Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Departement Kesehatan Republik Indonesia (depkes RI) dalam Pedoman
Pelayanan Gizi Rumah Sakit Tahun 2006, dalam penyelenggaraan makanan dan minuman
untuk mendapat makanan yang bermanfaat dan tidak membahayakan bagi yang memakannya
perlu adanya suatu penyehatan makanan dan minuman, yaitu upaya pengendalian faktor yang
memungkinkan terjadinya kontaminasi yang akan mempengaruhi pertumbuhan kuman dan
bertambahnya bahan aditif pada makanan dan minuman yang berasal dari proses pengolahan
makanan dan minuman.
Penyelenggaraan makanan institusi dan industri adalah program terpadu yang terdiri atas
perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pengolahan bahan makanan, dan penghidangan
makanan dalam skala besar (massal) serta pengadaan peralatan dan cara yang diperlukan
untuk mencapai tujuan yang dikoordinasikan secara penuh dengan menggunakan lembaga
kerja sedikit mungkin, tetapi harus mengutamakan kepuasan pelayanan, kualitas yang
maksimal dan pengontrolan biaya yang baik pada sebuah institusi atau industry.
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan menyediakan makanan yang sesuai
bagi orang sakit yang dapat menunjang penyembuhan penyakitnya. Kadang-kadang beberapa
rumah sakit juga menyediakan pelayanan bagi karyawan dan pengunjungnya. Pelayanan ini
seharusnya terpisah dari pelayanan makanan bagi orang sakit (pasien), mengingat makanan
bagi orang sakit lebih kompleks dan memiliki pelaksanaan administrasi yang berbeda (Bakri,
dkk 2018).
Unit gizi rumah sakit memiliki aturan tertentu dalam pengolahan makanan yang aman
dengan jumlah besar. Resiko terjadinya kontaminasi silang lebih besar karena banyaknya
hidangan yang dimasak atau disiapkan secara bersamaan. Kerentanan konsumen merupakan
faktor yang mendukung terjadinya foodborne disease (keracunan makanan), banyak
disebabkan oleh mikroorganisme (virus, fungi, bakteri, protozoa dan metazoa).
Mikroorganisme banyak dijumpai dari berbagai sumber kontaminan seperti hewan, air,
peralatan pengolahan, udara, tanah, debu dan manusia. Interaksi mikrobia pada manusia
menjadi menguntungkan atau merugikan, contohnya untuk yang merugikan seperti
Clostridium perfringens dan Bacillus cereus yang dikategorikan intoksikasi dapat
memproduksi toksin dan bakteri kelompok Coliform adalah indikator adanya kotoran atau
senyawa yang tidak baik terdapat pada air, makanan dan susu (Pelczar,2008).
Manajemen makanan di institusi rumah sakit lebih kompleks dan membutuhkan
penanganan khusus. Di rumah sakit, makanan disajikan langsung kepada pasien di tempatnya
dirawat atau di bangsal perawatan. Selain itu, pemberian makanan kepada pasien
memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan proses penyembuhan pasien. Dengan
demikian, kebersihan dan kualitas makanan sangat penting karena makanan yang disajikan
juga berperan dalam proses penyembuhan pasien. Untuk menyediakan makanan berkualitas
yang bebas kontaminasi dari zat berbahaya, HACCP menjadi sistem penting dalam
meminimalkan risiko bahaya yang dapat timbul dari manajemen makanan. (Dian Wahyuni et
al., n.d. 2019)
Instalasi Gizi RSUP Sanglah merupakan salah satu penunjang yang menyelenggarakan
makanan bagi pasien rawat inap. Penyelenggaraan makanan di rumah sakit ini dilaksanakan
untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan
pasien. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan penampilan, rasa, tekstur,
aroma dan sanitasi dari makanan tersebut. Salah satu cara pengawasan mutu makanan yaitu
dengan menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point(HACCP), sehingga makanan
yang disajikan terjaga keamanannya untuk dikonsumsi (Olivia et al., n.d. 2017)
HACCP adalah suatu evaluasi sistematis terhadap prosedur pengolahan atau
penyiapan makanan yang spesifik untuk mengidentifikasi hazard yang berkaitan dengan
ingredient atau dengan prosedur pengolahan itu sendiri dan untuk mengetahui cara
mengendalikan hazard tersebut.Tujuan HACCP adalah untuk menjamin bahwa produk
makanan memang aman untuk di konsumsi. Penerapan HACCP tersebut meliputi semua
kegiatan yang dimulai dari penanganan bahan mentah, pemilihan bahan mentah, persiapan,
pengolahan, penyimpanan dan penyajian makanan matang.
Salah satu hidangan lauk hewani yang disediakan oleh bagian Instalasi Gizi RSUP
Sanglah sebagai menu biasa bagi pasien adalah Telur Bumbu Rica-Rica. Pada lauk hewani ini
perlu dilakukan tindakan HACCP mengingat bahan bakunya berupa telur ayam yang bias
mengalami bahaya biologi, fisik, dan kimia. Selain bahaya yang berasal dari bahan baku,
bahaya juga dapat timbul pada saat penerimaan maupun persiapan bahan baku. Bahaya
tersebut timbul bila kualitas bahan tidak sesuai standar, ada kontaminasi dengan bahan
makanan yang lain dan kebersihan alat pada waktu digunakan. Oleh karena untuk
menerapkan HACCP kami mencoba melakukan pengamatan penelitian tentang “Pengawasan
Mutu Makanan (HACCP) Pada Telur Bumbu Rica-Rica”.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui kegiatan program keamanan pangan dan sanitasi dalam
penyelenggaraan makanan melalui HACCP
b. Tujuan Khusus
1.3 Manfaat
a. Bagi RSUP Sanglah
Sebagai bahan evaluasi terhadap hasil olahan yang disajikan di RSUP Sanglah dan
dapat mengatasi atau mengurangi penyimpangan – penyimpangan pada proses
pengolahan serta menjaga kualitas mutu dan keamanan makanan.
b. Bagi Mahasiswa
Memberikan suatu kesempatan bagi mahasiswa untuk menerapkan ilmu yang telah
diperoleh dan menambah pengalaman dari permasalahan yang ditemui.
c. Bagi Konsumen/pasien
Sebagai jaminan mutu keamanan pangan pada menu khususnya lauk hewani.
Terutama bagi pasien RSUP Sanglah Kota Denpasar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HACCP


HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan
mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau perhatian bahwa hazard (bahaya) akan
timbul pada berbagai titik atau tahap produksi, tetapi pengendaliannya dapat dilakukan
untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut. HACCP merupakan salah satu bentuk
manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan
pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam
menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen. Kunci utama HACCP adalah
antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan
pencegahan dari pada mengandalkan kepada pengujian produk akhir.

HACCP merupakan suatu sistem pengawasan yang bersifat pencegahan atau


preventif terhadap kemungkinan terjadinya keracunan atau penyakit melalui makanan.
Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan,
produk atau proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus
mendapatkan pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang
dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan keamanan yang ditetapkan(Bilikon et al., 2017)

Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-risk
atau tanpa risiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan.
Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi
rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya- bahaya
mikrobiologis, kimia dan fisik. Para pakar ilmu pangan berpendapat bahwa HACCP
memberikan elemen-elemen penting dalam system manajemen keamanan maupun
GMP (Good Manufacturing Process) secara sistematis dan mudah diterapkan (Winarno,
2004). HACCP melihat mulai dari proses produksi/produk dari awal hingga akhir,
menetapkan dimana bahaya mungkin dapat timbul, pengendalian dan monitoring, tuliskan
hal tersebut dengan melakukan rekaman kegiatan, serta usahakan berjalan secara kontinyu
dan efektif(Ponda et al., 2020).
2.2 Sejarah HACCP
Konsep HACCP pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di Amerika
Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics Research and Development Laboratories,
The National Aeronautics and Space Administration serta US Air Force Space Laboratory
Project Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi
astronot pada gravitasi nol. Untuk itu dikembangkan makanan berukuran kecil (bite size)
yang dilapisi dengan pelapis edible yang menghindarkannya dari hancur dan kontaminasi
udara. Misi terpenting dalam pembuatan produk tersebut adalah menjamin keamanan produk
agar para astronot tidak jatuh sakit. Dengan demikian perlu dikembangkan pendekatan yang
dapat memberi jaminan mendekati 100% aman. Tim tersebut akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa, cara terbaik untuk mendapatkan jaminan tertinggi adalah dengan sistem
pencegahan dan penyimpanan rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai
HACCP ini, jika diterapkan dengan tepat dapat mengendalikan titik-titik atau daerah-daerah
yang mungkin menyebabkan bahaya. Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati
satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya.
Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya fisik, dan
kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi cemaran tersebut. Disamping itu,
dilakukan pula analisis terhadap proses, fasilitas dan pekerja yang terlibat pada produksi
pangan tersebut.
Pada tahun 1971, untuk pertama kalinya sistem HACCP ini dipaparkan kepada
masyarakat di negara Amerika Serikat di dalam suatu Konferensi Nasional Keamanan
Pangan. Pada tahun berikutnya Pillsbury mendapat kontrak untuk memberikan pelatihan
HACCP kepada badan Food and Drug Adminstration (FDA). Dokumen lengkap HACCP
pertama kali diterbitkan oleh Pillsbury pada tahun 1973 dan disambut baik oleh FDA dan
secara sukses diterapkan pada makanan kaleng berasam rendah.
Pada tahun 1985, The National Academy of Scienses (NAS) merekomendasikan
penerapan HACCP dalam publikasinya yang berjudul An Evaluation of The Role of
Microbiological Criteria for Foods and Food Ingredients. Komite yang dibentuk oleh NAS
kemudian menyimpulkan bahwa sistem pencegahan seperti HACCP ini lebih dapat
memberikan jaminan kemanan pangan jika dibandingkan dengan sistem pengawasan produk
akhir.
Sejak Codex Guidelines for the Application of the HACCP System diadopsi oleh
FAO/WHO Codex Alimentarius Commission  pada tahun 1993, termasuk the Codex Codeon
general Principles of Food Hygiene direvisi untuk mencakup Sistem HACCP, maka
beberapa negara didunia mulai merubah sistem keamanan pangan dari “end product tersting”
menuju aplikasi HACCP. Terlebih sejak 1997 codex kembali mempertegas dengan
menetapkan kembali Codex Guidelines for the Application of the HACCP System direvisi
dengan judul Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) system and Guidelines
for its Application dengan no GL 32. Beberapa negara kemudian mengadopsi baik melalui
standar maupun regulasi. Sebagai contoh adalah Amerika serikat dengan CFR 21, Canada
dengan Quality Management Program, Indonesia dengan SNI (SNI 01-4852- 1998) “Sistem
Analisa Bahaya dan pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-
HACCP) Serta Pedoman Penerapannya, Uni Eropa dengan beberapa Commission Decision-
nya, serta menyusul Jepang, Australia, New Zealand, Thailand dan sebagainya.
Dengan diadopsinya HACCP menjadi standar di beberapa negara, maka industry
pangan mendapatkan rekomendasi secara jelas untuk menerapkan HACCP, dan dengan
meningkatnya menjadi regulasi di beberapa negara maka ada suatu tendensi bahawa HACCP
akan menjadi wajib untuk industri pangan untuk diterapkan, bahkan beberapa negara sudah
mewajibkan (Mokhamin, 2015).

2.3 Prinsip HACCP


Secara teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan sistem HACCP pada
industri pangan seperti yang direkomendasikan baik oleh NACMCP (National Advisory
Committee on Microbilogical Criteria for Foods, 1992) dan CAC (Codex Alintarius
Commission, 1993). Ketujuh prinsip dasar penting HACCP yang merupakan dasar filosofi
HACCP tersebut adalah:
1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara pencegahannya.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis (CCP) di dalam proses produksi.
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah teridentifikasi.
4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk memonitor CCP.
5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi
penyimpangan (diviasi) pada batas kritisnya.
6. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan datanya
(Record keeping).
7. Menetapkan prosedur untuk menguji kebenaran.

Prinsip-prinsip HCCP(Cartwright & Latifah, 2017) :


1. Prinsip 1 Berkaitan dengan analisa bahaya
2. Prinsip 2 Menentukan titik kendali krisis
3. Prinsip 3 Menetapkan batas kritis
4. Prinsip 4 Menetapkan system pemantauan pengendalian TKK/ prosedur monitoring
Prinsip 5 Menetapkan tindakan perbaikan yang dilakukan jika hasil pemantauan
menunjukkan bahwa suatu titik kendali krisis tertentu tidak terkendali/ menetapkan
tindakan koreksi
5. Prinsip 6 Menetapkan prosedut verifikasi untuk memastikan bahwa system HACCP
bekerja secara efektif
6. Prinsip 7 Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip dan penerapannya.

Bilikon, O. M., Tutiek, R., & Rakhmawati, A. (2017). Penerapan Hazard Analysis Critical
Control Point ( HACCP ) pada Usaha Jasaboga di Kecamatan Kotagede,Yogyakarta.
Jurnal Prodi Biologi, 6(6), 343–349.
Bakri, Bachyar dkk. 2018. Sistem Penyelenggaraan Makanan Institusi. Jakarta : Kemenkes
RI
Cartwright, L. M., & Latifah, D. (2017). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Sebagai Model Kendali Dan Penjaminan Mutu Produksi Pangan. Innovation of
Vocational Technology Education, 6(2), 509–519.
https://doi.org/10.17509/invotec.v6i2.6085
Dian Wahyuni, I., Andryani Lestari, D., & Azizah, R. (n.d.). Implementation of Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) in Nutrition Department of Hospital “X”,
Batu City, Indonesia. Retrieved August 21, 2021, from
http://www.deptan.go.id/bdd/admin/p_
Ponda, H., Fatma, N. F., & Yusuf, A. (2020). PENERAPAN HACCP (HAZARD
ANALYSIS AND CRITICAL CONTROL POINT) PADA PROSES PRODUKSI
SUKLAT MOCACHINO DAN CHOCO GRANULE DI PT. MAYORA INDAH TBK.
Heuristic, 17(1), 1–10. https://doi.org/10.30996/he.v17i1.3565

Anda mungkin juga menyukai