Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ATRESIA ANI

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Anak

di Ruang 11 Rumah Sakit Saiful Anwar Malang

INCLUDEPICTURE "https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcTtM26yStYAA0y1DRZPY_1EsvnyJxmmNCDScwPsFE_LwT9IblBg
0w" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE "https://encrypted-
tbn1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcTtM26yStYAA0y1DRZPY_1EsvnyJxmmNCDScwPsFE_LwT9IblBg
0w" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE "https://encrypted-
tbn1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcTtM26yStYAA0y1DRZPY_1EsvnyJxmmNCDScwPsFE_LwT9IblBg

0w" \* MERGEFORMATINET

Disusun Oleh:

Jayanti Indrayani

15070300011142
PROGRAM PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2017

ATRESIA ANI

2.1 Definisi
a. Atresia Ani merupakan suatu kelainan dimana lubang dubur/anus
tertutup oleh membran (Suryanah, 1996).
b. Atresia Ani (Anus imperforata) merupakan suatu kelainan malformasi
kongenital dimana terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik
pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau
dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus.
Lokasi terjadinya anus imperforata meliputi bagian anus, rektum atau
bagian diantara keduanya (Hidayat, 2008).

2.2 Klasifikasi
Secara fungsional
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar yaitu:
a. Tanpa anus tetapi dengan fistula traktus yang adekuat. Kelompok ini
terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula recto-vagina atau
recto-fourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan
bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat
sementara waktu.
b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan
keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk
menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk
intervensi bedah segera.
Berdasarkan Letak
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi
yaitu :
a. Anomali rendah (infralevator)
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis,
terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborektalis; lesung anal
dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
c. Anomali tinggi (supralevator)
Ujung rektum di atas otot puborektalis dan sfingter internal tidak ada. Hal
ini biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius-retrouretral (pria)
atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rektum sampai
kulit perineum lebih dari 1 cm.

Klasifikasi Wingspread

Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan


yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
A. Jenis Kelamin Laki-laki
Golongan I
1. Kelainan fistel urin
Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum
uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.
Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra
karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung
mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak
lancar, penderita memerlukan kolostomi segera.
2. Atresia rectum
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada atresia
rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur jari
tidak dapat masuk lebih dari 1 2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
3. Perineum datar
Tidak ada keterangan lebih lanjut.
4. Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II

1. Kelainan fistel perineum


Fistel perineum sama dengan pada perempuan, lubangnya terletak
lebih anterior dari letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang
buntu menimbulkan obstipasi.
2. Membran anal
Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah
selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi
definit secepat mungkin.
3. Stenosis anus
Pada stenosis anus, sama dengan perempuan. Pada stenosis anus,
lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan
terapi definitif.
4. Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi.

B. Jenis Kelamin Perempuan


Golongan I
1. Kelainan kloaka
Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus
urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya
tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.
2. Fistel vagina
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi
feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
3. Fistel rektovestibular
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya
evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi
mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.
4. Atresia rektum
Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan
colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 12 cm. Tidak ada
evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
5. Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II
1. Kelainan fistel perineum
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat
letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan
obstipasi.
2. Stenosis anus
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya,
tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya
harus segera dilakukan terapi definitif.
3. Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi.
4. Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe :
a. Tipe Pertama (1)
Saluran anus atau rectum bagian bawah mengalami stenosis
dalam berbagai derajat.
b. Tipe Kedua (2)
Terdapat suatu membrane tipis yang menutupi anus karena
menetapnya membran anus.
c. Tipe Ketiga (3)
Anus tidak terbentuk dan rectum berakhir sebagai suatu kantung
yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus
yang seharusnya terbentuk (lekukan anus).
d. Tipe Keempat (4)
Saluran anus dan rectum bagian bawah membentuk suatu
kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rectum
yang berakhir sebagai kantung buntu.

2.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun
ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan
oleh:
a. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur (Levitt M, 2007).

b. Gangguan organogenesis dalam kandungan, karena ada kegagalan


pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan (Levitt M, 2007).

c. Berkaitan dengan sindrom down.

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah


komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan
kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan
dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian
juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan
pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang
berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain
etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).

d. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit


karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik (Purwanto, 2001).
e. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter,
dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus,
sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian
beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang
menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah
mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua
orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang
sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik,
abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
2.4 Patofisiologi
2.5 Faktor Resiko
Atresia ani merupakan suatu kelainan kongenital. Secara umum faktor
resiko yang dapat meningkatkan terjadinya kelainan kongenital antara lain :
a. Pemakaian alkohol oleh ibu hamil. Pemakaian alkohol oleh ibu hamil bisa
menyebabkan sindroma alkohol pada janin dan obat-obat tertentu yang
diminum oleh ibu hamil juga bisa menyebakan kelainan bawaan.

b. Penyakit Rh, terjadi jika ibu dan bayi memiliki faktor Rh yang berbeda.

c. Teratogenik

Teratogen adalah setiap faktor atau bahan yang bisa menyebabkan atau
meningkatkan resiko suatu kelainan bawaan.

d. Radiasi, obat tertentu dan racun merupakan teratogen.


