Anda di halaman 1dari 15

Yolla Cahya Apischa

240210150019

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Perubahan-perubahan pada daging ikan terjadi pada pasca tangkap dan pasca
penyembelihan atau setelah ikan tersebut mati. Perubahan mendasar yang terjadi
adalah beralihnya respirasi aerobik menjadi respirasi anaerobik (John, 1990).
Perubahan fisik, kimia dan fungsional yang terjadi saling berhubungan, perubahan
tersebut diantaranya adalah perubahan suhu, pH, tekstur atau kekerasan dan
kemampuan mengikat air (water holding capacity) (Slamet, 1996). Perubahan
yang cepat pada ikan salah satunya diakibatkan karena Ikan merupakan salah satu
jenis daging yang memiliki sifat perishable atau mudah rusak dari jenis daging-
daging lain, sekalipun disimpan dalam keadaan dingin.
Faktor yang mempengaruhi kerusakan daging ikan meliputi komposisi
daging ikan, musim penangkapan, medium hidup, mikoflora pada ikan dan cara
penangkapan. Ikan yang telah ditangkap dari laut biasanya dalam keadaan sudah
mati. Ikan setelah mengalami kematian (pasca mortem) akan terjadi perubahan-
perubahan komponen penyusun daging ikan. Secara umum perubahan-perubahan
pasca mortem ikan dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu fase prerigor mortis,
rigor mortis, dan pasca rigor mortis.
Praktikum ini dilakukan beberapa pengujian, di antaranya pengukuran pH
dan suhu dengan interval waktu setiap 10 menit, pengukuran water holding
capacity (WHC) dengan metode sentrifugasi, dan pengamatan subjektif terhadap
ikan dengan interval waktu setiap 10 menit..

4.1 Pengukuran pH
Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan
tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan pH daging ikan
sangat besar peranannya karena berpengaruh terhadap proses autolisis dan
penyerangan bakteri (Munandar dkk, 2009). Pengukuran pH daging ikan pada
praktikum kali ini dibedakan menjadi dua perlakuan yaitu pada suhu ruang dan
suhu dingin (freezer). Langkah awal yang dilakukan yaitu dengan mematikan ikan
terlebih dahulu. Setelah ikan mati, peredaran darah berhenti dan hasilnya
adalah berlangsungnya serangkaian perubahan yang sangat kompleks dalam
Yolla Cahya Apischa
240210150019

otot. Makin banyak darah yang hilang dari tubuh ikan akan meningkatkan umur
simpan serta kualitas daging yang dihasilkan (Mustar, 2013).
Pertama daging ikan yang telah dipotong diambil sebanyak 5 gram
kemudian ditambahkan akuades sebanyak 5 mL. Daging kemudian dihancurkan
menggunakan mortar dan diukur pHnya menggunakan pH meter. Daging ikan
yang telah dihancurkan kemudian disimpan di suhu ruang dan suhu refrigerasi. pH
kembali diukur setiap 10 menit selama 1 jam. Berikut adalah hasil pengamatan pH
daging ikan berdasarkan perlakuan berbeda:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengukuran pH
pH
Waktu
Suhu Ruang Freezer
0 6,60 6,60
10 6,70 6,81
20 6,70 6,83
30 6,69 6,80
40 6,68 6,80
50 6,71 6,77
60 6,75 6,83
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa baik nilai pH daging ikan pada
suhu ruang maupun freezer mengalami penurunan dan kenaikan yang tidak stabil.
Hal tersebut dapat dilihat pada daging ikan yang disimpan pada refrigerator
maupun pada suhu ruang. Perubahan pH terlihat kurang stabil, pada suhu ruang
sampai menit ke-20 pH naik tetapi kemudian pH menurun pada menit ke-30 dan
naik kembali pada menit ke-50. Begitu juga dengan suhu freezer yang mengalami
kenaikan dan penurunan pH secara tidak stabil. Namun rata-rata nilai pH dari tiap
interval waktu baik itu pada suhu ruang maupun suhu dingin besarnya sama-sama
kurang dari 7 dan lebih dari 6.
Apabila besarnya pH pada masing-masing kelompok dibandingkan antara
penyimpanan suhu ruang dan suhu dingin, terlihat bahwa pada suhu ruang rata-
rata nilai pHnya lebih kecil dibandingkan dengan yang di suhu dingin. Menurut
Erlangga (2009) bahwa penentuan nilai derajat keasaman (pH) merupakan
salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan. Salah satu cara untuk
mempertahankan mutu atau kualitas suatu ikan adalah dengan cara pendinginan.
Lebih besarnya nilai pH pada ikan yang disimpan di freezer dibandingkan dengan
Yolla Cahya Apischa
240210150019

