Anda di halaman 1dari 48

PREVALENSI INFESTASI TUNGAU KUDIS PADA ANJING

DI KAWASAN WISATA DI BALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi


Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh:
Julian Satria
1209005120

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

PREVALENSI INFESTASI TUNGAU KUDIS PADA ANJING


DI KAWASAN WISATA DI BALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi


Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh:
Julian Satria
1209005120
Menyetujui/Mengesahkan
Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. drh. N.S. Dharmawan, MS.

drh. Ida Bagus Made Oka, M. Kes.

NIP. 19581005 198403 1 002

NIP. 19601231 198903 1 014

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


Universitas Udayana
Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP.
NIP. 19570630 198710 1 001
Tanggal Lulus :

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh, kami


berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat
diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.
Ditetapkan di Denpasar, 30 Mei 2016

Panitia Penguji

Prof. Dr. drh. N.S. Dharmawan. MS.


Ketua

drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes

Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP

Sekretaris

Anggota

drh. I Made Dwinata, M.Kes

drh. Anak Agung Gde Arjana, M.Kes

Anggota

Anggota

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 20 Juli
1995 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, putera dari ayah bernama Abdul
Syahid Buduha dan ibu Fatmawati.
Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 3 Lalonggasumeeto pada
tahun 2001, SMP Negeri 3 Soropia pada tahun 2006, dan SMA Negeri 7 Kendari
pada tahun 2009. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya sebagai
mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana pada tahun 2012.
Penulis melakukan penelitian di Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan judul Prevalensi Infestasi
Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di Bali sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana.

ABSTRAK
Anjing merupakan sahabat terbaik manusia. Dalam pemeliharaannya, anjing
dapat terserang berbagai macam penyakit. Kedekatan hubungan antara manusia
dan anjing memunculkan potensi terjadinya penularan penyakit, khususnya yang
bersifat zoonosis. Potensi penularan penyakit zoonosis tentunya akan berpengaruh
pada daerah wisata di Bali, karena dapat menyebabkan penurunan jumlah
wisatawan yang akan berkunjung. Sarcoptes scabiei, Demodex spp., dan
Otodectes cynotis adalah tungau kudis pada anjing yang diklasifikasikan sebagai
penyakit zoonosis. Objek penelitian adalah 100 ekor anjing yang ada pada
kawasan wisata di Bali yang relatif padat dikunjungi wisatawan. Anjing yang
teramati mengalami gejala kudis dikerok kulitnya dan kemudian diperiksa dengan
mikroskop untuk mengidentifikasi tungaunya. Sampel dinyatakan positif apabila
ditemukan minimal satu parasit dalam setiap stadium perkembangannya. Pada
penelitian ini, didapatkan 14 ekor anjing yang mengalami gejala kudis. Dari hasil
pemeriksaan ditemukan 8 sampel kerokan kulit yang positif terinfestasi tungau
kudis. Jenis tungau yang ditemukan adalah Demodex sp. dengan prevalensi 8%.
Sehubungan dengan besarnya prevalensi tersebut, perlu perhatian yang serius
terhadap anjing-anjing yang berada di kawasan wisata di Bali, terutama
menyangkut kebersihan dan kesehatan kulit agar terus diupayakan.
Kata kunci: Zoonosis, Sarcoptes scabiei, Demodex spp., dan Otodectes cynotis.

ii

ABSTRACT
Dog is a humans best friend. In daily, Dog can be attacked by various
disease. Relationship between human and dog can potentially disease contagion,
particularly zoonotic diseases. Potential of contagion by zoonotic diseases will
certainly affect tourist area in Bali, Because it can decrease the number of tourist
who come to visit. Sarcoptes scabiei,Demodex sp., and Otodectes cynotis are
mange mites in dog that classified as a zoonotic diseases. The research used 100
dogs in Bali tourist area which crowded by visitor. Dogs were observed that have
sympton of mange were scraped skin and then examined by microscope to
identify mite. Sample tested positive when found at least one parasite in every
stage developmental. The result from this research, obtained 14 dogs that have
symptoms of mange. The result of examination of skin scrapings found eight
positive samples infested by mange mites. The type of mange mites were found is
Demodex sp. Because this research has shows that high prevalence, needs serious
attention to dogs in Bali tourist area, especially related to hygene and care about
skin health.
Key Words: Zoonosis, Sarcoptes scabiei, Demodex sp., and Otodectes cynotis.

iii

UCAPAN TERIMA KASIH


Segala puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah
Subhanahu Wa Taala yang telah memeberikan rahmat, hidayah, dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di Bali ini
tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tersanjungkan kepada baginda
Rasulullah Muhammad ShalallahuAlaihi Wa Salam yang telah menerangi alam
ini dengan cahaya keimanan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih setulus hati kepada:
1. Bapak Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP. selaku dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
2. Bapak Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. selaku
pembimbing I atas bimbingan, nasehat, dan motivasi yang telah diberikan
selama penelitian dan penulisan skripsi ini hingga selesai.
3. Bapak drh. Ida Bagus Made Oka, M.Kes, selaku pembimbing II yang
bersedia menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk membaca
dan memberikan masukan bagi penulisan skripsi ini serta memberikan
arahan dan nasehat selama penelitian.
4. Ibu Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP., Bapak drh. I Made Dwinata,
M.Kes., dan Bapak drh. Anak Agung Gde Arjana, M.Kes. selaku penguji
yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan bimbingan,
kritik, saran serta nasehat yang sangat berguna dalam penulisan skripsi
ini.
5. Bapak drh. I Made Merdana, MP. selaku pembimbing akademik yang
selalu memberikan masukan, saran, dan semangat bagi penulis.

iv

6. Semua dosen dan staf Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana


yang telah membimbing penulis selama menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
7. Kedua orang tua, Bapak Abdul Syahid Buduha dan Ibu Fatmawati, kakak
dan adik tercinta Aldi Agusta dan Muh. Farhan Septian, serta keluarga
besar yang selalu memberikan doa, semangat, motivasi, serta dukungan
moral dan materinya.
8. Putu Panji Naradharma dan Kadek Jaya Utama yang telah bahumembahu menyelesaikan peneletian ini.
9. Citra Dewi Kartikasari yang telah memberikan semangat dan motivasi
kepada penulis penulis dalam penyusunan skripsi ini.
10. Keluarga besar Baitul Kontraan, Dimas Andi Pratama, Dimas Indra Dwi
Purnama, Muhammad Faqih Amrullah, Haris Muhamad Ikhsan, Moh.
Ghaiz Abriansyah, Saiful Akbar, Jihan Bima Praokoso, Satria Yuda
Prawira, dan Lutfi Widiarta yang selalu memerikan semangat dan
dukungan kepada penulis.
11. Keluarga besar FKH 12 B, IKAMI Sulsel cabang Bali, Minpro Satwa
Liar Rothschildi, KKN Desa Tulamben 2015 atas dukungan, kerjasama,
dan kekeluargaan yang penulis dapatkan.
12. Sahabat-sahabatku, Parman, Parmin, Abdan, Adri, Jumrin, Kiki, dan
Putra.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
turut membantu dan memberikan dukungan dalam penelitian dan
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dari penulisan
skriksi ini, untuk itu penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang
membangun guna menjadikan skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang Kedokteran Hewan

DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP............................................................................................
ABSTRAK........................................................................................................
ABSTRACT.....................................................................................................
UACAPAN TERIMAKASIH...........................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR TABEL.............................................................................................

i
ii
iii
iv
vi
vii
ix

BAB I

1
1
3
4
4

PENDAHULUAN.............................................................................
1.1 Latar Belakang Penelitian............................................................
1.2 Rumusan Masalah........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian.........................................................................
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................


2.1 Anjing .........................................................................................
2.2 Scabies.........................................................................................
2.2.1 Etiologi ..............................................................................
2.2.2 Morfologi ...........................................................................
2.2.3 Siklus Hidup ......................................................................
2.2.4 Patogenesis ........................................................................
2.2.5 Gejala Klinis ......................................................................
2.2.6 Diagnosis ...........................................................................
2.2.7 Diagnosis Banding .............................................................
2.2.8 Pencegahan dan Pengobatan...............................................
2.3 Demodex......................................................................................
2.3.1 Etiologi ..............................................................................
2.3.2 Morfologi ...........................................................................
2.3.3 Siklus Hidup ......................................................................
2.3.4 Patogenesis ........................................................................
2.3.5 Gejala Klinis ......................................................................
2.3.6 Diagnosis ...........................................................................
2.3.7 Diagnosis Banding .............................................................
2.3.8 Pencegahan dan Pengobatan...............................................
2.4 Otodectes cynotis.........................................................................
Kerangka Konsep...............................................................................

5
5
6
7
8
9
10
10
10
11
11
12
12
13
13
14
14
15
15
15
16
17

BAB III MATERI DAN METODE ................................................................


3.1 Objek Penelitian...........................................................................
3.2 Peralatan yang Digunakan ..........................................................
3.3 Bahan-Bahan yang Digunakan ...................................................
3.4 Rancangan penelitian...................................................................

19
19
19
19
19

vi

vii

3.5 Variabel Penelitian ......................................................................


3.6 Jumlah Sampel.............................................................................
3.7 Prosedur Penelitian .....................................................................
3.8 Analisis Data ...............................................................................
3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................

20
20
20
20
21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................


4.1 Hasil.............................................................................................
4.1.1 Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing di
Kawasan Wisata di Bali .....................................................
4.2.2 Jenis-jenis Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan
Wisata di Bali......................................................................
4.2 Pembahasan ................................................................................

22
22

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................


5.1 Simpulan......................................................................................
5.2 Saran............................................................................................

26
26
26

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
LAMPIRAN.....................................................................................................

27
32

22
23
24

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 (a) Anjing Kintamani; (b) German Sheperd; (c) Serigala.............

Gambar 2.2 Sarcoptes scabiei beserta telurnya ...............................................

Gambar 2.3 Siklus hidup Sarcoptes scabiei dalam tubuh makhluk hidup ......

Gambar 2.4 Siklus hidup Demodex sp. ...........................................................

13

Gambar 2.5 Anjing penderita tungau demodex ...............................................

14

Gambar 2.6 Otodectes cynotis .........................................................................

17

Gambar 4.1 Demodex sp. yang ditemukan pada pemeriksaan


mikroskopik ................................................................................

viii

23

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Kejadian Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata
di Bali .......................................................................................

22

Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif ...........................................................

23

ix

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bali dikenal sebagai pulau surga dan menjadi tujuan wisata dunia. Pada
industri kepariwisataan, Bali selalu menempati peringkat teratas sebagai tempat
wisata yang wajib dikunjungi. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali
pada 2014 mencapai 3.768.362 orang, meningkat 14,96% dari tahun sebelumnya.
Sementara, kunjungan wisatawan domestik sampai Oktober 2014, mencapai
5.132.293 orang (Statistik Dinas Pariwisata Bali, 2015). Berkaitan dengan hal
tersebut, maka perlu diperhatikan semua hal yang membuat wisatawan merasa
nyaman, seperti fasilitas, kebersihan, dan hal lain, termasuk juga masalah
keamanan. Masalah keamanan yang dimaksud tidak hanya mencakup keamanan
dibidang fisik, tetapi juga keamanan dalam bidang kesehatan yang berkaitan
dengan penularan penyakit yang dapat terjadi di kawasan wisata. Salah satu
penyakit yang perlu diperhatikan adalah penyakit yang bersifat zoonosis.
Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di
antara hewan vertebrata ke manusia (Khairiyah, 2011) yang diperkirakan lebih
dari 200 penyakit yang bersifat zoonosis (Gusti, 2013). Pengetahuan dan
pemahaman penyakit-penyakit zoonosis, tentunya tidak hanya terbatas pada
penyakit-penyakit zoonosis yang klasik saja seperti rabies, anthrax, brucellosis,
dan lain-lainnya, namun seiring dengan perjalanan waktu beberapa penyakit
zoonosis terus berkembang dan siap mengintai hewan dan manusia setiap saat
(Suardana dan Soejoedono, 2005). Penyakit zoonosis dapat dibedakan antara lain
berdasarkan penularannya, agen penyebabnya, reservoir utamanya, dan asal
hewannya. Penyakit zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui
beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan
kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari
ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada
lingkungan yang tercemar. Penularan penyakit zoonosis dibagi menjadi empat,

yaitu;

direct

zoonosis, siklozoonosis,

Berdasarkan agen penyebabnya,

metazoonosis,

dan

saprozoonosis.

zoonosis dibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit,
atau yang disebabkan oleh jamur (Khairiyah, 2011). Reservoir utama zoonosis
dapat berupa hewan piara atau hewan domestik, maupun satwa liar, yang
digolongkan menjadi tiga kriteria yaitu; antropozoonosis, amphixenosis, dan
zooanthroponosis Sedangkan berdasarkan hewannya dapat berasal dari kucing,
kera, sapi, babi, unggas, hewan liar, serta anjing (Suardana dan Soejodono, 2005).
Kehidupan masyarakat di Bali tidak lepas dari hubungan mereka dengan
anjing karena pada dasarnya memelihara anjing juga merupakan bagian dari
kebudayaan. Dekatnya hubungan manusia dengan anjing membuat penularan
penyakit zoonosis dari anjing dan manusia menjadi sangat potensial, khususnya
pada kawasan wisata di Bali. Penyebaran penyakit pada kawasan wisata akan
menyebabkan kenyamanan wisatawan yang berkunjung menjadi terganggu
dengan risiko tertularnya penyakit. Penyakit zoonosis dengan anjing sebagai
hewan penyebarnya juga dapat disebabkan oleh penyakit parasit, selain bakteri,
virus, jamur, dan agen lain. Tungau adalah salah satu penyakit parasitik yang
agennya juga dapat menginfestasi manusia, selain anjing sebagai hewan
pembawanya.
Dengan meningkatnya populasi anjing di Bali, maka risiko penyebaran
penyakit tentunya juga akan ikut meningkat. Anjing dapat terinfeksi berbagai
macam penyakit, salah satunya adalah penyakit kulit. Jumlah kasus penyakit kulit
pada anjing, kucing, dan kelinci cenderung meningkat pada tahun 2014 di daerah
Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Makasar, Yogyakarta, dan Pekanbaru. Salah satu
penyebabnya adalah scabies (Andrew, 2014). Gangguan kulit merupakan masalah
utama pada anjing-anjing lokal di Bali yang di sebabkan oleh berbagai faktor,
salah satunya adalah parasit eksternal (Widyastuti et al., 2012). Pada anjing
kintamani, prevalensi gangguan kulit karena infeksi parasit sebesar 15,2%,
dimana 5,5% disebabkan oleh infestasi scabies serta 4,6% infestasi tungau
demodex (Timur, 2014).
Kudis adalah gangguan pada kulit yang menyebabkan kegatalan dan
perubahan pada kulit. Kudis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
tungau (Price dan Bishop, 1942). Pada anjing kudis disebabkan oleh tungau

berasal dari agen parasitik seperti Sarcoptes scabiei, Domodex sp., dan Otodectes
cynotis. Ketiga jenis tungau ini akan menyebabkan rasa gatal pada anjing dan juga
menunjukkan gejala kudis pada kulit anjing penderita. Selain itu, tungau kudis ini
juga dapat menginfestasi manusia jika terjadi kontak langsung dengan anjing
penderita. Whardana et al. (2006) melaporkan bahwa infestasi scabies pada
manusia akan menimbulkan ruam-ruam dan rasa gatal yang parah. Sarcoptes
scabiei mampu memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan
dalam pembuatan terowongan, aktivitas makan dan melekatkan telurnya pada
terowongan tersebut. Lesi kulit berawal pada terjadinya eritrema yang terus
berkembang menjadi vesikula atau pustula. Adanya terowongan di bawah lapisan
kulit merupakan ciri khas dari infestasi tungau ini.
Tungau demodex menyerang semua mamalia, termasuk manusia (Suartha et
al., 2014). Tungau demodex akan menular ke manusia jika terjadi kontak
langsung dengan anjing penderita. Gejala awal demodex pada manusia ditandai
dengan adanya titik-titik merah dan makin melebar menjadi kudis (ILUNI-FK83,
2013)Tungau ini tidak akan bersifat patogenik pada individu yang sehat, tetapi
akan bersifat patogen saat daya tahan penderita menurun (Rather dan Hassan,
2014). Sedangkan Otodectes cynotis hanya menginfestasi kulit manusia sebagai
inang sementara dengan gejala yang tidak separah seperti pada hewan
(Kustiningsih, 2011). Karena dampak dari tungau kudis dapat merugikan anjing
dan juga manusia, khususnya di kawasan wisata di Bali, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui prevalensi Infestasi tungau kudis pada anjing di
kawasan wisata di Bali serta mengidentifikasi jenis-jenis tungau tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Berapakah prevalensi tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali?
2. Jenis-jenis tungau apa saja yang menyebabkan kudis pada anjing di kawasan
wisata di Bali?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui prevalensi tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali.
2. Mengetahui jenis-jenis tungau pada anjing di kawasan wisata di Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat di kawasan
wisata di Bali, khususnya yang memelihara anjing untuk mencegah dan
menanggulangi kejadian tungau kudis agar tidak mengganggu pariwisata yang ada
di daerah tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anjing
Anjing merupakan mamalia karnivora yang sangat dekat dengan manusia.
Anjing merupakan binatang yang didomestikasi paling awal, yaitu sekitar 8.000
tahun yang lalu berdasarkan bukti-bukti arkeologi. Namun, beberapa ahli ada
yang menyebutkan bahwa anjing didomestikasi untuk pertama kali sekitar 10.000
tahun yang lalu (Puja, 2011).

Awalnya anjing dijinakkan untuk membantu

manusia dalam berburu hewan liar untuk dikonsumsi, yang kemudian berkembang
untuk berbagai kepentingan hidup manusia. Karena anjing memiliki kesetiaan
pada pemiliknya membuat banyak orang menjadikan anjing sebagai peliharaan
dengan berbagai alasan, seperti sebagai teman, untuk kesenangan, menjaga rumah,
mengembala ternak, kebanggaan, dan tentunya untuk berburu (Gunawan, 2011).
Anjing diduga pertama kali hidup di Asia atau Eurasia, kemudian bemigrasi
ke seluruh benua terutama ke Amerika. Sisa-sisa deposit atau fosil anjing awal
prasejarah telah ditemukan di Denmark, Inggris, Jerman, Israel, Jepang, dan
China. Di Indonesia, bukti keberadaan anjing pada zaman dahulu dapat dilihat
dari situs purbakala Gilimanuk, Bali (Puja, 2011).
Sejarah anjing masih merupakan misteri atau belum banyak diungkapkan
orang. Hal ini disebabkan karena tidak adanya mata rantai yang dapat
menjelaskan hubungan anjing dengan kerabat liarnya pada zaman prasejarah.
Akan tetapi, kebanyakan ahli cenderung memperkirakan bahwa canis lupus
(serigala) merupakan nenek moyang dari anjing. Hal ini didasarkan pada berbagai
kesamaan yang dimiliki oleh anjing dan serigala (Puja, 2011). Ilustrasi perbedaan
antara anjing dan serigala terlihat pada Gambar 2.1.

c
a

Gambar 2.1 : (a) Anjing Kintamani; (b) German Sheperd; (c) Serigala (Yuliawati,
2014).
Anjing telah berkembang menjadi ratusan ras dengan berbagai macam
variasi. Terdapat tiga badan otoritas di dunia yang mengurus masalah anjing
termasuk pengelompokannya, yaitu Federation Cynologique Internationale (FCI),
American Kennel Club (AKC), dan The Kennel Club. Masing-masing otoritas ini
membagi pengelompokkan anjing berdasarkan aturan atau ketentuan yang
dibuatnya sendiri. Pengelompokkan tersebut antara lain (Puja, 2011):
1) FCI membagi anjing menjadi 10 kelompok, yaitu anjing penggembala, Guard
Dog, Terrier, Dachshund, tipe primitif, anjing pelacak, pointing, Retrivier,
Companion, dan anjing pemburu.
2) AKC membagi anjing menjadi 7 kelompok, yaitu Herding, Working, Sporting,
Hound, Terrier, Toy, dan Non-Sporting.
2.2 Scabies
2.2.1 Etiologi
Scabies adalah penyakit kulit menular yang bersifat zoonosis dan
disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei . Penyakit ini tersebar luas di seluruh
dunia terutama pada daerah-daerah yang erat sekali kaitannya dengan lahan kritis,
kemiskinan, rendahnya sanitasi dan status gizi, baik pada hewan maupun manusia.

Tungau ini mampu menyerang manusia dan ternak termasuk hewan kesayangan
(pet animal) maupun hewan liar (wild animal) (Wardhana et al., 2006). Scabies
adalah penyakit kulit yang gatal dan menular pada mamalia domestik maupun
mamalia liar yang disebabkan oleh ektoparasit jenis tungau (mite) Sarcoptes
scabiei, dengan berbagai varietas seperti S. scabiei var.caprae pada kambing,
S.scabiei var.ovis pada domba, S.scabiei var.cuniculi pada kelinci, S.scabiei
var.suis pada babi, dan S. scabiei var. canis pada anjing, serta S. scabiei var.
hominis yang menginfestasi manusia. Meskipun antara mamalia satu dengan
lainnya berbeda varietas namun dimungkinkan terjadi penularan pada induk
semang lainnya (Wahyuti et al., 2009). Penyakit scabies tersebar di seluruh
Indonesia dan banyak menyerang hewan seperti; kambing, sapi, kerbau, domba,
babi, anjing dan kelinci (Kasmar, 2015).
2.2.2 Morfologi
Secara morfologi, spesies Sarcoptes scabiei berukuran sangat kecil dengan
tepi tubuh yang bundar (sirkuler) tidak teratur (Gambar 2.2). Tungau betina
berukuran 330-600 250-400 m dan tungau jantan berukuran 200-240 150200 m atau setengah dari ukuran tungau betina (Molin, 2009). Tungau S. scabiei
berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan
pipih pada bagian ventral. Permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan
kutikula serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang berjalan transversal. Pada
tungau betina ditemukan 3 pasang duri pendek pada bagian dorsal serta 6 pasang
duri panjang diantara beberapa rambut. Stadium larva mempunyai tiga pasang
kaki sedangkan dewasa dan nimpa mempunyai empat pasang kaki (Whardhana et
al., 2006).
Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk
kerucut yang bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan Hipostoma.
Anusnya terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak memiliki
alat penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau betina
berbentuk celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital jantan
berbentuk huruf Y dan terletak diantara pasangan kaki empat (Kasmar, 2015)

Gambar 2.2 : Sarcoptes scabiei berserta telurnya (Walton dan Currie, 2007)
Sarcoptes dibedakan dengan genus lain berdasar adanya leg sucker
(pulvilus), dimana pada Sarcoptes jantan dapat dijumpai adanya leg sucker pada
kaki ke-1, 2 dan 4, sedang pada yang betina dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan ke2. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 1 sarcoptes mempunyai spesies atau
varian yang berbeda dan para ahli biologi dan fisiologi menyatakan bahwa
spesiesnya adalah S. scabiei yang spesifik terhadap setiap induk semangnya.
Bagaimanapun dimungkinkan penularan tungau dari bermacam-macam spesies
induk semang ke yang lain, demikian pula dimungkinkan berkaitan dengan proses
evolusi dari induk semang, namun masih dapat menularkan dari spesies satu ke
yang lain (Wahyuti et al., 2009).
2.2.3 Siklus Hidup
Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei terdiri dari telur, larva, nimfa, dan
kemudian dewasa (Gambar 2.3). Infeksi pada anjing dapat diawali dengan tungau
betina atau nimfa stadim kedua yang secara aktif membuat liang di dalam
epidermis atau lapisan tanduk. Di dalam liang tersebut akan diletakkan telur 2-3
butir setiap harinya (Subronto, 2010). Dalam pengamatan secara in vivo yang
dilakukan oleh Arlian dan Moher (1988), perkembangan dari bentuk telur hingga

10

menjadi dewasa memerlukan waktu 10,06-13,16 hari untuk tungau jantan dan
9,93-13,03 hari pada tungau betina.

Gambar 2.3 : Siklus hidup Sarcoptes scabiei dalam tubuh makhluk hidup (Molin,
2009)
Telur yang diletakkan pada liang yang dibuat akan menetas dalam 2-4 hari,
dan keluarlah larva yang berkaki 6. Dalam 1-2 hari, larva akan berubah menjadi
nimfa stadium pertama dan kedua, yang berkaki 8. Larva akan berkembang
menjadi tungau betina muda dan siap untuk kawin dengan tungau jantan. Tungau
betina yang tinggal di kantung di ujung liang, setelah 4-5 hari setelah kopulasi
akan bertelur lagi sampai berumur lebih kurang 3-4 minggu. Tungau akan mati
dalam beberapa hari di luar hospes, terutama bila lingkungannya kering.
Sedangkan di laboratorium dalam keadaan serasi dapat hidup sampai 3 minggu
(Subronto, 2008; 2010).
2.2.4 Patogenesis
Lesi scabies pada anjing biasanya mulai dari moncong, tepi daun telinga,
dan ke arah belakang dari badan. Tungau menginfeksi dengan menembus kulit,
menghisap cairan limfa, dan memakan sel-sel epidermis. Rasa gatal yang
ditimbulkan dari aktivitas tungau akan menyebabkan anjing menggaruk atau

11

menggosokkan badannya ke obyek-obyek keras dan berakibat terjadinya lecetlecet serta rontoknya rambut (Subronto, 2008;2010).
Perubahan patologi berupa eritem, pruritus, dan lalu timbul papulae yang
pecah. Selanjutnya terjadi pengelupasan kulit, dan terbentuk sisik-sisik. Bentuk
kudis mungkin kering, berbatas kurang jelas, dan tepinya tampak tidak beraturan.
Pada anjing muda selain rasa gatal, mungkin tanpa disertai pembentukan papilae
(Subronto, 2010).
2.2.5 Gejala Klinis
Infestasi biasanya menyebabkan hiperkaratosis dan alopecia. Tungau ini
biasanya menyenangi tempat yang sedikit tumbuh rambut. Umumnya dimulai dari
kulit pada bagian moncong dan selanjutnya meluas ke bagian tubuh lainnya.
Anjing tampak kegatalan dan sering menggosok-gosokkan ke tempat yang keras.
Rambut akan rontok dan terdapat lesi bersisik dan berkeropeng yang berbau
seperti air kencing tikus (Puja, 2011). Pada umumnya penyakit ini menyerang
bagian tertentu, seperti muka, telinga, kepala, leher, dan bagian pangkal ekor.
Dapat juga menyerang ke seluruh bagian tubuh . Pada stadium ini ternak dapat
mati karena Toxaemia (keracunan dalam darah) dan kekurusan. Infeksi sekunder
dari bakteri akan memperparah infestasi tungau ini (Atmiyati, 1997). Biasanya
sisi telinga dan siku yang terkena dampak paling parah. Hewan dapat mengalami
pyoderma, ekskorasio berat, hingga limfadenopati (Bandi dan Saikumar, 2013).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis scabies yang dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala
klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan membuat kerokan kulit (scraping)
daerah yang menunjukan gejala krusta, dan terjadi allopesia. Tungau tidak selalu
mudah ditemukan dan umumnya dengan kerokan ditemukan positif sekitar 30%50% (Soulsby, 1986). Diagnosis dari kudis sarcoptes dengan melihat dari gejala
klinis yang ditimbulkan masih sering dikelirukan dengan penyakit kulit yang lain.
Untuk itu perlu pemeriksaan lebih lanjut dan menurut Molin (2009) disebutkan
bahwa konfirmasi utama dari infeksi S. scabiei adalah dengan menggunakan
kerokan kulit pada daerah lesi dengan menggunakan pisau yang telah diolesi

12

mineral oil. Selanjutnya hasil kerokan diperiksa di bawah mikroskop. Kadangkadang pemeriksaan tungau ini sangat sulit bila tungau menyerang kulit agak
dalam sehingga kerokan harus dilakukan sampai lapisan kulit yang mengandung
limfe (Subronto 2008; Puja. 2011).
Tes tinta juga dapat dilakukan yaitu dengan cara memasukkan tinta pada
terowongan di dalam kulit yang dilakukan dengan cara menggosok papula
menggunakan ujung pena yang berisi tinta . Papula yang telah tertutup dengan
tinta didiamkan selama 20-30 menit, kemudian tinta diusap/dihapus dengan kapas
yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam
terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag (Wardhana et
al., 2006).
2.2.7 Diagnosis Banding
Ketombe dapat menjadi diagnosis banding dari tungau skabies, namun pada
pemeriksaan

mikroskopis

tidak

ditemukan

adanya

tungau.

Kutu

juga

menumbulkan gejala gatal pada anjing namun dapat dilihat secara makroskopis.
Tungau lain seperti Psoroptes, Notoedres, maupun Choirioptes biasanya
menyerang pada bagian permukaan tubuh lain yang berbeda dari predileksi
skabies (Subronto, 2008). Lesi yang ditimbulkan oleh infestasi tungau skabies
dapat dikelirukan berbagai penyakit kulit dermatologis seperti dermatitis,
herpetiformis, eksim, infeksi jamur, dan gigitan serangga (Bandi dan Saikumar,
2013).
2.2.8 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan scabies dapat dilakukan dengan sanitasi kandang dan
lingkungan serta menghindarkan anjing sehat bersentuhan dengan anjing yang
terinfesi tungau skabies. Foster dan Smith (2015) menuliskan bahwa di masa lalu,
Pengobatan yang paling efektif untuk hewan yang memiliki bulu panjang yaitu
memandikannya dengan shampoo benzoil peroksida untuk membersihkan kulit,
dan kemudian organofosfat (Paramite), seperti Amitraz dips dan Mitaban
(organofosfat), dan kapur sulfur (Lymdip).

13

Menurut Subronto (2010), penggunaan insektisida konvensional seperti


benzen hexaklorida (BHC), malathion, diazinon, lindane, dan emulsi benzylbensoat (EBB) dipandang cukup efektif karena pada dasarnya tempat hidup
tungau yang hanya terbatas pada permukaan kulit. Perlu diketahui bahwa tungau
hanya dapat hidup jika ada udara, jadi obat harus dilarutkan atau diikatkan dengan
vehikulum minyak atau vaselin.
Alternatif lain yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit scabies
adalah dengan menggunakan pengobatan modern berupa Ivermectin yang
merupakan obat anti parasit dan mempunyai efek terhadap berbagai jenis parasit
pada hewan. Mekanisme kerja Ivermectin di dalam tubuh adalah mengganggu
aktivitas aliran ion klorida pada system saraf Antropoda. Preparat ini dapat terikat
pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion
klorida, sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah
pengeluaran neurotransmitter Gama Aminobutyric Acid (GABA). Sebagai
akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas neuron akan
terganggu, sehingga menyebabkan terjadinya kematian dari parasit (Wardhana et
al., 2006). Kerusakan kulit akibat tungau skabies juga dapat menimbulkan infeksi
sekunder, seperti oleh bakteri sehingga hal ini juga perlu ditangani. Selain
mengobati anjing, lingkungan seperti tempat tidur anjing dapat disterilkan dengan
insektisida residual (Foster dan Smith, 2015).
2.3 Demodex
2.3.1 Etiologi
Demodex adalah kelompok tungau kudis yang khusus hidup di dalam
folikel rambut dan kelenjar sebacea (kelenjar minyak) mamalia, yang
menyebabkan demodekosis atau kudis folikel. Demodekosis adalah penyakit kulit
yang disebabkan oleh tungau parasit dari genus Demodex sp. (Acari: Prostigmata)
yang proliferasinya tidak terkendali (Torello, 2007). Parasit demodex yang hidup
pada berbagai spesies mamalia bersifat khusus untuk hospes tertentu, meskipun
secara morfologik, kecuali ukurannya, tidak berbeda antara tungau-tungau
tersebut (Subronto, 2008). Terdapat lebih dari 100 spesies tungau Demodex yang
memiliki masing-masing host-spesifik (mamalia) dan juga tempat predileksi yang

14

disukai pada kulit (Jarmuda et al., 2012). Nomenklatur demodex didasarkan pada
hospes yang diserangnya (Subronto, 2008), seperti D. canis, D. injai, dan
Demodex cornei yang menyebabkan tungau pada anjing, tetapi juga dapat
menginfestasi manusia atau bersifat zoonosis (Sivajothi et al., 2015).
2.3.2 Morfologi
Bentuk tubuh dari tungau ini memanjang seperti cerutu atau seperti buah
lombok (Capsicum annuum). Demodex memiliki kepala, torak, 4 pasang kaki
gemuk yang pendek dengan 3 ruas dan cakar yang tumpul diujungnya, abdomen
yang memanjang dengan garis-garis transversal pada bagian ventral serta alat
mulut. Alat mulut yang jelas terlihat adalah sepasang palpus maksilaris, kelisera,
dan ophistosoma tidak berpasangan. Penis menonjol pada sisi dorsal torak tungau
jantan sedangkan vulva terletak pada sisi ventral torak tungau betina (Subronto
2010).
2.3.3 Siklus Hidup
Siklus hidup tungau Demodex terdiri dari lima fase antara lain telur, larva,
nimfa stadium pertama dan kedua, dan parasit dewasa (Gambar 2.5) yang
berlangsung selama 14 sampai 18 hari. Kopulasi berlangsung di folikel rambut.
Setelah itu, tungau betina akan meletakkan telurnya dalam kelenjar sebaseus yang
akan berkembang menjadi larva dalam 60 jam (Jarmuda et al., 2012). D. canis
menghabiskan semua siklus hidupnya pada kulit, yang berada di folikel rambut
dan juga kelenjar sebaceous (Nash, 2006).

15

Gambar 2.4 : Siklus hidup Demodex sp. (Mylemans, 2004; Nash, 2006)
2.3.4 Patogenesis
Demodekosis adalah penyakit kompleks dengan patogenesis yang tepat
masih belum jelas. Penyakit ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan imunologi
(Paterson et al., 2009). Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung, seperti
pada saat anak anjing menyusu pada induknya yang memiliki parasit, maka
lesinya akan menular dari kulit moncong, mata, dan kaki depan sebelah plantar
yang kemudian dapat menyebar keseluruh permukaan tubuh. Bentuk-bentuk lesi
kudis dapat dibedakan ke dalam bentuk skuamus atau bersisik, dan bentuk
pustular atau bernanah (Subronto, 2010).
2.3.5 Gejala Klinis
Dalam banyak kasus, gejala dari tungau ini bersifat asimptomatik, tetapi
dengan peran dari agen patogenik lain, tungau infestasi demodex dapat berpotensi
menyebabkan kematian (Jarmuda et al., 2012). Demodekosis ditandai oleh
terjadinya radang dan kegundulan pada tempat hidup tungau tersebut. Rambut di
tempat tungau hidup akan mati dan lepas yang diikuti oleh terbentuknya lesi yang
sifatnya kering, bersisik, dan dapat juga bernanah (Puja, 2011) serta dapat juga
terjadi lesi periorbital (Sivajothi et al., 2015), seperti pada gambar 2.6. Kulit yang
terinfeksi akan tampak menebal dan seringkali diikuti oleh infeksi sekunder
bakteri, seperti staphylococci.

16

Gambar 2.5 : Anjing penderita tungau demodex (Sardjana, 2012)


Demodekosis dapat terjadi secara lokal dan general. Lokal demodekosis
sering terjadi pada anjing muda dengan umur antara 3-6 bulan. Demodekosis
dinyatakan lokal jika tidak terdapat lebih dari empat lesi dengan diameter
maksimal 2,5 cm. Kejadian ini tidak tergantung pada ras atau jenis kelamin.
Demodekosis general adalah kejadian penyakit yang terjadi baik pada hewan
muda maupun tua. Kejadian demodekosis pada hewan tua sering menimbulkan
penyakit kulit yang berat dan sulit disembuhkan (Mueller et al., 2012; Fadhilah,
2015).
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis dari infestasi tungau ini seringkali mudah dilakukakan, karena
agen penyebab akan terlihat pada pemeriksaan kerokan kulit dan biopsi (Grandi et
al., 2013). Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
laboratorium dengan cara melakukan kerokan atau scraping yang agak dalam di
daerah infeksi sampai keluar darah, lalu diberi tetesan KOH 10 % untuk dilihat
dibawah mikroskop. Hasilnya pada umumnya akan terlihat tungau demodex dan
telur demodex (Noviani, 2010). Sedangkan Mueller et al. (2012) melaporkan
bahwa diagnosis demodekosis dapat dilakukan dengan kerokan kulit yang dalam,
biopsi kulit, atau dengan memeriksa cairan pustula dengan mikroskop.
2.3.7 Diagnosis Banding
Kudis demodekosis perlu dibedakan dari kadas, folliculitis, acne, radang
kulit karena gigitan pinjal, alergi, alopecia karena gangguan endokrin, dan radang
kulit superficial (eczema), maupun oleh penetrasi larva cacing Stongyloides sp.
(Subronto, 2010).
2.3.8 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan demodekosis bisa dilakukan dengan cara menjaga kebersihan
kandang dan menjauhkan anjing sehat dengan anjing yang terinfestasi
demodekosis (Noviani, 2010). Sebagian besar kasus demodikosis lokal sembuh
secara spontan tanpa pengobatan. Sehingga langkah pertama untuk mengobati

17

demodikosis adalah menentukan apakah anjing menderita infeksi lokal atau


umum (Rutan, 2006; Mueller et al., 2012).
Pengobatan demodekosis terutama ditujukan untuk membunuh parasit
penyebab. Ivermectin diberikan secara subkutan dengan dosis 400 g per kg berat
badan dengan interval pengulangan sekali seminggu, dan diberikan injeksi
duradryl secara sub kutan terlebih dulu sebagai antihistamin (Sardjana, 2012).
Obat lain yang umum digunakan pada infeksi tungau kudis ini antara lain amitraz,
milbemicyn oxime, moxidectin, doramectin , 10% moxidectin dan 2.5%
imidacloprid (Verde, 2005; Moriello, 2011). Namun pemberian amitraz harus
dihindari pada hewan penderita diabetes, hewan berusia kurang dari 4 bulan,
hewan bunting serta hewan dengan pioderma atau dalam proses pengeringan luka.
Konsumsi oral dari amitraz dapat mengakibatkan muntah, ataksia, hipotermia,
mengurangi motilitas usus, hiperglikemia, kejang, bradikardi, depresi sistem saraf
pusat atau koma. Sementara ivermectin tidak boleh diberikan pada anjing Colli
atau anjing ras pengembala seperti Shetland Sheepdogs, Old English Sheepdogs,
dan Australian Shepherds (Rutan, 2006).
Terapi demodekosis dengan menggunakan obat golongan acaridida saja
tidak lengkap untuk mengatasi infestasi tungau demodex (Torello, 2007).
Pengobatan yang dilakukan pada penderita demodikosis perlu dilengkapi dengan
pemberian obat anti bakterial seperti Erythromycin atau obat golongan
Trimethoprim-sulfonamide yang sering digunakan seperti Bactrim, karena
pemberian obat golongan ini ditujukan untuk pengobatan infeksi bakteri
(Sardjana, 2012).
2.4 Otodectes cynotis
Pada dasarnya infestasi tungau O. cynotis yang terbanyak adalah pada
spesies kucing, sedang pada anjing tidak begitu banyak, apalagi jika dibandingkan
dengan infestasi scabies dan demodex. Tungau O. cynotis menginfestasi telinga
anjing dan kucing. Tungau ini berbentuk pipih, bulat, dengan kaki-kakinya yang
pendek dan melewati tepi tubuhnya (Gambar 2.7). Stadia pertumbuhannya berupa

18

telur, larva, nimfa (2 stadia) dan tungau dewasa. Stadium pertumbuhannya


memerlukan waktu 3-4 minggu di dalam saluran telinga (Subronto,2010).

Gambar 2.6 : Otodectes cynotis (Junquera, 2016)


Anjing yang terinfestasi tungau ini akan bersikap tidak tenang, kadang
merengek, menggelengkan kepala, menggosokkan kepala ke obyek keras serta
adanya eksudat yang meleler dari salah satu atau kedua telinga dengan bau yang
menyengat. Daun telinga akan terlihat lecet, kotor, menebal, dan kadang disertai
hematom (Subronto, 2010). Mendiagnosa tungau telinga terlebih dahulu dengan
pemeriksaan fisik kemudian diperiksa dengan menggunakan otoscopic untuk
melihat kondisi telinga. Setelah itu dapat dilakukan dengan swab kotoran dalam
telinga untuk diuji di bawah mikroskop. Untuk pengobatan tungau dapat
dilakukan dengan membersihkan telinga anjing setiap hari dan pemberian obat
untuk membunuh tungau telinga tersebut. Obat yang diberikan adalah obat tetes
telinga yang mengandung antiparasit seperti pyrethrins, ivermectin, rotenone, dan
selamectin (Anggriani, 2015).
Kerangka Konsep
Populasi anjing di Bali semakin bertambah. Rhismawati (2015) melaporkan
bahwa saat ini

populasi anjing di Pulau Dewata saat ini yang diprediksi

jumlahnya di atas 400 ribu ekor. Sedangkan Ramadhani (2015) melaporkan


populasi anjing di Bali diperkirakan hampir mencapai 500 ribu ekor, atau setara

19

dengan sepederlapan total penduduk Bali yang mencapai empat juta jiwa.
Populasi anjing yang terus meningkat ini tentunya juga meningkatkan resiko
penularan penyakit, khususnya yang bersifat zoonosis dari anjing ke manusia
ataupun sebaliknya.
Scabies, demodekosis, dan Otodectes cynotis adalah infestasi parasit
artropoda yang disebabkan oleh tungau. Ketiga jenis penyakit ini bersifat zoonosis
dan menimbulkan dampak yang merugikan. Tungau menyerang dengan cara
menginfestasi kulit inangnya sehingga menyebabkan gatal, kerontokan rambut,
dan kerusakan kulit. Pada hewan kesayangan, seperti anjing dan kucing, infestasi
tungau (kudis) akan menimbulkan suasana yang tidak menyenangkan di
lingkungan pemukiman manusia. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap
daerah wisata, khususnya di Bali, jika terdapat kasus yang tinggi dari penyakit ini.
Disamping itu, agen dari penyakit kudis ini dapat pula menyerang manusia atau
bersifat zoonosis. Menurut McCarthy et al. (2004) Sarcoptes scabiei ini
ditemukan hampir di seluruh dunia. Penularan Sarcoptes scabiei dapat terjadi jika
melakukan kontak langsung secara sengaja dengan larva, nimfa dan tungau betina
fertil baik dari permukaan kulit secara langsung atau dari bendabenda yang
terinfeksi Sarcoptes scabiei. Bandi dan Saikumar (2013) melaporkan tungau
Sarcoptes scabiei akan menular ke manusia jika terjadi kontak langsung dengan
hewan terinfestasi dan akan menyebabkan pruritus yang intens serta iritasi akibat
reaksi hipersensitivitas akibat produk dari tungau skabies. Sejalan dengan itu,
Soeharsono (2007) juga melaporkan bahwa umumnya orang tertular kudis anjing
lewat kontak langsung, misalnya karena memegang anjing tertular penyakit ini,
atau dapat pula lewat kontak tidak langsung melalui alat-alat seperti kandang,
sikat, atau alat lain yang dipakai oleh anjing penderita. Dampaknya dapat terjadi
penurunan jumlah wisatawan yang akan berkunjung. Sehingga perlu dilakukan
pendataan mengenai prevalensi Infestasi tungau kudis pada anjing di kawasan
wisata di Bali.

20

BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah anjing yang ditemukan di kawasan wisata dan
dibedakan berdasarkan kelompok umur (anakan, muda, dewasa), jenis kelamin
(jantan, betina), ras (eksotik, silang, lokal), dan dari cara pemeliharaan (liar,
dipelihara, semi dipelihara). Untuk memudahkan, anjing-anjing yang berumur
sampai 6 bulan digolongkan sebagai anakan; 6 bulan sampai 1 tahun digolongkan
muda; sementara kelompok anjing digolongkan dewasa bila berumur di atas 1
tahun (Gselasie et al., 2013).
3.2 Peralatan yang digunakan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pisau skapel atau silet, pot
sampel, tabung reaksi, pipet, centrifuge, objek glass, cover glass, dan mikroskop.
3.3 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sampel kerokan kulit,
mineral oil, Formalin 10%, air, dan KOH 10 %.
3.4 Rancangan Penelitian
Jenis

penelitian

ini

merupakan

penelitian

observasional

dengan

menggunakan metode cross sectional study sehingga dilakukan satu kali


pengambilan sampel saja tanpa pengulangan. Pengambilan sampel berupa kerokan
kulit dilakukan pada anjing yang menunjukkan gejala penyakit kulit pada
permukaan kulitnya. Sampel kerokan kulit selanjutnya diperiksa dibawah
mikroskop untuk mengidentifikasi jenis tungau. Anjing yang tidak menunjukkan
gejala penyakit kulit pada permukaan kulitnya langsung dinyatakan negatif
terinfestasi tungau kudis. Dalam penelitian ini, dilakukan pengumpulan dan
analisis data secara deskriptif mengenai tungau kudis pada anjing dikawasan
wisata di Bali.

21

22

3.5 Variabel Penelitian


3.4.1 Variabel Bebas adalah kawasan wisata tempat pengambilan sampel,
jenis kelamin, umur, ras, dan dari cara pemeliharaan.
3.4.2 Variabel Tergantung adalah ditemukannya tungau kudis pada sampel
kerokan kulit dari anjing di kawasan wisata di Bali.
3.6 Jumlah Sampel
Pengambilan sampel penelitian ini ditentukan secara purposive dengan
memilih daerah-daerah wisata yang relatif padat dikunjungi wisatawan. Jumlah
sampel anjing yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 100 sampel.
3.7 Prosedur Penelitian
Pemeriksaan dilakukan terhadap status kejadian penyakit kulit pada anjing
yang dilakukan dengan pemeriksaan umum dengan melihat gejala klinis yang
teramati (Wiryana et al., 2014). Anjing yang menunjukan gejala klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan kerokan kulit untuk melihat adanya infeksi Sarcoptes scabiei,
Demodex sp, atau Otodectes cynotis. Daerah kulit yang mengalami lesi diolesi
dengan mineral oil dan dikerok dengan pisau bedah sampai terjadi perdarahan
kapiler. Kerokan kulit dimasukkan ke dalam pot sampel yang telah berisi formalin
10%. Kerokan didalam pot dipindahkan kedalam tabung reaksi dan disentrifugasi.
Endapan kerokan didasar tabung disedot dengan pipet dan diletakkan diatas objek
glass yang ditetesi dengan KOH 10% dan diperiksa di bawah mikroskop. Sampel
dinyatakan positif apabila ditemukan minimal satu parasit dalam setiap stadium
perkembangannya (Chee et al., 2008; Wiryana et al., 2014).
3.8 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Paramater
penelitian ini menggunakan rumus prevalensi Budiharta dan Suardana (2007),
yaitu :

23

3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan di beberapa kawasan wisata di Bali.
Kawasan wisata ditetapkan berdasarkan tingkat kunjungan yang tinggi pada
masing-masing kabupaten/kota yang ada di Bali. Daerah tersebut meliputi
Denpasar (Sanur), Badung (Kuta, Jimbaran, Sangeh), Gianyar (Ubud), Klungkung
(Goa Lawah, Watu Klotok), Bangli (Kintamani), Tabanan (Tanah Lot, Jatiluwih),
Negara (Gilimanuk), Buleleng (Air Sanih, Lovina), dan Karangasem (Tulamben).
Sampel berupa kerokan kulit pada anjing yang menunjukan tanda klinis kudis
diperiksa di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada Februari-April
2016.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Prevalensi Infestasi Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di
Bali
Dari 100 sampel anjing yang menjadi target penelitian, sebanyak 14 anjing
teramati menderita gejala kudis. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan 8
sampel positif terinfestasi tungau kudis, sehingga prevalensi tungau kudis pada
anjing di kawasan wisata di Bali sebesar 8% (Tabel 4.1). Dari 6 sampel negatif,
ada 3 sampel yang berasal dari anjing yang sedang dalam proses pengobatan,
sedangkan 3 sampel negatif lain, diperkirakan terinfeksi agen lain, seperti jamur.
Tabel 4.1 Kejadian Tungau Kudis pada Anjing di Kawasan Wisata di Bali
Jumlah Jumlah
Hasil
Kawasan
Kabupaten Sampel Sampel Positif Negatif Prevalensi
Wisata
Kerokan
Sanur
Denpasar
11
2
2
Jimbaran
Badung
5
4
1
3
1%
Kuta
Badung
7
1
1
1%
Sangeh
Badung
5
Jatiluwih
Tabanan
7
2
1
1
1%
Tanah Lot
Tabanan
4
Kintamani
Bangli
11
1
1
1%
Ubud
Gianyar
10
2
2
2%
Goa Lawah Klungkung
5
1
1
1%
Watu Klotok Klungkung
5
Tulamben
Karangasem
10
1
1
1%
Lovina
Buleleng
4
Air Sanih
Buleleng
6
Gilimanuk
Negara
10
Total
100
14
8
6
8%
Dalam penelitian ini ada empat variabel yang diamati, yaitu jenis kelamin,
umur, ras, dan cara pemeliharaan dengan hasil analisis deskriptip seperti pada
Tabel 4.2.

24

25

Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif


Variabel
Hasil (ekor)
Positif
Negatif
Jenis Kelamin
Jantan
5
3
Betina
3
3
Anakan (<6 bulan)
1
3
Umur
Muda (6-12 bulan)
4
1
Dewasa (>12 bulan)
3
2
Lokal
4
3
Ras
Silang
3
Eksotik
1
3
Dipelihara
5
4
Cara
Semi dipelihara
2
2
Pemeliharaan
Liar
1
4.1.2 Jenis-jenis Tungau pada Anjing di Kawasan Wisata di Bali
Dari ketiga jenis tungau kudis yang umum ditemukan pada anjing, yaitu S.
scabiei, Demodex sp., dan O. cynotis, hanya ditemukan satu jenis tungau kudis
yaitu tungau Demodex sp. Dengan kata lain, kedelapan ektoparasit yang
menginfestasi anjing di kawasan wisata di Bali adalah tungau Demodex sp.

Gambar 4.1 Tungau Demodex sp. yang ditemukan pada pemeriksaan


mikroskopik.
4.2 . Pembahasan

26

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan prevalensi infestasi kejadian


tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali adalah sebesar 8%. Jenis
perasit yang menginfestasi anjing-anjing dikawasan wisata di Bali adalah
Demodex sp.
Dalam penelitian ini, hanya Demodex sp. yang ditemukan, sedangkan dua
tungau kudis yang lain, S. scabiei dan O. cynotis tidak ditemukan. Hasil yang
didapat sesuai dengan yang dilaporkan Bindari et al. (2012) bahwa infestasi
demodekosis lebih tinggi dibandingkan dengan infestasi tungau skabies karena
tungau demodex merupakan flora normal. Tungau demodex akan menjadi flora
normal pada anjing yang pernah terinfestasi dan akan menimbulkan penyakit kulit
saat kondisi kekebalan anjing menurun (Sardjana, 2012). Chen et al. (2012) dan
Izdebska (2010) juga menyatakan bahwa tungau demodex merupakan penyakit
ektoparasit utama dan umum menyerang anjing pada praktik kedokteran hewan.
Penyakit demodekosis mudah untuk didiagnosis, akan tetapi paling sulit
untuk mengobatinya. Demodekosis yang bersifat lokal akan menunjukkan tanda
kesembuhan setelah minggu kedua, sedangkan yang bersifat general kesembuhan
terjadi setelah hari ke-60. Sedangkan pengobatan skabies tidak sulit dilakukan
(Subronto, 2010; Sardjana, 2012). Pengobatan skabies dengan ivermectin dapat
memberikan kesembuhan 100% setelah dua minggu terapi (Bachewar et al.,
2009). Pada penelitian ini dari 14 kerokan kulit yang diambil, tiga diantaranya
berasal dari anjing yang sedang dalam proses pengobatan penyakit kulit. Dengan
demikian, kemungkinan tidak ditemukannya parasit skabies adalah karena
pengaruh pengobatan tersebut. Pada penelitian ini tidak ditemukan anjing yang
menunjukkan kelainan pada telinga sehingga O. cynotis tidak ditemukan.
Demodekosis merupakan gangguan kulit pada anjing berupa kudis yang
disebabkan oleh tungau Demodex sp. Penyakit ini dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti kondisi imunosupresif, induk yang terinfeksi, lingkungan yang kotor,
nutrisi yang buruk, stres, suhu, dan lain-lain (Medleau dan Hnilica, 2006). Chen
et al (2012) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari
prevalensi demodekosis berdasarkan jenis kelamin dan umur. Prevalensi Infestasi
demodekosis pada anjing jantan sebesar 3,67% dan pada anjing betina sebesar

27

2,47%, serta 3,34% anjing di bawah umur 1 tahun, 3,57% anjing berumur 1-5
tahun, dan 2,07% anjing berumur di atas 5 tahun. Berbeda dengan Ali et al. (2011)
yang melaporkan bahwa prevalensi demodekosis pada anjing jantan sebesar
6,34% sedangkan pada betina sebesar 2,69%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian ini dimana prevalensi anjing jantan yang terinfestasi pada anjing di
kawasan wisata di Bali sebesar 5% dan betina sebesar 3%.
Demodeksosis sering menyerang anjing berumur di bawah satu tahun,
namun anjing dewasa juga dapat terinfestasi tungau ini (Mueller et al., 2001).
Pada penelitian ini anjing yang berusia dibawah enam bulan (anakan), di atas 6
bulan (muda), dan anjing dewasa terinfestasi demodex dengan prevalensi masingmasing sebesar 1%, 4%, dan 3%. Ali et al. (2011) melaporkan bahwa anjing muda
lebih mudah terinfestasi demodekosis dibandingkan anjing dewasa. Hewan yang
lebih muda memiliki sistem imun yang belum berkembang sempurna
dibandingkan hewan dewasa.
Berdasakan cara pemeliharaan, anjing yang dipelihara secara intensif
didapatkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anjing semi intensif
dipelihara dan juga anjing liar, yakni sebesar 5%. Anjing semi intensif dipelihara
didatkan prevalensi 2%, dan anjing liar sebesar 1%. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Shrestha et al. (2015) yang melaporkan prevalensi
anjing penderita demodekosis lebih tinggi pada anjing yang tidak dipelihara,
yakni sebesar 48,9%, lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang dipelihara
yaitu sebesar 13,1%.

Sedangkan berdasarkan rasnya, prevalensi penderita

demodekosis pada penelitian ini lebih tinggi pada anjing lokal yaitu sebesar 4%,
diikuti oleh anjing silangan sebesar 3%, dan ras eksotik sebesar 1%. Hasil ini
tidak jauh berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Shrestha et al. (2015)
dimana prevalensi Infestasi demodekosis pada anjing lokal sebesar 37,5%, anjing
silangan 25,9%, dan ras eksotik 27,7%.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Prevalensi Infestasi tungau kudis pada anjing di kawasan wisata di Bali
adalah sebesar 8%.
2. Jenis tungau kudis yang ditemukan pada anjing di kawasan wisata di Bali
adalah Demodex spp.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemeliharaan
anjing serta pencegahan penyakit-penyakit pada anjing, seperti tungau
kudis.
2. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kawasan wisata, khususnya pantai
agar masyarakat tidak melepaskan anjingnya di tempat tersebut.

28

DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.H.N. Begum., M.G. Azam., dan B.C. Roy. 2011. Prevalence and Pathology
of Mite Infestation in Street Dogs at Dinajpur Municipitality Area. J.
Bangladesh Agril. Univ. 9(1): 111-119.
Andrew, P. 2014. Awas Penularan Penyakit dari Hewan. http://manado.tribunnews
.com/2014/05/04/awas-penularan-penyakit-dari-hewan. Akses 3 Desember
2015.
Anggriani, Lely. 2015. Tungau telinga (Ear mites) pada Hewan Kesayangan.
Artikel
009
Vitapet
Animal
Clinic,
Juli
2015
http://www.vitapetclinic.com
/assets/clinical-case/Tungau%20telinga
%20(Ear%20mites%20)%20%20DR H%20LELY.pdf. Akses 15 Januari
2016.
Arlian, LG. dan Vyszenski-Moher DL. 1998. Life cycle of Sarcoptes scabiei var.
cani. Department of Biological Sciences, Wright State University, Dayton,
Ohio. J Parasitol. 1998 Jun;74(3):427-30.
Atmiyati. 1997. Teknik Penggunaan Campuran Belerang dan Oli Bekas Untuk
Pengobatan Scabies. Balai Penelitian Ternak, Ciawi.
Bachewar N.P., Thawani V.R., Mali S.N., Gharpure K.J., Shingade V.P., Dekhale
G.N. 2009. Comparison of safety, efficacy, and cost effectiveness of benzyl
benzoate, permetrhin, and ivermectin in patients of scabies. Indian J of
Pharma. 41(1): 9-14.
Bandi, Kiran Madhusudhan dan Chitralekha Saikumar. 2013. Sarcoptic Mange: A
Zoonotic Ectoparasitic Skin Disease. Journal of Clinical and Diagnostic
Research. 2013 January, Vol-7(1): 156-157.
Bindari, Yugal Raj., Sulochana Shrestha., dan Mukti Narayan Shrestha. 2012.
Prevalence of Mange Infestation in Canines of Kathmandu Valley. Inter J
Vet Sci, 2012, 1(1): 21-25.
Budiharta, S. dan I.W. Suardana. 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan Ekonomi
Veteriner. Udayana University Press. Denpasar.
Chee, J.H., Kwon J.K., Cho H.S., Cho K.O., Lee Yj., Shin S.S. 2008. A Survey of
Ectoparacite Infestation in Stry Dogs of Gwang-ju City. Republic of Korea.
Korean J Parasitol. 46 (1): 23-27.
Chen, Yi-Zhou., Rui-Qing Lin., Dong-Hui Zhou., Hui-Qun Song., Fen Chen., ZiGuo Yuan., Xing-Quan Zhu., Ya-Biao Weng., dan Guang-Hui Zhao. 2012.
Prevalence of Demodex infection in pet dogs in Southern China. African
Journal of Microbiology Research Vol. 6(6), pp. 1279-1282, 16 February,
2012.
Fadhilah,
Debby.
2015.
Pengenalan
Demodekosis
pada
Anjing.
http://ilmuveteriner.com/pengenalan-demodekosis-pada-anjing/. Akses 27
Desember 2015.

29

30

Foster dan Smith. 2015. Sarcoptic Mange. http://www.peteducation.com/article


.cfm?c=2+2111&aid=764. Akses 26 Desember 2015.
Grandi, F., A. Pasternak., dan H.E.O. Beserra. 2013. Digit loss due to Demodex
spp. infestation in a dog: clinical and pathological features. Open Veterinary
Journal, (2013), Vol. 3(1): 53-55.
Gselasie D. Geyola M, Dagne E, Asmare K, Mekuria s. 2013. Gastrointestinal
Helminthes In Dogs And Community Perception On Parasite Zoonosis At
Hawassa City, Ethiopia. Global Veterinaria 11 (4) 432-440.
Gunawan, I Wayan Nico Fajar. 2011. Studi Perlakuan Bermasalah pada Anjing
Kintamani. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.
Denpasar.
Gusti.
2013.
200
Penyakit
Zoonosis
di
Indonesia.
https://www.ugm.ac.id/id/berita /8480-200.penyakit.zoonosis.di.indonesia.
Akses 12 Januari 2016.
ILUNI-FK83.
2013.
Kesehatan
dan
Ilmu
Kedokteran.
http://www.ilunifk83.com /t460p165-penyakit-zoonosis. Akses tanggal 3
Juni 2016.
Izdebska, Joanna N. 2010. Demodex spp. (Acari, Demodecidae) and Demodecosis
in Dogs: Characteristics, Symptoms, Occurrence. Bull Vet Inst Pulawy 54,
335-338, 2010.
Jarmuda, Stanistaw., Niamh OReilly., Ryszard Z aba., Oliwia Jakubowicz.,
Andrzej Szkaradkiewicz., dan Kevin Kavanagh. 2010. Potential role of
Demodex mites and bacteria in the induction of rosacea. Journal of Medical
Microbiology (2012), 61, 15041510.
Junquera, P. 2016. Dog Mites and Cat Mites: Biology, Prevention and Control. Ear
Mites, Sarcoptic Mange, Scabies, Demodectic Mange, Itch Mites, Nasal
Mitesnotoedric Mange, Walking Dandruff. http://parasitipedia.net/index.php
?option=com_content&view=article&id=2542&Itemid=2818. Akses 15
Januari 2016.
Kasmar, Ihwal Nur. 2015. Prevalensi Scabies Pada Kambing di Kecamatan
Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Skripsi. Program Studi Kedokteran
Hewan. Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Khairiyah. 2011. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan. Jurnal
Litbang Pertanian, 30(3).
Kustiningsih, Heris. 2001. Studi Kasus Otitis Akibat Otodectes Cynotis pada
Kucing. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
McCarthy, J.S, D.J. Kemp, S.F Walton and B.J. Currie. 2004. Scabies more than
just an irritation. Poatgraduate Medical Journal 2004;80:382-387

31

Medleau, L. dan K.A. Hnilica. 2006. Small Animal Dermatology : A Color Atlas
and Therapeutic Guide. 2nd ed., Elvisier inc. USA.
Molin, Eva U. 2009. In vitro Characterization of Glutathione Transferases from
Sarcoptes scabiei. Department of Biomedical Sciences and Veterinary
Public Health. Faculty of Veterinary Medicine and Animal Science. Swedish
University of Agricultural Sciences. Uppsala. Acta Universitatis agriculturae
Sueciae 2009:80.
Moriello, Karen A. 2011. Treatment of Demodicosis in Dogs & Cats.
http://www.cliniciansbrief.com/sites/default/files/cb%20may
%2011_Treatmt%20of%20Demodicosis.pdf. Akses 27 Desember 2015.
Mueller, Ralf S. 2008. Demodicosis - a frequent problem in the dog. Proceedings
of the 33rd World Small Animal Veterinary Congress. Dublin, Ireland.
Mueller, Ralf S., Emmanuel Bensignor., Llus Ferrer., Birgit Holms., Stephen
Lemarie., Manon Paradis., dan Michael A. Shipstone. 2012. Treatment of
demodicosis in dogs: 2011 clinical practice guidelines. Veterinary
Dermatology, 23, 86e21.
Mylemans, D.V.M. Jan. 2004. Health and care of the
http://www.dylvillepugs.be/care.htm. Akses 25 April 2016.

pug

dog.

Nash, Todd A. 2006. Diagnosing Demodex infection. http://www.banfield.com


/getmedia/f3b0b047-912f-4962-841d-608c72333d53/2_2-Diagnosing-Demo
dex-infection. Akses 27 Desember 2015.
Noviani, Vian. 2010. Skin Dermatitis. http://www.vitapetclinic.com/skindermatitis.html. Akses 27 Desember 2015.
Paterson, Tara E., Richard E. Halliwell., Paul J. Fields., Marta Lanza Louw.,
Jakobus P. Louw., Geoff S. Ball., Rhonda D. Pinckney., dan John S.
McKibben. 2009. Treatment of canine-generalized demodicosis: a blind,
randomized clinical trial comparing the efficacy of Advocate (Bayer Animal
Health) with ivermectin. Journal compilation 2009 ESVD and ACVD,
Veterinary Dermatology, 20, 447455.
Price, E.W. dan F.C. Bishop. 1942. Mange of Dogs. Yearbook of Agriculture.
Bereau of Animal Industri.
Puja, I Ketut. 2011. Anjing Perawatan dan Pengembangbiakan. Udayana
University Press. Denpasar-Bali.
Ramadhani, Mutia. 2015. Populasi Anjing Liar di Bali Sangat Mengkhawatirkan.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/02/14/njqbg1-popu
lasi-anjing-liar-di-bali-sangat-mengkhawatirkan. Akses 27 Desember 2015.
Rather, Parvaiz Anwar dan Iffat Hassan. 2014. Human Demodex Mite: The
Versatile Mite of Dermatological Importance. Indian J Dermatol. 2014 JanFeb; 59(1): 6066.

32

Rhismawati, Ni Luh. 2015. Disnakeswan Nilai Populasi Anjing di Bali Berlebih.


http://bali.antaranews.com/berita/72525/disnakeswan-nilai-populasi-anjingdi-bali-berlebih. Akses 27 Desember 2015.
Rutan, Jennifer. 2006. Treating canine demodicosis. http://www.banfield
.com/getmedia/48158ee0-00c5-4c8c-9e4e-5562ada2abab/2_2-Treating-can
ine-demodicosis. Akses 27 Desember 2015.
Sardjana, I Komang Wiarsa. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing Di
Rumah Sakit Hewan. Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga. VetMedika J Klin Vet Vol. 1, No. 1, Juli 2012.
Shrestha, Denusha., Balaram Thapa., Gaurav Rawa., Santosh Dhaka., dan
Bishwas Sharma. 2015. Prevalence of Demodectic Mange in Canines of
Kathmandu Valley Having Skin Disorder and Its Associated Risk Factors.
Int J Appl Sci Biotechnol, Vol 3(3): 459-463.
Sivajothi, S., B. Sudhakara Reddy., dan V. C. Rayulu. 2015. Demodicosis caused
by Demodex canis and Demodex cornei in dogs. J Parasit Dis (Oct-Dec
2015) 39(4):673676.
Soeharsono. 2007. Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing. https://books.
google.co.id/books?
id=zNxQ4udDP8MC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false.
Akses 25 Januari 2016.
Soulsby, E.J.L. 1986. Helmint, Arthropods And Protozoa of Domesticated Animal.
7th ed.
Statistik Dinas Pariwisata Bali. 2015. Statistik Kunjungan Wisata ke Bali. Dinas
Pariwisata Bali. http://www.disparda.baliprov.go.id/id/Statistik2. Akses 3
Desember 2015.
Suardana, I.W. dan R.R. Soejoedono. 2005. Buku Ajar Zoonosis. Udayana Press.
Suartha, I Nyoman., Reny Septyawati., dan I Ketut Gunata. 2014. Bentuk dan
Sebaran Lesi Demodekosis pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner September 2014
Vol. 15 No. 3 : 395-400.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak 1-b. Gajah Mada University Press.
Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Gajah Mada University Press.
Torello. 2007. Remission of Clinical Signs of Adult-Onset Generalized
Demodicosis After Treatment for Concurrent Babesiosis and/or
Granulocytic Ehrlichiosis in Dogs. Parasite, 2007, 14, 339-341.
Timur, N.P.V.T. 2014. Prevalensi Gangguan Kulit pada Anjing Kintamani Bali.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar.
Verde, Maite. 2005. Canine Demodicosis: Treatment Protocol. Proceeding of the
North American Veterinary Conference. Jan. 8-12, 2005, Orlando, Florida.

33

Wahyuti, Ririen Ngesti., Nunuk Dyah Retno., dan Endang Suprihati. 2009.
Identifikasi Morfologi dan Profil Protein Tungau Sarcoptes Scabiei pada
Kambing dan Kelinci. Departemen Pasitologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya. J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 2,
Agust 2009: 94-110.
Walton, Shelley F. dan Bart J. Currie. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, a
Global Disease in Human and Animal Populations. CLINICAL
MICROBIOLOGY REVIEWS, Apr. 2007, p. 268279. Vol. 20, No. 2.
Wardhana, A. H., Joses Manurung., dan Tolibin Iskandar. 2006. Skabies:
Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor. WARTAZOA Vol. 16 No. I Th . 2006.
Widyastuti, S.K., N.M.S. Dewi., Iwan H. U. 2012. Kelainan Kulit Anjing Jalanan
pada Beberapa Lokasi di Bali. BULETINVET. 4(2):81-86.
Wiryana, IK., I. M. Damriyasa ., N. S. Dharmawan., Arna KAA., Dianiyanti K.,
Harumna D. 2014. Kejadian Dermatosis yang Tinggi pada Anjing Jalanan di
Bali. J. Vet 15 (2): 217-220.
Yuliawati,

Y.

2014.

Persahabatan

Serigala

Liar

dengan

http://binatang.net /persahabatan-serigala-liar-dengan-anjing/.
Desember 2015.

Anjing.
Akses 26

LAMPIRAN

34

35

Lampiran 1
Hasil Analisis Deskriptif
Hasil Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jantan
Betina
Total

Jumlah
Sampel
47
53
100

Jumlah
Kerokan
8
6
14

Hasil (ekor)
Positif
Negatif
5
3
3
3
8
6

Jumlah
Kerokan
4
5
5
14

Hasil (ekor)
Positif
Negatif
1
3
4
1
3
2
8
6

Jumlah
Kerokan
7
3
4
14

Hasil (ekor)
Positif
Negatif
4
3
3
1
3
8
6

Hasil Penelitian Berdasarkan Umur


Umur
Anakan (< 6 bulan)
Muda (6-12 bulan)
Dewasa (> 12 bulan)
Total

Jumlah
Sampel
9
31
60
100

Hasil Penelitian Berdasarkan Ras


Ras
Lokal
Silang
Eksotik
Total

Jumlah
Sampel
60
11
29
100

Hasil Penelitian Berdasarkan Cara Pemeliharaan


Cara Pemeliharaan
Dipelihara
Semi depelihara
Liar
Total

Jumlah
Sampel
43
33
24
100

Jumlah
Kerokan
9
4
1
14

Hasil (ekor)
Positif
Negatif
5
4
2
2
1
8
6

36

Lampiran 2
Foto-Foto Penelitian

Lokasi Pengambilan Sampel

Proses Pengambilan Sampel

Pembuatan Preparat Kerokan

Pemeriksaan Kerokan Kulit

Hasil Pemeriksaan Tungau

Hasil Pemeriksaan Tungau

Anda mungkin juga menyukai