Secara umum, seorang wanita hamil sebaiknya:

mengkonsultasikan dengan dokternya setiap obat yang dia minum

berhenti merokok

tidak mengkonsumsi alcohol

tidak menjalani pemeriksaan rontgen kecuali jika sangat mendesak.

e. Infeksi pada ibu hamil juga bisa merupakan teratogen. Beberapa infeksi
selama kehamilan yang dapat menyebabkan sejumlah kelainan bawaan:

Sindroma rubella kongenital ditandai dengan gangguan penglihatan


atau pendengaran, kelainan jantung, keterbelakangan mental dan
cerebral palsy

Infeksi toksoplasmosis pada ibu hamil bisa menyebabkan infeksi


mata yang bisa berakibat fatal, gangguan pendengaran,
ketidakmampuan belajar, pembesaran hati atau limpa,
keterbelakangan mental dan cerebral palsy

Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada
bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung, bisa
menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan
penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi

Penyakit ke-5 bisa menyebabkan sejenis anemia yang berbahaya,


gagal jantung dan kematian janin

Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa


menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang,
kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang
berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan
keterbelakangan mental.

f. Gizi

Menjaga kesehatan janin tidak hanya dilakukan dengan menghindari


teratogen, tetapi juga dengan mengkonsumsi gizi yang baik.Salah satu
zat yang penting untuk pertumbuhan janin adalah asam folat.Kekurangan
asam folat bisa meningkatkan resiko terjadinya spina bifida atau kelainan
tabung saraf lainnya. Karena spina bifida bisa terjadi sebelum seorang
wanita menyadari bahwa dia hamil, maka setiap wanita usia subur
sebaiknya mengkonsumsi asam folat minimal sebanyak 400
mikrogram/hari.

g. Faktor fisik pada Rahim


Di dalam rahim, bayi terendam oleh cairan ketuban yang juga merupakan
pelindung terhadap cedera.Jumlah cairan ketuban yang abnormal bisa
menyebabkan atau menunjukkan adanya kelainan bawaan.Cairan
ketuban yang terlalu sedikit bisa mempengaruhi pertumbuhan paru-paru
dan anggota gerak tubuh atau bisa menunjukkan adanya kelainan ginjal
yang memperlambat proses pembentukan air kemih.Penimbunan cairan
ketuban terjadi jika janin mengalami gangguan menelan, yang bisa
disebabkan oleh kelainan otak yang berat (misalnya anensefalus atau
atresia esofagus).

h. Faktor genetik dan kromosom

Genetik memegang peran penting dalam beberapa kelainan bawaan.


Beberapa kelainan bawaan merupakan penyakit keturunan yang
diwariskan melalui gen yang abnormal dari salah satu atau kedua orang
tua.Gen adalah pembawa sifat individu yang terdapat di dalam kromosom
setiap sel di dalam tubuh manusia. Jika 1 gen hilang atau cacat, bisa
terjadi kelainan bawaan.

i. Usia ibu

Semakin tua usia seorang wanita ketika hamil (terutama diatas 35 tahun)
maka semakin besar kemungkinan terjadinya kelainan kromosom pada
janin yang dikandungnya.

2.6 Manifestasi Klinis

o Bayi cepat kembung 4-8 jam setelah lahir

o Tidak ditemukan anus kemungkinan ada fistula

o Bila ada fistula pada perineum (mekoneum) kemungkinan letak


rendah

o Kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau


stenosis kanal rectal, adanya membrane anal

o Bayi tidak dapat buang air besar 24 jam setelah lahir, gangguan
instestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir akan
terlihay menonjol

o Bayi muntah-muntah pada usia 24-48 jam setelah lahir.

2.7 Pemeriksaan diagnostic

2.7.1 Pemeriksaan fisik rektum


Pemeriksaan colok dubur dan inspeksi visual adalah pemeriksaan
diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini. Kepatenan
rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau
jari.
2.7.2 Pemeriksaan radiologi
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik Wangensteen-Rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rektum yang
buntu. Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula
yang berhubungan dengan traktus urinarius. Pada pemeriksaan
radiologis dapat ditemukan:
- Udara dalam usus berhenti tibatiba yang menandakan
obstruksi di daerah tersebut.
- Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bayi
baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan
atresia ani / anus imperforata. Udara berhenti tiba-tiba di
daerah sigmoid, kolon / rektum.
- Dibuat foto anter-posterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat
dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda
bang radioopak, sehingga pada foto daerah antara benda
radio-opak dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
2.7.3 USG abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system


pencernaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi oleh
karena massa tumor. USG dapat digunakan untuk menentukan letak
kantong rektal.

2.7.4 CT scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
2.7.5 Aspirasi jarum
Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap defek
tingkat tinggi.
2.7.6 Pieolgrafi intravena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
2.7.7 Pemeriksaan urine
Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
2.7.8 Rontgenogram Abdomen dan Pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2.8 Penatalaksanaan Medis

Pada bayi harus diperiksa permasalahan lain, terutama padagenital,


saluran kemih dan tulang belakang.Rekonstruksi bedah untuk pembuatan
anus diperlukan. Dan jika rektum mengalami perlengketan dengan organ lain,
maka organ tersebut harus dibebaskan dan diperbaiki. Kolostomi sementara
mungkin diperlukan (Stenstorm, 2010).

Jika anus tidak berkembang baik, pembedahan akan dilakukan untuk


membuat lubang, atau anus baru agar kotoran dapat keluar. Pengobatan
dapat berbeda bergantung pada jenis anorektal anomali. Jika ujung usus
berada pada letak tinggi, pengobatan umumnya dilakukan dalam tiga
prosedur, pertama adalah pembuatan stoma pada usus yang dikenal dengan
kolostomi.

Bayi baru lahir dengan stoma akan membutuhkan kantung khusus untuk
pengumpulkan feses. Prosedur kedua adalah anoplasti yaitu menarik turun
rektum ke posisi anus dimana akan dibuat anus buatan. Jika terdapat fistula
atau penghubung yang abnormal antara kandung kemih atau vagina, maka
fistula ini harus ditutup. Beberapa bulan kemudian setelah anus baru telah
sembuh, maka dilakukan prosedur ketiga yaitu penutupan stoma (Stenstorm,
2010).

Jika ujung usus berada pada letak rendah di pelvis, pembuatan lubang
anus dapat dilakukan dengan operasi tunggal. Rektum ditarik turun ke posisi
anus dan lubang anus yang baru dibuat, dengan teknik minimal invasif yang
dikenal dengan laparoskopi. Pada kasus ini, stoma tidak diperlukan. Jika anus
baru berada pada posisi yang salah, maka anus tersebut akan ditutup dan
dipindahkan ke posisi yang benar.Segera setelah operasi, peristaltik bayi
meningkat yang dapat mengakibatkan diaper rash yang berat. Sehingga salep
pelindung kulit diperlukan. Bayi diperbolehkan pulang jika sudah dapat minum,
peristaltik normal, tidak merasakan nyeri dan bebas demam (Stenstorm,
2010).

Posterior Sagital Anorektal Plasty (PSARP)

Insisi dibuat dari fistula yang nampak ke arah rektum. Sfingter rektal
sebenarnya terdiri dari saraf dan otot yang dapat diidentifikasi dan fistula
dipisahkan dari rektum. Pembuatan lubang anus dimana saraf dan otot rektum
berada, bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan bayi dalam mengontrol
pergerakan usus. Kolostomi tidak ditutup selama prosedur operasi. Kotoran akan
tetap keluar melalui kolostomi dan memberi waktu bagi lubang anus yang baru
untuk sembuh (Stenstorm, 2010).

Perawatan Pasca Operasi PSARP

- Antibiotik intravena diberikan selama 3 hari, salep antibiotik diberikan


selama 8 10 hari.

- 2 minggu paska operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger


dilatation, 2x sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan
anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran ynag sesuai
dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah
masuk.(Stenstorm, 2010).

Penatalaksanaan pada klien dengan atresia ani menurut Aziz Alimul Hidayat
(2006), Suriadi dan Rita Yuliani (2001), Fitri Purwanto (2001) adalah sebagai
berikut :

A. Penatalaksanaan Medis

a) Therapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan


keparahan defek. Untuk anomaly tinggi dilakukan colostomi beberapa
hari setelah lahir, bedah definitifnya yaitu anoplasti perineal (prosedur
penarikan perineum abdominal). Untuk lesi rendah diatasi dengan
menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit anal,
fistula bila ada harus ditutup. Defek membranosa memerlukan
tindakan pembedahan yang minimal yaitu membran tersebut
dilubangi dengan hemostat atau scalpel.

b) Pemberian cairan parenteral seperti KAEN 3B. Indikasi:

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air


dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti
ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)

Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A

Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B


c) Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk
mencegah infeksi pada pasca operasi.

d) Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

B. Penatalaksanaan Keperawatan

Monitor status hidrasi ( keseimbangan cairan tubuh intake dan


output ) dan ukur TTV tiap 3 jam.

Lakukan monitor status gizi seperti timbang berat badan, turgor kulit,
bising usus, jumlah asupan parental dan enteral.

Lakukan perawatan colostomy, ganti colostomybag bila ada produksi,


jaga kulit tetap kering.

Atur posisi tidur bayi kearah letak colostomy.

Berikan penjelasan pada keluarga tentang perawatan colostomy


dengan cara membersihkan dengan kapas air hangat kemudian
keringkan dan daerah sekitar ostoma diberi zing zalf, colostomybag
diganti segera setiap ada produksi.

2.9 Pengkajian Keperawatan


a. Biodata klien
b. Riwayat keperawatan
c. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan masa lalu

Riwayat tumbuh kembang

A. BB lahir abnormal
B. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang
pernah mengalami trauma saat sakit
C. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal
D. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium

Pola nutrisi-Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia
ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual
dan munta dampak dari anestesi.

Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk
buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus,
sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi.

Pola Aktivitas dan Latihan


Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.

Pola Persepsi Kognitif


Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan
masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

Pola Tidur dan Istirahat


Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka
inisisi.

Konsep Diri dan Persepsi Diri


Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.
Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi

Peran dan Pola Hubungan


Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran

Pola Reproduktif dan Sexual


Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi

Pola Keyakinan dan Nilai


Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).

Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang kadang tampak ileus obstruksi,
termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada
auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi
lahir, tinja dalam urin dan vagina. Doengoes Merillyn, E. 2000.

2.10 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa preoperasi:
Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat, muntah.
Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
Diagnosa postoperasi:
Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder
dari kolostomi.
Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
2.11 Asuhan Keperawatan
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan
teratur.
Kriteria hasil:
Penurunan distensi abdomen.
Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi:
1. Lakukan enema atau irigasi rektal.
2. Kaji bising usus dan abdomen.
3. Ukur lingkar abdomen.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya
intake, muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
Kriteria hasil:
Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
Capillary refill 3-5 detik.
Turgor kulit baik.
Membran mukosa lembab
Intervensi:
a. Pantau TTV.
b. Monitor intake-output cairan.
c. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.

c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
Klien tidak lemas.
Intervensi:
a. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang
anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal.
b. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
c. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.

Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:


a. Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:
Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi:
a. Kaji skala nyeri.
b. Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
c. Berikan lingkungan yang tenang.
d. Atur posisi klien.
e. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder


dari kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
Penyembuhan luka tepat waktu.
Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi:
a. Kaji area stoma.
b. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar
pada area stoma.
c. Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
d. Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi atau kantong
e. Lakukan perawatan luka kolostomi.

c. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder


terhadap luka kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
o Tidak ada tanda-tanda infeksi.
o TTV normal.
o Leukosit normal.
Intervensi:
a. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
b. Pantau TTV.
c. Pantau hasil laboratorium.
d. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
e. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.


Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
BAB normal.
Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
a. Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
b. Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
c. Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan
mengandung tinggi serat jika konstipasi.
d. Lakukan perawatan kolostomi.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.


Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.
Kriteria hasil:
Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan kolostomi
dirumah
Intervensi:
a. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai
mereka dapat melakukan perawatan.
b. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
c. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan
melakukan dilatasi pada anal secara tepat.
d. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
e. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
f. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

DAFTAR PUSTAKA

Suryanah. 1996. Keperawatan anak untuk siswa SPK. Jakarta :EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika

Arvin, Ann M.,Behrman, Richar E.,Kliegman, Robert M. 1999. Ilmu Kesehatan


Anak Nelson. Vol 2 ed 15. Jakarta :EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirchsprung. Jakarta : Sagung Seto

http://kidshealth.org/parent/medical/digestive/hirschsprung.html

Faradila, Nova, et al. 2009. Anestesi pada Tindakan Posterosagital


Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorectal. Fakultas Kedokteran.
Pekanbaru: Universitas Riau.

S., Zainul Arifin. 2010. Gambaran Jenis Atresia Ani pada Penderita Atresia Ani Di
RSUP H. Adam Malik Tahun 2008-2010. Fakultas Kedokteran. Medan:
Universitas Sumatera Utara.

Kessmann J. Hirschsprung's Disease: Diagnosis and Management. Am Fam


Phys. 2006;74:1319-1322.

Fiorino K, Liacouras CA. Congenital aganglionic megacolon (Hirschsprung


disease). In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders
Elsevier; 2011:chap 324.3.
http://emedicine.medscape.com/article/927029-clinical#a0217 anonim. diakses
tanggal 21 februari 2015

Betz, Cealy L., Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai