Anda di halaman 1dari 5

PRAKTIKUM KE-1

A. Judul Praktikum : Enzim dan Kerja Enzim


B. Tanggal Praktikum : Rabu, 05 Oktober 2016
C. Tujuan Praktikum :
1. Mengetahui kerja enzim pada proses pencernaan di dalam mulut
2. Mengukur kerja enzim amilase dalam beberapa lingkungan suhu yang
berbeda
D. Hasil Pengamatan dan Analisis Pembahasan
Tabel I Hasil pengamatan cara kerja enzim pada proses pencernaan di dalam
mulut

No. Waktu Pengukuran Warna


Sebelum Ditetesi Iodin Setelah Ditetesi Iodin
1. Craker ditumbuk Kuning Tidak ada perubahan warna

2. Craker dikunyah Kuning Ungu muda


selama 30 detik
3. Craker dikunyah Kuning Ungu
selama 1 menit
4. Craker dikunyah Kuning Ungu pekat/ungu kehitaman
selama 2 menit
5. Craker dikunyah Kuning pucat Ungu kurang pekat
selama 3 menit
6. Craker dikunyah Kuning pucat Ungu agak pekat
selama 4 menit
7. Craker dikunyah Kuning pucat Ungu pekat
selama 5 menit
8. Craker dikunyah Kuning pucat Ungu sangat pekat
selama 10 menit

Tabel II Mengukur kerja enzim amilase pada suhu lingkungan yang berbeda

No Suh Larutan Amilum Banyak Tetes Waktu Warna


. u yang Ditambah (Titik
Akromatis)
1. 5oC Iodin 2 tetes Menit ke- Endapan ungu
2 pekat
Benedict 2 tetes Menit ke- Putih
2
2. 15oC Iodin 9 tetes Menit ke- Hitam dengan
02.49 endapan ungu
Benedict 17 tetes Menit ke- Biru
02.19
3. 25oC Iodin 5 tetes Menit ke- Hitam pekat
4
Benedict 8 tetes Menit ke- Biru muda
5
4. 35oC Iodin 3 tetes Menit ke- Hitam
3
Benedict 4 tetes Menit ke- Biru
2
5. 45oC Iodin 6 tetes Menit ke- Ungu pekat
02.33 kehitaman
Benedict 3 tetes Menit ke- Biru muda
01.30 keputih-putihan
6. 65oC Iodin 1 tetes Menit ke- Ungu pekat, dasar
1 hitam kecoklatan
Benedict 1 tetes Menit ke- Biru muda
1 keputih-putihan

Chart Title
6

INTERVAL WAKTU AKROMATIS 3

0
5 15 25 35 45 65

PERBEDAAN SUHU PADA MASING - MASING SAMPEL

IODIN BENEDICT'S

Pada percobaan kali kami melakukan pengujian dimana pada hasil


pengamatan tabel pertama, kami melakukan pengujian pada bahan crekers asin
yang diperlakukan dengan 2 perlakuan yang pertama dikunyah dan yang kedua
ditumbuk kemudian bahan sampel keduanya di teteskan reagen iodin dan reagen
benedict. Uji iodium dan benedict digunakan untuk membuktikan amilum yang
terhidrolisis menghasilkan molekul-molekul yang lebih sederhana dan jika
direaksikan dengan iodium akan berwarna biru sedangkan dengan benedict dapat
dilihat proses hidrolisis amilum dengan terbentuknya endapan berwarna merah
bata, biru kehijauan, atau kuning. (Lehninger, 1982, hal : 312).
Pada percobaan pertama ini crekers yang di tumbuk lalu di teteskan reagen
iodin dan benedicts. Tidak terjadi perubahan warna yang tadinya kuning tetap
kuning. Ini disebabkan karena reagen iodin disini tidak bereaksi dengan crakers
yang ditumbuk. Hal ini disebabkan karena crekers tersebut tidak mengandung
enzim yang ketika di tetesi reagen iodin ataupun reagen benedicts akan
menghidrolisis atau memecahkan amilum polisakarida menjadi monosakarida atau
disakarida dengan bantuan enzim amilase yang terdapat pada saliva. (Almatsier,
2004: 38)
Selanjutnya percobaan pada crekers dengan perlakuan dikunyah dengan
berbagai rentang waktu mulai dari 30 detik, 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, 5
menit dan 10 menit. Dimana ketika di tetesi atau direaksikan dengan reagen iodin
dan reagen benedicts mengalami perubahan warna yang tadinya kuning pucat
pada kunyahan yang 30 detik mengalami perubahan warna menjadi ungu muda,
kemudian pada kunyaha 1 menit menjadi warna ungu, selanjutya pada menit ke 2
mengalami perubahan menjadi ungu kehitaman, kemudian pada kunyahan di
menit ke 3 menjadi warna ungu sedikit pekat, selanjutnya pada kunyahan di menit
ke 4 menjadi warna ungu agak pekat, kemudian pada kunyahan di menit ke 5
menjadi warna ungu pekat, dan yang terakhir pada kunyahan di menit ke 10
menjadi ungu sangat pekat. Hal ini disebabkan karena crekers tersebut
mengandung saliva. Saliva adalah suatu cairan tidak bewarna yang memiliki
konsistensi seperti lendir dan merupakan hasil sekresi kelenjar yang membasahi
gigi serta mukosa rongga mulut. Saliva dihasilkan oleh tiga pasang kelenjar saliva
mayor serta sejumlah kelenjar saliva minor yang tersebar di seluruh rongga mulut.
Yang dimana saliva ini mengandung enzim amilase yang menjadi katalis bagi
reaksi antara enzim amilase dengan crekers tersebut. (Poedjiadi, 2005 : 235)
Sehingga mengalami perubahan warna menjadi ungu. Semakin lama waktu
pengunyahannya semakin pekat warna yang dihasilkan. Hal ini disebabkan
lamanya pengunyahan dimulut karena crekers yang ada dimulut mengandung
karbohidrat dalam jenis poliskarida sehingga terjadi pengubahan bentuk dari
polisakarida ke disakarida yaitu berupa maltosa. (Almatsier, 2004: 28) Sehingga
mempengaruhi tingkat konsentrasi enzim tersebut dan membuat warna ungu pada
tetesan iodin mengalami perubahan yang signifikan semakin lama pengunyahan
maka semakin pekat warna ungunya.
Kemudian pada percobaan kedua ini menguji amilum yang dipanaskan lalu
di teteskan saliva sebanyak 2 mL kemudian di teteskan reagen iod dan benedicts
dimana diperlakukannya dengan suhu yang berbeda beda. Pada percobaan
pertama pada suhu 5 memiliki titik akromatis pada tetes ke 2 dimenit ke 2.
Dimana titik akromatis ini yaitu Titik dimanan sudah tidak terjadi perubahan
warna lagi. Titik akromatis bisa diartikan sebagai titik dimana terjadi perubahan
kimia dari polisakarida menjadi monosakarida. Dimana enzim disini
menghidrolisis amilum menjadi monosakarida dimana uji iod juga bertujuan
untuk memberitahu bahwa polisakarida telah menjadi monosakarida atau
disakarida dengan ditandai warna biru. Kemudian enzim disini mengalami
denaturasi karena suhu optimum pada enzim bukan pada suhu 5 melaikan

berada pada suhu 35 - 40 . (Team Pengajar, 2016: 8) hal ini

menyebabkan enzim menjadi denaturasi. Ada beberapa faktor yang


mempengaruhi kerja enzim yaitu; pH, suhu, konsentrasi substrat tertentu dan
waktu inkubasi. (Dyah, Akyunul, dan Anik, 2012).
Maka semakin tinggi atau semakin rendah suhu yang dilakukan, maka
semakin sedikit waktu dimana enzim tersebut mencapai tingkat titik akromatis.
Enzim bekerja optimal pada suhu 20 50 C. (Volk dan Wheeler, 1984). Hal ini
dibuktikan dengan percobaan dimana pada suhu 65 enzim, reagen iodin dan
reagen benedicts yang diteteskan pada larutan amilum memiliki titik akromtis
sebesar 1 tetes selama 1 menit. hal ini membuktikan bahwa enzim tidak bekerja
atau mengalami denaturasi pada suhu tinggi. Suhu optimum berdasarkan
percobaan kali ini, terdapat pada suhu 3 5 dimana hal ini terlihat pada grafik
diatas. Terlihat kurva pada suhu derajat tersebut tingkat waktu akromatis serta
suhunya antara reagen iod dan reagen benedicts tidak jauh berbeda. Adapun pada
suhu 4 5 pun sama titik akromatis antara reagen iod dan reagen benedicts
akan tetapi suhu disini kemungkinan sangat rentan, serta waktu berpengaruh
terhadap titik akromatis, karena pada suhu 45 ini semakin tinggi suhu maka
semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk enzim mengalami denaturasi yang
menghasilkan titik akromatis pada enzin tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Penerjemah Maggy Thenawijaya.
Jakarta: Erlangga.
Poedjiadi, Anna dan F.M. Titin Supriyanti. 2005. Dasar dasar Biokimia. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Pengajar, Team. 2016. Modul Praktikum Fisiologi Hewan. Bandung: Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Saropah, Dyah Ayu, Akyunul Jannah, Anik Maunatin. 2012. Kinetika Reaksi
Enzimatis Ekstrak Kasar Enzim Selulase Bakteri Selulolitik Hasil Isolasi
Dari Bekatul. ALCHEMY. Vol. 2. No. 1. Hal 34-45. Jurusan Kimia, Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Diakses pada:
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/Kimia/article/view/2297/4154
pada tanggal : 11 Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai