Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

EKSPERIMEN FISIKA 1
Kecepatan Cahaya di Udara
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Eksperimen Fisika 1
Dosen pengampu: Drs. Parlindungan Sinaga, M.Si
Dr. Moh. Arifin, M.Sc.

Oleh :
Anti Haryanti

(1404176)

Pris Izma Unggul Dyana Putri

(1400538)

LABORATORIUM FISIKA LANJUT


DEPARTEMEN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016

A. Tujuan Percobaan
Menentukan Kecepatan Cahaya di Udara
1.
2.
3.
4.
5.
6.

B. Alat dan bahan


Cermin pantul
Emiter
Kabel konektor
Osiloskop
Penggaris
Receiver
C. Dasar Teori
Cahaya merupakan salah satu dari gelombang elektromagnetik. Namun,
berdasarkan teori kuantum cahaya merupakan sederetan paket-paket energi
(yang disebut foton). Tetapi kedua teori ini saling memberikan konstribusi untuk
menjelaskan fenomena itu. Kita tinjau bahwa cahaya merupakan gelombang
elektromagnetik yang merambat dalam suatu medium vakum, karena cahaya
merupakan gelombang elektromagnetik yang dirambatkan, maka gelombang
memiliki energi yang dikandungnya. Dengan kemampuan itu maka cahaya
memiliki kecepatan. Kecepatan cahaya merupakan sebuah konstanta yang
disimbolkan dengan huruf c, singkatan dari celeritas yang berasal dari bahasa
Latin dan berarti kecepatan. Galileo pernah mencoba menentukan keepatan
cahaya dengan menepatkan suatu alat bantu disebuah bukit, sedangkan dirinya
berdiri di atas bukit yang lain dan menghitung cahaya yang menyambar di bukit
itu. Dia gagal karena puncak bukit itu terlalu dekat untuk melakukan
perhitungan. Kemudian, di tahun 1638, Galileo berusaha untuk mengukur laju
cahaya dari waktu tunda antara sebuah cahaya lentera dengan persepsi dari jarak
cukup jauh. Galileo menempatkan dua asisten yang masing masing memebawa
lentera yang berjarak tertentu. Asisten A akan membuka lenteranya dan asisten
B disuruh untuk membuka lenteranya ketika ia melihat cahaya dari lentera A.
Galileo mencoba untuk menghitung waktu yang diperlikan oleh cahaya A
sampai ke B dan kembali lagi ke A. jarak antara A dan B adalah 5 mi tetapi
waktunya hanya 5.10-5 sekon yang mana terlalu kecil untuk Galileo mendeteksi.
Dari hasil percobaan itu diperoleh bahwa waktu perjalanan cahaya itu lebih
kecil dari waktu reaksi manusia, sehingga metoda tersebut gagal menentukan
laju cahaya.

Pada tahun 1676 - 1710, ahli ilmu


bintang bangsa Denmark Olaf Roemer,
berdasarkan

pengamatannya

pada

salah

satu

satelit

planet

Jupiter,

memperoleh

bukti

definitif

bahwa

cahaya merambat dengan kecepatan


yang

berhingga.

mempunyai

12

Planet

Jupiter

satelit,

empat

diantaranya dapat dilihat cukup jelas


dengan

teleskop

sederhana

atau

dengan teropong medan. Tiap satelit


tersebut tampak muncul seperti titik cahaya kecil pada salah satu atau pada sisi
lain planet tersebut. Semuanya bergerak mengelilingi Jupiter, seperti bulan
mengelilingi bumi. Karena bidang orbit masing-masing hampir sama dengan orbit
tempat bumi dan Jupiter beredar, masing-masing akan digerhanakan oleh planet itu
dalam

sebagian

waktu

tiap

kali

gerak

edar.

Roemer mengukur lamanya waktu edar salah satu satelit tersebut berdasarkan
selang waktu antara dua gerhana yang berturut-turut (kira-kira 42 jam). Dengan
membandingkan hasil-hasil yang diperoleh dalam waktu yang cukup lama,
didapatinya bahwa waktu bumi bergerak menjauhi Jupiter, periode selang waktu
tersebut lebih lama daripada harga rata-ratanya, dan waktu bumi mendekati Jupiter,
periode tersebut lebih pendek. Dengan tepat ia mengambil kesimpulan bahwa
sebab perbedaan ini adalah berubah-ubahnya jarak antara Jupiter dan bumi. Dari
hasil pengamatan, Roemer mengambil kesimpulan bahwa cahaya memerlukan
waktu kira-kira 22 menit untuk menempuh jarak yang sama dengan diameter orbit
bumi. Angka terbaik untuk jarak ini, pada zaman Roemer ialah kira-kira
172.000.000 mil. Meskipun tidak ada catatan bahwa Roemer betul-betul melakukan
penghitungan ini, tapi sekiranya ia dapat melakukan berdasarkan data tersebut di
atas, denagan hasil penghitungan kecepatan cahaya sebesar 130.000 mil/s atau

2,1108 m/s.

