Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasien yang melakukan perawatan ortodontik tidak memandang usia
dan jenis kelamin, dari remaja sampai tua dan dari berbagai macam suku
yang dari setiap sukunya memiliki representative nilai ideal yang berbedabeda.Pada dasarnya prinsip dan tujuan perawatan ortodonsia untuk mencapai
fungsional pengunyahan, keseimbangan struktural, dan keselarasan estetik
wajah. Posisi gigi dan rahang yang telah selesai dikoreksi pada perawatan
ortodontik jika hasilnya tidak menunjukkan bentuk wajah yang harmonis
maka perawatannya di anggap belum selesai. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa konsistensi dari jangan lunak akan berhubungan dengan
jaringan keras dan jaringan lunak, serta menentukan efek dari jaringan keras
terhadap estetik wajah. Estetis wajah analisa radiografi sefalometri lateral
cukup membantu dalam penentuan bentuk profil ideal (Rostina, 2009)
Dalam sefalometri lateral terdapat tiga parameter yang dapat diukur
yaitu dental, skeletal, dan jaringan lunak. Untuk penilaian estetis wajah para
ahli menggunakan analisa profil jaringan lunak. Analisis jaringan lunak sudah
banyak diteliti pada ras kaukasoid dengan menggunakan metode Ricketts dan
Holdaway. Metode tersebut masih perlu dipertimbangkan untuk menjadi
pedoman penelitian yang diterapkan untuk bangsa indonesia sebab untuk
analisa profil jaringan lunak Riketts mempergunakan garis estetis (garis E)
yang di tarik dari titik pogonion kulit ke puncak hidung, sedangkan Holdaway
mempergunakan garis harmoni (garis H) yang ditarik dari titik pogonion ke
titik labial superior. Analisa profil jaringan lunak Holdaway lebih terperinci
karena melakukan sampai 11 analisis dan tidak mempergunakan tinggi hidung
sebagai titik penentu analisanya yang dimana hidung bangsa Indonesia rerata
lebih rendah dari pada ras Kaukasoid (AlBarakati, 2012).
Beberapa metode lain yang dapat digunakan untuk menganalisa profil
jaringan lunak seperti metode Ricketts, Downsm Broadbent and associates,
Stainer,dan Sassouni. Metode-metode tersebut memiliki standar nilai yang
berbeda untuk menganalisis profil jaringan lunak, nilai yang digunakan

biasanya dari pasien Kaukasoid saja. Sassounied dan Ricketts mengatakan


bahwa perbedaan suku etnik akan mempengaruhi nilai yang didapat.Variabel
jaringan lunak seperti ketebalan bibir, ketebalan pipi dan lainnya dapat
memberikan kebalikan hasil dari kasus kamuflase jaringan lunak, sebagai
contoh bibir dapat lebih protrusif atau retrusif dari indikasi pengukuran
dentoskeletal karena bibir dapat lebih tebal atau tipis. Penemuan ini sangat
penting dibutuhkan dalam analisis jaringan lunak sefalometri sebagai profil
wajah yang baik dan mencerminakan antara berbagai bentuk wajah yang
tergantung dari posisi gigi, posisi tulang dan ketebalan jaringan lunak
(Jacobson, 1995).
Pengetahuan dan kesadaran dokter gigi mengenai pola dentofacial
setiap jenis suku akan menjamin kesuksesan perawatan yang lebih baik untuk
membangun keharmonisan wajah yang optimal, sebab setiap suku memiliki
representative nilai ideal yang berbeda-beda. Terdapat dua jenis suku di
Indonesia yaitu suku Deutro Melayu yang terdiri dari suku Aceh (kecuali
Gayo dan Alas), Melayu, Minangkabau. Betawi, Sunda, Jawa, Madura, Bali,
Makasar, Bugis dan Menado sedangkan yang termasuk suku Proto Melayu
yaitu suku Batak, Dayak dan Toraja. Kecenderungan perbedaan bentuk wajah
dari dua suku ini yang berbeda, untuk suku Protopha Melayu memiliki
kecenderungan profil wajah brachiocephali, sedangkan suku Deutro Melayu
memiliki kecenderungan profil wajah dolicocephali (Susanto, 1993).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian mengenai perbandingan profil jaringan lunak antara ras Proto
Melayu dan Deutro Melayu dengan menggunakan metode Holdaway.
B. Rumusan Masalah
Berapa besarkah perbedaan profil jaringan lunak antara antara suku
Proto Melayu dan Deutro Melayu dengan menggunakan metode Holdaway
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar perbedaan
profil jaringan lunak antara suku Proto Melayu dan Deutro Melayu dengan
menggunakan metode Holdaway

