Anda di halaman 1dari 3

Dibalik Kesuksesan Panadol Hijau

Sumber : Majalah Swa


Tahun ini menjadi momentum luar biasa bagi Panadol Hijau yang dikemas
sebagai obat batuk dan flu (cold & flu). Karena, produk yang diluncurkan
tahun 2001 itu berhasil menembus posisi teratas atau nomor satu di kategori
obat batuk dan flu dalam ajang ICSA 2009 yang diselenggarakan Majalah SWA
bersama Frontier. Obat yang diproduksi PT Sterling Products Indonesia (SPI)
tersebut meraih total satisfaction score sebesar 3,990 dengan brand share
6,1%. Bandingkan dengan angka yang diraih obat ini pada dua dan tiga tahun
sebelumnya. Pada 2007 dan 2008, obat ini bertengger pada peringkat ke-6
dan ke-7. Ini berarti, dalam dua tahun Panadol Hijau berhasil melangkahi 5-6
merek di atasnya.
Pencapaian level tertinggi ini dimungkinkan karena Panadol Hijau mengalami
peningkatan hampir merata di semua indikator penilaian, yaitu quality
satisfaction score (4,089), value satisfaction score (3,913), perceived best
score (4,072) dan expectation score (3,869). Meskipun, jika dicermati,
peningkatan skor ini tidak terlalu besar atau berkisar nol koma sekian, alias di
bawah satu digit.
Untuk diketahui, Panadol bukanlah merek baru. Produk ini sudah hadir di
Indonesia pada 1970-an. Awalnya, ia dikenal sebagai obat analgesik yang
ditujukan untuk meringankan nyeri di kepala dan demam. Kategori ini sudah
sangat mature di pasar farmasi. Pemainnya pun teramat banyak. Elsia
Chandrawati, Head of Marketing SPI, memperkirakan jumlah pemain di
kategori ini lebih dari 140 merek. Ia mengatakan, semua bermain di pasar
yang sama: analgesik. Tak pelak, kanibalisme pun tidak dapat dihindari.
Mereka saling memakan. Karena pasarnya sudah sangat matang, tidak bisa
ekspansi lagi. Paling-paling ya mencuri pasar merek lain, ujar lulusan Ilmu
Bisnis IKIP Jakarta itu.
Dari sini, SPI mencoba mengkaji lagi kebutuhan masyarakat di produk ini. SPI
mencermati, Orang flu pada tahap akhirnya akan mengalami batuk. Akhirnya,
ia harus mengonsumsi dua jenis obat, ujar kelahiran Jakarta, 18 Mei 1963, itu.
Nah, peluang inilah yang kemudian dijadikan landasan SPI meluncurkan
Panadol Cold & Flu atau Panadol Hijau. Tak hanya itu, obat ini juga memiliki
manfaat lain, yaitu tidak menyebabkan ngantuk. Masak tiap flu harus tidak
masuk kerja. Kan tidak produktif, kata Elsia. Ternyata langkah ini cukup
berhasil. Panadol Hijau malah semakin diterima pasar yang membuatnya
memenangi ajang ini. Pencapaian ini sangat membanggakan SPI, mengingat
usia Panadol Hijau yang baru 9 tahun. Bandingkan dengan Panadol Biru yang
beredar sejak 1970 dan Panadol Merah (Panadol Extra) untuk sakit kepala
(kategori berat) yang dirilis sejak tahun 2000.
Alasan Elsia tak berbeda jauh dari pernyataan Simon Jonatan, CEO Brand
Maker (konsultan pemasaran). Simon melihat, langkah ini dilakukan SPI untuk
memperlebar target pasar karena pertumbuhan pasar analgesik sudah
melambat. Lalu, SPI memutuskan berperang dengan obat sakit flu.
Menurutnya, saat ini pasar obat flu dikuasai Sanaflu, Mixagrip, Procold dan
Decolgen. Dengan bahan dasar parasetamol, Panadol merasa memiliki
kemampuan membuat obat flu dan batuk.
Daripada capek, Panadol bikin formulasi yang dulunya hanya parasetamol
dan kafein, ditambah dengan ephedrine dan pseudoephedrine, kata Simon.
Ironisnya, Panadol yang beringsut ke pasar flu dan batuk justru diikuti musuh
besarnya, Bodrex dan Paramex. Jadi, mereka memakan pasar obat flu,
ujarnya. Pasar sakit kepala, flu dan batuk berdempetan. Ia melihat obat flu

tidak bisa masuk ke sakit kepala, yang akhirnya tergerus oleh masuknya
raksasa obat sakit kepala ini. Bila ingin menjadi lebih besar, Panadol harus
lebih fokus dan semakin menyasar segmen menengah-bawah, ujarnya
menyarankan.
Selain kejelian melihat peluang dengan menggabungkan dua kebutuhan
dalam satu produk, keberhasilan Panadol Hijau ini juga didukung kekuatan
umbrella brand-nya, yaitu Panadol. Seperti diketahui, merek Panadol sudah
cukup tangguh sebagai obat yang efektif untuk sakit kepala, nyeri dan
demam. Malah kebanyakan konsumen mengonsumsi Panadol Biru kalau
terserang gejala flu. Jadi, kami tidak repot, Anie Racmayani O. Zetga, Manajer
Merek Panadol, menerangkan. Alhasil, ketika SPI masuk ke kategori baru,
jalannya lebih mudah karena memang antara flu, demam, nyeri kepala dan
batuk sangat berdekatan. Demam dan sakit kepala merupakan bagian dari flu.
Begitu Panadol Cold & Flu masuk, orang langsung accept, Anie
mengungkapkan.
Tantangannya adalah bagaimana menggiring orang yang terkena flu untuk
mengonsumsi Panadol hijau. Untuk itu, Panadol membuat iklan sendiri-sendiri.
Panadol Merah dengan versi angkot, sementara Panadol Hjau menggunakan
Afgan. Kami juga membangun trust kepada konsumen dengan campaign
yang mendidik, kata Anie.
Upaya Anie tampaknya cukup berhasil. Menurut Cecilia Dianasari R., karyawan
jasa paspor dan perjalanan yang tercatat sebagai pengguna Panadol Hijau,
obat ini cukup efektif dan praktis. Karena, saya sering sakit kepala karena
gejala flu. Jadi, daripada makan banyak obat, mending satu saja, ungkapnya.
Panadol Cold & Flu cukup cocok baginya, terutama karena obat tersebut tidak
menyebabkan ngantuk. Ini bukan promosi lho, katanya. Ditanya masalah
harga, Cecil mengaku tidak keberatan. Malah, ia merasa harga tersebut sudah
pas.
Yang pasti, Kami pionir di obat ini, ujar Elsia menegaskan. Alhasil,
pertumbuhannya sangat mengesankan. Nilainya selalu di atas pertumbuhan
pasar,kata eksekutif SPI yang dikenal sebagai spesialis peluncuran dan
pengembangan produk itu. Sayang, ia enggan buka-bukaan soal pertumbuhan
penjualan ini. Diungkapkannya, pasar obat flu dan analgesik tumbuh antara
1% dan 5%. Yang pasti, dengan pencapaian ini, kontribusi Panadol Hijau
terhadap total penjualan Panadol semakin mendekati saudara tuanya, Panadol
Merah dan Panadol Biru. Komposisinya: Panadol Biru 40%, Panadol Merah 35%
dan Panadol Hijau 25%.
Perjalanan Panadol Hijau menjadi pemimpin pasar untuk kategori batuk dan
flu tidaklah ringan. Pesaing kuat Panadol di analgesik, yaitu Bodrex dan
Paramex, terus mengikuti jejaknya dalam tiga tahun terakhir. Pasar yang
tadinya agak tenang sekarang riuh lagi, ujar Elsia. Meski demikian, ia
mengaku Panadol Hijau tetap berada di puncak persaingan kategori obat flu,
terutama di 12 kota besar di Indonesia. Pangsa pasarnya lebih dari 10%,
tuturnya. Meski memimpin di 12 kota besar, bukan berarti Panadol Hijau bisa
menguasai secara nasional. Untuk nasional, Panadol Hijau hanya 5%, kata
mantan pengajar Jakarta College itu.
Untuk ukuran pasar yang berdesakan, angka itu merupakan prestasi
tersendiri. Bahkan, ia yakin pangsa pasar obat flu dan batuk tidak bisa
melebihi 20%. Toh, Elsia melihat masih banyak peluang untuk memperbesar
pangsa pasarnya ke depan. Pasalnya, tingkat loyalitas konsumen obat flu
sangat rendah. Berbeda dari analgesik yang cenderung loyal, konsumen obat
flu sangat tinggi switching-nya. Bisa saja awal tahun dia makan obat X, lalu
saat flu di tengah tahun pindah ke Panadol, kata Elsia.
Lalu, bagaimana dengan distribusi? Diakui Elsia, saat ini Panadol tak
terkecuali Panadol Hijau lebih kuat di pasar modern dan apotek (kanal

modern). Bahkan, ia berani menjamin di pasar itu Panadol termasuk pemain


utama. Nomor satunya bisa mencapai 48% di modern market dan apotek,
ungkapnya. Namun, itu belum seberapa karena pasar yang lebih besar justru
ada di pasar tradisional yang penguasaannya mencapai 70% dibandingkan
pasar modern dan apotek. Masalahnya, bagi SPI sendiri tak mudah masuk ke
pasar tradisional. Karena, untuk masuk ke pasar tradisional, SPI harus masuk
ke warung-warung yang kini jumlahnya diperkirakan Elsia mencapai 1,8 juta
warung. Butuh waktu. Kalau bisa menggarap warung dengan multiproduk,
mungkin akan lebih mudah.
Untuk kepuasan pelanggannya, Panadol selalu melakukan berbagai upaya
yang serius. Pertama, menjaga kualitas produk dengan memenuhi standar
internasional. Karena, sebagai brand internasional, Panadol memiliki standar
keamanan obat yang disesuaikan dengan standar internasional, kata Anie.
Yang kedua, ketersediaan produk di pasar yang kuat. Ini di modern channel.
Selanjutnya, kami masih memperbaiki ketersediaan di pasar tradisional,
katanya lagi. Ketiga, konsisten memosisikan diri. Ia menjelaskan, SPI menjaga
citra dengan benar melalui iklan televisi dan kampanye ke konsumen.
Menjual obat sangat banyak regulasi. Panadol tidak pernah melakukan klaim
khasiat. Apa yang kami katakan, itulah kualitas produk, ujarnya. Ia meyakini
klaim yang berlebihan justru akan mematikan Panadol. Efeknya, bila di
Indonesia jelek, merek lain di luar negeri (90 negara) juga akan buruk.
Berikutnya, menyediakan berbagai varian mulai dari Panadol anak hingga
untuk orang dewasa seperti Panadol Cold & Flu.
Selain itu, Elsia menambahkan, tiap dua bulan sekali pihaknya melakukan
survei kepuasan pelanggan di beberapa kota besar dengan mengambil 1.400
responden. Tujuannya, untuk mengetahui keinginan konsumen. Dari sini SPI
mampu menciptakan semua inovasi dari Panadol. Adanya Panadol dari
dewasa sampai anak-anak juga didapat dari survei tersebut, ujarnya. SPI
kerap melibatkan konsultan seperti Nielsen, IMX dan Euro Monitor dalam
survei ini. Hasilnya, kini Panadol mampu menjual ratusan tablet ke pasaran
tiap tahun.

Anda mungkin juga menyukai