Anda di halaman 1dari 35

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hygiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan sanitasi merupakan usaha
kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada
manusia. Usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari hubungan kondisi
lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit
karena hubungan lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi
lingkungan yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan
lingkungan disebut higiene (Depkes RI, 2009).

Salah satu bentuk upaya peningkatan sanitasi lingkungan adalah penerapan


rumah sehat yang mencakup sanitasi dasar seperti penyediaan air bersih,
penggunaan jamban, pembuangan air limbah dan sampah. Menurut WHO (2007),
perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat
meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan
pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor risiko dan berorientasi pada
lokasi bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan
rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur apakah rumah tersebut
memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak,
mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun
limbah lainnya.

Jaminan mutu dan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan


persyaratan konsumen, Keamanan pangan merupakan persyaratan utama dan
terpenting dari seluruh parameter mutu pangan yang ada. Betapapun tinggi nilai
gizi suatu bahan pangan atau makanan, penampilannya baik , juga lezat rasanya,
tetapi bila tidak aman, maka makanan tersebut tidak ada nilainya lagi.
Penyelenggaraan makanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan (tidak
saniter dan higienis) selain memperpanjang proses perawatan, juga dapat
menyebabkan timbulnya infeksi silang (cross infection) atau infeksi nosokomial
(infeksi yang didapatkan di rumah sakit), yang di antaranya dapat melalui
makanan (Hasyim dalam Nurlaela. 2011).
Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan sistematis melalui upaya
pengidentifikasian bahaya (hazard) baik fisik, kimiawi, dan mikrobiologis pada
proses pengolahan makanan dan melakukan pengendalian bahaya pada titik kritis,
yang dikenal dengan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) (Wibowo,
2013). HACCP adalah teknik yang dianjurkan untuk penyehatan makanan karena
HACCP merupakan pendekatan paling efektif dari segi biaya untuk menjamin
keamanan makanan di semua tahap penyediaannya dibandingkan dengan
pengawasan tradisional atau dengan pengujian hasil akhir produk. HACCP juga
merupakan jaminan mutu terhadap produk makanan yang diakui secara
internasional, penerapannya di dalam produksi makanan yang aman telah diakui
WHO sebagai metode yang efektif untuk mengendalikan foodborne
disease (Zulfana, 2008).
Salah satu hidangan yang diolah pada saat praktikum yaitu kelepon ketan.
Pada hidangan ini perlu dilakukan tindakan HACCP mengingat bahan bakunya
berupa tepung ketan yang rentan terhadap bahaya mikrobiologi, fisik, dan kimia.
Selain bahaya yang berasal dari bahan baku, bahaya juga dapat timbul pada saat
penerimaan maupun persiapan bahan baku. Bahaya tersebut timbul bila kualitas
bahan tidak sesuai standar, ada kontaminasi dengan bahan makanan yang lain dan
kebersihan alat pada waktu pengolahan. Oleh karena itu, praktikum Manajemen
Sistem Penyelenggaraan Makanan Institusi Lanjut dengan pokok bahasan
HACCP, GMP dan SSOP perlu dilakuakan.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui, peralatan dan perlengkapan dapur laboratorium


pengolahan pangan.
2 Untuk mengetahui perencanaan menu yang ada di laboratorium pengolahan
pangan.
3 Untuk mengetahui perencanaan kebutuhan bahan makanan yang ada di
laboratorium pengolahan pangan.
4 Untuk mengetahui cara pembelian bahan makanan di laboratorium pengolahan
pangan.
5 Untuk mengetahui penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan
di laboratorium pengolahan pangan.
6 Untuk mengetahui bagaimana pengolahan makanan di laboratorium
pengolahan pangan.
7 Untuk mengetahui cara pendistribusian makanan di laboratorium pengolahan
pangan.
8 Untuk mengetahui sanitasi yang berada di laboratorium pengolahan pangan.
9 Untuk mengetahui HACCP, GMP dan SSOP di laboratorium pengolahan
pangan.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa saja sarana, peralatan dan perlengkapan dapur di laboratorium
pengolahan pangan tersebut ?
2. Bagaimana perencanaan menu yang ada di laboratorium pengolahan
pangan tersebut ?
3. Bagaimana perencanaan kebutuhan bahan makanan yang ada di
laboratorium pengolahan pangan tersebut ?
4. Bagaimana cara pembelian bahan makanan di laboratorium pengolahan
pangan tersebut ?
5. Bagamana system penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan
makanan di laboratorium pengolahan pangan tersebut ?
6. Bagaimana pegolahan makanan di laboratorium pengolahan pangan
tersebut?
7. Bagaimana cara pendistribusian makanan di laboratorium pengolahan
pangan tersebut?
8. Bagaimana sanitasi pada laboratorium pengolahan pangan?
9. Bagaimana HACCP, GMP dan SSOP di laboratorium pengolahan pangan?

1.3 Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana system penyelenggaraan
makanan lanjut di laboratorium pengolahan pangan.
2. Mahasiswa mengetahui penerapan HACCP, GMP dan SSOP di
laboratorium pengolahan pangan.
BAB 2. DASAR TEORI

Hygiene dinyatakan sebagai kesehatan masyarakat yang meliputi semua


usaha untuk memlihara, melindungi, dan mempertinggi derajat kesehatan badan,
jiwa, baik untuk umum maupun perorangan yang bertujuan memberikan dasar-
dasar kelanjutan hidup yang sehat, serta mempertinggi kesehatan dalam
perikemanusiaan (Moehyi, 2000).
Sanitasi merupakan keseluruhan upaya yang mencakup kegiatan atau
tindakan yang perlu dilakukan untuk membebaskan hal-hal yang berkenaan
dengan kebutuhan manusia, baik itu berupa barang atau jasa, dari segala bentuk
gangguan atau bahaya yang merusak kebutuhan manusia di pandang dari sudut
kesehatan.
Nasional advisory committee on microbiological criteria for food
(committee) menganjurkan sistem HACCP sebagai pendekatan yang efektif dan
rasional untuk menjamin keamanan pangan. Pada umumnya, pemantauan titik
kendali kritis (CCP = Critical Control Point) dapat dilakukan dengan baik
menggunakan hasil makanan untuk membuktikan bahwa sistem HACCP yang
diterapkan telah berhasil dengan baik (Fardiaz, 1996).
Prinsip HACCP harus didistribusikan sehingga memudahkan
pelaksanaannya oleh industri pangan dan memudahkan instansi yang berwenang
dalam memantau penerapan HACCP. Berdasarkan rekomendasi National
Academy of Sciences Sistem HACCP harus dikembangkan untuk setiap industri
pangan, dan dikembangkan untuk setiap produk masing-masing kondisi
pengolahan dan distribusinya (Fardiaz, 1996).
2.1 Definisi HACCP
HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada
kesadaran atau perhatian bahwa hazard (bahaya) akan timbul pada berbagai titik
atau tahap produksi, tetapi pengendaliannya dapat dilakukan untuk mengontrol
bahaya-bahaya tersebut (Fardiaz, 1996).
Menurut WHO, Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard
Analysis and Critical Control Points / HACCP) didefinisikan sebagai suatu
pendekatan ilmiah, rasional, dan sistematik untuk mengidentifikasi, menilai, dan
mengendalikan bahaya.
Dillon and Griffith (1996) dalam buku Hygiene dan Sanitasi Makanan
(Siti Fathonah, 2005) mendefinisikan HACCP sebagai sistem manajemen
keamanan makanan, dengan strategi mencegah bahaya dan resiko yang terjadi
pada titik-titik kritis pada rantai produksi makanan. Sedangkan Badan
Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia mendefinisikan HACCP sebagai suatu
sistem untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya yang
nyata bagi keamanan pangan.
HACCP adalah suatu alat (tools) yang digunakan untuk menilai tingkat
bahaya, menduga perkiraan risiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam
pengawasan, dengan menitikberatkan pada pencegahan dan pengendalian proses
dari pada pengujian produk akhir yang biasanya dilakukan dalam cara
pengawasan tradisional (Suklan, 1998).
HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada
kesadaran bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap
produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol
bahaya bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi dan identifikasi
titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan, dari pada
mengandalkan kepada pengujian produk akhir. Sistem HACCP bukan merupakan
sistem jaminan keamanan pangan yang tanpa resiko, tetapi dirancang untuk
meminimalkan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem HACCP juga dianggap
sebagai alat
manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses
produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik.
2.2 Prinsip HACCP
Secara singkat, HACCP terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut menurut
sudarmadji 2005 adalah:
1. Identifikasi bahaya
Pada bagian ini mempelajari jenis-jenis mikroorganisme, bahan kimia dan
benda asing terkait yang harus didefinisikan. Untuk dapat melakukan ini, tim
harus memeriksa karakteristik produk serta bahaya yang akan timbul waktu
dikonsumsi oleh konsumen. Terdapat tiga bahaya (hazard) yang dapat
menyebabkan makanan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, yaitu hazard fisik,
kimia, dan biologi. Bahaya fisik termasuk benda-benda seperti
pecahan logam, gelas, batu, yang dapat menimbulkan luka dimulut, gigi patah,
tercekik ataupun perlukaan pada saluran pencernakan. Bahaya kimia antara lain
pestisida, zat pembersih, antibiotik, logam berat, dan bahan tambahan makanan.
Bahaya biologi antara lain mikroba patogen (parasit, bakteri), tanaman,dan hewan
beracun.
Hal-hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah:
a. Formulasi; adalah bahan mentah dan bahan baku yang dapat
mempengaruhi keamanan dan kestabilan produk.
b. Proses; adalah parameter proses pengolahan yang dapat mempengaruhi
bahaya.
c. Kemasan; adalah perlindungan terhadap kontaminasi ulang dan
pertumbuhan mikroorganisme.
d. Penyimpanan/penanganan; adalah waktu dan kondisi suhu serta
penanganan di dapur dan penyimpanan di etalase.
e. Perlakuan konsumen; digunakan oleh konsumen atau ahli masak
professional.
f. Target grup; yaitu pemakai akhir makanan tersebut (bayi, orang dewasa,
lanjut usia)
Semua faktor ini harus dipertimbangkan untuk menentukan risiko serta
tingkat bahaya yang dikandungnya. Tiap-tiap pengawasan/studi harus memeriksa
mikroorganisme tertentu, bahan kimia atau pencemar fisik yang mungkin
mempengaruhi keamanan produk tertentu. Pengendalian dapat didefinisikan
secara tepat dengan cara ini.
Membuat Diagram Alir
Diagram tersebut harus menjelaskan bahan mentah/baku, tahap
pengolahan dan pengemasan, serta mencakup data yang diperlukan untuk analisis
bahaya mikrobilogis, kimia, dan benda-benda asing termasuk informasi tentang
kemungkinan terjadinya kontaminasi.
2. Aktivitas Penentuan Titik Pengendalian Kritis (CCP)
Setelah diagram alir tersedia kemudian mengenali titik-titik yang
berpotensi untuk menimbulkan, menghilangkan atau mengurangi bahaya. CCP
ditetapkan pada setiap tahap proses mulai dari awal produksi suatau makanan
hingga sampai ke konsumsi. Pada setiap tahap ditetapkan jumlah CCP untuk
bahaya mirobiologis, kimia, maupun fisik. Pada beberapa produk pangan,
formulasi makanan mempengaruhi tingkat keamanannya, oleh karena itu CCP
pada produk semacam ini diperlukan untuk mengontrol beberapa parameter
seperti pH, aktivitas air (aw), dan adanya bahan tambahan makanan.
3. Penetapan batas kritis
Penetepan batas kritis yang harus dipenuhi pada setiap CCP yang telah
ditetapkan. Kriteria yang umum digunakan sebagai batas kritis : suhu, waktu,
kelembaban, nilai aw, nilai pH, keasaman (titrasi), bahan pengawet, konsentrasi
garam, khlorin bebas, viskositas.
4. Pemantauan CCP
Penetapan prosedur untuk Memantau CCP dan batas kritis termasuk
pengamatan, pengukuran, dan pencatatan. Kegiatan pemantauan meliputi :
memeriksa apakah prosedur pengolahan dan penanganan pada CCP dapat
dikendalikan, pengujian atau pengamatan jadwal terhadap efektifitas suatu untuk
mengendalikan CCP dan batas kritis, pengamatan atau pengukuran batas kritis
untuk menghasilkan data yang teliti dan ditujukan untuk menjamin bahwa batas
kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk.
Cara pemantauan meliputi :
1. Pengamatan, pengukuran terhadap
2. Proses (waktu, suhu, pH, dan lain-lain), sanitasi, misalnya terhadap bahan
mentah (uji kimia terhadap toksin, bahan tambahan, kontaminan, dan lain-
lain; mikrobiologi terhadap koliform E. Coli, Salmonela, dan lain-lain).
5. Pelaksanaan Tindakan Perbaikan.
Tindakan perbaikan adalah kegiatan yang dilakukan bila berdasarkan hasil
pengamatan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas
kritis tertentu atau nilai target tertentu atau ketika hasil pemantauan menunjukkan
kecenderungan kurangnya pengendalian.
Sebagai contoh adalah klorinasi air pendingin dan pasteurisasi susu. Pada
titik pengendalian kritis (CCP) dimana tingkat khlorin air pendingin sangat kritis,
maka bila konsentrasi klorin kurang dari 1 ppm harus segera disesuaikan dengan
cepat, jika tidak mengandung klorin, maka hasil olahan harus diperiksa lebih
lanjut. Pada proses pasteurisasi suhu yang turun sampai dibawah 71,5oC harus
dilakukan pasteurisasi kembali. Secara umum, data tentang pemantauan harus
diperiksa secara sistematis untuk menentukan titik dimana pengendalian harus
ditingkatkan atau apakah modifikasi lain diperlukan. Dalam hal ini, sistem dapat
beradaptasi terhadap perubahan kondisi dengan cara penyesuaian yang
berkesinambungan.
6. Penetapan Prosedur Verifikasi
Penetapan prosedur untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah
dilakukan secara efektif. Tujuan verifikasi terhadap program HACCP : ntuk
memeriksa apakah program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rencana
HACCP yang ditetapkan, untuk menjamin bahwa rencana HACCP yang
ditetapkan masih efektif (Fardiaz, 1996). Sedangkan kegiatan atau tahap verifikasi
meliputi : penetapan jadwal verifikasi yang tepat, pemeriksaan kembali (review)
rencana HACCP, pemeriksaan atau penyesuaian catatan HACCP, pemeriksaan
penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi atau perbaikan, pengamatan
atau Inspeksi visual selama produksi untuk mengendalikan CCP, pengambilan
contoh dan analisis cara random, catatan tertulis mengenai kesesuaian dengan
rencana HCCP atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi atau
perbaikan yang dilakukan (Fardiaz, 1996).
Verifikasi atau evaluasi dilakukan bila : secara rutin atau tidak terduga
untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan, diketahui
bahwa produk tertentu memerlukan perhatian khusus karena informasi terbaru
mengenai keamanan makanan, produk yang dihasilkan diketahui sebagai
penyebab keracunan makanan, kriteria yang ditetapkan belum mantap atau atas
saran dari instansi berwenang (Fardiaz, 1996).
7. Penyimpanan Data atau Dokumentasi
Penyimpanan data merupakan bagian penting pada HACCP. Penyimpanan
data dapat meyakinkan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi,
modikasi, dan operasi sitem akan dapat diperoleh oleh siapapaun yang terlibat
proses, juga dari pihak luar (auditor). Penyimpanan data membantu meyakinkan
bahwa sistem tetap berkesinambungan dalam jangka panjang. Data harus meliputi
penjelasan bagaimana CCP didefinisikan, pemberian prosedur pengendalian dan
modifikasi sistem, pemantauan, dan verifikasi data serta catatan penyimpangan
dari prosedur normal.
Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan dibedakan atas tiga
kelompok bahaya, yaitu :
(1) Bahaya Biologis/Mikrobiologis, disebabkan oleh bakteri pathogen,
virus atau parasit yang dapat menyebabkan keracunan, penyakit infeksi
atau infestasi, misalnya : E. coli pathogenik, Listeria monocytogenes,
Bacillus sp., Clostridium sp., Virus hepatitis A, dan lain;
(2) Bahaya Kimia, karena tertelannya toksin alami atau bahan kimia yang
beracun, misalnya : aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang,
alkoloid pirolizidin, pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan,
logam-logam berat (Pb, Zn, Ag, Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit,
sulfit), pewarna (amaranth, rhodamin B, methanyl jellow), lubrikan,
sanitizer, dan sebagainya ;
(3) Bahaya Fisik, karena tertelannya benda-benda asing yang seharusnya
tidak boleh terdapat di dalam makanan, misalnya : pecahan gelas,
potongan kayu, kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik,
bagian tubuh (rambut), sisik, duri, kulit dan lain-lain.
Penggolongan Karakteristik Bahaya (Hazard) dan Tingkat Risiko
1. Penggolongan Karakteristik Bahaya (Hazard) Berdasarkan National
Advisory Committee on Microbiology Criteria for Food (1989),
karakteristik hazard bisa dikelompokkan menjadi (USDA, 1993):
Hazard A : merupakan kelompok yang dapat menyebabkan produk yang
didesain dan ditujukan untuk kelompok berisiko (bayi, lanjut usia,
orang sakit, ataupun orang dengan daya tahan tubuh rendah)
menjadi tidak steril.
Hazard B : produk mengandung bahan yang sensitif terhadap Hazard
mikrobiologi.
Hazard C : proses yang dilakukan tidak diikuti dengan langkah
pengendalian yang efektif untuk merusak mikroorganisme yang
berbahaya.
Hazard D : produk terkontaminasi ulang setelah pengolahan dan sebelum
pengepakan.
Hazard E : terdapat bahaya yang potensial pada penanganan saat distribusi
atau penanganan oleh konsumen sehingga menyebabkan produk
berbahaya jika dikonsumsi.
Hazard F : tidak ada proses pemanasan akhir setelah proses pengepakan
atau ketika dimasak di rumah.
2. Pengukuran Tingkat Risiko Berdasarkan Karakteristik Hazard Berdasarkan
National Advisory Committee on Microbiology Criteria for Food (1989),
karakteristik hazard bisa dikelompokkan menjadi:
Kategori VI : jika produk makanan mengandung hazard A atau ditambah
dengan hazard yang lain.
Kategori V : jika produk makanan mengandung lima karakteristik hazard
(B,C,D,E,F).
Kategori IV : jika produk makanan mengandung empat karakteristik hazard
(antara B-F).
Kategori III : jika produk makanan mengandung tiga karakteristik hazard
(antara B-F).
Kategori II : jika produk makanan mengandung dua karakteristik hazard
(antara B-F).
Kategori I : jika produk makanan mengandung satu karakteristik hazard
(antara B-F).
Kategori 0 : jika tidak terdapat bahaya (USDA, 1993).
Manfaat HACCP
Terdapat beberapa keuntungan pokok yang diperoleh pemerintah dan
instansi kesehatan serta konsumen dari penerapan HACCP sebagai alat pengatur
keamanan makanan menurut sudarmadji 2005:
1. HACCP adalah suatu pendekatan yang sistematis yang dapat diterapkan
pada semua aspek dari pengamanan makanan, termasuk bahaya secara
biologi, kimia, dan fisik pada setiap tahapan dari rantai makanan mulai
dari bahan baku sampai penggunaan produk akhir.
2. HACCP dapat memberikan dasar nuansa statistik untuk
mendemonstrasikan kegiatan yang dapat atau mungkin dilakukan untuk
mencegah terjadi bahaya sebelum mencapai konsumen.
3. Sistem HACCP memfokuskan kepada upaya timbulnya bahaya dalam
proses pengolahan makanan.
4. Penerapan HACCP melengkapi sistem pemeriksaan oleh pemerintah
sehingga pengawasan menjadi optimal.
5. Pendekatan HACCP memfokuskan pemeriksaan kepada tahap kegiatan
yang kritis dari proses produksi yang langsung berkaitan dengan konsumsi
makanan.
6. Sistem HACCP meminimalkan risiko kesehatan yang berkaitan dengan
konsumsi makanan.
7. Dapat meningkatkan kepercayaan akan keamanan makanan olahan dan
karena itu mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan
(Suklan, 1998).
2.3 Pengolahan
Pengolahan merupakan berbagai cara pengubahan hasil-hasil bahan
pangan oleh budidaya manusia baik secara fisik, kimiawi atau biokimiawi
menjadi produk-produk guna memenuhi kebutuhannya (Makfoeld, 1982).
Pengolahan bertujuan untuk memperoleh pangan yang beranekaragam, berkualitas
tinggi, tahan simpan, meningkatkan nilai tukar dan daya guna bahan mentahnya
(Astawan dan Made, 1988). Produk hasil pengolahan sering disebut sebagai hasil
olah. Hasil olah ada yang dapat langsung memenuhi kebutuhan manusia disebut
hasil jadi (final product) atau suatu hasil olah yang perlu diolah lebih lanjut untuk
langsung.
2.4 Uraian Bahan