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Menambah referensi tentang besar perbedaan profil jaringan lunak antara
suku Proto Melayu dan Deutro Melayu dengan menggunakan metode
Holdaway
2. Praktis
a. Memberikan informasi tentang besar perbedaan profil jaringan lunak
antara suku Proto Melayu dan Deutro Melayu dengan menggunakan
metode Holdaway
b. Memberikan informasi tentang cara tracing profil jaringan lunak
menggunakan metode holdaway
c. Memberikan informasi mengenai cara menganalisis hasil tracing
jaringan lunak
3.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Etnik/Ras
Penelitian terhadap asal usul bangsa indoesia telah terbukti bahwa
nenek moyang bangsa indonesia sebagain besar adalah ras Melayu yang
berasal dari daerah utara yakni Yunnan di Cina Selatan dan Dongson di
Vietnam Utara. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras
Paleomongoloid yang disebut juga dengan ras Melayu. Ras Melayu terdiri
dari kelompok Proto Melayu dan Deuto Melayu. Kelompok Proto Melayu
datang ke Indonesia pada 2000 S.M, sedangkan Deutro Melayu datang ke
Indonesia pada 1500 S.M. Pada mulayanya kelompok Proto Melayu
menempati pantai Sumatera Utara (Batak), Kalimantan Barat (Dayak) dan
Sulawesi Barat (Toraja) kemudian pindah ke pedalaman karena terdesak
oleh kelompok Deutro Melayu suku yang termasuk kelompok ras Deutro
Melayu adalah orang Aceh, Minangkabau, Lampung, Rejang Lebong,
Jawa, Madura, Bali, Makasar, Bugis, Melayu, Betawi, Manado, dan
Sunda. Proto Melayu memiliki bentuk kepala panjang yang disebut
dolichocephalis sedangkan Deutro Melayu memiliki bentuk kepala
melebar yang disebut brachicephalis (Susanto, 1993).
2. Radiografi
a. Radiografi Sefalometri
Penemuan sinar X oleh William Conrad Roentgen pada tahun
1895 merupakan revolusi di bidang radiografi kedokteran. Keunggulan
radiografi sefalometri dijumpai dalam akurasi, teknik pengambilan
pengukuran kraniofasial. Metode dari sefalometri sendiri dikembangkan
oleh Hofrath dn Broadbent yakni dengan menggunakan alat khusus yaitu
sefalostat yang dapat meletakkan posisi kepala pasien secara akurat dan
stabil dalam pemaparan radiografi. Radiografi sefalometri merupakan
pilar dalam penetapan diagnosa yang komprehensif, penyusunan rencana
perawatan dan evaluasi hasil perawatan ortodonsi. Beberapa fungsi
radiografi sefalometri dalam ortodonti yaitu :
1) Diagnosa ortodonti untuk pemaparan struktur skeletal, dental dan
jaringan lunak
2) Klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental serta tipe fasial
4

3) Pembuatan rencana perawatan


4) Evaluasi hasil perawatan dengan cara pemaparan perubahan yang
terjadi dari perawatan semula
5) Perkiraan arah pertumbuhan
6) Sebagai alat bantu dalam penelitian yang meliobatkan regio kraniodento-facial
Beberapa

kekurangan

dari

radiografi

sefalometri

yaitu

kesalaham pembuatan cephalogram yang disebabkan karena posisi


pasien yang tidak benar, waktu penyinaran yang kurang, penentuan
jarak bidang sagital film yang tidak benar,selain itu dapat terjadi
pembesaran dan distorsi, kesalahan penampkan/ tracing, dan kesalahan
menggunakan metode. Dalam radiografi sefalometri terdapat tiga
parameter yang dapat dilihat yaitu parameter skeletal, dental dan
jaringan lunak. Penggunaan titik-titik untuk menntukan setiap
parameter berbeda antara yang satu dan lainnya. Penggunaan titik
jaringan lunak pada sefalometri pada umumnya adalah sebagai berikut :
1) Nasion kulit (N)

: titik paling cekung pada pertengahan dahi


dan hidung

2) Pronasale ( P / Pr )
3) Subnasale (Sn)

: titik paling anterior dari hidung


: titik septum nasal berbatasan dengan bibir
atas

4) Labrale superior (Ls)

: titik perbatasan mukokutaneus dari bibir


atas

5) Sulcus Labial Superior (Sls) : titik tercekung di antara Sn dan Ls


6) Stomion superior (Stms):titik paling bawah dari vermillion bibir atas
7) Stomion inferior (Stmi) : titik paling atas dari vermillion bibir bawah
8) Labrale inferior (Li)

: titik perbatasan dari membran bibir bawah

9) Inferior Labial Sulcus (Ils): titik paling cekung di antara Li dan


Pogonion kulit juga dikenal sebagat Sulkus
labiomentalis
10) Pogonion kulit (Pog) : titik paling anterior pada jaringan lunak
dagu
11) Menton kulit (Me)

: titik paling inferior pada jaringan lunak


dagu
5

Gambar 1 : Titik yang digunakan pada profil jaringan lunak pada


radiografi sefalometri lateral
b. Metode Holdaway
Analisa jaringan lunak pada radiografi sefalometri dapat
menggunakan beberapa metode seperti drolocky untuk melihat
perubahan jaringan lunak setelah pencabutan, metode smith, ramos dan
holdaway. Metode Holdaway merupakan suatu metode pengukuran
jaringan lunak yang bertujuan untuk menganalisis profile utama bagian
wajah bagian tengah dan bawah. Metode ini merupakan metode analisis
yang paling rinci, jelas dan luas juga tidak mempergunakan tinggi
hidung sebagai titik penentu analisanya yang dimana hidung bangsa
Indonesia rerata lebih rendah daripada ras Kaukasoid.
Pada metode holdaway terdapat dua sudut dan sembilan garis
parameter pengukuran yang terdiri dari (Albarakati, 2012)
1) Skeletal profile convexity
Merupakan jarak dari Titik A ke hard tissue line nasionpogonion (Na-Pog). Kecembungan skeletal tidak termasuk dalam
pengukurann jaringan lunak namun sangat berguna dalam penentuan
kecembungan wajah skeletal yang berhubungan dengan posisi bibir.
Batas normal dari Skeletal profile convexity yaitu -2 sampai dengan
+2mm (Jacobson, 1995).
2) Lower lip to Garis H (LL-Garis H)
Merupakan jarak dari bibir bawah (Li) ke garis H (tarik garis
dari atas dagu ke vermilion). Pada ras Kaukasoid idealnya
jarak bibir bawah ke garis H yaitu 0 mm atau
merupakan garis H menyinggung titik Li. Namun

demikian menurut Holdaway pada ras Kaukasoid masih


dapat dikatakan harmonis dan seimbang jika jarak Li ke
garis H dalam batasan -1 sampai dengan +2 mm. Tanda
negatif menunjukkan letak titik Li di belakang garis H,
sebaliknya dikatakan positif jika terletak di depan garis
H (Jacobson, 1995).
3) Soft tissue facial angle (face angle)
Merupakan sudut yang terbentuk dari persimpangan garis soft
tissue Nasion-garis soft tissue Suprapogonion (N-Pog) dengan
Frankfort Horizontal Plane. Batas normal untuk face angle yaitu 91o
7o (Thompson, 2004). Apabila sudut lebih besar menunjukkan profil
cekung karena letak Pog lebih ke anterior, sedangkan apabila sudut
lebih kecil menunjukkan profil cembung karena letak Pog lebih ke
posterior (Jacobson, 1995)
4) Superior sulcus depth (SS depth)
Merupakan jarak antara sulcus bibir atas (Sn) dan garis tegak
lurus yang digambar dari vermilion ke Frankfort Horizontal Plane.
Batas ideal SS depth yaitu 3mm atau antara 1-4mm (Thompson,
2004). Pada bibir pendek atau tipis yang memiliki SS depth 3mm
masih dianggap normal dan pada bibir tebal atau panjang yang
memiliki SS depth 7mm masih dikatakan normal (Jacobson, 1995).
5) Soft tissue subnasale to Garis H (sub-Garis H)
Merupakan jarak dari subnasal ke garis H. Batas ideal adalah
5mm atau antara 3-7mm (Thompson, 2004).

Menurut Jacobson

(1995) Jarak Sls ke garis tersebut pada bangsa Kaukasoid rerata 2,5
mm, pada kelompok yang mempunyai bibir tipis rerata 1,5 mm dan
4,0 mm pada kelompok bibir tebal. Pada kelompok bibir tipis
menunjukkan kurvatura bibir atas lebih datar sedangkan pada
kelompok bibir tebal menunjukkan lebih dalam (Jacobson, 1995).
6) Basic upper lip thickness (UL-A point)

Merupakan jarak dari 3mm dibawah titik A ke pertengahan


bagian kulit bibir atas. Batas normal yaitu 13-14mm (Thompson,
2004).
7) Upper lip thicness ( UL-vermillion)
Merupakan jarak antara permukaan labial pada insisiv atas ke
vermilion border bibir atas (Ls). Batas normal yaitu 13-14mm
(Thompson, 2004). Jika batas ukur mencapai separuh dari tebal bibir
atas, maka sebaiknya insisive sentralus superior di retraksi ke palatinal
8) H angle
Merupakan pengukuran sudut dari garis H ke soft tissue facial
plane cembung, lurus atau cekung. Batas ideal yaitu 100 (Thompson,
2004). Sedangkan menurut Jacobson (1995) H angle dikatakan
harmonis antara 70-150, juka besar sudut melebihi 150 bentuk profil
dikatakan cembung dan jika besar sudut kurang dari 70 bentuk profil
dikatakan cekung. Jika skeletal convexity meningkan, Garis H juga
akan meningkat sehingga sudut dapat mempengaruhi selurug profil
jaringan lunak.
9) Inferior sulcus to the Garis H (IS-Garis H)
Merupakan jarak titik maksimum lengkungan pada bibir bawah
(ILS) dan garis H. Batas ideal rerata 2,5 mm, pada kelompok
yang mempunyai bibir tipis rerata 1,5 mm dan 4,0 mm
pada kelompok bibir tebal. Pada kelompok bibir tipis
menunjukkan

