TENTANG
NILAI-NILAI KEBANGSAAN INDONESIA
(HASIL REVISI)
YANG BERSUMBER DARI EMPAT KONSENSUS DASAR BANGSA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga
saat ini menunjukkan dinamika yang cukup tinggi. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara selama lebih dari 67 tahun ternyata masih diwarnai oleh berbagai
kemelut politik yang diwarnai oleh kepentingan kelompok atau golongan, dan
diantaranya telah berkembang menjadi gangguan keamanan yang berpengaruh
terhadap stabilitas nasional. Perbedaan paham dan benturan politik pada tataran elit
sebagai akibat perbedaan visi dalam pengelolaan sistem kenegaraan, dengan mudah
merambah ke dalam kehidupan masyarakat tingkat bawah ( grass-root), sehingga
berpengaruh negatif terhadap kadar hubungan sosial masyarakat. Masyarakat menjadi
tersegmentasi oleh berbagai kepentingan maupun sentimen-sentimen kedaerahan,
keagamaan serta ideologis. Akibatnya, kondisi persatuan menjadi menurun dan
kesatuan bangsa menjadi semakin renggang. Di sisi lain, benturan kepentingan politik
yang terjadi menjadi faktor yang sangat menghambat kemajuan bangsa, karena
terabaikannya proses pembangunan nasional sebagai upaya untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur.
Belajar dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia mulai dari tumbuhnya
kesadaran kebangsaan hingga memasuki era perjuangan kemerdekaan, seharusnya
segenap bangsa Indonesia menyadari, bahwa hanya dengan bersatu, yaitu
mengutamakan kehendak bersama dan demi satu tujuan bersama pula bangsa ini
berhasil mewujudkan cita-citanya, yaitu merdeka dan lepas dari belenggu kekuasaan
penjajahan. Oleh karena itu dengan kesadaran tersebut bangsa Indonesia dalam
Halaman | 1
memperjuangkan cita-cita nasionalnya harus senantiasa menjunjung tinggi rasa
persatuan dan rela berkorban demi bangsa dan negaranya.
Sejarah telah membuktikan, bahwa ketika bangsa ini melupakan tujuan
bersamanya serta dengan sadar telah mengingkari konsensus nasional yang dilandasi
oleh kehendak bersama, maka yang terjadi adalah timbulnya berbagai bentuk konflik
sosial, perlawanan dan pemberontakan bersenjata serta munculnya ide-ide dan
gerakan separatis. Akibatnya adalah, bahwa pembangunan dalam berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi terhambat. Hal yang
paling meresahkan adalah semakin menguatnya sentimen-sentimen kedaerahan yang
dipicu oleh anggapan kurang mendapatkan perlakuan secara adil dari pemerintah
akibat dari diundangkannya Undang-undang tentang Otonomi Daerah , sehingga beban
penderitaan yang harus ditanggung oleh rakyat semakin terasa.
Kesadaran kebangsaan yang dipelopori oleh generasi muda Indonesia pada
jamannya, yang kemudian telah melahirkan dan mendorong diwujudkannya cita-cita
kemerdekaan Indonesia, pada dasarnya tumbuh dan berkembang oleh dorongan
kehendak bersama dari seluruh komponen masyarakat (bangsa Indonesia) yang
berbeda suku, etnis, agama, budaya yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Tujuannya, tidak lain adalah demi mewujudkan keinginan untuk membangun satu
masyarakat baru yang besar dalam satu kesatuan yang utuh yaitu bangsa (Indonesia).
