oleh
Ir. Bambang Setiahadi
serta
perbaikan
sifat-sifat
tanah,
baik
sifat
fisik,
kimia
maupun
biologi.
Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut juga sipil teknis adalah upaya
menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai
dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air. Teknik ini meliputi:
guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kredit,
pematang kontur, teraskebun, barisan batu, dan teras batu. Khusus untuk tujuan
pemanenan air, teknik konservasi secara mekanis meliputi pembuatan bangunan
resapan
air,
rorak,
dan
embung
(Agus
et
al.,
1999).
Teknik konservasi tanah secara kimiawi adalah setiappenggunaan bahan-bahan
kimia baik organik maupun anorganik,yang bertujuan untuk memperbaiki sifat
tanah dan menekan laju erosi.Teknik ini jarang digunakan petani terutama karena
keterbatasan
modal, sulit pengadaannya serta hasilnya tidak jauh beda denganpenggunaan
bahan-bahan alami. Bahan kimiawi yang termasukdalam kategori ini adalah
pembenah tanah (soil conditioner), bahan-bahan ini diaplikasikan ke tanah
dengantujuan untuk memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan
stabilitasagregat tanah, sehingga tahan terhadap erosi.
aliran air dari tajuk melewati batang (stemflow)menuju permukaan tanah sehingga
energi kinetiknya jauh berkurang.Batang juga berfungsi memecah dan menahan
laju aliran permukaan.Jika energi kinetik aliran permukaan berkurang, maka daya
angkutmaterialnya juga berkurang dan tanah mempunyai kesempatan yangrelatif
tinggi untuk meresapkan air.Beberapa jenis tanaman yangditanam dengan jarak
rapat, batangnya mampu membentuk pagarsehingga memecah aliran permukaan.
Partikel tanah yang ikutbersama aliran air permukaan akan mengendap di bawah
batangdan lama-kelamaan akan membentuk bidang penahan aliranpermukaan yang
lebih stabil.
Keberadaan perakaran mampu memperbaiki kondisi sifat tanahyang disebabkan
oleh penetrasi akar ke dalam tanah, menciptakanhabitat yang baik bagi organisme
dalam tanah, sebagai sumberbahan organik bagi tanah dan memperkuat daya
cengkeramterhadap tanah (Foth, 1995, Killham, 1994, Agus et al.,
2002).Perakarantanaman juga membantu mengurangi air tanah yang jenuh oleh
airhujan, memantapkan agregasi tanah sehingga lebih mendukungpertumbuhan
tanaman dan mencegah erosi, sehingga tanah tidakmudah hanyut akibat aliran
permukaan, meningkatkan infiltrasi, dankapasitas memegang air.
Jenis-Jenis
Konservasi
Tanah
Secara
Vegetatif
Teknik konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikandalam monograf ini
adalah: penghutanan kembali (reforestation),wanatani (agroforestry) termasuk
didalamnya adalah pertanamanlorong (alley cropping), pertanaman menurut strip
(strip cropping), striprumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup
tanah(cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalahpergiliran
tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dantumpang gilir (relay
cropping).
Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiriteknik-teknik tersebut
sesuai dengan keinginan dan lingkunganagroekosistemnya sehingga teknik
konservasi ini akan terusberkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari
system
vegetatif
ini
adalah
kemudahan
dalam
penerapannya,
membantumelestarikan
lingkungan,
mencegah
erosi
dan
menahan
aliranpermukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahanorganik
tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani darihasil sampingan
tanaman konservasi tersebut.
1.
Penghutanan
kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk
mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah
a.
Pertanaman
sela
Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antaratanaman tahunan dengan
tanaman semusim.Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang
dekat dengan lokasi permukiman.Tanaman sela juga banyak diterapkan di daerah
misalnya
tanaman
penambat
nitrogen(N2)
dari
udara.
#.
Menghasilkan
banyak
bahan
hijauan.
#. Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembalisecara cepat sesudah
pemangkasan.
#. Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinarmatahari dan ruang
tumbuh
dengan
tanaman
lorong
tidakbegitu
tinggi.
#. Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagitanaman utama.
#. Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakanternak, kayu bakar,
dan penghasil buah sehingga mudahdiadopsi petani.
Penelitian-penelitian tentang pertanaman lorong menyimpulkan, bahwa sistem budi
daya lorong merupakan salahsatu cara untuk mempertahankan produktivitas lahan
kering yangmiskin hara dan mempunyai KTK yang rendah. Suwardjo et al.
(1987)melaporkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik diJambi,
Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahunditanami dengan
tanaman lorong Flemingia. Pada tahun keduakandungan bahan organik semakin
bertambah
dengan
nilai
2,8%.