2.5 Penyelenggaraan Makanan


Penyelenggaraan berasal dari kata dasar selengara yang artinya
menyelenggarakan, mengurus, dan mengusahakan sesuatu, seperti: memelihara,
merawat (Ali, 1990:403). Jika dikaitkan dengan makanan, maka
penyelenggaraan makanan pada hakikatnya merupakan kegiatan mengurus dan
mengusahakan masalah makanan, atau proses pengolahan makanan pada satu
jenis kegiatan tertentu. Menurut Moehyi (1999), penyelenggaraan makanan adalah
suatu proses menyediakan makanan dalam jumlah besar dengan alas an tertentu.
Sedangkan Depkes (2003) menjelaskan bahwa penyelenggaraan makanan adalah
rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian
makanan kepada konsumen dalam rangka pencapaiana status yang optimal
melalui pemberian makanan yang tepat dan termasuk kegiatan pencatatan,
pelaporan, dan evaluasi bertujuan untuk mencapai status kesehatan yang optimal
melalui pemberian makan yang tepat (Rahmawati, 2011).
Sebelum makanan dikonsumsi melalui berbagai tahapan, mulai dari
perencanaan menu atau bahan yang akan dibeli sesuai kebutuhan, pengadaan
bahan makanan melalui pembelian atau menanam sendiri, pengolahan sesuai
kebutuhan ataupun selera. Dengan demikian, agar makanan yang dikonsumsi
dapat berkualitas baik dari segi proses maupun hasil pengolahannya maka perlu
diselenggarakan secara baik. Dengan penyelenggaraan makanan yang baik
diharapkan akan menghasilkan makanan yang baik kualitasnya, enak rasanya,
penghidangan yang produksi yang murah. Hal ini berarti bahwa dalam
penyenggaraan makanan, selain memperhatikan aspek kualitas makanan juga
diperhatikan aspek biaya operasionalnya.

2.6 Sarana Fisik Penyelenggaraan Makanan

2.6.1 Ruangan/Tempat
Dalam penyelenggaraan makanan diperlukan ruangan atau tempat untuk
melaksanakan penyelenggaraan makanan tersebut, mulai dari ruangan penerimaan
bahan makanan sampai kepada tempat pembuangan akhir sisa bahan makanan.
Adapun ruangan tersebut adalah:
1. Tempat/ruang penerimaan bahan makanan.
2. Tempat/ruang penyimpanan bahan makanan.
3. Tempat/ruang persiapan bahan makanan.
4. Tempat/ruang pemasakan dan pendistribusian bahan makanan.
5. Tempat/ruang pencucian dan penyimpanan alat.

2.6.2. Peralatan dan Perlengkapan


Oktrizanita (2005) yang mengutip pendapat Moehji (1990) bahwa dalam
penyelenggaraan makanan baik di institusi ataupun jasa boga, untuk kelancaran
terselenggaranya kegiatan penyelenggaraan makanan tersebut secara baik dan
cepat didukung juga oleh kecukupan dan kelengkapan peralatan dan perlengkapan
yang tersedia. Kebutuhan akan peralatan dan perlengkapan dapur harus
disesuaikan dengan arus kerja, unit kerja, menu, dan jumlah konsumen yang
dilayani, serta macam pelayanan.

2.7. Pelaksanaan Penyelenggaraan Makanan

2.7.1. Perencanaan Anggaran Belanja Makanan


Perencanaan Anggaran Belanja Makanan (PABM) adalah kegiatan
penghitungan jumlah biaya yang diperlukan untuk penyediaan bahan makanan
bagi konsumen. Anggaran belanja untuk menyelenggarakan makanan institusi
sebaiknya direncanakan setahun sebelumnya. Anggaran tersebut meliputi bahan
makanan, peralatan, pemeliharaan dan perbaikan alat, buruh dan kebutuhan lain
yang direncanakan (Oktrizanita, 2005). Hasil penelitian Ratna (2009) bahwa
perencanaan anggaran belanja bahan makanan di instalasi gizi Rumah sakit
ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta adalah dilakukan setiap setahun sekali.
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan makanan dalam
sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI, 2003), prasyarat anggaran
belanja makanan adalah sebagai berikut:
1. Adanya kebijakan institusi.
2. Tersedianya data peraturan pemberian makanan institusi.
3. Tersedianya data standar makanan untuk konsumen.
4. Tersedianya data standar harga bahan makanan.
5. Tersedianya data rata-rata jumlah konsumen yang dilayani.
6. Tersedianya siklus menu.
7. Tersedianya anggaran makanan.

2.7.2. Perencanaan menu


Perencanan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan
diolah untuk memenuhi selera konsumen pasien dan kebutuhan zat gizi yang
memenuhi prinsip gizi seimbang. Merencanakan menu untuk suatu pelayanan
makanan kepada orang banyak adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena
setiap orang mempunyai kebiasaan dan kesukaan makan yang saling berbeda.
Oleh karena itu, susunan menu harus disesuaikan kebiasaan makan dan selera
umum(Ratna, 2009).Tahap penyusunan menu khususnya untuk sebuah
penyelenggaraan makanan yang diperuntukkan bagi orang banyak sesuai dengan
penjelasan Soekresno (2000:76) harus memperhatikan : a. keadaan keuangan, b.
ketersediaan bahan sesuai musim, c. usia orang yang akan makan, d. agama, e.
latar belakang kebudayaan / adat istiadat, dan lain sebagainya yang dianggap akan
mempengaruhi proses penyelenggaraan makanan yang dilakukan, hal ini sudah
termasuk penyelenggaraan makanan institusi seperti perusahaan.
Sedang syarat penyusunan menu institusi seperti perusahaan yang terkait
dengan pengamanan makanan dan minuman berdasarkan peraturan pemerintah
No. 28 tahun 2004 bagian ke-empat yaitu pengamanan makanan dan minuman
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan yang tidak
memenuhi standar dan atau persyaratan kesehatan. Utari (2009) yang mengutip
pedoman teknis proses penyediaan makanan dalam sistem penyelenggaraan
makanan institusi(Depkes RI, 2003), prasyarat perencanaan menu adalah:
1. Peraturan pemberian makanan institusi.
2. Standar porsi dan standar resep. 3. Standar bumbu.
Dari hasil penelitian Rahmawati dkk (2011) dalam manajemen gizi
institusi penyelenggaraan makanan di sekolah Madania SD, SMP dan SMA bahwa
menu yang disajikan pihak kantin sekolah mengalami perubahan khususnya
dalam menu makan siang setiap satu bulan sekali. Hal ini dilakukan guna
menghindari kejenuhan siswa, setiap perubahan menu akan melibatkan pihak
guru. Setiap menu diharapkan memenuhi tujuan dari penyelenggaraan kantin
sekolah. Hal ini menunjukan bahwa dalam perencanaan menu harus
memperhatikan keadaan konsumen dengan memperhatikan selera konsumen
masing-masing institusi.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1991) dalam perencanaan menu
menyebutkan bahwa :
1. Perencanaan suatu menu makanan hendaknya menggunakan bahan
makanan yang mengandung gizi secara lengkap. Penganekaragaman selain
meningkatkan mutu gizi hidangan juga mempermudah perencanaan menu
makanan.
2. Pada waktu perencanaan menu makanan perlu pula diperhatikan
katersediaan bahan makanan disamping faktor selera dan nilai gizi. Daftar
padanan bahan makanan dapat digunakan untuk membantu menyusun
menu makanan yang padat zat gizi.
3. Padanan bahan makanan berisi daftar bahan makanan yang dalam
kelompoknya dapat menggantukan satu sama lain karena mempumyai
nilai gizi yang kurang lebih sama.
Dalam merencanakan suatu menu hendaknya ditentukan terlebih dahulu
macam menu yang diinginkan, menu pilihan atau menu standar. Menu pilihan
adalah jenis menu yang disajikan dan konsumen dapat memilih sesuai dengan
seleranya, sedangkan menu standar adalah susunan menu yang digunakan untuk
penyelenggaraan makanan dengan jangka waktu cukup panjang antara 7 hari atau
sampai 10 hari. Jenis masakan yang akan disajikan dari hari ke hari, baik untuk
makan pagi, makan siang, makan malam, maupun makanan selingan telah
sitentukan sehingga penyelenggaraan penyediaan makanan tinggal mengikuti
daftar menu itu saja.Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelenggaraan
makanan di Panti Asuhan Pamardi Putra Kabupaten Demak mengunakan siklus
menu 10 hari, artinya menu tersebut digunakan hanya untuk 10 hari makan (hari
ke-1 sampai dengan hari ke-10) dan untuk selanjutnya hari ke-11 menu itu akan
kembali lagi ke menu awal (hari ke-1) dan seterusnya. Selain itu, setiap 6 bulan
sekali diadakan evaluasi susunan siklus menu. Dari hasil evaluasi tersebut, maka
susunan menu yang sudah digunakan dapat digunakankembali atau juga susunan
tersebut ditukar dengan susunan menu yang lain atau juga kombinasi menu
(Sutardji, 2007).

2.7.3. Penghitungan Kebutuhan Bahan Makanan


Penghitungan kebutuhan bahan makanan adalah kegiatan penyusunan
kebutuhan bahan makanan yang diperlukan untuk pengadaan bahan makanan.
Penghitungan bahan makanan merupakan suatu langkah penting dalam upaya
pengendalian harga makanan konsumen.Cara penghitungan bahan makanan
adalah mengalikan jumlah konsumen dengan standar porsi dengan
memperhitungkan bagian yang tidak dapat dimakan dan dikalikan dengan jumlah
hari dalam kurun waktu yang ditetapkan. Hasil akhir dari penghitungan ini dapat
pula dibandingkan dengan sebelumnya sebagai pengecekan ulang. Apabila telah
disepakati dalam pembelian bahan makanan, maka perhitungan ini perlu juga
dinilai untuk dua sampai tiga kali putara menu, agar pesanan bahan makanan
selanjutnya lancer dan cukup (Oktrizanita, 2005).
Hasil penelitian Ratna (2009) bahwa perencanaan anggaran belanja bahan
makanan di instalasi gizi Rumah sakit ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta
bahwa langkah langkah dalam perhitungan kebutuhan bahan makanan yang ada
di Istalasi Gizi Rumah Sakit Ortopedi Surakarta yaitu:Jumlah pasien x berat kotor
x disesuaikan dengan menu yang akan di masak besok.Utari (2009) yang
mengutip pedoman teknis proses penyediaan makanan dalam sistem
penyelenggaraan makanan institusi (Depkes RI, 2003), bahwa prasyarat
perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah:
1. Adanya kebijakan institusi.
2. Tersedianya data peraturan pemberian makanan institusi.
3. Tersedianya data standar makanan untuk konsumen.
4. Tersedianya data standar harga bahan makanan.
5. Tersedianya siklus menu.
6. Tersedianya data jumlah konsumen yang dilayani.

2.7.4. Pemesanan dan Pembelian Makanan


Pemesanan dan pembelian bahan makanan merupakan salah satu
kewajiban pengelola penyelenggaraan makanan. Bahan makanan yang dimaksud
adalah bahan makanan mentah dan keadaan bahan makanan yang merupakan awal
dari proses mendapatkan makanan jadi. Bahan makanan harus dipilih kualitasnya
yang baik dan tidak tercemar. Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses
penyediaan makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI,
2003), prasyarat pemesanan dan pembelian bahan makanan adalah:
1. Adanya kebijakan institusi tentang pengadaan bahan makanan.
2. Adanya surat perjanjian dengan bagian logistik rekanan.
3. Adanya spesifikasi bahan makanan.
4. Adanya daftar pesanan bahan makanan.
5. Tersedianya dana
Pengadaan bahan makanan dapat ditempuh dengan berbagai cara, seperti :
membeli di pasar atau pusat perbelanjaan, mengambil sendiri di kebun/sawah.
Dalam pengadaan bahan makanan sangat diperlukan kualitas bahan makanan dan
harga makanan terlebih lagi jika bahan makanan tersebut akan di sajikan di
perusahaan (Deden, 2010). Petugas yang ditugaskan untuk pengadaan bahan
makanan di perusahaan hendaknya bersikap jujur dan membeli bahan makanan
sesusai dengan kebutuhan menu yang telah direncanakan, sehingga anggaran yang
diperuntukkan dalam pengadaan bahan makanan betul-betul terpenuhi.
Pemesanan adalah penyusunan permintaan (order) bahan makanan berdasarkan
menu atau pedoman menu dan rata-rata jumlah konsumen yang dilayani.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Ortopedi Prof Dr. R.
Soeharto Moestopo Surakarta bahwa Pemesanan bahan makanan baik makanan
kering ataupun makananbasah di tulis pada bon pemesanan. Bahan makanan
basah seperti buah, sayuran, daging dll di pesan setiap hari. Pada pemesanan
bahan makanan kering di lakukan setiap 1 bulan sekali karena bahan makanan
kering dapat bertahan cukup lama. Pembelian adalah salah satu kegiatan
pengadaan di dalam upaya memenuhi kebutuhan makanan. Cara pembelian bahan
makanan yang dilakukan di Rumah Sakit dengan cara sistem lelang melalui
rekanan (Ratna, 2009).

2.7.5. Penerimaan Bahan Makanan


Penerimaan bahan makanan adalah suatu kegiatan yang meliputi
pemeriksaan, pencatatan dan pelapporan tentang macam, kualitas dan kuantitas
bahan makanan yang diterima sesuai dengan pesanan yang telah
ditetapkan.Institusi membuat daftar pesanan bahan makanan sesuai dengan menu
yang akan disajikan (Moehyi, 1992).
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan makanan
dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI, 2003), prasyarat
penerimaan bahan makanan adalah:
1. Tersedianya rincian pesanan bahan makanan harian berupa macam dan
jumlah bahan makanan yang akan diterima.
2. Tersedianya spesifikasi bahan makanan yang telah ditetapkan.

2.7.6. Penyimpanan dan Penyaluran Makanan


Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata, menyimpen,
memlihara bahan makanan kering dan basah serta mencatat serta pelaporannya.
Setelah bahan makanan yang memenuhi syarat diterima harus segera dibawa ke
ruangan penyimpanan, gudang atau ruangan pendingin. Apabila bahan makanan
langsung akan digunakan, setelah ditimbang dan diawasi oleh bagian
penyimpanan bahan makanan dibawa ke ruangan persiapan bahan makanan
(Moehyi, 1992).
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan makanan
dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI, 2003), prasyarat
penyimpanan bahan makanan adalah:
1. Adanya sistem penyimpanan barang.
2. Tersedianya fasilitas ruang penyimpanan bahan makanan sesuai persyaratan.
3. Tersedianya kartu stok atau buku catatan keluar masuknya bahan makanan.
Ada 4 prinsip penyimpanan bahan makanan yang sesuai dengan suhunya (Depkes
RI, 200):
1. Penyimpanan sejuk (colling) pada suhu 10C-15C seperti jenis minuman,
buah dan sayuran.
2. Penyimpanan dingin (chilling) pada suhu 4C-10C seperti makanan
berprotein yang segera akan diolah.
3. Penyimpanan dingin sekali (freezing) pada suhu 0C-4C seperti bahan
makanan yang mudah rusak untuk jangka waktu 24 jam.
4. Penyimpanan beku (frozen) pada suhu <0C seperti bahan protein yang
mudah rusak untuk jangka waktu <24 jam.
Penyaluran bahan makanan adalah tatacara mendistribusikan bahan
makanan berdasarkan pemintaan harian. Tujuan daripada penyaluran bahan
makanan adalah tersedianya bahan makanan yang siap pakai dengan kualitas dan
kuantitas yang tepat sesuai dengan pesanan. Untuk melaksanakan kegiatan
penyaluran bahan makanan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan yaitu
adanya bon permintaan bahan makanan dan tersedianya kartu stok/buku catatan
keluar masuknya bahan makanan(Moehyi, 1992).
Penyimpanan bahan makanan kering yang ada di Instalasi Gizi di lakukan
dengan di simpan di sebuah gudang penyimpanan bahan makanan kering yang
mempunyai ruangan cukup luas dengan keadaan yang sudah cukup layak baik di
lihat dari segi luas bangunan, sirkulasi udara dll. Bahan makanan kering yang
biasanya di simpan di gudang tersebut antara lain beras, gula pasir, telur, kecap,
teh dll (Ratna,2009).

2.7.7. Persiapan dan Pengolahan Makanan


Menyiapkan makanan meliputi kegiatan membersihkan dan
menghilangkan bagianbagian yang tidak dimakan, memotong, menghaluskan,
menggiling, mencampur, membentuk serta kegiatan lainnya yang harus dikerjakan
sebelum bahan makanan siap diolah. Persiapan yang sempurna terhadap bahan
makanan sangat penting dan tidak hanya ditinjau dari segi gizi, tetapi juga dari
segi biaya operasionalnya. Selain itu, bagian ini perlu diawasi untuk mencegah
terjadinya pembuangan bahan makanan, misalnya pengupasan yang terlalu tebal.
Agar diperolah hasil makanan yang baik kualitasnya, maka salah satu hal
yang perlu diperhatikan adalah pengolahan makanan. Macam-macam proses
pengolahan makanan yang dapat diterapkan anatara lain yaitu: merebus,
mengukus, mengetim, menggoreng, mencah, menyetup, membardir, membuat
kaldu, mengentalkan, menjernihkan, mengocok atau memukul, mendinginkan dan
menghidangkan, dimana hal ini dilakukan sesuai kebutuhan.Pengolahan bahan
makanan adalah merupakan suatu kegiatan memasak bahan makanan mentah
menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas dan aman dikonsumsi.
Tujuan:
1. Mengurangi resiko kehilangan zat gizi bahan makanan
2. Meningkatkan nilai cerna.
3. Meningkatkan dan mempertahankan warna, rasa, keempukan dan
penampilan makanan.
4. Bebas dari organisme dan zat yang berbahaya bagi tubuh
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan makanan dalam
sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI, 2003), prasyarat
pengolahan bahan makanan adalah:
1. Tersedianya siklus menu.
2. Tersedianya peraturan penggunaan bahan tambahan pangan.
3. Tersedianya bahan makanan yang akan diolah.
4. Tersedianya peralatan pengolahan bahan makanan.
5. Tersedianya aturan penilaian.
6. Tersedianya prosedur tetap pengolahan.

2.7.8 Pendistribusian Makanan


Pendsitribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran
makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang dilayani
(makanan biasa maupun khusus) (Depkes RI, 2003).Setelah bahan makanan
mengalami proses pemasakan, selanjutnya bahan makanan tersebut disalurkan
untuk disampaikan kepada konsumen. System penyaluran yang digunakan sangat
mempengaruhi makanan yang disajikan, tergantung pada jenis dan jumlah tenaga,
perlengkapan dan peralatan yang ada.Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis
proses penyediaan makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan
institusi(Depkes RI, 2003), prasyarat pendistribusian dan penyajian makanan
adalah:
1. Adanya bon permintaan bahan makanan.
2. Tersedianya kartu stok atau buku catatan keluar masuknya bahan makanan.
3. Tersedianya standar porsi.
4. Tersedianya peralatan makanan.
5. Tersedia sarana pendistribusian makanan.
6. Tersedia tenaga pramusaji.
7. Adanya jadwal pendistribusian makanan di dapur utama.
BAB 3. METODELOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Hari / Tanggal : Jumat, 30 Maret 2017
Waktu : 13.00 - 15.00
Tempat : Laboratorium Pengolahan Pangan Politeknik Negeri
Jember