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Soekarno dalam amanatnya pada peresmian
Lembaga Ketahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta, tanggal 20 Mei 1965 (Naskah
Dokumen Departemen Penerangan RI), yang menyitir teori Ernest Renan maupun Otto
Bauer, bahwa Bangsa (Nation) adalah jiwa yang mengandung kehendak untuk bersatu
dan hidup bersama (the desire to live together). Bangsa adalah juga merupakan
Sikap dan cara pandang Bung Karno, seperti halnya dengan para pencetus ide
kebangsaan Indonesia lainnya, menunjukkan suatu kesadaran yang sungguh-sungguh ,
bahwa bangsa Indonesia yang akan dibangun dan dicita-citakan adalah sebuah
himpunan dari berbagai ragam masyarakat budaya, adat, bahasa lokal/daerah, bahkan
juga agama dan keyakinan yang berbeda-beda dan majemuk.
Dari pandangan para pendiri bangsa dan negara (founding-fathers) tampak jelas,
bahwa ide kebangsaan Indonesia sejak semula tidak diniatkan untuk menyatukan
segala bentuk keragaman dan kemajemukan yang ada dalam kehidupan masyarakat
menjadi satu kesatuan masyarakat yang seragam atau unifikasi. Keanekaragaman
warna lokal justru ingin tetap dijaga dan dipelihara, karena sangat disadari bahwa
keragaman itu merupakan kekuatan lokal, sekaligus sebagai kekuatan seluruh bangsa.
Disadari pula, bahwa bangsa yang akan lahir itu akan hidup dan tinggal bersama
dalam satu kesatuan wilayah (negara), yang dalam kenyataannya (realita geografik)
merupakan kumpulan pulau-pulau yang amat banyak jumlahnya.
Sadar akan kenyataan tersebut, maka kehendak untuk bersatu dan hidup
bersama dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan harus senantiasa
terjaga dan terpelihara oleh bangsa Indonesia. Kehendak itulah yang merupakan faktor
perekat utama dan seharusnya tetap menjiwai serta menyemangati setiap warga
bangsa dalam rangka menata dan membangun bangsa ( nation building) dalam wujud
membangun karakter atau jati diri bangsa (nations character building) dan membangun
sistem kenegaraan (national system building). Ke-bhinneka-an ini harus tetap berada
dalam sanubari dan menjadi spirit dari setiap warga bangsa Indonesia, yang akan
diwariskan dari generasi ke generasi.
Melalui pemikiran yang cerdas dan bijak serta dilandasi kepekaan nurani yang
sangat dalam, para pendiri bangsa ( the founding fathers) berhasil mengangkat nilai-
nilai yang terkandung di dalam khasanah kehidupan masyarakat Indonesia maupun
ajaran para leluhur, sebagai nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Nilai-nilai kebangsaan
dimaksud dirumuskan secara konkrit serta disepakati untuk dijadikan landasan dan
pedoman di dalam pembentukan dan penyelenggaraan negara (national system
Reformasi yang semestinya berjalan di atas norma dan etika demokrasi, pada
kenyataannya lebih mirip arena adu pembenaran diri dengan memanfaatkan berbagai
macam media massa. Suasana kehidupan nasional cenderung semakin provokatif dan
agitatif (hasutan-hasutan), sehingga tidak kondusif. Perjuangan kelompok/golongan
dengan label demi kebebasan telah melahirkan aneka konflik kepentingan, baik yang
bersifat horizontal maupun vertikal.
Di sisi lain, tuntutan pemekaran wilayah yang dianggap sebagai wujud ekspresi
kebebasan lokal, dalam praktiknya telah berkembang semakin rumit dan sulit
dikendalikan. Muncullah berbagai bentuk egoisme, baik yang bersifat kedaerahan,
kesukuan, bahkan juga keagamaan, seringkali mengabaikan prinsip-prinsip
keharmonisan dan kerukunan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hal tersebut
merupakan suatu bukti, bahwa reformasi yang mengusung ide pembaharuan ternyata
telah membawa bangsa ini ke dalam cara berpikir yang semakin mengecil dan sempit,
jauh berbeda dengan semangat para pendahulu yang mau berpikir membesar dan luas.
Lebih memprihatinkan lagi karena dalih Menuju Indonesia Baru justru telah
mengubah perilaku (behavior) masyarakat menjadi sangat kurang menghormati kaidah-
kaidah kehidupan yang pluralis. Konsensus Nasional sebagai manifestasi kehendak
untuk bersatu maupun sebagai satu kesatuan karakter atau jati diri bangsa Indonesia
tidak lagi menjadi pertimbangan utama pada saat mengambil keputusan atau pun
dalam menentukan sikap bersama.
Bila keadaan bangsa ini dibiarkan terus larut ke dalam situasi sebagaimana
gambaran di atas, serta tanpa upaya nyata untuk segera mengatasinya, dapat
Dunia saat ini diwarnai oleh persaingan keras serta berciri saling ketergantungan
sangat tinggi menyangkut kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, Hankam dan
sebagainya. Semuanya itu merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama oleh
segenap komponen bangsa. Oleh karena itu, dalam membangun bangsa dan
mempersiapkan generasi bangsa Indonesia untuk mampu bersaing dengan bangsa lain
yang lebih maju guna menjaga dan mempertahankan sumber daya alam serta dalam
memperebutkan potensi pasar ekonomi di tingkat global, kiranya perlu dibangun
kekuatan nasional (national in-corporated) yang dijiwai dan disemangati oleh suatu
kesadaran kebangsaan sebagai landasan moral pengabdian bagi generasi bangsa
Indonesia.
Sebagai wujud kepedulian dan tanggungjawab terhadap nasib bangsa saat ini
dan di masa mendatang, sudah saatnya pemerintah segera melakukan upaya nyata
yang terorganisir, terencana secara sistematis dan terukur, untuk melakukan langkah
3. Pengertian-Pengertian
a. Bangsa menurut teori klasik yang diangkat oleh Ernest Renan, adalah jiwa
yang mengandung kehendak untuk bersatu atau hidup bersama, le desir
detre ensemble. Sedangkan Otto Bauer menekankan pada kesatuan
karakter, eine Schiksalgemeinshaft erwachsene Karaktergemeinschaft, yakni
himpunan manusia sebagai satu kesatuan karakter. Sesuai dengan
pendapat ini, Soekarno mengatakan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan
dari tanah yang dipijaknya. Dengan demikian pengertian tentang bangsa
(menurut Soekarno) adalah satu kelompok manusia yang tinggal di dalam
satu kesatuan geopolitik (ruang hidup).
d. Nilai-nilai kebangsaan adalah nilai yang melekat pada diri setiap warga
negara atau norma-norma kebaikan yang terkandung dan menjadi ciri
kepribadian bangsa Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila,
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika yang dicerminkan
dari sikap dan perilaku setiap warga negara sebagai bangsa Indonesia yang
Buku Induk Tentang Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia
Halama
n |7
senantiasa mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan
wilayah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa
mengesampingkan tanggung jawab untuk menghargai bangsa dan negara
lain. Bagi bangsa Indonesia yang beradab, kedaulatan ( sovereignty) tidak
hanya mengandung privilege berupa jurisdiksi untuk mengatur,
menegakkan hukum dan mengadili segala hal yang berada dalam wilayah
negara, tetapi juga mengandung tanggungjawab (responsibility) untuk
menghormati nilai-nilai kemanusiaan atas dasar norma, nilai dan standar
universal dan menghormati pula negara lain untuk dapat menjamin
kesejahteraan serta keamanan nasional, regional dan internasional.
4. Ruang Lingkup.
5. Sistematika
Bab I Pendahuluan, memuat uraian yang terkait dengan latar belakang, maksud
dan tujuan, pengertian-pengertian, ruang lingkup dan sistematika penulisan.
Bab V Penutup.
