tidak bisa masuk ke sakit kepala, yang akhirnya tergerus oleh masuknya
raksasa obat sakit kepala ini. Bila ingin menjadi lebih besar, Panadol harus
lebih fokus dan semakin menyasar segmen menengah-bawah, ujarnya
menyarankan.
Selain kejelian melihat peluang dengan menggabungkan dua kebutuhan
dalam satu produk, keberhasilan Panadol Hijau ini juga didukung kekuatan
umbrella brand-nya, yaitu Panadol. Seperti diketahui, merek Panadol sudah
cukup tangguh sebagai obat yang efektif untuk sakit kepala, nyeri dan
demam. Malah kebanyakan konsumen mengonsumsi Panadol Biru kalau
terserang gejala flu. Jadi, kami tidak repot, Anie Racmayani O. Zetga, Manajer
Merek Panadol, menerangkan. Alhasil, ketika SPI masuk ke kategori baru,
jalannya lebih mudah karena memang antara flu, demam, nyeri kepala dan
batuk sangat berdekatan. Demam dan sakit kepala merupakan bagian dari flu.
Begitu Panadol Cold & Flu masuk, orang langsung accept, Anie
mengungkapkan.
Tantangannya adalah bagaimana menggiring orang yang terkena flu untuk
mengonsumsi Panadol hijau. Untuk itu, Panadol membuat iklan sendiri-sendiri.
Panadol Merah dengan versi angkot, sementara Panadol Hjau menggunakan
Afgan. Kami juga membangun trust kepada konsumen dengan campaign
yang mendidik, kata Anie.
Upaya Anie tampaknya cukup berhasil. Menurut Cecilia Dianasari R., karyawan
jasa paspor dan perjalanan yang tercatat sebagai pengguna Panadol Hijau,
obat ini cukup efektif dan praktis. Karena, saya sering sakit kepala karena
gejala flu. Jadi, daripada makan banyak obat, mending satu saja, ungkapnya.
Panadol Cold & Flu cukup cocok baginya, terutama karena obat tersebut tidak
menyebabkan ngantuk. Ini bukan promosi lho, katanya. Ditanya masalah
harga, Cecil mengaku tidak keberatan. Malah, ia merasa harga tersebut sudah
pas.
Yang pasti, Kami pionir di obat ini, ujar Elsia menegaskan. Alhasil,
pertumbuhannya sangat mengesankan. Nilainya selalu di atas pertumbuhan
pasar,kata eksekutif SPI yang dikenal sebagai spesialis peluncuran dan
pengembangan produk itu. Sayang, ia enggan buka-bukaan soal pertumbuhan
penjualan ini. Diungkapkannya, pasar obat flu dan analgesik tumbuh antara
1% dan 5%. Yang pasti, dengan pencapaian ini, kontribusi Panadol Hijau
terhadap total penjualan Panadol semakin mendekati saudara tuanya, Panadol
Merah dan Panadol Biru. Komposisinya: Panadol Biru 40%, Panadol Merah 35%
dan Panadol Hijau 25%.
Perjalanan Panadol Hijau menjadi pemimpin pasar untuk kategori batuk dan
flu tidaklah ringan. Pesaing kuat Panadol di analgesik, yaitu Bodrex dan
Paramex, terus mengikuti jejaknya dalam tiga tahun terakhir. Pasar yang
tadinya agak tenang sekarang riuh lagi, ujar Elsia. Meski demikian, ia
mengaku Panadol Hijau tetap berada di puncak persaingan kategori obat flu,
terutama di 12 kota besar di Indonesia. Pangsa pasarnya lebih dari 10%,
tuturnya. Meski memimpin di 12 kota besar, bukan berarti Panadol Hijau bisa
menguasai secara nasional. Untuk nasional, Panadol Hijau hanya 5%, kata
mantan pengajar Jakarta College itu.
Untuk ukuran pasar yang berdesakan, angka itu merupakan prestasi
tersendiri. Bahkan, ia yakin pangsa pasar obat flu dan batuk tidak bisa
melebihi 20%. Toh, Elsia melihat masih banyak peluang untuk memperbesar
pangsa pasarnya ke depan. Pasalnya, tingkat loyalitas konsumen obat flu
sangat rendah. Berbeda dari analgesik yang cenderung loyal, konsumen obat
flu sangat tinggi switching-nya. Bisa saja awal tahun dia makan obat X, lalu
saat flu di tengah tahun pindah ke Panadol, kata Elsia.
Lalu, bagaimana dengan distribusi? Diakui Elsia, saat ini Panadol tak
terkecuali Panadol Hijau lebih kuat di pasar modern dan apotek (kanal