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat dan Bahan


1. Buku Catatan
2. Bolpoin
3. Handphone
4. Lembar checklist

3.2.2 Prosedur Kerja


1. Melakukan survei sesuai dengan waktu yang ditentukan.
2. Membuat laporan hasil survey yang dilakukan.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.2 Pembahasan
HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu
piranti (sistem) yang digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem
pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan. HACCP menekankan
pentingnya mutu keamanan pangan. Karena itu, sebagai suatu sistem jaminan
mutu keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses
pengolahan produk pangan (dari bahan baku sampai produk dikonsumsi)
(Muhandri, 2012).
Salah satu alasan mengenai pentingnya penerapan sistem HACCP pada
industri pangan adalah karena bahan- bahan yang digunakan (baik bahan baku
maupun penolong) serta selama proses produksi memiliki peluang terjadinya
pencemaran yang dapat membahayakan konsumen. Pencemaran ini dapat berupa
pencemaran fisik, kimia, maupun mikrobiologi (Muhandri, 2012).
Prosedur yang dikerjakan untuk identifikasi bahaya menggunakan HACCP
adalah pertama melakukan deskripsi terhadap produk yang akan dilakukan
analisis bahaya, meliputi: nama makanan, bahan- bahan yang digunakan, cara
penyimpanan, cara distribusi, cara mengkonsumsi makanan tersebut, dan proses
pengolahan dalam bentuk bagan alir. Kedua, menentukan jenis bahaya (fisik,
kimia, biologi) dan cara pencegahannya pada bahan baku. Ketiga, melakukan
analisis resiko bahaya dengan menetapkan makanan tersebut termasuk dalam
kelompok bahaya yang mana (lihat table pengelompokan bahaya sesuai dengan
karakteristik, (A,B,C,D,E,F)). Selanjutnya, penetapan kategori bahaya
berdasarkan hasil analisis resiko bahaya (langkah ketiga). Dan terakhir, tentukan
jenis bahaya (fisik, kimia, biologi) dan cara pencegahannya pada proses dan
lingkungan.
4.2.1 Identifikasi bahaya dan cara pencegahannya pada bahan makanan
Kelepon adalah sejenis makanan tradisional Indonesia yang termasuk ke dalam
kelompok jajan pasar. Terbuat dari tepung beras ketan yang dibentuk seperti bola-bola
kecil dengan isi gula kelapa (gula Jawa) kemudian direbus dalam air mendidih lalu
disajikan dengan parutan kelapa. Klepon biasa dijajakan bersama getuk dan cenil (juga
disebut cetil) sebagai camilan sore atau pagi hari. Warna klepon biasanya putih atau hijau
tergantung selera. Untuk klepon dengan warna hijau perlu ditambahkan pewarna dari
daun suji atau daun pandan. Menurut Koswara (2006), kelepon termasuk kedalam
kelompok kue basah.

Bahan makanan yang dianalisa yaitu bahan bahan yang digunakan untuk
pembuatan kelepon ketan. Bahan bahan tersebut diantaranya tepung ketan, pasta
pandan, air kapur sirih, garam, air, gula merah, dan kelapa parut. Bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan kelepon ketan memiliki resiko bahaya, sehingga perlu
diterapkan system HACCP untuk mengidentifikasi bahaya spesifik yang mungkin timbul
dalam rantai produksi makanan dan dapat dilakukan tindakan pencegahannya untuk
mengendalikan bahaya terhadap jaminan keamanan makanan.

Terdapat tiga bahaya yang dapat menyebabkan makanan menjadi tidak aman
untuk di konsumsi, yaitu bahaya fisik, kimia, dan biologi. Bahaya fisik termasuk
benda-benda seperti pecahan logam, gelas, batu yang dapat ,menimbulkan luka di
mulut, gigi patah, tercekik atau luka pada saluran pencernaan. Bahaya kimia
antara lain pestisida, zat pembersih, antibiotik, logam berat, dan bahan tambahan
makanan. Bahaya biologi antara lain mikroba patogen (parasit, bakteri), tanaman
dan hewan beracun.

1. Bahaya Fisik

Bahan makanan dalam pembuatan kelepon ketan yang memiliki bahaya


fisik meliputi pasta pandan, garam, air kapur sirih, tepung ketan, dan gula merah.
Pada pasta pandan terdapat bahaya fisik yaitu adanya pasir. Cara pencegahan yang
paling sederhana dapat dilakukan dengan pengecekan sebelum membeli pasta
pandan yaitu dengan melihat kemasan luar dalam keadaan tersegel atau dalam
keadaan bersih.
Pada garam terdapat bahaya fisik yaitu terdapat pasir dan rambut, cara
pencegahannya dapat dilakukan dengan mengambil garam yang terkontaminasi
dengan pasir dan rambut kemudian membuangnya ketempat sampah. Cara
pencegahan lainnya dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan sebelum
memebeli garam dan memilih garam dalam keadaan bersih. Pada air kapur sirih
ditemukan bahaya fisik yaitu pasir dan rambut. Cara pencegahanya dapt dilakukan
pengambilan rambut dan menyaringan pasir dan wadah air kapur sirih sebaiknya
ditutup kembali agar terhindar dari kontaminan. Pada bahan tepung ketan tidak
ditemukan adanya bahaya fisik dikarenakan tepung ketan masih dalam kemasan dan
dalam kualitas baik. Pada bahan gula merah ditemukan bahaya fisik yaitu kerikil, cara
pencegahannya yaitu dapat dilakukan adalah memisahkan antara bahan dengan
bahaya fisik tersebut. Jika terdapat kerikil maka mengambil kerikilnya saja karena
ukuran kerikil lebih besar daripada ukuran garam sehingga memudahkan untuk
proses pemisahan.

2. Bahaya Biologi

Bahaya biologi pada beberapa bahan yang dianalisa yaitu ditemukan


adanya semut pada air. Cara pencegahan yang dapat diakukan yaitu dengan
mengambil semut dari air. Bahaya biologi lainnya yaitu derdapat mikroorganisme
atau bakteri seperti e-coli, cara pencegahannya dengan dilakukan pemasakan air
hingga mendidih. Suhu yang digunakan untuk merebus yaitu 100 0C sehingga
bakteri maupun organisme tidak dapat hidup. Hal ini sesuai dengan literature yaitu
suhu perebusan (Boilling) adalah teknik pengolahan makanan dalam air mendidih dengan
cepat dan bergolak. Suhu air mendidih yaitu 212 oF atau 100oC. Cairan yang digunakan
untuk proses boiling antara lain air, kaldu, santan atau susu (Sri, 2013).

3. Bahaya kimia

Hasil analisa tidak ditemukan bahaya kimia yang terdapat pada bahan
makanan. Bahan makanan yang dianalisa meliputi pasta pandan, garam, air kapur
sirih, tepung ketan, dan gula merah. Beberapa bahaya kimia misalnya residu
pestisida yang terdapat pada sayuran, cara pencegahannya yaitu dengan
mencucinya secara bersih dengan menggunakan air yang mengalir, bukan dengan
air diam. Jika yang kita gunakan air diam (direndam) justru sangat memungkinkan
racun yang telah larut menempel kembali ke sayuran. Pencucian bisa menurunkan
residu sebanyak 70 persen untuk jenis pestisida karbaril dan hampir 50 persen
untuk DDT. Dalam mencuci sayur sebaiknya jangan lupa membersihkan bagian-
bagian yang terlindung mengingat bagian ini pun tak luput dari semprotan petani.

4.2.2 Analisis resiko bahaya


Bahaya adalah salah satu factor yang dapat mempengaruhi kepuasan
konsumen secara negative yang meliputi bahaya biologis, kimiawi, atau fisik baik
dari dalam, atau kondisi dari makanan yang potensi untuk menyebabkan dampak
merugikan bagi kesehatan. Identifikasi bahaya adalah evaluasi spesifik pada
produk pangan dan bahan mentah, ingredient, serta bahan tambahan untuk
menentukan resiko terhadap bahaya biologis, kimia dan fisik. Kemudian
menganalisa resiko yaitu menganalisa peluang kemungkinan suatu bahaya akan
terjadi.
Dalam melakukan analisa bahaya, hal penting yang perlu dipertimbangkan
yaitu mengenai semua kemungkinan bahaya yang ada pada bahan baku, bahan
pembantu, setiap tahapan proses, penyimpanan produk dan distribusi, penyiapan
akhir dan penggunaan oleh konsumen. Identifikasi harus memasukkan semua
aspek operasi dalam lingkup sistem HACCP (Wahono, 2006). Saat melakukan
analisa bahaya, hal-hal yang menyangkut keamanan pangan harus dibedakan
dengan hal-hal yang menyangkut mutu. sehingga kata hazard yang digunakan ini
hanya dibatasi untuk hal-hal yang menyangkut keamanan pangan.
Berdasarkan Codex (1997) hazard didefinisikan sebagai suatu agen atau
kondisi biologis, kimiawi ataupun fisik dalam makanan yang berpotensi
menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan (Maltimore dan Wallace, 2004).
Sehingga dalam pembagiannya hazard dalam penyelenggaraan makanan, dibagi
menjadi beberapa jenis bahaya yang dapat mempengaruhi secara negative atau
membahayakan konsumen, yaitu bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.
Kemudian bahaya dianalisis oleh tim HACCP.
Setelah dilakukan identifikasi bahaya dan cara pencegahannya pada bahan
makanan yang digunakan pada pembuatan kelepon ketan, kemudian langkah
selanjutnya yaitu menganalisis resiko bahaya dari semua bahan yang digunakan
pada pembuatan kelepon ketan tersebut. Dalam pembuatan kelepon ketan
menggunakan beberapa bahan sebagai berikut yaitu tepung ketan, pasta pandan,
parutan kelapa, garam, air kapur sirih, air dan gula merah.
Tepung ketan termasuk dalam resiko VI, dimana dalam tepung ketan
termasuk kedalam 6 bahaya dan kemungkinan atau peluang terjadi dalam bahan
tepung ketan berdasarkan pengelompokan bahaya yaitu: termasuk dalam
kelompok bahaya A, dimana telur merupakan kelompok makanan khusus yang
terdiri dari makanan nonsteril yang ditujukaan untuk konsumen yang berisiko
tinggi, pada pasien sakit. Termasuk dalam kelompok bahaya B, dimana dalam
tepung ketan beresiko terhadap bahaya fisik, biologi dan kimia, tetapi dalm
praktikum bahan yang digunakan masih dalam kemasan sehingga dalam keadaan
yang baik. Termasuk dalam kelompok bahaya D, seelah dilakukan proses
pemasakan tepung ketan kemungkinan masih dapat menalami pencemaran
kembali setelah penyajian salah satu contohnya yaitu kelepon ketan yang sudah
disajikan masih dapat mengalami cemaran yang berasal dari udara. Kelepon ketan
juga termasuk dalam kelompok bahaya E, dimana jika dalam proses selama
pengolahan salah hal ini dapat berakibat makanan tersebut akan membahayakan
bila dikonsumsi pasien karena dapat menjadi racun (kontaminasi saat
pengolahan). Dan tepung ketan juga termasuk kedalam kelompok bahaya F,
karena tidak adanya proses pemanasan kembali setelah disajikan kepada pasien.
Bahan yang kedua yaitu pasta pandan merupaka kategori resiko yang ke V
karena mengandung lima bahaya sekaligus, termasuk kedalam kelompok bahaya
yang sama dengan tepung ketan yaitu: termasuk kedalam kelompok bahaya A,
dimana pasta pandan dapat digunakan sebagai bahan pewarna makanan khusus
untuk memberikan warna makanan. Kemudian termasuk kedalam kelompok
bahaya B, karena pasta pandan rentan akan cemaran fisik, kimia dan biologis.
Termasuk kedalam kelompok bahaya D, karena pasta pandan masih dapat
mengalami pencemaran kembali yaitu pencemaran yang disebabkan oleh udara.
Termasuk kedalam kelomok bahaya E, karena pasta pandan dapat menjadi bahan
pewarna makanan yang berbahaya jika selama proses pengolahan mengalami
penanganan yang salah. Kelompok bahaya yang terakhir yaitu termasuk kedalam
kelompok bahaya F, karena pasien sudah tidak dapat menghilangkan bahaya
kimia, fisik ataupun biologis.
Bahan yang ketiga yang masuk kedalam kategori resiko V yang
mengandung lima bahaya parutan kelapa, termasuk kedalam kelompok bahaya A,
yang merupakan makanan khusus yang ditujukan untuk beberapa kelompok
pasien aja. Termasuk kedalam kelompok bahaya B, dimana pada parutan kelapa
sensitive terhadap bahaya fisik seperti kerikil, biologis seperti bakteri, tetapi pada
parktikum yang diamati tidak termasuk kedalam kategori bahaya. Termasuk
kedalam kelompok bahaya D, karena setelah disajikan masih bisa terjadi
pencemaran kembali yang disebabkan salah satunya yaitu cemaran udara.
Termasuk kedalam kelompok bahaya E, karena dapat menjadi makanan yang
berbahaya untuk dikonsumsi jika proses penanganan pengolahan yang salah. Dan
juga termasuk kedalam kelompok bahaya F, karena setelah disajikan tidak dapat
lagi dilakukan proses yang dapat memusnahkan atau menghilangkan bahaya yang
terkandung dalam parutan kelapa.
Bahan yang keempat yaitu garam, dimana garam termasuk kedalam resiko
bahaya V karena mengandung lima bahaya, yaitu kelompok bahaya A, B, D, E
dan F. Termasuk kedalam kelompok bahaya A, yang merupakan bahan tambahan
makanan khusus yang ditujukan untuk beberapa kelompok pasien aja. Garam
merupakan bahan yang sensitive terhadap bahaya fisik, dimana terdapat kotoran
seperti pasir dll dalam garam, kemungkinan terjadinya pencemaran kembali pada
bahan garam sangat tinggi dimana cemaran tersebut bisa berasal dari udara, air
dll. Garam juga merupakan bahan yang sensitive karena apabila dalam proses
pengolahan maupun distribusi terjadi kesalahan pengolahan maka makanan
tersebut menjadi berbahaya jika dikonsumsi konsumen dan juga tidak ada proses
yang dapat konsumen lakukan untuk memusnahkan atau menghilangkan bahaya
jika sudah disajikan.
Bahan yang kelima termasuk kedalam kategori resiko V karena
menandung lima bahaya yaitu air kapur sirih. Termasuk kedalam kelompok
bahaya A, B, D, E dan F. Air kapur sirih merupakan produk nonsteril yang
ditujukan untuk konsumen beresiko tinggi, merupakan bahan yang sensitive
terhadap bahaya kimia, fisik (adanya kotoran seperti kerikil atau pasir), dan
biologi (terdapat bakteri e-coli) dan semut. Air kapur sirih merupakan bahan yang
rentan akan terjadi pencemaran kembali setelah dicampurkan dengan bahan
lainnya karena adanya cemaran dari udara, air dll dan merica merupakan bahan
yang bahaya jika dikonsumsi jika terjadi kesalahan pada saat proses pengolahan
maupun distribusi. Tidak ada cara mencegah atau menghilangkan bahaya yang
dapat dilakukan oleh konsumen.
Bahan keenam yang digunakan dalam proses pemasakan kelepon ketan
yaitu air yang termasuk kedalam kategori resiko VI, karena mengandung enam
bahaya yaitu kelompok bahaya A, B, C, D, E dan F. Air merupakan produk
nonsteril yang ditujukan untuk konsumen beresiko tinggi, merupakan bahan yang
sensitive terhadap bahaya kimia, fisik (adanya kotoran seperti kerikil atau pasir,
rambut), dan biologi (terdapat bakteri e-coli) dan semut. Air merupakan bahan
yang rentan akan terjadi pencemaran kembali setelah dicampurkan dengan bahan
lainnya karena adanya cemaran dari udara, air dll dan merica merupakan bahan
yang bahaya jika dikonsumsi jika terjadi kesalahan pada saat proses pengolahan
maupun distribusi. Cara penanggulangan bakteri dapat dilakukan dengan merebus
dengan suhu 1000C, sedangkan untuk rambut dapat diambil dari air tersebut.
Gula merah termasuk dalam resiko V, dimana dalam tepung ketan
termasuk kedalam lima bahaya dan kemungkinan atau peluang terjadi dalam
bahan tepung ketan berdasarkan pengelompokan bahaya yaitu: termasuk dalam
kelompok bahaya A, dimana gula merah merupakan kelompok makanan khusus
yang terdiri dari makanan nonsteril yang ditujukaan untuk konsumen yang
berisiko tinggi, pada pasien sakit. Termasuk dalam kelompok bahaya B, dimana
dalam gula merah beresiko terhadap bahaya fisik (seperti kerikil), biologi dan
kimia. Termasuk dalam kelompok bahaya D, seelah dilakukan proses pemasakan
gula merah kemungkinan masih dapat mengalami pencemaran kembali setelah
penyajian salah satu contohnya yaitu gula merah dapat mengalami cemaran yang
berasal dari udara. Gula merah juga termasuk dalam kelompok bahaya E, dimana
jika dalam proses selama pengolahan salah hal ini dapat berakibat makanan
tersebut akan membahayakan bila dikonsumsi pasien karena dapat menjadi racun
(kontaminasi saat pengolahan). Dan gula merah juga termasuk kedalam kelompok
bahaya F, karena tidak adanya proses pemanasan kembali setelah disajikan kepada
pasien.

4.2.3 Identifikasi bahaya dan cara pencegahannya pada proses pengolahan


Persiapan bahan baku merupakan hal yang harus dilakukan sebelum
melakukan proses pengolahan, seperti pencucian bahan dengan menggunakan air
bersih dan mengalir, penyimpanan bahan makanan dengan wadah tertutup, lama
penyimpanan, dan suhu yang tepat dan sesuai dengan bahan makanan. Selain itu
hygiene dan sanitasi alat, ruangan juga harus dipersiapkan dengan baik (Winarno,
2004).
Proses pertama dalam pembuatan kelepon ketan yaitu proses persiapan
bahan makanan. Dalam proses persiapan bahan-bahan meliputi tepung ketan, gula
merah, garam, parutan kelapa, air kapur sirih, dan air kapur dipersiapkan terlebih
dahulu. Tahap persiapan bahan-bahan makanan ditemukan bahaya fisik, biologi
dan kimia. Tepung ketan termasuk daam bahaya fisik seperti rambut dan pasir.
Cara pencegahan dapat dianjurkan kepada pekerja menggunakan penutup kepala
dan tepung ketan yang tercanpur dengan pasir dapat diayak. Bahaya biologi pada
tepung ketan yaitu adanya semut. Cara pencegahannya yaitu dengan menutup
tepung ketan dan menaruh pada wadah tertutup. Dalam proses persiapn termasuk
bukan CCP.
Gula merah termasuk kedalam bahaya fisik seperti kerikil dan bahaya
biologi seperti semut. Cara pencegahan bahaya fisik gula merah dengan
mengambil kerikil dari dula merah apabila kerikil agak besar, cara pencegahan
untuk bahaya biologi yaitu menempatkan gula merah pada wadah tertutup. Air
kapur termasuk dalam bahaya fisik seperti pasir, bahaya biologi seperti angkut-
angkut dan bahaya kimia seperti kandungan kapur. Cara pencegahan bahaya fisik
dan bahaya biologi yaitu dengan menutup tempat air kapur setelah digunakan,
cara pencegahan bahaya kimia dengan tidak berlebihan dalam menggunakan air
kapur. Dalam proses persiapn termasuk bukan CCP.
Parutan kelapa termasuk bahaya fisik yaitu rambut pasir, bahaya biologi
yaitu semut dan lalat. Cara pencegahan bahaya fisik dapat dilakukan dengan
menempatkan parutan kelapa pada tempat tertutup dan ptugas menggunakan
penutup kepala, sedangkan pada cara pencegahan bahaya biologi dengan
menempatkan pada tempat tertutup. Garam termasuk dalam bahaya fisik seperti
pasir dan rambut. Cara pencegahan bahaya fisik ditempatkan pada wadah tertutup.
Air termasuk kedalam dalam bahaya fisik seperti pasir dan rambut, bahaya biologi
semut dan bakteri e-coli. Cara pencegahan bahaya fisik yaitu dengan menutup
wadah dan pencegahan bahaya biologi dengan perebusan dengan suhu 1000C.
Dalam proses persiapn termasuk bukan CCP.
Proses pengolahan kelepon ketan dimulai dari pencampuran adonan
meliputi tepung ketan, air sedikit, pasta pandan, garam, air kapur sirih kemudian
uleni sampai tercampur rata. Pada tahap ini terdapat bahaya fisik berupa pasir,
rambut, air liur, keringat dan kuku. Bahaya fisik tersebut dapat dicegah dengan
mengambil atau menyisihkan pasir dan rambut. Selain itu dapat dicegah dengan
mengunakan perlengkapan memasak secara lengkap untuk mencegah terjadinya
kontaminan lebih lanjut. Dalam proses persiapn termasuk dalam CCP.
Selanjutnya yaitu tahap pengukusan kelapa, pada tahap ini terdapat bahaya
fisik yaitu rambut dan pasir. Cara pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
mencuci bersih kelapa sebelum diolah dan menempatkan kelapa pada wadah
tertutup. Tahap ketiga yaitu pengirisan gula merah, pada tahap ini terdapat bahaya
fisik dan bahaya biologi. Bahaya fisik seperti rambut, kuku, dan kerikil,
sedangkan bahaya biologi yaitu lalat. Cara pencegahan bahaya fisik yaitu dengan,
petugas dianjurkan mengunakan penutup kepala dan tidak memelihara kuku atau
menggunakan sarung tangan. Cara pencegahan biologi yang dapat dilakukan yaitu
pintu ruangan sebaiknya ditutup pada saat pengolahan dan produk makanan
sebaiknya ditutup menggunakan palastik warp. Dalam proses persiapn termasuk
dalam CCP.
Tahap keempat yaitu perebusan air dimana terdapat bahaya fisik dan
bahaya biologi. Bahaya fisik meliputi rambut, kuku, pasir, sedangkan bahaya
biologi yaitu lalat dan e-coli. Cara pencegahan bahaya fisik dengan mencuci panci
atau peralatan dengan bersih dan menutup air ketika perebusan. Bahaya biologi
dapat dicegah dengan merebus air hingga mendidih pada suhu 1000C. Sedangkan
untuk mencegah bahaya biologi dari lalat yaitu dengan menggunakan alat penutup
peralatan. Dalam proses persiapn termasuk bukan CCP. Tahap selanjutnya yaitu
tahap pencetakan dan pengisian. Pada tahap ini terdapat bahaya fisik meliputi
rambut, pasir dan kuku. Cara pencegahannya yaitu dengan menggunakan
perlengkapan dengan lengkap. Dalam proses persiapn termasuk dalam CCP.
Tahap perebusan kelepon yaitu tahap ketika kelepon dimasukkan kedalam
air mendidih. Tahap ini terdapat bahaya fisik yaitu rambut, pasir, kuku, cara
pencegahannya dengan menggunakan perlengkapan dengan tepat dan
meninimalisir terjadinya kontaminasi dari lingkungan sekitar. Dalam proses
persiapn termasuk dalam CCP. Tahap terakhir yaitu penyajian kelepon ketan, pada
tahap ini terdapat bahaya fisik dan biologi. Bahaya fisik seperti rambut, pasir
kuku, sedangkan bahaya biologi yaitu lalat dan semut. Cara pencegahan bahaya
fisik yaitu dengan menggunakan perlengkapan dengan tepat dan cara pencegahan
biologi yaitu dengan diberikan penutup atau plastik warp pada produk makanan.
Dalam proses persiapn termasuk dalam CCP.
5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 1990. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta.


Astawan, M. dan M. W. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani
Tepat Guna. Bogor: Akademika Pressindo.
Codex Committee on Food Hygiene.1997. HACCP. System and Guidelines for its
Application, Annex to CAC/RCP 1.1969 Rev.3, In Codex Alimentarus
Food Hygiene Basic Text.Food and Agriculture Organization of the United
Nation World Health Organization. Roma
Departemen Kesehatan RI, 2003. Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit,
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2007., Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Dirjen Binkesmas, Jakarta.
Fardiaz, S. (1996). Prinsip HACCP Dalam Industri Pangan. Fakultas Teknologi
Pertanian IPB. Bogor.
Fathonah, Siti. 2005. Higiene dan Sanitasi Makanan. Semarang : UNNES Press.
Moehyi, S. 2000. Penyelenggaran Makanan Institusi Dan Jasa Boga. Jakarta :
Bhatara.

Makfoeld, D. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Yogyakarta: Agritech.


Mortimore, Sara dan Carol Wallace. 2004. HACCP: Sekilas Pandang. EGC:
Jakarta.
Nurlaela, Euis. 2011. Keamanan Pangan dan Perilaku Penjamah Makanan di
Instalasi Gizi Rumah Sakit. Jurnal FKM UNHAS Vol. 1, No. 1. Agustus
20011 : 1-7. Diakses tanggal 5 September 2013.
Oktrizanita, D., 2005. Evaluasi Pelaksaan Penyelenggaraan Makanan di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara Tahun 2005, Skripsi Mahasiswa FKM
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Point (HACCP) untuk Pengolahan Makanan. Jakarta: Depkes RI
Rahmawati. (2011). Hubungan Pola Makan Dan Aktivitas Dengan Kadar
Gula Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 Rawat Jalan Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar. Skripsi : Makassar. Fakultas Ilmu Kesehatan
Sam Ratulangi.
Ratna, M.R., 2009. Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Makanan
Institusi di Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R Soeharso Surakarta. Karya Tulis
Ilmiah Mahasiswa bidang Kesehatan Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta. Diunduh : www.google.co.id tanggal 10 Agustus 2011 Restantini
Sudarmadji. 2005. Analisis Bahaya Dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard
Analysis Critical Control Point ). Kesehatan Lingkungan, 1(2):184-189.
Suklan, H. 1998. Pedoman Pelatihan System Hazard Analysis Critical Control
Moehyi, S. Pengaturan Makanan dan Diet Untuk Penyembuhan Penyakit.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta. 1999.
USDA. 1993. HACCP Principles for Food Production. USDA.
Sri I.G.A. 2013. Penuntun Praktikum Teknik Pengolahan Bahan Pangan. Jakarta:
Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai