Anda di halaman 1dari 10

Gagal ginjal Akut

A. Definisi
Gagal ginjal akut (Acute Renal Failure/ARF) merupakan penurunan filtrasi glomerulus
(Glomerular Filtration Rate/GFR) yang terjadi selama beberapa jam hingga beberapa minggu,
disertai dengan terjadinya akumulasi produk buangan, termasuk urea dan kreatinin
(Dipiro,2008). Kriteria primer untuk mendiagnosa ARF menggunakan kombinasi nilai
kreatinin serum (Scr) dengan perubahan pada Scr atau pengeluaran urin (Urine Output/UOP)
(Dipiro,2008). Klasifikasi ARF berdasarkan keparahan dari ginjal:
1. Risk: kehilangan fungsi
2. Injury: kerusakan
3. Failure : kegagalan fungsi ginjal
4. Loss: kehilangan fungsi
5. End Stage Renal Disease/ESRD: gagal ginjal stadium akhir

B. Epidemiologi
Inseden kejadian gagal ginjal akut sekitar 200 kasus per 1 juta populasi ser tahunnya.
Gagal ginjal akut meningkat dari 2% hingga 25% pada pasien pada unit perawatan intensif.
Pada pasien di luar rumah sakit, gagal ginjal akut sering disebabkan oleh obat-obatan
NSAIDs tanpa peresepan. Obat ini mengakibatnyan sekitar 500.000 hingga 2.500.000 kasus
nefrotoksisitas di Amerika Serikat per tahunnya (Dipiro, 2005).

C. Etiologi
Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar terdiri dari 3 bagian yaitu
1. Kegagalan prarenal ( gagal ginjal sirkulatorik )
Merupakan penyebab tersering GGA. Kegagalan prarenal terjadi akibat
keadaan yang tidak berkaitan dengan ginjal, tetapi yang merusak ginjal dengan
mempengaruhi aliran darah ginjal. Penyebabnya adalah segala sesuatu yang
menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang parah yang menimbulkan syok,
misalnya infark miokardium, reaksi anafilaktik, kehialngan darah atau deplesi volume
yang berat, luka bakar atau sepsis. Tindakan bedah yang menyebabkan penurunan
aliran darah ginjal yang lama juga dapat menyebabkan kegagalan prarenal.
2. Kegagalan intrarenal
Jenis GGA yang terjadi akibat kerusakan primer jaringan ginjal itu sendiri.
Penyebabnya antara lain gangguan pada glomerulonefritis, pielonefritis, dan
mioglobulinuria. Pada kegaglan intrarenal, kerusakan sel-sel ginjal biasanya terjadi
akibat nekrosisi tubulus iskemik. Hal ini cenderung mengaburkan perbedaan antara
kegagalan prarenal dan intrarenal karena penyebab utama nekrosis tubulus iskemik
adalah penurunan aliran darah ginjal. Nekrosis tubulus juga dapat terjadi akibat efek
langsung obat-obat nefrotoksik, misalnya logam berat dan pelarut organik. Misalnya
antibiotic aminoglikosida, misalnya gentamisin. Kodein dan kafein dapat pula
menimbulkan nekrosisi tubulus akut.
3. Kegagalan pascarenal ( obstruksi uropati akut )
Jenis GGA yang terjadi akibat kondisi yang mempengaruhi aliran urin keluar
ginjal, dan mencakup cedera atau penyakit ureter, kandung kemih atau uretra.
Penyebabnya adalah obstruksi; yang dapat terjadi sebagai respon terhadap banyak
faktor, termasuk batu yang tidak diobati, tumor, infeksi berulang, hyperplasia prostat,
atau kandung kemih neurogenik (Subekti, 2009).

D. Patofisiologi
Ginjal adalah organ ekskresi yang berperan penting dalam mempertahankan
keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan tubuh/ekstraselular. Unit kerja
fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerolus relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut
autoregulasi. Mekanisme yang berperan dalam autoregulasi adalah reseptor regangan
miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen dan timbal balik tubule glomerular. Selain
itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi autoregulasi
(Steffany, 2000).
Penyebab gagal ginjal akut dapat dikategorikan berdasarkan tempat kerusakan ginjal
atau malfungsi yaitu :
Pra renal (terjadi akibat perfusi renal)
Intrinsik (terjadi akibat kerusakan structural dari ginjal)
Pasca renal (terjadi akibat obstruksi aliran urin dari tubulus ginjal ke uretra)
Fungsional (terjadi akibat perubahan hemodinamik pada glomerulus tanpa penurunan
perfusi atau kerusakan structural) (Dipiro, 2008).
E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis sulit dikenali dan tergantung pada kondisi pasien. Pasien rawat jalan,
biasanya tidak mengalami kondisi akut. Pasien rawat inap, mengalami ARF setelah kejadian
katastrofik. Gejala yang timbul tergantung kepada beratnya kegagalan ginjal, progresivitas
penyakit dan penyebabnya. Gejala pada pasien rawat jalan : perubahan pada kebiasaan
urinasi, berat badan, atau nyeri di sisi tubuh. Gejala lain : edema, urin berwarna atau berbusa,
penurunan volume urin, dan terjadi hipotensi orostatik (Dipiro, 2008). Dapat terjadi oliguria,
terutama apabila kegagalan disebabkan oleh iskemia atau obstruksi. Oliguria terjadi karena
penurunan GFR. Nekrosis tubulus toksik dapat berupa non-oliguria dan terkait dengan
dihasilkannya volume urin encer yang adekuat (Subekti, 2009).
F. Diagnosis
Riwayat medis
Riwayat penggunaan obat
Pemeriksaan fisik : Jika produksi air kemih berkurang, maka patut dicurigai sebagai
gagal ginjal akut. Banyak pasien mengalami pembengkakan di seluruh tubuh
disebabkan oleh retensi urin.
Penilaian pada hasil laboratorium:
1. BUN (Blood Urea Nitrogen): Nitrogen urea terbentuk ketika protein rusak. Tes
dilakukan dengan mengukur nitrogen urea dalam darah. Uji BUN dilakukan untuk
menguji fungsi ginjal. Nilai BUN orang normal berkisar 7-20 mg/dL. Gagal ginjal
akut ditandai dengan peningkatan kadar BUN.
2. Creatinine clearance : Mengukur kreatinin dalam darah dalam kurun waktu untuk
mengukur fungsi ginjal (GFR) dalam ekskresi kreatinin. Penurunan nilai kreatinin
klearan mengindikasikan gagal ginjal akut.
Nilai normal : Pria : 97-137 ml/min, Wanita : 88-128 ml/min
3. Creatinine urine : Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatinin
otot dan kreatinin fosfat (protein), disintese dalam hati, ditemukan dalam otot
rangka dan darah, dan diekskresikan dalam urine. Tes ini dapat digunakan sebagai
tes skrining untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Tes digunakan untuk memberikan
informasi mengenai bahan kimia lain dalam urin seperti albumin atau
protein. Nilai kreatinin dalam urin (sampel 24-jam) berkisar 500-2000 mg / hari,
tergantung pada usia Anda dan jumlah massa tubuh.
4. Serum creatinine ( Blood Creatinine ): Pemeriksaan kreatinin serum berguna
untuk mengevaluasi fungsi glomerolus. Peningkatan kreatinin dalam darah
menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Perbandingan normal antara BUN
dan kreatinin adalah 12 : 1 20 : 1. Nilai rasio yang lebih tinggi menjadi petunjuk
adanya gangguan prerenal. Nilai normal dalam darah (Yaffe dan Joyce L. F. Kee,
1997): Pria : 0,6-1,3 mg/dl, atau 45-132,5 umol/L,
Wanita : 0,5-0,9 mg/dl
Anak : 0,4-1,2 mg/dl (27-54 umol/L)
Bayi : 0,7-1,7 mg/dl
Bayi baru lahir : 0,8-1,4 mg/dl
5. Serum potassium (test hiperkalemia): Tes ini mengukur jumlah kalium dalam
darah. Kalium (K +) membantu saraf dan otot berkomunikasi. Hal ini juga
membantu nutrisi pindah ke sel dan produk-produk limbah keluar dari sel. kadar
Kalium dalam tubuh terutama dikendalikan oleh hormon aldosteron. Kadar
Kalium normal berkisar 3,7-5,2 mEq / L (miliekuivalen per liter). Hiperkalemia
dapat terjadi apabila ada gangguan ginjal, oliguri, anuria.
6. Urinalysis: warna urin normal bervariasi dari hampir tidak berwarna hingga
kuning tua. Biasanya glukosa, keton protein, dan bilirubin tidak terdeteksi dalam
urin., yang ditemukan dalam urin: hemoglobin, nitrit, sel darah putih.
Kisaran nilai normal mungkin sedikit berbeda antara laboratorium yang berbeda
Studi pensitraan (imaging studies)
Monitoring pada perubahan UOP
G. Faktor risiko
Faktor resiko ARF diantaranya peningkatan usia, infeksi akut, gangguan pernafasan
atau kardiofaskular kronik yang sudah ada sebelumnnya, dehidrasi dan gagal ginjal kronik.
Penurunan perfusi ginjal yang menyertai operasi bypass abdominal atau koroner, kehilangan
darah akut akibat trauma, dan nefropati asam urat juga dapat meningkatkan resiko (Dipiro,
2008).

H. Terapi
Tujuan Terapi : mencegah ARF. Apabila terjadi ARF, tujuan terapi adalah utnuk
menghindari dan meminimalisasi kerusakan ginjal lebih lanjut yang dapat menghambat
pemulihan dan untuk menyediakan fungsi penujang sampai fungsi ginjal kembali normal.
Strategi terapi :meningkatkan output urine & RBF, menjaga keseimbangan cairan &
elektrolit, menghilangkan sampah metabolit, meminimalkan nephrotoxic injury lebih lanjut.
Pada terapi GGA, terdapat terapi konservatif, yaitu preventif, suportif dan substitusi yang
berguna untuk mencegah komplikasi GGA, dan jika terapi konservatif ini gagal maka akan
diberlakukan managemen terapi GGA dengan terapi ginjal pengganti atau dialisa (Dipiro,
2008).
1. Terapi Konservatif
a. Terapi Preventif (Fase Oliguri Awal)
Tujuan :
mencegah terjadi faktor resiko yang ada baik akibat tindakan di dalam rumah
sakit maupun yang sudah ada sebelumnnya.
Memperingan keadaan GGA dan mengusahakan agar perfusi renal seoptimal
mungkin sehingga oliguri diubah menjadi non-oliguri.
Diusahakan pasien memenuhi asupan cairan tiap harinya untuk memenuhi volume
efektif tubuh kurang lebih 2 L/hari untuk mencegah dehidrasi. Cara mengatasi
kehilangan volume cairan tubuh :
1. a. Pendarahan diberi transfuse
b. Plasma expander bila ada luka peritonitis, trauma
c. Air dan elektrolit yang sesuai :
Muntah muntah diberi NaCl 0,45% ditambah kalium (10-20m/mol)
Kehilangan cairan/gangguan pankrealitis, diberi NaCl 0,9% dtambah HCO3
Diare diberi D5% ditambah HCO3 + Kalium
2. Bila volume efektif tubuh sudah teratasi/rehidrasi masih tetap oliguri bisa diberi
dieresis osmotik berupa :
Manitol 12,5 gr i.v tiap 5 menit, dapat diulang 30 menit kemudian bila produksi
urin <20 cc/jam. Apabila diuresi >20 cc/jam manitol dapat diteruskan 100 g dalam
D5% liter/24 jam.
Furosemid 40 80 mg i.v. Penggunaan furosemid secara dini pada saat belum
terjadi kelainan organ sangat membantu mencegah terjadinya nekrosis tubular
akut (NTA). Bila 1 2 jam sesudah pemberian dieresis tidak timbul dilakukan
diuresis paksa dengan dosis 250 500 mg drip dalam 150 cc D5%/jam.
3. Bila tetap oliguri dapat diberikan obat vasoaktif untuk memperbaiki perfusi ginjal
yakni dopamine, natriuretik peptide dari atrium. Pemberian dopamine dosis rendah 2
5 mg/kg/menit dalam 12 jam.
4. Untuk mempertahankan integritas sel diberi bahan bahan sitoprotektif yang akhir
akhir ini dicoba pada tahap dini (oliguri) yakni obat penghambat kanal kalsium
(nifedipine) , prostaglandin, maupun anti radikal bebas (n-asetylcystein).
5. Bila semua tindakan tindakan pengobatan 1, 2, 3, 4 gagal diperlukan terapi aktif/
dialisa agar tidak masuk tahap oliguri menetap (Hadi, 1996).