yang disimpan di suhu ruang tidak sesuai dengan literatur, karena menurut
Nurhayati (2011) kenaikan pH akan menyebabkan kebusukan atau penurunan
tingkat kesegaran pada ikan karena terjadinya akumulasi basa-basa volatile. Maka
dari itu dapat disimpulkan bahwa pH daging ikan pada suhu dingin harus lebih
kecil dibandingkan dengan pH ikan yang disimpan pada suhu ruang.
Penyimpanan atau pengawetan ikan dengan suhu dingin (chilling) adalah
untuk mempertahankan kesegaran mutu ikan dan menghambat kegiatan
mikroorganisme serta proses-proses fisik-kimia ikan. Suhu yang digunakan dalam
penyimpanan suhu chilling adalah berkisar 0-5oC (Ilyas, 1983). Selain itu,
besarnya pH ikan yang naik turun ini tidak sesuai dengan literatur dimana
menurut Nurhayati (2011) bahwa nilai pH akan mengalami penurunan hingga
fase rigor mortis karena adanya akumulasi asam laktat.
Setelah ikan mati, maka secara garis besar akan memasuki fase rigormortis.
Rigormortis sendiri berlangsung akibat tidak terjadinya aliran oksigen dalam
jaringan peredaran darah oleh karena aktifias jantung dan kontrol otaknya terhenti.
Akibatnya dalam tubuh ikan tidak terjadi reaksi gikogenolisis yang dapat
menghasilkan ATP sebagai sumber energi sehingga reaksi berlangsung secara
anaerobic yang memanfaatkan ATP dan glikogen dalam tubuh ikan sebagai
sumber energi. Jumlah ATP yang terus berkurang ini akan menyebabkan
penurunan pH (Sanger, 2010). Namun nilai pH akan mengalami kenaikan pada
fase postrigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil
(Nurhayati, 2011).
Kesalahan ini terjadi dimungkinkan karena kondisi awal ikan yang berbeda,
adanya perubahan suhu yang terjadi pada daging ikan yang disimpan di freezer
saat akan dilakukan penimbangan. Selain itu bisa pula karena adanya pengaruh
dari suhu tangan praktikan karena saat dilakukan penimbangan, ikan tersebut
diambil langsung dengan tangan praktikan dan sebagaimana yang telah kita
ketahui, suhu bisa mempengaruhi pH ikan tersebut.

4.2 Pengukuran Suhu


Yolla Cahya Apischa
240210150019

Suhu dapat mempengaruhi kecepatan reaksi biokimia pada ikan setelah


dimatikan seperti mempengaruhi kecepatan kenaikan dan penurunan pH dan
penguraian enzim menjadi senyawa-senyawa sederhana. Pengukuran suhu
dilakukan dengan cara mematikan terlebih dahulu ikan tersebut, lalu dimasukkan
thermometer pada mulut ikan dan pembacaan suhu dilakukan pada waktu 0, 10,
20, 30, 40, 50, dan 60 (interval 10 menit). Setelah itu pH masing-masing
waktu dicatat. Berikut adalah hasil pengamatan suhu pada ikan setelah dimatikan:
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pengukuran Suhu
Suhu
Waktu
Ruang Refrigrasi
0 25 C 26 C
10 26 C 15 C
20 26 C 9 C
30 26 C 8 C
40 25 C 8 C
50 26 C 5 C
60 26 C 5 C
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Berdasarkan tabel diatas pada suhu ruang dapat dilihat bahwa suhu ikan
mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak stabil sedangkan pada suhu
refrigerator suhu terus mengalami penurunan tiap waktunya. Suhu awal
penyimpanan ikan sesaat setelah penyembelihan yaitu 25C kemudian suhu
meningkat pada menit ke-10 yaitu menjadi 26 C dan stabil hingga menit ke-30.
Namun pada menit ke-40 mengalami penurusan menjadi 26C pada menit ke-50
dan stabil hingga menit ke-60. Berbeda dengan penyimpanan pada suhu refrigrasi
yang terus menurun, hal ini sesuai dengan literatur dimana menurut Sanger (2010)
bahwa ikan akan mengalami fase rigormortis saat ikan tersebut mati yang
mengakibatkan tidak terjadinya aliran oksigen dalam jaringan peredaran darah
sehingga dalam tubuh ikan tidak terjadi reaksi gikogenolisis yang dapat
menghasilkan ATP sebagai sumber energi.
Berkurangnya pasokan oksigen dan respirasi ini mendukung terjadinya
metabolisme. Metabolisme merupakan proses pembentukan energi serta pelepasan
panas. Saat ikan mati, metabolisme berhenti maka tidak ada energi dan panas
yang dihasilkan sehingga seiring bertambahnya waktu suhu ikan yang mati akan
menurun. Selain itu karena adanya produksi asam laktat dapat menyebabkan
Yolla Cahya Apischa
240210150019

penurunan pH, maka kecepatan penurunan nilai pH akan semakin cepat jika
suhu yang digunakan rendah (Erlangga, 2009). Jadi, suhu ikan mempengaruhi
cepat atau lambatnya penurunan pH pada ikan itu sendiri setelah mati dimana
suhu dan pH tersebut berbanding lurus. Sesaat setelah ikan mati, ATP mengalami
degadasi menjadi adenosin difosfat (ADP), adenosin monofosfat (AMP), inosin
monofosfat (IMP), inosin (ino) dan hipoksantin (Hx).

Gambar 1. Proses Degradasi ATP


(Sumber : Eskin, 1990)

Proses penguraian ATP ini dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama faktor
suhu. Semakin tinggi suhu, maka proses degradasi ATP akan semakin cepat
dibandingkan suhu yang lebih rendah. (Eskin, 1990)

4.3 Pengukuran Water Holding Capacity


Salah satu perubahan yang dapat diamati selama pascamortem ikan adalah
hilangnya cairan atau penetesan yang erat hubungannya dengan kapasitas
pemegangan air oleh otot (Tranggono dan Sutardi, 1989). Water Holding
Capacity merupakan kemampuan protein untuk menyerap air dan menahannya
dalam sistem pangan. Hal ini disebabkan protein bersifat hidrofilik dan
mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan aminonya yang dapat
mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap protein
fungsional dipengaruhi oleh pH makanan (Novian, 2005). Banyaknya air yang
berikatan dengan protein pada WHC merupakan fungsi dari komposisi asam
amino dan bentuk proteinnya, seperti banyaknya gugus polar, anion dan kation
yang ada di dalamnya
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Pengukuran WHC dimulai dengan dimatikannya ikan terlebih dahulu,


kemudian diambil 10 gram daging ikan tersebut setelah disimpan dengan waktu
yang telah ditentukan. Setelah itu ikan yang telah ditimbang, dicacah halus dan
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan dikocok kemudian di tutup,
selanjutnya sampel didiamkan dengan waktu yang telah ditentukan kemudian
diinkubasi selama satu hari di dalam freezer dengan suhu 0C lalu disentrifus
dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Setelah selesai, maka cairan dalam
sentrifus dipisahkan dan dilakukan pengukuran volume cairan pada tabung
sentrifugasi tersebut. Sentrifugasi sendiri adalah salah satu metode yang
digunakan dalam pemisahan campuran atau partikel berdasarkan berat partikel
tersebut terhadap densitas layangnya (bouyant density). Prinsip dari gaya
sentrifugasi pada pengukuran WHC pascamortem ikan sendiri yaitu dapat
mengeluarkan air bebas dari daging maupun ikan sehingga dapat diukur berapa
banyak volume air yang tidak dapat diikat oleh protein pada daging ikan. Berikut
adalah hasil pengamatan pengukuran WHC:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pengukuran WHC (Water Holding Capacity)
Waktu Berat Ikan V awal V akhir WHC
0 10,0144 10 ml 11 ml -9,98 %
30 10,0800 10 ml 12 ml -19,84 %
60 9,9387 10 ml 11 ml -10,06 %
90 10,0342 10 ml 12 ml -19,93 %
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Berdasarkan pengukuran volume, air pada daging ikan setelah didiamkan


pada menit ke-30 mengalami peningkatan volume menjadi 12 mL. Kemudian
volume kembali menurun pada menit ke-60 dan kembali meningkat pada menit
ke-90. Seharusnya terjadi penurunan volume secara stabil dimana menurut
Tranggono dan Sutradi (1989) kemampuan protein pada daging ikan dalam
memegang air akan mengalami penurunan beberapa jam setelah hewan mati dan
mencapai penurunan maksimum pada saat berlangsungnya rigormortis.
Kemampuan memegang air yang menurun tadi sejalan dengan turunnya pH yang
bertepatan dengan tercapainya titik isoelektrik karena kebanyakan kadungan ATP.
Setara dengan penyimpanan beku dimana terjadi perubahan sifat fungsional dari
protein myofibril yaitu berkurangnya kemampuan mengikat air dan garam
sehingga kekuatan gel yang dihasilkan semakin rendah (Winarno, 2007). Jadi
Yolla Cahya Apischa
240210150019

seharusnya semakin lama ikan tersebut didiamkan maka kemampuan protein dan
peranan pH dalam memegang air pada otot daging semakin berkurang yang
mengakibatkan ikan semakin berair yang berarti nilai WHCnya semakin rendah.
Nilai WHC sampel akan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu
serta penurunan berat sampel. Berikut adalah rumus dan perhitungan yang
digunakan untuk menentukan nilai WHC:

Berikut perhitungan WHC pada menit ke-30 :

%WHC =

%WHC = - 19, 84%

Dari semua hasil perhitungan, semua hasil menunjukan nilai negatif. Negatif
yang didapatkan pada perhitungan WHC dikarenakan kemampuan otot untuk
mengikat air semakin rendah. Adanya pemecahan ATP yang cepat setelah
kematian akan menyebabkan peningkatan aktomiosin dan menurunkan nilai WHC
karena adanya denaturasi protein. Nilai WHC tergantung pada lamanya waktu
penyimpanan ikan, nilainya akan lebih tinggi apabila waktu penyimpanan ikan
lebih sebentar. Hal ini disebabkan pada saat proses hidrolisa, enzim papain
membantu pembentukan peptida-peptida pendek, terjadi pembalikan gugus
hidrofilik dari bagian dalam ke arah luar, sehingga banyak molekul air yang
terikat oleh gugus hidrofilik, akibatnya nilai WHC tinggi. Sedangkan waktu
penyimpanan pada suhu ruang yang lebih lama mengakibatkan nilai WHC lebih
rendah, hal ini disebabkan karena yang lebih banyak terekspos keluar adalah
gugus hidrofo akibat molekul air sulit berikatan dengan matrik protein sehingga
nilai WHC rendah (Novian, 2005).
WHC daging juga dipengaruhi oleh faktor diantaranya otot, misalnya
spesies, umur dan fungsi otot. Pada otot yang sama WHC bisa berbeda, perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan sehingga pH
dalam otot berbeda. Gerakan otot yang berbeda juga mempengaruhi perbedaan
WHC sebab perubahan jumlah glikogen berpengaruh terhadap pembentukan asam
laktat dan penurunan pH.
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Besar kecilnya WHC dapat memengaruhi warna (color), tekstur (texture),


kekenyalan (firmness), kesan berair (juiceness), dan keempukan (tenderness).
Kapasitas mengikat air jaringan otot mempunyai efek langsung pada pengkerutan
dari daging selama penyimpanan (Forrest et al, 1975).