Sistem pertanaman lorong juga dapat mempertahankan sifat fisiktanah (Tabel 3)
dan
hasil
tanaman
pangan
dalam
jangka
panjang.
Dari hasil kajiannya pada penerapan pertanaman lorong (Alleycropping) di
beberapa negara yang tergabung dalam ASIALANDsloping land project yang
meliputi Indonesia, Phillipines, Laos danVietnam, Irawan (2002) melaporkan
bahwa
alley
cropping
mampu
mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/ha/tahun.
Flemingia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuhdan bertunas
sehingga menghasilkan hasil pangkasan yangcenderung terus meningkat.Hasil
pangkasan ini merupakan sumberbahan organik yang sangat penting. Dari
reklamasi yang dilaksanakanpada tahun 1970 dan evaluasinya pada tahun 1984
pada tanahberskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali Gesik, Jawa
Tengah,Sukmana et al. (1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun
direklamasidengan Flemingia congesta mampu menghasilkan serasah
(keringudara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini memberikan kontribusi
terhadappeningkatan bahan organik tanah 2,65% yang sebelum direklamasitidak
mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan vegetasialami, Flemingia
sangat besar kontribusinya dalam peningkatan bahanorganik tanah. Bahan organik
ini sangat penting dalampeningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding
capacity)
c.
Talun
hutan
rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yangditanami tanaman
tahunan yang dapat diambil kayu maupunbuahnya.Sistem ini tidak memerlukan
perawatan intensif dan hanyadibiarkan begitu saja sampai saatnya panen.Karena
tumbuh sendirisecara spontan, maka jarak tanam sering tidak seragam,
jenistanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan seperti hutanalami.Ditinjau
dari segi konservasi tanah, talun hutan rakyat dengankanopi yang rapat dapat
mencegah erosi secara maksimal jugasecara umum mempunyai fungsi seperti
hutan.
d.
Kebun
campuran
Berbeda dengan talun hutan rakyat, kebun campuran lebihbanyak dirawat.Tanaman
yang ditanam adalah tanaman tahunanyang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan
kayunya.Kadang-kadangjuga ditanam dengan tanaman semusim.Apabila proporsi
tanamansemusim lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan
tersebutdisebut tegalan.Kebun campuran ini mampu mencegah erosi denganbaik
karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran airhujan tidak
langsung mengenai permukaan tanah.Kerapatantanaman juga mampu mengurangi
laju aliran permukaan. Hasiltanaman lain di luar tanaman semusim mampu
mengurangi risikoakibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.
e.
Pekarangan
Pekarangan adalah kebun di sekitar rumah dengan berbagaijenis tanaman baik
tanaman semusim maupun tanaman tahunan.Lahan tersebut mempunyai manfaat
tambahan bagi keluarga petani,dan secara umum merupakan gambaran
kemampuan suatu keluargadalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal.
Tanamanyang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubikayu,
sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya,tanaman obat-obatan seperti
kunyit, temulawak, dan tanaman lainyang umumnya bersifat subsisten.
f.
Tanaman
pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam disela-sela tanaman
pokok tahunan.Tanaman pelindung inidimaksudkan untuk mengurangi intensitas
penyinaran matahari, dandapat melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi
terutama ketikatanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat
dikelompokkan
menjadi
dua,
yaitu:
#. Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu system wanatani sederhana
(simple agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu
jenis tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap(Erythrina
Untuk tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsisebagai sumber
pakan ternak, jenis tanaman yang dapatmenghasilkan kayu bakar, atau jenis-jenis
lain yang memiliki manfaatganda. Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan
jarak
yang
rapat
(< 10 cm). Karena tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 2 m makapemangkasan
sebaiknya dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et al., 1999).
3.
Strip
rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanyamenggunakan rumput
yang didatangkan dari luar areal lahan, yangdikelola dan sengaja ditanam secara
strip menurut garis kontur untukmengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber
pakan ternak. Penelitian yang dilakukan oleh Suhardjo et al. (1997),Abdurachman
et al. (1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwauntuk lahan dengan lereng
di bawah 20% sistem ini sangat efektifmenahan partikel tanah yang tererosi dan
menahan aliran permukaan.Tetapi apabila lahan mempunyai lereng di atas 20%
dibutuhkantindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku.
Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertical sehingga
tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanamanpokok, tidak banyak
membutuhkan ruangan untuk pertumbuhanvegetatifnya, mempunyai perakaran
kuat dan dalam, cepat tumbuh,tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara
tanaman
pokok
danmampu
memperbaiki
sifat
tanah.
Faktor tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip,dan jarak antar-strip
sangat menentukan efektifitas pengendalianerosi. Penelitian terhadap efektifitas
berbagai macam strip rumputyang dilakukan Suhardjo et al. (1997), menunjukkan
bahwa tingkaterosi pada tahun pertama masih tinggi karena rumput belum tumbuh
optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih baik pada tahun keduamampu menekan
jumlah tanah tererosi antara 30-60% padakemiringan di bawah 20%. Sedimen yang
tertahan lama kelamaanakan mendekati bentuk datar sehingga menciptakan bidang
terasalami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun(1976/1977
sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahiamenghasilkan teras alami hasil
endapan partikel tanah terangkutdengan ketinggian sekitar 25-30 cm, sedangkan
pada strip rumputbede sekitar 50-60 cm.
Strip rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usahapeternakan. Penelitian
yang dilakukan oleh Watung et al. (2003) danSubagyono et al. (2004) di sub-DAS
Babon, Ungaran, Jawa Tengah,menunjukkan bahwa integrasi penanaman rumput
baik secara stripmaupun ditanam pada sebagian bidang olah dengan
penggemukansapi terbukti memberikan alternatif yang dapat ditempuh
untukmewujudkan implementasi teknologi konservasi secara berkelanjutan.Hasil
pangkasan strip dapat dimanfaatkan untuk pakan ternaksedangkan kotoran ternak
dapat dimanfaatkan sebagai pupukkandang. Di wilayah sentra produksi peternakan,
teknik ini mudahdiadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat kebutuhan hijauan
pakanternak lebih besar daripada kontribusi pupuk kandang ke lahanpertanian,
kondisi ini dapat diatasi dengan penanaman rumput secarakhusus (padang rumput).
Aspek
keterjangkauan
lahan
dari
7.
Tanaman
penutup
tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yangbiasa ditanam pada
lahan kering dan dapat menutup seluruhpermukaan tanah (Gambar 12).Tanaman
yang dipilih sebagaitanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan
darijenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan,dapat
memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) danmenghasilkan umbi, buah,
dan daun.Sebagaimana dilaporkan Lal(1978), tanaman penutup tanah mampu
meningkatkan laju infiltrasi.
Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et al.,1999), yaitu: (1)
tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema(Centrosema pubescens),
pueraria (Pueraria javanica) dan benguk(Mucuna sp.); (2) tanaman penutup tanah
sedang seperti lamtoro(Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium); (3)
tanamanpenutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes falcataria); dan
(4)belukar lokal.
9.
Penerapan
pola
tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenistanaman sesuai dengan
iklim, kesesuaian tanah dengan jenistanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga,
modal,
dan
pemasaran.
Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah danmengurangi
terjadinya erosi.Biasanya petani sudah mempunyaipengetahuan tentang pola tanam
yang cocok dengan keadaanbiofisik dan sosial ekonomi keluarganya berdasarkan
pengalaman dankebiasaan pendahulunya.Pengalaman menunjukkan bahwa
dalamsuatu usaha tani, erosi masih terjadi.Pemilihan pola tanam yang tepatdapat
meningkatkan keuntungan bagi petani dan meningkatkanpenutupan tanah sehingga
erosi dapat dikurangi.Misalnyapenanaman padi gogo yang disisipi jagung pada
awal musim hujan,setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada saat
beraditanami benguk (Mucuna sp.).Jenis tanaman dapat lebih bervariasitergantung
keinginan
petani
dan
daya
dukung
lahannya.
Pertanaman majemuk yang merupakan salah satu bagiandalam pola tanam pada
dasarnya merupakan sistem dimana satubidang olah ditanami lebih dari satu jenis
tanaman pangan.Misalnyadalam satu bidang olah ditanami sekaligus tanaman
jagung, padigogo, mukuna (benguk), dan kedelai. Sistem ini bertujuan
untukmempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangirisiko
gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilaitambah bagi petani dan
juga termasuk tindakan pengendalian hamadan pengendalian erosi. Pada tahun
1974, hasil penelitian IRRImembuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung
(Ostrinianubilalis) pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacangtanah
berada dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan denganjumlah populasi hama
tersebut
pada
saat
jagung
ditanam
secaramonokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanahakan lebih rapat
sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan airhujan secara langsung dan
menahan aliran permukaan. Sistempertanaman yang termasuk sistem pertanaman
majemuk adalahsistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari
(intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
a.
Pergiliran
tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation) adalah sistem bercocok tanamdimana sebidang
lahan ditanami dengan beberapa jenis tanamansecara bergantian. Tujuan utama dari
sistem ini adalah untukmemutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk
meragamkanhasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan secara intensif
dimana setelah panen tanaman pertama kemudian langsung ditanamitanaman
kedua dan ada pula yang dibatasi periode bera. Daerah yangmemiliki musim kering
(MK) <4 bulan sangat baik untuk menerapkan system ini.
Penggunaansistem pergiliran tanaman intensif secara berurutan, antara
tanamanpertama yang disusul tanaman kedua dan seterusnya mampumenekan erosi
secara nyata dibandingkan lahan yang hanya diolahtanpa ditanami. Pengaruh nyata
tersebut dihasilkan dari fungsitanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien
tanaman = 0,371)serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut
sebagaimulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi.
Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupukdan teknik
konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimaldan lahan yang
dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya.Dari segi konservasi tanah, pergiliran
tanaman memberikanpeluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena
tanamankedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen.Demikianseterusnya,
sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanahsenantiasa dipertahankan.
Kondisi ini akan mengurangi risiko tanahtererosi akibat terpaan butir-butir air
hujan dan aliran permukaan.
b.
Tumpang
sari
Tumpang sari (intercropping) adalah sistem bercocok tanamdengan menggunakan
dua atau lebih jenis tanaman yang ditanamserentak/bersamaan pada sebidang
tanah. Sistem tumpang sarisebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering
yang
hanya
menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem tumpangsari adalah
salah satu usaha konservasi tanah yang efektif dalammemanfaatkan luas
lahan.Tanaman yang ditanam dapat berupajagung dengan kacang tanah, jagung
dengan kedelai, dansebagainya.Tanaman tersebut dapat berupa tanaman
penambatnitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada
prinsipnyasaling menguntungkan.
penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga konversi lahan pertanian
ke nonpertanian.
Jenis-jenis Degradasi Tanah
Erosi Tanah
Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah
berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Beberapa data
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Sedimentasi di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju erosi tanah
dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada 1934/1935, dan naik
lagi menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto 1974).
b. Laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun, mencakup areal 332
ribu ha (Partosedono 1977).
c. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan ditanami
tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981).
d. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur,
sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 % yang ditanami
tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
e. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah Ultisols
berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada tanah Ultisols berlereng
14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985).
Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton tanah/ha lahan
tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun,
dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa
luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9
juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2
juta ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.
Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan
Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas
akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia dalam tanah
atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil penelitian menunjukkan
adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat,
organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al.
1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan
emas liar di Pongkor, Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan
kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran
tanah juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan
cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemaran tanah antara lain adalah
Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah 2000).
Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB dalam Kartodihardjo
(2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali kebakaran hutan, yang
mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda senilai Rp647 miliar.
Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar
selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran
gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983. Selain
tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut
hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000), kebakaran
hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kerugian lainnya
berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan
manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).
Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan
Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang
membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini
menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang
tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Proses degradasi
lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat
menurunkan bahkan
menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan nonpertanian.
Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6 juta ha;
dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al. 2001). Winoto (2005)
menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1 juta ha) telah direncanakan
untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, karena 1,67 juta ha atau
49,2% dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi.
Dampak Degradasi Tanah
Degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas lahan, tetapi juga
mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian.
Produksi dan Mutu Hasil Pertanian
Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui penurunan
kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Langdale et al. (1979) dan Lal
(1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15 t/ha setiap kehilangan tanah
setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan atas memiliki tingkat kesuburan paling
tinggi, dan menurun pada lapisan di bawahnya. Penyebab utama penurunan kesuburan
tersebut adalah kadar bahan organik dan hara tanah makin menurun, tekstur bertambah
berat, dan struktur tanah makin padat.
Penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat proses
degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta konversi lahan
pertanian ke nonpertanian.
Sumber Daya Air
Erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi
juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan cadangan
air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai, dan pengendapan partikel-partikel
tanah yang tererosi di daerah cekungan. Dengan demikian bukan saja lahan yang
terkena dampak, tetapi juga kondisi sumber daya air menjadi buruk.
Multifungsi Pertanian
Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui fungsi gandanya
(multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil produk pertanian (tangible
products) yang dapat dikonsumsi dan dijual, pertanian memiliki fungsi lain yang berupa
intangible products, antara lain mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air
tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang
sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004).
Fungsi sosial-ekonomi dan budaya pertanian juga sangat besar, seperti penyedia
lapangan kerja dan ketahanan pangan. Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan Husen
(2004) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian di Korea Selatan.
Fungsi-fungsi tersebut dapat terkikis secara gradual oleh erosi dan pencemaran kimiawi,
dan dapat berlangsung lebih cepat lagi dengan terjadinya longsor, banjir, dan konversi
lahan. Multifungsi tersebut perlu dilindungi, antara lain dengan strategi sebagai berikut:
(1) meningkatkan citra pertanian beserta multifungsinya, (2) mengubah kebijakan
produk pertanian harga murah, (3) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan
(4) menetapkan lahan pertanian abadi (Abdurachman 2006a).
Permasalahan Konservasi Tanah
Faktor Alami Penyebab Erosi
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi tanah,
terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun
intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi, terutama terkait
dengan genesa tanah
Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki
curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya
17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan
merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas.
Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan.
Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak
berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng < 3%)
hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al.
2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari
lahan datar (< 3%).
Praktek Pertanian yang Kurang Bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim
tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng >
16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara
keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan
Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman,
industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan
pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian
terdesak ke lahanlahan berlereng curam.
Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang tidak
disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang
banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan
teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai
bagian penting dari pertanian.
Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi
Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi
lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa
walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk
perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan
ekonomi.
Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan
upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum
memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan
tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih
ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga
aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal
aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa
mendatang.
Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering
menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas
lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.
Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk
mengabaikan konservasi tanah.
Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa
mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian
(Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu,
faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan
dengan alasan mudah dan murah.
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH
Degradasi tanah diartikan sebagai suatu proses, fenomena atau transformasi yang
menurunkan kualitas tanah, yang menyebabkan sifat-sifat fisika, kimia atau biologi
tanah menjadi kurang sesuai untuk pertanian (Arshad et al. 1998). Oleh karena itu,
konservasi tanah dimaksudkan untuk melindungi tanah dari pengrusakan oleh proses
degradasi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tentang konservasi tanah di
Indonesia terus berkembang sesuai dengan makin bervariasinya jenis dan intensitas
degradasi.
Perkembangan Penelitian Konservasi Tanah
Sejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada tahun 1905,
bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering de Kennis van den
Bodem (Laboratorium untuk Perluasan Pengetahuan tentang Tanah), yang sekarang
menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Kegiatan pengembangan ilmu tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan
konservasi tanah. Namun, penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan
terorganisasi baru dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian
Konservasi Tanah pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara
kronologis, garis besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah dapat dipilah
dalam beberapa kurun waktu sebagai berikut.
Periode 1970-1980
Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah didominasi oleh
kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan beberapa kegiatan penelitian
lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk mengkompilasi berbagai data fisika dan
konservasi tanah serta menguji berbagai metode dan teknologi dasar konservasi tanah
dan air, termasuk penggunaan soil conditioner. Dalam periode ini juga dikembangkan
teknik
simulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss Equation (USLE),
dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984; Abdurachman 1989;
Abdurachman dan Kurnia 1990).
Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah: (1) nilai faktor
erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984), (2) nilai faktor
pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et al. 1984), (3)
penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai lahan pertania, (5)
teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi pengolahan tanah, (7) teknologi
pengendalian erosi, dan (8) teknologi rehabilitasi tanah.
Periode 1980-2002
Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih diarahkan pada kegiatan
lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung dengan penelitian rumah kaca dan
laboratorium. Kegiatan penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada masa ini
cukup aktif dan luas, karena didukung oleh berbagai kerja sama dalam dan luar negeri.
Kegiatan utamanya antara lain (Abdurachman dan Agus 2000; Agus et al. 2005) : (1)
Proyek Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek
Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P3HTA/ UACP) di DAS Jratunseluna dan
Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan
Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996; (4) Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian
Nusa Tenggara, 1986-1995; (5) Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi
Tanah untuk Mengatasi Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian
Usahatani Lahan Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat,
Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok Kerja
Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS Cimanuk, 19952000; (8) Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah, 1995-2004; dan
(9) Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain untuk memformulasikan kebijakan
pembangunan pertanian dan tata guna lahan, 2000-2005.
Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai teknologi dan
sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model kelembagaan dan sistem
diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan lahan juga dihasilkan, seperti
formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai kemiringan lereng, SUT pada wilayah
pegunungan, dan SUT lahan kering beriklim kering. Bahkan Permentan No. 47/2006
tentang Pedoman Budidaya pada Lahan Pegunungan, pada hakekatnya merupakan
kristalisasi, penjabaran, dan aplikasi dari hampir seluruh kegiatan atau program
penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada periode ini.
Periode 2002-2007
Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena tidak banyak
lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang luas. Kegiatan lebih
banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk menyusun
baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah, buku petunjuk konservasi tanah, dan
sebagainya. Pada periode ini juga diupayakan pengembangan dan diseminasi iptek Prima
Tani di berbagai lokasi, terutama pada lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain
diarahkan pada upaya perakitan teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi,
seperti lahan bekas tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang
tergenang lumpur di Sidoarjo.
Perencanaan Konservasi Tanah
Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke memiliki tanah
dan unsur-unsur iklim yang sangat beragam, sehingga tingkat bahaya erosi pun
berbeda-beda antara satu wilayah dengan lainnya. Oleh karena itu, data dan informasi
tentang jenis dan besaran faktor-faktor penyebab erosi sangat penting sebagai dasar
perencanaan konservasi tanah yang efektif dan efisien.
Secara umum, faktor-faktor penyebab erosi dapat digambarkan dengan persamaan
umum erosi (USLE, Wischmeier dan Smith1978). Untuk wilayah Indonesia, nilai faktor
erosi dapat dihitung dengan rumus-rumus yang ditemukan dari hasil penelitian di
berbagai stasiun percobaan, antara lain penghitungan nilai erosivitas (Abdurachman
1989), nilai erodibilitas (Abdurachman 1989), dan faktor panjang dan kemiringan lereng
(LS) yang dihitung menggunakan rumus Morgan. Beberapa percobaan lapangan yang
dilakukan sejak tahun 1970-an telah menghasilkan nilai C untuk berbagai jenis tanaman
(Abdurachman et al. 1984). Faktor tindakan konservasi tanah dihitung de-ngan rumus 5
(Tabel 1). Nilai faktor P dan CP hasil percobaan Lembaga Penelitian Tanah telah
dipublikasikan (Abdurachman et al. 1984) dan digunakan dalam penelitian dan
perencanaan konservasi tanah.
Untuk keperluan perencanaan konservasi tanah atau perluasan areal pertanian, metode
prediksi erosi USLE dapat digunakan dengan hasil yang baik (Abdurachman 1997).
Penilaiannya adalah dengan membandingkan jumlah tanah tererosi dengan batas
ambang erosi atau tolerable soil loss.
atas. Teknologi konservasi yang diterapkan antara lain adalah teras bangku, teras gulud,
strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (alley cropping). Teknik konservasi yang
paling banyak diadopsi adalah teras bangku, karena sejak tahun 1975 teknik konservasi
ini telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan setelah diterbitkannya Inpres
Penghijauan (Mangundikoro 1985). Teknik pertanaman lorong banyak diteliti dan
didiseminasikan antara lain untuk menguji berbagai jenis tanaman yang cocok untuk
tanaman pagar, dan mempelajari kontribusi serta kompetisi tanaman pagar terhadap
tanaman lorong (Haryati et al. 1995; Abdurachman 2003).
Teknik pengendalian degradasi tanah telah dipublikasikan dalam buku, prosiding, dan
petunjuk teknis. Teknologi konservasi tanah yang telah dipublikasikan dalam bentuk
buku antara lain adalah teknologi konservasi tanah mekanik (Dariah et al. 2004),
teknologi konservasi tanah vegetatif (Santoso et al. 2004), teknologi konservasi tanah
pada budi daya sayuran dataran tinggi (Kurnia et al. 2004), dan teknologi pengendalian
erosi lahan berlereng (Abdurachman et al. 2005).
Prospek ke Depan
Pengetahuan dan teknologi konservasi tanah yang lebih komprehensif makin diperlukan
sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi tanah dan lahan
sebagai konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait dengan pemanfaatan
dan pengelolaan lahan. Oleh karena itu, teknologi pengendalian erosi saja tidak cukup,
karena dewasa ini degradasi tanah tidak hanya diakibatkan oleh erosi, seperti halnya
pada 40-50 tahun yang lalu. Degradasi tanah sudah merambah ke proses pencemaran
residu bahan-bahan agrokimia dan limbah industri, aktivitas penambangan, kebakaran
hutan, dan konversi lahan pertanian.
Pencemaran tanah oleh bahan-bahan agrokimia belum sepenuhnya dapat diatasi,
meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengadaan (impor), peredaran, dan
penggunaan senyawa kimiawi. Di lapangan, penggunaan bahan-bahan agrokimia terus
meningkat dari tahun ke tahun (Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Pembakaran hutan yang
masih terus berlangsung belum mampu dicegah dengan pelarangan penggunaan api
untuk pembukaan lahan.
Upaya lain yang mendesak untuk segera ditangani adalah pengendalian degradasi
daerah tangkapan hujan (water catchment area) dan pengendalian konversi lahan
pertanian. Keduanya menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan pertanian,
berupa penurunan produksi pertanian nasional, di samping kerugian besar bagi keluarga
tani, masyarakat, dan pemerintah daerah.
Informasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa ke depan, teknologi dan kebijakan
konservasi tanah dalam arti luas masih perlu dicari dan dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi pengendalian erosi sudah tersedia, namun diseminasinya perlu ditingkatkan
agar dapat diterima dan diadopsi oleh pengguna lahan (Abdurachman dan Hidayat
1999).
Selanjutnya pada butir (2) ditegaskan strategi utama dalam peningkatan daya saing,
produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi, serta praktek
usaha pertanian yang baik. Dalam usaha ini, pengelolaan konservasi tanah menjadi
komponen utama yang perlu diperhatikan agar tercapai tingkat produktivitas yang tinggi
dan berkelanjutan. Tanpa konservasi tanah, dapat terjadi erosi pada lahan tanaman
pangan sampai 14-15 mm/tahun, seperti di Putat, Jawa Tengah, dan di Punung, Jawa
Timur (Abdurachman et al. 1985), Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang
berlereng 14% di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al.
1985). Mengingat pentingnya konservasi tersebut dalam RPPK khususnya dan
pembangunan pertanian pada umumnya, maka selain aspek teknis di lapangan juga
perlu didukung sistem kelembagaan yang tegas, seperti regulasi dan instansi pemerintah
yang diberi mandat untuk melaksanakan program konservasi, terutama pada lahan
pertanian.
Penetapan Lahan Pertanian Abadi
RPPK mengamanatkan perlunya penetapan, penegasan, dan penegakan hukum bagi
tersedianya lahan pertanian abadi, yang terdiri atas 15 juta ha lahan beririgasi dan 15
juta ha lahan kering. Penetapan ini merupakan salah satu strategi operasional, dengan
tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan pertanian.
Keberadaan lahan abadi tersebut dipandang akan mampu mendukung pemantapan
ketahanan pangan dan peningkatan volume ekspor hasil pertanian. Namun jelas, lahan
abadi tersebut harus dilengkapi dengan instrumen konservasi tanah yang efektif agar
tidak berubah menjadi lahan tidur dan terbengkalai. Penetapan lahan abadi merupakan
manifestasi dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan konservasi lahan pertanian
Penetapan lahan sawah abadi 15 juta ha harus didasarkan atas kriteria yang jelas, baik
dari aspek teknis maupun aspek hukum, budaya dan sosial, serta dilakukan secara
bertahap. Sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya 7,78 juta ha (BPS 2003),
dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai sawah tadah hujan. Dengan
menggunakan kriteria biofisik lahan, produktivitas, indeks pertanaman, dan status
irigasi, lahan sawah yang layak dijadikan sawah abadi hanya 3,3 juta ha (Abdurachman
2004).
Sementara ini, areal pertanian lahan kering cukup luas, yaitu 39,6 juta ha (BPS 2004),
terdiri atas tegalan (15,6 juta ha), pekarangan (5,7 juta ha), perkebunan (18,3 juta ha),
lahan kayu-kayuan (10,4 juta ha), serta lahan terlantar (10,2 juta ha). Dengan
demikian, menemukan lahan kering abadi 15 juta ha tidak sulit, cukup dengan memilih
lahan pertanian yang sudah ada saat ini.
STRATEGI KONSERVASI TANAH DI INDONESIA
Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan
petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan, selain kurang
memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting
dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan
implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut
meliputi lima hal sebagai berikut.
Strategi 1 Penyiapan Teknologi Konservasi
Teknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian erosi dan
longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam berbagai
media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah
mengumpulkan dan menyusunnya dalam buku teknologi atau menyediakan file
elektronis, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna
lainnya. Teknologi untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi
oleh limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan
dikembangkan lebih lanjut.
Strategi 2 Percepatan Diseminasi
Upaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem diseminasi
yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek
reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran utaman
proyek tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan
konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS
hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan
kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung
pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian metode
diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya sendiri.
Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah percepatan
diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah satu tujuannya adalah
mempercepat diseminasi inovasi pertanian (Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani
merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program
pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga
bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya
manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan
semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi
konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan. Lebih
jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model pembangunan
pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru sejarah pembangunan
pertanian (Abdurachman 2007).
Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan
penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada
Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan
teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik
lokasi. Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta
sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan
konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.
Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi Tanah
Pada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian dibentuk
kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dengan
Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih tertibnya
pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat konservasi tanah masih diletakkan pada
tingkat jabatan yang relatif rendah (eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi,
dan Reklamasi Lahan.
Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam keberlanjutan dan
tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas, antara
lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi
tanah di Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan
setingkat eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan lebih
baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan demikian akan ada
kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia.
Strategi 4: Relokasi Program Konservasi Tanah
Program konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, dengan
nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003
digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan
anggaran Rp8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi
(Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan
untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran
drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti, terutama
untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya program
konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di Departemen
Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di provinsi dan
kabupaten. Dengan demikian, konservasi lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih
besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan
konservasi kawasan hutan.
Strategi 5: Pelaksanaan Program Pendukung
Upaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan
implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.
masalah degradasi kawasan hutan akan dapat diatasi dengan lebih efektif oleh
Departemen Kehutanan.
5. Melaksanakan program-program pendukung, yaitu: (a) peningkatan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pertanian dengan multifungsinya, (b) penguatan
kelembagaan penyuluhan pertanian, termasuk pengadaan tenaga khusus
penyuluh konservasi tanah, (c) penegakan hukum dalam perkara yang berkaitan
dengan perlindungan lahan pertanian,dan (d) advokasi intensif kepada
masyarakat luas untuk memberikan penjelasan bahwa penyelamatan sumber
daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung
jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.
PENUTUP
Sumber daya lahan Nusantara merupakan anugerah dan amanat dari Tuhan Yang Maha
Pemurah kepada seluruh bangsa Indonesia. Amanat ini seharusnya
dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan
pendayagunaannya untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan,
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sumberdaya lahan pertanian dan kawasan
hutan digunakan secara tidak rasional, sering ditujukan hanya untuk memperoleh
keuntungan jangka pendek semata. Hal ini menimbulkan dampak buruk berupa
penurunan produktivitas pertanian, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan
berkepanjangan
Apabila cara-cara mengelola sumber daya lahan tersebut tidak diperbaiki sesuai
karakteristik masing-masing lahan maka ancaman malapetaka pasti akan bertambah
besar. Hal ini telah diperingatkan pada 14,5 abad yang lalu, dalam Alquran: QS 30:
41: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan-tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) .
Semoga peringatan keras ini menggugah kesadaran dan kearifan kita semua, dan ke
depan seyogianya kita lebih waspada dan bijak dalam mengelola sumber daya alam yang
dititipkan kepada kita sekalian, bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman
untuk usaha konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3: 7-11.
Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam
usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk 4: 41-46.
Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation
and Variation with Time. Doctorate Thesis. University of Ghent, Belgium. 195 hlm.
Agus, F., R.L. Watung, Wahyuno, Irawan, A.R. Nurmanaf, Sutono, and S. Talaohu. 2005.
Assessment of the multifunctionality of agriculture. Environmental aspects and
community evaluation. Report of Phase I: Evaluation of Multifunctionality of Paddy
Farming and Its Effects in ASEAN Countries. p. 93-154.
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di
Jawa Barat. dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi
Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Arshad, M., A. Khalid, and Z.A. Zahir. 1998. Degraded soils and organic matter. APO
Seminar on Soil Degradation. Univ of Agriculture. Faisalabad, Pakistan, 19-24
October1998. p. 15.
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 1998. Planning for Fire
Prevention and Drought Management Project, Jakarta. BMG (Badan Meteorologi dan
Geofisika). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG. Jakarta BPS (Badan Pusat Statistik).
2003-2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budiastoro. 2004. Teknologi konservasi tanah mekanik.
hlm. 109-132. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dudal, R. 1980. An
evolution of conservation needs p. 5-12. In R.P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation,
Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.
Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada
ekosistem lahan sawah irigasi di Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian
Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi
Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran
permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada
Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan PenelitianTanah dan Pupuk 13:
40-50.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam
Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hudson, N. W. 1980. Social, Political and economics aspects of soil conservation. p. 4554. In P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation Problems and Aspects. John Wiley & Sons,
USA. Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan
Partosedono, R.S. 1977. Effects of Mans Activity on Erosion in Rural Environments and
Feasibility Study for Rehabilitation. Publ. 113: 53-54. Paris. IAHS AISH. Parish, F. 2002.
Peat-lands, biodiversity and climate change in SE Asia, an overview. Workshop on
Prevention and Control of Fire in Peatlands. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002.
p. 11.
Santoso, D., J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi
tanah vegetatif. hlm. 77-108. Dalam Kurnia et. al. (Eds): Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. p. 361-364. Proc. First
International Congress of Ecology. The Hague.
Soeyitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman
pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi
Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia.
hlm. 21-66. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suwardjo, 1981 Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah pada Usahatani
Tanaman Semusim. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Tim Peneliti Baku Mutu Tanah. 2000. Pengkajian Baku Mutu Tanah pada Lahan Pertanian.
Laporan Akhir kerja sama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup
Bappeldada Jakarta dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. No. 50/Puslittanak.
Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan
implementasinya. Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian
Abadi. Bogor. hlm. 8.
Wischmeier, W.H. and D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A Guide to
Conservation Planning. USDA Agric. Hand Book 537, Washington
DC.