Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM

INSTRUMENTASI KIMIA
SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Disusun Oleh :
Nama

: Fitri Alawiyah

NIM

: 011400381

Prodi

: Teknokimia Nuklir

Semester

: III

Kelompok

: A6

Teman Kerja

: Mutia Ayu Utami

Tanggal Praktikum : November 2015


Asisten

: Maria Christina, SST, M.Eng

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR


BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
YOGYAKARTA
2015

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM


I.

Tujuan
1.1 Mempelajari prinsip kerja SSA
1.2 Menghitung limit deteksi, presisi, rambatan ralat, sensitifitas, akurasi dan konsentrasi
sampel serta membandingkan hasil percobaan dengan tertera di alat.

II. Dasar Teori


Spektrometri atomik adalah metode pengukuran spektrum yang berkaitan dengan
serapan dan emisi atom. Bila suatu molekul mempunyai bentuk spektra pita, maka suatu
atom mempunyai spektra garis. Atom-atom yang terlibat dalam metode pengukuran
spektometri atomik haruslah atom-atom bebas yang garis spektranya dapat diamati.
Pengamatan garis spektra yang spesifik ini dapat digunakan untuk analisis unsur baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Absorpsi (serapan) atom adalah suatu proses absorbsi bagian radiasi oleh atom-atom
bebas pada tertentu dari atom itu sendiri. Karena absorbansi sebanding dengan konsentrasi
suatu analit, maka metode ini dapat digunakan untuk sistem pengukuran atau analisis
kuantitatif.
Spektrometri serapan atom (SSA) dalam kimia analitik merupakan suatu teknik untuk
menentukan konsentrasi unsur (biasanya sampel senyawa logam) tertentu dalam suatu
sampel. Teknik pengukuran ini dapat digunakan untuk menganalisis konsentrasi lebih dari 62
jenis unsur logam. Teknik SSA dikembangkan oleh satu tim peneliti kimia Autralia pada
tahun 1950-an yang dipimpin oleh Alan Walsh, di CSIRO (Commonwealth Science and
Industry Research Organisation) bagian kimia fisik, di Melbourne Australia.
Dengan teknik SSA ini unsur-unsur dalam sampel dapat diidentifikasi dengan
sensitif. Limit deteksi pada teknik pengukuran ini dapat mencapai < 1 g/g (1 ppm) bila
menggunakan teknik nyala biasa. Bila menggunakan prosedur SSA yang lebih canggih dapat
dicapai limit deteksi sampai 0,01 ppm.
Dalam spektroskopi atomik, faktor-faktor yang yang dapat menyebabkan pelebaran
garis spektra merupakan suatu problem dalam sistem analisis metode ini. Dua hal yang paling
sering menimbulkan problem ini adalah pelebaran efek Doppler (doppler boardening) dan
pelebaran tekanan (pressure boardening).

Pelebaran Efek Doppler (Doppler Boardening)

Selama proses atomisasi atau ionisasi, suatu spesies yang sedang diukur dapat
bergerak menjauhi atau melalui detektor. Hal ini dapat menimbulkan loncatan Doppler pada
spektra garis yang dihasilkan, sehingga garis spektra yang seharusnya hanya berkira 1-15 nm
menjadi kira-kira 100 kali lebih lebih lebar. Tidak banyak hal yang dapat dilakukan untuk
menghindari efek Doppler ini kecuali hanya mengenali mengapa hal itu terjadi.

Pelebaran Tekanan
Efek ini dapat timbul, bila suatu analit bertabrakan dengan spesies lain karena
perubahan energi. Efek ini makin besar pengaruhnya sejalan dengan naiknya suhu. Efek
pelebaran tekanan ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan Antara Energi Kinetik dengan Jumlah Atom yang


Terbentuk pada Suhu yang Berbeda

Prinsip Dasar SSA


Sampel atau larutan sampel diatomisasi dengan cara dibakar dalam suatu nyala atau
dipanaskan dalam suatu tabung khusus (mis. tungku api) atau dalam alat pengatom plasma.
Atom-atom dalam sampel itu berada pada tingkat energi diskrit yang ditempati elektron,
seperti pada Gambar 2. Tingkat energi biasanya dinamai dengan E 0 bila berapa pada keadaan
dasar (ground state level) sampai E1, E2 sampai E. Atom yang tidak tereksitasi, berada
dalam keadaan dasar (ground state).

Gambar 1.2. Diagram Tingkat Energi Elektronik

Dalam keadaan tereksitasi, satu atau lebih elektron dari suatu atom dapat berpindah
ke tingkat energi yang lebih tinggi dengan cara absorbsi energi oleh atom itu (Gambar 3).

Gambar 1.3. Diagram Peristiwa Absorpsi Radiasi

Energi eksternal dalam SSA dapat disuplai oleh foton atau dengan peristiwa tabrakan
yang disebabkan oleh panas. Dengan peristiwa itu, elektron terluar akan menjauhi inti, paling
tidak ke tingkat energi pertama atau E 1. Energi yang dibutuhkan itu setara dengan selisih
energi tingkat satu dengan energi dasar.
E = E1 E0

(1.1)

Energi yang dibutuhkan untuk transisi elektron itu dapat dipenuhi oleh foton atau
radiasi yang setara dengan:
E = h

(1.2)

Dengan h = tetapan Planck dan = frekuensi. Bila dikaitkan dengan panjang


gelombang () dan c = kecepatan cahaya pada keadaan vakum, maka:
= hc/E

(1.3)

= hc/E1 E0

(1.4)

Atom-atom dari sampel akan dilepaskan membentuk suatu kabut dalam nyala atau
tabung khusus itu. Untuk beberapa peristiwa eksitasi mis. pada UV atau sinar-X spektrometri
selisih energi (energi gap) E 1-E0 sangat lebar, berkisar 100-900 nm. Dalam SSA selisih
energi (energi gap) E1-E0 cukup sempit karena hanya bagian elektron terluar yang
tereksitasi, disebabkan oleh pengendalian suhu yang cermat. Bila suhu terlampau tinggi
sebagian atom akan terionisasi.
Atom-atom dalam kabut tersebut bergerak dengan kecepatan tinggi dan saling
bertabrakan, serta menyerap dalam kisaran yang sangat sempit. Sifat seperti ini merupakan
kelebihan teknik SSA, karena walaupun pada proses pembakaran terjadi kabut dari berbagai
atom, tapi hanya atom tertentu yang dapat menyerap sumber energi atau foton. Hal ini
menunjukkan sifat selektif dari teknik SSA.
Persyaratan untuk memperoleh sinyal absorbsi yang tinggi adalah sebagian besar
atom dalam keadaan energi dasar (ground state) dan sejumlah besar elektron harus dapat
dieksitasi ke tingkat energi pertama (E 1) ketika foton dengan frekuensi yang tepat diserap,
sesuai dengan Persamaan Boltzman yang ditunjukkan pada Persamaan (1.5).
Nj/N0 = Pj/P0 exp (-

E/KT)

(1.5)
dengan:
No = jumlah atom dalam keadaan dasar
Nj = jumlah atom dalam keadaan tereksitasi
P =faktor statistik; untuk orbital s P = 2, untuk orbital p P = 6, untuk orbital d
P = 10.

K =tetapan Boltzman = 1,38 10-16 erg/derajat atau 1,38 10-28JK-1.


T =temperatur dalam kelvin
E =perbedaan energi dari keadaan dasar dan keadaan tereksitasi
Dalam SSA, nilai rasio Nj/No yang makin kecil, akan menghasilkan hasil pengukuran
yang terbaik. Untuk unsur yang sama (E 1 tetap), bila temperature dinaikkan maka
perbandingan Nj/No menjadi lebih besar, ini berarti jumlah atom yang tereksitasi lebih
banyak. Hal ini tidak diharapkan pada analisis serapan atom. Pada analisa serapan atom
perbandingan Nj/No diusahakan sekecil mungkin, yang berarti jumlah atom pada tingkat
tenaga dasar cukup besar dan jumlah atom yang tereksitasi cukup kecil. Hal ini dapat dicapai
dengan mengatur besarnya suhu nyala.
Kekurangan SSA adalah karena lebar absorbsi spektrum hanya berkisar 0,001 nm,
maka tidak ada monokromator yang mampu menghasilkan lebar slit yang sekecil puncak
absorpsi atom itu. Bila digunakan sumber radiasi kontinu, monokromator akan melalukan
suatu pita yang lebarnya 3-10 nm jadi hanya 1 radiasi yang diabsorpsi (Gambar 1.4).
Dalam keadaan demikian hukum Beer tidak berlaku.

Gambar 1.4. Perbandingan Spektrum Garis Sumber, Spektrum Pita Absorbsi dan
Spektrum Garis Analit

Untuk mengatasi hal ini, digunakan sumber radiasi yang mengemisi spektrum garis
dengan yang sama dengan radiasi elemen yang akan dianalisis yang dihasilkan oleh hollow
cathode lamp (HCL) atau electrodeless discharge lamp (EDL). Jadi bisa disimpulkan
spektrum yang diukur pada SSA adalah spektrum garis, sedangkan dalam spektrofotometri
UV-Vis (spektrofotometri molekul) yang diukur adalah spektrum pita. Walaupun masalah pita
radiasi sudah dapat dipecahkan, SSA ini masih mempunyai keterbatasan, yaitu untuk setiap
analisis diperlukan adanya HCL yang sesuai dengan elemen yang akan dianalisis.

Instrumentasi SSA
Suatu spektrometer serapan atom terdiri atas beberapa komponen yang mirip seperti
spektrofotometer biasa, jadi mengandung: sumber radiasi, monokromator, tempat sampel
(dalam hal ini nyala), detektor dan indikator penguatan (amplifier), seperti pada Gambar 1.5
atau Gambar 1.6.

Gambar 1.5. Bagan Spektrometer Serapan Atom

Gambar 1.6. Bagian-bagian SSA

Bagian dari spektrofotometri serapan atom yaitu:


1. Sumber cahaya
Atom menyerap cahaya pada panjang gelombang yang diskrit. Atom menyerap
emisi cahaya yang dihasilkan oleh cathode lamp.Dimana cahaya ini mempunyai
sensitivitas dan spesipik untuk atomyang menyerapnya.
a. HCL ( Hollow Cathode Lamp )
Hallow cathode lamp merupakan elemen sumber cahaya pada spektrometer

Gambar Bagian Hollow Cathode Lamp

serapan atom. Berikut ini bagian dari hallow cathode lamp


Jenis katoda pada hallow cathode ini diesesuaikan dengan panjang gelombang
yang dipancarkan/diemisikan, contohnyajikaanalit yang digunakan mengandung
Cu maka katoda yang digunakandi hallow cathode adalah logam Cu. Anoda dan
katoda berada dalamsebuah silinder tertutup. Dalam silinder ini juga terdapat
gas inert yaituargon atau neon dengan tekanan rendah. Di silinder ini akan
dihasilkancahaya yang nantinya diserap oleh atom pada ruang pengkabutan.

b. EDL
Lampu ini terbuat dari tabung kuarts tertutup yang mengandung sedikit torr gas
inert seperti argon dan sedikit logam (atau garam) yangmemiliki spektrum
menarik. Lampu ini tidak mengandung elektrodatetapi terenergi oleh penangkap
intens frekuensi radio atau radiasi mikrowave.

Gambar 3 EDL

2. Coper
merupakan alat untuk menyeleksi cahaya yang diemisikan olehelemen dari hallow
cathode lamp, dimana coper ini akan memilihsumber cahaya yang sesuai dengan
analit yang diuji.
3. Cell sample

Gambar 4 Proses atomisasi

Pada bagian ini merupakan tempat terjadinya proses atomisasi. Pada proses
pengabutan, sampel berupa larutan dosemprotkan kedalam nyala yang bersumber
dari udara dan bahan bakar, larutan iniakan berubah menjadi aerosol, pelarut akan
menguap aehingga tersisaanalit yang ter[adatkan. Kemudian analit ini berubah
menjadi

cair(mengalami

pelelehan)

lalu

menguap

menjadi

gas,

setelah

analitmenjadi gas, analit ini mengalami proses atomisasi, hasil atomisasi iniadalah
terbentuknya atom Cu. Atom Cu ini mengalami eksitasi karenamenyerap cahaya.
4. Kromator
Merupakan alat untuk menengkap chaya spesifik yang diteruskan oleh atom.
Kromator mempunyai kemampuan untuk menyeleksiberbgai cahaya baik berupa
emisi atau chaya yang diteruskan dalamjumlah yang banyak.
5. Detektor
Merupakan alat untuk mendeteksi cahaya yang diserap oleh kromator,
6. Read out
Merupakan alat untuk menerjemahkan cahaya yang diteruskan yang nantinya akan
tergambar dalam bnetuk absorban.
Merupakan alat untuk menerjemahkan cahaya yang diteruskan yang nantinya akan
tergambar dalam bnetuk absorban.
1. Single beam
Single-beam instruments terdiri dari beberapa hallow cathode, tembaga atau power
supply. Sebuah atomizer dan sebuahspektometer sederhana dengan transduser
fotomultipirer.

Gambar 5 Skema Single Beam SSA

2. Double beam
Alat ini terbuat dari hallow cathode yang terpisah oleh cermin tembaga, setenga
mengelilingi nyala api dan setengahnya lagimengelilingi kedua lapisan tersebut di
kombinasi

ulang

dengansetengan

kaca

perak

dan

ke

dalam

kzerney.

Turnermonotransformator, sebuah tabung foto multifier berperansebagai transmitter.

Gambar 6 Double beam SSA

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat
1. Unit Spektrometri Serapan Atom
2. Neraca analitik
3. Labu ukur 50 mL; 100 mL; 1000 mL
4. Pipet tetes

5. Pipet volume 10 mL
6. Bulppet
7. Buret 50 mL
8. Statif
9. Gelas beker
10. Sendok sungu
11. Batang pengaduk
12. Kaca arloji
13. Tisu
3.2
1.
2.
3.

Bahan
Aquadest
Garam Mohr
HCl 0,1 M

IV. Langkah Kerja


4.1 Pembuatan larutan standar
1. Dibuat larutan standar Fe2+ 1000 ppm sebanyak 100 mL dengan cara menimbang
(NH4)2Fe(SO4)2.6H2O sebanyak 0,7071 gram.
2. Garam mohr yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan
dilarutkan dengan HCl 0,1 M.
3. Larutan ditandabataskan.
4. Larutan Fe2+ 1000 ppm tersebut diencerkan menjadi 100 ppm sebanyak 100 mL
dengan cara mengambil 10 mL dari larutan Fe2+ 1000 ppm.
5. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian diencerkan
dan ditandabataskan dengan menggunakan HCl 0,1 M
4.2 Pembuatan deret standar
1. Deret standar dibuat dengan membuat range antara 2 60 ppm yaitu, 2 ppm, 4
ppm, 8 ppm, 12 ppm, 30 ppm, dan 40 ppm masing-masing sebanyak 50 mL.
2. Larutan tersebut dibuat dengan memasukkan larutan Fe2+ 100 ppm ke dalam
buret, kemudian diatur volume penambahan sesuai perhitungan dan dimasukkan
ke dalam labu ukur 50 mL.
3. Larutan diencerkan dan ditandabataskan dengan menggunakan HCl 0,1 M
4. Larutan blanko dibuat dari larutan HCl 0,1 M
4.3 Analisis sampel
1.

Unit AAS diaktifkan kemudian dilakukan pengukuran absorbansi blanko.

2. Dilakukan pengukuran absorbansi untuk 6 variasi larutan standar.

3. Dilakukan pengukuran absorbansi untuk 3 variasi larutan sampel (diambil dari


kelompok lain).
4. Data yang diperoleh kemudian disimpan sesuai dengan nama kelompok.

V.

Data Pengamatan
Pembuatan larutan Fe2+
Massa (NH4)2Fe(SO4)2.6H2O = 0,7071 gram
BM (NH4)2Fe(SO4)2.6H2O = 392,14 gr/ mol
5.1 Pengenceran larutan standar dari 1000 ppm
1000 ppm (100 mL)

100 ppm (100 mL)

2 ppm
(50 mL)

4 ppm
(50 mL)

8 ppm
(50 mL)

12 ppm
(50 mL)

5.2 Ketelitian alat


No
1
2
3
4
5
6
7

Nama alat
pipet volume 10 ml
Buret 50 mL
Labu ukur 100 mL
Neraca analitik
Labu ukur 1000 ml
Labu ukur 50 mL
alat AAS

5.3 Pengukuran

ketidakpastian
0,1 ml
0,05 ml
0,04 ml
0,0001 gram
0,15 ml
0,05 ml
1 ppm

30 ppm
40 ppm
(50 mL) (50 mL)

SAMPLE ID

RESULT TYPE

SIGNAL
ABS

Rsd
%

Blank

Mean

0.002

23.
1

Blank

Resample 1 of 3 0.001

Blank

Resample 2 of 3 0.002

Blank

Resample 3 of 3 0.002

Standard 1

Mean

0.8

Standard 1

Resample 1 of 3 0.075

Standard 1

Resample 2 of 3 0.075

Standard 1

Resample 3 of 3 0.076

Standard 2

Mean

0.6

Standard 2

Resample 1 of 3 0.156

Standard 2

Resample 2 of 3 0.157

Standard 2

Resample 3 of 3 0.158

Standard 3

Mean

Standard 3

Resample 1 of 3 0.265

Standard 3

Resample 2 of 3 0.261

Standard 3

Resample 3 of 3 0.26

Standard 4

Mean

Standard 4

Resample 1 of 3 0.314

Standard 4

Resample 2 of 3 0.311

Standard 4

Resample 3 of 3 0.307

Standard 5

Mean

Standard 5

Resample 1 of 3 0.613

Standard 5

Resample 2 of 3 0.615

Standard 5

Resample 3 of 3 0.616

Standard 6

Mean

Standard 6

Resample 1 of 3 0.761

Standard 6

Resample 2 of 3 0.758

Standard 6

Resample 3 of 3 0.761

0.075

0.157

0.262

0.311

0.614

0.76

FLAG
S

CONC.
mg/L

1.1

1.1

12

0.3

30

0.2

40

CORRECTE
D
CONC.
(mg/L)

S Elza 8 ppm

Mean

0.219

S Elza 8 ppm

Resample 1 of 3 0.218

S Elza 8 ppm

Resample 2 of 3 0.219

S Elza 8 ppm

Resample 3 of 3 0.219

S Elza 12ppm

Mean

0.342

S Elza 12ppm

Resample 1 of 3 0.341

S Elza 12ppm

Resample 2 of 3 0.342

S Elza 12ppm

Resample 3 of 3 0.344

S Elza 30ppm

Mean

S Elza 30ppm

Resample 1 of 3 0.665

S Elza 30ppm

Resample 2 of 3 0.665

S Elza 30ppm

Resample 3 of 3 0.664

0.665

0.3

8.5892

8.5892

0.4

15.412
5

15.4125

0.1

33.248
4

33.2484

VI. Perhitungan
6.1 Pembuatan larutan standar
untuk membuat larutan Fe2+ 1000 ppm, maka banyak garam mohr yang dilarutkan
dalam 100 mL aquades adalah :
Mr ( NH 4 )2 Fe ( SO 4 )2 .6 H 2 O
392,14 gr /mol
100 ppm=
1000mg /L x 0,1 L
Mr Fe
56 gr /mol

= 700,25 mg
= 0,70025 gram
Massa garam mohr yang ditimbang = 0,7071 gram
Jadi, garam mohr yang ditimbang sebanyak 0,7071 gram lalu dilarutkan dalam labu
ukur volume 100 ml.
6.2 Mencari nilai standar deviasi

RSD =

No Nama

Konsentrasi

Blanko 1
1

Blanko 2

SD
X

x 100% (perhitungan lengkap di lampiran)

Absorbansi Rata-rata

RSD
(%)

SD

23,1

0,000462

0,001
0 ppm

Blanko 1

0,002

0,002

0,002

Standar
I1

0,075

Standar
2

I2

2 ppm

0,075

0,8
0,075

0,0006

Standar
I3

0,076

Standar
II1
3

Standar
II2

0,156
4 ppm

0,157

0,157

0,6

0,000942

Standar
II3

0,158

Standar
III1
4

Standar
III2

0,265
8 ppm

0,261

0,262

1,1

0,002882

Standar
III3
5

Standar
IV1

0,260
12 ppm

0,311

0,003421

0,314

Standar

1,1

IV2

0,311

Standar

0,307

IV3
Standar
V1
6

Standar
V2

0,613
30 ppm

0,615

0,614

0,3

0,001842

Standar
V3

0,615

Standar
0,761

VI1

Standar

40 ppm

0,76

VI2

0,2

0,00152

0,758

Standar
VI3

0,761

Sampel
I1
8

Sampel
I2
Sampel

Sampel

(8,5892

0,218
0,219

ppm)

I3

0,219

0,3

0,000657

0,219

Sampel
II1
9

0,341

Sampel

Sampel

II2

(15,4125)