BAB II
LANDASAN PEMIKIRAN
6. Umum
Pemantapan nilai-nilai kebangsaan merupakan upaya sosialisasi, internalisasi,
dan institusionalisasi secara sistematis dan terukur kepada setiap warga negara yang
dilakukan dengan mekanisme pendidikan dan pelatihan yang bersifat aktif dua arah
dan dilakukan secara bertahap dan berlanjut. Hal tersebut dimaksudkan untuk
membangun pengertian, pemahaman dan pengimplementasian konsepsi untuk
membangun karakter bangsa dan membangun sistem kenegaraan yang
berkesinambungan, agar terjalin benang merah pewarisan nilai yang tidak terputus,
sehingga setiap generasi bangsa Indonesia senantiasa memiliki rasa kebangsaan dan
jati diri yang kuat, yang akan terus mengobarkan semangat dalam memperjuangkan
segala kepentingan nasional serta bertanggung jawab penuh menjaga,
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan serta kedaulatan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
7. Landasan Historis.
a. Masa Pergerakan Kebangsaan
Masa ini, sekali lagi merupakan koreksi atas pembangunan pada masa
sebelumnya yang dinilai sangat sentralistik, kurang berpihak kepada
kepentingan daerah, dan dilaksanakan dengan pola yang sangat represif,
kurang menghargai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Berbagai
kepentingan politik yang saling tarik-menarik, diikuti oleh kepentingan global
yang makin menekan, dirasakan semakin melemahkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam rangka menata kembali tata kehidupan berbangsa dan
bernegara, keluar dari sistem Orde Baru yang dirasakan sangat represif,
tidak terbuka dan tidak demokratis, menuju ke arah yang lebih baik, maka
pada tahun 1998 dilakukan reformasi. Namun dalam perjalannya reformasi
8. Landasan Filosofis
9. Landasan Yuridis
Nilai-nilai kebangsaan bagi setiap warga
negara Indonesia, merupakan sesuatu yang
sangat strategis dalam menghadapi
perkembangan saat ini dan ke depan. Kenyataan
empirik di lapangan mengindikasikan terdapat
tanda-tanda yang cukup kuat terjadinya
pelunturan mengenai implementasi nilai-nilai
kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Implementasi nilai-nilai
kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari pada
dasarnya merupakan jiwa, semangat dan tekad
untuk senantiasa membela, mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan. Landasan yuridis dalam
rangka implementasi nilai-nilai kebangsaan
mengacu pada:
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi
atau dirampas oleh siapapun. Dalam ketentuan tentang Hak Asasi Manusia
mengandung hak dan kewajiban, diantaranya adalah hak turut serta
(berpartisipasi) dalam pemerintahan dan kewajiban untuk ikut serta dalam
pembelaan negara.
Selanjutnya dalam pasal yang sama pada ayat (2) ditegaskan, bahwa
keikutsertaan setiap warga negara dalam upaya bela negara,
diselenggarakan melalui Pendidikan Kewarganegaraan, pelatihan dasar
kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional
Indonesia secara sukarela atau secara wajib dan pengabdian sesuai dengan
profesi.
Kedua, muncul budaya eforia baik ditingkat supra, inpra, nasional, lokal,
komunitas, kelompok dan lapisan masyarakat tertentu, yang bangga dan senang untuk
mempertontonkan (show off) suatu kemewahan, kemegahan (glammours), berhura-
hura (hedonism) serta hal-hal yang bersifat seremonial, formalistik dan provokatip
dihadapan masyarakat luas, tidak mempertimbangkan sensitivitas lapisan masyarakat
lainnya yang masih dalam keadaan sangat sulit ( megap-megap) memberdayakan
dirinya, baik secara ekonomi, maupun sosial budaya. Ini memunculkan jati diri bangsa
mengalami disharmonisasi sosial ditengah kehidupan kelompok masyarakat. maka
tidak heran bila konflik kekerasan individual, antar kelompok masyarakat dalam
berbagai bentuknya menjadi hal biasa dan sering muncul di tengah masyarakat.