2. Terapi Suportif (Fase Oliguri Menetap)


Fase ini merupakan fase gawat darurat pada GGA/NTA. Komplikasi dapat terjadi dan
berakibat mematikan pada fase ini sehingga harus diobati dengan baik, seperti
hiperkalemi, infeksi/sepsis, kelainan neurologi (koma), kardiovaskuler, gastrointestinal
(hematemesis-melena), respirasi, asidosis metabolik. Tujuan terapi adalah menjaga agar
pasien tetap dapat bertahan hidup sehingga ada kesempatan ginjal lebih baik. Terapi
secara suportif homeostatis mengatasi gangguan keseimbangan, antara lain:
Pendekatan non-farmakologis :
- Perawatan suportif yang bertujuan untuk memelihara curah jantung/output jantung
dan tekanan darah dalam mengoptimalkan perfusi jaringan selama
restorasi/pemulihan fungsi ginjal.
- Tidak menggunakan/menghentikan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
penurunan aliran darah ginjal
- Dialisis atau terapi pengganti ginjal : dialisis dilakukan dengan indikasi ureum
darah >200mg%, hiperkalemia >7,5 mEq/L, bikarbonat serum <12 mEq/l, adanya
gejala overhidrasi (edema paru paru, dekompensasi jantung, dan hipertensi yang
tidak dapat diatasi dengan obat obatan), uremia dengan penurunan kesadaran.
Pengobatan pengganti ginjal secara kontinyu dengan CAVH (continous
arterivenous hemofiltrstion) yang tidak memerlukan mesin pompa sederhana.
CAVH dan CVVH (continuous venovenous hemofiltration) berdasarkan prinsip
pengeluaran cairan bersama solutnya melalui membrane semipermeable oleh
hemofilter oleh karena perbedaan tekanan (convective clearance).
- Pengaturan elektrolit (electrolit management) :
Hiperkalemia: 5,5-7,0 mEq/L diatasi dengan kation exchange resin.Bila kadar
kalium <7,0 atau ada kelainan EKG atau aritmia jantung diberikan kalsium
glukonat 10% 0,5 ml/kgBB intravena dan natrium bikarbonat 7,5%
2,5mEq/kgBB intravena masing masing dalam 10 15 menit. Bila
hiperkalemia masih ada, berikan glukosa 0,5 g/kgBB/invus selama 30 menit
ditambah insulin 0,1 U/kgBB atau 0,2 U/g glukosa. Kalsium glukonat adalah
terapi pilihan jika ada abnormalitan EKG (Renal Clinicians Group, 2005).
Hiponatremia: <120mmol/L atau disertai gejala celebral dikoreksi dengan
NaCl hipertonik 3% dalam 1 4 jam sampai Na serum 125mEq/L dengan
rumus Na (mmol) = (jumlah mol Na yang diinginkan (mmol/L)- jumlah mol
Na pada saat itu (mmol/L)) x 0,6 x BB (kg) (Renal Clinicians Group, 2005).
Sehingga memerlukan pembatasan asupan natrium yang tidak melebihi 3
gram. Semua sumber natrium termasuk antibiotik, perlu dipertimbangkan
dalam perhitungan asupan natrium harian.
Hipernatremia: biasanya karena cairan ekstrarenal pada pasien atau
ketidakmampuan ginjal untuk menyimpan natrium, kelebihan Na bicarbonate,
resusitasi volume, Hipernatremia menunjukkan defisit cairan tubuh total.
Adanya defisit cairan tubuh dapat dihitung dengan BB x 0,65 x (( jumlah mol
Na pada saat itu 140)/140). Deficit cairan diganti dengan 0,45% salin selama
36 72 jam (Renal Clinicians Group, 2005).
Hiperfosfatemia: terjadi restruksi fosfat, fosfat mengikat kalsium karbonat jam
(Renal Clinicians Group, 2005).
