Anda di halaman 1dari 9

221 UC Kemajemukan (prulalism) dan Keaneka-ragaman

di Kalimantan
Mering Ngo, antropolog UI, disunting Hadipr.

Suku Dayak adalah istilah kolektif yang dikenakan pihak luar sejak 1757 terhadap
berbagai kelompok asli yang bukan Islam di Kalimantan / Borneo (Sarawak-Sabah-
Brunei Darussalam). Istilah ini tidak tepat karena tak sedikit kelompok Dayak yang
Islam seperti Orang Suru' di hulu Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, atau Orang
Bakumpai, di Sungai Barito, Kalimantan Tengah-Selatan. Jika seseorang di Kalbar
mengaku "Melayu", tidak serta-merta la berasal dari kelompok Melayu dari
Semenanjung Malaya atau Sumatera karena boleh jadi ia merupakan keturunan
kelompok Dayak yang telah beragama Islam. Sedemikian pula, bagi kelompok-
kelompok Dayak di Kalbar, Islam telah menjadi identitas kesukubangsaan yang
baru, yakni "Melayu" atau "turunan Melayu" guna menghindari rasa malu kalau la
mengaku sebagai Dayak, yang masih ber-konotasi terbelakang, malas, bodoh,
primitif, animisme, suku terasing, kanibal-isme, dan seterusnya. Di Kalteng, hal
tersebut relatif tak terjadi. Karena itu, orang-orang Ngaju di Kalteng tetap mengaku
sebagai Dayak walaupun menganut Islam.
Dari sudut sejarah migrasi, struktur sosial, dan corak mata pencarian, setidaknya
ada empat tipologi kelompok Dayak di Kalimantan/Borneo. Pertama, kelompok yang
berlatar budaya berburu dan mengumpulkan hasil hutan non-kayu, terikat dalam
kelompok-kelompok kecil (band), dan struktur kepemimpinan yang berdasarkan
senioritas dan kecakapan.
Contohnya, Orang Bukat dan Punan di Kalbar, Kaltim, dan Sarawak, Malaysia
Timur, yang kebanyakan mendiami bagian terhulu dari sungai dan hutan di
Kalimantan/Borneo.

Kedua, kelompok yang berlatar budaya perladangan gilir balik lahan kering dan
perbukitan, terikat dengan rumah panjang, dan struktur kepemimpinan yang egaliter.
Kelompok-kelompok etnis ini mendiami wilayah-wilayah bagian hilir dari sebuah
daerah aliran sungai (DAS). Contohnya, Orang Iban, Kantu, Mualang,
Selako/Salakau, Banana, Pompangtn, Kanayan di Kalbar, atau Orang Lotud,
Rungus, Kadazan, di Sarawak dan Sabah, Malaysia Timur.

Ketiga, kelompok yang berlatar budaya perladangan gilir balik lahan kering,
perbukitan, dan basah, dan terikat dengan rumah panjang atau rumah tunggal
(dominan saat ini), dan mengenal sistem pelapisan sosial secara ketat. Umumnya
kelompok-kelompok etnis ini mendiami bagian hilir-tengah daerah aliran sungai, baik
berlahan kering maupun lahan basah lembah.
Misalnya, Orang Kayan dan Tamambaloh di Kalbar, atau Orang Kenyah, Kayan,
Bahau, Modang, dan Melanau, di Kaltim dan Sarawak, Malaysia Timur.

1
Keempat, kelompok yang berlatar budaya perladangan gilir balik lahan kering,
perbukitan, dan basah, terikat dengan rumah panjang atau rumah tunggal (dewasa
ini), dan memiliki ciri-ciri campuran antara egaliter dan sistern pelapisan sosial, dan
masih memegang agama asli (Kaharingan), serta tradisi penguburan kedua berupa
pembakaran tulang belulang para kerabat dan leluhur.
Kelompok-kelompok etnis ini mendiami bagian hilir-tengah dari daerah aliran sungai
dan perbukitan berlahan kering dan basah. Misalnya, Orang Limbai, Ransa, dan Ot
Danum (UluAi', Ulu Arai) di Kalbar-Kalteng, atau Orang Lun Dayeh, Bentian, Tonyoi,
Benuaq, di Kaltim, dan Orang Kelabit di Sarawak, Malaysia, atau Orang Ngaju,
Ma'anyan, dan Ot Danum di Kalteng.
Konflik di Sambas
Sambas berasal dari dua kata dalam Bahasa Hakka/Khek, yakni "sam" (tiga) dan
"bas" (bangsa). Karena itu, daerah ini awalnya dibuka oleh "tiga bangsa", yaitu
Melayu, Dayak (Kanayatn), dan Cina Hakka/Khek. Versi lain, Sambas berarti kota
yang terletak di pertemuan tiga sungai, yakni Sungai Sambas Kecil, Teberau, dan
Subah. Pada 1687, di Muara Ulakan di Sambas didirikan keraton Kesultanan
Sambas oleh Raden Sulaiman yang bergelar Sultan Mohammad Tsafiuddin I. Dia
adalah salah satu keturunan dari Sultan Abdul Djalil Akbar yang berasal dari
Kerajaan Brunei Darussalam. Sampai sekarang ke-3 kelompok inilah yang dominan
di Sambas, yakni Melayu Sambas (49,1%), Dayak Kanayatn (19,86%) dan Cina
Hakka/Khek (17,73%) dari jumlah penduduk Kabupaten Sambas yang sekitar 900
ribu jiwa. Selebihnya adalah para pendatang seperti Bugis, Makassar, Jawa, Banjar,
dan Madura. Setidaknya, sejak 1920-an kelompok Madura telah bermigrasi ke
wilayah Sambas. Mereka bekerja sebagai buruh di pelabuhan, perkebunan, dan
pembuatan jaringan jalan.
Kesultanan Sambas bercorak maritim dan pertanian pasang-surut. Adapun
kelompok Khek masuk ke Sambas sejak 1772 guna memenuhi permintaan Sultan
Oemar Aqqamuddin untuk membangun pertambangan emas di Lara, Lumar,
Montrado, Seminis, dan sekitarnya. Kongsi dagang Khek diwajibkan menyetor emas
kepada Sultan. Sejurus dengan berkurangnya hasil emas, kelompok Khek beralih
menjadi petani, pedagang perantara berbagai hasil bumi dan hutan non-kayu seperti
damar, rotan, tengkawang yang dikumpulkan oleh kelompok Dayak Kanayatn di
pedalaman. Sedemikian, pada masa lampau, tatanan sosial dan ekonomi di
Sambas bersifat saling melengkapi.

Pada 1970-an, tatanan tersebut berubah seiring dengan pembukaan hutan dan
pembuatan jaringan jalan, yang disertai dengan ketimpangan distribusi pendapatan
dan kerusakan dan perusakan lingkungan secara masif. Penyeragaman kampung
menjadi desa bercorak Jawa juga berperan dalam pengikisan alas bangunan sosial
dan ekonomi setempat. Posisi Kepala Adat (timanggong), misalnya, lebih banyak
ditentukan, atau diangkat oleh Pemerintah, sehingga ia kerap serba salah dalam
menengahi silang sengketa tanah adat atau tanah kebun setempat, termasuk
pranata-pranata asli dalam penyelesaian sengketa. Sementara itu, di pedalaman,
kebun-hutan, hutan karet, dan tanah-tanah keramat kelompok

2
Dayak Kanayatn banyak yang telah beralih fungsi menjadi kawasan pengusahaan
hutan (HPH), HTI-Transmigrasi, dan belakangan ini, menjadi kebun kelapa sawit
berskala besar.
Keluhan dan protes dianggap sebagai pembangkangan dan melawan kepentingan
nasional atau Negara. Pada 1996, perkebunan jeruk kelompok Khek dan Melayu di
Tebas dan sekitarnya juga ambruk sejurus dengan pemberlakuan tata niaga jeruk,
sehingga banyak keluarga yang beralih kerja menjadi kuli dan pelacur di Sarawak,
atau mengawinkan anak gadisnya dengan Orang Taiwan.

Sektor transportasi, jasa tenaga kerja, dan pembuatan jalan yang dapat
menggantikan keterpurukan pendapatan rumah tangga pun telah dikuasai oleh
migran Madura pasca 1990-an. Sayangnya, penguasaan sektor-sektor itu banyak
yang disertai dengan praktik main kayu, premanisme, dan patronase.
Maraknya premanisme dalam pendominasian sektor ekonomi dan perusakan
lingkungan itu bertemali pula dengan corak penguasaan dan pengurasan sumber
daya alam (SDA) secara rakus yang dibangun oleh rezim Orba. Repotnya, dalam
sejumlah kasus, para individu pendukung praktik premanisme itu berasal dari
kelompok Madura yang masuk ke Sambas pasca 1990-an. Di Desa Rambayan,
Kecamatan Jawai, umpamanya, terdapat "Texas Sambas" yang dikelola para
preman asal Madura, yang menyediakan aneka perjudian, peredaran minuman
keras, dan pelacuran. Protes dari kelompok Melayu tak dindahkan. Dalam kasus
lain, semisal hak atas tanah-kebun, terjadi tekanan dan ancaman kekerasan.
Sedemikian, penumpukan kasus-kasus kriminal dan kekerasan yang dilakukan
sejumlah individu kelompok Madura yang tak terselesaikan secara adil dan tegas,
dan acapkali dibungkus oleh solidaritas sesama asal-usul melalui hubungan patron-
klien di kalangan kelompok Madura itulah, yang mengubah konflik antar individu
atau antar kelompok menjadi konflik antar etnis. Atributatribut yang melekat pada
seseorang atau sekelompok preman asal Madura lalu diangkat menjadi label,
stereotip, dan prasangka yang dikenakan terhadap setiap anggota kelompok
Madura yang lain.
Ketiadaan pranata dan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, adil dan
berlaku sama, sejurus dengan pelanggaran atas sejumlah perjanjian damai, adalah
lahan subur bagi kemunculan konflik dan kekerasan. Karenanya, tak usah heran bila
kasus Sambas cepat meluas oleh peristiwa penyerangan di Desa Parit Setia pada
19 Januari 1999 yang bertepatan dengan hari ke-2 Lebaran. Peristiwanya berawal
dari penangkapan Hassan, warga Madura, yang kedapatan mencuri ternak dan
dihajar oleh warga kelompok Melayu. Keluarga si Hassan yang merasa malu (todus)
kemudian berupaya menuntut balas (balessan), dan melakukan penyerangan ke
Desa Parit Setia hingga menyebabkan tiga orang tewas. Dalam tatanan nilai
kelompok Melayu tempatan adalah pantang untuk menanyakan atau menagih utang
di hari yang fitri tersebut, apalagi kalau ada peristiwa pembunuhan.
Pertikaian menyebar ke Pemangkat tatkala Rodi bin Muharap, seorang preman
Madura, tak bersedia membayar ongkos naik oplet yang diawaki oleh dua orang
Melayu. Ketika ditagih, Robi tak sudi menerima hardikan si Bujang Lebik bin Idris,

3
sang kernet oplet. Bahkan, Robi membacok Bujang sampai tewas. Tragedi melebar
ke Samalantan, wilayah kelompok Dayak Kanayatn, ketika sebuah mobil dicegat
oleh warga Madura di Desa Perapakan, Pemangkat, yang disertai dengan
pembunuhan terhadap salah seorang penumpang mobil.
Alhasil, rentetan peristiwa kriminal murni yang tak terselesaikan secara cepat, adil
dan terbuka itu, menyeret kelompok Melayu-Dayak Kanayatn, termasuk kelompok
Khek, ke dalam sebuah konflik berdarah.

Kelompok Khek terlibat secara tak langsung lewat dukungan logistik lantaran
gencarnya praktik pemalakan dari sejumlah preman asal Madura terhadap
perdagangan mereka di pasar-pasar di Sambas dan Pemangkat.
Konflik di Sampit
Sampit adalah kota pelabuhan laut dan ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur
(Kotun)." Dalam sebulan, Sampit disinggahi 150-170 kapal barang dan penumpang.
Sebelum kerusuhan, penduduk kabupaten ini sekitar 645.928 jiwa, dan hampir
60.000 ribu jiwa berasal dari Madura. Mereka mendiami wilayah kota dan
pinggirannya. Adapun jumlah penduduk asli di kota ini lebih sedikit ketimbang
kelompok Madura, yakni umumnya Orang Ngaju Katingan dan Mentaya, atau Ot
Danum dan sedikit Orang Ma'anyan yang berasal dari Sungai Barito, di arah timur
Kalteng, dekat Kalsel.
Sejak 1900-an, kompeni Belanda mengajak kelompok Madura bermigrasi ke sini
untuk menjadi buruh kasar di bedeng-bedeng perkebunan dan pembukaan badan
jalan. Pada zaman Jepang, sebagian kelompok Madura mulai ke luar dari bedeng-
bedeng dan berkiprah di sektor transportasi antarpulau atau kuli di pelabuhan.
Warga Madura generasi pertama itu banyak yang kawin-mawin dengan penduduk
setempat. Kontak sosial dan ekonomi sebelum 1970-an berjalan baik dan tak
bergesekan langsung lantaran penduduk asli lebih banyak berada di pinggiran kota
dan pedalaman, serta bergiat dalam perladangan gilir balik atau per-tambangan
tradisional. Pasca 1970-an, tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan mulai berubah
sejalan dengan pengusahaan hutan dan perkebunan kelapa sawit di daerah
pedalaman dan pertambangan emas skala besar di Ampalit.

Tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Sampit, dan Kalteng umumnya, mesti
dipahami secara historis dan lebih seksama ketimbang Sambas, Kalbar. Tentang
pengayauan, misalnya, kelompok-kelompok Dayak di provinsi inilah yang
memprakarsai penghentian praktik pemenggalan kepala dalam peperangan
antarsuku lewat Perjanjian Tumbang Anoi pada Mei 1894. Kedua, sampai sekarang,
penganut Kaharingan, agama asli setempat, menduduki posisi ke-2 di Kalteng.
Ketiga, pemisahan atau pembentukan Provinsi Kalteng pada 1959 dari Provinsi
Kalsel tercapai melalui jalan yang keras, yaitu lewat Gerakan Mandau Telabang
Pantja Sila (GMTPS) yang dipimpin Alm.Tjilik Riwut, Orang Ngaju Katingan, dan
Alm. Panglima Christiaan Simbar, Orang Ma'anyan. Keempat, dalam konteks
pengelolaan sumber daya alam (SDA),

4
nasib provinsi ini paling merana ketimbang provinsi-provinsi lain di Kalimantan.
Hampir semua kantor pusat perusahaan kayu, pertambangan, atau perkebunan, tak
ada yang berlokasi di Palangka Raya. Sebagian kantor perusahaan tersebut ber-
kedudukan di Pontianak (Kelompok Alas Kusuma, misalnya), Banjarmasin
(Kelompok Barito atau Djajanti, misalnya), atau di Jakarta. Sedemikian, nyaris tak
ada efek berganda dalam penyerapan tenaga kerja setempat, termasuk kas
pendapatan daerah selama tiga dasawarsa. Kenyataan lainnya, pertambangan PT.
Ampalit Mas Perdana tak mengindahkan biaya reklamasi pasca eksploitasi emas.

Perlakuan rezim Orba terhadap agama Kaharingan juga aneh. Agama asli yang
merupakan pedoman bertindak sekaligus ekspresi kebudayaan aneka kelompok
Dayak setempat ini, mesti ditambah kata Hindu supaya diakui oleh Negara.
Sedemikian, negarasisasi Kaharingan dianggap sebagai pelecehan atas martabat
kebudayaan asli setempat.
Dalam konteks pemerintahan, hampir tak ada orang setempat yang menduduki
posisi kunci pasca Tjilik Riwut terkecuali mantan Gubernur Sylvanus dan WA Gara.
Lebih jauh, keluhan dan protes terhadap ketiadaan imbas kemanfaatan dari
pengusahaan SDA hanya ditanggapi lewat pendirian Gedung Batang Garing,
sebuah gedung bisnis dan perkantoran di Palangka Raya.

Sejurus dengan gelombang migran pasca 1990-an dari Madura dan Jatim ke Sampit
dan Ampalit, kekecewaan kelompok-kelompok Dayak setempat kian mendalam.
Misalnya, dari sekitar 12.000 ribu penambang emas (liar) di Ampalit, hampir
sebagian besar berasal dari Madura. Usaha itu didukung pula oleh jaringan
patronase, dan menjamurnya perjudian dan pelacuran yang disokong oleh para
preman asal Madura. Tak ayal lagi, kegiatan penambangan emas tradisional
penduduk setempat semakin terdesak. Kalau hendak membeli air raksa,
umpamanya, para penambang mesti menghadapi sindikat patron dan pemburu
emas yang berbasis di Palangka Raya dan Sampit.

Belakangan, sekitar 8000 ribu penambang merambah ke Sungai Sekonyer, di


kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kabupaten Kota Waringin Barat. Di sini
mereka bergabung dengan kegiatan penebangan kayu ramin secara liar, yang juga
bertemali dengan patronase para preman asal Madura.
Tak usah heran bila seusai kerusuhan Sampit, sekitar 3000 ribu penebang liar raib
dari taman nasional itu. Sudah menjadi pengetahuan umum, pola dan praktik
pengusahaan hutan dan emas rezim Orba kerap meremehkan interdependensi
antara eksistensi kebudayaan dan ruang gerak mata pencarian penduduk asli
tempatan. Sebaliknya, kian banyak warga kelompok Madura ke Sampit guna
memperbaiki taraf hidup mereka ketimbang di daerah asal yang kebanyakan
berlahan kapur dan tandus. Tak ada yang salah dengan niat tersebut.
Yang meresahkan adalah gelombang migran pasca 1990-an ini bertemali dengan
rangkaian peristiwa kriminal murni yang acapkali melibatkan sejumlah preman asal
Madura dan Jatim. Kebanyakan kasus kriminal tersebut tak diselesaikan secara
cepat, adil, dan terbuka. Karenanya, tumpukan kebencian dan permusuhan antar

5
individu dan antar kelompok itu kemudian cepat berganti rupa menjadi permusuhan
antar kelompok etnis.
Serupa dengan kasus Sambas, setiap atribut yang melekat pada si individu atau
sekelompok kecil kelompok Madura yang kriminal tersebut, dikenakan pula pada
setiap warga Madura. Hubungan antar individu warga Madura-Dayak berubah
menjadi hubungan penuh label, stereotip, dan prasangka. Penyelesaian menurut
hukum adat setempat semestinya dapat meredam kebencian dan permusuhan
tersebut.

Namun, bagi kelompok Madura, bentuk-bentuk dan persyaratan penyelesaian ala


hukum adat setempat itu dianggap tak sesuai dengan keyakinannya.
Ketiadaan upaya penegakan hukum (positif-nasional) yang dapat diterima semua
pihak ini seperti tak disadari oleh aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
Alhasil, itulah sebab-musabab kelompok-kelompok Dayak melakukan penegakan
keadilan versi "zaman pengayauan" di masa lalu.
Mengingat sejarah dan tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan di atas, tak
mengherankan kerusuhan berdarah di Sampit dapat meluas seketika hanya oleh
kejadian kriminal biasa yang bermula dari pembunuhan si Sendong, seorang
kelompok Man'anyan, di Kereng Pangi, "Texasnya Sampit", pada Desember 2000.
Eskalasi konflik menjadi-jadi tatkala kasus tersebut tak dapat diselesaikan secara
cepat, adil, dan terbuka oleh kepolisian setempat. Bahkan, para pembunuh itu dapat
kembali ke Madura berkat persekongkolan antara patron si preman dan aparat
kepolisian setempat. Peristiwa saling serang dan bunuh pada 18-19 Februari 2001
semakin menyulut dan memperlebar konflik antara kelompok Dayak-Madura.
Penjelasan dan Transformasi Konflik
Dari berbagai pendapat dan analisis para pengamat yang mengemuka dalam media
nasional dan internasional terdapat setidaknya tiga sudut pandang yang lazim
digunakan untuk menjelaskan kerusuhan di Sambas dan Sampit.
Pertama, model penjelasan yang bertumpu pada pendapat bahwa ke-2 kerusuhan
itu disulut oleh ketidakharmonisan hubungan antara kebudayaan dominan setempat
(Melayu-Kanayatn/Sambas) dan kebudayaan minoritas setempat (Madura
Sampang-Bangkalan/ Sambas), atau antara antara kebudayaan Ngaju-Ot Danum-
Ma'anyan versus Madura, di Sampit, Kalteng. Hubungan yang menegang itu kerap
kali bermula dari ulah sejumlah begundal asal Madura berikut atribut-atribut kesuku-
bangsaannya (baca:'belurit).
Hubungan yang semula bersifat kebencian antar individu yang terjadi berulang kali,
serta tak diselesaikan oleh aparat penegak hukum tersebut, dianggap telah
mengusik aturan dan rasa keadilan warga pendukung kebudayaan dominan
setempat (Suparlan, 1999: 7-19; 2000: 71-85).
Ketidak-tegasan upaya penegakan aturan main dan hukum (nasional/positif) juga
berperan dalam melestarikan rasa permusuhan antar individu. Atribut-atribut antar
individu yang bermusuhan tersebut lambat laun bersalin rupa menjadi, atau seolah-
olah, berlaku sama bagi setiap individu dan daerah asal usulnya.

6
Alhasil, hubungan permusuhan dan kebencian antar individu menjadi per-musuhan
dan kebencian antar kelompok etnis atau kolektif. Masing-masing pihak berupaya
meniadakan atribut-atribut lawannya yang dianggap telah mengotori dan merusak
tatanan kehidupan warga pendukung kebudayaan dominan setempat (Melayu-
Kanayatn-Ngaju-Ot Danum Ma'anyan). Pelestarian tersebut menjadi melekat oleh
label, strereotip dan prasangka yang dikenakan oleh satu pihak ke pihak lainnya,
dan sebaliknya. Perjanjian perdamaian kerap kali dilanggar lantaran proses menuju
perdamaian lebih banyak dirancang dan ditentukan oleh para elite lokal yang tak
berakar ke bawah seiring dengan upaya penyeragaman pranata-pranata sosial di
kampung asli setempat menjadi desa bercorak Jawa.
Sedemikian, menurut model penjelasan ini, peristiwa yang bersifat kriminal murni
antar individu yang saling benci dan bermusuhan itu, dapat meledak menjadi
pertikaian berdarah antar kelompok etnis.

Peperangan yang saling meniadakan itu, menurut kelompok-kelompok asli


setempat, dianggap sebagai bagian dari upaya mensucikan kembali tatanan
kehidupan akibat polusi yang ditimbulkan oleh pihak lawan (Madura). Karenanya,
baru-baru ini kelompok Ngaju Katingan di Kasongan, Kecamatan Katingan Hilir,
misalnya, merasa perlu mengadakan upacara membuang hajat (bahajat) dan
meruwat kembali seisi halamannya (lewu') dari mara bahaya (manyanggar) seusai
kerusuhan. Sementara itu, kelompok Madura menyerang pihak lawannya sebagai
bagian dari upaya menebus rasa malu (todus) dan pembalasan (balessan).
Model penjelasan ini dapat menerangkan hakikat pertikaian berdarah di Sambas
dan Sampit. Akan tetapi, penjelasannya agak sukar untuk dijadikan pedoman
operasional untuk membuat desain penyelesaian, atau bahkan pencegahan konflik
di kemudian hari, karena memandang kemunculan konflik antar etnis tersebut
seolah-olah terjadi, atau berada, dalam sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari
dinamika dan peta pertarungan kekuatan dan modal yang melingkupi dunia di luar
dari wilayah interaksi antar etnis tersebut. Selain itu, pihak luar akan berpandangan
(ethic viewpoint), bagaimana mungkin pemulihan hubungan permusuhan untuk
menuju perdamaian antar etnis itu, mesti dijalin melalui pertalian dengan para dewa
petir kelompok asli setempat (nayau), yang pemahamannya hanya diketahui oleh
para tetua (emic viewpoint). Terlepas dari kekurangan tersebut, model ini telah
membantu pemahaman tentang hakikat hubungan antar suku bangsa dan corak
kemajemukan suku bangsa di negeri ini (baca: Indonesia bukan masyarakat
homogen).

Kedua, model yang bertumpukan pada pandangan Neil Smelser tentang prasyarat-
prasyarat kemunculan perilaku kolektif (baca: pertikaian berdarah) di Sambas dan
Sampit, sebagaimana diutarakan oleh Marzali (2001) sebagai tanggapan atas
Suparlan. Dalam model ini, Smelser mengatakan sekurangnya terdapat enam
kondisi kemunculan perilaku kolektif, yakni adanya struktur sosial yang kondusif
untuk itu, adanya ketegangan struktural, keyakinan bersama tentang sebab-
musabab dari ketegangan struktural, ada mobilisasi massa oleh pemimpin, dan
ketiadaan kontrol sosial.

7
Model penjelasan ini lazim dikemukakan oleh para sosiolog atau pengamat politik,
termasuk para penggiat organisasi non pemerintah (Ornop) dalam menerangkan
hakikat kerusuhan di Sambas dan Sampit.
Disebutkan pula bahwa kerusuhan tersebut adalah produk warisan sejarah dari
rezim Soeharto dalam mengelola Negara dan kerakusan dalam mengelola sumber
daya alam yang merupakan basis material penghidupan segenap orang. Sehingga,
muncul istilah kekerasan yang dilakukan oleh negara (state violence) lewat birokrasi
pemerintahan yang dipenuhi oleh para begundal yang gemar korupsi dan sarat
nepotisme.

.
Tercermin pula dari tuduhan adanya sekelompok tukang kipas.
Barangkali situasi yang serba kacau ini memang diidam-idamkan oleh para tukang
kipas di atas sebaran jerami kering di segenap pelosok negeri ini. Apapun
motivasinya, sikap masa bodoh dan kealpaan untuk meniadakan akar-akar
kemunculan konflik etnis dan lingkungan yang bersifat akut dan kronis itu, serta
ketiadaan niat untuk memajukan pendidikan multikultur secara meluas, amatlah
besar ongkosnya bagi negeri yang serba majemuk dan beragam sumber daya
alam ini: selamat tinggal

Referensi:
Bruner, Edward M. 1974. "The Expression of Ethnicity in Indonesia" dalam Urban
Ethnicity (A. Cohen, editor), hlm. 251-288. London: Tavistock.

Crouch, Harold. 2001. Communal Violence in Indonesia: Lessons from


Kalimantan. International Crisis Group (ICG), Asia Report No. 19. Jakarta-
Brussels.

Douglas, Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution


and Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.

Hae, Nur Zain et. al. 2000. Konflik Multikultur: Panduan Meliput bagi Jurnalis.
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), The Asia Foundatin, dan USAID.

Jatiman, Sardjono. 1995. Dari Kampung menjadi Desa: Studi Sosiologi


Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Disertasi Doktor Sosiologi pada Universitas Indonesia. Jakarta: belum diterbitkan.

Kalteng Pos (surat kabar), 2001. Tiga Tokoh Madura Diincar. Palangka Raya,
Sabtu 21 April 2001.

Kompas (surat kabar). 2001. Lokasi Penambangan Emas Ampalit menjadi .


Padang Pasir. Jakarta, Selasa 6 Maret, 2001.

2001. Buntut Kerusuhan Sampit: Sekitar 3.000 Penjarah


TNTanjungPutingMenghilang. Jakarta, Kamis 26Apri12001.

Ngo, Mering, 1989. Antara Pemilik dan Pemanfaat: Kisah Penguasaan Lahan
Orang Kayan di Kalimantan Barat", dalam Prisma No. 4, hlm. 73-86. Jakarta: LP3ES.
1992. Hak Ulayat Masyarakat Setempat: Pelajaran dari Orang Kayan dan
Limbai", dalamPrisma No. 6, him. 53-65. Jakarta: LP3ES.
1998a. "Ketimpangan Berunsur SARA", dalam Forum Keadilan, edisi
khusus 17 Agustus, him. 27. Jakarta: PT. Forum Adil Mandiri.
1998b. "Dekat dengan Hutan, Jauh dari Kekuasaan: Marjinalitas Struktural
Orang Bukat dan Punan", dalam Prisma No. 1, him. 61-74. Jakarta: LP3ES.

8
"Ranah Konflik Etnis di Sambas: Sebuah Penjelasan Antropologi dan
Ekologi Politik", dalam: Jurnal Pasar Modal Indonesia, hlm. 48-53, edisi Mei
1999. Jakarta.
2001. "Ranah dan Resolusi Konflik Etnis di Sampit", dalam: Kompas, 4
Maret. Jakarta.

Suparlan, Parsudi. 1999. "Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya", dalam:


Antropologi Indonesia, Tahun XXIII, no. 59, him. 7-19. Jakarta: Jurusan
Antropologi, FISIP-UI dan Yayasan Obor.

Anda mungkin juga menyukai