Chapter II - 4 PDF
Chapter II - 4 PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deksametason
metilpregna-1,4-diena-3,20-dion
kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998). Penggunaan
deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi
fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun. Pada
kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol proses
untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu respons
inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses
membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
baik. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin,
sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit
( Suherman, 2007).
prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek,
2001).
dan antishock yang sangat kuat (Anonim2, 2010). Menurut Suherman (2007),
dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Hal
inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit,
bahkan disebut sering disebut life saving drugs, tetapi juga mungkin menimbulkan
umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik,
dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai
metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam
konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi
Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu
menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya.
Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh
karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi
konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah
(Aiache, 1993).
Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskular
yang lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi.
lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya
melewati jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan
sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus
(Aiache, 1993).
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat, dan mengalami
(1993), ikatan protein plasma deksametason yaitu 70% (pada dosis yang lebih
tinggi lebih kecil), terikat pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan
kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama
setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan
aktivitas. Oleh karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap
ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti
sebanmding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang
diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit,
sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut
(Setiawati, 2005).
daerah target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus dapat
melintasi membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk
mencapai tempat aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain).
fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi
apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam
cairan biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap
penentu pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam jumlah yang diserap
jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang mengelilingi jaringan)
obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel (cairan intrasel), yaitu organ atau
otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik
cukup tinggi selama waktu yang cukup lama ( Tjay dan Rahardja, 2002).
pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi
sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta
adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena
dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif
(Aiache, 1993).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum
masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung,
Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat
diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan
secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang
interaksi obat dengan reseptornya, maka secara teoretis intensitas efek obat baik
efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau
tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur,
maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma/serum yang umum dalam
Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik
pada titik tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut
ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah
Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi Fase II). Reaksi fase I
terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa
molekul lain. Metabolit umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan
(Hinz, 2005).
dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang
dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain
itu, inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi
menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh
terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat di ekskresi berupa
metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi
adapula beberapa cara lain, yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru
melalui pernapasan, melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja, 2002).
Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema
Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam
darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya
Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan
metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat
yang dinyatakan dengan pengertian plasma half life eliminasi (waktu paruh = t1/2)
yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi
cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami
boitransformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya
Bioavailability dari suatu sediaan obat adalah persentase obat yang secara
utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan kerjanya. Selama proses absorpsi
dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat misalnya tidak dibebaskannya dari
sediaan pemberiannya. Atau karena penguraian didalam usus atau dindingnya dan
dalam hati selama peredaran pertama di system porta, sebelum tiba di peredaran
umum. Karena firs pass effect (FPE) ini, maka BA obat menjadi rendah dari pada
terdiri dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh
ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai
distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan
Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam
Kel = 0,693
t
Waktu paruh eliminasi sering digunakan sinonim dengan waktu paruh dalam
Waktu paruh memberi dasar untuk perhitungan dosis pada pemakaian ulang bahan
plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu
hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma.
Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi
secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi
plasma puncak juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik
Area Under Curve (AUC) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC
Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan
obat. Pada tmaks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan
laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju
diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat
g. Klirens
Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase
atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul
atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut
terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya
bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, sehingga
zat tersebut terpisah dari zat terlarut lain, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir.
Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut
berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen (Depkes RI, 1995).
kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007).
kadar senyawa obat baik dalam beuntuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini
Banyak senyawa yang dapat dianalisis dengan KCKT mulai dari senyawa
pemisahan obat/bahan obat campuran rasemis optis aktif dikembangkan suatu fase