Anda di halaman 1dari 40

KONSERVASI TANAH

oleh
Ir. Bambang Setiahadi

Tujuan dan Sasaran


Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang
sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syaratsyarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Pemakaian istilah
konservasi tanah sering diikuti dengan istilah konservasi air.Meskipun keduanya
berbeda tetapi saling terkait.Ketika mempelajari masalah konservasi sering
menggunakan kedua sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi
air.Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan
secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya
pencegahan
kerusakan
tanah
akibat
erosi.
Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup
kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
mendukung keseimbangan ekosistem.
Teknik Konservasi Tanah
Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu
perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir-butir hujan, meningkatkan
kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara
meningkatkan penyimpanan air,dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga
menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).Manusia
mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan
kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan konservasi tanah.disertakan dalam
merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih dapat
diabaikan
(tolerable
soil
loss).
Ketiga teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada
prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun
efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh
karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan
tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari
erosi, penghambat laju aliran permukaan,peningkatan kandungan lengas tanah,

serta
perbaikan
sifat-sifat
tanah,
baik
sifat
fisik,
kimia
maupun
biologi.
Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut juga sipil teknis adalah upaya
menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai
dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air. Teknik ini meliputi:
guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kredit,
pematang kontur, teraskebun, barisan batu, dan teras batu. Khusus untuk tujuan
pemanenan air, teknik konservasi secara mekanis meliputi pembuatan bangunan
resapan
air,
rorak,
dan
embung
(Agus
et
al.,
1999).
Teknik konservasi tanah secara kimiawi adalah setiappenggunaan bahan-bahan
kimia baik organik maupun anorganik,yang bertujuan untuk memperbaiki sifat
tanah dan menekan laju erosi.Teknik ini jarang digunakan petani terutama karena
keterbatasan
modal, sulit pengadaannya serta hasilnya tidak jauh beda denganpenggunaan
bahan-bahan alami. Bahan kimiawi yang termasukdalam kategori ini adalah
pembenah tanah (soil conditioner), bahan-bahan ini diaplikasikan ke tanah
dengantujuan untuk memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan
stabilitasagregat tanah, sehingga tahan terhadap erosi.

KONSERVASI TANAH SECARA VEGETATIF


Pengertian
Pada dasarnya konservasi tanah secara vegetatif adalah segalabentuk pemanfaatan
tanaman ataupun sisa-sisa tanaman untukmengurangi erosi. Tanaman ataupun sisasisa tanaman berfungsisebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air
hujan
maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), sertameningkatkan
peresapan air ke dalam tanah.
Kanopi berfungsi menahan laju butiran air hujan dan mengurangitenaga kinetik
butiran air dan pelepasan partikel tanah sehinggapukulan butiran air dapat
dikurangi. Air yang masuk di sela-sela kanopi(interception) sebagian akan kembali
ke
atmosfer
akibat
evaporasi.
Fungsi perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butir air hujanmerupakan
hal yang sangat penting karena erosi yang terjadi diIndonesia penyebab utamanya
adalah air hujan. Semakin rapatpenutupannya akan semakin kecil risiko hancurnya
agregat
tanah
olehpukulan
butiran
air
hujan.
Batang tanaman juga menjadi penahan erosi air hujan dengancara merembeskan

aliran air dari tajuk melewati batang (stemflow)menuju permukaan tanah sehingga
energi kinetiknya jauh berkurang.Batang juga berfungsi memecah dan menahan
laju aliran permukaan.Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya
angkutmaterialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yangrelatif
tinggi untuk meresapkan air.Beberapa jenis tanaman yangditanam dengan jarak
rapat, batangnya mampu membentuk pagarsehingga memecah aliran permukaan.
Partikel tanah yang ikutbersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah
batangdan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliranpermukaan yang
lebih stabil.
Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanahyang disebabkan
oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakanhabitat yang baik bagi organisme
dalam tanah, sebagai sumberbahan organik bagi tanah dan memperkuat daya
cengkeramterhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994, Agus et al.,
2002).Perakarantanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh
airhujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih mendukungpertumbuhan
tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah tidakmudah hanyut akibat aliran
permukaan, meningkatkan infiltrasi, dankapasitas memegang air.
Jenis-Jenis
Konservasi
Tanah
Secara
Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikandalam monograf ini
adalah: penghutanan kembali (reforestation),wanatani (agroforestry) termasuk
didalamnya adalah pertanamanlorong (alley cropping), pertanaman menurut strip
(strip cropping), striprumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup
tanah(cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalahpergiliran
tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dantumpang gilir (relay
cropping).
Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiriteknik-teknik tersebut
sesuai dengan keinginan dan lingkunganagroekosistemnya sehingga teknik
konservasi ini akan terusberkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari
system
vegetatif
ini
adalah
kemudahan
dalam
penerapannya,
membantumelestarikan
lingkungan,
mencegah
erosi
dan
menahan
aliranpermukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahanorganik
tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani darihasil sampingan
tanaman konservasi tersebut.
1.
Penghutanan
kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk
mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah

dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga berpotensi untuk


peningkatan kadar bahan organic tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah
dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan
pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya kebakaran,
erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti pertambangan,
perladangan
berpindah,
dan
penebangan
hutan.
Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan
meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air secara
terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect). Penghutanan kembali dengan
maksud
untuk
mengembalikan fungsi tata air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman
tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman <3 m mempunyai aliran permukaan yang
cukup tinggi karena keterbatasan kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus et
al., 2002). Pengembalian fungsi hutan akan memakan waktu 20-50 tahun sampai
tajuk
terbentuk
sempurna. Jenis tanaman yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis yang mudah
beradaptasi terhadap lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai
perakaran yang kuat, dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis
tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali terutama
untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai intersepsi dan
evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak mengkonsumsi air. Penelitian
terhadaptanaman pinus (Pinus merkusii) yang dilakukan oleh Universitas
GadjahMada/UGM,
Institut
Pertanian
Bogor/IPB
dan
Universitas
Brawijaya/Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002), menyimpulkan bahwa
tanaman
pinus
akan
aman
jika
ditanam
pada
daerah
yang
mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai
curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur
dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah
misalnya Puspa atau Agatis.Sedangkan untuk daerah yang mempunyai curah hujan
1.500mm/tahun atau kurang disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan
menimbulkan kekurangan (deficit) air.
2.Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang
menggabungkan antara tanaman pohon-pohonan,atau tanaman tahunan dengan
tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada

tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim.Tanaman tahunan


mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi
kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang
(stemflow)
dan
aliran
tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar.
Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan
perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yangmempunyai energi perusak.
Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari
tanaman
tahunan
maupun
dari
tanaman
semusim.
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu
mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila
lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim.Pada Gambar 1
disajikan hubungan proporsi tanaman tahunan dan semusim yang ideal pada lereng
yang berbeda pada sistem wanatani.Secara umum proporsi tanaman tahunan makin
banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga sebaliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang
lebih intensif dibandingkan dengantanaman tahunan. Pengolahan tanah pada
tanaman semusimbiasanya dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk
tanah,maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah,sehingga
tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatulahan, maka risiko erosi
akibat
pengolahan
tanah
juga
semakin
besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanahsecara
intensif.Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yangrapat mampu melindungi
tanah dari erosi.Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang
dapatmemberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupunkayunya.Selain
dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepatdan lebih besar, wanatani ini
juga merupakan sistem yang sangat baikdalam mencegah erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia danberkembang
menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela,pertanaman lorong, talun hutan
rakyat, kebun campuran,pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan
silvipastura.

a.
Pertanaman
sela
Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antaratanaman tahunan dengan
tanaman semusim.Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang
dekat dengan lokasi permukiman.Tanaman sela juga banyak diterapkan di daerah

perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian tanaman tahunan


lainnya.Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela bertujuan untuk meningkatkan
intersepsi dan intensitas penutupan permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir
air hujan secara langsung sehingga memperkecil risiko tererosi.Sebelum kanopi
tanaman tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut
digunakan
untuk
tanaman
semusim.
Di beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketikapohon jati masih pendek
dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim
berupa jagung, padigogo, kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti
jahe
(Zingiber officinale), temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur(Kaemtoria
galanga), kunir (Curcuma longa), dan laos (Alpiniagalanga). Pilihan teknik
konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan
nilai
tambah
bagi
petani,
mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan
dan
melindungi
dari
erosi.
Penanaman tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung daripertumbuhan
tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijausebaiknya dipilih dari tanaman
legum seperti Leucaena leucocephala,Glyricidia sepium, Cajanus cajan, Tephrosia
candida, dan lainsebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman
tahunansecara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin
sempit)dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh allelopatidari
tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
b.
Pertanaman
lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman
pagar pengontrol erosi berupa barisantanaman yang ditanam rapat mengikuti garis
kontur, sehinggamembentuk lorong-lorong dan tanaman semusim berada di
antaratanaman pagar tersebut (Gambar 2).Sistem ini sesuai untuk diterapkanpada
lahan kering dengan kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitianHaryati et al. (1995)
tentang sistem budi daya tanaman lorong diUngaran pada tanah Typic Eutropepts,
dilaporkan bahwa sistem inimerupakan teknik konservasi yang cukup murah dan
efektif
dalam
mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampumempertahankan
produktivitas
tanah.
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahanefektif untuk budi
daya tanaman sehingga untuk tanaman pagardipilih dari jenis tanaman yang
memenuhi
persyaratan
di
bawah
ini(Agus
et
al.,
1999):
#. Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsurhara ke dalam tanah,