4.4 Pengamatan Kekerasan Daging


Pengamatan kekerasan daging ikan yang meliputi warna insang, mata, sisik,
baud an kekerasan. Langkah awalnya yaitu ikan dimatikan terlebih dahulu lalu
ikan ditekan dengan ibu jari atau telunjuk dan dirasakan kekerasannya. Hal itu
dilakukan pada waktu 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 (interval waktu 10 menit).
Berikut adalah hasil pengamatan kekerasan daging pada suhu ruang dan pada
suhu refrigrasi :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengamatan Kekerasan Daging Pada Suhu
Ruang
Warna
Waktu Bau Kekerasan
Insang Mata Sisik
Terang, Menempel
menonjol kuat, abu-
Merah jernih, abu Bau ikan Kenyal
t 0 segar cembung kekuningan segar
bening
Bening, Menempel
menonjol kuat, abu- Khas ikan Kenyal
t 10 Merah tua jernih, abu segar keras
cembung kekuningan
Bening, Menempel
menonjol kuat abu- Khas ikan
t 20 Merah tua jernih, abu segar Keras +
cembung kekuningan
Menempel
Bening, kuat abu-
Merah tua menonjol abu Mulai bau Keras ++
t 30 agak pucat jernih, kekuningan menyengat
cembung mulai
pudar

Bening, Abu-abu Bau


Merah tua menonjol kekuningan menyengat Keras ++
t 40 pucat jernih, pudar tajam
cembung
Abu
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Warna
Waktu Bau Kekerasan
Insang Mata Sisik
Bening, kekuningan Bau
Merah tua menonjol pudar, sisik menyengat Keras +++
t 50 pucat jernih, mulai tajam
cembung mengelupas
Abu
kekuningan
Merah tua Bening pudar, Bau
t 60 pucat melekat menyengat Kenyal
kuat
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Tabel 5. Hasil Pengamatan Kekerasan Daging Pada Suhu Refrigerasi


Warna
Waktu Bau Kekerasan
Insang Mata Sisik

Abu
Bening kekuningan
Merah menonjol melekat Khas ikan
t 0 Agak keras
segar kuat segar

Bening Abu
Merah menonjol kekuningan Khas ikan
Kenyal +
t 10 segar melekat segar
kuat

Abu
Bening
Merah kekuningan
agak
t 20 segar melekat Ikan segar Kenyal +
menonjol
kuat

Abu
Merah Bening
kekuningan
t 30 segar menyusut Ikan segar Kenyal +
melekat

Merah Keruh Abu


t 40 pucat menyusut kekuningan Amis + Kenyal ++
melekat

Abu
Merah Keruh kekuningan
t 50 melekat - Amis ++ Lembek
Kecoklatan cekung
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Warna
Waktu Bau Kekerasan
Insang Mata Sisik

Abu
Merah Keruh
kekuningan Amis ++ Lembek +
t 60 kecoklatan Cekung
mulai lepas

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Berdasarkan Tabel 4. Hasil pengamatan pengamatan kekerasan daging pada


suhu ruang diatas dapat dilihat bahwa dari menit ke-0 hingga menit ke-60 warna
ikan semakin lama semakin memudar, aromanya semakin amis menyengat,
tekstur berubah dari kenyal menjadi keras kemudian menjadi kenyal kembali.
Selain itu daya lekat sisik pada kulitnya semakin berkurang. Kulit ikan yang
awalnya tidak berlendir menjadi semakin berlendir. Bentuk mata ikan yang
awalnya menonjol pula menjadi datar, warna insang ikan yang merah berubah
menjadi pucat.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena ikan merupakan bahan pangan
yang sangat mudah rusak apabila ikan tersebut telah mati. Kerusakan dapat terjadi
akibat adanya bakteri atau mikroorganisme yang dapat menghasilkan lendir pada
permukaan badan ikan yang telah mati, juga dapat disebabkan kerja enzim yang
masih aktif segera setelah ikan mati yang akhirnya dapat menimbulkan sifat
kekakuan (rigor mortis) pada ikan (Tjahjadi, 2009).
Perubahan tekstur ikan ini dikarenakan oleh adanya proses autolisis. Enzim
autolisis mengurangi kualitas tekstur daging ikan pada awal kerusakan yang
terjadi, tetapi tidak menyebabkan kehilangan aroma dan rasa. Perubahan autolisis
ini tetap dapat terjadi pada ikan yang disimpan pada suhu rendah (chilled or
frozen fish). Pengaruh terbesar dari mekanisme autolisis terjadi pada tekstur
daging ikan. Hal ini berkaitan dengan adanya hypoxanthine dan formaldehyde
yang terbentuk dalam proses autolisis. Enzim pencernaan menyebabkan autolisis
yang mengakibatkan terjadinya pelunakan daging, pecahnya dinding perut, dan
keluarnya darah dan air yang mengandung protein dan minyak (Puspitasari,
2012).
Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang dijadikan sebagai
parameter tingkat kesegaran ikan. Ikan segara bola matanya terlihat cembung dan
Yolla Cahya Apischa
240210150019

cerah sedangkan pada ikan busuk bola matanya terlihat cekung dan lebih keruh.
Insang merupakan salah satu tempat hidup bakteri yang dapat menyebabkan
kerusakan pada daging ikan, memudarnya warna insang bisa terjadi karena
aktivitas bakteri yang ada disana (Munandar dkk, 2009).
Berdasarkan tabel pengamatan di atas, ikan pada suhu refrigrasi lebih cepat
mengeras dibandingkan ikan pada suhu ruang. Aroma amis lebih tercium dari ikan
yang disimpan pada suhu ruang. Mata ikan pada suhu ruang lebih cepat berubah
menjadi keruh dibanding ikan yang disimpan pada suhu refrigrasi. Daging jika
didiamkan pada keadaan suhu ruang tanpa ada perlakuan apapun, maka daging
akan mengalami beberapa perubahan baik secara fisik, kimia maupun secara
sensoris.
Ketika ikan mati, sirkulasi darah berhenti dan persediaan oksigen berkurang.
Pada saat ini yang paling banyak mengalami perubahan adalah degradasi ATP dan
kreatin fosfat yang akan menghasilkan tenaga. Glikogen juga akan mengalami
degradasi menjadi asam laktat melalui proses anaerobik menyebabkan keadaan
daging menjadi asam sehingga pH daging ikan turun dan aktivitas enzim ATP-ase
dan kreatinfosfokinase meningkat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein.
Proses penurunan mutu ini menyebabkan terakumulasinya berbagai metabolit.,
timbul bau, kehilangan warna protein dan meningkatnya pertumbuhan mikroba.
(Eskin, 1990).
Menurut Soeparno (1992), peningkatan bau busuk pada ikan terjadi karena
ikan mengandung asam lemak tak jenuh, asam lemak ini mudah sekali teroksidasi
karena memiliki ikatan rangkap lalu diuraikan lagi menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana, yang menimbulkan bau busuk dan tengik (ketengikan
bakteriologis). Senyawa-senyawa yang dimaksud antara lain amoniak, hidrogen
sulfida, berbagai macam asam, dan lain-lain. Menurut Adnan (1982), autolisis
berarti self digestion, yaitu setelah mencapai fase post-rigor, enzim proteolisis
(pengurai protein) dan enzim lipolisis (pengurai lemak) yang terdapat dalam tubuh
ikan segera menguraikan protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih
sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Autolisis pada ikan lebih
didominasi oleh enzim proteolisis karena kadar protein dalam daging ikan jauh
lebih banyak dibanding dengan kadar lemaknya. Dalam perut ikan ditemukan
Yolla Cahya Apischa
240210150019

enzim proteolisis, yaitu pepsin dan tripsin sedangkan dalam daging ikan
ditemukan enzim proteolisis katepsin. Proses autolisis pada ikan menyebabkan
bola mata ikan agak cekung dan korneanya agak keruh, warna bola mata semakin
pucat, serta belum tercium bau amoniak.
Menurut Ilyas (1983), pada ikan yang masih hidup, terdapat jutaan bakteri
yang terpusat pada tiga tempat yaitu pada selaput lendir permukaan tubuh ikan,
insang, dan isi perut. Secara alamiah, tubuh ikan yang masih hidup memiliki
barrier (pertahanan) terhadap serangan bakteri, sehingga bakteri dari ketiga
tempat tersebut di atas tidak mampu menyebar ke seluruh bagian tubuh ikan.
Setelah ikan mati, terjadilah kemunduran mutu pada ikan secara bakteriologis
bersamaan dengan terjadinya kemunduran mutu secara autolisis. Bakteri dapat
mendobrak barrier (pertahanan) tubuh ikan sehingga bakteri dapat menyerang ke
seluruh bagian tubuh ikan. Mulai terjadinya pembusukan pada ikan yang ditandai
dengan warna insang kelabu (pucat) dan lendirnya agak tebal, lapisan lendir
permukaan badan ikan keruh menggumpal, serta tekstur daging lunak atau tidak
kenyal.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari praktikum mengenai perubahan fisik,
kimia, dan fungsional pasca mortem daging adalah sebagai berikut:
Yolla Cahya Apischa
240210150019

