Oleh:
ADIE MUHAMMAD RAHMAN
F24103077
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
34
SKRIPSI
Oleh:
ADIE MUHAMMAD RAHMAN
F24103077
Dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1985
di Jakarta
Tanggal Lulus: 30 November 2007
Menyetujui,
Bogor,
Januari 2008
Mengetahui,
35
RIWAYAT HIDUP
36
KATA PENGANTAR
37
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, pemulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk
memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat benrmanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan
pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis
38
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN..............................................................................................
RIWAYAT HIDUP.....................................................................................
iv
vii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG .....................................................................
B. TUJUAN ..........................................................................................
B. TEPUNG SINGKONG.....................................................................
C. MOCAL............................................................................................
D. PATI..................................................................................................
1. Granula Pati.................................................................................
19
19
39
22
C. METODE ANALISIS....................................................................... 23
1. Kadar Air..................................................................................... 23
2. Kadar Abu...................................................................................
23
3. Kadar Pati.................................................................................... 24
4. Kadar Amilosa dan Amilopektin................................................. 25
5. Nilai pH....................................................................................... 27
6. Bentuk dan Ukuran Pati............................................................... 27
7. Kehalusan.................................................................................... 27
8. Derajat Putih................................................................................ 28
9. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 29
10. Pola Gelatinisasi.......................................................................... 30
11. Analisis Tekstur........................................................................... 30
12. Uji Organoleptik.......................................................................... 31
13. Analisis Korelasi.......................................................................... 31
33
1. Kadar Air..................................................................................... 33
2. Kadar Abu.................................................................................... 33
3. Nilai pH........................................................................................ 34
4. Kadar Pati..................................................................................... 35
5. Kadar Amilosa dan Amilopektin.................................................. 37
B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA................................................... 38
1. Bentuk dan Ukuran Pati................................................................ 38
2. Kehalusan...................................................................................... 39
3. Derajat Putih................................................................................. 40
4. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................. 41
5. Pola Gelatinisasi........................................................................... 44
C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN................... 50
D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSUR KACANG SALUT............. 52
40
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 66
41
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka...................................................
Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989
(Rev.11995)...................................................................................
31
34
59
42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Struktur amilosa.......................................................................
11
Gambar 4.
Struktur amilopektin................................................................
11
Gambar 5.
17
Gambar 6.
20
Gambar 7.
21
Gambar 8.
21
Gambar 9.
43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lmapiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, pH..........................
73
Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajat
Putih......................................................................................
74
79
79
79
80
44
45
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tepung tapioka merupakan salah satu produk hasil olahan singkong
yang banyak digunakan sebagai bahan baku utama maupun bahan penolong
dalam beberapa produk pangan baik di rumah tangga maupun industri. Salah
satu penggunaan tepung tapioka dalam industri pangan adalah sebagai
penyalut pada produk kacang salut. Penyalut pada produk tersebut diharapkan
memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang baik, namun dalam
aplikasinya penggunaan jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan
mutu penyalut yang berbeda pula. Perbedaan mutu produk kacang salut yang
dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang
digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang
sifat atau karakteristik tepung tapioka yang diperlukan bagi suatu penyalut
kacang.
Menurut Radley (1976), fungsionalitas pati pada produk pangan
ataupun nonpangan tergantung dari sifat fisik pati. Sifat fisik pati tersebut
dipengaruhi oleh dua komponen utama dalam pati yaitu amilosa dan
amilopektin. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari
makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio dari amilosa dan amilopektin.
Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati
diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi tekstur produk antara lain gelatinisasi, daya
kembang, viskositas, dan retrogradasi. Faktor pH pada pati juga dapat
mempengaruhi mutu produk berbahan dasar pati. Menurut Taggart (2004),
asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga
menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang.
Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL
(Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung
singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHPUNEJ), yang memiliki potensi menjadi bahan baku utama dalam pembuatan
46
produk kacang salut. Berdasarkan hasil uji coba oleh Subagio (2006),
MOCAL dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis produk
pangan, mulai dari produk rerotian, biskuit, b aha n p e nsu b t it u s i p ad a
mie, hingga p r od u k pangan semi basah. MOCAL mempunyai spektrum
aplikasi yang mirip dengan tepung terigu, tepung beras, dan tepungtepung lainnya, maka MOCAL mempunyai potensi untuk digunakan dalam
penelitian ini.
B. TUJUAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka
dan MOCAL.
2. Mempelajari korelasi antara karakteristik kimia dan fisik sampel tersebut
dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada
produk kacang salut.
3. Menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan
penyalut pada produk kacang salut.
4. Mempelajari karakteristik sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi
terhadap penyalut pada produk kacang salut.
47
A. TEPUNG TAPIOKA
Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam
memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia
atau kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang telah ditemukan
dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari
jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika
umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada
titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga
umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Komposisi kimia tepung
tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka
Komposisi
Serat (%)
Air (%)
Karbohidrat (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Energi (kalori/100 gram)
Sumber: Grace (1977)
Jumlah
0.5
15
85
0.5-0.7
0.2
307
Menurut
Winarno (2002),
48
49
50
Umbi singkong
Pengupasan dan pencucian
Pemarutan
Penyaringan
Pengendapan
Ampas
Pencucian pati
Pengeringan
Pati singkong (tepung tapioka)
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka (Holleman dan Aten,
1956)
B. TEPUNG SINGKONG
Ubi kayu atau singkong merupakan sumber karbohidrat yang penting
setelah padi, jagung, dan sagu. Singkong memiliki nama botani Manihot
esculenta Crantz tapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Singkong
dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan pangan pokok ataupun
diolah
menjadi
produk
setengah
51
oleh
peneliti
terdahulu
seperti
Muharram
(1992),
yang
52
C. MOCAL
MOCAL atau Modified Cassava Flour merupakan produk turunan dari
tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara
fermentasi (Subagio, 2006). Secara teknis, cara pengolahan MOCAL sangat
sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung singkong biasa, namun
disertai dengan proses fermentasi. Singkong dibuang kulitnya, dikerok
lendirnya, dan dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran
singkong dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah
fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga
dihasilkan produk MOCAL (Gambar 2).
Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada
singkong akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi
pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan
menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa
naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan
melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis
menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asamasam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dalam tepung, sehingga
ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang
khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak
disukai konsumen. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh
Jinawi Trenggalek disajikan dalam Tabel 5.
53
Singkong
Pengupasan
Pencucia
n
Pengecilan ukuran
Senyawa
aktif A dan
B
Perendaman
Penggaraman
Larutan Garam
Pengeringan
matahari
Penepungan
Pengayakan
MOCAL
54
D. PATI
1. Granula Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik.
Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno
(2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan
cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam
putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai
pecah, sifat birefringent ini akan menghilang.
55
56
Jumlah atau kadar amilosa pati pada singkong berada pada kisaran
20-27% mirip dengan pati tanaman lain. Pada dasarnya, struktur
amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek -(1,4)D-glukosa dalam jumlah yang besar. Perbedaannya ada pada tingkat
percabangan yang tinggi dengan ikatan
57
Namun demikian,
jumlah air
yang terserap
dan
58
4. Gelatinisasi Pati
Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses
pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula
pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang
dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan
pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan
terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula
pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk
awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula
59
menyatakan bahwa
gelatinisasi merupakan
60
5. Retrogradasi Pati
Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah
mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang
dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang
membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh
karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari
granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas
dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Molekulmolekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut
dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki
kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati
tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk
melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali.
Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan
dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan
demikian mereka menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut
menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap
(Winarno, 2002).
Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar
terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di
luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang
memiliki rantai pendek. Keluarnya molekul-molekul amilosa ini
menyebabkan terjadinya presipitasi (jika konsentrasi pati rendah) atau
membentuk gel (jika konsentrasi pati tinggi).
Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati
memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2)
terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta
panas; (4) terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5)
terbentuknya gel; dan (6) terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi
61
adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu
peyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan keberadaan komponen lain.
E. KACANG SALUT
Kacang salut adalah kacang yang disalut dengan tepung dan bumbubumbu kemudian digoreng hingga matang. Dalam pembuatan kacang salut,
tepung yang digunakan biasanya adalah tepung tapioka ataupun tepungtepungan lain seperti tepung terigu maupun tepung telur yang dapt
memberikan tekstur sesuai dengan keinginan.
Tepung yang digunakan diharapkan akan menghasilkan penyalut yang
mengembang dan memiliki kerenyahan yang baik. Oleh karena itu, untuk
memperkirakan pengembangan tepung biasanya dilakukan analisis tingkat
pengembangan tepung dengan membuat produk berupa papatan. Papatan
merupakan adonan tepung tanpa kacang yang dibentuk bulat-bulat kecil, baik
dalam keadaan sebelum digoreng maupun setelah digoreng.
Salah satu kriteria mutu terpenting dari kacang salut adalah kerenyahan.
Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis dengan menggunakan alat texture
analyzer. Gaya (force) yang dinilai untuk kerenyahan adalah pada puncak
pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (deformasi). Menurut Anonim
(2005), untuk mengukur kerenyahan (fracturability) tidak hanya dilihat dari
gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya
mulai menekan sampel (distance). Anonim (2005) menambahkan, jika hasil
pengukuran sampel memiliki gaya (force) yang sama dengan jarak (distance)
yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan
jarak (distance) yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel
memiliki jarak (distance) yang sama, dengan gaya (force) yang berbeda-beda,
maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya (force) terendah.
Pada Gambar 4 dapat dilihat contoh grafik hasil pengukuran tekstur dengan
Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.
62
F. ANALISIS KORELASI
Analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antara dua
peubah (X dan Y) melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r).
Jadi, r mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol di sekitar sebuah garis
lurus. Bila titik-titk bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan
kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah.
Akan tetapi, bila titik-titik bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan
kemiringan negatif, maka antara kedua peubah tersebut terdapt korelasi
negatif. Hubungan linier sempurna antara kedua peubah terdapat bila nilai r =
1 atau r = -1. Koefisien korelasi antara dua peubah adalah suatu ukuran
hubungan linier antara kedua peubah tersebut. (Walpole, 1995).
Menururt Nugroho (2005), korelasi dapat dilakukan untuk dua variabel
yang berkaitan. Fungsi analisis korelasi yaitu untuk mengukur hubungan antar
variabel dan meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang
63
64
III. METODOLOGI
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu
analisis sifat kimia dan fisik serta tingkat pengembangan tepung tapioka dan
MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL
sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis
tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari
tiap sampel. Diagram alir tahapan penelitian ini disajikan dalam Gambar 6.
