Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Pengelolaan Diabetes Melitus pada Pasien Puasa

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam

Diajukan kepada:
Pembimbing Klinik : dr. Zulfachmi Wahab, Sp.PD, FINASIM
Disusun oleh :
Sinta Tri Ciptarini (H2A011042)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
\
Ibadah puasa selama Ramadhan merupakan hal wajib bagi umat Islam.
Pengidap penyakit kronis seperti kencing manis memang dapat mengganti puasa
yang ditinggalkan selama Ramadhan di bulan lain atau membayar fidiah. Meski
demikian, tidak sedikit yang merasa sayang meninggalkan puasa Ramadhan.
Diabetes melitus (DM) atau yang dikenal masyarakat luas dengan sebutan
kecing manis merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
kadar gula darah tinggi yang terjadi karena kelainan produksi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association 2010). Pasien dengan
DM memiliki tiga gejala klasik yaitu polifagia (banyak makan) polidipsia (sering
merasa haus) dan poliuria (sering buang air kecil) disertai dengan berkurangnya
berat badan yang tidak jelas apa penyebabnya.
Studi EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) yang meneliti
12.243 pasien diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan 43% pasien diabetes
melitus (DM) tipe 1 dan 79% pasien DM tipe 2 berpuasa selama Ramadhan.
Diperkirakan terdapat 1,1 hingga 1,5 milyar penduduk muslim diseluruh dunia.
Angka prevalensi diabetes diseluruh dunia sekitar 4,6%, dan bila diproyeksikan ke
hasil studi EPIDIAR ini maka diperkirakan 40 50 juta diabetesi di seluruh dunia
menjalankan puasa Ramadhan setiap tahunnya.
Diabetesi yang berpuasa berisiko mengalami efek samping seperti
hipoglikemia, hiperglikemia dengan atau tanpa ketoasidosis dan dehidrasi. Risiko
ini akan meningkat pada periode berpuasa yang lama. Namun, tidak sedikit yang
tetap ingin menjalani puasa Ramadhan dan meminta saran terkait kondisi
medisnya. Hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa peranan dokter
bukan sebagai penentu atau pemberi fatwa apakah seorang pasien boleh berpuasa
atau tidak. Dokter hanya berperan memberi pandangan dan panduan mengenai
dampak puasa terhadap kondisi medis pasien. Keputusan akhir apakah berpuasa
atau tidak, dikembalikan kepada pasien sendiri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.(2)
Kelainan pada sekresi/kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas
dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM tipe 1 disebabkan
oleh destruksi sel beta pulau Langerhans akibat proses autoimun karena adanya
peradangan pada sel beta. Adanya peradangan sel beta menyebabkan timbulnya
antibody terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen
(sel beta) dengan antibody (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya
sel beta. Insulitis bisa disebabkan macam-macam, diantaranya virus, seperti virus
cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain dimana keadaan ini hanya
menyerang sel beta.
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM tipe 2
disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Jumlah insulin normal,
malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada
permukaan sel kurang. Maka glukosa yang masuk sel akan sedikit. Sehingga sel
akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah
meningkat. Perbedaan dengan DM tipe 1 adalah pada DM tipe 2 disamping kadar
glukosa tinggi kadar insulin juga tinggi atau normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi ini sepenuhnya,
artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari

berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan


glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa. Penyebab resistensi insulin pada DM
tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor seperti obesitas, diet
tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badn serta faktor keturunan
(herediter) menjadi penyebab timbulnya DM tipe 2.
Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal.
Jumlah sel alfa meningkat. Baik pada DM tipe 1 maupun 2 kadar glukosa darah
jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu
akan keluar melalui ginjal. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini disebut penyakit
kencing manis.
Pengelolaan DM jangka pendek bertujuan menghilangkan keluhan atau
gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. Untuk jangka panjang,
tujuannya yaitu mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati,
maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas
DM. Dalam mengelola DM langkah pertama yang harus dilakukan adalah
pengelolaan non farmakologis, berupa edukasi, perencanaan makan dan kegiatan
jasmani. Bila sasaran pengendalian diabetes yang ditentukan belum tercapai
dilanjutkan dengan penggunaan obat/pengelolaan farmakologis. Pada kegawatan
tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, dan stress), pengelolaan
farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya berupa suntikan insulin.

B. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan penatalaksanaan:
Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan tercapainya target pengendalian glukosa darah
Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
Untuk mencapai tujuan terseebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan perilaku
Pilar penatalaksanaan DM
1.
2.
3.
4.

Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani


selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Pada keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, adanya ketonuria insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandir, setelah mendapat pelatihan khusus.
1. Edukasi
Diabetes tipe-2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan


perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.
2. Terapi gizi medis
- Terapi gizi medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci berhasilan TGM adalah keterlibatan
menyeluruh dari semua anggota ttim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan
-

lain dan pasien sendiri serta keluarganya).


Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makanan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah

atau insulin
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
o Karbohidrat
Karbohidat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi
o Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
o Protein
Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi
o Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan
anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6-7g (1 sendok teh) garam dapur
o Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25g/hari
o Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tidak

bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa


Gula alkohol antara lain isomalt,lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol

dan xylitol
Dalam penggunaannya,pemanis bergizi perlu dihitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes

karena efek samping pada lemak darah


Pemanis tak bergizi termasuk : aspartam, sakarin, acesulfame,

potassium, sukrralose, neotame


Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(accepted daily intake /ADI)


Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang sebesarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung kepada beberapa faktor yaitu jenis
umur, kelamin, umur, aktivitas , berat badan dll
Perhitungan berat badan ideal dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:

Berat badan ideal= 90% x (TB dalam cm-100) x 1 kg


Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg
BB normal : BB ideal 10%
Kurus : < BBI 10%
Gemuk : > BBI + 10%

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg) / TB (m2)
Klasifikasi IMT :

BB kurang : < 18,5


BB normal : 18,5- 22,9
BB lebih : 23,0
o Dengan risiko : 23,0-24,0
o Obes I : 25,0- 29,9
o Obes II : 30

Faktor-faktor menentukan kebutuhan kalori antara lain:

Jenis kelamin
Umur
7

Aktivitas fisik atau pekerjaan


Berat badan
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
smeinggu selama lebih kurang 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe-2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan.
4. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
1. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan:
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glidin
Sulfonilurea
- Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
-

diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.


Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan

sulfonilurea kerja panjang


Glinid
- Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan insulin fase
-

pertama
Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu: repaglinid (derivat

asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin)


Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral

dan dieksresi dengan cepat melalui hati


Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
peroxisome proliferator activated reseptor gamma (PPAR-), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di

perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada paien dengan gagal


jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/ retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pada pemantauan faal hati secara
berkala.
Penghambat glukoneogenesis :
Metformin: obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki
ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan

pada

pasien

dengan

gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati , serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau setelah makan.
Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus ,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia.
Efek samping paling sering ditemukan kembung dan flatulens
DPP-IV inhibitor
Cara pemberian OHO :
-

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap


sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis

hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15-30 menit sebelum makan
Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
Repaglinid , nateglinid : sesaat/ sebelum makan
Metformin : sebelum/pada saat/ sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acrbose) : bersama makan suapan

pertama
Tiazolidindion : tidak bergantung kepada jadwal makan

2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
9

Penurunan berat badan yang cepat


Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestational yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan


Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis yaitu:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)


Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang(long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin)

Efek samping insulin


- Efek samping terutama insulin adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin biologis terdiri dari insulin basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayak mampu meniru
-

pola sekresi

insulin fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi

insulin prandial akan menimbulakn hiperglikemia setelah makan.


Terapi insulin substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi

terhadap defisiensi yang terjadi.


Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal(satu macam) berupa;
insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting),

10

kerja menengah (immediate acting), kerja panjang (long acting)


-

atau insulim campuran tetap (premixed insulin).


Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis insulin kerja
cepat atau insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin
prandial, dengan kerja menengah atau kerja panjang untuk koreksi
defisiensi insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan

OHO.
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu terhadap insulin, yang

dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.


Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4
unit setiap3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

3. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupu insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan
jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian Oho tunggal atau
kombinasi OHO sejak dini.
Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari
dua kelompok yang mepunyai mekanisme kerja yang berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO
dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga
OHO. Untuk kombinasi OHO dan insulin yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah dan
insulin kerja panjang)yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya.
11

Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan
diberikan insulin saja.

Kriteria pengendalian DM
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran
kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125
mg/dL dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid ,
tekanan darah dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian
sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan
juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia
dan interaksi obat.
C. Pengelolaan DM pada Pasien Puasa
EFEK PUASA PADA INDIVIDU NORMAL
Efek terhadap Metabolisme Glukosa
Pada individu normal, proses makan akan merangsang sekresi insulin dari sel beta
pankreas. Proses ini pada akhirnya menghasilkan glikogenesis dan penyimpanan
glukosa dalam bentuk glikogen di hati dan otot. Sebaliknya, pada kondisi puasa,
sekresi insulin akan berkurang sementara hormon kontra-regulator seperti
glukagon dan katekolamin akan meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Selama puasa berlangsung, simpanan glikogen akan berkurang dan
rendahnya kadar insulin plasma memicu pelepasan asam lemak dari sel adiposit.
Oksidasi asam lemak ini menghasilkan keton sebagai bahan bakar metabolisme
oleh otot rangka, otot jantung, hati, ginjal dan jaringan adipose. Hal ini
menghemat penggunaan glukosa yang memang terutama ditujukan untuk otak dan
eritrosit.
Pada orang normal dan diabetisi yang gula darahnya tidak terlalu tinggi :
Selama berpuasa, sumber energi diperoleh dari cadangan gula dari hati, cukup

12

untuk puasa 12-16 jam. Kemudian bila puasa lebih lama, baru digunakan
cadangan gula dari lemak dan otot.

Gambar 1 Patofisiologi Puasa pada Individu Normal


Efek terhadap Metabolisme Lipid
Efek puasa Ramadhan terhadap profil lipid bervariasi dalam banyak studi,
mungkin disebabkan perubahan menu diet dan berkurangnya aktivitas. Ziaee dkk
tidak mendapatkan adanya perbedaan kadar trigliserida (TG) yang signifikan
sebelum dan sesudah Ramadhan meski kadar TG meningkat selama Ramadhan.
Kondisi ini diperkirakan akibat konsumsi diet tinggi karbohidrat terutama
konsumsi gula. Penyebab lain adalah perubahan pola konsumsi sumber
karbohidrat dari karbohidrat kompleks (seperti sereal, buah, sayuran) menjadi
karbohidrat sederhana seperti minuman manis atau dengan pemanis buatan selama
Ramadhan.

PERUBAHAN PADA PENDERITA DM SAAT BERPUASA

13

Pada diabetisi yang gula darahnya masih tinggi (>250 mg%), sumber
energi dari hati tidak mencukupi, sehingga lebih cepat dipergunakan cadangan
energi dari lemak dan otot. Akibatnya, penggunaan energi dari lemak
menghasilkan keton, yang dalam jumlah besar merupakan racun bagi tubuh.
Efek Puasa terhadap Metabolisme Pasien Diabetes
Pada pasien DM tipe 1 dan kondisi defisiensi insulin berat akan terjadi proses
glikogenolisis, glukoneogenesis dan ketogenesis yang berlebihan. Kondisi ini
pada akhirnya menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang dapat
mengancam nyawa (Gambar 2). Selain itu, pasien-pasien diabetes memiliki
neuropati otonom yang dapat menyebabkan respons tidak adekuat terhadap
kondisi hipoglikemia.

Gambar 2 Patofisiologi Puasa pada Individu dengan Diabetes


Efek terhadap Berat Badan
Studi EPIDIAR menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perubahan berat
badan bermakna pada pasien diabetes yang berpuasa. Namun, ada laporan yang
menyebutkan peningkatan atau penurunan berat badan setelah berpuasa
Ramadhan. Tidak adanya asupan makanan atau minuman antara waktu sahur dan
waktu berbuka; seringnya pasien tidak membatasi jumlah atau jenis asupan
makanan saat malam; juga akibat pembatasan aktivitas harian selama berpuasa

14

karena kekawatiran hipoglikemia, tampaknya mungkin menjadi penyebab tidak


hanya menurunnya berat badan tetapi juga peningkatan berat badan.
Efek terhadap Kadar Glukosa
Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan signifi kan terhadap kendali
kadar glukosa. Variasi kadar glukosa mungkin disebabkan dari jumlah atau jenis
makanan yang dikonsumsi, keteraturan mengonsumsi obat, pola makan yang tidak
terkendali saat berbuka, atau menurunnya aktivitas fisik. Meski begitu, pasien
diabetes yang berpuasa tetap berisiko mengalami hipoglikemia, hiperglikemia
ataupun

ketoasidosis.

Studi

EPIDIAR

menunjukkan

peningkatan

risiko

hipoglikemia berat yang membutuhkan perawatan sekitar 4,7 kali lipat pada
pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada DM tipe 2. Di sisi lain, risiko
hiperglikemia berat meningkat sekitar 5 kali lipat pada pasien DM tipe 2 dan 3
kali lipat pada tipe 1.
Efek terhadap Profil Lipid
Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan signifikan profi l lipid.
Dilaporkan terdapat penurunan ringan kadar kolestrol total dan trigliserida dan
peningkatan kadar HDL, yang menunjukkan penurunan risiko kejadian
kardiovaskular.
RISIKO TERKAIT PUASA PADA DIABETESI
Studi EPIDIAR menemukan peningkatan komplikasi saat berpuasa. Beberapa
risiko yang sering timbul pada diabetesi saat puasa antara lain hipoglikemia,
hiperglikemia, ketoasidosis diabetikum, dan dehidrasi serta trombosis.

Tabel 1. Kategori Risiko Pasien BM tipe 1 atau 2 yang Berpuasa Ramadhan

15

Risiko Sangat Tinggi


Hipoglikemia berat dalam 3 bulan sebelum Ramadhan
Riwayat hipoglikemia berat
Hipoglikemia yang tidak disadari
Buruknya kendali gula darah yang menetap
Riwayat ketoasidosis dalam 3 bulan sebelum Ramadhan
Kehamilan
Dialisis kronik
Risiko Tinggi
Hiperglikemia moderat (rerata kadar glukosa 10 300 mg/dL atau kadar Aic
7,5 9,0 %)
Insufisiensi renal
Komplikasi makrovaskular
Pasien dnegan terapi insulin atau sulfonilurea yang tinggal sendirian
Usia lanjut dengan komorbid
Dalam pengobatan yang mempengaruhi tingkat kesadaran
Risiko menengah
Pasien diabetes yang terkendali baik dengan insulin sekretagog kerja pendek
Risiko Rendah
Pasien diabetes yang terkendali baik dengan gaya hidup sehat, metformin,
acarbose, thiazolidindione, dan atau terapi berbasis inkretin
Hipoglikemia
Menurut studi EPIDIAR dikatakan bahwa risiko hipoglikemia berat meningkat
sebesar 4,7 kali lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada pasien DM tipe
2. Hipoglikemia terjadi lebih sering pada pasien dengan perubahan dosis
antidiabetik oral dan insulin, dan pada pasien yang melakukan perubahan gaya
hidup signifikan selama puasa.
Hiperglikemia
Kondisi hiperglikemia sangat erat kaitannya dengan beragam komplikasi baik
mikrovaskular maupun makrovaskular. Banyak penelitian menemukan bahwa
pada pasien diabetes yang menjalani puasa, pengendalian kadar glukosa darah
dapat memburuk, membaik atau tidak berubah. Studi EPIDIAR menunjukkan
peningkatan lima kali lipat risiko hiperglikemia berat pada pasien DM tipe 2 dan
tiga kali lipat pada pasien DM tipe 1 yang menjalani puasa Ramadhan.
16

Diperkirakan kondisi hiperglikemi ini terjadi akibat pengurangan dosis


pengobatan yang berlebihan, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah
hipoglikemia. Juga pada pasien diabetes yang meningkatkan pola konsumsi
selama bulan puasa.
Ketoasidosis diabetikum
Pasien diabetes tipe 1, yang menjalankan puasa Ramadhan, mengalami
peningkatan risiko komplikasi ini, khususnya mereka dengan pengendalian
glukosa yang buruk sebelum Ramadhan. Risiko ini makin meningkat dengan
pengurangan dosis pengobatan yang berlebihan.
Dehidrasi dan Trombosis
Saat puasa, terjadi pengurangan asupan cairan jangka panjang (11 16 jam) yang
berisiko menimbulkan dehidrasi. Kondisi dehidrasi ini dapat diperberat dengan
perspirasi (pengeluaran keringat) berlebihan dikaitkan dengan kondisi cuaca terik
dan aktivitas fi sik yang berat. Selain itu, hiperglikemia dapat mencetuskan
terjadinya diuresis osmosis yang dapat menyebabkan deplesi cairan dan elektrolit.
Hipotensi ortostatik dapat terjadi, khususnya pada mereka dengan neuropati
otonom sehingga risiko sinkop, jatuh atau fraktur tulang penting diperhatikan.
Adanya kontraksi ruang intravaskular dapat memicu kondisi hiperkoagulabel.
Peningkatan viskositas darah akibat dehidrasi ini meningkatkan risiko trombosis
dan stroke. Tetapi Temizhan dkk melaporkan bahwa insiden perawatan rumah
sakit akibat penyakit koroner atau stroke tidak meningkat selama Ramadhan.
TATA LAKSANA PASIEN DIABETES YANG BERPUASA
Mengingat banyaknya risiko pada pasien diabetes saat menjalankan puasa, sangat
diperlukan pengetahuan pengelolaan yang baik. American Diabetes Association
(ADA) mengeluarkan rekomendasi tata laksana puasa pada pasien diabetes pada
tahun 2005 yang telah diperbaharui pada tahun 2010.
Penilaian Sebelum Ramadhan

17

Semua pasien diabetes yang hendak berpuasa Ramadhan, hendaknya


menjalani penilaian medis 1 2 bulan sebelumnya. Pasien diabetes sering tetap
ingin berpuasa meskipun secara medis tidak memungkinkan. Peranan dokter,
sekali lagi, bukan sebagai pemberi fatwa apakah seseorang pasien boleh berpuasa
atau tidak. Dokter hanya berperan memberikan pandangan dan panduan mengenai
dampak puasa terhadap kondisi medis pasien dan bagaimana mengurangi risiko
komplikasi. Untuk itu, pengenalan risiko berpuasa bagi pasien penting dilakukan.
Dasar pertimbangan untuk memperbolehkan berpuasa, antara lain:
1) Penilaian kondisi fisik
2) Penilaian kontrol metabolik;
3) penyesuaian prosedur diet untuk berpuasa dibulan Ramadhan;
4) penyesuaian regimen insulin dan dosis obat;
5) anjuran untuk terus melakukan aktivitas fisik yang baik, dan
6) identifikasi gejala dan tanda dehidrasi, hipoglikemia, dan komplikasi lain
yang mungkin timbul.
Ada lima hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pasien
diabetes yang menjalankan puasa, yakni (1) Tata laksana bersifat individual; (2)
Pemantauan teratur kadar glukosa darah; (3) Nutrisi tidak boleh berbeda dari
kebutuhan nutrisi harian; (4) olahraga tidak boleh berlebihan. Sholat tarawih
(sholat dengan jumlah rakaat yang cukup banyak) yang dilakukan setiap malam di
bulan Ramadhan, dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari bentuk olahraga
yang dianjurkan; dan (5) Membatalkan puasa. Pasien harus selalu diajarkan agar
segera membatalkan puasa jika terdapat gejala hipoglikemia (kadar glukosa darah
< 60 mg/dL) atau bila dalam kondisi hiperglikemia. Pasien hendaknya lebih sering
memeriksa kadar glukosa darah, misalnya dalam 2 jam sesudah makan sahur.
Puasa sebaiknya dibatalkan jika kadar glukosa darah < 70 mg/dL dalam 1-2 jam
awal puasa, terutama bagi pasien yang menggunakan insulin, sulfonilurea pada
saat sahur.
Diabetisi aman berpuasa apabila :
1. Kadar gula darah terkontrol ( GD puasa 80-126 mg/dl, 2 jam setelah
makan 80-180 mg/dl)
2. Tidak menggunakan suntikan insulin >2x sehari
3. Faal hati/liver baik
4. Faal ginjal baik

18

5.
6.
7.
8.
9.

Tak ada gangguan pembuluh darah otak yang berat


Tak ada kelainan pembuluh darah jantung
Cadangan lemak tubuh cukup
Tak ada kelainan hormonal lain
Tidak demam tinggi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pasien diabetes yang berpuasa

adalah:
1) Perencanaan makan, jumlah asupan kalori sehari selama bulan puasa
kira-kira sama dengan jumlah asupan sehari-hari yang dianjurkan
sebelum puasa. Pengaturan selama bulan Ramadhan adalah dalam hal
pembagian porsi, 40% dikonsumsi saat makan sahur, 50% saat berbuka
dan 10% malam sebelum tidur (sesudah sholat tarawih).
2) Makan sahur sebaiknya dilambatkan.
3) Lakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan wajar seperti biasa. Dianjurkan
beristirahat setelah sholat dzuhur (siang hari).
Diabetisi yang sebaiknya tidak berpuasa :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Diabetisi tipe 1 yang sulit terkendali


Diabetisi yg menggunakan suntikan insulin >2x sehari
Diabetisi tipe 1 atau 2 yg GD nya tidak terkendali
Diabetisi yg pernah mengalami koma ketoasidosis
Diabetisi yg sedang hamil
Diabetisi usia lanjut yg diperkirakan sulit memahami komplikasi2 yg

mungkin timbul
7. Diabetisi yg pernah mengalami >2x episode hipoglikemia/ hiperglikemia
selama ramadhan
8. Diabetisi dg penyakit lain yg berat (jantung, ginjal, lever, darah tinggi )
Bila gula darah masih tinggi tidak disarankan berpuasa karena :
Penggunaan cadangan energi dari lemak lebih awal dan menyisakan benda
keton yg dapat meracuni otak
Tubuh kekurangan cairan karena banyak dikeluarkan melalui air seni
(sering BAK) & tidak ada asupan minum selama puasa.

19

Tabel 2. Kelompok Pasien DM yang Boelh dan Tidak Boleh berpuasa


Kelompok I
Pasien DM yang kadar gula darahnya Dapat berpuasa tanpa masalah dengan
terkontrol dengan perencanaan makan tetap memperhatikan pengaturan
dan olahraga saja
makan dan aktivitas fisik
Kelompok II
Pasien DM yang selain melaksanakan perencanaan makan dan olahraga juga
memerluka OHO untuk mengandalikan kadar gula darah
IIa
Membutuhkan dosis tunggal dan Boleh berpuasa dengan menggeser
kecil, misalnya glibenklamid 1 x 1, obat pagi ke soresaat berbuka puasa
pagi
IIb
Membutuhkan OHO dengan dosis Dapat berpuasa dengan menggeser
lebih tinggi dan terbagi, misalnya obat pagi ke saat berbuka dan obat
glibenklamid pagi 2 tablet dan sore 1 sore ke saat makan sahur dengan
tablet.
dosis setengahnya.
Jika minum obat 3 kali sehari

Berpuasa dengan obat pagi dan siang


diminum pada saat berbuka, dan obat
sore digeser ke saat makan sahur
dengan dosis setengahnya

Kelompok III
Pasien DM yang selain perencanaan makan dan olahraga juga
membutuhkan/tergantung insulin atau kombinasi dengan OHO
IIIa
Membutuhkan insulin 1x1. Misalnya Boleh berpuasa dengan motivasi yang

20

NPH 20 Ui 1 x 1

kuat dan harus dengan pengawasan


yang ekstra ketat. Suntikan insulin
digeser ke saat berbuka.

IIIb
Membutuhkan insulin 2 x 1 atau lebih Tidak dianjurkan berpuasa karena
sehari
dianggap kadar glukosa darah tidak
stabil
IIIc
Membutuhkan
kombinasi
OHO Boleh berpuasa dengan pengaturan
dengan insulin 1x1
OHO seperti kelompok II dan
suntikan insulin saat berbuka
IIId
Membutuhkan
kombinasi
OHO Tidak dianjurkan berpuasa karena
dengan insulin 2x1 atau lebih
dianggap kadar glukosa darah tidak
stabil

Tata Laksana Puasa Pasien DM Tipe 1


Pasien DM tipe 1 memiliki risiko sangat tinggi saat berpuasa Ramadhan. Risiko
ini makin meningkat pada pasien dengan kadar glukosa buruk, atau mereka yang
terbatas aksesnya ke pelayanan kesehatan, adanya hipoglikemia yang tidak
disadari, atau riwayat perawatan di rumah sakit yang berulang. Saran tepat bagi
mereka dengan diabetes tipe 1 adalah anjuran untuk tidak berpuasa, namun
diperkirakan sekitar 43% pasien DM tipe 1 tetap berpuasa Ramadhan.4,10 Jika
pasien memutuskan untuk berpuasa Ramadhan, sebaiknya mereka menggunakan
terapi insulin dalam rejimen basal bolus dan rutin memeriksa kadar glukosa darah.
Laporan 15 orang pasien diabetes tipe 1 yang menjalani puasa menyebutkan
penggunaan insulin glargin hanya menyebabkan sedikit kasus hipoglikemia.14
Perbaikan kendali kadar glukosa dan penurunan risiko hipoglikemia lebih banyak
dijumpai pada penggunaan insulin lispro bila dibandingkan dengan regular human
insulin.
Tata Laksana Puasa pada Pasien DM Tipe 2
Pengaturan makanan :
1. Buka puasa : 50% kebutuhan energi sehari

21

a. Sebelum sholat Maghrib : Makanan ringan (10%)


b. Sesudah sholat Maghrib : Makanan utama (40%)
2. Sesudah sholat Tarawih : Makanan ringan (10%)
3. Sahur : Makanan utama (40%)
Pasien Terkendali dengan Diet
Kelompok pasien ini merupakan kelompok risiko rendah yang diharapkan
dapat menjalani puasa Ramadhan tanpa masalah. Asupan kalori dalam beberapa
porsi kecil daripada hanya satu porsi besar akan membantu mengurangi
hiperglikemia post-prandial. Kebutuhan cairan hendaknya dicukupi untuk
mencegah risiko dehidrasi dan risiko trombosis.

Pasien dalam Terapi Obat Hipoglikemik Oral


Metformin
Pasien dengan terapi metformin diharapkan dapat menjalani puasa
mengingat risiko hipoglikemianya kecil. Namun, pasien dianjurkan mengubah
waktu mengonsumsi obat dengan saran sepertiga dosis diberikan saat sahur dan
dua pertiga dosis saat berbuka.
Tiazolidinedion
Penggunaan kelompok obat ini diketahui tidak menyebabkan kejadian
hipoglikemia meski dapat memperkuat efek hipoglikemik golongan sulfonilurea,
glinid, dan insulin. Tidak diperlukan penyesuaian dosis selama berpuasa
Ramadhan.

Sulfonilurea
Kelompok obat ini diketahui sering berkaitan dengan kejadian
hipoglikemia sehingga perlu hati-hati digunakan selama puasa Ramadhan.
Penggunaan glibenklamid dikaitkan dengan risiko hipoglikemia yang lebih besar

22

dibandingkan sulfonilurea generasi kedua lain seperti gliklazid, glimepirid dan


glipizid.
Belkhadir dkk mendapati penggunaan glibenklamid aman pada 591 pasien
diabetes yang berpuasa. Laporan lain menyebutkan penggunaan glimepirid pada
332 pasien diabetes yang berpuasa Ramadhan hanya menyebabkan kejadian
hipoglikemia sebesar 3% pada pasien yang baru terdiagnosis dan 3,7% pada
pasien yang telah diterapi.
Penyesuaian dosis bersifat individual dengan menimbang besar kecilnya
risiko hipoglikemia. Misalnya, pasien dengan sulfonilurea kerja panjang misalnya
glimepirid sekali sehari, selama puasa Ramadhan dianjurkan mengubah waktu
minum obatnya menjadi saat berbuka puasa. Dosis disesuaikan dengan penilaian
terhadap kadar glukosa darah pasien dan risiko hipoglikemia. Pada penggunaan
sulfonilurea dua kali sehari, disarankan setengah dosis diberikan pada saat sahur,
dan dosis biasa pada saat berbuka.
Glinid
Kelompok obat ini diketahui memiliki risiko hipoglikemia rendah karena sifat
kerjanya yang pendek. Dapat digunakan dua kali sehari yakni pada saat sahur dan
saat berbuka puasa.
Penghambat alfa glukosidase
Kelompok obat ini tidak dikaitkan dengan kejadian hipoglikemia sehingga aman
digunakan selama puasa Ramadhan yakni pada saat sahur dan pada saat berbuka
puasa.
Terapi berbasis inkretin
Kelompok obat ini misalnya penghambat enzim DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4)
dan analog GLP-1 (glucagon-like peptide-1) tidak dikaitkan dengan kejadian
hipoglikemia sehingga aman digunakan selama puasa Ramadhan. Tidak
dibutuhkan penyesuaian dosis namun risiko hipoglikemia akan tinggi bila
dikombinasikan dengan sulfonilurea.
Pasien dalam Terapi Insulin

23

Saran umum bagi pasien pengguna insulin kerja panjang (misalnya, glargin dan
detemir) adalah mengurangi dosis sebesar 20% untuk mengurangi risiko
hipoglikemia. Kelompok insulin kerja panjang ini disarankan diberikan saat
makan besar saat berbuka puasa. Insulin kerja cepat preprandial tetap dapat
diberikan selama berpuasa, tanpa dosis siang hari. Untuk insulin kerja campuran
(premix), dosis pagi hari diberikan pada saat berbuka dan setengah dosis malam
hari diberikan pada saat sahur.

BAB III
KESIMPULAN

Kebudayaan dan agama memberikan dampak terhadap tata laksana


penyakit kronik seperti diabetes. Puasa Ramadhan merupakan salah satu pilar
(rukun) Islam bagi umat muslim di seluruh dunia. Banyak pasien DM tetap ingin
menjalankan ibadahnya meski secara medis tidak dianjurkan, misalnya mereka
dengan kadar glukosa belum terkendali, perempuan diabetes hamil, mereka
dengan riwayat ketoasidosis atau koma hiperosmolar, dan pasien dengan
komplikasi serius seperti penyakit jantung koroner, gagal ginjal kronik, pasien
diabetes usia lanjut, dan pasien dengan riwayat berulang hipoglikemia atau
hiperglikemia sebelum dan selama puasa Ramadhan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pasien diabetes
yang menjalankan puasa yakni (1) tata laksana bersifat individual; (2) pemantauan
kadar teratur glukosa darah; (3) nutrisi tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi

24

harian; (4) olahraga tidak boleh berlebihan dan (5) pasien harus tahu kapan
membatalkan puasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Subekti I. Berpuasa bagi pasien diabetes. Dalam: Syam AF, Setiati S,


Subekti I. Tips berpuasa Ramadan pada berbagai penyakit kronis. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2006:27-37.

2. Salti I, Benard E, Detournay B, Bianchi-Biscay M, Le Brigand C, Voinet


C, et al. EPIDIAR study group. A population based study of diabetes and
its characteristics during the fasting month of Ramadan in 13 countries:
Results of the epidemiology of diabetes and Ramadan 1422/2001
(EPIDIAR) study. Diabetes Care. 2004;27:230611.

3. Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, Hafez S, Hassanein M, Ibrahim MA, et


al. American Diabetes Association recommendations for management of
25

diabetes during Ramadan: update 2010. Diabetes Care. 2010;33: 1895902.

4. Hallak MH, Nomani MZA. Body weight loss and changes in blood lipid
levels in normal men on hypocaloric diets during Ramadan fasting. Am J
Clin Nutr. 1988; 48:1197-210.

5. Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and


guidelines during Ramadan. J R Soc Med. 2010: 103: 13947.

26

Anda mungkin juga menyukai