misalnya
tanaman
penambat
nitrogen(N2)
dari
udara.
#.
Menghasilkan
banyak
bahan
hijauan.
#. Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembalisecara cepat sesudah
pemangkasan.
#. Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinarmatahari dan ruang
tumbuh
dengan
tanaman
lorong
tidakbegitu
tinggi.
#. Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagitanaman utama.
#. Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakanternak, kayu bakar,
dan penghasil buah sehingga mudahdiadopsi petani.
Penelitian-penelitian tentang pertanaman lorong menyimpulkan, bahwa sistem budi
daya lorong merupakan salahsatu cara untuk mempertahankan produktivitas lahan
kering yangmiskin hara dan mempunyai KTK yang rendah. Suwardjo et al.
(1987)melaporkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik diJambi,
Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahunditanami dengan
tanaman lorong Flemingia. Pada tahun keduakandungan bahan organik semakin
bertambah
dengan
nilai
2,8%.
Sistem pertanaman lorong juga dapat mempertahankan sifat fisiktanah (Tabel 3)
dan
hasil
tanaman
pangan
dalam
jangka
panjang.
Dari hasil kajiannya pada penerapan pertanaman lorong (Alleycropping) di
beberapa negara yang tergabung dalam ASIALANDsloping land project yang
meliputi Indonesia, Phillipines, Laos danVietnam, Irawan (2002) melaporkan
bahwa
alley
cropping
mampu
mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/ha/tahun.
Flemingia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuhdan bertunas
sehingga menghasilkan hasil pangkasan yangcenderung terus meningkat.Hasil
pangkasan ini merupakan sumberbahan organik yang sangat penting. Dari
reklamasi yang dilaksanakanpada tahun 1970 dan evaluasinya pada tahun 1984
pada tanahberskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali Gesik, Jawa
Tengah,Sukmana et al. (1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun
direklamasidengan Flemingia congesta mampu menghasilkan serasah
(keringudara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini memberikan kontribusi
terhadappeningkatan bahan organik tanah 2,65% yang sebelum direklamasitidak
mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan vegetasialami, Flemingia
sangat besar kontribusinya dalam peningkatan bahanorganik tanah. Bahan organik
ini sangat penting dalampeningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding
capacity)

Pada penelitian sistem pertanaman lorong menggunakan tigajenis legum yang


ditanam dua strip tiap baris dilaporkan, bahwa padatahun kedua penanaman
Flemingia congesta sudah terlihat adanyapembentukan teras alami dengan tinggi
tampingan
sekitar
25
cm,
lebih tinggi dibandingkan pada tanaman Calliandra calothyrsusmaupun Tephrosia
volgelli. Hal ini disebabkan oleh pengaruhkerapatan tanaman serta produksi
hijauan Flemingia congesta yangmampu menahan partikel tanah lebih baik
dibandingkan Calliandramaupun Tephrosia (Rachman et al., 1990).
Sistem perakaran yang dalam dan hasil dari guguran daunataupun dari hasil
pangkasan yang menumpuk akan membantuterbentuknya teras alami. Aliran
permukaan akan menghanyutkanpartikel-partikel tanah dan mengendap di bawah
tegakan legum.Endapan tersebut makin lama makin tinggi dan akhirnya
membentuk
bidang olah menyerupai teras dengan tanaman legum sebagaipenguat tampingan.
Hal ini merupakan cara pembuatan teras yangekonomis karena menurut Rachman
et al. (1989), untuk pembuatanteras bangku pada kemiringan 15% membutuhkan
tenaga kerjasebesar 607 HOK/ha, sedang untuk teras gulud sebesar 52 HOK/ha.
Bahan tanaman pagar tidak selalu tersedia di sekitar petanisehingga bantuan
benih/bibit tanaman pagar akan sangat membantupenerapannya di lapangan.
Analisis kebutuhan tenaga dalampenerapan sistem pertanaman lorong secara rinci
adalah
sebagaiberikut
(Agus
et
al.,
1999):
#. Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupabibit (tanaman muda)
dan rumput membutuhkan tenagakerja 100-200 HOK/ha tergantung
kelerengan.Perawatannyahanya membutuhkan tenaga kerja antara 20-25
HOK/ha.Apabila memerlukan penanaman rumput akanmembutuhkan 20-40
HOK/ha.
#. Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupastek membutuhkan
tenaga kerja antara 20-40 HOK/hadengan kebutuhan perawatan per tahun
mencapai
25-30HOK/ha.
#. Penanaman secara langsung hanya membutuhkan tenagakerja 6-12 HOK/ha
dengan perawatan pertahun mencapai 25-30 HOK/ha.
Berbagai tanaman pagar yang umumnya adalah tanamanpohon telah diteliti dan
diidentifikasi
sifat-sifat
pertumbuhannya.
Banyak tanaman mempunyai pertumbuhan yang cepat sepertiKaliandra dan
Glirisidia yang sangat efektif untuk digunakan sebagai tanaman pagar.

c.
Talun
hutan
rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yangditanami tanaman
tahunan yang dapat diambil kayu maupunbuahnya.Sistem ini tidak memerlukan
perawatan intensif dan hanyadibiarkan begitu saja sampai saatnya panen.Karena
tumbuh sendirisecara spontan, maka jarak tanam sering tidak seragam,
jenistanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan seperti hutanalami.Ditinjau
dari segi konservasi tanah, talun hutan rakyat dengankanopi yang rapat dapat
mencegah erosi secara maksimal jugasecara umum mempunyai fungsi seperti
hutan.
d.
Kebun
campuran
Berbeda dengan talun hutan rakyat, kebun campuran lebihbanyak dirawat.Tanaman
yang ditanam adalah tanaman tahunanyang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan
kayunya.Kadang-kadangjuga ditanam dengan tanaman semusim.Apabila proporsi
tanamansemusim lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan
tersebutdisebut tegalan.Kebun campuran ini mampu mencegah erosi denganbaik
karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran airhujan tidak
langsung mengenai permukaan tanah.Kerapatantanaman juga mampu mengurangi
laju aliran permukaan. Hasiltanaman lain di luar tanaman semusim mampu
mengurangi risikoakibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.
e.
Pekarangan
Pekarangan adalah kebun di sekitar rumah dengan berbagaijenis tanaman baik
tanaman semusim maupun tanaman tahunan.Lahan tersebut mempunyai manfaat
tambahan bagi keluarga petani,dan secara umum merupakan gambaran
kemampuan suatu keluargadalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal.
Tanamanyang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubikayu,
sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya,tanaman obat-obatan seperti
kunyit, temulawak, dan tanaman lainyang umumnya bersifat subsisten.
f.
Tanaman
pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam disela-sela tanaman
pokok tahunan.Tanaman pelindung inidimaksudkan untuk mengurangi intensitas
penyinaran matahari, dandapat melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi
terutama ketikatanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat
dikelompokkan
menjadi
dua,
yaitu:
#. Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu system wanatani sederhana
(simple agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu
jenis tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap(Erythrina

subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala)atau kayu manis (Cinnamomum


burmanii).
#. Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentukwanatani kompleks
(complex agroforestry atau system multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa
tanaman kopidengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri(Aleurites
muluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai(Perkia speciosa), kayu manis,
dadap, lamtoro, gamal, durian(Durio zibethinus), alpukat (Persea americana),
nangka(Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer),dan lain
sebagainya.
Tajuk tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem inimenyerupai hutan, yang
mana hanya sebagian kecil air yanglangsung menerpa permukaan tanah.Produksi
serasah yang banyakjuga menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.
g.
Silvipastura
Sistem silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari system tumpang sari, tetapi
yang ditanam di sela-sela tanaman tahunanbukan tanaman pangan melainkan
tanaman pakan ternak sepertirumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja
(Penniseitumpurpoides), dan lain-lain. Silvipastura umumnya berkembang di
daerahyang mempunyai banyak hewan ruminansia.Hasil kotoran hewanternak
tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk kandang,sementara hasil hijauannya
dapat dimanfaatkan sebagai bahanpakan ternak.Sistem ini dapat dipakai untuk
mengembangkanpeternakan sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.
h.
Pagar
hidup
Pagar hidup adalah sistem pertanaman yang memanfaatkantanaman sebagai pagar
untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat tanaman pagar antara lain adalah
melindungi lahan daribahaya erosi baik erosi air maupun angin. Tanaman pagar
sebaiknyatanaman yang mempunyai akar dalam dan kuat, menghasilkan
nilaitambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun dari kayubakarnya.

Untuk tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsisebagai sumber
pakan ternak, jenis tanaman yang dapatmenghasilkan kayu bakar, atau jenis-jenis
lain yang memiliki manfaatganda. Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan
jarak
yang
rapat
(< 10 cm). Karena tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 2 m makapemangkasan
sebaiknya dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et al., 1999).

3.
Strip
rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanyamenggunakan rumput
yang didatangkan dari luar areal lahan, yangdikelola dan sengaja ditanam secara
strip menurut garis kontur untukmengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber
pakan ternak. Penelitian yang dilakukan oleh Suhardjo et al. (1997),Abdurachman
et al. (1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwauntuk lahan dengan lereng
di bawah 20% sistem ini sangat efektifmenahan partikel tanah yang tererosi dan
menahan aliran permukaan.Tetapi apabila lahan mempunyai lereng di atas 20%
dibutuhkantindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku.
Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertical sehingga
tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanamanpokok, tidak banyak
membutuhkan ruangan untuk pertumbuhanvegetatifnya, mempunyai perakaran
kuat dan dalam, cepat tumbuh,tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara
tanaman
pokok
danmampu
memperbaiki
sifat
tanah.
Faktor tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip,dan jarak antar-strip
sangat menentukan efektifitas pengendalianerosi. Penelitian terhadap efektifitas
berbagai macam strip rumputyang dilakukan Suhardjo et al. (1997), menunjukkan
bahwa tingkaterosi pada tahun pertama masih tinggi karena rumput belum tumbuh
optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih baik pada tahun keduamampu menekan
jumlah tanah tererosi antara 30-60% padakemiringan di bawah 20%. Sedimen yang
tertahan lama kelamaanakan mendekati bentuk datar sehingga menciptakan bidang
terasalami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun(1976/1977
sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahiamenghasilkan teras alami hasil
endapan partikel tanah terangkutdengan ketinggian sekitar 25-30 cm, sedangkan
pada strip rumputbede sekitar 50-60 cm.
Strip rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usahapeternakan. Penelitian
yang dilakukan oleh Watung et al. (2003) danSubagyono et al. (2004) di sub-DAS
Babon, Ungaran, Jawa Tengah,menunjukkan bahwa integrasi penanaman rumput
baik secara stripmaupun ditanam pada sebagian bidang olah dengan
penggemukansapi terbukti memberikan alternatif yang dapat ditempuh
untukmewujudkan implementasi teknologi konservasi secara berkelanjutan.Hasil
pangkasan strip dapat dimanfaatkan untuk pakan ternaksedangkan kotoran ternak
dapat dimanfaatkan sebagai pupukkandang. Di wilayah sentra produksi peternakan,
teknik ini mudahdiadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat kebutuhan hijauan
pakanternak lebih besar daripada kontribusi pupuk kandang ke lahanpertanian,
kondisi ini dapat diatasi dengan penanaman rumput secarakhusus (padang rumput).
Aspek
keterjangkauan
lahan
dari

permukiman penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karenaseringkali strip


berupa pakan ternak tersebut dicuri.
Dalam upaya lebih meningkatkan efektifitasnya dalam menahanerosi, strip rumput
dapat dikombinasikan dengan mulsa.Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem
ini juga efektif dalammempertahankan kelengasan tanah.
Strip rumput dapat dikombinasikan dengan teknik konservasisecara mekanis
seperti penerapan teras. Penanaman strip rumput dibibir teras sampai tampingan
teras menghasilkan pengurangan tingkaterosi 30-50% dibandingkan bila strip
rumput hanya ditanam di bibir terassaja. Menurut Suhardjo et al. (1997), pada
tanah Inceptisols dengancurah hujan 1.441,8 mm/musim tanam maupun Entisols
dengan curahhujan 1.625,5 mm/musim tanam, strip rumput yang ditanam di
bibirteras saja ternyata masih menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20t/ha/musim
tanam.
4.
Mulsa
Dalam konteks umum, mulsa adalah bahan-bahan (sisatanaman, serasah, sampah,
plastik atau bahan-bahan lain) yangdisebar atau menutup permukaan tanah untuk
melindungi tanah darikehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga
dapatdimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulanlangsung
butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik(splash erosion), selain
mengurangi laju dan volume limpasanpermukaan (Suwardjo, 1981). Bahan mulsa
yang
sudah
melapuk
akan
menambah kandungan bahan organik tanah dan hara. Mulsa mampumenjaga
stabilitas suhu tanah pada kondisi yang baik untuk aktivitasmikroorganisma.Relatif
rendahnya evaporasi, berimplikasi padastabilitas kelengasan tanah.Secara umum
mulsa berperan dalamperbaikan sifat fisik tanah.Pemanfaatan mulsa di lahan
pertanian jugadimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.
Dalam bahasan ini, mulsa sisa tanaman atau bahan-bahan laindari tanaman yang
berfungsi untuk konservasi tanah dan air diuraikan.Peran mulsa dalam menekan
laju erosi sangat ditentukan oleh bahanmulsa, persentase penutupan tanah, tebal
lapisan mulsa, dan dayatahan mulsa terhadap dekomposisi (Abdurachman dan
Sutono,
2002).
Menurut Suwardjo et al. (1989), dalam jangka panjang olah tanahminimum dan
pemberian mulsa dapat menurunkan erosi hingga dibawah ambang batas yang
dapat
diabaikan
(tolerable
soil
loss).
Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi makin
besar.

Hasil penelitian telah membuktikan bahwa pemberian mulsamampu meningkatkan


laju infiltrasi.Lal (1978) melaporkan bahwapemberian mulsa sisa tanaman
sebanyak 4-6 t/ha mampumempertahankan laju infiltrasi, serta menurunkan
kecepatan aliranpermukaan dan erosi pada tingkat yang masih dapat diabaikan.
Menurut Kurnia et al. (1997), mulsa jerami ditambah denganmulsa dari sisa
tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi sertamengurangi konsentrasi
sedimen dan hara yang hilang akibat erosi. Erfandi et al. (1994) melaporkan,
bahwa
hasil
pangkasan
rumput vetiver yang dijadikan mulsa pada tahun ketiga penelitiansebanyak 5-6 t/ha
mampu meningkatkan kadar C dan N tanahmasing-masing sebesar 37-70%. Dari
penelitian tentang mulsa danpupuk hijau Sonosiso (Dalbergia siso) yang dilakukan
oleh Haryati et al.(1990) di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat
disimpulkanbahwa cara pemberian pupuk hijau dengan cara dimulsakan
lebihefisien/menguntungkan dibandingkan dengan cara pembenaman kedalam
tanah.
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidakmudah
terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengantakaran yang disarankan
adalah 6 t/ha atau lebih.Bahan mulsasebaiknya dari bahan yang mudah diperoleh
seperti sisa tanamanpada areal lahan masing-masing petani sehingga dapat
menghematbiaya,
mempermudah
pembuangan
limbah
panen
sekaligusmempertinggi produktivitas lahan.
5.
Sistem
penanaman
menurut
strip
Penanaman menurut strip (strip cropping) adalah system pertanaman, dimana
dalam satu bidang lahan ditanami tanamandengan jarak tanam tertentu dan
berselang-seling dengan jenistanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman
jagung dalamsatu strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10
mtergantung kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacangtanah dengan
sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumputatau tanaman penutup tanah
yang lain.
Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat akan semakinsempit sehingga jenis
tanaman yang berselang-seling tampak lebihrapat. Sistem ini sangat efektif dalam
mengurangi erosi hingga 70-75%(FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari
jenis legum) akanmampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi pengurangan
luasareal tanaman utama sekitar 30-50%.

Sistem ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukitsampai bergunung


dan biasanya dikombinasikan dengan teknikkonservasi lain seperti tanaman pagar,
saluran pembuangan air, danlain-lain. Penanaman menurut strip merupakan usaha
pengaturantanaman sehingga tidak memerlukan modal yang besar.
6.
Barisan
sisa
tanaman
Pada dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash line) ini samadengan sistem
strip. Sistem ini adalah teknik konservasi tanah yangbersifat sementara dimana
gulma/rumput/sisa tanaman yang disiangiditumpuk berbaris.Untuk daerah
berlereng biasanyaditumpuk mengikuti garis kontur. Penumpukan ini selain dapat
megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bias berfungsi sebagai
mulsa.
Ketersediaan bahan sisa tanaman harus cukup banyaksehingga penumpukannya
membentuk struktur yang lebih kuat. Sisatanaman tersebut lemah dalam menahan
gaya erosi air dan akancepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan
kayukayupancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman ini.
Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan haramelalui
dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahayaerosi sampai umur
tanaman <5 bulan.

7.
Tanaman
penutup
tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yangbiasa ditanam pada
lahan kering dan dapat menutup seluruhpermukaan tanah (Gambar 12).Tanaman
yang dipilih sebagaitanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan
darijenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan,dapat
memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) danmenghasilkan umbi, buah,
dan daun.Sebagaimana dilaporkan Lal(1978), tanaman penutup tanah mampu
meningkatkan laju infiltrasi.

Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et al.,1999), yaitu: (1)
tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema(Centrosema pubescens),
pueraria (Pueraria javanica) dan benguk(Mucuna sp.); (2) tanaman penutup tanah
sedang seperti lamtoro(Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium); (3)
tanamanpenutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes falcataria); dan
(4)belukar lokal.

Tanaman penutup tanah rendah, dapat ditanam bersamatanaman pokok maupun


menjelang tanaman pokok ditanam.Tanaman penutup tanah sedang dan tinggi pada
dasarnya sepertitanaman sela dimana tanaman pokok ditanam di sela-sela
tanamanpenutup tanah.Dapat juga tanaman pokok ditanam setelah tanamanpenutup
tanah dipanen.
Tanaman penutup tanah dimaksudkan untuk menambahpenghasilan petani dari
hasil panennya, selain itu juga untukmemperbaiki sifat tanah karena mampu
menambat N dari udara dansisa tanamannya dapat dijadikan sumber bahan
organik.Sebagaicontoh tanaman penutup tanah dari jenis legum seperti Mucuna
sp.sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki produktivitas tanah.Selain
mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada tanaman,Mucuna sp. juga
merupakan
sumber
unsur
hara
bagi
tanaman.
Kandungan hara Mucuna sp. sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; danK=1,97%
(Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiappengembalian 1 t
biomassa kering Mucuna sp. sebagai mulsa, makaakan diperoleh sekitar 23 kg N; 2
kg P dan 20 kg K yang setara dengan52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil
ini jelas akan memberikansumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam
memenuhikebutuhan lahannya terhadap pupuk.
8.
Penyiangan
parsial
Penyiangan parsial merupakan teknik dimana lahan tidakdisiangi seluruhnya yaitu
dengan cara menyisakan sebagian rumputalami maupun tanaman penutup tanah
(lebar sekitar 20-30 cm)sehingga di sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari
gulma.
Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan berfungsi sebagaipenahan erosi.
Pada dasarnya teknik ini menyerupai strip rumputdimana vegetasi gulma mampu
menahan aliran permukaan danmengendapkan material terangkut. Hasil tanaman
yang disiangidikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa
tanamansehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah danmemperbaiki sifat
tanah.
Teknik penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsialadalah:
a. Strip tumbuhan alami (natural vegetative strips = NVS)
Pada dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahanyang tidak disiangi dan
tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuhmembentuk strip yang kurang lebih
sejajar dengan garis kontur. Teknikini banyak diterapkan untuk tanaman semusim
dan sudahberkembang di Mindanao Utara, Filipina (Agus et al.,

2002).Meskipunteknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik ini juga


mengurangiareal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
b.
Penyiangan
sekeliling
batang
tanaman
pokok
Teknik ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanahtertutupi oleh gulma
rumput maupun tanaman penutup tanah lainyang sengaja ditanam. Penyiangan
dilakukan di sekeliling batangtanaman pokok dengan diameter sekitar 120 cm.
Dengan memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman kopiumur satu
tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujansebesar 1.338 mm (selama 6
bulan dari tanggal 1 Mei sampai 30Oktober 1980) tingkat aliran permukaan hanya
sebesar 1,8% dari curahhujan dan erosi sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman
kopi umur3 tahun dengan lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan4649%, curah hujan yang sama menghasilkan aliran permukaanberturut-turut sebesar
3,4% dan 6,3% dari jumlah curah hujan dan erosiyang dihasilkan berturut-turut
sebesar 1,6 dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982dalam Agus et al, 2002). Penyiangan
sekeliling batang tanaman pokokini juga dimaksudkan, untuk mencegah hama dan
penyakitmenyerang tanaman pokok dengan tetap memelihara keberadaantanaman
penutup tanah.

9.
Penerapan
pola
tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenistanaman sesuai dengan
iklim, kesesuaian tanah dengan jenistanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga,
modal,
dan
pemasaran.
Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah danmengurangi
terjadinya erosi.Biasanya petani sudah mempunyaipengetahuan tentang pola tanam
yang cocok dengan keadaanbiofisik dan sosial ekonomi keluarganya berdasarkan
pengalaman dankebiasaan pendahulunya.Pengalaman menunjukkan bahwa
dalamsuatu usaha tani, erosi masih terjadi.Pemilihan pola tanam yang tepatdapat
meningkatkan keuntungan bagi petani dan meningkatkanpenutupan tanah sehingga
erosi dapat dikurangi.Misalnyapenanaman padi gogo yang disisipi jagung pada
awal musim hujan,setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada saat
beraditanami benguk (Mucuna sp.).Jenis tanaman dapat lebih bervariasitergantung
keinginan
petani
dan
daya
dukung
lahannya.
Pertanaman majemuk yang merupakan salah satu bagiandalam pola tanam pada
dasarnya merupakan sistem dimana satubidang olah ditanami lebih dari satu jenis
tanaman pangan.Misalnyadalam satu bidang olah ditanami sekaligus tanaman
jagung, padigogo, mukuna (benguk), dan kedelai. Sistem ini bertujuan
untukmempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangirisiko

gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilaitambah bagi petani dan
juga termasuk tindakan pengendalian hamadan pengendalian erosi. Pada tahun
1974, hasil penelitian IRRImembuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung
(Ostrinianubilalis) pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacangtanah
berada dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan denganjumlah populasi hama
tersebut
pada
saat
jagung
ditanam
secaramonokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanahakan lebih rapat
sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan airhujan secara langsung dan
menahan aliran permukaan. Sistempertanaman yang termasuk sistem pertanaman
majemuk adalahsistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari
(intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
a.
Pergiliran
tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation) adalah sistem bercocok tanamdimana sebidang
lahan ditanami dengan beberapa jenis tanamansecara bergantian. Tujuan utama dari
sistem ini adalah untukmemutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk
meragamkanhasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan secara intensif
dimana setelah panen tanaman pertama kemudian langsung ditanamitanaman
kedua dan ada pula yang dibatasi periode bera. Daerah yangmemiliki musim kering
(MK) <4 bulan sangat baik untuk menerapkan system ini.
Penggunaansistem pergiliran tanaman intensif secara berurutan, antara
tanamanpertama yang disusul tanaman kedua dan seterusnya mampumenekan erosi
secara nyata dibandingkan lahan yang hanya diolahtanpa ditanami. Pengaruh nyata
tersebut dihasilkan dari fungsitanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien
tanaman = 0,371)serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut
sebagaimulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi.
Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupukdan teknik
konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimaldan lahan yang
dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya.Dari segi konservasi tanah, pergiliran
tanaman memberikanpeluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena
tanamankedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen.Demikianseterusnya,
sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanahsenantiasa dipertahankan.
Kondisi ini akan mengurangi risiko tanahtererosi akibat terpaan butir-butir air
hujan dan aliran permukaan.
b.
Tumpang
sari
Tumpang sari (intercropping) adalah sistem bercocok tanamdengan menggunakan
dua atau lebih jenis tanaman yang ditanamserentak/bersamaan pada sebidang

tanah. Sistem tumpang sarisebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering
yang
hanya
menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem tumpangsari adalah
salah satu usaha konservasi tanah yang efektif dalammemanfaatkan luas
lahan.Tanaman yang ditanam dapat berupajagung dengan kacang tanah, jagung
dengan kedelai, dansebagainya.Tanaman tersebut dapat berupa tanaman
penambatnitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada
prinsipnyasaling menguntungkan.

Kerapatan penutupan tanah akan sangat menguntungkan untukpencegahan erosi,


mempertahankan kadar lengas tanah karenaevaporasi terhambat, memperbaiki
kondisi tanah karena aktivitasperakaran mempertinggi bahan organik tanah. Hasil
ganda yangdiperoleh dalam satu luasan lahan dapat meningkatkan
pendapatanpetani. Setelah tanaman dalam tumpang sari tersebut dipanensebaiknya
tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lainataupun tanaman penutup
tanah yang mampu tumbuh cepat untukmelindungi tanah, sehingga erosi dapat
dikurangi.
c.
Tumpang
gilir
Tumpang gilir (relay cropping) adalah cara bercocok tanamdimana satu bidang
lahan ditanami dengan dua atau lebih jenistanaman dengan pengaturan waktu
panen dan tanam. Pada system ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen
tanaman musimpertama.Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman
jagungyang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yangditanam
beberapa minggu sebelum panen jagung.Sistem iniditerapkan untuk mempertinggi
intensitas penggunaan lahan.
Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman pertama dipanendimaksudkan untuk
mempercepat penanamannya dan masihmendapatkan air hujan yang cukup untuk
pertumbuhan danproduksinya.Tanaman pertama tidak terlalu terpengaruh
akibatkompetisi tanaman kedua karena tanaman pertama telah melewatifase
pertumbuhan vegetatifnya.Begitu pula dengan tanaman keduayang mendapatkan
air dan hara yang cukup sehingga dapatmemaksimalkan pertumbuhan vegetatifnya.
Dari segi konservasi, penutupan tanah yang rapat padatumpang gilir mempunyai
pengaruh yang cukup baik dalam menahan erosi. Penerapan teknik ini perlu
diiringi dengan penerapanteknik konservasi tanah yang lain seperti penambahan
bahan organik,penutup tanah dan jika perlu diterapkan tindakan sipil teknis.
Mengingat intensitas tanaman yang tinggi, pemupukan juga perludilaksanakan.

Penambahan sisa tanaman yang dijadikan mulsa akanmengoptimalkan kemampuan


tanah dalam menahan erosi selainmenyediakan kebutuhan tanaman akan hara.
Pola tanam yang diintroduksikan harus mampu meningkatkanefektivitas
penggunaan lahan dan penggunaan air melaluipertimbangan biofisik lahan dan
sosial
ekonomi
suatu
wilayah.
Perbedaan pola tanam menghasilkan komoditas serta intensitaspertanaman yang
berbeda.Pola tanam juga diharapkan dapatmeningkatkan efisiensi penggunaan hara
terutama jika pola tanamyang diintroduksi mencakup tanaman-tanaman dengan
kedalamanperakaran yang berbeda.

TEKNOLOGI DAN STRATEGI


KONSERVASI TANAH DALAM
KERANGKA REVITALISASI
PERTANIAN
Oleh: Abdurachman Adimihardja; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123, Pengembangan Inovasi
Pertanian 1(2), 2008: 105-124
(Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 19
Desember 2007 di Bogor.
PENDAHULUAN
Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian yang sering terabaikan oleh para
praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini terjadi antara lain karena
dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di lapangan, atau tidak secara
drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi tanah dan pencemaran agrokimia,
misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak tanah longsor atau banjir
badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif, produktivitas lahan yang
tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin keberlanjutannya.
Praktek pertanian yang buruk ini tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga di negaranegara berkembang lainnya. Hal ini tercermin dari pernyataan Lord John Boyd Orr
(1948), Dirjen FAO pertama, dalam (Dudal 1980) sebagai berikut: If the soil on which
all agriculture and all human life depends is wasted away, then the battle to free
mankind from want cannot be won. Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya
konservasi tanah untuk memenangkan perjuangan kemanusiaan dalam memenuhi
kebutuhan dasar manusia.

Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan di Indonesia, khusus di Pulau Jawa saja,


kerugian akibat erosi tanah mencapai US$341-406 juta/tahun (Margrath dan
Arens 1989). Data lain menunjukkan bahwa selama periode 1998-2004, terjadi 402 kali
banjir dan 294 kali longsor di Indonesia, yang mengakibatkan kerugian materi sebagai
tangible product senilai Rp668 miliar (Kartodihardjo 2006). Nilai intangible products yang
hilang sulit dikuantifikasi, baik dalam aspek ekologis, lingkungan maupun sosial dan
budaya, sebagai bagian dari multifungsi pertanian. Namun dapat dipastikan bahwa nilai
intangible tersebut sangat besar, baik secara material maupun immaterial.
Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng antara 3-15% di Indonesia
tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Padahal,
banyak lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, bahkan lebih dari 100%,
sehingga laju erosi dipastikan sangat tinggi. Hal ini terjadi terutama karena curah
hujan yang tinggi dan kelalaian pengguna lahan dalam menerapkan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air.
Pemerintah melalui Departemen Pertanian terus mengupayakan peningkatan produksi
pertanian nasional khususnya bahan pangan dengan melaksanakan dua
program utama, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Kedua program yang
untuk mensukseskannya tidak mudah dan memerlukan biaya besar ini, pada
implementasi di lapangan tidak selalu disertai penerapan tindakan konservasi tanah,
yang sebenarnya sangat penting untuk menjamin keberlanjutannya.
Peran dan kebijakan pemerintah sangat penting dan menentukan keberhasilan upaya
konservasi tanah, guna mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan, yang
dicirikan dengan tingkat produktivitas tinggi dan penerapan kaidah-kaidah konservasi
tanah. Upaya konservasi tidak akan berhasil apabila dipercayakan hanya kepada
pengguna lahan, karena terkendala oleh berbagai keterbatasan, terutama lemahnya
modal kerja.
Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi tanah, dan masih lemahnya
implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera dilakukan upaya
terobosan yang efektif untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian. Upaya konservasi
tanah harus mengarah kepada terciptanya sistem pertanian berkelanjutan yang
didukung oleh teknologi dan kelembagaan serta mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan dan lingkungan. Upaya ini selaras dan
mendukung Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang salah satu
sasaran utamanya adalah optimalisasi dan pelestarian lahan.
DEGRADASI TANAH DI INDONESIA
Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini telah
berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian. Jenis
degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, aktivitas

penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga konversi lahan pertanian
ke nonpertanian.
Jenis-jenis Degradasi Tanah
Erosi Tanah
Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah
berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Beberapa data
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Sedimentasi di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju erosi tanah
dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada 1934/1935, dan naik
lagi menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto 1974).
b. Laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun, mencakup areal 332
ribu ha (Partosedono 1977).
c. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan ditanami
tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981).
d. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur,
sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 % yang ditanami
tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
e. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah Ultisols
berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada tanah Ultisols berlereng
14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985).
Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton tanah/ha lahan
tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun,
dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa
luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9
juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2
juta ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.
Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan
Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas
akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia dalam tanah
atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil penelitian menunjukkan
adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat,
organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al.
1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan
emas liar di Pongkor, Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan
kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran
tanah juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan
cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemaran tanah antara lain adalah
Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah 2000).

Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB dalam Kartodihardjo
(2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali kebakaran hutan, yang
mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda senilai Rp647 miliar.
Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar
selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran
gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983. Selain
tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut
hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000), kebakaran
hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kerugian lainnya
berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan
manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).
Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan
Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang
membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini
menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang
tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Proses degradasi
lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat
menurunkan bahkan
menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan nonpertanian.
Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6 juta ha;
dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al. 2001). Winoto (2005)
menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1 juta ha) telah direncanakan
untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, karena 1,67 juta ha atau
49,2% dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi.
Dampak Degradasi Tanah
Degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas lahan, tetapi juga
mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian.
Produksi dan Mutu Hasil Pertanian
Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui penurunan
kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Langdale et al. (1979) dan Lal
(1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15 t/ha setiap kehilangan tanah
setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan atas memiliki tingkat kesuburan paling
tinggi, dan menurun pada lapisan di bawahnya. Penyebab utama penurunan kesuburan
tersebut adalah kadar bahan organik dan hara tanah makin menurun, tekstur bertambah
berat, dan struktur tanah makin padat.

Penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat proses
degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta konversi lahan
pertanian ke nonpertanian.
Sumber Daya Air
Erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi
juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan cadangan
air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai, dan pengendapan partikel-partikel
tanah yang tererosi di daerah cekungan. Dengan demikian bukan saja lahan yang
terkena dampak, tetapi juga kondisi sumber daya air menjadi buruk.
Multifungsi Pertanian
Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui fungsi gandanya
(multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil produk pertanian (tangible
products) yang dapat dikonsumsi dan dijual, pertanian memiliki fungsi lain yang berupa
intangible products, antara lain mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air
tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang
sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004).
Fungsi sosial-ekonomi dan budaya pertanian juga sangat besar, seperti penyedia
lapangan kerja dan ketahanan pangan. Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan Husen
(2004) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian di Korea Selatan.
Fungsi-fungsi tersebut dapat terkikis secara gradual oleh erosi dan pencemaran kimiawi,
dan dapat berlangsung lebih cepat lagi dengan terjadinya longsor, banjir, dan konversi
lahan. Multifungsi tersebut perlu dilindungi, antara lain dengan strategi sebagai berikut:
(1) meningkatkan citra pertanian beserta multifungsinya, (2) mengubah kebijakan
produk pertanian harga murah, (3) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan
(4) menetapkan lahan pertanian abadi (Abdurachman 2006a).
Permasalahan Konservasi Tanah
Faktor Alami Penyebab Erosi
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi tanah,
terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun
intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi, terutama terkait
dengan genesa tanah
Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki
curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya
17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan
merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas.
Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan.

Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak
berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng < 3%)
hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al.
2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari
lahan datar (< 3%).
Praktek Pertanian yang Kurang Bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim
tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng >
16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara
keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan
Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman,
industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan
pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian
terdesak ke lahanlahan berlereng curam.
Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang tidak
disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang
banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan
teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai
bagian penting dari pertanian.
Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi
Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi
lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa
walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk
perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan
ekonomi.
Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan
upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum
memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan
tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih
ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga
aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal
aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa
mendatang.
Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering
menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas
lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.

Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk
mengabaikan konservasi tanah.
Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa
mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian
(Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu,
faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan
dengan alasan mudah dan murah.
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH
Degradasi tanah diartikan sebagai suatu proses, fenomena atau transformasi yang
menurunkan kualitas tanah, yang menyebabkan sifat-sifat fisika, kimia atau biologi
tanah menjadi kurang sesuai untuk pertanian (Arshad et al. 1998). Oleh karena itu,
konservasi tanah dimaksudkan untuk melindungi tanah dari pengrusakan oleh proses
degradasi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tentang konservasi tanah di
Indonesia terus berkembang sesuai dengan makin bervariasinya jenis dan intensitas
degradasi.
Perkembangan Penelitian Konservasi Tanah
Sejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada tahun 1905,
bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering de Kennis van den
Bodem (Laboratorium untuk Perluasan Pengetahuan tentang Tanah), yang sekarang
menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Kegiatan pengembangan ilmu tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan
konservasi tanah. Namun, penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan
terorganisasi baru dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian
Konservasi Tanah pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara
kronologis, garis besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah dapat dipilah
dalam beberapa kurun waktu sebagai berikut.
Periode 1970-1980
Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah didominasi oleh
kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan beberapa kegiatan penelitian
lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk mengkompilasi berbagai data fisika dan
konservasi tanah serta menguji berbagai metode dan teknologi dasar konservasi tanah
dan air, termasuk penggunaan soil conditioner. Dalam periode ini juga dikembangkan
teknik
simulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss Equation (USLE),
dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984; Abdurachman 1989;
Abdurachman dan Kurnia 1990).

Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah: (1) nilai faktor
erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984), (2) nilai faktor
pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et al. 1984), (3)
penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai lahan pertania, (5)
teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi pengolahan tanah, (7) teknologi
pengendalian erosi, dan (8) teknologi rehabilitasi tanah.
Periode 1980-2002
Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih diarahkan pada kegiatan
lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung dengan penelitian rumah kaca dan
laboratorium. Kegiatan penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada masa ini
cukup aktif dan luas, karena didukung oleh berbagai kerja sama dalam dan luar negeri.
Kegiatan utamanya antara lain (Abdurachman dan Agus 2000; Agus et al. 2005) : (1)
Proyek Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek
Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P3HTA/ UACP) di DAS Jratunseluna dan
Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan
Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996; (4) Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian
Nusa Tenggara, 1986-1995; (5) Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi
Tanah untuk Mengatasi Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian
Usahatani Lahan Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat,
Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok Kerja
Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS Cimanuk, 19952000; (8) Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah, 1995-2004; dan
(9) Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain untuk memformulasikan kebijakan
pembangunan pertanian dan tata guna lahan, 2000-2005.
Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai teknologi dan
sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model kelembagaan dan sistem
diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan lahan juga dihasilkan, seperti
formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai kemiringan lereng, SUT pada wilayah
pegunungan, dan SUT lahan kering beriklim kering. Bahkan Permentan No. 47/2006
tentang Pedoman Budidaya pada Lahan Pegunungan, pada hakekatnya merupakan
kristalisasi, penjabaran, dan aplikasi dari hampir seluruh kegiatan atau program
penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada periode ini.
Periode 2002-2007
Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena tidak banyak
lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang luas. Kegiatan lebih
banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk menyusun
baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah, buku petunjuk konservasi tanah, dan
sebagainya. Pada periode ini juga diupayakan pengembangan dan diseminasi iptek Prima
Tani di berbagai lokasi, terutama pada lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain
diarahkan pada upaya perakitan teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi,

seperti lahan bekas tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang
tergenang lumpur di Sidoarjo.
Perencanaan Konservasi Tanah
Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke memiliki tanah
dan unsur-unsur iklim yang sangat beragam, sehingga tingkat bahaya erosi pun
berbeda-beda antara satu wilayah dengan lainnya. Oleh karena itu, data dan informasi
tentang jenis dan besaran faktor-faktor penyebab erosi sangat penting sebagai dasar
perencanaan konservasi tanah yang efektif dan efisien.
Secara umum, faktor-faktor penyebab erosi dapat digambarkan dengan persamaan
umum erosi (USLE, Wischmeier dan Smith1978). Untuk wilayah Indonesia, nilai faktor
erosi dapat dihitung dengan rumus-rumus yang ditemukan dari hasil penelitian di
berbagai stasiun percobaan, antara lain penghitungan nilai erosivitas (Abdurachman
1989), nilai erodibilitas (Abdurachman 1989), dan faktor panjang dan kemiringan lereng
(LS) yang dihitung menggunakan rumus Morgan. Beberapa percobaan lapangan yang
dilakukan sejak tahun 1970-an telah menghasilkan nilai C untuk berbagai jenis tanaman
(Abdurachman et al. 1984). Faktor tindakan konservasi tanah dihitung de-ngan rumus 5
(Tabel 1). Nilai faktor P dan CP hasil percobaan Lembaga Penelitian Tanah telah
dipublikasikan (Abdurachman et al. 1984) dan digunakan dalam penelitian dan
perencanaan konservasi tanah.
Untuk keperluan perencanaan konservasi tanah atau perluasan areal pertanian, metode
prediksi erosi USLE dapat digunakan dengan hasil yang baik (Abdurachman 1997).
Penilaiannya adalah dengan membandingkan jumlah tanah tererosi dengan batas
ambang erosi atau tolerable soil loss.

Diseminasi dan Pemanfaatan Teknologi


Pada kurun waktu 1982-2005, telah dilaksanakan berbagai kegiatan diseminasi dan
pemanfaatan teknologi konservasi pada proyek-proyek konservasi seperti tersebut di

atas. Teknologi konservasi yang diterapkan antara lain adalah teras bangku, teras gulud,
strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (alley cropping). Teknik konservasi yang
paling banyak diadopsi adalah teras bangku, karena sejak tahun 1975 teknik konservasi
ini telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah diterbitkannya Inpres
Penghijauan (Mangundikoro 1985). Teknik pertanaman lorong banyak diteliti dan
didiseminasikan antara lain untuk menguji berbagai jenis tanaman yang cocok untuk
tanaman pagar, dan mempelajari kontribusi serta kompetisi tanaman pagar terhadap
tanaman lorong (Haryati et al. 1995; Abdurachman 2003).
Teknik pengendalian degradasi tanah telah dipublikasikan dalam buku, prosiding, dan
petunjuk teknis. Teknologi konservasi tanah yang telah dipublikasikan dalam bentuk
buku antara lain adalah teknologi konservasi tanah mekanik (Dariah et al. 2004),
teknologi konservasi tanah vegetatif (Santoso et al. 2004), teknologi konservasi tanah
pada budi daya sayuran dataran tinggi (Kurnia et al. 2004), dan teknologi pengendalian
erosi lahan berlereng (Abdurachman et al. 2005).
Prospek ke Depan
Pengetahuan dan teknologi konservasi tanah yang lebih komprehensif makin diperlukan
sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi tanah dan lahan
sebagai konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait dengan pemanfaatan
dan pengelolaan lahan. Oleh karena itu, teknologi pengendalian erosi saja tidak cukup,
karena dewasa ini degradasi tanah tidak hanya diakibatkan oleh erosi, seperti halnya
pada 40-50 tahun yang lalu. Degradasi tanah sudah merambah ke proses pencemaran
residu bahan-bahan agrokimia dan limbah industri, aktivitas penambangan, kebakaran
hutan, dan konversi lahan pertanian.
Pencemaran tanah oleh bahan-bahan agrokimia belum sepenuhnya dapat diatasi,
meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengadaan (impor), peredaran, dan
penggunaan senyawa kimiawi. Di lapangan, penggunaan bahan-bahan agrokimia terus
meningkat dari tahun ke tahun (Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Pembakaran hutan yang
masih terus berlangsung belum mampu dicegah dengan pelarangan penggunaan api
untuk pembukaan lahan.
Upaya lain yang mendesak untuk segera ditangani adalah pengendalian degradasi
daerah tangkapan hujan (water catchment area) dan pengendalian konversi lahan
pertanian. Keduanya menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan pertanian,
berupa penurunan produksi pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga
tani, masyarakat, dan pemerintah daerah.
Informasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa ke depan, teknologi dan kebijakan
konservasi tanah dalam arti luas masih perlu dicari dan dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi pengendalian erosi sudah tersedia, namun diseminasinya perlu ditingkatkan
agar dapat diterima dan diadopsi oleh pengguna lahan (Abdurachman dan Hidayat
1999).

KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN


Konservasi tanah sangat penting untuk mengatasi degradasi lahan yang merupakan
salah satu dari empat ancaman utama terhadap pelaksanaan RPPK, khususnya pada
sektor pertanian di mana ketahanan pangan menjadi salah satu pilar utama. Keempat
ancaman tersebut adalah: (1) pelandaian dan stagnasi produktivitas padi akibat
kemandegan implementasi inovasi teknologi, (2) ketidakstabilan produksi padi akibat
cekaman hama dan penyakit serta iklim, (3) degradasi sumber daya pertanian, terutama
lahan dan air, serta (4) konversi lahan pertanian.
Kebijakan dan Strategi Revitalisasi Pertanian RPPK yang dicanangkan oleh Presiden pada
Juni 2005 merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan
dan petani hutan, serta menjaga kelestarian sumber daya alam (Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian 2005). Dalam RPPK ditetapkan tiga butir kebijakan
dan strategi umum, yaitu:
1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta
pencapaian skala ekonomi usaha PPK, terutama melalui pengelolaan pertanahan,
tata ruang dan keagrariaan, fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan
berusaha di luar usaha tani, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi
kegiatan produksi, serta pengembangan infrastruktur dan kelembagaan usaha
tani.
2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi
dan distribusi PPK, terutama melalui praktek pertanian yang baik (good
agriculture practice), pengembangan usaha baru dan multiproduk, agroindustri
pedesaan, infrastruktur, kelembagaan usaha tani, pengembangan akses terhadap
berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan
usaha atas persaingan tidak adil.
3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara
berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pertanahan, tata ruang
dan keagrariaan, serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi
dan kelembagaan yang ramah lingkungan, serta penegakan hukum.
Ketiga butir kebijakan dan strategi tersebut terkait erat dengan aspek konservasi tanah,
yaitu terkendalinya proses degradasi lahan, sehingga sistem pertanian menjadi
berkelanjutan dan masyarakat lebih sejahtera .
Peran Konservasi Tanah
Peran konservasi tanah dalam RPPK antara lain dinyatakan dalam butir (3) dan (2)
tersebut di atas. Dalam butir (3), jelas dinyatakan bahwa pengelolaan konservasi
merupakan strategi utama dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup
dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Selanjutnya pada butir (2) ditegaskan strategi utama dalam peningkatan daya saing,
produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi, serta praktek
usaha pertanian yang baik. Dalam usaha ini, pengelolaan konservasi tanah menjadi
komponen utama yang perlu diperhatikan agar tercapai tingkat produktivitas yang tinggi
dan berkelanjutan. Tanpa konservasi tanah, dapat terjadi erosi pada lahan tanaman
pangan sampai 14-15 mm/tahun, seperti di Putat, Jawa Tengah, dan di Punung, Jawa
Timur (Abdurachman et al. 1985), Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang
berlereng 14% di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al.
1985). Mengingat pentingnya konservasi tersebut dalam RPPK khususnya dan
pembangunan pertanian pada umumnya, maka selain aspek teknis di lapangan juga
perlu didukung sistem kelembagaan yang tegas, seperti regulasi dan instansi pemerintah
yang diberi mandat untuk melaksanakan program konservasi, terutama pada lahan
pertanian.
Penetapan Lahan Pertanian Abadi
RPPK mengamanatkan perlunya penetapan, penegasan, dan penegakan hukum bagi
tersedianya lahan pertanian abadi, yang terdiri atas 15 juta ha lahan beririgasi dan 15
juta ha lahan kering. Penetapan ini merupakan salah satu strategi operasional, dengan
tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian.
Keberadaan lahan abadi tersebut dipandang akan mampu mendukung pemantapan
ketahanan pangan dan peningkatan volume ekspor hasil pertanian. Namun jelas, lahan
abadi tersebut harus dilengkapi dengan instrumen konservasi tanah yang efektif agar
tidak berubah menjadi lahan tidur dan terbengkalai. Penetapan lahan abadi merupakan
manifestasi dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan konservasi lahan pertanian
Penetapan lahan sawah abadi 15 juta ha harus didasarkan atas kriteria yang jelas, baik
dari aspek teknis maupun aspek hukum, budaya dan sosial, serta dilakukan secara
bertahap. Sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya 7,78 juta ha (BPS 2003),
dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Dengan
menggunakan kriteria biofisik lahan, produktivitas, indeks pertanaman, dan status
irigasi, lahan sawah yang layak dijadikan sawah abadi hanya 3,3 juta ha (Abdurachman
2004).
Sementara ini, areal pertanian lahan kering cukup luas, yaitu 39,6 juta ha (BPS 2004),
terdiri atas tegalan (15,6 juta ha), pekarangan (5,7 juta ha), perkebunan (18,3 juta ha),
lahan kayu-kayuan (10,4 juta ha), serta lahan terlantar (10,2 juta ha). Dengan
demikian, menemukan lahan kering abadi 15 juta ha tidak sulit, cukup dengan memilih
lahan pertanian yang sudah ada saat ini.
STRATEGI KONSERVASI TANAH DI INDONESIA
Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan
petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan, selain kurang

memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting
dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan
implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut
meliputi lima hal sebagai berikut.
Strategi 1 Penyiapan Teknologi Konservasi
Teknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian erosi dan
longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam berbagai
media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah
mengumpulkan dan menyusunnya dalam buku teknologi atau menyediakan file
elektronis, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna
lainnya. Teknologi untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi
oleh limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan
dikembangkan lebih lanjut.
Strategi 2 Percepatan Diseminasi
Upaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem diseminasi
yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek
reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran utaman
proyek tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan
konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS
hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan
kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung
pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian metode
diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya sendiri.
Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah percepatan
diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah satu tujuannya adalah
mempercepat diseminasi inovasi pertanian (Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani
merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program
pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga
bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya
manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan
semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi
konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan. Lebih
jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model pembangunan
pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru sejarah pembangunan
pertanian (Abdurachman 2007).
Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan
penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada
Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan
teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik

lokasi. Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta
sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan
konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.
Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi Tanah
Pada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian dibentuk
kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dengan
Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih tertibnya
pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat konservasi tanah masih diletakkan pada
tingkat jabatan yang relatif rendah (eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi,
dan Reklamasi Lahan.
Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam keberlanjutan dan
tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas, antara
lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi
tanah di Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan
setingkat eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan lebih
baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan demikian akan ada
kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia.
Strategi 4: Relokasi Program Konservasi Tanah
Program konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, dengan
nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003
digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan
anggaran Rp8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi
(Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan
untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran
drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti, terutama
untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya program
konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di Departemen
Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di provinsi dan
kabupaten. Dengan demikian, konservasi lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih
besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan
konservasi kawasan hutan.
Strategi 5: Pelaksanaan Program Pendukung
Upaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan
implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.

Peningkatan Kesadaran Masyarakat


Hasil penelitian di DAS Citarum dan DAS Kaligarang menunjukkan bahwa masyarakat
pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi lahan pertanian, yaitu penghasil produk
pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan
kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan mencapai 30 jenis.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus meliputi pula
advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam jangka pendek, promosi
dapat dilakukan melalui seminar dan simposium serta media cetak dan elektronis. Dalam
jangka panjang, sasaran advokasi bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan
mahasiswa melalui kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.
Penguatan Kelembagaan Penyuluhan
Kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk pembangunan pertanian
secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan konservasi tanah. Hal ini terjadi
terutama setelah diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara
lain mengalihkan pengelolaan urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang
penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan digabungnya
penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu wadah. Salah satu hal
yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga penyuluh konservasi tanah lapangan
yang terlatih dan dibekali pengetahuan dan teknologi konservasi yang memadai.
Penegakan Hukum
RUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi undangundang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang berkaitan dengan
masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan ke nonpertanian, sudah
banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan
Peraturan Daerah. Masalah yang mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum
terutama karena penerapan law-enforcement yang kurang tegas.
Advokasi Penanggung Jawab
Konservasi Perlu dilakukan advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk menjelaskan
bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah,
tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut:

1. Lahan pertanian di Indonesia telah dan terus mengalami degradasi, yang


mengancam keberlanjutan sistem pertanian, ketahanan pangan, kesejahteraan
petani, dan kelestarian lingkungan. Proses degradasi juga mengancam
keberhasilan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan,
serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Namun upaya pemerintah dalam
pengendalian degradasi lahan pertanian belum optimal, sementara petani belum
mampu mengatasinya sendiri.
2. Jenis degradasi tanah yang dominan adalah erosi yang disebabkan oleh tingginya
faktor-faktor pendorong, yaitu kemiringan lahan, curah hujan, kepekaan tanah
terhadap erosi, dan kebiasaan bertani tanpa teknik pengendalian erosi. Jenis
degradasi lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, longsor, dan
konversi lahan pertanian.
3. Iptek konservasi tanah berkembang sejalan dengan perkembangan penelitian dan
meningkatnya jenis dan intensitas degradasi tanah. Teknologi pengendalian erosi
cukup tersedia, namun diseminasi dan adopsinya oleh pengguna belum
terlaksana dengan baik.
4. Pada tataran kebijakan pemerintah, masalah utama yang dihadapi adalah
lemahnya kelembagaan dan program konservasi tanah di Departemen Pertanian,
yang seyogianya memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi meningkatnya
masalah degradasi lahan pertanian. Pada tataran lapangan, masalah yang perlu
diatasi adalah yang berkaitan dengan aspek sosial-ekonomi, budaya, dan hukum.
Dalam kerangka mendukung RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada
umumnya, diperlukan strategi dan implikasi kebijakan sebagai berikut:
1. Meningkatkan program penelitian dan pengembangan teknologi konservasi,
terutama untuk mengendalikan pencemaran tanah, kebakaran hutan, dan
konversi lahan pertanian.
2. Mempercepat diseminasi teknologi pengendalian erosi dan longsor, antara lain
melalui Prima Tani, yaitu program pembangunan pertanian yang berawal dari
desa, yang antara lain bertujuan memasyarakatkan inovasi pertanian.
3. Meningkatkan posisi kelembagaan konservasi tanah di Departemen Pertanian dari
Subdirektorat (Eselon III) menjadi Direktorat Jenderal Konservasi Tanah dan Air.
Dengan demikian, akan ada kelembagaan yang kuat untuk memberikan bahanbahan pertimbangan kepada Menteri Pertanian, melaksanakan penyiapan
rumusan dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang konservasi tanah.
4. Mengalihkan program konservasi dan rehabilitasi lahan pertanian dari
Departemen Kehutanan ke Departemen Pertanian. Di satu sisi, lahan-lahan
pertanian akan dapat dibina dan ditingkatkan produktivitasnya melalui kebijakan
dan fasilitasi satu kelembagaan saja, yaitu Departemen Pertanian. Di sisi lain,

masalah degradasi kawasan hutan akan dapat diatasi dengan lebih efektif oleh
Departemen Kehutanan.
5. Melaksanakan program-program pendukung, yaitu: (a) peningkatan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pertanian dengan multifungsinya, (b) penguatan
kelembagaan penyuluhan pertanian, termasuk pengadaan tenaga khusus
penyuluh konservasi tanah, (c) penegakan hukum dalam perkara yang berkaitan
dengan perlindungan lahan pertanian,dan (d) advokasi intensif kepada
masyarakat luas untuk memberikan penjelasan bahwa penyelamatan sumber
daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung
jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.
PENUTUP
Sumber daya lahan Nusantara merupakan anugerah dan amanat dari Tuhan Yang Maha
Pemurah kepada seluruh bangsa Indonesia. Amanat ini seharusnya
dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan
pendayagunaannya untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan,
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sumberdaya lahan pertanian dan kawasan
hutan digunakan secara tidak rasional, sering ditujukan hanya untuk memperoleh
keuntungan jangka pendek semata. Hal ini menimbulkan dampak buruk berupa
penurunan produktivitas pertanian, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan
berkepanjangan
Apabila cara-cara mengelola sumber daya lahan tersebut tidak diperbaiki sesuai
karakteristik masing-masing lahan maka ancaman malapetaka pasti akan bertambah
besar. Hal ini telah diperingatkan pada 14,5 abad yang lalu, dalam Alquran: QS 30:
41: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan-tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) .
Semoga peringatan keras ini menggugah kesadaran dan kearifan kita semua, dan ke
depan seyogianya kita lebih waspada dan bijak dalam mengelola sumber daya alam yang
dititipkan kepada kita sekalian, bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman
untuk usaha konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3: 7-11.
Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam
usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk 4: 41-46.
Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation
and Variation with Time. Doctorate Thesis. University of Ghent, Belgium. 195 hlm.

Abdurachman, A. dan U. Kurnia. 1990. Estimasi indeks erodibilitas tanah dengan


menggunakan teknik simulasi hujan di laboratorium. Pemberitaan Penelitin Tanah dan
Pupuk 9: 38-45.
Abdurachman, A. 1997. Penggunaan RUSLE untuk menduga erosi tanah pada lahan
pertanian di Indonesia. Lokakarya Penetapan Model Pendugaan Erosi Tanah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Abdurachman, A. dan A. Hidayat, 1999. Pengelolaan sumber daya lahan dan air untuk
mendukung pembangunan pertanian. Seminar Nasional Sektor Pertanian sebagai
Andalan Ekonomi Nasional. Jakarta 26-27 Juli 1999.
Abdurachman, A. dan F. Agus. 2000. Pengembangan teknologi konservasi tanah pasca
NWMCP. hlm. 25-38. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A. 2003. Strategi dan arah ke depan penelitian dan pengembangan
sumber daya lahan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah
dan Iklim, 14-15 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A. 2004. Pengendalian konversi lahan sawah secara komprehensif.
Makalah pada Round Table Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan
Pertanian,14 Desember 2004.
Abdurachman, A., Sutono, dan N. Sutrisno 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan
kering berlereng. hlm. 101-140 . Dalam Abdurachman et. al. (Eds). Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.
Abdurachman, A. 2006a. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24 (5): 99-105.
Abdurachman, A. 2006b. Prima Tani: Membangun agroindustri pedesaan dengan inovasi
teknologi dan kelembagaan agribisnis. Sinar Tani edisi 23-29/08- 2006. No. 3164 Tahun
XXXVI.
Abdurachman, A. 2006c. Prima Tani: Peluang emas bagi pemanfaatan iInovasi pertanian.
Agrotek. Edisi Agustus- September 2006. Opini: 32-33.
Abdurachman, A. 2007. Tonggak sejarah pembangunan pertanian. Sinar Tani. Edisi
2007. No. Tahun XXXVII. hlm. 20.
Agus, F. dan E. Husen 2004. Tinjauan umum multifungsi pertanian. Seminar Nasional
Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bogor. 12 Oktober 2004.

Agus, F., R.L. Watung, Wahyuno, Irawan, A.R. Nurmanaf, Sutono, and S. Talaohu. 2005.
Assessment of the multifunctionality of agriculture. Environmental aspects and
community evaluation. Report of Phase I: Evaluation of Multifunctionality of Paddy
Farming and Its Effects in ASEAN Countries. p. 93-154.
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di
Jawa Barat. dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi
Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Arshad, M., A. Khalid, and Z.A. Zahir. 1998. Degraded soils and organic matter. APO
Seminar on Soil Degradation. Univ of Agriculture. Faisalabad, Pakistan, 19-24
October1998. p. 15.
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 1998. Planning for Fire
Prevention and Drought Management Project, Jakarta. BMG (Badan Meteorologi dan
Geofisika). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG. Jakarta BPS (Badan Pusat Statistik).
2003-2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budiastoro. 2004. Teknologi konservasi tanah mekanik.
hlm. 109-132. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dudal, R. 1980. An
evolution of conservation needs p. 5-12. In R.P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation,
Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.
Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada
ekosistem lahan sawah irigasi di Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian
Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi
Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran
permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada
Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan PenelitianTanah dan Pupuk 13:
40-50.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam
Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hudson, N. W. 1980. Social, Political and economics aspects of soil conservation. p. 4554. In P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation Problems and Aspects. John Wiley & Sons,
USA. Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan

B. Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat


Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada
agroekoistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Dalam Risalah
Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah
Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin. and H.D.V. Bohn. 2000. Impact of forest fire on
carbon storage in tropical peat lands. p. 106-113. In L.Rochefort and J.Y. Daigle (Eds).
Sustaining Our Peatlands. Proc. of the 11th International Peat Congress, Quebec,
Canada.
Kartodihardjo, H. 2006. Masalah dan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan. Makalah
pada Diskusi Terbuka Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Kebijakan, operasionalisasi dan
gagasan baru. Institut Pertanian Bogor. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Jakarta. hlm. 56.
Kurnia, U. dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa menurut
metode USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 17-20.
Kurnia, U., H. Suganda, D. Erfandi, dan H. Kusnadi. 2004. Teknologi konservasi tanah
pada budi daya sayuran dataran tinggi. hlm. 133-150. Dalam Kurnia et. al. (Ed.).
Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Lal, R. 1985. Soil erosion and its relation to productivity in tropical soils. p. 237- 247. In
S.A. El-Swaifi, W.C. Moldenhauer, and A. Lo (Eds.). Soil Erosion and Conservation. USA.
Langdale, G.W., J.E. Box Jr, R.A. Leonard, A.P. Barnet, and W.G. Fleming. 1979. Corn
yield reduction on eroded Southern Piedmont Soils. J. Soil and Water Conservation
34(1): 226-228.
Mangundikoro, A. 1985. Watershed management in Indonesia. Proc. of the Symposium
on Watershed and Conservation for Productive and Protective Uplands in ASEAN Region.
College, Laguna, Philippines, 25-29 June 1984.
Margrath, W.B. and P. Arens. 1989. The Cost of Soil Erosion in Java: A natural resources
accounting approach. Environment Dep. Working Paper 18, 1989. World Bank.
Musa, S. dan I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular
Malaysia. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatland. Kuala Lumpur,
Malaysia, 19-21 March 2002. p. 8.

Partosedono, R.S. 1977. Effects of Mans Activity on Erosion in Rural Environments and
Feasibility Study for Rehabilitation. Publ. 113: 53-54. Paris. IAHS AISH. Parish, F. 2002.
Peat-lands, biodiversity and climate change in SE Asia, an overview. Workshop on
Prevention and Control of Fire in Peatlands. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002.
p. 11.
Santoso, D., J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi
tanah vegetatif. hlm. 77-108. Dalam Kurnia et. al. (Eds): Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. p. 361-364. Proc. First
International Congress of Ecology. The Hague.
Soeyitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman
pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi
Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia.
hlm. 21-66. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suwardjo, 1981 Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah pada Usahatani
Tanaman Semusim. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Tim Peneliti Baku Mutu Tanah. 2000. Pengkajian Baku Mutu Tanah pada Lahan Pertanian.
Laporan Akhir kerja sama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup
Bappeldada Jakarta dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. No. 50/Puslittanak.
Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan
implementasinya. Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian
Abadi. Bogor. hlm. 8.
Wischmeier, W.H. and D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to
Conservation Planning. USDA Agric. Hand Book 537, Washington
DC.

Anda mungkin juga menyukai