65
66
Air
Dicampur
Dipanaskan
Larutan bumbu
Larutan bumbu
Dicampur
Diuleni sampai kalis
Adonan
Papatan
67
bahwa
papatan
berbentuk
lingkaran
sempurna.
Tingkat
V2 x 100%
V1
Keterangan :
V1 = Volume papatan sebelum digoreng (mm3)
V2 = Volume papatan setelah digoreng (mm3)
Coating
pan
Dicampur
Kacang yang
telah disalut
Digoreng
Kacang Salut
68
C. METODE ANALISIS
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
selama 15 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.
Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 5
gram (W) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel
ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam
oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan
berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu
ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan
(selisih bobot 0.0003 gram). Kadar air diukur dengan cara sebagai
berikut:
69
(X - A) x 100%
W
Keterangan :
W = bobot sampel awal (g)
X = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)
A = bobot cawan kosong (g)
Analisis sampel
Sebanyak 1 gram sampel tepung dilarutkan dalam 40 mL HCl
3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250C.
kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan
menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP
sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan
menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6,
kemudian ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan
akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam
erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20
mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada
70
71
ditambahkan air suling sampai tanda tera. Setelah itu, dipipet masingmasing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan amilosa, masing-masing
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Larutan diasamkan dengan
asam asetat 1 N masing-masing sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml.
Lalu ditambahkan 2.0 ml larutan iodine (0.2 gram iod dan 2 gram KI
dalam 100 ml air). kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda
tera, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan dianalisa dengan
Spectronic
Instrumen
20D+
Spektrofotometer
pada
panjang
Analisis sampel
Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu
ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N
ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam water bath
(air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi. Setelah
itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan
ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok.
Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam
asetet 1 N dan 2 ml larutan, kemudian ditambahkan air sampai tanda
tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan
sampel diambil untuk dianalisa dengan Spectronic Instrumen 20D+
Spektrofotometer. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara
mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur
dengan cara sebagai berikut:
72
Keterangan:
A
Fp
= faktor pengenceran
5. Nilai pH
Nilai pH diukur dengan menggunakan Mettler Toledo MP220 pHmeter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan
buffer pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi baru dilakukan pengukuran sampel
dengan membuat suspensi sampel sebesar 10%.
7. Kehalusan
Kehalusan diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker.
Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau
saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan
amplitude. Ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun
dari ukuran lubang terkecil sampai terbesar, lalu dipaling bawah diberi
wadah untuk menampung sisa sampel. Setting pengayakan yang
digunakan adalah dengan getaran sebesar 60 amplitudo dan selama 15
73
Keterangan :
D = bobot sampel yang tertinggal di ayakan (g)
W = bobot sampel (g)
8. Derajat Putih
Derajat putih tepung tapioka diukur dengan menggunakan alat
Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum digunakan
alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki
derajat putih 100% (110.8). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapat
diukur dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang
tersedia sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang
telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai
derajat putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih diukur dengan cara
sebagai berikut:
74
DP (%) =
A
x 100%
Nilai Standar BaSO4 (110.8)
Keterangan :
DP
diukur
dengan
mengeringkan
supernatan
hasil
SP =
X Y
W
75
Keterangan :
SP = swelling power
W = berat sampel (g)
X = berat tabung kosong (g)
Y = berat tabung dan endapan (g)
Kelarutan (%) =
X Y
x100%
W
Keterangan :
W = berat sampel (g)
X = berat cawan kosong (g)
Y = berat cawan dan endapan (g)
76
77
78
TEPUNG TAPIOKA
A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA
1. Kadar Air
Kadar air tepung tapioka menunjukan nilai yang bervariasi (Tabel
8). Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B (12.94 %), sedangkan
kadar air terendah dimiliki oleh tapioka C (9.51%). Kadar air untuk
beberapa sampel tidak berbeda nyata (P>0.05), yaitu antara tapioka D,
E, dan F (Lampiran 5a).
Tabel 8. Kadar air sampel
No.
Sampel
Kadar air (%)
1. Tapioka A
11.75a
2. Tapioka B
12.94b
3. Tapioka C
9.51c
4. Tapioka D
11.00d
5. Tapioka E
10.64d
6. Tapioka F
10.54d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama
menunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Perbedaan kadar air sampel dapat dipengaruhi oleh proses
pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pada industri rumah
tangga, biasanya pengeringan dilakukan secara tradisional yaitu dengan
penjemuran di bawah sinar matahari, sedangkan pada industri besar,
pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pengering
(dryer). Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung
Tapioka, kadar air keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi
standar yang ditetapkan yaitu maksimal 15%, baik tepung tapioka mutu
I, mutu II maupun mutu III.
2. Kadar Abu
Kadar abu tepung tapioka yang diuji ternyata menunjukan nilai
yang bervariasi. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda
79
nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, dan E, tidak
berbeda nyata (Lampiran 5a). Kadar abu sampel disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Kadar abu sampel
No.
Sampel
Kadar abu (%)
1. Tapioka A
0.01a
2. Tapioka B
0.01a
3. Tapioka C
0.03c
4. Tapioka D
0.04d
5. Tapioka E
0.04d
6. Tapioka F
0.02a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama
menunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang dapat
menyebabkan perbedaan nilai kadar abu adalah pada tahap ekstraksi
pati. Pada industri besar, ekstraksi pati dilakukan dengan menggunakan
alat canggih seperti ekstraktor, sedangkan pada industri rumah tangga
ekstraksi dilakukan secara manual dengan menggunakan saringan
bertingkat yang terbuat dari bak kayu. Mineral yang terkandung dalam
umbi singkong dapat ikut terbuang bersama ampas hasil proses
ekstraksi, sehingga kadar abu yang terukur menjadi lebih rendah.
Menurut Asaoka et al. (1992) dalam Sriroth et al. (1999), sifatsifat fungsional pati singkong juga sangat dipengaruhi oleh keadaan
genetik dan kondidi lingkungan penanaman singkong. Sriroth et al.
(1999) melaporkan adanya perbedaan nilai kadar abu tepung tapioka
yang dihasilkan dari empat jenis varietas singkong di Thailand (Rayong
1, Rayong 60, Rayong 90, dan Rayong 50) yang ditanam di lokasi yang
berbeda. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung
Tapioka, kadar abu keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi
standar yang ditetapkan yaitu maksimal 0.6%, baik tepung tapioka mutu
I, mutu II maupun mutu III.
80
3. Nilai pH
Berdasarkan hasil pengukuran, nilai pH sampel berada pada
kisaran 4.0-7.0, dengan pH terendah pada tapioka C yaitu 4.12 dan
tertinggi pada tapioka E yaitu 6.52. Nilai pH keenam sampel berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Nilai pH keenam tepung
tapioka telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh The Tapioca
Institute of America (TIA). Hasil pengukuran pH sampel dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai pH sampel
No.
Sampel
pH
1 Tapioka A
5.18a
2 Tapioka B
5.42b
3 Tapioka C
4.12c
4 Tapioka D
5.02d
5 Tapioka E
6.52e
6 Tapioka F
4.19f
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama
menunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Perbedaan nilai pH pada tiap sampel dapat dipengaruhi oleh
proses pengolahan, terutama pada saat proses ekstraksi, yaitu pada tahap
pemisahan antara air dengan pati. Pada industri rumah tangga, proses
pemisahan pati dengan air dilakukan melalui pengendapan berjam-jam,
sehingga memungkinkan terjadinya proses fermentasi alami oleh
mikroba. Semakin lama pengendapan, asam-asam organik yang
dihasilkan akibat fermentasi akan semakin banyak sehingga pH tepung
tapioka yang dihasilkan menjadi semakin rendah. Berbeda dengan
industri rakyat, pada industri besar ekstraksi pati dilakukan dengan alatalat atau mesin canggih, sehingga proses pemisahan pati dengan air
menjadi lebih cepat. Proses pemisahan yang cepat ini dapat
menghambat terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba.
81
4. Kadar Pati
Kadar pati tertinggi pada tapioka D yaitu 81.00% dan terendah
pada tapioka B, yaitu 72.49%. Kadar pati tapioka A, B, E, dan F tidak
berbeda nyata (Lampiran 5b), begitu pula dengan tapioka C dan D tidak
berbeda nyata (P>0.05). Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan
dalam SNI. Beberapa studi melaporkan kandungan pati yang berbedabeda pada tepung tapioka. Menurut Grace (1977), kadar pati tepung
tapioka sekitar 85%. Sementara itu, Abera dan Rakshit (2003)
melaporkan jumlah kadar pati dari tiga varietas singkong (CMR, KU50,
dan R5) yang diolah dengan cara yang berbeda (penggilingan basah dan
penggilingan kering) yaitu sekitar 96-98%. Kadar pati sampel tepung
tapioka disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Kadar pati sampel
No.
Sampel
Kadar Pati (%)
1. Tapioka A
75.96a
2. Tapioka B
72.49a
3. Tapioka C
81.00b
4. Tapioka D
80.67b
5. Tapioka E
73.05a
6. Tapioka F
73.59a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama
menunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Kadar pati tepung tapioka hasil pengukuran lebih rendah dari
penelitian yang telah ada sebelumnya. Perbedaan kadar pati pada
keenam sampel tepung tapioka ini dapat terjadi karena perbedaan
varietas singkong dan waktu panen singkong. Radley (1976)
menyatakan bahwa kandungan pati singkong meningkat seiring dengan
waktu pemanenan. Waktu yang dibutuhkan umbi singkong untuk
mencapai
kematangan
berbeda
tergantung
iklim
dan
lokasi
82
pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu,
sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah.
Perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses pengolahan.
Abera dan Rakshit (2003) melaporkan bahwa proses penggilingan
kering pada pembuatan tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati
sebesar 13-20%. Selain itu, kadar pati juga dapat berkurang karena
partikel-partikel pati yang berukuran kecil ikut terbuang bersama
partikel serat halus selama proses pencucian pati. Pada proses
penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena
adanya partikel-partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan,
sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit.
83
84
100 m
100 m
100 m
100 m
100 m
100 m
2.
85
No. 140
(106m)
1.
Tapioka A
98.90a
91.81 a
87.72 a
a
b
2.
Tapioka B
99.83
96.81
92.10 b
3.
Tapioka C
99.65a
98.23 b
93.83 b
a
b
4.
Tapioka D
99.83
98.65
93.55 b
a
b
5.
Tapioka E
99.78
98.95
96.98 c
6.
Tapioka F
99.63a
95.69 b
92.43 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama
menunjukan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Kehalusan tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, namun
mengacu pada TIA (The Tapioca Institute of America), maka kualitas
tepung tapioka yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan
kehalusannya, termasuk ke dalam kategori grade C karena kehalusan
semua sampel tepung tapioka telah memenuhi standar lolos ayak pada
ayakan no.60 yaitu 95%. Sementara itu, kehalusan semua sampel tepung
tapioka yang diayak dengan ayakan no.80 dan no.140 tidak memenuhi
standar yang ditetapkan oleh TIA karena tidak memenuhi standar lolos
ayak pada ayakan no.80 dan no.140 yaitu sebesar 99%.
3. Derajat Putih
Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu
juga derajat putih antara tapioka B dan F tidak berbeda nyata, serta
derajat putih antara tapioka C dan E tidak berbeda nyata (P>0.05).
86
Derajat putih terbesar dimiliki oleh tapioka D dan terendah dimiliki oleh
tapioka F.
Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih
sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses
ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika
proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak
komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati.
Secara umum, nilai derajat putih keenam sampel tepung tapioka telah
memenuhi SNI 01-3451-94 baik pada kategori mutu I yaitu minimal
94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu III yaitu kurang
dari 92%. Derajat putih tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Derajat putih sampel
No.
Sampel
Derajat putih (%)
1. Tapioka A
99.91a
2. Tapioka B
95.62b
3. Tapioka C
97.79c
4. Tapioka D
100.00 a
5. Tapioka E
97.90c
6. Tapioka F
95.22b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama
menunjukan
bahwa nilainya tidak berbeda nyata (P>0.05)
4. Daya Kembang (Swelling power) dan Kelarutan
Secara
umum,
swelling
power
akan
meningkat
dengan
87
45.00
40.00
Tapioka A
35.00
Tapioka B
30.00
TapiokaC
25.00
TapiokaD
20.00
Tapioka E
15.00
Tapioka F
10.00
5.00
0.00
60
70
80
90
95
Suhu (oC)
88
Kelarutan (%)
40
35
Tapioka A
30
TapiokaB
25
TapiokaC
20
TapiokaD
15
Tapioka E
10
Tapioka F
5
0
60
70
80
90
95
Suhu (oC)
89
5. Pola Gelatinisasi
Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan
mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat
Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Pengamatan
dilakukan terhadap suhu gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM),
suhu saat viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta (breakdown),
viskositas balik (setback), dan stabiltas pendinginan. Pola gelatinisasi
yang berbeda antar masing-masing sampel dapat terjadi karena
perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati
yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat
fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi, dan viskositas.
Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel tepung
tapioka dikorelasikan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil
pengukuran sifat amilografi tepung tapioka disajikan pada Tabel 16,
sedangkan pola gelatinisasi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar
13.
90
Viskositas
gelatinisasi
Viskositas
Maksimum
95C
95C/20
50C
50C/20
(C)
maksimum
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
(BU)
Stabilitas
fase
pendinginan
(BU)
(C)
Tapioka A
65.25
75.75
1620
640
465
710
820
1155
245
110
Tapioka B
67.50
76.50
1520
630
455
580
680
1065
125
100
Tapioka C
63.75
74.25
1430
530
340
420
490
1090
80
70
Tapioka D
62.25
72.90
1700
700
495
720
810
1205
225
90
Tapioka E
64.50
74.25
1720
650
500
750
900
1220
250
150
Tapioka F
63.75
73.50
950
440
300
340
390
650
40
50
45
2000
1800
1600
Viskositas (BU)
1400
Tapioka A
Tapioka B
Tapioka C
Tapioka D
Tapioka E
Tapioka F
1200
1000
800
600
400
200
50
50
95
95
65
.2
5
62
.2
5
Suhu (oC)
Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka
46
45
46
47
48
49
700.00
r2 = 0.7154
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
0.00
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
Rasio amilosa:amilopektin
50
untuk mengembang
ketika
dipanaskan
dalam
media
minyak
(penggorengan).
Menurut Fleche (1985), pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati
yang lebih cepat untuk terhidrolisis pada ikatan (1,4). Asam dapat
mengganggu
ikatan
hidrogen
51
Anonim
(2005)
menyatakan,
dalam membandingkan
kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak
(distance) yang berbeda dapat dilakukan dengan uji organoleptik untuk
mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi. Skor kerenyahan
yang dihasilkan dari uji organoleptik dapat dilihat juga pada Tabel 18 di atas.
Berdasarkan uji Duncan disimpulkan bahwa skor kerenyahan penyalut
pada produk kacang salut berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(P<0.05). Selanjutnya, hasil uji lanjutan Duncan menunjukan bahwa
kerenyahan tertinggi penyalut pada produk kacang salut tetap dimiliki oleh
penyalut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan penyalut yang memiliki
52
Skor kerenyahan
6
r2 = 0.6847
5
4
3
2
1
0
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan
amilopektin
53
tapioka
yang
secara
nyata
berpengaruh
terhadap
tingkat
54
55
56
breakdown,
dan
stabilitas
pasta
dingin)
dengan
tingkat
57
Nilai
10.91
0.05
4.33
73.29
11.07
88.93
3-30
74.84
12.21
3.97
77.75
7.71
12.13
14.10
21.05
28.07
3.22
5.41
9.72
19.63
29.19
65.25
81.75
1030
570
60
40
Kadar pati pada MOCAL yaitu sebesar 73.29%. Nilai ini lebih rendah
dari standar yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2997-1992, yaitu minimal
75%. Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.11995), tidak
58
mikroba
singkong dapat
100 m
Kehalusan MOCAL
mengacu
pada
SNI 01-2997-1992
yang
59
lolos ayak pada ayakan no.100 kurang dari 90% yaitu hanya 12.21%.
Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.11995), tidak
disyaratkan mengenai kehalusan edible cassava fluor. Nilai derajat putih
MOCAL juga tidak memenuhi SNI 01-2997-1992 yang mensyaratkan derajat
putih untuk tepung singkong yaitu minimal 85%.
Nilai swelling power MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah
bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena masih
adanya komponen lain pada MOCAL yang dapat menghambat terjadinya
swelling. Komponen lipida dapat membentuk kompleks dengan amilosa
sehingga menghambat terjadinya hidrasi air (pengembangan). Dalam
penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar lipida sampel, tetapi
berdasarkan data spesifikasi produk MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi
Loh Jinawi Trenggalek, dilaporkan bahwa kadar lipida MOCAL yaitu sekitar
0.4-0.8%. Kadar lipida MOCAL yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar lipida tepung tapioka dapat menyebabkan swelling power pada
MOCAL menjadi lebih rendah daripada tepung tapioka.
Pola amilografi MOCAL menunjukan nilai yang berbeda pula dengan
tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kadar amilosa
MOCAL bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Suhu gelatinisasi
MOCAL yaitu 65C dengan viskositas maksimum sebesar 1030 BU dan suhu
viskositas maksimum 81.75C. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan
MOCAL dalam mengikat air selama pemanasan sangat rendah, sehingga
jumlah air yang dapat dihidrasi sedikit dan suhu untuk mencapainya lebih
tinggi. Stabilitas pasta panas MOCAL cukup stabil karena memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama
pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas breakdown
MOCAL yaitu 570 BU. Kemampuan MOCAL dalam beretrogradasi juga
rendah, hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas setback MOCAl yaitu
60 BU. Stabilitas pasta MOCAL selama pengadukan pun cukup stabil. Hal
ini ditandai dengan rendahnya viskositas selama fase pendinginan dengan
pengadukan yaitu 40 BU.
60
61
A. KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda
antar sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Kadar air sampel tidak
berbeda nyata antara tapioka D, E, dan F, demikian pula dengan MOCAL.
Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B, sedangkan kadar air terendah
dimiliki oleh tapioka C. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda
nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, E. Kadar abu MOCAL
paling tinggi dibandingkan dengan tepugn tapioka. Nilai pH ketujuh sampel
berbeda. Nilai pH terendah pada tapioka C dan tertinggi pada tapioka E. Kadar
pati tapioka A, B, E, dan F, tidak berbeda nyata, begitu pula dengan tapioka C
dan D tidak berbeda nyata. Kadar pati tertinggi pada tapioka D dan terendah
pada tapioka B. Kadar amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata,
begitu pula antara tapioka C dan F. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh
tapioka A dan yang terendah adalah MOCAL.
Bentuk granula semua sampel yaitu bulat dan oval dengan ukuran yang
hampir seragam. Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata
pada semua sampel tepung tapioka. Kehalusan sampel pada ayakan no.100
tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F. Kehalusan sampel pada
ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, dan F. MOCAL
memiliki kehalusan yang paling rendah dibandingkandengan tepung tapioka.
Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu juga derajat
putih antara tapioka B dan F, maupun antara tapioka C dan E. Nilai swelling
power dan kelarutan pati meningkat dengan bertambahnya suhu pengukuran.
Suhu gelatinisasi terendah pada tapioka D, sedangkan yang tertinggi
pada tapioka B. Terdapat korelasi positif antara suhu gelatinisasi, viskositas
maksimum, viskositas setback, stabilitas pasta panas (breakdown), stabilitas
pasta dingin, dengan amilosa, tetapi tidak berbeda nyata. Viskositas
maksimum (VM) tertinggi pada tapioka E, sedangkan terendah pada tapioka
F. Suhu viskositas maksimum (SVM) tertinggi pada MOCAL, sedangkan
terendah pada tapioka D. Pasta panas tapioka F dan MOCAL cenderung lebih
62
63
(40 BU), dan stablititas pasta dingin (50 BU)) yang berbeda dengan sampel
lainnya memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk
kacang salut. Sementara itu, MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut
pada produk kacang salut karena memiliki tingkat pengembangan papatan dan
kerenyahan penyalut yang sangat rendah pada produk kacang salut.
B. SARAN
Penelitian ini memberikan hasil karakteristik kimia dan fisik yang
berbeda-beda untuk tiap sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Namun
demikian, dalam memperoleh informasi yang lebih baik lagi mengenai tepung
tapioka dan MOCAL yang berkaitan dengan kerenyahan penyalut pada
produk kacang salut, maka penelitian lanjutan yang dapat dilakukan antara
lain :
1. Mempelajari sifat kimia ataupun fisik yang lain pada tepung tapioka dan
MOCAL, seperti sifat termal pati.
2. Karakteristik
seperti
rasio
amilosa
dan
amilopektin
merupakan
64
DAFTAR PUSTAKA
Abera, S. dan Rakshit, K. 2003. Comparison of physicochemical and functional
properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips.
Starch/Starke Vol. 55 : 287-296.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto.