Pada

tahun 1704, Isaac

Newton juga

menyatakan bahwa cahaya bergerak


pada laju konstan. Dalam bukunya
berjudul Opticks, Newton menyatakan
besaran laju cahaya senilai 16,6 x
diamater Bumi per detik (210.000
kilometer/detik).

Pada

tahun 1725, James

Bradley mengatakan,

cahaya bintang yang tiba di Bumi akan nampak seakan-akan berasal dari sudut
yang kecil, dan dapat dikalkulasi dengan membandingkan kecepatan Bumi pada
orbitnya dengan kecepatan cahaya. Kalkulasi laju cahaya oleh Bradley adalah
sekitar 298.000 kilometer/detik (186.000 mil/detik). Teori Bradley dikenal
sebagai stellar aberration. Sinar cahaya yang datang bintang 1 membutuhkan
waktu untuk mencapai bumi, dan pada saat sinar tersebut tiba, bumi telah
bergeser pada orbitnya, sehingga seolah-olah kita melihat sinar cahaya tersebut
datang dari bintang di lokasi
Kemudian, di tahun 1849 Hippolyte Louis Fizeau (1819-1896) seorang
fisikawan Prancis. Fizeau menggunakan sebuah roda gigi yang dapat diputar
dengan kecepatan tinggi. Jika roda dalam keadaan diam, cahaya dapat melewati
celah di antara gigi dan mengenai cermin. Cahaya itu memantul dari cermin
menempuh kembali tempuhannya semula, sebagian cahaya terus kesumber
cahaya dan sebagian dipantulkan ke pengamat. Bila roda dalam keadaan
berputar, cahaya yang melewatinya menjadi seurutan rentetan gelombang yang
panjangnya tertentu. Pada dua kali lipat kecepatan sudut, cahaya yang melewati
suatu celah menuju cermin dipantulkan kembali melewati celah berikutnya dan
titik cahayanya dapat terlihat jelas oleh pengamat. Dengan diketahuinya
kecepatan sudut, radius roda, jarak antara celah, dan jarak antara roda ke cermin,
maka kecepatan cahaya dapat dihitung. Hasil pengukuran kecepatan cahaya oleh
Fizeau dengan metode ini adalah 3,13108 m/s. Foucault (1819-1898)
memperbaiki

motode Fizeau dengan menggunakan rotasi sebuah cermin

sebagai pengganti roda gigi. Sejak itu digunakan metode tersebut pada
percobaan ini kemudian akan didiskusikan secara mendetail dalam buku
pedoman yang telah disebutkan. Metode Foucault digunakan Michelson untuk
menghasilkan beberapa pengukuran yang akurat dari kecepatan cahaya, dari

pengukuran terbaik ini memberikan nilai untuk kecepatan cahaya yakni


2.99787774 x 108m/s. ini dapat dibandingkan untuk persentase nilai yang
diterima yaitu 2,9977925458 x 108 m/s.
Fisikawan Amerika Albert Michelson (1852-1931) melakukan sederatan
pengukuran laju cahaya yang ekstensif selama perioda lima tahun, dengan
menggunakan cara Foucault. Michelson mendapatkan laju cahaya 2,999110 8
m/s tahun 1880 dan tahun 1920 bersama fisikawan lainnya Michelson mengukur
laju cahaya dengan menggunakan cermin yang berputar yang diletakan di
puncak Mt.Wilson dan puncak Mt.San Antonio yang berjarak 35 km, laju
cahaya terukur adalah 2,9979108. Pengukuran mutakhir tahun 1973 yang
dilakukan Evenson dan kawan-kawan menggunakan metoda yang sama sekali
berbeda yaitu cara laser mendapatkan laju cahaya (299.792,4574 0,0012)
km/s.
Pengukuran laju cahaya secara tidak langsung, yang dilakukan pada tahun itu
prinsipnya mengikuti persamaan:
c=

L1

jarak tempuh
waktu tempuh

Jarak tempuh diukur dengan menggunakan mistar secara langsung dan waktu tempuh
menggunkan beda fase yang ditunjukan oleh dua gelombang cahaya laser pada
osiloskop.

L2
Emmiter

Osiloskop
Receptor

t
t
= 2 1
T2 T1
karena T 1 =T 2=T

maka
1
= (t 2t 1 )
T
=

1
t
T

t= .T
dengan jarak total yang ditempuh oleh cahaya adalah
Keterangan:

x=L1+ L2

L1= jarak dari emiter ke cermin pemantul


L2 = jarak dari cermin pemantul ke receiver
Setelah itu kemudian bisa menggunakan persamaan operasional untuk menentukan
cepart rambat cahayanya
x
x
c= =
t .T
Jika berkas sinar laser yang berasal dari pemancar (emitter) diarahkan ke cermin
pemantul dengan panjang lintasan L1 oleh cermin sinar tersebut dipantulkan ke
penerima (receiver) dengan panjang lintasan L2 dan dengan selang waktu t.
Osiloskop menangkap dua gelombang cahaya, masing-masing dari emitter ketika
cahaya laser dipancarkan dan kedua dari receiver ketika cahaya laser yang
dipantulkan cermin diterima, seperti gambar di bawah ini.

Secara bersamaan, gelombang pertama dibentuk ketika cahaya laser dipancarkan oleh
emitter, gelombang kedua dibentuk beberapa saat setelah cahaya laser berjalan
melalui lintasan optiknya, yaitu dari emitter ke cermin pemantul dan diterima
receiver. Dua gelombang yang dibentuk pada waktu yang tidak bersamaan ini
ditampilkan oleh osiloskop dengan beda fase tertentu, yang bergantung pada panjang
lintasan optik cahaya laser tadi.
D.

Prosedur Percobaan
1. Mengukur suhu awal ruangan percobaan.
2. Menyiapkan alat dan bahan.
3. Menyusun alat percobaan seperti pada gambar berikut

4. Menghubungkan ground pada emitter dan receiver dengan menggunakan lead


5.
6.
7.
8.
9.

wire.
Menghubungkan channel 1 osiloskop pada terminal keluaran emitter.
Menghubungkan channel 2 osiloskop pada terminal keluaran receiver.
Menyalakan emitter dan receiver menunggu sampai modulasinya tetap.
Mengatur fokus laser.
Mengatur cermin pemantul agar sinar yang berasal dari emitter tepat berada

pada pusat cermin.


10. Mengatur posisi vertikal pada osiloskop sehingga channel 1 dan channel 2
berada pada sumbu horizontal yang sama.
11. Menghitung waktu yang diperlukan sinar untuk menempuh lintasan tertentu
dengan cara menghitung besarnya beda fase yang terbaca pada osiloskop
untuk kedua gelombang yang terbentuk.
12. Mencatat besarnya lintasan yang telah ditempuh gelombang.
13. Melakukan percobaan tersebut sebanyak 10 kali dengan mengubah-ubah jarak
antara cermin pemantul dengan emiter dan receiver, lalu menghitung beda fase
gelombang untuk setiap lintasan yang di tempuh.
14. Merapihkan kembali alat dan bahan yang telah digunakan.
15. Mengukur suhu akhir ruangan percobaan.
E.

F.

Data Percobaan
Suhu awal = (23,50 0,05)oC
Suhu akhir = (23,50 0,05)oC
No.

t (ns)

l 1 (cm)

cm
l2

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

5.8
6.0
6.0
6.40
6.60
6.60
6.80
7.00
7.00
7.00

77.1
81.5
82.4
86.2
88.6
89.7
91.8
94.1
95.2
94.3

78.8
82.8
83.2
87.6
89.3
90.1
92.5
95.3
96
94.9

Pengolahan Data
1. Menggunakan Metode Statistik

l 1 (m)

l 2 (m)

l=l 1 +l 2 (m)

x 10
m
( 8 )
s
l
c=
t

Percobaa
n ke t ( x 109 s)

5.80

0.771

0.788

1.559

2.69

6.00

0.815

0.828

1.643

2.74

6.00

0.824

0.832

1.656

2.76

6.40

0.862

0.876

1.738

2.72

6.60

0.886

0.893

1.779

2.70

6.60

0.897

0.901

1.798

2.72

6.80

0.918

0.925

1.843

2.71

7.00

0.941

0.953

1.894

2.71

7.00

0.952

0.960

1.912

2.73

10

7.00

0.943

0.949

1.892

2.70

Jumlah ( c

9
2.72 x 10

c
Rata Rata

8
2.72 x 10

Standar Deviasi ( c )

6
2.17 x 10

( Tabel Pengolahan Data Kecepatan Cahaya di Udara)


Keterangan : Nilai kecepatan cahaya (c) didapat dengan menggunakan rumus
c=

l 1+l 2
x
atauc=
t
t

Besarnya kecepatan rata-rata yaitu,


c =

c
n

9
8 m
c = 2.72 x 10 = 2.72 x 10
s
10

c ( 10

m
)
s

( cc ) (

m
)
s

( cc )2 (

2.69

6
-2.93 10

2.74

2.11 10

m
)
s
12
8.56 10
12
4.47 10

2.76

6
4.28 10

13
1.83 10

2.72

5
-1.56 10

2.44 10

2.70

6
-2.17 10

12
4.72 10

2.72

7.0544 10

11
4.98 10

2.71

5
-6.8939 10

12
4.75 10

2.71

-1.1474 10

12
1.32 10

2.73

6
1.4241 10

2.03 10

6
-1.4331 10

12
2.05 10

2.70

12

( c c )2
didapat, c=

( c c )2 =
(n1)

13

4.25 10
=2.17 106 m/s
101

m
s

Dengan kesalahan relatif,

c
0.0217
x 100 =
x 100 =0.80
c
2.72

Dengan persentase kesalahan jika dibandingkan dengan literatur adalah :


ccliteratur

2.72 x 1082.99 x 108

x 100 =
=9,03
cliteratur
2,99 x 10 8

2. Menggunakan Metode Grafik Origin

13

= 4.25 10

Maka besarnya kecepatan cahaya dari data diatas adalah :

( c c ) =( 2.72 0.0217 ) x 108

10

Berdasarkan grafik hubungan jarak tempuh (x) terhadap waktu (t), didapat
persamaan berikut

y= A+ Bx y=Bx+ A=(2.72351 x0.12912) x 108

dari persamaan tersebut didapat kemiringan kurva yaitu

2.72351 x 10

m/s yang

merupakan nilai cepat rambat cahaya. y pada persamaan di atas adalah 1/t (s-1) dan x
di dalam persamaan tersebut adalah 1/L (m-1).
Dari grafik tersebut diketahui bahwa ketidakpastiannya adalah SD yaitu sebesar
0,01548 x 108 m/s .
Jadi, dengan menggunakan grafik origin di dapat kecepatan cahaya di udara sebesar
c=c c
c=( 2.723 0.015 ) x 108 m/s

c 0,015
=
100 =0.55
c 2,723
G. Analisis
Sebelumnya, telah kita ketaehui bahwa kecepatan cahaya di udara adalah
8

2.99 x 10 m/s

..

Sementara itu, berdasarkan percobaan yang telah

dilakukan diketahui bahwa nilai kecepatan cahaya di udara, yaitu:


1. Melalui metode statistik
c=( 2.72 0.0217 ) x 108 m/s
Dengan presentasi kesalahan,
Persentase

kesalahan

c
0.0217
x 100 =
x 100 =0.80
c
2.72

jika

dibandingkan
8

dengan

literatur

adalah

2.72 x 10 2.99 x 10

ccliteratur
x 100 =
=9,03
cliteratur
2,99 x 10 8

2. Melalui metode grafik origin


c=( 2.723 0.015 ) x 108 m/s
Dengan kesalahan relatif sebesar

c 0,015
=
100 =0.55
c 2,723

dan

Persentase

dibandingkan

literatur

kesalahan

ccliteratur

jika

dengan

adalah

2.723 x 108 2.99 x 108

x 100 =
=9.17
cliteratur
2.99 x 10 8

Dalam melakukan perhitungan berdasarkan data yang telah di dapat, digunakan rumus
gerak lurus beraturan (GLB)

v=

x
t . Hal ini dikarenakan berkas sinar laser tidak

mengalami percepatan/perlambatan karena ia berada di medium yang sama, sehingga


kecepatannya relatif konstan.
Sudut yang dibentuk oleh L1 dan L2 pada percobaan ini tidak memberikan pengaruh
pada hasil perhitungan kecepatan cahaya. Hal ini disebabkan karena, kecepatan
cahaya hanya dipengaruhi oleh jarak, yaitu panjang lintan berkas sinar laser dari

emitter ke cermin (L1) dan jarak yang ditempuh cahaya dari cermin ke receiver (L 2).
Selain itu, kecepatan cahaya juga dipengaruhi oleh waktu tempuh sinar ( t .
Perbedaan antara nilai kecepatan cahaya di literatur dan kecepatan cahaya yang di
dapatkan melalui percobaan memiliki nilai yang berbeda, hal tersebut disebabkan oleh
beberapa sebab, diantaranya:
1. Sulitnya mengarahkan cahaya pantulan dari emitter ke cermin sehingga
cahaya pantulan dari cermin yang diterima oleh receiver pun tidak selalu
fokus, yang kemudian menyebabkan grafik yang terbaca pada osiloskop
terkadang gambarnya kabur.
2. Ketidaktelitian menetapkan garis puncak kedua gelombang pada tampilan
osiloskop.
Untuk mempermudah percobaan dan mengurangi perbedaan yang cukup jauh dengan
literatur, hendaknya dalam percobaan membandingkan lebih akurat mana hasil
perhitungan antara pada jarak yang jauh dengan jarak yang pendek. Pada percobaan
ini, kami mencoba jarak paling jauh L 1 dan L2 adalah 109 cm, hasil yang di dapat
masih cukup baik. Dan jarak terpendek adalah 69 cm. Tetapi untuk 10 data yang kami
lampirkan untuk percobaan ini, kami tidak menyantumkan dengan jarak terjauh dan
jarak terpendek karena kami mengambil data yang terbaik ketika sudah diolah.

Sementara itu, harga kecepatan cahaya di ruang vakum adalah

1
o

lebih besar dari

nilai kecepatan cahaya yang diukur. Kecepatan cahaya dalam suatu medium
berbanding terbaik dengan nilai indeks biasnya. Jika indeks bias semakin besar, maka
kecepatan cahaya semakin kecil dan begitu pula sebaiknya. Maka, pada ruang hampa
cahaya akan lebih cepat merambat dibandingkan di udara karena pada ruang hampa
indeks biasnya lebih kecil dibandingkan dengan indeks bias di udara.
Alat set yang digunakan untuk mengukur kecepatan cahaya di udara seperti yang
digunakan pada percobaan ini tidak akan bisa digunakan untuk menetukan kecepatan
cahaya di medium lain seperti gelas/kaca, air danmedium lainnya karena, medium
medium tersebut memiliki kerapatan dan indeks bias yang berbeda.

Oleh sebab itu, untuk percobaan berikutnya hendaklah dipastikan bahwa berkas sinar
laser sudah fokus serta sudah terarahkan dahulu dengan baik ke cermin pemantul, lalu
dari cermin pemantulkan usahakan agar berkas sinar tepat jatuh di receiver sehingga
garfik yang terbaca pada osiloskop pun lebih jelas dan tidak berubah ubah.
H. Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis dapat disimpulkan bahwa nilai
kecepatan cahaya di udara yang didapat dari hasil percobaan yaitu:
1. Besar kecepatan cahaya yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan
8
menggunakan metode statistika yaitu c=( 2.72 0.0217 ) x 10 m/s

Jika dibandingkan dengan literatur, maka persentase kesalahannya sebesar


9,03 . Sedangkan kesalahan relatifnya sebesar 0.80 .
2. Besar kecepatan cahaya yang diperoleh dari metode grafik origin adalah :
c=( 2.723 0.015 ) x 108 m/s. Jika dibandingkan dengan literatur, maka
presentase kesalahannya sebesar 9.17%. Sedangkan kesalahan relatifnya
sebesar 0.55 .

I. Daftar Pustaka
Anonim. 2012. Apa itu Kecepatan Cahaya (Light Speed) [online]. Tersedia:
http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/10495

diakses

pada tanggal 2 Desember 2016/


Halliday, David dan Resnick, Robert. 1984. Fisika (Terjemahan Pantur Silaban dan
Erwin Sucipto). Jakarta: Erlangga.
Tim Dosen Fisika UPI. 2009. Eksperimen Fisika I. Bandung: Jurusan Pendidikan
Fisika FPMIPA UPI.
Tipler, P.A. 1998. Fisika untuk Sains dan Teknik Jilid II (Terjemahan Dra. Lea
Praseto, M.Sc dan Rahmad W. Adi, Ph.D). Jakarta : Erlangga
J. Lampiran

Anda mungkin juga menyukai