kurvatura

bibir

atas

lebih

datar

sedangkan pada kelompok bibir tebal menunjukkan


lebih dalam (Jacobson, 1995).
10) Soft tissue chin thickness (chin thick)
Merupakan

jarak

antara

dua

garis

vertikal

yang

mereplesentasikan hard tissue dan soft tissue facial planes pada level
Ricketts suprapogonion (Pog-Pog). Batas ideal antara 10-12mm. Jika
lebih tipis terlihat dagu yang sangat datar. Dagu datar ini dapat
disebabkan oleh inklinasi insisiv inferior lebih protrusif (Jacobson,
1995).

11) Nose prominance ( nose prom)


Merukapan jarak garis tegak lurus Frankfort Horizontal Plane
dan persingungan vermiliin border dari bibir atas ke bawah hidung ke
titik terdepan hidung (P). Batas nose prom yaitu jika dibawah 14mm
dikatakan kecil dan lebih dari 24mm dikatakan besar (Thompson,
2004). Sedangkan menutit Jacobson (1995) batas ideal nose prom
adalah 6mm

BAB III
METODE PENELITAN
A. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian observasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional.
Pendekatan cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan pada
waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen
hanya satu kali, pada satu saat ( Budiarto, 2003)
B. Lokasi Penelitian
Praktik lapangan ini berlokasi di Laboratorium radiologi
universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta
C. Waktu Penelitian
Praktik lapangan ini dilakukan dari tanggal 19 sampai 21
Desember 2013
D. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah data primer. Data primer
adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung
dari sumber datanya.
E. Pengumpulan Data
Teknik praktik belajar lapangan di di Laboratorium radiologi universitas
Prof. Dr. Moestopo (Beragama), sebagai berikut :
1. Cara mendapatkan sample
Pengumpulan radiografi sefalometri di Laboratorium radiologi
universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
2. Perlakuan sample
Pengenalan radiografi sefalometri mulai dari teknik foto, kelebihan dan
kekurangan dan kegunaan radiografi sefalometri. Dilanjutkian dengan
pengenalan sudut, titik dan garis yang terdapat dalam sefalometri,
pengenalan analisis jaringan lunak dan metodenya, tracing radiografi
sefalometri, analisis hasil tracing.
F. Tata Urutan Kerja
Mempelajari teknik radiografi
10

Mempelajari penentuan titik radiografi, cara tracing


dan interpretasinya
Pencarian pasien bersuku Proto Melayu dan Deutro
Melayu
Rontgen sefalometri pasien bersuku Proto Melayu
dan Deutro Melayu
Pembuatan tracing sefalometri dengan menggunakan
metode holdaway
Analisis hasil tracing sefalometri

G. Instrumen
Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
a. radiografi sefalometri
b. acetate matte tracing paper (kertas asetat) 0,003 inci ukuran 8x10 inci
c. scotch tape
d. iluminator/ negatoscope
e. pensil 4H
f. penggaris

11

Daftar Pustaka
AlBarakati, Sahar. Et al. Holdaway soft tissue cephalometric standards for saudi
adult. King Saud University Jouenal of Dental Science. 2012. 3: 27-32
Mehta, Peeyush. Et al. Holdaways soft tissue cephalometric norms for the
population of Lucknow, India. Journal of Oral Health Research. 2010. 1:4
Perabuwijaya, Benny. Analisa konveksitas wajah jaringan lunak secara
sefalometri pada mahasiswa Deutro Melayu FKD USU usia 20-25 tahun.
2007. USU Repository
Sugiyono, Prof. Dr. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, R&D.
Bandung : Alfabeta
Susanto, F.A. Analisa Hubungan Kranio-Dento-Fasial Kelompok Etnik Proto Melayu
Usia 12-19 Tahun Di Medan Pada Tahun 1989 Secara Sefalometri Radiografi.
Majalah Ortodonsia Indonesia. 1993: 58-78.

Rostrina, Tjut. 2009. Analisa Profil jaringam Lunak menurut Metode Hopldaway
Pada Mahasisa FKG USU Suku Deutro Melayu.

Jacobson A, Vlachos C. Soft-Tissue Evaluation, in Radiographic


Cephalometry, Ed. Jacobson A. Quint. Pub. Co., nc.,1995: 239-53

12

Anda mungkin juga menyukai