1998. Petunjuk Laboratorium Anlisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB,
Bogor.
Anonim a. 2004. Puffed Food Starch Product. www.patentstorm.us/patents/
6676983/ htm [16 Agustus 2007]
Anonim b. 2005. Quantify Brittleness and Crispiness. www.texturetechnologies.
com / brittle.htm [3 Agustus 2007]
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of
Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.
Asaoka, M., Blanshard, J.M.V., dan Rickard, J.E. 1992. Effects of cultivar and
growth season on the gelatinization properties of cassava starch. Di dalam :
Sriroth, K., et al. 1999. Cassava starch granule structure function properties:
influences of time and conditions at harvest on cultivars of cassava starch.
Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170.
Balagopalan, C., Padmaja, G., Nanda, S.K., dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in
Food, Feed, and Industry. CRC Press, Baco Raton, Florida.
[CAC] Codex Alimentarius Commision. 1995. Edible Cassava Flour (CODEX
STAN 176-1989 (Rev.11995)). Codex Alimentarius Commision, USA.
Chaplin, M. 2006. Starch. www.lsbu.ac.uk/starch.htm [6 Maret 2007]
Charles, A.L., Chang, Y.H, Ko, W.C., Sriroth, K., dan Huang, T.C. 2005.
Influence of amylopectin structure and amylose content on gelling
properties of five cultivars of cassava starches. J. Agric. Food Chemistry
Vol53 : 2717-2725.
[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Gula (SNI 01-2892-1992).
Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Tepung Singkong (SNI 01-29971992). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka (SNI 01-34511994). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
65
66
67
abu
Kadar
pati
(%)
Kadar amilosa
(%)
Kadar
amilopektin
(%)
Ukuran
granula (m)
Kehalusan
(%)
- No.50
- No.100
- No.140
Derajat putih
(%)
Swelling
power (g/g)
- 60C
- 70C
- 80C
- 90C
- 95C
Kelarutan Pati
(%)
- 60C
- 70C
- 80C
- 90C
- 95C
0.01
0.01
0.03
0.04
0.04
0.02
0.005
5.18
5.42
4.12
5.02
6.52
4.19
4.33
75.96
72.49
81.00
80.67
73.05
73.59
73.29
24.01
23.87
15.47
21.30
20.33
17.39
11.07
75.99
76.13
84.53
78.70
79.67
82.61
88.93
3-40
3-40
3-30
3-30
3-30
3-40
3-30
98.90
91.81
87.72
99.91
99.83
96.81
92.10
95.62
99.65
98.23
93.83
97.79
99.83
98.65
93.55
100.00
99.78
98.95
96.98
97.90
99.63
95.69
92.43
95.22
74.84
12.21
3.97
77.75
7.12
24.73
27.59
30.41
31.67
5.84
21.95
25.74
30.28
38.58
9.73
22.58
23.08
25.70
36.77
3.85
24.27
29.06
31.01
35.10
6.30
24.97
29.67
32.27
45.73
9.38
24.11
26.84
29.61
43.41
7.71
12.13
14.10
21.05
28.07
10.39
15.27
20.10
35.74
37.36
2.85
15.36
23.12
23.69
28.72
13.70
14.22
22.18
27.08
36.49
5.87
12.67
19.11
23.67
30.60
2.41
14.15
22.89
24.08
29.42
9.13
19.21
34.25
37.91
38.73
3.22
5.41
9.72
19.63
29.19
68
Sampel
Ulangan
Bobot
sampel
(mg)
Tapioka A
Tapioka B
Tapioka C
Tapioka D
Tapioka E
Tapioka F
MOCAL
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1009.3
1002.4
1001.5
1004.2
1009.4
1006.6
1004.7
1003.4
1002.0
1004.7
1002.2
1001.9
1002.2
1002.3
V
Na2S2O3
blanko
(ml)
26.7
26.7
26.2
26.2
26.7
26.3
27.2
26.7
24.0
24.0
26.3
26.3
24.0
24.0
V
Na2S2O3
Sampel
(ml)
9.95
9.70
9.60
9.50
9.20
9.00
9.95
9.40
7.45
7.60
9.50
9.40
8.15
8.20
Kadar
Pati
(%)
Ratarata
(%)
72.5454
79.3695
72.3235
72.6489
81.4048
80.5941
80.4867
80.8511
72.0269
71.0540
73.3147
73.8577
73.4225
73.1637
75.96
72.49
81.00
80.67
73.05
73.59
73.29
69
Absorban
0.120
0.240
0.370
0.492
0.616
y = 0.0311x - 0.0056
A bs orb an
0.6
R2 = 0.9999
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
10
15
20
25
Tapioka
A
Tapioka
B
Tapioka
C
Tapioka
D
Tapioka
E
Tapioka
F
MOCAL
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
100.3
100.4
100.5
100.3
100.9
101.4
100.1
1003
100.5
100.5
100.3
100.7
101.9
101.3
0.275
0.283
0.271
0.258
0.199
0.184
0.262
0.262
0.217
0.236
0.196
0.193
0.118
0.127
9.0025
9.2797
8.8939
8.4759
6.5788
6.0965
8.6045
8.6045
7.1576
7.7685
6.4823
6.3859
3.9743
4.2637
18.24
17.30
12.53
17.18
14.85
12.80
8.11
70
Panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Tapioka
A
3
5
5
5
5
5
6
4
3
4
2
4
5
4
4.5
3
4
4
3
3.5
2
4
5
Skor kerenyahan
Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka Tapioka MOCAL
B
C
D
E
F
3
4
3
3
7
2
3
4
2
3
5
2
4
6
3
5
6
2
4
6.5
5
5
5
5
2
5
3
4.5
3
3
4
6
4.5
3
5
3.5
5
5.5
4.5
5.5
5
3
3
2
3
3
2
2
4
4
5
4.5
6
3
3.5
5
3
3
3
2
4
2
3
4
6
4
3
4
3
4
6
2
3
6
3.5
3.5
4
2.5
3
4
1
5
5
2
3
5
2.5
5
6
3
5
4
4
3.5
5
3
4.5
5
4.5
4
7
3
3.5
5
3
4
7
2
4
4
4
5
6
3
3
4.5
2
3.5
6
2
2
4
3
3
6
2
2
5
5
4
7
3
3.5
5
3.5
6
6
1
71
Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, dan pH
KAIR
Duncan
Subset
SAMPEL
C
N
2
1
9.503550
10.543500
10.633800
10.994450
Sig.
11.753950
12.937150
1.000
.084
1.000
1.000
KABU
Duncan
Subset
SAMPEL
A
N
2
1
.009900
.014900
Sig.
2
.014900
.019800
.029400
.039100
.044600
.224
.232
1.000
.187
PH
Duncan
Subset
SAMPEL
C
N
2
1
4.120000
4.190000
5.020000
5.180000
5.420000
6.520000
Sig.
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = .000.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.
72
1.000
Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajat
putih
PATI
Duncan
Subset
SAMPEL
E
N
2
1
71.540450
72.486200
73.586200
75.957450
80.668900
80.999450
Sig.
75.957450
.094
.063
AMILOSA
Duncan
Subset
SAMPEL
C
N
2
1
12.532450
12.804400
17.174650
17.300200
Sig.
14.851850
18.240700
.662
1.000
.137
Derajat Putih
Duncan
Subset
SAMPEL
F
N
2
1
95.216600
95.636250
97.788800
97.924150
99.909750
100.00000
2
0
Sig.
.061
.486
.638
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = .033.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.
D
73
N
2
1
98.900000
99.630000
99.650000
99.775000
99.825000
99.825000
Sig.
.248
Kehalusan100
Duncan
Subset
SAMPEL
A
2
91.805000
96.590000
96.810000
98.230000
98.650000
Sig.
98.950000
1.000
1.000
.153
Kehalusan140
Duncan
Subset
SAMPEL
A
N
2
1
87.720000
92.095000
92.430000
93.545000
93.825000
96.980000
Sig.
1.000
.215
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 1.418.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.
74
Sig.
195.676
.000
1.080
.388
42.653
.000
Duncan
SAMPEL
Subset
1
1162.5800
3587.0200
4064.0400
5449.0400
5793.9000
6089.2600
Sig.
1.000
.243
.065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 396985.646.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
b Alpha = .05.
75
df
29
Mean Square
91.556
F
105.429
Sig.
.000
PANELIS
50.065
22
2.276
2.621
.000
SAMPEL
112.370
18.728
21.566
.000
Error
114.630
132
.868
Total
2769.750
161
a R Squared = .959 (Adjusted R Squared = .950)
Duncan
Subset
SAMPEL
23
1
3.391
23
3.435
23
4.043
23
4.087
23
4.587
23
5.391
Sig.
.875
.063
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .868.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.000.
b Alpha = .05.
76
Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power dan
kelarutan pati
AMILOSA
AMILOSA
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SLOPESP
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SLOPEKEL
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
6
.044
.934
6
.221
.674
6
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SETBACK
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
VISKOSITAS
MAKS.
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
BREAKDOWN
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
STABILITAS
FASE
PENDINGINAN
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
T.GELATINISASI
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
6
.633
.177
6
.541
.267
6
.429
.396
6
.542
.267
6
.558
.220
6
77
RATIOAA
KEMBANG
-.846(*)
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.034
-.846(*)
N
KEMBANG
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.034
6
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
1
.
N
SLOPESP
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.264
.614
N
SLOPEKEL
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.337
.514
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
KEMBANG
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
KEMBANG
1
-.194
.712
-.194
.712
78
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
1
.
N
SETBACK
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
6
-.403
.428
N
VISKOSITAS
MAKS.
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
6
-.597
.210
N
BREAKDOWN
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
6
-.559
.249
N
STABILITAS
FASE
PENDINGINAN
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
6
-.209
.692
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SKOR
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SKOR
-.827(*)
.042
-.827(*)
.042
6
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
79
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
1
.
N
SLOPESP
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
-.061
.908
N
SLOPEKEL
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
.449
.372
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
PH
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
PH
1
-.547
.261
-.547
.261
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SETBACK
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
VISKOSITAS
MAKS.
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
BREAKDOWN
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
STABILITAS
FASE
PENDINGINAN
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
6
-.650
.163
6
-.640
.056
6
-.789
.062
6
-.552
.257
6
80
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
RENYAH
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
SKOR
Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N
RENYAH
SKOR
-.748(*)
.896(*)
.047
.016
-.748(*)
-.957(**)
.047
.003
.896(*)
-.957(**)
.016
.003
6
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
= 2.00 mm/s
= 0.50 mm/s
= 10.00 mm/s
= 1.0 mm
= 4.0 mm
= 100 g
= 5.00 sec.
=2
81