Hipofosfatemia: terjadi pada status poliuri, larutkan solution NaPO4 (atau
KPO4) 1 dalam 10 water of injection dan berikan pada 0,12-0,25 ml/jam jam
(Renal Clinicians Group, 2005).
Hipokalsemia: disebabkan karena kegagalan absorbi di gastrointestinal, proses
asidosis rhabdomyolisis. Jika emergency diberikan 0,5mL/kg/jam 10% Ca
glukonat, non emergency diberikan 120ml/m2 10% Ca glukonat per hari. Jika
resisten terhadap Ca glukonat, periksa magnesium (Renal Clinicians Group,
2005).
Hipermagnesia: sering merupakan gejala paralisis otot, depresi pernafasan,
hipotensi bahkan koma. Hati-hati pemberian antasida atau laksan yang
mengandung magnesium. Terapi dengan preparat kalsium; insulin + dekstrosa
5%.
Gangguan keseimbangan Asam-Basa
Terapi gangguan keseimbangan asam basa dibagi menjadi dua antara lain :
1. Terapi asidosis respiratorik
Diberikan cairan yang mengandung bikarbonat dengan pH < 7, 10
segera diberikan bikarbonat 2-4mEq/kgBB
Bila mungkin lakukan pemeriksaan analisis gas darah dengan memakai
rumus berikut :
Bikarbonat yang diperlukan (mEq) = BE x 0,3 BB
Keadaan terkompensasi (pH normal) berikan setengah cairan secara
cepat dan sisanya dengan infuse. Keadaan tak terkompensasi (pH <
7,140) berikan koreksi penuh secara cepat.
Bila terdapat gangguan fungsi ginjal pemberian natrium bikarbonat
harus berhati hati, karena natrium dapat meningkatkan volume cairan
ekstraseluler.
2. Terapi alkalosis respiratorik
Pengobatan alkalosis metabolic atau respiratorik adalah dengan pemberian
ammonium klorida dengan dosis menurut rumus :
Ammonium klorida yang diperlukan (mEq) = (kons. Na bikarbonat yang
diinginkan kons. Na bikarbonat yang diukur) x BB (kg) x faktor distribusi
dalam tubuh (untuk ammonium klorida adalah 0,2-0,3).
Nutrisi
Pada GGA kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan keadaan proses
kataboliknya. GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat
komplek, tidak hanya mengatur air, asam basa, elektrolit, tetapi asam amino
atau protein, karbohidrat dan lemak.
Pengaturan karbohidrat : untuk mencegah pemecahan jaringan endogen dan
starvation ketoasidosis harus diberikan cukup kalori, yaitu 35 50 kal/kgBB.
Pengaturan protein : keperluannya ditentukan oleh hiperkatabolisme penderita,
sebaiknya diberikan protein hewani sebanyak 0,5g/kgBB/hari bila
hiperkatabolisme ringan; bila berat protein dapat ditolerir diberikan 1-
1,5g/kgBB/hari. Protein yang diberikan kombinasi asam amino essensial dan
non essensial. Lemak dapat diberikan dalam bentuk non essensial dengan
jumlah lebih kecil (maksimal 1/3 jumlah kalori).
Pendekatan Farmakologi
Bila ada overdehidrasi, dapat diberikan furosemid 40-80 mg/i.v. Bila tetap gagal dapat
dilakukan dialisa. Terapi penggantian ginjal (Renal Replacement Therapy/RRT), seperti
hemodialisis dan dialysis perotonial berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit saat dilakukan eksresi produk buangan untuk indikasi bagi RRT pada penderita
ARF. AEIOU Sebagai dasar Indikasi Untuk Terapi Penggantian ginjal.
Alogaritma terapi GGA oliguri (Dipiro,2005)