1. pH ikan pada suhu ruang dan suhu refrigasi mengalami fluktuasi. pH ikan
dipengaruhi banyaknya asam laktat yang terbentuk setelah kematian, semakin
banyak asam laktat maka pH akan semakin rendah.
2. Penyimpanan ikan pada suhu ruang akan menyebabkan perubahan fisik lebih
cepat dibandingkan yang disimpan pada suhu refrigerasi.
3. Suhu ikan, baik pada suhu ruang maupun suhu refrigerasi akan mengalami
penurunan dengan waktu yang berbeda. Pada suhu refrigerasi waktu
penurunan berlangsung lambat.
4. Semakin lama suatu daging disimpan baik pada suhu ruangan maupun suhu
refrigerasi masing-masing, kemampuannya dalam mengikat air akan turut
menurun sehingga didapatkan nilai WHC yang terus menurun.
5. Sifat organoleptik ikan yang meliputi aroma, tekstur, mata, sisik, dan insang
mengalami penurunan pada suhu ruang dan pada suhu rendah, namun pada
suhu rendah waktu penurunan organoleptik dapat dihambat sehingga waktu
menuju penurunan lebih lama dibanding di suhu ruang.

5.2 Saran
Sebaiknya ikan disimpan pada suhu yang rendah untuk memperlambat
reaksi biokimia yang akan mempercepat kebusukan pada ikan. Perlakuan pada
ikan pada saat penangkapan, penyembelihan, dan pembersihan harus sangat
diperhatikan agar ikan tersebut tidak cepat mengalami kerusakan atau
pembusukan
Yolla Cahya Apischa
240210150019

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Penerbit Bumi Aksara,


Jakarta.

Adnan, M. 1982. Aktivitas Air dan Kerusakan Bahan Makanan. Agreetech,


Yogyakarta.

Erlangga. 2009. Kemunduran Mutu Fillet Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
pada Penyimpanan Suhu Chilling dengan Perlakuan Cara Kematian.
Prigram Studi Teknologi Hail Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Eskin, N., 1990. Biochemistry of Food. Edisi II. Academic Press, New York.

Forrest , G.J., Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975.
Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco.

Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I, Jakarta.

John M. 1990. Kimia Makanan. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB,


Bandung.

Munandar, Aris., Nurjanah., dan Nurilmala, Mala. 2009. Kemunduran Mutu Ikan
Nila (Oreochromis niloticus) pada Penyimpanan Suhu Rendah dengan
Perlakuan Cara Kematian dan Penyiangan. Departemen Perikanan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.Staf Dosen Departemen Teknologi
Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Murachman . 2006. Fish Handling. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.


Universitas Brawijaya, Malang.

Mustar. 2013. Studi Pembuatan Abon Ikan Gabus (Ophiochepalus striatus)


sebagai Makanan Suplemen (Food suplement). Program Studi Ilmu dan
Teknologi Pangan. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin, Makasar.

Novian, Uci. 2005. Karakteristik Miofibril Kering Ikan Kuniran(Upeneus Sp)


Diekstrak Menggunakan Enzim Papain dengan Metode Press Panas.
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jember, Jember.

Nurhayati, Tati., Salamah, Ella, Tampubolon, Komariah., dan Apriland, Ary. 2011.
Peranan Inhibitor Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)
untuk Menghambat Kemunduran Mutu Ikan Bandeng (Chanos chanos
Yolla Cahya Apischa
240210150019

Forskal). Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan


Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Puspitasari, Sari. 2012. Pengawetan Suhu Rendah pada Ikan dan Daging. Program
Studi S1 Ilmu Gizi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

Sanger, Grace. 2010. Mutu Kesegaran Ikan Tongkol (Auxis tozordl) Selama
Penyimpanan Dingin. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Sam Ratulanggi, Manado.

Slamet S., Bambang Haryono dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University, Yogyakarta.

Tjahjadi. 2009. Bahan pangan dan dasar-dasar pengolahan. Universitas


Padjajaran, Bandung.

Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Winarno, F. G. 2007. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai