya menyebabkan hiperkaratosis dan alopecia. Tungau ini
biasanya menyenangi tempat yang sedikit tumbuh rambut. Umumnya dimulai dari
kulit pada bagian moncong dan selanjutnya meluas ke bagian tubuh lainnya.
Anjing tampak kegatalan dan sering menggosok-gosokkan ke tempat yang keras.
Rambut akan rontok dan terdapat lesi bersisik dan berkeropeng yang berbau
seperti air kencing tikus (Puja, 2011). Pada umumnya penyakit ini menyerang
bagian tertentu, seperti muka, telinga, kepala, leher, dan bagian pangkal ekor.
Dapat juga menyerang ke seluruh bagian tubuh . Pada stadium ini ternak dapat
mati karena Toxaemia (keracunan dalam darah) dan kekurusan. Infeksi sekunder
dari bakteri akan memperparah infestasi tungau ini (Atmiyati, 1997). Biasanya
sisi telinga dan siku yang terkena dampak paling parah. Hewan dapat mengalami
pyoderma, ekskorasio berat, hingga limfadenopati (Bandi dan Saikumar, 2013).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis scabies yang dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala
klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan membuat kerokan kulit (scraping)
daerah yang menunjukan gejala krusta, dan terjadi allopesia. Tungau tidak selalu
mudah ditemukan dan umumnya dengan kerokan ditemukan positif sekitar 30%50% (Soulsby, 1986). Diagnosis dari kudis sarcoptes dengan melihat dari gejala
klinis yang ditimbulkan masih sering dikelirukan dengan penyakit kulit yang lain.
Untuk itu perlu pemeriksaan lebih lanjut dan menurut Molin (2009) disebutkan
bahwa konfirmasi utama dari infeksi S. scabiei adalah dengan menggunakan
kerokan kulit pada daerah lesi dengan menggunakan pisau yang telah diolesi
12
mineral oil. Selanjutnya hasil kerokan diperiksa di bawah mikroskop. Kadangkadang pemeriksaan tungau ini sangat sulit bila tungau menyerang kulit agak
dalam sehingga kerokan harus dilakukan sampai lapisan kulit yang mengandung
limfe (Subronto 2008; Puja. 2011).
Tes tinta juga dapat dilakukan yaitu dengan cara memasukkan tinta pada
terowongan di dalam kulit yang dilakukan dengan cara menggosok papula
menggunakan ujung pena yang berisi tinta . Papula yang telah tertutup dengan
tinta didiamkan selama 20-30 menit, kemudian tinta diusap/dihapus dengan kapas
yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam
terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag (Wardhana et
al., 2006).
2.2.7 Diagnosis Banding
Ketombe dapat menjadi diagnosis banding dari tungau skabies, namun pada
pemeriksaan
mikroskopis
tidak
ditemukan
adanya
tungau.
Kutu
juga
menumbulkan gejala gatal pada anjing namun dapat dilihat secara makroskopis.
Tungau lain seperti Psoroptes, Notoedres, maupun Choirioptes biasanya
menyerang pada bagian permukaan tubuh lain yang berbeda dari predileksi
skabies (Subronto, 2008). Lesi yang ditimbulkan oleh infestasi tungau skabies
dapat dikelirukan berbagai penyakit kulit dermatologis seperti dermatitis,
herpetiformis, eksim, infeksi jamur, dan gigitan serangga (Bandi dan Saikumar,
2013).
2.2.8 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan scabies dapat dilakukan dengan sanitasi kandang dan
lingkungan serta menghindarkan anjing sehat bersentuhan dengan anjing yang
terinfesi tungau skabies. Foster dan Smith (2015) menuliskan bahwa di masa lalu,
Pengobatan yang paling efektif untuk hewan yang memiliki bulu panjang yaitu
memandikannya dengan shampoo benzoil peroksida untuk membersihkan kulit,
dan kemudian organofosfat (Paramite), seperti Amitraz dips dan Mitaban
(organofosfat), dan kapur sulfur (Lymdip).
13
14
disukai pada kulit (Jarmuda et al., 2012). Nomenklatur demodex didasarkan pada
hospes yang diserangnya (Subronto, 2008), seperti D. canis, D. injai, dan
Demodex cornei yang menyebabkan tungau pada anjing, tetapi juga dapat
menginfestasi manusia atau bersifat zoonosis (Sivajothi et al., 2015).
2.3.2 Morfologi
Bentuk tubuh dari tungau ini memanjang seperti cerutu atau seperti buah
lombok (Capsicum annuum). Demodex memiliki kepala, torak, 4 pasang kaki
gemuk yang pendek dengan 3 ruas dan cakar yang tumpul diujungnya, abdomen
yang memanjang dengan garis-garis transversal pada bagian ventral serta alat
mulut. Alat mulut yang jelas terlihat adalah sepasang palpus maksilaris, kelisera,
dan ophistosoma tidak berpasangan. Penis menonjol pada sisi dorsal torak tungau
jantan sedangkan vulva terletak pada sisi ventral torak tungau betina (Subronto
2010).
2.3.3 Siklus Hidup
Siklus hidup tungau Demodex terdiri dari lima fase antara lain telur, larva,
nimfa stadium pertama dan kedua, dan parasit dewasa (Gambar 2.5) yang
berlangsung selama 14 sampai 18 hari. Kopulasi berlangsung di folikel rambut.
Setelah itu, tungau betina akan meletakkan telurnya dalam kelenjar sebaseus yang
akan berkembang menjadi larva dalam 60 jam (Jarmuda et al., 2012). D. canis
menghabiskan semua siklus hidupnya pada kulit, yang berada di folikel rambut
dan juga kelenjar sebaceous (Nash, 2006).
15
Gambar 2.4 : Siklus hidup Demodex sp. (Mylemans, 2004; Nash, 2006)
2.3.4 Patogenesis
Demodekosis adalah penyakit kompleks dengan patogenesis yang tepat
masih belum jelas. Penyakit ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan imunologi
(Paterson et al., 2009). Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung, seperti
pada saat anak anjing menyusu pada induknya yang memiliki parasit, maka
lesinya akan menular dari kulit moncong, mata, dan kaki depan sebelah plantar
yang kemudian dapat menyebar keseluruh permukaan tubuh. Bentuk-bentuk lesi
kudis dapat dibedakan ke dalam bentuk skuamus atau bersisik, dan bentuk
pustular atau bernanah (Subronto, 2010).
2.3.5 Gejala Klinis
Dalam banyak kasus, gejala dari tungau ini bersifat asimptomatik, tetapi
dengan peran dari agen patogenik lain, tungau infestasi demodex dapat berpotensi
menyebabkan kematian (Jarmuda et al., 2012). Demodekosis ditandai oleh
terjadinya radang dan kegundulan pada tempat hidup tungau tersebut. Rambut di
tempat tungau hidup akan mati dan lepas yang diikuti oleh terbentuknya lesi yang
sifatnya kering, bersisik, dan dapat juga bernanah (Puja, 2011) serta dapat juga
terjadi lesi periorbital (Sivajothi et al., 2015), seperti pada gambar 2.6. Kulit yang
terinfeksi akan tampak menebal dan seringkali diikuti oleh infeksi sekunder
bakteri, seperti staphylococci.
16
17
18
19
dengan sepederlapan total penduduk Bali yang mencapai empat juta jiwa.
Populasi anjing yang terus meningkat ini tentunya juga meningkatkan resiko
penularan penyakit, khususnya yang bersifat zoonosis dari anjing ke manusia
ataupun sebaliknya.
Scabies, demodekosis, dan Otodectes cynotis adalah infestasi parasit
artropoda yang disebabkan oleh tungau. Ketiga jenis penyakit ini bersifat zoonosis
dan menimbulkan dampak yang merugikan. Tungau menyerang dengan cara
menginfestasi kulit inangnya sehingga menyebabkan gatal, kerontokan rambut,
dan kerusakan kulit. Pada hewan kesayangan, seperti anjing dan kucing, infestasi
tungau (kudis) akan menimbulkan suasana yang tidak menyenangkan di
lingkungan pemukiman manusia. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap
daerah wisata, khususnya di Bali, jika terdapat kasus yang tinggi dari penyakit ini.
Disamping itu, agen dari penyakit kudis ini dapat pula menyerang manusia atau
bersifat zoonosis. Menurut McCarthy et al. (2004) Sarcoptes scabiei ini
ditemukan hampir di seluruh dunia. Penularan Sarcoptes scabiei dapat terjadi jika
melakukan kontak langsung secara sengaja dengan larva, nimfa dan tungau betina
fertil baik dari permukaan kulit secara langsung atau dari bendabenda yang
terinfeksi Sarcoptes scabiei. Bandi dan Saikumar (2013) melaporkan tungau
Sarcoptes scabiei akan menular ke manusia jika terjadi kontak langsung dengan
hewan terinfestasi dan akan menyebabkan pruritus yang intens serta iritasi akibat
reaksi hipersensitivitas akibat produk dari tungau skabies. Sejalan dengan itu,
Soeharsono (2007) juga melaporkan bahwa umumnya orang tertular kudis anjing
lewat kontak langsung, misalnya karena memegang anjing tertular penyakit ini,
atau dapat pula lewat kontak tidak langsung melalui alat-alat seperti kandang,
sikat, atau alat lain yang dipakai oleh anjing penderita. Dampaknya dapat terjadi
penurunan jumlah wisatawan yang akan berkunjung. Sehingga perlu dilakukan
pendataan mengenai prevalensi Infestasi tungau kudis pada anjing di kawasan
wisata di Bali.
20
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah anjing yang ditemukan di kawasan wisata dan
dibedakan berdasarkan kelompok umur (anakan, muda, dewasa), jenis kelamin
(jantan, betina), ras (eksotik, silang, lokal), dan dari cara pemeliharaan (liar,
dipelihara, semi dipelihara). Untuk memudahkan, anjing-anjing yang berumur
sampai 6 bulan digolongkan sebagai anakan; 6 bulan sampai 1 tahun digolongkan
muda; sementara kelompok anjing digolongkan dewasa bila berumur di atas 1
tahun (Gselasie et al., 2013).
3.2 Peralatan yang digunakan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pisau skapel atau silet, pot
sampel, tabung reaksi, pipet, centrifuge, objek glass, cover glass, dan mikroskop.
3.3 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sampel kerokan kulit,
mineral oil, Formalin 10%, air, dan KOH 10 %.
3.4 Rancangan Penelitian
Jenis
penelitian
ini
merupakan
penelitian
observasional
dengan
21
22
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di
Bali
Dari 100 sampel anjing yang menjadi target penelitian, sebanyak 14 anjing
teramati menderita gejala kudis. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan 8
sampel positif terinfestasi tungau kudis, sehingga prevalensi tungau kudis pada
anjing di kawasan wisata di Bali sebesar 8% (Tabel 4.1). Dari 6 sampel negatif,
ada 3 sampel yang berasal dari anjing yang sedang dalam proses pengobatan,
sedangkan 3 sampel negatif lain, diperkirakan terinfeksi agen lain, seperti jamur.
Tabel 4.1 Kejadian Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di Bali
Jumlah Jumlah
Hasil
Kawasan
Kabupaten Sampel Sampel Positif Negatif Prevalensi
Wisata
Kerokan
Sanur
Denpasar
11
2
2
Jimbaran
Badung
5
4
1
3
1%
Kuta
Badung
7
1
1
1%
Sangeh
Badung
5
Jatiluwih
Tabanan
7
2
1
1
1%
Tanah Lot
Tabanan
4
Kintamani
Bangli
11
1
1
1%
Ubud
Gianyar
10
2
2
2%
Goa Lawah Klungkung
5
1
1
1%
Watu Klotok Klungkung
5
Tulamben
Karangasem
10
1
1
1%
Lovina
Buleleng
4
Air Sanih
Buleleng
6
Gilimanuk
Negara
10
Total
100
14
8
6
8%
Dalam penelitian ini ada empat variabel yang diamati, yaitu jenis kelamin,
umur, ras, dan cara pemeliharaan dengan hasil analisis deskriptip seperti pada
Tabel 4.2.
24
25
26
27
2,47%, serta 3,34% anjing di bawah umur 1 tahun, 3,57% anjing berumur 1-5
tahun, dan 2,07% anjing berumur di atas 5 tahun. Berbeda dengan Ali et al. (2011)
yang melaporkan bahwa prevalensi demodekosis pada anjing jantan sebesar
6,34% sedangkan pada betina sebesar 2,69%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian ini dimana prevalensi anjing jantan yang terinfestasi pada anjing di
kawasan wisata di Bali sebesar 5% dan betina sebesar 3%.
Demodeksosis sering menyerang anjing berumur di bawah satu tahun,
namun anjing dewasa juga dapat terinfestasi tungau ini (Mueller et al., 2001).
Pada penelitian ini anjing yang berusia dibawah enam bulan (anakan), di atas 6
bulan (muda), dan anjing dewasa terinfestasi demodex dengan prevalensi masingmasing sebesar 1%, 4%, dan 3%. Ali et al. (2011) melaporkan bahwa anjing muda
lebih mudah terinfestasi demodekosis dibandingkan anjing dewasa. Hewan yang
lebih muda memiliki sistem imun yang belum berkembang sempurna
dibandingkan hewan dewasa.
Berdasakan cara pemeliharaan, anjing yang dipelihara secara intensif
didapatkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anjing semi intensif
dipelihara dan juga anjing liar, yakni sebesar 5%. Anjing semi intensif dipelihara
didatkan prevalensi 2%, dan anjing liar sebesar 1%. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Shrestha et al. (2015) yang melaporkan prevalensi
anjing penderita demodekosis lebih tinggi pada anjing yang tidak dipelihara,
yakni sebesar 48,9%, lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang dipelihara
yaitu sebesar 13,1%.
demodekosis pada penelitian ini lebih tinggi pada anjing lokal yaitu sebesar 4%,
diikuti oleh anjing silangan sebesar 3%, dan ras eksotik sebesar 1%. Hasil ini
tidak jauh berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Shrestha et al. (2015)
dimana prevalensi Infestasi demodekosis pada anjing lokal sebesar 37,5%, anjing
silangan 25,9%, dan ras eksotik 27,7%.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Prevalensi Infestasi tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali
adalah sebesar 8%.
2. Jenis tungau kudis yang ditemukan pada anjing di kawasan wisata di Bali
adalah Demodex spp.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemeliharaan
anjing serta pencegahan penyakit-penyakit pada anjing, seperti tungau
kudis.
2. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kawasan wisata, khususnya pantai
agar masyarakat tidak melepaskan anjingnya di tempat tersebut.
28
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.H.N. Begum., M.G. Azam., dan B.C. Roy. 2011. Prevalence and Pathology
of Mite Infestation in Street Dogs at Dinajpur Municipitality Area. J.
Bangladesh Agril. Univ. 9(1): 111-119.
Andrew, P. 2014. Awas Penularan Penyakit dari Hewan. http://manado.tribunnews
.com/2014/05/04/awas-penularan-penyakit-dari-hewan. Akses 3 Desember
2015.
Anggriani, Lely. 2015. Tungau telinga (Ear mites) pada Hewan Kesayangan.
Artikel
009
Vitapet
Animal
Clinic,
Juli
2015
http://www.vitapetclinic.com
/assets/clinical-case/Tungau%20telinga
%20(Ear%20mites%20)%20%20DR H%20LELY.pdf. Akses 15 Januari
2016.
Arlian, LG. dan Vyszenski-Moher DL. 1998. Life cycle of Sarcoptes scabiei var.
cani. Department of Biological Sciences, Wright State University, Dayton,
Ohio. J Parasitol. 1998 Jun;74(3):427-30.
Atmiyati. 1997. Teknik Penggunaan Campuran Belerang dan Oli Bekas Untuk
Pengobatan Scabies. Balai Penelitian Ternak, Ciawi.
Bachewar N.P., Thawani V.R., Mali S.N., Gharpure K.J., Shingade V.P., Dekhale
G.N. 2009. Comparison of safety, efficacy, and cost effectiveness of benzyl
benzoate, permetrhin, and ivermectin in patients of scabies. Indian J of
Pharma. 41(1): 9-14.
Bandi, Kiran Madhusudhan dan Chitralekha Saikumar. 2013. Sarcoptic Mange: A
Zoonotic Ectoparasitic Skin Disease. Journal of Clinical and Diagnostic
Research. 2013 January, Vol-7(1): 156-157.
Bindari, Yugal Raj., Sulochana Shrestha., dan Mukti Narayan Shrestha. 2012.
Prevalence of Mange Infestation in Canines of Kathmandu Valley. Inter J
Vet Sci, 2012, 1(1): 21-25.
Budiharta, S. dan I.W. Suardana. 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan Ekonomi
Veteriner. Udayana University Press. Denpasar.
Chee, J.H., Kwon J.K., Cho H.S., Cho K.O., Lee Yj., Shin S.S. 2008. A Survey of
Ectoparacite Infestation in Stry Dogs of Gwang-ju City. Republic of Korea.
Korean J Parasitol. 46 (1): 23-27.
Chen, Yi-Zhou., Rui-Qing Lin., Dong-Hui Zhou., Hui-Qun Song., Fen Chen., ZiGuo Yuan., Xing-Quan Zhu., Ya-Biao Weng., dan Guang-Hui Zhao. 2012.
Prevalence of Demodex infection in pet dogs in Southern China. African
Journal of Microbiology Research Vol. 6(6), pp. 1279-1282, 16 February,
2012.
Fadhilah,
Debby.
2015.
Pengenalan
Demodekosis
pada
Anjing.
http://ilmuveteriner.com/pengenalan-demodekosis-pada-anjing/. Akses 27
Desember 2015.
29
30
31
Medleau, L. dan K.A. Hnilica. 2006. Small Animal Dermatology : A Color Atlas
and Therapeutic Guide. 2nd ed., Elvisier inc. USA.
Molin, Eva U. 2009. In vitro Characterization of Glutathione Transferases from
Sarcoptes scabiei. Department of Biomedical Sciences and Veterinary
Public Health. Faculty of Veterinary Medicine and Animal Science. Swedish
University of Agricultural Sciences. Uppsala. Acta Universitatis agriculturae
Sueciae 2009:80.
Moriello, Karen A. 2011. Treatment of Demodicosis in Dogs & Cats.
http://www.cliniciansbrief.com/sites/default/files/cb%20may
%2011_Treatmt%20of%20Demodicosis.pdf. Akses 27 Desember 2015.
Mueller, Ralf S. 2008. Demodicosis - a frequent problem in the dog. Proceedings
of the 33rd World Small Animal Veterinary Congress. Dublin, Ireland.
Mueller, Ralf S., Emmanuel Bensignor., Llus Ferrer., Birgit Holms., Stephen
Lemarie., Manon Paradis., dan Michael A. Shipstone. 2012. Treatment of
demodicosis in dogs: 2011 clinical practice guidelines. Veterinary
Dermatology, 23, 86e21.
Mylemans, D.V.M. Jan. 2004. Health and care of the
http://www.dylvillepugs.be/care.htm. Akses 25 April 2016.
pug
dog.
32
33
Wahyuti, Ririen Ngesti., Nunuk Dyah Retno., dan Endang Suprihati. 2009.
Identifikasi Morfologi dan Profil Protein Tungau Sarcoptes Scabiei pada
Kambing dan Kelinci. Departemen Pasitologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya. J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 2,
Agust 2009: 94-110.
Walton, Shelley F. dan Bart J. Currie. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, a
Global Disease in Human and Animal Populations. CLINICAL
MICROBIOLOGY REVIEWS, Apr. 2007, p. 268279. Vol. 20, No. 2.
Wardhana, A. H., Joses Manurung., dan Tolibin Iskandar. 2006. Skabies:
Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor. WARTAZOA Vol. 16 No. I Th . 2006.
Widyastuti, S.K., N.M.S. Dewi., Iwan H. U. 2012. Kelainan Kulit Anjing Jalanan
pada Beberapa Lokasi di Bali. BULETINVET. 4(2):81-86.
Wiryana, IK., I. M. Damriyasa ., N. S. Dharmawan., Arna KAA., Dianiyanti K.,
Harumna D. 2014. Kejadian Dermatosis yang Tinggi pada Anjing Jalanan di
Bali. J. Vet 15 (2): 217-220.
Yuliawati,
Y.
2014.
Persahabatan
Serigala
Liar
dengan
http://binatang.net /persahabatan-serigala-liar-dengan-anjing/.
Desember 2015.
Anjing.
Akses 26
LAMPIRAN
34
35
Lampiran 1
Hasil Analisis Deskriptif
Hasil Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jantan
Betina
Total
Jumlah
Sampel
47
53
100
Jumlah
Kerokan
8
6
14
Hasil (ekor)
Positif
Negatif
5
3
3
3
8
6
Jumlah
Kerokan
4
5
5
14
Hasil (ekor)
Positif
Negatif
1
3
4
1
3
2
8
6
Jumlah
Kerokan
7
3
4
14
Hasil (ekor)
Positif
Negatif
4
3
3
1
3
8
6
Jumlah
Sampel
9
31
60
100
Jumlah
Sampel
60
11
29
100
Jumlah
Sampel
43
33
24
100
Jumlah
Kerokan
9
4
1
14
Hasil (ekor)
Positif
Negatif
5
4
2
2
1
8
6
36
Lampiran 2
Foto-Foto Penelitian