Kombinasi terapi diuretis adalah salah satu solusi jika mengalami resistensi diuretik,
misal diberikan kombinasi terapi loop diuretic dengan sediaan diuretic yang mempunyai
kelas farmakologi ang berbeda akan lebih efektif pada pasien GGA. Kombinasi dengan
sediaan diuretic yang bekerja pada masing masing tubulus, seperti thiazide diuretik untuk
tubulus distal atau amiloride untuk tubulus kolektivus dapat bekerja sinergis dengan loop
diuretic dengan membloking peningkatan compensary penyerapan natrium dan klorida
(Dipiro, 2005).
Diuretik loop
Tidak menunjukkan peningkatan pemulihan pada pasien ARF. Namun Diuretik dapat
memfasilitasi pengaturan kelebihan cairan. Diuretic yang paling efektif adalah manitol dan
diuretic loop (furosemid).
a. Manitol 20% diberikan pada dosis 12.5-25 g secara iv selama 3-5 menit. Kerugian :
harus diberikan secara iv, risiko hiperosmolaritas, dan kebutuhan yang tinggi akan
pengawasan karena manitol dapat berkontribusi pada terjadinya ARF.
b. Diuretic loop (furosemid, bumetanid, torsemid, asam etakrinat) memiliki efikasi yang
mirip. Asam etakrinat digunakan khusus untuk pasien dengan alergi obat golongan
sulfa. Pemberian diuretic secara kontinu melalui infuse terlihat lebih efektif dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan pemberian bolus secara
intermiten.
c. Dosis permulaan (loading dose) iv (setara dengan 40/80 mg furosemid) sebaikanya
diberikan sebelum memulai pemberian infus kontinu (setara dengan pemberian
furosemid 10-20 mg/jam).
d. Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
umum pada pasien ARF yakni resistansi diuretic. Gologan obat diuretic bekerja pada
tubulus distal (tiazida) atau pada duktus pengumpul (amilorida, triamteren,
spinorolakton) yang dapat bekerja sinergis apabila digunakan bersamaan dengan
diuretic loop. Etolazon umum digunakan karena berbeda dengan tiazida lain.
Metolazone dapat memberikan hasil dieresis yang positif pada pasien dengan GFR
kurang dari 20 ml/menit (Dipiro, 2008).

Penyebab Umum Resistensi Diuretik Pada Pasien Gagal Ginjal Akut

3. Terapi Substitusi (Fase dieresis dan Penyembuhan)


Pada Fase ini yang perlu diperhatikan adanya poluri (sampai 4000-5000 cc/hari) yang
mungkin berakibat dehidrasi, asidosis, bahkan hipokalemi. Terapi dengan substitusi cairan,
garam, bikarbonat, kalium, dicoba per oral bila tidak mungkin bisa parenteral 3 5 hari. Fase
poliuri ini berhenti dan pelan pelan normal bila BUN menurun sampai <45 mg%.

DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy : A Phatophysiologic Approach, Ed 6th, Mc. Graw-Hill, New York.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G C., Matzke, G . R., Wells, B. G., and Posey. L M., 2008,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th Edition, Mc Graw Hill
Companies, Inc., New York
Subekti, N.B., 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta, pp.725-729.

Anda mungkin juga menyukai