Oleh karena itulah, kita perlu mengangkat kembali nilai-nilai kebangsaan yang
bersumber dari falsafah bangsa Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta semboyan
bangsa Bhinneka Tunggal Ika, demi meneguhkan kembali jati diri bangsa dan
membangun kesadaran tentang sistem kenegaraan yang menjadi konsensus nasional.
Dengan nilai-nilai kebangsaan dimaksud, diharapkan bangsa Indonesia dapat tetap
menjaga integritas dan identitasnya sebagai bangsa yang mampu menjaga keutuhan
dan mampu menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah
terpaan arus globalisasi yang bersifat multidimensional.
Nilai-nilai yang bersumber dan terkandung
dalam Empat Konsensus Dasar Bangsa,
mempunyai peran, antara lain: merupakan fungsi
perekat (adhesive function) persatuan, sebagai
measurement guidelines dalam mengelola
ketahanan nasional, elemen prediktibilitas dalam
hubungan antar bangsa (predictability elements),
dan sarana menegakkan kedaulatan (sovereignty).
Khusus mengenai fungsi sarana untuk
menegakkan kedaulatan, disamping mengandung
privilege atau hak istimewa untuk mengatur dan
menegakkan hukum di wilayah negara, juga harus
mengandung tanggung jawab pada dunia serta
sebagai sistem peringatan dini (early warning
system) kepada pemerintah, bahwa: masalah
keragaman beragama, masalah HAM, masalah
persatuan, masalah kehidupan berdemokrasi,
masalah keadilan sosial merupakan tantangan
utama bagi bangsa Indonesia.
Buku Induk Tentang Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia
Halama
n | 32
14. Pancasila Sebagai Ideologi Negara
a. Tinjauan Historis
Kedudukan Pancasila juga merupakan cita hukum atau sumber dari segala
sumber hukum yang berlaku dalam negara. Pancasila sebagai cita hukum harus
menguasai dan melingkupi hukum dasar (konstitusi) dan norma hukum yang
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga
sebagai sumber dari segala sumber hukum, Pancasila berfungsi sebagai dasar
hukum yang bersifat konstitutif dan sebagai dasar hukum yang bersifat regulatif.
Hal ini bermakna, bahwa hukum dasar (konstitusi) negara Indonesia dan semua
Buku Induk Tentang Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia
Halama
n | 34
produk hukum positif yang bersifat mengatur (regulatif), nilai-nilai yang
dikandungnya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar
yang terdapat dalam Pancasila.
2) Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Manusia
ditempatkan sesuai dengan harkatnya. Hal ini berarti bahwa manusia
mempunyai derajat yang sama di hadapan hukum. Sejalan dengan sifat
5) Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia :
Keadilan berarti adanya persamaan dan saling menghargai karya orang lain.
Jadi seseorang bertindak adil apabila dia memberikan sesuatu kepada orang
lain sesuai dengan haknya. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat
dalam arti dinamis dan meningkat.
15. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai
Konstitusi Negara
a. Tinjauan historis
Undang Undang Dasar atau konstitusi bagi suatu negara yang berdasar
pada hukum (supremacy by law) adalah sangat penting, karena merupakan
fundamen atau hukum dasar yang menjadi acuan bagi penyelenggaraan
pemerintahan negara guna mencapai cita-cita nasionalnya. Demikian halnya
dengan negara Indonesia, pada saat bangsa ini sedang mempersiapkan
kemerdekaannya para pendiri negara (the founding fathers) telah memikirkan
landasan filosofi dan landasan hukum bagi negara Indonesia yang akan dibentuk.
Kelahiran Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan buah perjuangan panjang bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang dimulai berabad-abad yang
lampau, antara lain perlawanan dari Sultan Baabullah, Sultan Iskandar Muda,
Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Kapitan Pattimura, Teuku Umar dan
sebagainya, sampai perjuangan kemerdekaan yang diwujudkan melalui
Rumusan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI diambil dari rancangan
Konstitusi hasil sidang BPUPKI. Adapun BPUPKI ini adalah sebuah lembaga
bentukan Panglima Balatentara Dai Nippon berdasarkan Maklumat Gunseikan
Nomor 23 tanggal 29 April 1945 yang anggota-anggotanya dilantik pada 28 Mei
1945. Naskah Rancangan UUD tersebut mulai disusun pada masa sidang
pertama (29 Mei sampai 1 Juni 1945) dan sidang kedua (11 sampai 17 Juli 1945),
dan drafnya disetujui dalam sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945. Mengingat
BPUPKI yang tugasnya menyiapkan rancangan UUD telah selesai, maka
pemerintah pendudukan Jepang berkeinginan segera untuk membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan mengundang tiga tokoh yaitu
Soekarno, Moh. Hatta dan Radjiman Wedijodiningrat menghadap Jenderal
Terauchi di Vietnam.
Nilai Kebangsaan yang dapat diambil dari Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 berada pada rumusan Pembukaan, yang
merupakan jiwa dari keseluruhan kaidah hukum yang menata kehidupan bangsa
dan negara RI. Di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ini terkandung nilai-nilai:
a. Tinjauan historis
Memudarnya nasionalisme, kecintaan pada bangsa dan tanah air
merupakan produk dari faktor politik, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu
tahapan sejarah. Nasionalisme adalah "suatu kondisi pikiran, perasaan atau
keyakinan sekelompok manusia pada suatu wilayah geografis tertentu, yang
berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki kebudayaan yang mencerminkan
aspirasi bangsanya, terlekat pada adat dan tradisi bersama, memuja pahlawan
mereka sendiri dan mempunyai toleransi terhadap keberagaman dalam suku, ras,
agama dan adat". Nasionalisme adalah produk langsung dari konsep bangsa
dengan merujuk pada perasaan cinta, merasa bangga, mempunyai perasaan
yang menyatu diantara sesama warga bangsa dan di dalamnya terdapat
semangat kebersamaan dalam mencapai tujuan serta memenuhi kebutuhan
hidupnya, semangat untuk saling membela bila terjadi ancaman dari pihak
manapun dan semangat untuk saling berkorban guna memelihara kebersamaan,
keutuhan dan eksitensi bangsa serta negaranya.
Konsep satu nusa ini kemudian dikembangkan saat para pendiri negara
bermusyawarah dalam Sidang-sidang BPUPKI untuk membicarakan mengenai
bentuk negara Indonesia yang sedang dipersiapkan. Kala itu, para anggota
BPUPKI menyampaikan buah pemikirannya, ada yang berkeinginan untuk
membentuk negara yang berdasarkan sistem kerajaan dengan sistem federal, ada
yang berkeinginan berbentuk republik dengan sistem unitaris, ada yang
berkeinginan berbentuk republik dengan sistem federal. Namun pada akhirnya
berdasarkan musyawarah mufakat disetujuilah bentuk negara yang akan
dibangun adalah republik dengan sistem unitaris integralistik. Dari sinilah konsep
negara kesatuan dimulai. Konsep negara kesatuan (yang oleh Mr. Soepomo
disebut dengan integralistik) yang tertuang dalam rancangan Undang Undang
Dasar hasil BPUPKI, selanjutnya disahkan menjadi bentuk negara yang
disepakati secara nasional oleh PPKI.
Konsep bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam
UUD 1945, dalam perjalanan sejarahnya pernah hapus dari sistem pemerintahan
negara Indonesia, yaitu saat dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat
sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, yang kemudian
dikukuhkan dalam UUD RIS. Namun demikian konsep negara federal ini tidak
bertahan lama, karena secara terus menerus berbagai negara bagian (dimulai
oleh Negara Bagian Jawa Timur dan dilanjutkan oleh Negara Pasundan) mulai
menyerahkan kewenangan pemerintahannya kepada pemerintah pusat. Puncak
dari penyerahan kewenangan negara bagian dari RIS adalah disetujuinya mosi
integral Parlemen RIS yang berisi desakan, agar Indonesia segera kembali
dalam bentuk Negara Kesatuan yang dipelopori oleh M. Natsir pada tanggal 13
April 1950. Untuk mewujudkan penyerahan kewenangan dipergunakan ketentuan
pasal 190 UUD RIS, dan selanjutnya ditandatangani Piagam Persetujuan antara
RIS dan RI untuk kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Piagam
ini ditandatangani oleh Moh. Hatta sebagai wakil RIS dan Perdana Menteri Abdul
Buku Induk Tentang Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia
Halama
n | 43
Halim sebagai wakil RI. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tetap
menjadi konsensus nasional dan tidak akan dilakukan perubahan, yang juga
ditegaskan dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen pasal 25A.
Bahwa negara yang akan dibentuk adalah sebuah negara yang berbentuk
republik. Maknanya adalah bahwa negara Indonesia yang akan dijadikan wadah
bagi segenap kehidupan bangsa nanti, haruslah merupakan satu kesatuan yang
utuh, tidak terpisah-pisah secara politik dan Hankam, walaupun pada
kenyataannya secara geografik-kultural bumi Indonesia adalah sebuah kepulauan
dengan penduduk yang multikultural.
Gambaran secara umum yang dapat diambil dari nilai-nilai kebangsaan yang
terkandung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sebagai berikut:
1) Nilai Kesatuan Wilayah, merupakan konsekuensi dari negara
kepulauan, perairan, merupakan pemersatu pulau-pulau; bukan pemisah;
2) Nilai Persatuan Bangsa, merupakan konsekuensi dari bangsa yang
bersifat plural, banyak suku, agama dan budaya;
3) Nilai Kemandirian, membangun bangsa dilaksanakan oleh kekuatan
sendiri, bantuan dari luar sifatnya memperkuat untuk mengatasi kekurangan
secara nasional.
a. Tinjauan Historis
Bangsa Indonesia lahir dari sebuah perjalanan panjang dan unik. Bangsa ini
terhimpun dari berbagai ras (ras mongoloid dan ras melanesoid), berbagai suku
bangsa (Aceh, Batak, Melayu, Sunda, Jawa, Dayak, Bali, Ambon, Sulawesi,
Papua), berbagai budaya lokal, adat istiadat, agama yang beragam (Islam,
Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, Kahayan dan aliran kepercayaan), yang
semuanya secara alamiah mengandung perbedaan. Namun dalam realita
perjalanan sejarah pembentukan bangsa Indonesia, berbagai perbedaan yang
ada tidak menyurutkan dan menjadi penghalang untuk bersatu. Pada masa
pergerakan nasional, sejak lahirnya kesadaran berbangsa, kebangsaan dipahami
tidak sebagai himpunan suku-suku atau kelompok etnis, melainkan sebagai suatu
transendensi atas suku-suku. Perbedaan ciri-ciri lahiriah, adat istiadat, bahasa
lokal, bahkan agama/kepercayaan yang telah mengakar, justru menjadi faktor
pendorong bersama untuk mewujudkan sebuah masyarakat baru dengan tatanan
Semboyan atau sesanti Bhinneka Tunggal Ika (apabila ditulis dengan kalimat
selengkapnya adalah: Budha Syiwa Maha Syiwa Bhinneka Tunggal Ika Tanhana
Dharmma Mangrva), diangkat dan disadur dari Kitab Sutasoma yang dikarang
oleh Mpu Tantular, Pujangga Istana pada zaman Hayam Wuruk (1350-1389),
kemudian oleh M. Yamin (1903-1962) dijadikan sebagai semboyan bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ajaran yang termuat dalam sesanti Bhinneka
Tunggal Ika, menurut kitab tersebut secara garis besar berisi wejangan
bagaimana mengatasi segala bentuk perbedaan suku dan agama (antara
Siwa/Hindu dan Budha waktu itu) yang sangat rentan terhadap terjadinya konflik
di antara dua golongan tersebut, sehingga akan melemahkan kekuatan negara.
Ajaran tersebut diaplikasikan oleh Raja Hayam Wuruk dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang adil dan bijaksana, yang dapat menjaga hubungan antar
warga secara harmonis dan saling menjaga/menguatkan (Ensiklopedia umum
untuk pelajar, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005).
Dari kenyataan ini tidak dapat dipungkiri bahwa secara kultural, Indonesia
dibangun atas dasar kultur nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen dan juga barat
modern. Keberagaman atau kemajemukan merupakan modal dasar untuk
membangun bangsa yang besar dan kuat, jika perbedaan tersebut disatukan
berdasarkan asas komplementari atau saling melengkapi satu sama lain secara
harmonis.
Apabila ditelaah secara lebih dalam, maka dapat ditemukan ada 3 (tiga) nilai
yang terkandung, yakni :
1) Nilai Toleransi, merupakan satu sikap yang mau memahami orang lain,
sehingga komunikasi dapat berlangsung secara baik;
2) Nilai Keadilan, merupakan satu sikap mau menerima haknya dan tidak
mau mengganggu hak orang lain;
2) Kebebasan (fairness)
3) Non-diskriminasi, solidaritas, dan toleransi (non-discrimination,
solidarity and tolerancy)
4) Pengorbanan/kepedulian (empathy)
BAB IV
Nilai-nilai kebangsaan yang menjadi pedoman dan panduan dalam rangka nation
character building dan national system building, merupakan kristalisasi dari nilai-nilai
yang terkandung dalam ideologi negara yaitu Pancasila, konstitusi negara yaitu
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konsepsi bentuk
kewilayahan negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semboyan bangsa
dan negara yang tertuang dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Kristalisasi nilai ini
bukan bermakna sebagai perasan dari semua nilai melainkan lebih bermakna sebagai
peramuan dari semua unsur nilai menjadi nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai yang
terkandung dalam konsensus dasar bangsa.
5) Bahwa ada kesadaran untuk taat, tunduk dan patuh terhadap peraturan
perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat
dan pelaksanaan pemerintahan negara tanpa kecuali, baik untuk semua
warga negara maupun para pemegang kekuasaan, atau dengan kata lain
adanya supremasi hukum;
6) Bahwa adanya jaminan terwujudnya keadilan dalam penegakan hukum;
1) Bahwa semua warga negara mempunyai kewajiban untuk ikut bela negara
sesuai dengan bidang tugas dan profesinya demi kejayaan negara dan
bangsa Indonesia;
2) Bahwa semua warga negara mempunyai kesadaran untuk rela berkorban
dan melakukan apa saja demi bangsa dan negaranya;
3) Bahwa semua warga negara akan mengutamakan kepentingan bangsa dan
negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongan;
4) Bahwa setiap warga negara tidak akan melakukan tindakan yang merugikan,
merusak dan menghancurkan bangsa dan negaranya serta tidak akan
melakukan tindakan untuk kepentingan bangsa atau negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber-sumber lain :
Amanat P.J.M. Presiden Soekarno pada pelantikan pimpinan Lembaga Pertahanan
Nasional di Istana Merdeka, tanggal 10 Mei 1965.
Amanat Presiden Soekarno pada Peresmian Lembaga Pertahanan Nasional di Istana
Negara Djakarta, tanggal 20 Mei 1965.
Amanat P.J.M. Presiden Soekarno dihadapan para lulusan angkatan pertama Lembaga
Pertahanan Nasional di Istana Bogor, tanggal 11 Desember 1965.
Kuliah P.J.M. Presiden Soekarno pada Lembaga Pertahanan Nasional di Istana Merdeka
Djakarta, tanggal 31 Mei 1965.
BUKU INDUK
TENTANG
2013
Buku Induk Tentang Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia
Halama
n | 64
SEPTEMBER 2013