Anda di halaman 1dari 63

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan usia harapan hidup merupakan salah satu indikator

keberhasilan pembangunan. Dengan meningkatnya usia harapan hidup,

menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan

dari tahun ke tahun. Data statistik dari Departemen Kesehatan menunjukkan

pada tahun 2011 jumlah penduduk menjadi 241 juta jiwa lebih dengan 118

juta jiwa di antaranya adalah perempuan, termasuk 14,3 juta orang perempuan

berusia 50 tahun ke atas, dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah perempuan

menopause terus bertambah jumlahnya menjadi 30,3 juta jiwa (Badan Pusat

Statistik, 2013; BKKBN, 2007).

Seiring dengan peningkatan usia, banyak terjadi proses perkembangan

dan pertumbuhan pada manusia. Namun suatu saat perkembangan dan

pertumbuhan manusia tersebut akan berhenti pada satu tahapan sehingga

selanjutnya akan terjadi banyak perubahan pada fungsi tubuh manusia. Pada

proses menua akan terjadi perubahan fisik dan psikologis. Salah satu

perubahan yang terjadi pada perempuan adalah perubahan fungsi seksualitas,

yaitu terjadinya menopause (Trisetiyaningsih, 2014).

1
2

Menopause dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid, dan

sering dianggap menjadi momok dalam kehidupan wanita. Rata-rata

umumnya seorang wanita akan mengalami menopause sekitar usia 45-50

tahun. Berdasarkan survey Perkumpulan Menopause Indonesia tahun 2005,

usia menopause rata-rata wanita Indonesia adalah 490,2 tahun. Akibat

perubahan dari haid menjadi tidak haid lagi, otomatis terjadi perubahan organ

reproduksi wanita. Perubahan fungsi indung telur akan memengaruhi hormon

yang kemudian memberikan pengaruh pada organ tubuh wanita pada

umumnya. Tidak heran apabila kemudian muncul berbagai keluhan fisik, baik

yang berhubungan dengan organ reproduksinya maupun organ tubuh pada

umumnya. Tidak hanya itu, perubahan ini seringkali memengaruhi keadaan

psikis seorang wanita. Beberapa faktor yang memengaruhi gejala menopause

antara lain gaya hidup, etnis, status menstruasi, status sosial ekonomi,

kejadian negatif di masa lalu, sumber personal dan kepribadian (Rostiana,

2009 ; Soewondo, 2007 ; Binfa et al., 2004).

Keluhan-keluhan yang paling sering timbul yaitu hot flushes dan

berkeringat, nyeri otot dan sendi, gangguan tidur, kecemasan, dan gangguan

mood yang secara signifikan dapat menurunkan kualitas hidup wanita

menopause. Kualitas hidup (Quality of Life) merupakan persepsi individu

secara keseluruhan mengenai kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan dan

lingkungan sekitar di mana dirinya hidup. Kualitas hidup diartikan juga

sebagai evaluasi dari kepuasan secara keseluruhan dari kehidupan seseorang.


3

Dilihat dari dimensi kesehatan fisik, kualitas hidup merupakan evaluasi

kepuasan terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan, kebugaran dan tenaga,

kualitas tidur, serta ketergantungan obat yang dialami oleh seorang individu.

Hal ini tentunya sesuai dengan konsep sehat WHO yang mendefinisikan

bahwa sehat merupakan keadaan sejahtera meliputi fisik, mental, sosial yang

tidak hanya bebas dari penyakit atau cacat secara fisik tetapi mampu merasa

sejahtera, bahagia dalam kehidupan sehingga mampu mengatasi tantangan

hidup sehari-hari (Verzosa, 2010; Mahan dan Stump, 2004).

Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan diwujudkan dalam 8

dimensi, yaitu dimensi fungsi fisik, peranan fisik, rasa nyeri, kesehatan umum,

fungsi sosial, energi, peranan emosi, dan kesehatan jiwa. Delapan dimensi

tersebut dapat dikumpulkan menjadi 2 komponen besar yaitu komponen fisik

dan komponen mental (RAND, 2009).

Untuk menjaga agar tubuh tetap sehat di usia yang tidak muda lagi ini,

orang-orang banyak datang ke pusat kebugaran yang salah satunya ke tempat

pelatihan yoga. Yoga merupakan salah satu latihan pernafasan. Salah satu

aspek pentingnya adalah meditasi yang menimbulkan beberapa perubahan

fisiologis berupa respon relaksasi. Sindhu (2006) mengungkapkan bahwa

berbagai gerakan yoga berefek positif bagi peredaran darah, memudahkan

penyerapan gizi, meningkatkan konsentrasi, keseimbangan jiwa, fokus,

ketenangan juga kepuasan. Hasil penelitian dari beberapa peneliti dalam jurnal

Medical Hypoteses dalam Kontesa (2013) menemukan adanya keterkaitan


4

atau pengaruh yoga terhadap penurunan stres. Menurut Streeter professor

Psikiatri dari Boston University School of Medicine dalam Kontesa (2013)

mengatakan bahwa gerakan yoga dapat memperbaiki ketidakseimbangan

hormon dan ketidakseimbangan sistem--sistem persarafan.

Penelitian mengenai pengaruh yoga terhadap gejala-gejala menopause

telah banyak ditemui, namun untuk pengukuran secara khusus terhadap

kualitas hidup terkait kesehatan masih jarang dilakukan dan ditemui. Dengan

latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada

menopause.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Adakah pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada

menopause?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh yoga terhadap

kualitas hidup terkait kesehatan pada menopause.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah serta

dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut


5

mengenai pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada

menopause.

2. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam

mempertimbangkan perlu tidaknya suatu latihan yoga yang melibatkan

olah tubuh dan napas terhadap kualitas hidup terkait kesehatan wanita

menopause.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Menopause

a. Definisi

Menopause menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah tidak

haid lagi atau mati haid, sedangkan kata menopause tersebut berasal dari

Bahasa Yunani yang terbagi dalam dua kata men yang berarti

menstruasi dan kata kedua pausis yang berarti berhenti (Martaadisoebrata

et al., 2005).

Menurut Guyton et al. (2008), menopause diartikan sebagai periode

ketika siklus menstruasi terhenti dan hormon-hormon kelamin wanita

menghilang dengan cepat sampai hampir tidak ada.

Menurut Baziad (2003) menopause dapat diketahui jika seorang

wanita dalam 12 bulan terakhir tidak mengalami menstruasi dan tidak

disebabkan oleh hal patologis. Menopause dapat juga terjadi setelah

pengangkatan ovarium atau tindakan medis lain (Kaplan et al., 2010).

Menopause merupakan salah satu tahap dari klimakterium.

Klimakterium adalah fase transisi di mana fungsi ovarium dan

6
7

produksi hormon menurun. Menurut Manuaba et al. (2009), ada 4 tahapan

dalam klimakterium yaitu :

1) Fase Premenopause

Fase di mana fungsi reproduksi seorang wanita mulai menurun,

sampai timbulnya keluhan atau tanda-tanda menopause. Pada fase ini

seorang wanita akan mengalami kekacauan pola menstruasi, terjadi

perubahan psikologis / kejiwaan dan terjadi perubahan fisik.

2) Fase Perimenopause

Masa perubahan antara premenopause dan pasca menopause

yang mengalami ketidakteraturan dalam siklus menstruasi dan

sebagian besar mengalami perubahan fisiologi.

3) Fase Menopause

Fase di mana menstruasi terhenti selama 12 bulan secara terus-

menerus tanpa adanya gangguan patologis. Perubahan keluhan

psikologis dan fisik makin menonjol.

4) Fase Pascamenopause

Pada fase ini wanita beradaptasi terhadap perubahan psikologis

dan fisik. Keluhan fisik dan psikologis semakin berkurang.


8

b. Tipe Menopause

Menurut etiologinya ada dua macam menopause yaitu :

1) Menopause fisiologis

Penyebab menopause adalah matinya (burning out) ovarium.

Sepanjang kehidupan seksual seorang wanita, kira-kira 400 folikel

primordial tumbuh menjadi folikel matang dan berovulasi, dan

beratus-ratus dari ribuan ovarium berdegenarasi. Pada usia sekitar 45

tahun, hanya tinggal beberapa folikel primordial yang akan

dirangsang oleh FSH dan LH, produksi estrogen dari ovarium

berkurang sewaktu jumlah folikel primordial mencapai nol (Guyton

dan Hall, 2008).

Penurunan kadar estrogen ini menyebabkan perubahan siklus

menstruasi atau gejala yang berhubungan dengan penurunan kadar

estrogen. Ada dua faktor utama yang berperan dalam hal ini. Pertama

bila folikel tidak matang, hanya sedikit estrogen yang dapat

diproduksi selama dua minggu pertama siklus. Karena tidak ada telur

yang matang di dalam folikel, folikel tidak dapat melepaskan telur

yang akan melekat pada korpus luteum. Bila ovulasi tidak terjadi,

juga tidak akan ada progesteron yang akan dikeluarkan oleh korpus

luteum pada paruh kedua siklus. Ini berarti estrogen akan terus

membentuk lapisan uterus tanpa diimbangi oleh efek dari

progesteron, dan ini akan mengakibatkan haid yang berat di luar yang
9

biasanya. Yang kedua, gagalnya ovarium mengeluarkan telur yang

matang akan menyebabkan kadar estrogen turun menjadi sangat

rendah sehingga lapisan uterus tidak terselimuti untuk menyiapkan

telur yang dibuahi sehingga menstruasi tidak akan terjadi

(Wirakusumah, 2003).

Ketika produksi estrogen turun di bawah nilai kritis, estrogen

tidak lagi dapat menghambat produksi gonadotropin FSH dan LH.

Sebaliknya, gonadotropin FSH dan LH (terutama FSH) diproduksi

sesudah menopause dalam jumlah besar dan kontinu, tetapi ketika

folikel primordial yang tersisa menjadi atretik, produksi estrogen

oleh ovarium turun secara nyata menjadi nol (Guyton, 2008).

2) Menopause artifisial atau buatan

Menopause buatan adalah menopause yang terjadi sebagai

akibat prosedur medis seperti pembedahan atau penyinaran.

Menopause yang terjadi akibat oophorektomi atau pengangkatan

ovarium kadang-kadang dilakukan karena penyakit ovarium, akan

tetapi lebih sering dilakukan pada histerektomi yang dilakukan karena

suatu sebab dan ovarium sekaligus diangkat sebagai tindakan

preventif (Jacoeb, 2005).

c. Fisiologi Menopause

Menurut Baziad (2003) klimakterik merupakan periode peralihan

dari fase reproduksi menuju usia tua (senilis) yang terjadi akibat
10

menurunnya fungsi generatif ataupun endokrinologik dari ovarium. Proses

menjadi tua pada dasarnya telah dimulai ketika seorang wanita

memasuki usia 40 tahun. Jumlah sel telur yang diproduksi oleh ovarium

akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.

Selama menopause, jumlah oosit mengalami penurunan secara

cepat yang akan mengarah ke penghentian ovulasi. Hanya beberapa folikel

primordial yang akan dirangsang oleh FSH dan LH. Perubahan signifikan

terjadi dalam kadar serum dan hormonal, terutama estrogen. Ketika

produksi estrogen menurun di bawah nilai kritis terjadi negative feedback

pada aksis HPO yang tidak adekuat sehingga estrogen tidak lagi dapat

menghambat produksi Gonadrotopin Releasing Hormone (GnRH), Folikel

Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Sebaliknya,

GnRH, FSH dan LH (terutama LH) diproduksi sesudah menopause dalam

jumlah besar dan kontinyu, tetapi ketika folikel primordial yang tersisa

menjadi atretik, produksi estrogen oleh ovarium turun secara nyata menjadi

nol (Guyton, 2008).

d. Faktor yang Memengaruhi Masa Menopause

Munculnya keluhan-keluhan pada masa menopause tersebut dipicu

oleh beberapa faktor, antara lain :

1) Faktor fisik

Kasdu (2004), mengatakan bahwa 29% wanita premenopause

dan menopause memperlihatkan kenaikan berat badan, 20% di


11

antaranya memperlihatkan kenaikan yang mencolok. Pada masa ini

kulit menjadi lebih kendur, sehingga mudah untuk menjadi tempat

penimbunan lemak. Kendurnya kulit juga berhubungan dengan

kadar estrogen karena hormon ini bertugas merangsang pembentukan

kolagen yang lentur.

2) Faktor psikis

Wanita pada masa menjelang menopause akan mengalami

perubahan emosi dalam bentuk, antara lain rasa tegang dan cemas,

rasa tertekan, mudah tersinggung, rasa bermusuhan, sedih tidak

menentu, dan pemarah. Kasdu (2004) menyatakan bahwa masalah

yang mungkin timbul pada masa menjelang menopause dapat

dihadapi dengan mudah jika membiasakan gaya hidup rileks dan

menghindari tekanan yang dapat membebani pikiran. Kestabilan

emosi akan diperoleh kembali setelah memperoleh informasi yang

baik tentang masa menopause dan keluhan- keluhan menjelang

menopause. Kestabilan emosi juga akan diperoleh seseorang yang

dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi pada masa

menopause. Dengan demikian, munculnya keluhankeluhan pada masa

menjelang menopause dapat diminimalisasi.

3) Faktor pengetahuan

Menurut Potter dan Perry (2005), tingkat pengetahuan seseorang

akan sangat berpengaruh dalam menerima informasi dan interaksi


12

dengan orang lain. Seseorang dengan tingkat pengetahuan rendah

akan sulit merespon informasi yang menggunakan bahasa verbal dari

orang yang berpengetahuan tinggi. Semakin banyak pengetahuan

(khususnya tentang sindrom menopause) yang dimiliki, maka akan

semakin mudah untuk terhindar dari gejala menopause terutama gejala

psikologis. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).

Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih berpengaruh dari

pada tanpa pengetahuan (Notoatmodjo, 2005).

Hal ini sesuai dengan pendapat Kasdu (2004) bahwa perubahan

psikis pada masa menjelang menopause sangat tergantung pada

pandangan masing-masing wanita terhadap menopause, termasuk

pengetahuannya tentang sindrom menopause. Pengetahuan yang cukup

akan membantu seorang wanita dalam memahami dan mempersiapkan

dirinya menjalani masa ini dengan lebih baik.

4) Jumlah Paritas

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara jumlah paritas dengan usia menopause seorang

wanita. Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah penelitian

menemukan bahwa pengaruh paritas terhadap usia menopause

dikendalikan oleh reseptor hormon AMH yang dikenal sebagai

AMHR2 482 A>G polymorphism. Seiring dengan perubahan


13

hormonal menjelang paritas, kadar progesteron yang sangat tinggi

terbukti meningkatkan ekspresi reseptor AMH tersebut di jaringan.

Terlebih lagi, tingginya kadar prolaktin juga mempotensiasi efek up

regulation reseptor AMHR2 tersebut (Kevenaar, 2007).

5) Indeks Massa Tubuh (IMT)

Hasil studi menunjukkan bahwa wanita dengan nilai Indeks

Massa Tubuh yang lebih rendah cenderung mengalami menopause

pada usia yang lebih cepat, di mana wanita dengan IMT yang rendah

berisiko 0,6 kali lebih cepat untuk mengalami menopause.

Diasumsikan bahwa jaringan adiposa yang lebih banyak pada wanita

obesitas memungkinkan proses aromatisasi androgen yang lebih besar

pula sehingga kadar estrogen dalam darah cenderung lebih tinggi.

Namun begitu, mekanisme mengenai hubungan IMT dengan usia

menopause belum dapat dijelaskan secara pasti dikarenakan hasil

penelitian yang mengidentifikasi hubungan ini sering berbeda satu

sama lain, karena di sisi lain, obesitas juga dapat memicu

inadekuasi fungsi ovarium (Gold et al., 2001; Cooper, 2001).

e. Gejala Menopause

Menurut Spencer dan Brown (2007) dan Greene (2002) gejala

menopause dibagi menjadi 4, yaitu gejala fisik, gangguan somatik,

gangguan seksual dan gangguan psikologis. Gejala-gejala tersebut akan

mencapai puncaknya pada saat menjelang dan setelah menopause kemudian


14

berangsur-angsur berkurang seiring dengan bertambahnya usia dan

tercapainya keseimbangan hormon pada masa senium. Oleh karena itu

diperlukan pendekatan secara individual dalam penilaiannya.

1) Gejala Fisik

a) Gejala vasomotor

Hot flushes adalah rasa panas yang luar biasa pada wajah dan

tubuh bagian atas (seperti leher dan dada). Kulit di daerah tersebut

terlihat kemerahan. Gejolak panas terjadi karena jaringan yang

sensitif atau yang tergantung pada estrogen akan terpengaruh

sewaktu kadar estrogen menurun. Pancaran panas diperkirakan akibat

dari pengaruh hormon pada hipotalamus yang bertanggung jawab

untuk mengukur temperatur tubuh. Gejala panas bisa terjadi beberapa

detik atau menit, tetapi ada juga yang berlangsung sampai satu jam

(Baziad, 2003).

Akibatnya, suhu udara yang semula dirasakan nyaman

mendadak menjadi terlalu panas dan tubuh mulai menjadi panas serta

mengeluarkan keringat untuk mendinginkan diri. Gejala ini sering

dirasakan pada malam hari, sehingga yang bersangkutan menjadi

sulit tidur. Pada kebanyakan wanita, hal ini berakhir 1-2 tahun, tetapi

pada 25% wanita berakhir lebih lama dari 5 tahun (Kasdu, 2004).
15

b) Gejala Traktus Urogenital

Secara embrional uretra dan vagina sama-sama berasal dari

sinus urogenital dan duktus Muller. Selain itu, di uretra dan vagina

banyak dijumpai reseptor estrogen, sehingga kedua organ tersebut

mudah mengalami gangguan begitu kadar estrogen serum mulai

berkurang. Gangguan gangguan tersebut dapat berupa

berkurangnya aliran darah, turgor dan jaringan kolagen.

Kekurangan estrogen juga dapat menyebabkan mitosis sel dan

pemasukan asam amino ke dalam sel berkurang (Kasdu, 2004).

c) Perubahan kulit

Turunnya kadar estrogen juga berpengaruh pada jaringan

kolagen yang berfungsi sebagai jaringan penunjang pada tubuh.

Hilangnya kolagen menyebabkan kulit menjadi kering dan

keriput, rambut terbelah-belah, rontok, gigi mudah goyang dan

gusi berdarah, sariawan, kuku rusak, serta timbulnya rasa sakit

dan ngilu pada persendiaan (Kasdu, 2004).

2) Gangguan somatik

Beberapa gejala somatik yang sering terjadi selama

menopause antara lain : sakit kepala, pusing, palpitasi serta payudara

yang membesar dan nyeri. Dari semua keluhan- keluhan di atas,

harus diyakinkan bahwa gejala-gejala tersebut umum terjadi dan


16

bersifat fisiologis (Greene, 2002).

3) Gangguan seksual

Gejala seksual ditandai dengan kekeringan vagina,

mengakibatkan rasa tidak nyaman selama berhubungan seksual dan

menurunnya libido (Spencer dan Brown, 2007).

4) Gangguan psikologi

Terdapat banyak gejala psikologi dan kognitif ketika

seorang wanita memasuki masa menopause. Selama masa ini,

penurunan hormon terutama penurunan estrogen dan progesteron

dapat mengubah level neurotransmiter di SSP yang dapat

memengaruhi tidur, daya ingat dan mood. Adapun gejalanya

adalah sebagai berikut:

a) Penurunan daya ingat dan mudah tersinggung

Suasana hati, perilaku, fungsi kognitif, fungsi sensorik,

dan kerja susunan saraf pusat dipengaruhi oleh hormon steroid

seks. Apabila timbul perubahan pada hormon ini maka akan

timbul keluhan psikis dan perubahan fungsi kognitif. Pada

wanita menopause, akibat berkurangnya hormon steroid seks

dapat terjadi keluhan seperti mudah tersinggung, cepat

marah, dan perasaan tertekan. Wanita menopause lebih mudah

tersinggung dan marah terhadap sesuatu yang sebelumnya

dianggap tidak mengganggu dan perasaannya menjadi sangat


17

sensitif terhadap sikap dan perilaku orang-orang di sekitarnya

(Varney, 2007).

b) Kecemasan

Gangguan kecemasan dianggap sebagai bagian dari satu

mekanisme pertahanan diri yang dipilih secara alamiah oleh

makhluk hidup bila menghadapi sesuatu yang mengancam

atau membahayakan dirinya. Kecemasan yang timbul pada

wanita menopause sering dihubungkan dengan adanya

kekhawatiran dalam menghadapi situasi yang sebelumnya

tidak pernah dikhawatirkan, seperti cemas dengan berakhirnya

masa reproduksi yang berarti ketidakmampuan untuk

mengandung sehingga dirinya menganggap hal tersebut

sebagai suatu kehilangan yang bermakna dan merasa

kehilangan feminimitas karena fungsi reproduksinya hilang

(Varney, 2007).

Kecemasan yang terjadi pada masa menopause ini

merupakan akibat dari turunnya jumlah hormon progesteron

sehingga mengakibatkan gangguan pada neurotransmiternya

(Kaplan dan Sadock, 2010).

c) Stres

Stres dapat terjadi karena adanya perubahan yang terjadi

pada masa menopause serta merupakan reaksi tubuh terhadap


18

kecemasan yang sedang dihadapi. Tidak ada orang yang bisa

lepas sama sekali dari rasa was-was dan cemas termasuk wanita

menopause (Manuaba et al., 2009).

d) Depresi

Estrogen dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi

terjadinya depresi karena dengan terapi pemberian estrogen

keluhan depresi dapat ditekan. Penyebab depresi diduga

akibat penurunan aktivitas serotonin di otak. Estrogen akan

menghambat aktivitas enzim Monoamin Oksidase (MAO), suatu

enzim yang menonaktifkan serotonin dan noradrenalin.

Berkurangnya jumlah estrogen akan berdampak pada

berkurangnya jumlah MAO dalam plasma. Pemberian serotonin-

antagonis dapat mengurangi keluhan depresi pada wanita

pascamenopause (Rahman et al., 2010).

2. Yoga

a. Definisi

Yoga merupakan sistem kesehatan menyeluruh (holistik) yang

terbentuk dari kebudayaan India kuno sejak 5000 tahun lalu. Yoga atau yuj

(dalam Bahasa Sanskerta kuno) berarti union (penyatuan). Intinya, melalui

yoga seseorang akan lebih baik mengenal tubuhnya, mengenal pikirannya,

dan mengenal jiwanya (Sindhu, 2009b).


19

Yoga merupakan bersatunya tubuh, pikiran, jiwa (mind, body, soul)

dengan keseimbangan ketiganya. Melalui yoga, tubuh manusia terhubung

erat dengan pola gerak, napas, serta pikiran yang memungkinkan terjadinya

keseimbangan, relaksasi, serta harmoni hidup lewat serangkaian latihan

fisik yang cermat dan penuh konsentrasi. Seorang yang melakukan yoga

dianjurkan untuk membangunkan seluruh bagian tubuh maupun jiwa.

Dilihat dari sisi psikologis, yoga dapat meningkatkan konsentrasi, fokus,

meningkatkan ketenangan dan kepuasan (Sierra, 2007).

b. Unsur-unsur yoga

Patanjali membagi praktik yoga dalam delapan tangga yang dalam

Bahasa Sansekerta disebut Ashtanga Yoga:

1) Yama Cara hidup dan berinteraksi dengan orang/makhluk lain. Yama

dibagi menjadi 5 bagian:

a) Ahimsa: Hidup tanpa melakukan kekerasan kepada seluruh makhluk

hidup lainnya. Hal ini berarti juga tidak melakukan kekerasan kepada

diri-sendiri termasuk ketika berlatih yoga.

b) Satya: Hidup dalam kebenaran, tidak berbohong, atau

menyembunyikan kebenaran.

c) Asteya: Hidup tanpa mengambil atau mencuri dari orang lain.

d) Brahmacharya: Hidup tanpa mengumbar energi seksualitas dan

sensualitas yang berlebihan. Biasanya juga diartikan hidup dengan

berkomitmen penuh untuk bersatu dengan semesta atau Tuhan.


20

e) Aparigraha: Hidup tanpa ketamakaan. Ini berarti tidak menginginkan

lebih dari yang kita perlukan.

2) Niyama Cara hidup dan berperilaku pada diri-sendiri. Ini juga terbagi

lima:

a) Saucha: Kebersihan atau kesucian, termasuk menjaga kebersihan

lingkungan, makanan, serta pikiran.

b) Santosha: Kepuasan, termasuk hidup dengan selalu bersyukur.

c) Tapas: Disiplin atau latihan menguasai diri.

d) Svadhaya: Mempelajari diri lewat refleksi diri atau lewat

mempelajari kitab suci.

e) Isvharapranidhana: Menyerahkan diri pada kekuatan yang ada di

alam semesta atau dalam diri. Tanpa menyebut Tuhan, pasal ini

mengajak untuk berpasrah kepada yang lebih tinggi dari realitas yang

terlihat di mata.

3) Asana Dalam Bahasa Sansekerta, asana berarti duduk atau postur

duduk, namun dalam tradisi Hatha Yoga, asana diartikan sebagai postur

fisik. Tujuan asana untuk mempersiapkan diri secara fisik dan

menyucikan diri sebelum melakukan meditasi untuk mencapai samadhi

(pencerahan).

4) Pranayama Teknik mengatur nafas untuk melatih kekuatan vital

(prana), menggiatkan fungsi kerja sel tubuh, serta meningkatkan

konsentrasi dan ketenangan pikiran.


21

5) Pratyahara Teknik menguasai semua indra dari gangguan eksternal

untuk membawa perhatian dan kesadaran ke dalam diri. Pratyahara

bertujuan mendiamkan pikiran dan merupakan pelatihan yang sangat

baik untuk meningkatkan kesadaran (mindfulness).

6) Dharana Teknik mengarahkan pikiran ke satu objek untuk menuju

cabang berikutnya. Hal ini merupakan tahap awal menuju Dhyana atau

meditasi. Dharana merupakan kelanjutan Pratyahara arena pikiran

menjadi lebih tajam.

7) Dhyana Teknik meditasi ketika pikiran benar-benar terfokus ke satu

objek. Hal ini merupakan perjalanan untuk lebih jauh masuk ke dalam

pikiran dan diri serta mulai meniadakan eksistensi tubuh.

8) Samadhi Situasi ketika sang yogi telah benar-benar menguasai pikiran.

(Asmarani, 2011).

c. Manfaat yoga

Yoga menjadi salah satu alternatif pilihan olahraga yang memiliki

banyak manfaat sehingga semakin banyak orang mengikuti kelas-kelas

yoga. Manfaat yang diperoleh antara lain:

1) Pernafasan

Pernafasan juga termasuk dalam yoga yang akan meningkatkan

kapasitas paru-paru seseorang. Kapasitas vital paru-paru adalah

komponen penting untuk kesehatan yang baik. Kapasitas vital menjadi


22

perhatian penting bagi penderita asma, penyakit jantung, dan penyakit

paru-paru, bagi yang merokok. Santana et al. (2013) menyebutkan

bahwa terdapat perbaikan pasien pada kapasitas pernapasan, mobilitas,

energi, tidur dan termasuk umpan balik positif seperti peningkatan

volume tidal dengan memperlambat ekspirasi.

2) Kekuatan otot

Gaya pada saat latihan yoga seperti: downward dog, upward dog,

dan plank, membangun kekuatan tubuh bagian atas. Hal ini menjadi

penting pada usia tertentu. Gaya berdiri, khususnya jika seseorang

berpaku pada beberapa waktu, dapat membangun kekuatan otot

hamstring, quadriceps, dan abdominal. Otot abdominal yang kuat akan

melindungi punggung bawah, sedangkan otot abdominal yang lemah

dapat membuat vertebrae di punggung bawah terlalu berputar dan dapat

berisiko menyebakan cakram vertebrae rapuh dan rawan penyakit, dan

menyebabkan artritis. Dalam ilmu kesehatan yoga, lemahnya otot perut

dipercaya bisa menyebabkan lemahnya sistem pencernaan yang

menyebabkan konstipasi serta sindrom kelelahan yang kronis. Beberapa

postur pada latihan yoga juga dapat menguatkan otot-otot diafragmatis

serta otot-otot yang menghubungkan bahu dan panggul dengan tulang

punggung (Asmarani, 2011).


23

3) Fleksibilitas

Salah satu bagian dari yoga disebut asana bekerja secara aman

untuk strerching otot seseorang. Proses ini melepaskan asam laktat yang

biasanya menyebabkan kekakuan, ketegangan, sakit, dan kelelahan.

Selain itu, yoga juga meningkatkan berbagai gerakan di sendi dan

meningkatkan lubrikasi di sendi. Stretch pada yoga tidak hanya untuk

otot, tapi untuk seluruh sel-sel tubuh seseorang. Ribeiro (2013)

menyebutkan bahwa yoga dapat mengurangi kejadian kram di berbagai

bagian tubuh pada pasien dengan Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).

4) Mengatasi insomnia

Bagian dari yoga yang disebut savasana sangat bermanfaat untuk

mengendurkan seluruh bagian tubuh baik secara fisik dan psikologis.

Savasana dapat mengatasi masalah insomnia. Insomnia dapat terjadi

karena beberapa hal, ada yang disebabkan oleh bergesernya waktu tidur

(tidur larut malam dan bangun siang) dan ada pula yang sama sekali

tidak bisa tidur karena banyak pikiran atau sedang mengalami masalah

yang berat. Berlatih yoga sebelum tidur akan memeras semua

ketegangan dan membuat tubuh jadi cukup letih dan mudah tertidur

(Sindhu, 2009a).

5) Mengurangi kecemasan

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa yoga dapat

mengurangi kecemasan seseorang. Telles et al. (2009) menemukan


24

bahwa terjadi penurunan yang signifikan dalam skor pada kecemasan

pada kelompok yang melakukan yoga. Konsep yoga untuk mengurangi

kecemasan diambil dari kitab suci tradisional yoga (Patanjali yoga sutra,

Upanishad dan Yoga Vasishtha) yang menggunakan pendekatan holistik

untuk manajemen kesehatan. Praktek ini terdiri dari asana (postur yoga),

Pranayama, teknik relaksasi, meditasi, dan edukasi tentang gaya hidup

yoga (Nindhi et al., 2012)

6) Meningkatkan sistem imun pada keadaan stres

Stres cenderung memiliki dampak negatif pada sistem kekebalan

tubuh dan membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit.

Mengelola stres, terutama kronis atau stres jangka panjang, dengan

mempraktikkan berbagai teknik relaksasi, dapat membantu orang

mengatasi komorbiditas lain yang terkait dengan penyakit dan menjalani

kualitas hidup yang lebih baik bahkan selama periode stres. Praktek

yoga sendiri telah terbukti untuk meningkatkan melatonin dan

menurunkan kadar serotonin. Sehingga terjadi perubahan pada sistem

imun yang berguna untuk kesehatan (perubahan dalam kejadian,

keparahan, atau durasi penyakit menular atau ganas) (Arora dan

Bhattacharjee, 2008).

7) Peningkatan Daya Ingat

Latihan asana pada yoga berfungsi untuk kesehatan otak sehingga

jika dilakukan dengan teratur, aliran darah dan oksigen yang menuju ke
25

otak menjadi lancar, pikiran akan menjadi lebih jernih, terang, fokus,

dan meningkatkan memori dan daya ingat. Makanan yang menyehatkan

otak, selain tentunya pikiran yang sehat, pikiran yang tidak ambisius,

adalah darah yang segar yang membawa oksigen. Latihan asana yang

dijadikan peningkat daya ingat adalah adhomuka svasana, salamba

sirsasana, tratak dengan menyala lilin (Widyantoro, 2010).

Menurut Sindhu (2009b) manfaat berlatih yoga antara lain:

a) Meningkatkan fungsi kerja kelenjar endokrin (hormonal) di dalam

tubuh

b) Meningkatkan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan otak

c) Membentuk postur tubuh yang lebih tegap, serta otot yang lebih

lentur dan kuat

d) Meningkatkan kapasitas paru-paru saat bernafas

e) Membuang racun dari dalam tubuh

f) Meremajakan sel-sel tubuh dan memperlambat penuaan

g) Memurnikan saraf pusat yang terdapat di tulang punggung

h) Mengurangi ketegangan tubuh, pikiran, dan mental serta

membuatnya lebih kuat dalam menghadapi stres

i) Memberikan kesempatan untuk merasakan relaksasi yang mendalam

j) Meningkatkan kesadaran pada lingkungan

k) Meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk berpikir

positif
26

d. Aliran-aliran yoga

Menurut Sierra (2007), ada sembilan bentuk aliran yoga yang sesuai

kebutuhan:

1) Jnana Yoga (penyatuan melalui ilmu pengetahuan)

2) Karma Yoga (penyatuan melalui pelayanan sosial terhadap sesama)

3) Bhakti Yoga (penyatuan melalui bakti terhadap Tuhan)

4) Yantra Yoga (penyatuan melalui pembuatan visual/mandala)

5) Tantra Yoga (penyatuan melalui pembangkitan energi cakra)

6) Mantra Yoga (penyatuan melalui suara dan bunyi)

7) Kundalini Yoga (penyatuan melalui pembangkitan energi kundalini- the

coiling chakra dasar)

8) Hatha Yoga (penyatuan melalui penguasaan tubuh dan napas)

9) Raja Yoga (penyatuan melalui pikiran dan mental)

Aliran yoga yang dikenal di Indonesia adalah: 1) Classic Hatha

Yoga; 2) Sivananda Yoga; 3) Iyengar Yoga; 4) Ashtanga; 5) Vinyasa; 6)

Bikram atau Hot Yoga; 7) Jivamukti; 8) Anusara Yoga, Kundalini; 9) Sri-

Sri Yoga; 10) Ananda Marga; 11) Yogalates, dan lain sebagainya

(Widyantoro, 2010).
27

3. Hubungan Yoga dengan Menopause

Yoga merupakan sebuah seni kuno dan intervensi holistik yang meliputi

fisik, mental, moral dan spiritual. Gaya hidup Yoga merupakan cara hidup

yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara pikiran, tubuh, dan semangat

dalam kehidupan sehari-hari (Vaze, 2010).

Penelitian oleh Mastrengelo dan Galantino (2005) melaporkan bahwa 5

dari 6 wanita peri dan pasca menopause yang menyelesaikan program yoga 8

minggu menunjukkan peningkatan kualitas hidup yang diukur menggunakan

MENQOL (Menopause Spesific Quality of Life). Dan dalam penelitian

Verzosa (2010) menyebutkan bahwa program yoga yang dilakukan selama 8-

10 minggu menunjukkan penurunan frekuensi hot flushes, peningkatan

kualitas tidur, penurunan gejala vasomotor dan gejala psikologis.

Yoga nantinya akan membuat tubuh menjadi rileks, tenang, dan fokus.

Yoga akan menghambat aktivitas inti paraventrikular hipotalamus, yang

selanjutnya akan memengaruhi kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan

produksi dari ACTH. Penurunan ACTH akan mengurangi sintesis kortisol dari

kelenjar adrenal. Kortisol nantinya juga cenderung untuk mengaktifkan

Phenylethanolamine - N - metil transferase (PNMT), penghambatan simpatik

dan penurunan PNMT, serta pembentukan katekolamin akan menurun.

Penurunan tingkat kortikosteroid dan katekolamin dikenal untuk mengurangi

respon stres (Arora dan Bhattacharjee, 2008).


28

Yoga menghambat aktivitas saraf simpatik sehingga akan

mengoptimalkan respon simpatik tubuh terhadap rangsangan stres, dan

mengembalikan mekanisme refleks peraturan otonom yang berhubungan

dengan stres. Yoga akan meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga pada

akhirnya dapat menurunkan produksi norepinephrine, yang akan

menyebabkan terjadinya relaksasi, ketenangan dan mengurangi tingkat

pernapasan dan jantung. Penurunan norepinefrin pada inti paraventricular

hipotalamus akan menurunkan produksi CRH dan kortisol. Peningkatan

aktivitas parasimpatis dan penurunan resultan tekanan darah yang pada

gilirannya dapat menyebabkan pelepasan Arginine Vasopressin(AVP). Hal ini

akan mengakibatkan yoga dapat mengaktivasi korteks prefrontal dan

peningkatan transmisi glutamat dalam nukleus arkuata di hipotalamus medial

sehingga akan mengakibatkan pelepasan -endorphine (Thirthalli et al.,

2013).

Yoga dapat meningkatkan pengeluaran hormon -endorphine.

Endorphine sendiri akan memengaruhi berbagai fungsi hipotalamus, termasuk

pengaturan reproduksi, pengaturan suhu, kardiovaskuler dan fungsi

pernafasan, juga sebagai pengatur fungsi ekstra hipotalamik seperti persepsi

nyeri dan mood (Anwar, 2005; Yadav et al., 2012).

Latihan yoga memiliki efek yang baik pada sistem endokrin. Sistem

endokrin mengatur dan memproduksi hormon yang dapat memengaruhi

suasana hati, seksualitas, dan metabolisme. Interaksi sistem endokrin dengan


29

respon stres selama menopause dapat menjadi lebih buruk ketika tingkat

hormon mulai berfluktuasi. Pola tidur dapat terganggu dan stres yang

dirasakan dapat meningkatkan intensitas dan frekuensi hot flushes (Gibbs,

2001).

Tujuh Chakra utama adalah energi untuk sistem endokrin, dan masing-

masing Chakra sesuai dengan kelenjar endokrin tertentu. Menurut sistem ini,

Cakra mengambil energi dalam bentuk prana (energi universal) yang masuk

ke dalam tubuh melalui napas. Chakra kemudian mendistribusikan prana

untuk sistem energi tubuh untuk tetap sehat. Ketika Chakra ditutup atau

diblokir karena trauma, stres atau ketidakseimbangan, Chakra tidak dapat

melakukan fungsi ini secara efisien. Disfungsi yang dapat terwujud dalam

tubuh fisik yang dapat menjadi subyek penyakit (Gibbs, 2001).

Pemahaman tentang hubungan antara Chakra dan sistem endokrin

berguna dalam membantu wanita menopause memahami isu-isu dan

keyakinan yang menyebabkan kebiasaan, pilihan gaya hidup dan pola perilaku

yang mendasari. Kesadaran masalah ini dapat membantu wanita

memanfaatkan peluang untuk penyembuhan pribadi dan transformasi (Gibbs,

2001).

Beberapa contoh kelenjar yang dapat berefek dari latihan yoga :

a. Adrenal

Membantu tubuh/pikiran untuk mengatur fungsi sistem saraf

otonom untuk menciptakan keseimbangan antara cabang simpatis dan


30

parasimpatis dengan mengubah persepsi tentang ancaman dan ketakutan,

dan memungkinkan tubuh/pikiran untuk menenangkan dirinya sendiri

bahkan ketika terancam atau takut. Pose dalam yoga ini yang merangsang

dan merevitalisasi kelenjar adrenal (Gibbs, 2001).

b. Gonad

Pose dalam yoga dapat secara langsung memijat kelenjar dan

membantu untuk menyeimbangkan emosi dan mengurangi reaksi stres

untuk mendorong peningkatan sirkulasi dan transmisi oksigen (Gibbs,

2001).

c. Pankreas

Yoga membantu mengurangi reaksi stres kronis, keseimbangan,

detoksifikasi dan merevitalisasi kelenjar lainnya dan organ yang terlibat.

Postur yoga ini juga dapat langsung memijat pankreas dengan

mengompresi dan membuka daerah dan menyeimbangkan energi (Gibbs,

2001).

d. Timus

Yoga meningkatkan terjadinya emosi positif dan meningkatkan

fungsi kekebalan tubuh dari kelenjar timus. Merangsang timus dan

menyeimbangkan timus dalam hubungannya dengan otak (Gibbs, 2001).


31

e. Tyroid

Pose yoga menekan dan merevitalisasi kelenjar ini. Meditasi

Pranayama dan citra dianjurkan untuk membuka energi dalam Chakra

kelima untuk meningkatkan aliran prana (Gibbs, 2001).

f. Pituitary

Teknik dan meditasi pernapasan meningkatkan fungsi kelenjar

pituitari menciptakan keseimbangan di otak dan kesadaran pola pemikiran

yang memicu pelepasan hormon stres dan endorphine. Yoga membantu

untuk menciptakan kesadaran yang lebih tinggi dengan meningkatkan

kemampuan pola pikir dan sistem kepercayaan yang mendasari (Gibbs,

2001).

4. Pose-pose yoga khusus menopause

Penggunaan guling saat yoga dapat memperkuat struktur tulang

belakang ketika berbaring. Otot-otot perut, dada dan punggung dapat

melepaskan ketegangan sehingga membuat tubuh menjadi rileks. Guling yang

digunakan secara khusus dirancang sehingga sisi tulang rusuk terbuka. Ketika

tulang rusuk mengembang ke lateral, kapasitas pernapasan secara alami

menjadi lebih dalam (Fransina, 2005).


32

Gambar 2.1. Supported Lying Down Bound-Angle Pose -The Goddess Pose (Supta
Baddha Konasana) (Fransina, 2005).

Pose ini membuat abdomen, uterus, ovarium dan vagina dalam posisi

bebas dari keadaan konstriksi dan ketegangan yang dapat menghambat

keseimbangan aktivitas hormonal. Aliran darah langsung mengalir ke bagian

pelvis, mensuplai organ dan kelenjar reproduksi sehingga membantu

menyeimbangkan fungsi hormon. Pose ini dapat mambantu mengurangi

depresi dan gangguan pada perubahan suasanan hati (Fransina, 2005).

Gambar 2.2. Supported Childs Pose (Adho Mukha Virasana) (Fransina, 2005).
33

Pose ini membantu melepaskan ketegangan saraf dan emosi serta dapat

membantu menurunkan tekanan darah (Fransina, 2005).

Gambar 2.3. Supported Downward Facing Dog Pose (Adho Mukha Svanasana)
(Fransina, 2005).
Pose ini dapat meningkatkan aliran darah ke otak, membantu

mengurangi gangguan memori yang dapat terjadi pada saat fluktuasi

hormonal. Pose ini juga dapat membantu mengangkat dan mengencangkan

rahim, meningkatkan sirkulasi ke panggul dan memperkuat dasar panggul. Ini

adalah pose kunci untuk mengurangi hot flushes. Beban tubuh bagian atas

bertumpu pada tangan sehingga pose ini dapat memperkuat tulang tangan,

pergelangan tangan, lengan dan bahu, sehingga membantu mencegah

osteoporosis. Posisi kepala pada pose ini juga dapat membantu merilekskan

pikiran (Fransina, 2005).


34

Gambar 2.4. Supported Shoulderstand with Chair (Salamba Sarvangasana)


(Fransina, 2005).
Pose ini merupakan pose yang paling penting dalam yoga khusus

menopause. Pose ini dapat membantu mengurangi kelelahan, membantu

meringankan insomnia, menenangkan saraf, mengurangi kegelisahan,

menenangkan pikiran, dan meredakan emosi yang berlebihan. Ini adalah pose

kunci untuk kesehatan panggul, gejala hot flushes, dan menyeimbangkan

sistem endokrin (Fransina, 2005).

Gambar 2.5. Supported Half Plow Pose with Chair (Ardha Halasana) (Fransina,
2005).
Salah satu pose penting untuk mengurangi gejala menopause seperti hot

flushes. Pose ini berefek pada sistem saraf simpatik (Fransina, 2005).
35

Gambar 2.6. Supported Bridge Pose-The Menopausal Bridge Pose (Setu Bandha
Sarvangasana)(Fransina, 2005).
Pose ini dapat mengistirahatkan jantung, membantu menyeimbangkan

tekanan darah dan mengatur sekresi hormon. Menempatkan kepala lebih

rendah dari bagian tubuh dan dengan membuka dada dapat menenangkan dan

menyegarkan tubuh, serta menghilangkan kelesuan dan depresi. Dengan

menempatkan rahim dan ovarium ke mangkuk panggul membantu untuk

menyeimbangkan sekresi hormon dengan demikian membantu meringankan

fluktuasi hormon saat menopause (Fransina, 2005).

Gambar 2.7. Supported Legs-Up-the-Wall Pose -The Great Rejuvenator


(Viparita Karani)(Fransina, 2005).
36

B. Kerangka Pemikiran
Menopause

Yoga Tidak Yoga

Tidak terjadi regulasi


SSO Hipotalamus penyeimbangan hormon

Fluktuasi hormon lebih


tidak stabil
1. Respon stress
2. Regulasi fungsi seksual
3. Regulasi tekanan darah
4. Respon imun Gejala menopause
menjadi lebih nyata
5. Regulasi metabolik
6. Proses emosi
7. Regulasi suhu tubuh Perubahan fungsi fisik,
fungsional, psikologis serta
sosial
Kerja hormon lebih
Keterangan: stabil
a. Status pernikahan
: Memengaruhi
b. Status pekerjaan
: Dipengaruhi Gejala menopause
c. Kebiasaan merokok
: Variabel luar menjadi lebih ringan
d. Konsumsi alkohol
yang dapat dikontrol
e. Penyakit kronis
: Variabel luar Perubahan fungsi
f. Status gizi
yang tidak dapat fisik, fungsional,
psikologis serta sosial g. Status kehamilan.
dikontrol

1) Pola hidup
Persepsi kualitas hidup terkait
2) Tingkat stres
kesehatan

Gambar 2.8. Kerangka Pemikiran


37

C. Hipotesis

Berdasarkan dari tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ada pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada menopause.
38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

pendekatan studi case control.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di tempat latihan yoga yang berada di Ganeps

Surakarta pada Juli-September 2015.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi (universe) adalah keseluruhan objek penelitian atau objek

yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah

wanita menopause yang mengikuti latihan yoga selama kurang lebih 3

bulan.

2. Sampel

Wanita yang mengikuti latihan yoga dengan kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi:

1) Wanita menopause yang melakukan yoga 8 minggu di Ganeps

Surakarta

38
39

2) Berusia 45-67 tahun

3) Menopause selama 1-10 tahun.

b. Kriteria Ekslusi:

1) Subjek tidak pernah menikah

2) Subjek tidak pernah hamil

3) Subjek sedang menerima terapi hormon (terapi estrogen, progestin

ataupun androgen)

4) Memiliki penyakit berat (penyakit jantung, DM, hipertensi,

kanker, penyakit kelenjar tiroid) kecuali yang terkontrol.

5) Subjek merokok dan mengonsumsi alkohol

6) Riwayat radioterapi (misal: kemoterapi)

7) Pernah melakukan oophorektomi atau pengangkatan ovarium

8) Menjadi olahragawan atau atlet

9) Mengikuti senam atau olahraga lainnya.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah fixed

exposure sampling yaitu skema pencuplikan yang dimulai dengan memilih

sampel berdasarkan status paparan subyek, yaitu terpapar atau tak terpapar

oleh faktor yang diduga memengaruhi terjadinya penyakit sedang status

subyek bervariasi mengikuti status paparan subyek (Murti, 2011).


40

E. Rancangan Penelitian

Populasi

Sampel

Subjek Penelitian Kelompok Kontrol

Yoga Tidak yoga

SF-36 SF-36

MRS MRS

Uji t tidak berpasangan

Analisis Regresi Linier


Berganda

Kesimpulan

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian


41

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Yoga

2. Variabel Terikat : Kualitas Hidup Terkait Kesehatan

3. Variabel Luar :

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan : status pernikahan, status

pekerjaan, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol, penyakit kronis,

dan status kehamilan.

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : pola hidup, dan tingkat

stres.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Bebas

Yoga adalah sebuah seni kuno dan intervensi holistik yang

bertujuan untuk menyeimbangkan antara fisik, mental, moral dan spiritual

dalam kehidupan sehari-hari (Vaze dan Joshi, 2010). Aliran yoga yang

diambil oleh peneliti ialah Hatha Yoga. Hatha Yoga merupakan

penyatuan melalui penguasaan tubuh dan napas (Sierra, 2007). Bagian

dari yoga yang diambil adalah Nidra. Yoga Nidra termasuk ke dalam

bagian dari Yoga Savasana yang bermanfaat untuk mengendurkan seluruh

bagian tubuh baik secara fisik dan psikologis. Rutin latihan yoga adalah

melakukan yoga secara rutin selama 12 minggu. Setiap minggu

melakukan latihan yoga selama 4 kali dan lamanya setiap latihan kurang

lebih 60 menit.
42

a. Alat ukur : Kuesioner

b. Skala : Kategorik

2. Variabel terikat

a. Skor kualitas hidup terkait kesehatan

adalah skor yang menggambarkan komponen kebahagiaan dan

kepuasan terhadap kehidupan mencakup dimensi fisik, fungsional,

psikologis, dan sosial (Fayers dan Machin, 2007). Variabel ini diukur

menggunakan kuesioner Medical Outcome Study SF-36 yang telah valid

(Harmaini, 2006).

1) Alat Ukur : Kuesioner

2) Skala : Numerik

b. Menopause Rating Scale (MRS)

merupakan skala kualitas hidup untuk menilai tingkat keparahan

keluhan menopause sebagai respon terhadap kurangnya skala yang

terstandarisasi untuk mengukur keparahan gejala penuaan serta efeknya

terhadap kualitas hidup (Heinemann et al., 2004).

3) Alat Ukur : Kuesioner

4) Skala : Ordinal

H. Instrumen Penelitian

1. Informed Consent

2. Fomulir biodata

3. Kuesioner yoga
43

4. Kuesioner riwayat kesehatan

5. Kuesioner Medical Outcome Study SF-36 (Harmaini,2006)

6. Kuesioner Menopausal Rating Scale (MRS)

7. Kuesioner L-MMPI

I. Cara Kerja

1. Peneliti meninjau lokasi penelitian dan menentukan sampel yang akan

diambil sesuai kriteria yang ditetapkan sebagai skrining awal. Dilakukan

pemilihan sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.

2. Peneliti meminta responden untuk bersedia diwawancarai mengenai

data dan kuesioner untuk penelitian (dengan informed consent).

3. Peneliti mewawancarai responden mengenai identitas responden,

riwayat kesehatan responden, dan kuesioner yoga.

4. Peneliti mewawancarai responden mengenai kuesioner SF-36 untuk

mengetahui pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan

pada menopause.

5. Peneliti mewawancarai responden mengenai kuesioner MRS untuk

mengetahui pengaruh yoga terhadap kualitas hidup khusus menopause.

6. Skor kualitas hidup terkait kesehatan dibandingkan dan diolah

menggunakan uji t untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki

skor kualitas hidup terkait kesehatan yang lebih tinggi.

7. Pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan dianalisis

dengan model analisis regresi linier berganda.


44

J. Teknik Analisis Data Statistik

Karakteristik sampel dalam data kontinyu dideskripsikan dalam n, SD,

minimum dan maksimum. Sedangkan karakteristik sampel dalam data

kategorik dideskripsikan dalam n dan %. Hubungan variabel yang diteliti

dianalisis dengan model analisis regresi linier sederhana, dengan persamaan

sebagai berikut:

Y = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X3

Keterangan:

Y = Kualitas Hidup terkait Kesehatan (Skala kontinyu)

X1 = Yoga (0 tidak ; 1 ya)

X2 = Umur ( 0 < rata-rata umur ; 1 > rata-rata umur)

X3 = Status Pekerjaan ( 0 Tidak Bekerja ; 1 Bekerja)

0 = Konstanta

1,2,3 = Koefisien regresi

Kekuatan hubungan variabel dalam analisis regresi linier sederhana

ditunjukkan oleh koefisien regresi dengan konfiden interval 95%.

Interpretasi dari sebagai berikut:

0 artinya tidak ada pengaruh variabel yang diteliti dengan kualitas

hidup terkait kesehatan.

0< artinya variabel yang diteliti meningkatkan kualitas hidup terkait

kesehatan.
45

- < 0 artinya variabel yang diteliti menurunkan kualitas hidup terkait

kesehatan.

Kemaknaan statistik dari diuji dengan uji t dengan hasil ditunjukkan dengan

nilai p.
46

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada wanita

menopause yang melakukan yoga dan tidak melakukan yoga. Khusus wanita

menopause yang melakukan yoga, penelitian dilakukan di tempat Yoga Ganeps pada

September 2015.

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Karakteristik


Yoga Tidak Yoga
No Karakteristik Sampel Frekuensi Persen Frekuensi Persen Total
(n) (%) (n) (%)

1. Umur
47 - 57 tahun 5 11,11 22 48,89 27
58 - 67 tahun 10 22,22 8 17,78 18
2. Pendidikan
Lulus SD 0 0 9 20 9
Lulus SMP/SMA 9 20 7 15,56 16
Lulus Diploma 6 13,33 14 31,11 20
/Sarjana

3. Status Pekerjaan
Ya 7 15,56 24 53,33 31
Tidak 8 17,78 6 13,33 14
4. Lama Menopause
1-5 tahun 7 15,56 20 44,44 27
6-10 tahun 8 17,78 10 22,22 18
(Sumber: Data primer, 2015)
46
47

Penentuan subjek menggunakan metode fixed exposure sampling,

didapatkan jumlah subjek wanita menopause yang melakukan yoga sesuai kriteria

sebanyak 15 orang dan subjek wanita menopause yang tidak melakukan yoga

sebanyak 30 orang sehingga total subjek sebanyak 45 orang.

Berdasarkan data pada Tabel 4.1 karakteristik subjek penelitian

dikelompokkan berdasarkan umur, pendidikan, status pekerjaan, dan lama

menopause. Rata-rata umur subjek yang melakukan yoga adalah 59 tahun, sedangkan

yang tidak melakukan yoga adalah 55,6 tahun. Untuk mengetahui homogenitas

subjek penelitian, dilakukan analisis statistik dengan mencari perbedaan rata-rata

dalam tiap karakteristik. Pada kelompok umur, pendidikan, status pekerjaan, dan

lama menopause distribusinya tidak normal sehingga diuji dengan Mann-Whitney

test. Hasil analisis statistik pada kelompok lama menopause dan pendidikan

menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna, sehingga subjek penelitian pada

kelompok ini homogen. Sedangkan pada kelompok umur dan status pekerjaan

menunjukkan ada perbedaan yang bermakna sehingga subjek penelitian pada

kelompok ini tidak homogen.

Tabel 4.2 Analisis Bivariat tentang Umur dan Kualitas Hidup Terkait Kesehatan
dengan Uji Mann-Whitney
Median Mean SD
N p
(minimum-maksimum)
Umur kelompok yoga 15 60(47-67) 59 5,28
0,101
Umur kelompok tidak yoga 30 54(50-67) 55,6 5,43
(Sumber:Data primer, 2015)
48

Tabel 4.2 menunjukkan uji statistik analisis bivariat yang dilakukan untuk

melihat signifikansi data secara statistik. Uji normalitas pada variabel umur,

didapatkan data tidak terdistribusi secara normal sehingga selanjutnya dilakukan uji

Mann-Whitney. Dari hasil uji statistik tersebut didapatkan nilai p adalah 0,101, karena

p > 0,05 maka didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur

wanita menopause yang melakukan yoga dan tidak melakukan yoga terhadap skor

kualitas hidup terkait kesehatan .

Tabel 4.3 Analisis Bivariat tentang Status Pekerjaan dan Kualitas Hidup Terkait
Kesehatan dengan Uji Mann-Whitney
N Mean SD p
Status Pekerjaan kelompok yoga 15 0,47 0,52
0,697
Status Pekerjaan kelompok tidak yoga 30 0,8 0,41
(Sumber: Data primer,2015)
Tabel 4.3 menunjukkan uji statistik analisis bivariat yang dilakukan untuk

melihat signifikansi data secara statistik. Uji normalitas pada variabel status pekerjaan

didapatkan data tidak terdistribusi secara normal sehingga selanjutnya dilakukan uji

Mann-Whitney. Dari hasil uji statistik tersebut didapatkan nilai p adalah 0,697, karena

p > 0,05 maka didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara status

pekerjaan wanita menopause yang melakukan yoga dan tidak melakukan yoga

terhadap skor kualitas hidup terkait kesehatan.


49

Tabel 4.4 Analisis Bivariat aantara Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan dan
Status Yoga Dengan Uji t
Status Yoga N Mean SD T P
Yoga 15 3089,3 249,9
-4,032 < 0,001
Tidak Yoga 30 2627,5 405,4
(Sumber: Data primer,2015)
Tabel 4.4 menunjukkan uji statistik yang dilakukan untuk melihat signifikansi

data secara statistik. Uji normalitas pada total skor kualitas hidup terkait kesehatan

didapatkan data terdistribusi secara normal sehingga selanjutnya dilakukan uji

parametrik t test. Dari hasil uji statistik tersebut didapatkan nilai p adalah 0,000,

karena p < 0,05 maka didapatkan perbedaan yang bermakna antara total skor kualitas

hidup terkait kesehatan pada menopause yang melakukan yoga dan tidak melakukan

yoga.

Tabel 4.5 Hasil Analisis Multivariat Regresi Linier Berganda tentang Pengaruh
Yoga, Umur, dan Status Pekerjaan terhadap Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan
Koefisien regresi
Variabel Confidence Interval
B T P
(Batas bawah- batas atas)
Konstanta 3296,41 5,687 < 0,001
Yoga 435,6 (-692,77)-(1230,82) 3,480 0,001
Umur (tahun) -9,504 -0,935 0,355
Bekerja -175,54 -1,429 0,160
N observasi = 45
R2adjusted = 32,2 %
P = 0,001
(Sumber: Data primer,2015)

Tabel 4.5 menunjukkan rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan pada

kelompok yoga : 435,6 lebih tinggi daripada kelompok tidak yoga. Perbedaan ini
50

secara statistik signifikan (b = 435,6 ; p = 0,001). Hal ini berarti terdapat perbedaan

yang bermakna antara skor kualitas hidup terkait kesehatan pada wanita menopause

yang melakukan yoga dan tidak melakukan yoga. Namun pada kelompok umur dan

status bekerja tidak didapatkan hasil yang bermakna.

Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Kualitas Hidup Berdasarkan Gejala Menopause


Menggunakan Kuesioner MRS (Menopausal Rating Scale)
N Mean SD p
MRS kelompok yoga 15 0,53 0,92
0,02
MRS kelompok tidak yoga 30 1,27 1,048
(Sumber: Data primer, 2015)

MRS Total Yoga Tidak Yoga


Tidak ada 10 8
Ringan 3 8
Sedang 1 9
Berat 1 5

Tabel 4.6 menunjukkan hasil pengukuran kualitas hidup berdasarkan gejala

menopause yang dialami subjek yang mengikuti yoga dan tidak mengikuti yoga,

didapatkan hasil gejala menopause banyak dialami subjek yang tidak melakukan

yoga. Dilakukan uji normalitas, didapatkan hasil distribusi tidak normal sehingga

selanjutkan dianalisis menggunakan Mann-Whitney test didapatkan hasil p < 0,05

yang berarti signifikan, ada perbedaan yang bermakna antara kualitas hidup subjek

yang melakukan yoga dan tidak melakukan yoga yang diukur menggunakan

kuesioner MRS.
51

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pengaruh Yoga terhadap Kualitas Hidup Terkait Kesehatan pada

Menopause

Uji analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji parametrik t test dan

uji regresi linier berganda. Sebelumnnya telah dilakukan uji normalitas

menggunakan uji Saphiro-Wilk pada total skor kualitas hidup terkait kesehatan

menggunakan kuesioner SF-36 dimana hasilnya data terdistribusi secara normal,

sehingga dilakukan uji t test dengan hasil yang didapat nilai p = 0,000, yaitu

signifikan/bermakna. Berdasarkan hasil analisis regresi linier sederhana

didapatkan koefisien regresi (1) yaitu 435,6 , hal ini menunjukkan dengan

melakukan yoga dapat menambah skor kualitas hidup terkait kesehatan sebanyak

435,6 sehingga dapat disimpulkan bahwa yoga dapat meningkatkan kualitas

hidup terkait kesehatan. Hasil ini mendukung hipotesis penelitian bahwa ada

pengaruh yoga terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada menopause.

Total skor kualitas hidup terkait kesehatan pada kelompok yang melakukan

yoga lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok yang tidak

melakukan yoga, ditunjukkan pada dimensi fungsi fisik, energi, kesehatan jiwa,

rasa nyeri, kesehatan umum, total skor dan perbedaan skor antara kedua

kelompok. Sedangkan pada dimensi peranan fisik, peranan emosi dan fungsi

51
52

sosial tidak bermakna. Hasil penelitian selanjutnya mengenai pengaruh yoga

terhadap kualitas hidup khusus menopause menggunakan kuesioner MRS

menguatkan penelitian ini, bahwa yoga berpengaruh secara signifikan terhadap

kualitas hidup menopause dilihat dari gejala-gejala yang dialami yaitu terdapat

penurunan keparahan gejala yang dialami oleh wanita menopause yang

melakukan yoga.

Pada penelitian Gibbs (2001), yoga dapat memengaruhi mekanisme

regulasi respon stres, fungsi seksual, tekanan darah, imun, metabolik, emosi dan

suhu tubuh. Melalui beberapa mekanisme inilah yang dapat menyebabkan

adanya perbedaan kualitas hidup terkait kesehatan pada wanita menopause yang

melakukan yoga dan tidak melakukan yoga.

Yoga yang dilakukan seorang wanita dapat meningkatkan pengeluaran

hormon endorphine (Yadav et al., 2012). Peningkatan hormon endorphine ini

nantinya akan memengaruhi penurunan hormon norepinefrin. Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya regulasi GnRh. Arora dan Bhattacharjee (2008)

menyatakan bahwa Yoga akan menurunkan produksi ACTH. Penurunan

produksi ACTH akan mengurangi sintesis kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol

nantinya juga cenderung untuk mengaktifkan Phenylethanolamine - N - Metil

Transferase (PNMT), penghambatan simpatik dan penurunan PNMT, serta

pembentukan katekolamin akan menurun. Penurunan tingkat kortikosteroid dan

katekolamin dikenal untuk mengurangi respon stres. Peningkatan CRH dan


53

ACTH secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan penurunan kadar

GnRH.

Yoga akan meningkatkan aktivitas parasimpatis yang menyebabkan

penurunan reaksi dari inti paragigantocelluler dari medula ke lokus seruleus.

Penurunan stimulasi lokus seruleus dapat menurunkan produksi norepinefrin,

yang menyebabkan terjadinya relaksasi, ketenangan dan mengurangi tingkat

pernapasan dan jantung. Penurunan norepinefrin pada inti paraventricular

hipotalamus akan menurunkan produksi CRH dan kortisol. Peningkatan aktivitas

parasimpatis dan penurunan resultan tekanan darah yang dapat menyebabkan

pelepasan Arginine Vasopressin (AVP). Hal ini mengakibatkan Yoga dapat

mengaktivasi korteks prefrontal dan peningkatan transmisi glutamat dalam

nukleus arkuata di hipotalamus medial sehingga akan mengakibatkan pelepasan

-endorphine (Thirthalli et al., 2013).

Endorphine akan memengaruhi berbagai fungsi hipotalamus, termasuk

pengaturan reproduksi, pengaturan suhu, kardiovaskuler dan fungsi pernafasan,

juga sebagai pengatur fungsi ekstra hipotalamik seperti persepsi nyeri dan mood.

Endorphine selanjutya akan memengaruhi pelepasan GnRH yang efek utamanya

melalui jalur katekolamin terutama norepinephrine. Endorphine juga dapat

memengaruhi pelepasan GnRH secara langsung, tanpa intermediasi neuroamin

(Anwar, 2005; Yadav et al.,2012).


54

Yoga memengaruhi beberapa kelenjar yaitu kelenjar adrenal yang nantinya

dapat menyeimbangkan kerja saraf simpatis dan parasimpatis dengan mengubah

persepsi tentang ancaman dan ketakutan. Kelenjar pankreas dapat membantu

mengurangi reaksi stres kronis dan meningkatkan detoksifikasi. Serta kelenjar

timus meningkatkan terjadinya emosi positif dan meningkatkan fungsi kekebalan

tubuh (Gibbs, 2001).

Secara fisik, relaksasi dari latihan yoga akan menimbulkan rasa nyaman

atau relaks. Dalam keadaan relaks, tubuh melalui otak akan memproduksi

endorphrine yang berfungsi sebagai analgesik alami tubuh dan dapat meredakan

rasa nyeri (keluhan-keluhan fisik). Begitupun dengan kondisi psikologis, dengan

melakukan guide imagery dan hypnosis akan terjadi pelepasan emosi-emosi

negatif seperti rasa marah, cemas, dan lain yang merupakan implikasi dari

meningkatnya kualitas hidup dari sisi psikologis (Baune, et al., 2005)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vera (2004) mendukung penlitian ini

dimana efek relaksasi dari yoga dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan

diastolik. Selanjutnya penurunan tekanan darah menyebabkan terjadinya

peningkatan kualitas hidup. Menurunnya tekanan darah pada pembuluh darah di

kepala dan otak menyebabkan turunnya rangsangan terhadap rangsangan rasa

nyeri dan sakit kepala yang diderita selama ini. Setelah dilakukan relaksasi,

beberapa subjek merasakan kondisi fisik yang berbeda, misalnya berkurangnya

sakit kepala dan kelelahan fisik serta tidak mengalami kesulitan dan gangguan
55

pada saat tidur. Istirahat yang cukup, tidak mudah mengalami kelelahan fisik.

relaksasi dapat meningkatkan aktivitas saraf parasimpatetik, meningkatkan

konsentrasi dan pengetahuan seseorang tentang sesuatu yang terjadi dibalik

ketegangan otot. Lebih jauh lagi relaksasi dapat meningkatkan kemampuan

individu dalam mengendalikan perasaannya dan meningkatkan kemampuan

dalam melakukan aktivitas fisik dan membantu penderita dalam berinteraksi di

dalam lingkungannya. Semua perubahan yang terjadi baik dari aspek fisik,

psikologis dan sosial tersebut merupakan dimensi dari kualitas hidup.

Penelitian lain yang mendukung penelitian ini yaitu penelitian oleh

Mastrengelo et al. (2005) dalam verzosa (2010) melaporkan bahwa 5 dari 6

wanita peri dan pasca menopause yang menyelesaikan program yoga 8 minggu

menunjukkan peningkatan kualitas hidup yang diukur menggunakan Menopause

Spesific Quality of Life (MENQOL). Dan dalam penelitian Verzosa (2010)

menyebutkan bahwa program yoga yang dilakukan selama 8-10 minggu

menunjukkan penurunan frekuensi hot flushes, peningkatan kualitas tidur,

penurunan gejala vasomotor dan gejala psikologis.

Faktor yang berhasil dikontrol dalam penelitian ini adalah status

pernikahan, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol, penyakit kronis, dan

status kehamilan. Penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam mengontrol

faktor perancu yang digolongkan dalam variabel luar tak terkendali seperti

faktor pengetahuan, pola hidup, tingkat stres, tingkat sosial dan ekonomi. Faktor-
56

faktor tersebut memegang peran sebagai penyebab perbedaan gejala menopause

yang dialami yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap kualitas hidup

terkait kesehatan wanita menopause (Kasdu, 2004; Potter dan Perry, 2005;

Notoatmodjo, 2005; Kavenaar, 2007).

B. Keterbatasan Penelitian

Responden yang dipilih adalah wanita usia 45-67 tahun yang telah

mengalami menopause selama rentang waktu 1-10 tahun. Rentang waktu

menopause yang terlalu lebar ini akan memengaruhi perbedaan tingkat

keparahan gejala menopause, begitu juga rentang usia subjek yang juga terlalu

lebar dapat memengaruhi perbedaan aktivitas fisik dan mental yang dialami

subjek penelitian. Seharusnya rentang waktu dan usia subjek dapat dipersempit

sehingga penelitian ini dapat lebih akurat. Pengambilan sampel yang dilakukan

hanya pada Ganeps Surakarta juga merupakan keterbatasan dalam penelitian ini

karena setiap tempat yoga memiliki intensitas dan beratnya aktivitas yang

berbeda-beda dilihat dari kegiatan sehari-hari.

Kelemahan kuesioner dalam penelitian ini bersifat kaku atau tertutup

karena pertanyaan telah ditentukan dan peneliti tidak diberi jawaban yang

menggambarkan keadaan responden. Ada kemungkinan responden kurang

serius dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Kecerobohan dalam

menjawab antara lain disebabkan keengganan untuk mengisi kuesioner dalam

waktu yang lama. Selain itu pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner
57

terbatas, sehingga apabila ada hal-hal yang kurang jelas akan sulit untuk

diterangkan kembali (Arikunto, 2006). Akibatnya, temuan dalam penelitian ini

belum dapat digeneralisasi.

SF-36 merupakan kuesioner yang bersifat generik, sehingga

dimungkinkan tidak dapat menggambarkan bagaimana sesungguhnya akibat

menopause terhadap kualitas hidup terkait kesehatan (Hobart et al., 2002).


58

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di Ganeps Surakarta dapat disimpulkan

secara statistik bahwa yoga dapat berpengaruh signifikan terhadap kualitas

hidup terkait kesehatan pada menopause. Serta, yoga dapat berpengaruh

signifikan terhadap kualitas hidup khusus menopause. Hasil dari Analisis

regresi linier menunjukkan yoga dapat meningkatkan kualitas hidup terkait

kesehatan pada menopause.

B. SARAN

1. Masyarakat utamanya wanita menopause diharapkan dapat melakukan

yoga sendiri di rumah atau di sanggar yoga sebagai upaya efektif dalam

mencegah gejala-gejala pre dan pasca menopause sehingga dapat

memengaruhi kualitas hidup wanita menopause.

2. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menggunakan alat ukur yang

lebih spesifik serta mengeksklusikan variabel-variabel lain yang juga

memengaruhi timbulnya gejala-gejala menopause.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tempat penelitian yang lebih

luas dan sampel kasus yang lebih beragam agar dapat dibuat simpulan

penelitian yang komprehensif.

58
59

DAFTAR PUSTAKA

Anwar R (2005). Sekresi gonadotropin hypofise. Fakultas Kedokteran Unpad.


Pertemuan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi bagian Obstetri dan
Ginekologi RSHS/FKUP Bandung, pp : 6-8.

Arikunto S ( 2006). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Arora S, Bhattacharjee J (2008). Modulation of immune responses in stress by Yoga.


Int J Yoga, 1(2): 4555.

Asmarani D (2011). Yoga Untuk Semua Panduan Berlatih Yoga yang Lengkap dan
Aman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, pp: 16, 72, 83.

Badan Pusat Statistik (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2013. Jakarta.


Badan Pusat Statistik.

Baune BT, Aljeesh YI, Adrian I (2005). Predictores of Quality of Life Among
Hypertensive Patients With And Without Stroke. Journal of The Islamic
University of Natural Sciences Series, 13(2) 91-107.

Baziad A (2003). Menopause, Andropause, dan Terapi Sulih Hormon. In: Baziad A
ed. Menopause dan Andropause. Jakarta Pusat: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, pp: 82-84.

BKKBN (2007). Keluarga Berencana dan kontrasepsi. Cetakan ke-5. Jakarta.


Pustaka sinar harapan.

Binfa L, Castelo-Branco C, Blmel JE (2004). Influence of psycho-social factors on


climacteric symptoms. Maturitas 48(4): 42531.

Cooper GS (2001). Measures of Menopausal Status in Relation to Demographic,


Reproductive,and Behavioral Characteristics in a Population-based
Study of Women Aged 3549 Years. Am J Epidemiol, 153 (12): 1159
1165.

Dahlan MS (2008). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta:
Salemba Medika, hal 60-65.

59
60

Fayers PM, Machin D (2007). Quality of life: the assessment, analysis, and
interpretation of patiet-reported outcomes. Edisi ke-2. England: Jhon
Wiley & Sons Ltd, hal: 4-5.

Francina S (2005). Seven Essential Poses for Crossing the Menopausal Bridge.
Health Communications, Inc, pp: 42-46.

Gibbs EA (2001). Menopause, Stress and Your Heart: A Yoga Program for Health
and Healing. University of Cambridge, Massachusetts, pp: 231-234.

Gold EB (2001). Factors Associated with Age at Natural Menopause in a Multiethnic


Sample of Midlife Woman. Am J Epidemiol, 153 (9): 865 874.

Greene JG (2002). Measuring the symptom dimension of quality of life: General and
menopause-specific scales and their subscale structure. In Hormone
replacement therapy and quality of life. The Parthenon Publishing
Group. Edited by Schneider HPG. Boca Raton, London, New York,
Washington;35-43.

Guyton AC, Hall JE (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, pp:
1065-1079.

Harmaini F (2006). Uji keandalan dan kesahihan formulir European quality of life
5 dimensions (EQ-5D) untuk mengukur kualitas hidup terkait Kesehatan
pada usia lanjut di RSUPNCM. Depok. Universitas Indonesia. Tesis.

Heinemann K, Ruebig A, Potthoff P, Schneider HPG, Strelow F, Heinemann LAJ,


Thai DM (2004). The Menopause Rating Scale: A Methodological
review. Health and Quality of Life Outcome. 2:45

Hobart JC, Williams LS, Moran K, Thompson AJ (2002). Quality of life


measurement after stroke: uses and abuses of the SF-36. Stroke, 33:1348-
1356.

Jacoeb TZ (2005). Endokrinologi Reproduksi pada Wanita. Dalam: Wiknjosastro, H,


ed. Ilmu Kandungan Ed 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 96 101

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (2010). Sinopsis Psikiatri. Terjemahan Widjaja
Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.

Kasdu D (2004). Kiat Sehat Dan Bahagia Diusia Menopause. Jakarta: Puspa Swara.
61

Kavenaar M (2007). A Polymorphism in The AMH Type II Receptor Gene Is


Associated with Age at Natural Menopause in Interaction with Parity.
Hum Reprod, 176: 1 7.

Mahan LK, Stump SE (2004). Krauses: Food, Nutrition & Diet Therapy. 13th ed.
Pennsylvania: Elsevier.

Manuaba ICM, Manuaba IBGF, Manuaba IBG (2009). Memahami Kesehatan


Reproduksi Wanita Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp:
217-220.

Martaadisoebrata D, Sastrawinata RS, Saifuddin AB (2005). Bunga Rampai: Obstetri


dan Ginekologi Sosial. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Mastrangelo MA, Galantino ML (2005). Effects of yoga on quality of life and


flexibility in perimenopausal and postmenopausal women. Medicine and
Science in Sport and Exercise, 37(5), S75.

Murti B (2011). Desain Studi. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. Fakultas


Kedokteran. Universitas Sebelas Maret, p: 7.

Nindhi R, Padmalatha V, Nagarathna R, Amritanshu R (2012). Effect of holistic yoga


program on anxiety symptoms in adolescent girls with polycistic ovarian
syndrome: Arandomized control trial. Int J Yoga, 5(2): 112-7.

Notoatmodjo S (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Potter PA, Perry AG (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: EGC.

Rahman A, Zainudin S, Karmun V (2010). Assesment of Menopausal Symptoms


Using Modified Menopause Rating Scale Among Middle Age Women in
Kuching, Sarawak, Malaysia. Asia Pasific Family Medicine; 9:5.

RAND (2009). Scoring Instructions for The 36-item Short Form Survey (SF-36).

Ribeiro S (2013). Iyengar Yoga Therapy as an Intervention for Cramp Management


in Individuals with Amyotrophic Lateral Sclerosis: Three Case Reports. J
Altern Complement Med.

Rostiana T (2009). Kecemasan pada wanita yang menghadapi menopause. Fakultas


Psikologi, Universitas Gunadarma. Depok.
62

Santana MJ , S-Parrilla J, Mirus J, Loadman M, Lien DC, Feeny D (2013). An


assessment of the effects of iyengar yoga practice on the health-related
quality of life of patients wsith chronicrespiratory diseases: a pilot study.
Can Respir J, 20(2): e17-23.

Sherwood L (2011). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke 6. Jakarta: EGC.

Sierra S (2007). Yoga Beauty for Girls. Bekasi: Eviexena Mediatama, pp: 2-4.

Sindhu P (2006). Hidup Sehat dan Seimbang dengan Yoga. Jakarta. Qanita, p: 201.

Sindhu P (2009a). Hidup Sehat dan Seimbang dengan Yoga: Daily Practice.
Bandung: Qanita.

Sindhu P (2009b). Yoga untuk Kehamilan: Sehat, Bahagia, dan Penuh Makna.
Bandung: Qanita, pp:1-2.

Soewondo P (2007). Menopause, Andropause dan Somatisasi Perubahan Hormonal


pada Proses Menua. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus,
Simadibrata K, Setiati S, ed. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4 Jilid 3.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Depok.

Spencer FR and Brown P (2007). Simple Guides: Menopause. Jakarta: Erlangga, pp:
20-23.

Telles S, Gaur V, Balkrishna A (2009). Effect of a yoga practice session and a yoga
theory session on state anxiety. Percept Mot Skills, 109(3): 924-30.

Thirthalli J, Naveen GH, Rao MG, Varambally S, Christopher R, Gangadhar BN.


Cortisol and antidepressant effects of yoga. Indian J Psychiatry, 55
(Suppl 3):S405-8.

Trisetiyaningsih Y (2014). Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Menopause


terhadap Perubahan Kualitas Hidup Perempuan Klimakterik.
Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. Tesis, p: 1.

Varney H (2007). Buku Ajar Kebidanan. Jakarta: EGC.

Vaze N, Joshi S (2010). Yoga and menopausal transition. Journal of Mid-life Health,
1 (2): 56-58.

Vera MPG (2004). Blood Pressure Vari-ability and stress Management Train-ing for
Essnetial Hypertension. Behav-ioral Medicine, 30(2), 53-62.
63

Verzosa S (2010). Influence of Yoga on Hormonal Changes, Quality of Life, and


Musculoskeletal Fitness in Menopausal Women. University of British
Columbia, pp: 41-42.

Widyantoro Y (2010). Yoga yuk, Biar Fit: Fit Pikiran, Tubuh, dan Jiwa. Jakarta:
Raketindo Primamedia Mandiri.

Wirakusumah ES (2004). Agar Tetap Sehat Cantik dan Bahagia di Masa Menopause
dengan Terapi Estrogen Alami. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Yadav RK, Magan D, Mehta N, Sharma R, Mahapatra SC (2012). Efficacy of a


Short-Term Yoga-Based Lifestyle Intervention in Reducing Stress and
Inflammation: Preliminary Results. The Journal of Alternative and
Complementary Medicine, 18(7): 662-667.

Anda mungkin juga menyukai