2
0,342

0,342

0,4

0,001368

Sampel
II3
10

0,344

Sampel

Sampel

III1

(33,2484)

0,665

0,000665

0,665

Sampel

0,1

III2

0,665

Sampel

0,664

III3
6.3 Menentukan limit deteksi sampel
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (23,1 % x 0,002) / 100%


= 0,000462
Diperoleh SD blanko = 0,000462
LD = 3 x SD
= 3 x 0,000462
= 0,00138

Grafik Hubungan antara Konsentrasi dengan Absorbansi


0.8
f(x) = 0.02x + 0.09
R = 0.99

0.6
Absorbansi

0.4
0.2
0
0

10

15 20

25

30 35 40 45

Konsentrasi (ppm)

Dari kurva diatas maka dihasilkan persamaan sebagai berikut :


y = 0,017x + 0,087
Kemudian dengan memasukkan nilai dari limit deteksi yang diperoleh maka
dihasilkan nilai limit deteksi dalam bentuk ppm :
y = 0,017x + 0,087
0, 00138=0,017 x +0,087
x=

0,001380,087
0,017
x = -5,0153 ppm
Nilai limit deteksi yang diperoleh hasilnya negative, sehingga dapat

0,00174
ppm
digunakan cara
lain yaitu dengan xinterpolasi.

0,075

0,157

2 ppm

4 ppm

0,001740,075 x2 ppm
=
0,001740,157 x 4 ppm
0,0733 x2 ppm
=
0,1553 x4 ppm
0,0733 x0,2932 ppm=0,1553 x0,3106 ppm
0,082 x=0,0174 ppm

x=0,2122 ppm
6.4 Limit deteksi atas
Limit deteksi atas dapat dicari dengan melihat grafik yang diperoleh. Nilai dari grafik
yang memiliki kemiringan adalah limit deteksi atasnya, sehingga limit deteksi atas
terletak pada konsentrasi 12 ppm dengan absorbansi 0,311.

Grafik Hubungan Konsentrasi dengan Absorbansi


0.8
f(x) = 0.02x + 0.09
R = 0.99

0.6
Absorbansi

0.4
0.2
0
0

10

15

20

25

30

35

40

45

Konsentrasi (ppm)

6.5 Presisi
Presisi=

SD
Rerataabsorbansi

No Konsentrasi

Rata-rata

SD

Presisi

0 ppm

0,002

0,000462

0,29

2 ppm

0,075

0,0006

0,0077

4 ppm

0,157

0,000942

0,0052

8 ppm

0,262

0,002882

0,0084

12 ppm

0,311

0,003421

0,0093

30 ppm

0,614

0,001842

0,0023

40 ppm

0,76

0,00152

0,0018

0,219

0,000657

0,0026

0,342

0,001368

0,0038

0,665

0,000665

0,00087

8
9
10

Sampel

(8,5892 ppm)
Sampel

(15,4125)
Sampel
(33,2484)

6.6 Linearitas
Bila 2 data terakhir dihapus, maka akan didapatkan kurva kalibrasi Fe sebagai berikut:

Grafik Hubungan antara Konsentrasi dengan Absorbansi


0.35
0.3

f(x) = 0.02x + 0.05


R = 0.95

0.25
0.2
Absorbansi 0.15
0.1
0.05
0
0

10

12

14

Konsentrasi (ppm)

6.7 Sensitivitas alat


Pada AAS, sensitivitas adalah konsentrasi larutan analit ( dalam ppm ) yang
menghasilkan absorbansi 0,0044 UA , sehingga penentuan sensitivitas dapat dilakukan
dengan memasukkan nilai 0,0044 sebagai absorbansinya ke dalam persamaan kurva
kalibrasi yang telah dilinearkan.

y=0,023 x +0,049
0,0044=0,023 x+ 0,049

x=

0,00440,049
0,023

x = -1,9391 ppm
6.8 Konsentrasi sampel
Sampel 1
y=0,023 x +0,049
0,218=0,023 x +0,049

x=

0,2180,049
0,023

x = 7,35 ppm
Dengan perhitungan yang sama didapatkan konsentrasi:
y
= x
0,219
= 7,39 ppm
0,219
= 7,39 ppm
SD = 0,02 ppm
Sehingga konsentrasi sampel 1 = 7,38 0,02 ppm
Sampel 2
y=0,023 x +0,049
0,341=0,023 x +0,049

x=

0,3410,049
0,023

x = 12,70 ppm
Dengan perhitungan yang sama didapatkan konsentrasi:
y
= x
0,342
= 12,73 ppm
0,344
= 12,83 ppm
SD = 0,05 ppm
Sehingga konsentrasi sampel 2 = 12,75 0,05 ppm
Sampel 3
y=0,023 x +0,049

0,665=0,023 x +0,049
x=

0,6650,049
0,023

x = 26,78 ppm
Dengan perhitungan yang sama didapatkan konsentrasi:
y
= x
0,665
= 26,78 ppm
0,664
= 26,74 ppm
SD = 0,02 ppm
Sehingga konsentrasi sampel 3 = 26,77 0,02 ppm
6.9 Akurasi
1. Sampel 1
Menurut data pembacaan alat, konsentrasi sampel = 8,5892 ppm
Konsentrasi sampel sebenarnya = 7,38 ppm
Sehingga % kesalahan
|data sebenarnyadata alat|
kesalah an=
100
data sebenarnya

|7,388,5892| ppm
7,38 ppm

100

16,38

Akurasi alat = 100% - 16,38%


= 83,62%
2. Sampel 2
Menurut data pembacaan alat, konsentrasi sampel = 15,4125ppm
Konsentrasi sampel sebenarnya = 12,75 ppm
Sehingga % kesalahan
|data sebenarnyadata alat|
kesalah an=
100
data sebenarnya

|12,7515,4125| ppm
12,75 ppm

100

20,88
Akurasi alat = 100% - 20,88%
= 79,12%
3. Sampel 3
Menurut data pembacaan alat, konsentrasi sampel = 33,2484 ppm
Konsentrasi sampel sebenarnya = 26,77 ppm
Sehingga % kesalahan

|data sebenarnyadata alat|

kesalah an=

data sebenarnya

|26,7733,2484| ppm
26,77 ppm

100

100

24,20
Akurasi alat = 100% - 24,20%
= 75,8%
6.10 Rambatan Ralat
No
1
2
3
4
5
6
7

Nama alat
pipet volume 10 ml
Buret 50 mL
Labu ukur 100 mL
Neraca analitik
Labu ukur 1000 ml
Labu ukur 50 mL
alat AAS

ketidakpastian
0,1 ml
0,05 ml
0,04 ml
0,0001 gram
0,15 ml
0,05 ml
1 ppm

Pembuatan Larutan
1. Larutan Fe2+ 1000 ppm dari garam mohr
0,0001 2 0,04 2
+
= 0,004 atau 0,4 %
Sp =
0,7071 100

2. Pengenceran dari larutan Fe2+ 1000 ppm menjadi Fe2+ 100 ppm
0,1 2 0,04 2
+
= 0,03 atau 3%
Sp =
10 100

3. Pengenceran dari larutan Fe2+ 100 ppm menjadi 6 titik konsentrasi

Sp=

0,05
4
0,05
15

2
2
2
2
2
0,05 0,05
0,05 0,05
0,05
0,05 2 0,05 2
0,05 2
0,05 2 0,05 2
+
+
+
+( 2+
)+
+
+( 2+
)+
+
=
1
50
2
50
50
6
50
50
20
50

)(

0,07 atau 7%
6.11 Rambatan ralat

RR=

( S p )

10,4 2
10,4

atau 0,0104

VII. Pembahasan
Pada percobaan ini bertujuan untuk mempelajari prinsip kerja SSA, menghitung
limit deteksi, presisi, rambatan ralat, sensitifitas, akurasi dan konsentrasi sampel serta
membandingkan hasil percobaan dengan tertera di alat.
AAS merupakan suatu metode analisis untuk penentuan konsentrasi suatu unsur
dalam suatu cuplikan yang didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atomatom yang berada pada tingkat dasar (ground state), untuk mengeksitasi elektron terluar
proses penyerapan energi terjadi pada panjang gelombang yang spesifik dan karakteristik
untuk tiap unsur. cara kerja spektrofotometri serapan atom terdiri atas 2 langkah yaitu
atomisasi sampel dan absorpsi radiasi dari sumber sinar oleh atom bebas.
Proses atomisasi terjadi dalam komponen alat yang dinamakan atomizer.
Atomizer terdiri dari nebulizer dan burner. Sampel yang berupa cairan diambil dengan
menggunakan selang kecil (disedot) kemudian menuju nebulizer untuk dirubah dalam
bentuk kabut. Setelah itu sampel dipanaskan menggunakan burner dengan suhu tertentu

sampai sampel berubah menjadi atom-atom bebas pada keadaan ground state. Setelah itu,
atom-atom bebas tersebut akan mengabsorpsi radiasi dari sumber sinar yang berasal dari
hollow cathode lamp (untuk mengukur unsur yang berbeda maka digunakan lampu
katode yang berbeda juga), sehingga atom-atom bebas itu akan mengalami eksitasi. Jadi,
energi radiasi yang bersal dari Hollow cathode lamp (HCL) ada yang diserap oleh atomatom bebas, dan ada juga yang diteruskan. Energi radiasi yang diteruskan inilah yang
akan memasuki monochromator untuk diubah menjadi cahaya monokromatis kemudian
dilewatkan melalui sebuah celah dan dikur dengan detektor. Besarnya intensitas cahaya
yang diukur setelah melalui monokromator ini sebanding dengan besarnya konsentrasi
unsur dalam sampel.
Pada percobaan ini digunakan garam mohr dan dibuat larutan induk Fe2+ dari
garam mohr sebesar 1000 ppm. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi 100 ppm.
Selanjutnya dilakukan pengenceran lagi sebanyak 6 titik yaitu 2 ppm, 4 ppm, 8 ppm, 12
ppm, 30 ppm, dan 40 ppm. Pembuatan larutan uji dengan berbagai konsentrasi ini
bertujuan untuk mempermudah pembuatan kurva kalibrasi serta dapat diketahui
persamaan garisnya yang akan digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel.
Pembuatan setiap larutan uji ini dilarutkan dan ditandabataskan dengan menggunakan
HCl. Dengan adanya HCl akan menjadikan suasana keasaman (pH) dalam larutan tinggi.
Kondisi dengan pH yang lebih tinggi akan mempertinggi nilai absorbansi dalam larutan
tersebut. Suasana asam juga dapat menjaga kejernihan dari larutan dan juga agar sampel
logam tersebut bisa langsung menjadi logam M ketika masuk ke dalam burner. Larutan
blanko yang digunakan adalah larutan HCl 0,1 M.
Setelah dilakukan preparasi, maka selanjutnya larutan tersebut dianalisis dengan
menggunakan AAS. Pada pengukuran dengan SSA, yang pertama kali diukur adalah
blanko sebagai latar belakang dan untuk menentukan limit deteksi dari alat AAS yang
digunakan. Kemudian selanjutnya dilakukan pengukuran larutan standar dan sampel.
Larutan standar Fe yang dianalisis diserap (disedot) lewat pipa kapiler oleh
pengaruh udara yang dialirkan di ujung kapiler. Selanjutnya sampel masuk ke bagian
sistem pengkabut sehingga menjadi kabut. Sistem pengkabut terdiri dari dua bagian yaitu
nebulizer dan spray chamber. Nebulizer akan memecah sampel menjadi aerosol berupa
tetes kecil dengan berbagai diameter lewat. Aerosol tersebut disemprotkan ke arah spray
chamber dimana sebagian besar tetesan akan jatuh ke pembakar dan mencapai nyala

kabut atau aerosol, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu kabut kasar dan kabut halus.
Kabut kasar akan jatuh kebawah dalam bentuk tetesan yang dikeluarkan lewat drain off,
sedangkan kabut halus didorong menuju sitem pembakaran. Proses atomisasi dalam nyala
dapat digambarkan seperti bagan berikut.
Peristiwa yang terjadi dalam nyala :
Penguapan pelarut sehingga terbentuk partikel padat yang halus.

MX(l)

MX(s)
kabut halus
partikel halus
Partikel garam dalam suhu tinggi menjadi uap garam (sublimasi).
MX(s)

MX(g)
partikel halus
gas
Disosiasi molekul uap garam menjadi atom-atom netral.
MX(g)

Mo + Xo
gas
atom-atom netral
Proses atomisasi tersebut terjadi di dalam burner (sistem pembakaran), dimana

burner tersebut merupakan bagian yang paling terpenting didalam peralatan AAS karena
burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen dan aquabides atau N 2O,
dimana campuran ini dapat membakar kabut halus yang dihasilkan dari chamber spray
sehingga pelarut teruapkan dan terbentuk partikel-partikel padat yang halus. Gas asetilen
tersebut mempunyai kisaran suhu
kisaran suhu yang lebih tinggi yakni

20000 K, sedangkan untuk gas N2O memiliki

30000 K sehingga apabila menggunakan gas

ini maka proses atomisasi akan sangat bagus karena nyala api yang dihasilkan lebih besar
daripada gas asetilen-udara. Kemudian partikel-partikel halus yang dihasilkan dari
chamber spray tersebut berubah menjadi uap garam yang kemudian uap garam tersebut
mengalami disosiasi menjadi atom-atom netral. Atom-atom netral pada AAS ini dapat
menyerap cahaya yang dipancarkan oleh lampu hallow katoda. Lampu katoda tersebut
merupakan sumber cahaya pada AAS yang memiliki masa pakai atau umur pemakaian
selama 1000 jam. Lampu katoda yang digunakan pada praktikum ini adalah lampu katoda
Fe, sehingga unsur yang bisa dianalisis hanyalah unsur Fe saja, selain unsur tersebut tidak
bisa dianalisis. Cahaya yang dipancarkan oleh lampu katoda sebelumnya telah melewati
monokromator untuk diubah menjadi cahaya yang lebih monokromatis lagi, sehingga

hanya ada satu cahaya pada satu panjang gelombang saja. Hal ini terjadi karena
monokromator dalam alat AAS tersebut akan memisahkan, mengisolasi dan mengontrol
intensitas energi yang dihasilkan melalui celah sempit menggunakan cermin. Selanjutnya
cahaya yang diserap oleh atom-atom netral ini diteruskan ke detektor dan diubah menjadi
sinyal-sinyal listrik yang diperkuat dengan amplifier dan ditampilkan sebagai spektrum
panjang gelombang pada rekorder. Kecepatan detektor dalam menangkap sinar radiasi
yang dipancarkan yakni sebesar 10-9 detik. Kemudian sisa pembakaran atau asap yang
tidak digunakan akan disedot oleh ducting, yaitu suatu bagian cerobong asap yang
berhubungan langsung dengan cerobong asap bagian luar pada setiap bangunan. Hal ini
berfungsi agar asap yang dihasilkan oleh AAS tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran diolah sedemikian rupa di dalam ducting agar
asap yang dihasilkan tidak berbahaya.
Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mencari nilai limit deteksi yang
diperoleh sebesar 0,00138 dengan konsentrasi sebesar 0,2122 ppm. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa alat ini hanya mampu mendeteksi absorbansi Fe dengan batas
terkecil 0,00138. Maka jika absorbansi berada di bawah itu, alat tidak dapat mendeteksi.
Kemudian dicari nilai dari limit deteksi atas. Sebelumnya dibuat kurva kalibrasi
hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi. Dimana dari kurva kalibrasi tersebut
diperoleh persamaan garis y = 0,017x + 0,087. Nilai limit deteksi atas ini terletak pada
konsentrasi 12 ppm dengan absorbansi 0,311. Nilai ini berarti diatas konsentrasi limit
deteksi atas hampir tidak ada perubahan pada absorbansi dengan kata lain grafik hampir
mendatar.
Perhitungan yang selanjutnya mencari nilai presisi. Nilai presisi ini dapat dilihat
dari besarnya nilai standar deviasi relative/ RSD. Suatu hasil pengukuran dikatakan
presisi apabila besarnya nilai RSD 5%. Dari semua pengukuran diperoleh nilai RSD
5% kecualilarutan blanko yang memiliki nilai RSD sebesar 23,1 %.

Linearitas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji


yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang
diberikan. Linieritas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang
menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Pada praktikum ini diperoleh

persamaan garis y = 0,023x + 0,049 dengan R = 0,992 dimana 2 titik terakhir dibuang.
Dimana R merupakan linieritas hasil pengukuran. Karena nilai R makin mendekati 1,
berarti hasil pengukuran tersebut semakin linier. 2 titik yang tidak linear ini dapat
disebabkan pada saat pembuatan larutan maupun pengenceran yang tidak sesuai dengan
konsentrasi yang telah ditetapkan.
Selanjutnya penentuan konsentrasi sampel. Ada 3 sampel yang digunakan yaitu
konsentrasi 8 ppm, 12 ppm, dan 30 ppm. Nilai absorbansi yang diperoleh untuk masingmasing larutan sampel tersebut disubstitusikan ke persamaan linearitas. Dan untuk
sampel 1 diperoleh konsentrasi sebesar 7,38 0,02 ppm, sampel 2 sebesar 12,75 0,05
ppm, dan sampel 3 diperoleh konsentrasi sebesar 26,77 0,02 ppm. Ketidaksesuaian nilai
konsentrasi yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan perhitungan dapat disebabkan
oleh kesalahan pada saat preparasi.
Pengukuran akurasi bertujuan untuk mengetahui apakah alat dapat bekerja dengan
baik atau tidak. Akurasi didapatkan dengan membandingkan nilai yang tertera pada alat
dengan nilai hasil perhitungan. Dari perhitungan didapatkan nilai akurasi sebesar 83,62%,
79,12% dan 75,8% yang masih dapat dikategorikan baik dengan bias sebesar 16,38%,
20,88

dan 24,20%.
Perhitungan yang terakhir adalah menentukan rambatan ralat.Tujuan dalam

perhitungan rambatan alat ini adalah untuk melihat pengaruh dari kesalahan alat terhadap
percobaan. Nilai rambatan ralat yang diperoleh adalah sebesar 10,4%. Nilai rambatan
ralat ini cukup besar sehingga perlu dilakukan pemilihan alat-alat gelas yang memiliki
ralat sekecil mungkin untuk mengurangi pengaruh terjadinya kesalahan.
VIII. Kesimpulan
1. Prinsip kerja analisa menggunakan AAS, yaitu suatu sampel dibuat dalam bentuk
larutan dan dikabutkan, lalu disemburkan ke bagian burner kemudian mengalami
deatomisasi. Selanjutnya direksikan dengan sumber energi radiasi maka atom pada
keadaan dasar membutuhkan energi yang besar dan untuk mendapatkannya, atom
tersebut menyerap energi dari sumber cahaya yang ada pada alat AAS.
2. Dari hasil perhitungan diperoleh data sebagai berikut:
a. Limit deteksi : 0,00138 dengan konsentrasi 0,2122 ppm
b. Limit deteksi atas terletak pada konsentrasi12 ppm dengan absorbansi 0,311.
c. Sensitivitas alat sebesar -1,9391 ppm

d. Konsentrasi sampel 1 sebesar 7,38 0,02 ppm, sampel 2 sebesar 12,75 0,05
ppm, dan sampel 3 sebesar 26,77 0,02 ppm
e. Rambatan ralat sebesar 10,4% atau 0,0104
IX. Daftar Pustaka
1. Christina P, Maria. 2015. Petunjuk Praktikum Instrumentasi Kimia. Yogyakarta:
2.
3.
4.
5.
6.

STTN-BATAN
http://dokumen.tips/documents/laporan-praktikum-aas.html
https://yovayuvitasari.wordpress.com/laporan-praktikum/spektrofotometer-aas/
https://deerakusuma.files.wordpress.com/2012/11/laporan-aas.pdf
http://draffa99.blogspot.co.id/2013/03/aas.html
http://www.slideshare.net/kikiworo/analisis-dengan-spektrometri-serapan-atom

LAMPIRAN

RSD =

SD
X

x 100%

1. Blanko
RSD =
SD

SD
X

x 100%

= (RSD x

) / 100%

= (23,1 % x 0,002) / 100%


= 0,000462
2. Standar 1
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (0,8 % x 0,075) / 100%


= 0,0006
3. Standar 2
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (0,6 % x 0,157) / 100%


= 0,000942
4. Standar 3
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (1,1 % x 0,262) / 100%


= 0,002882
5. Standar 4
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (1,1 % x 0,311) / 100%


= 0,003421
6. Standar 5

RSD =
SD

SD
X

x 100%

= (RSD x

) / 100%

= (0,3 % x 0,614) / 100%


= 0,001842
7. Standar 6
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (0,2 % x 0,76) / 100%


= 0,00152
8. Sampel 1
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (0,3 % x 0,219) / 100%


= 0,000657
9. Sampel 2
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (0,4 % x 0,342) / 100%


= 0,001368
10. Sampel 3
SD
RSD = X
x 100%
SD

= (RSD x

) / 100%

= (0,1 % x 0,665) / 100%


= 0,000665

Anda mungkin juga menyukai