Anda di halaman 1dari 141

DIKTAT MATA KULIAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Civic Education

Dikdik Baehaqi Arif

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN


YOGYAKARTA
2012
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penyusunan Diktat Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) ini dapat diselesaikan. Diktat yang hadir di
hadapan sidang pembaca ini diniati untuk memenuhi bahan bacaan pada
perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan yang penulis sampaikan di Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi termasuk
dalam Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Mata kuliah
ini dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang
pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga
negara serta pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi
warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Kompetensi dasar
yang diharapkan dimiliki mahasiswa setelah mengikuti mata kuliah ini adalah
menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki daya
saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang
damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Sebagian besar naskah diktat ini merupakan hasil kajian pustaka dari
berbagai literatur. Penulisan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga
harapannya materi-materi yang disajikan dapat mudah dicerna oleh mahasiswa.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan
diktat ini. Semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang terbaik. Amiin.
Secara khusus untuk istri tercinta Astri Fatimah dan anak tersayang Rakan Azka
Baqi Baehaqi (Rakan) yang bibirnya tiada kering berdoa untuk kebaikan
keluarga, semoga Allah senantiasa menjadikan keduanya sumber kesejukan bagi
penulis.

Yogyakarta, 17 Maret 2012

Penulis

Pendidikan Kewarganegaraan| i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii

BAB 1 MEMAHAMI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


DI PERGURUAN TINGGI 1
Hakikat dan Rasional Pendidikan Kewarganegaraan 1
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional 3
Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan 4
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian 6

BAB 2 IDENTITAS NASIONAL 11


Pengertian Identitas Nasional 11
Konsep Bangsa Indonesia 12
Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional 17
Identitas Nasional Indonesia 18

BAB 3 HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA 21


Konsep Warga Negara dan Kewarganegaraan 21
Asas-asas Kewarganegaraan 25
Persoalan Kewarganegaraan 27
Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan 30
Hak dan Kewajiban Warga Negara 32

BAB 4 DEMOKRASI 35
Konsep Demokrasi 35
Demokratisasi 41
Landasan Pengembangan Demokrasi 45

BAB 5 NEGARA DAN KONSTITUSI 47


Pengertian Negara 47
Unsur-unsur Negara 49
Sifat-sifat Negara 50
Fungsi dan Tujuan Negara 51
Pengertian Konstitusi 52
UUD 1945 dan Perubahannya 56

BAB 6 HAK ASASI MANUSIA 70


Konsep Dasar Hak Asasi Manusia 70
Kategori Hak Asasi Manusia 73

Pendidikan Kewarganegaraan| iii


Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia 76
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia 77
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 79
Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 79
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan 81

BAB 7 SISTEM PEMERINTAHAN DAN OTONOMI


DAERAH 86
Karakteristik Sistem Pemerintahan 86
Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial 87
Sistem Pemerintahan dan Indonesia 89
Otonomi Daerah 92
Pengertian Otonomi Daerah 92
Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah 93
Pembagian Urusan Pemerintahan 94
Hak dan Kewajiban Daerah Otonom dalam Otonomi Daerah 96

BAB 8 WAWASAN NUSANTARA 98


Konsep Geopolitik 98
Pengertian Geopolitik 98
Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia 99
Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia 102
Konsep Dasar Wawasan Nusantara 102
Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia 105
Landasan Wawasan Nusantara Indonesia 109

BAB 9 KETAHANAN NASIONAL 110


Geostrategi dan Geostrategi Indonesia 110
Model-model Ketahanan Nasional 112
Ketahanan Nasional sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia 113

DAFTAR PUSTAKA 117

LAMPIRAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(dalam Satu Naskah) 120

iv |Dikdik Baehaqi Arif


Bab 1
Memahami Pendidikan Kewarganegaraan
di Perguruan Tinggi

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas tentang hakikat dan rasional Pendidikan Kewarganegaraan, dan
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum Nasional yang meliputi di dalamnya
Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan dapat memiliki kemampuan
untuk:
Menjelaskan hakikat dan rasional pendidikan kewarganegaraan
Mengidentifikasi karakteristik pendidikan kewarganegaraan untuk program kurikuler
di persekolahan dan di perguruan tinggi
Mendeskripsikan perbedaan pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler,
sebagai program sosio-kultural, dan sebagai kajian ilmiah/akademik
kewarganegaraan
Menganalisis perkembangan dan substansi Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi

Kata kunci
Civic education, citizenship education, school civic education, kewiraan, MPK

HAKIKAT DAN RASIONAL PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan adalah terjemahan dari istilah asing civic education
atau citizenship education. Terhadap dua istilah ini, John C. Cogan telah
membedakan dengan mengartikan civic education sebagai ...the foundational
course work in school designed to prepare young citizens for an active role in
their communities in their adult lives (Cogan, 1999:4), atau suatu mata pelajaran
dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar
kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan
citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang
lebih luas yang mencakup ...both these in-school experiences as well as out-of
school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the
religious organization, community organizations, the media, etc which help to
shape the totality of the citizen (Cogan, 1999:4). Artinya, pendidikan
kewarganegaraan merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar

Pendidikan Kewarganegaraan| 1
di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam
organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.
Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa Citizenship or Civics
Education is construed broadly to encompass the preparation of young people for
their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education
(through schooling, teaching and learning) in that preparatory process. (Kerr,
1999:2). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan
dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk
mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara
khusus, peran pendidikan (termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan
belajar) dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Untuk konteks di
Indonesia, citizenship education oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah
pendidikan kewarganegaraan (ditulis dengan menggunakan huruf kecil semua)
(Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra,
2002).untuk kepentingan penulisan diktat ini kedua istilah tersebut digunakan
secara bertukar pakai sebagai Pendidikan Kewarganegaraan.
Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship
education lebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan
cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di dalamnya
pendidikan kewarganegaraan dalam arti khusus (civic education). Citizenship
education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga negara
muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang
civic education adalah citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan.
Zamroni juga telah membedakan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan
kewarganegaraan dimaknai sebagai pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk
mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi
adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga
masyarakat (ICCE, 2003). Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak
dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi
tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.
Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku
politik sehingga yang bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness,
attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil
keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat,
dan bangsa (ICCE, 2003).

2 |Dikdik Baehaqi Arif


Mempertegas tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, Cholisin
(Samsuri, 2011) berpandangan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
pendidikan politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam
kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina
peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi
warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Sejalan dengan
pendapat Cholisin di atas, Soedijarto (dalam ICCE, 2003) juga mengartikan
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk
membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa
dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang demokratis.
Sementara itu, berkaitan dengan konsep Pendidikan Kewargaan, Azra
(dalam ICCE, 2003) memandang bahwa secara substantif istilah Pendidikan
Kewargaan tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas
dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan
Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi
warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan
secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan Kewarganegaraan.
Hal ini sejalan dengan pembedaan pengertian civic education dan citizenship
education di atas.
Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga domain,
yakni 1) domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosial-kultural
(Winataputra, 2001). Domain akademik adalah berbagai pemikiran tentang
Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang di lingkungan komunitas
keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis pendidikan
kewarganegaraan dalam lingkup pendidikan formal dan nonformal. Sedangkan
domain sosial kultural adalah konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di
lingkungan masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011:97). Ketiga komponen tersebut
secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan
warga negara yang baik (good citizens), yang memiliki pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak kewarganegaraan
(civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skill).

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM


KURIKULUM NASIONAL
Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan
Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi

Pendidikan Kewarganegaraan| 3
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut dapat kita temui dalam Pasal 37 ayat (1)
dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a) Pendidikan Agama, b) Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa dan
kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a) Pendidikan Agama; b)
Pendidikan Kewarganegaraan; c) Bahasa. Pendidikan Kewarganegaraan
sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Sistem
Pendidikan Nasional, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Adanya ketentuan tentang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai muatan
wajib pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukkan bahwa
mata pelajaran/mata kuliah ini menempati kedudukan yang strategis dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 ayat 2 UU Sistem
Pendidikan Nasional). Bahkan dalam pandangan Winataputra (2004) secara
filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan
memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.

Pedidikan Kewarganegaraan Persekolahan


Secara historis, Pendidikan Kewarganegaraan persekolahan (school civic
education) di Indonesia mengalami fluktuasi terutama dalam penamaan dan
konten materi. Pertama kali muncul dengan nama Kewarganegaraan (1957),
kemudian secara berturut-turut berubah menjadi Civics (1961), Pendidikan
Kewargaan Negara (1968), Pendidikan Moral Pancasila (1975), Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (1994), Kewarganegaraan (Uji Coba Kurikulum
2004) dan terakhir dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan (2006).
Dalam Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana tertuang
dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,

4 |Dikdik Baehaqi Arif


dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran
ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah disusun delapan ruang lingkup
materi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan,
Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah
Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi
dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Keterbukaan dan jaminan keadilan;
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga,
Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-
peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan Sistem hukum dan peradilan nasional;
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban
anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, dan
Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM;
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri
sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, dan
Persamaan kedudukan warga negara;
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang
pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, dan
Hubungan dasar negara dengan konstitusi;
6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan

Pendidikan Kewarganegaraan| 5
sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat
madani, Sistem pemerintahan, dan Pers dalam masyarakat demokrasi;
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan Pancasila sebagai
ideologi terbuka;
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.
Dalam proses pembelajaran, kedelapan ruang lingkup materi pendidikan
persekolahan di atas selanjutnya diperinci ke dalam Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar.

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan


Kepribadian
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, secara yuridis,
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki kedudukan yang cukup kuat, hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan
memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and
character building.
Secara historis, awal mulai dilaksanakannya Pendidikan Kewarganegaraan
pada perguruan tinggi di Indonesia bertujuan untuk dapat melaksanakan UU No.
29 Tahun 1954 tentang Sistem Pertahanan Negara. UU ini disusun berdasarkan
pengalaman masa perang kemerdekaan, pemberontakan dalam negeri serta
persiapan merebut Irian Barat. Oleh karena itu dibuat program wajib latih bagi
sivitas akademika di perguruan tinggi, yaitu Latihan Kemiliteran Dosen dan
Latihan Kemiliteran Mahasiswa (LKM), dan Pendidikan Pendahuluan Pertahanan
Rakyat yang dikenal sebagai P3R bagi SD, SLP dan SLA.
Dalam perkembangannya, peminat LKM makin besar apalagi setelah
diperkenalkan program Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) yang menitikberatkan
pada pendidikan fisik untuk bela negara dalam rangka ketahanan nasional.
Selanjutnya dibentuk Resimen Mahasiswa (Menwa) yang keanggotaanya bersifat

6 |Dikdik Baehaqi Arif


individu dan tidak terkait dengan organisasi perguruan tinggi. Karena Menwa
merupakan bagian dari pertahanan sipil, pembinaannya dilakukan oleh
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Departemen Pertahanan dan
Keamanan (Dephankam). Dalam perjalanan selanjutnya, Menwa diputuskan ada
pada setiap perguruan tinggi (sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat
sukarela), sehingga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) turut
ikut membina. Dalam pada itu, bagi mahasiswa yang tidak tergabung dalam
Menwa diberikan matakuliah Pendidikan Kewiraan yang bersifat wajib
berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menhankam dan Mendikbud dan
berlaku efektif sejak tahun 1974.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (2) UU No. 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia dinyatakan sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan
dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan
bela negara sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem pendidikan
nasional (Pasal 18).
2. Pendidikan pendahuluan bela negara wajib diikuti oleh setiap warga
negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
a) pertama tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah
dan dalam gerakan Pramuka.
b) Tahap lanjutan dalam bentuk pendidikan kewiraan pada tingkat
pendidikan tinggi. (Pasal 19 ayat [2])
Dengan demikian, berdasarkan UU No. 20 Tahun 1982 tersebut,
Pendidikan Kewiraan didudukkan sebagai Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
(PPBN) bagi mahasiswa, sedangkan bagi siswa pada pendidikan dasar dan
menengah mereka tergabung dalam gerakan Pramuka.
Pada tanggal 1 Februari 1985, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama
Mendikbud dan Menhankam yang menyatakan bahwa Pendidikan Kewiraan
dimaksudkan ke dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) pada
semua perguruan tinggi. Dan sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatatakan bahwa Pendidikan Bela Negara
dan Pendidikan Kewiraan termasuk dalam Pendidikan Kewarganegaraan
(Penjelasan Pasal 39 ayat [2]). Kurikulum mata kuliah ini meliputi: 1)
pengetahuan dan hubungan antara warganegara dan hubungan warganegara
dengan negara, serta 2) Pendidikan Kewiraan/PPBN tahap lanjut, agar peserta
didik menjadi warga negara yang handal.

Pendidikan Kewarganegaraan| 7
Apa sebenarnya Pendidikan Kewiraan itu? Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas) merumuskan pengertian Pendidikan Kewiraan sebagai sebagai usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan,
kesetiaan, keberanian untuk berkorban membela bangsa dan tanah air Indonesia
(Lemhannas, 1999:4). Pendidikan Kewiraan dimaksudkan untuk memperluas
cakrawala berfikir mahasiswa sebagai warga negara Indonesia sekaligus sebagai
pejuang bangsa dalam usaha menciptakan serta meningkatkan kesejahteraan dan
keamanan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara demi
terwujudnya aspirasi perjuangan nasional dengan tujuan untuk memupuk
kesadaran bela negara dan berfikir komprehensif integral (terpadu) di kalangan
mahasiswa dalam rangka ketahanan nasional.
Pada tahun 2000-an, substansi mata kuliah Pendidikan Kewiraan sebagai
pendidikan pendahuluan bela negara direvisi dan selanjutnya namanya diganti
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti
No.267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Perubahan ini dilakukan karena
mata kuliah Pendidikan Kewiraan terlalu condong atau lebih berorientasi pada
aspek bela negara dalam konteks memenuhi kebutuhan pertahanan. Sebagaimana
penjelasan S. Soemiarno (tt) bahwa muatan tentang pengetahuan dan kemampuan
hubungan warga negara dengan negara agak sulit diformulasikan sehingga
meskipun dengan nomenklatur baru, muatannya masih lebih menitikberatkan pada
Pendidikan Kewiraan. Dalam analisis Cipto, et all (2002:ix) metode pengajaran
yang diterapkan dalam Pendidikan Kewiraan lebih bersifat indoktrinatif yang
hanya menyentuh aspek kognitif, sedangkan aspek sikap dan perilaku berlum
tersentuh.
Memperjelas kedua pandangan tersebut, Tukiran, dkk (2009:12)
memerinci kekurangberhasilan Pendidikan Kewiraan yang disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, secara substantif, Pendidikan Kewiraan tidak secara
terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada
pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang ada umumnya
terpusat pada pembahasan yang idealistik, legalistik, dan normatif. Kedua,
kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi pendidikan
demokrasi dan PKn, potensi itu tidak berkembang karena pendekatan dan
pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak
partisipatif. Ketiga, ketiga subjek itu lebih bersifat teoretis daripada praktis.
Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin
disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002
dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

8 |Dikdik Baehaqi Arif


Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi merupakan Mata Kuliah Kelompok
Pengembangan Kepribadian (MPK) yang memiliki visi, misi, dan standar
kompetensi sebagai berikut:
1. Visi kelompok MPK: sebagai sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia
seutuhnya.
2. Misi kelompok MPK: membantu mahasiswa memantapkan
kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar
keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang
hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung
jawab.
3. Standar Kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasasi mahasiswa
meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan
kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis:
bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan
bersikap demokratis yang berkeadaban.
Sedangkan kompetensi dasar mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki
daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan
yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Menurut Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan dirancang untuk memberikan
pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar
berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan
bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh
bangsa dan negara.
Pentingnya bela negara oleh warga negara melalui penyelenggaraan
Pendidikan Kewarganegaraan semakin ditegaskan dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara. Dalam rumusan Pasal 9 ayat (1) dan (2) dapat ditemui
bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara
yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara (ayat 1), sedangkan

Pendidikan Kewarganegaraan| 9
dalam ayat (2) dijelaskan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela
negara tersebut diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela
atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi.
Substansi kajian mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Filsafat
Pencasila, Identitas Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi Indonesia, HAM
dan Rule of Law, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Geopolitik Indonesia, dan
Geostrategi Indonesia.

10 |Dikdik Baehaqi Arif


Bab 2
Identitas Nasional

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas tentang pengertian identitas nasional, konsep bangsa Indonesia, dan
faktor-faktor pembentuk identitas nasional, dan identitas Indonesia.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Menjelaskan konsep identitas nasional, konsep bangsa, dan konsep bangsa Indonesia.
Mengidentifikasikan faktor-faktor pembentuk identitas nasional.
Menganalisis identitas nasional Indonesia

Istilah kunci
Identitas nasional, bangsa, bangsa Indonesia

PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL


Istilah identitas nasional (national identity) berasal dari kata identitas dan
nasional. Identitas (identity) secara harfiah berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau
jatidiri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan
yang lain (ICCE, 2005:23). Sedangkan kata nasional (national) merupakan
identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat
oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, bahasa maupun non
fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas
bangsa melahirkan tindakan kelompok (collective action yang diberi atribut
nasional) yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk organisasi atau pergerakan-
pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional (ICCE, 2005:25).
Menurut Kaelan (2007), identitas nasional pada hakikatnya adalah
manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek
kehidupan satu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang
khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Nilai-
nilai budaya yang berada dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara
dan tercermin di dalam identitas nasional, bukanlah barang jadi yang sudah selesai
dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang
cenderung terus menerus berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang
dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas
nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar tetap
relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.

Pendidikan Kewarganegaraan| 11
Artinya, bahwa identitas nasional merupakan konsep yang terus menerus
direkonstruksi atau dekonstruksi tergantung dari jalannya sejarah.
Hal itu terbukti di dalam sejarah kelahiran faham kebangsaan
(nasionalisme) di Indonesia yang berawal dari berbagai pergerakan yang
berwawasan parokhial seperti Boedi Oetomo (1908) yang berbasis subkultur
Jawa, Sarekat Dagang Islam (1911) yaitu entrepreneur Islam yang bersifat
ekstrovet dan politis dan sebagainya yang melahirkan pergerakan yang inklusif
yaitu pergerakan nasional yang berjati diri Indonesianess dengan
mengaktualisasikan tekad politiknya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dari keanekaragaman subkultur tadi terkristalisasi suatu core culture yang
kemudian menjadi basis eksistensi nation-state Indonesia, yaitu nasionalisme.
Identitas nasional sebagai suatu kesatuan ini biasanya dikaitkan dengan
nilai keterikatan dengan tanah air (ibu pertiwi), yang terwujud identitas atau jati
diri bangsa dan biasanya menampilkan karakteristik tertentu yang berbeda dengan
bangsa-bangsa lain, yang pada umumnya dikenal dengan istilah kebangsaan atau
nasionalisme. Rakyat dalam konteks kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada
mereka yang berada pada status sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh
struktur sosial yang ada. Semua terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka
adalah satu. Bahkan ketika berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas
pada realitas yang dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang
hidup saat ini, melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang
belum lahir. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hakikat identitas
nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai
penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD
1945, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi serta
mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam
pergaulan baik dalam tataran nasional maupun internasional dan lain sebagainya.

KONSEP BANGSA INDONESIA


Identitas nasional berkaitan dengan konsep bangsa. Apakah bangsa itu?
Pengertian bangsa (nation) dalam konsep modern, tidak terlepas dari seorang
cendekiawan Prancis, Ernest Renan (1823-1892), seorang filsuf, sejarahwan dan
pemuka agama dalam esainya yang terkenal Quest-ce quune nation? yang
disampaikan dalam kuliah di Universitas Sorbonne pada tahun 1882. Dalam
esainya tersebut dia menyatakan bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang
memiliki kehendak bersatu sehingga merasa dirinya adalah satu. Menurut Renan,

12 |Dikdik Baehaqi Arif


faktor utama yang menimbulkan suatu bangsa adalah kehendak bersama dari
masing-masing warga untuk membentuk suatu bangsa (Soeprapto, 1994:115)
Lain halnya dengan Otto Bauer (1881-1934) seorang legislator dan
seorang theoreticus, menyebut bahwa bangsa adalah suatu persatuan
karakter/perangai yang timbul karena persatuan nasib. Otto Bauer lebih
menekankan pengertian bangsa dari karakter, sikap dan perilaku yang menjadi
jatidiri bangsa dengan bangsa yang lain. Karakter ini terbentuk karena
pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan
tumbuhkembangnya bangsa (Soeprapto, 1994:114).
Dalam pandangan Tilaar (2007:29), bangsa adalah suatu prinsip spiritual
sebagai hasil dari banyak hal yang terjadi dalam sejarah manusia. Bangsa adalah
keluarga spiritual dan tidak ditentukan oleh bentuk bumi misalnya. Apa yang
disebut prinsip spiritual atau jiwa dari bangsa? Terdapat dua hal dalam prinsip
spiritual tersebut: 1) terletak pada masa lalu, dan 2) terletak pada masa kini. Pada
masa lalu suatu komunitas mempunyai sejarah atau memori yang sama. Pada
masa kini, komunitas tersebut mempunyai keinginan untuk hidup bersama atau
suatu keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah diperoleh oleh
seorang dari upaya-upaya masa lalu, perngorbanan-pengorbanan dan pengabdian.
Masa lalu merupakan modal sosial (social capital) dimana di atasnya dibangun
cita-cita nasional. Jadi suatu bangsa mempunyai masa jaya yang lalu dan
mempunyai keinginan yang sama di masa kini. Berdasarkan spirit tersebut itulah
manusia bersepakat untuk berbuat sesuatu yang besar. Rasa kejayaan atau
penderitaan masa lalu adalah lebih penting dari perbedaan ras dan budaya.
Dengan demikian suatu bangsa adalah suatu masyarakat solidaritas dalam skala
besar. Solidaritas tersebut disebabkan oleh pengorbanan yang telah diberikan pada
masa lalu dan bersedia berkorban untuk masa depan (Tilaar, 2007:29).
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (Soeprapto, 1994:115), dijelaskan
definisi bangsa menurut hukum, yaitu rakyat atau orang-orang yang berada di
dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisir. Kelompok orang-orang satu
bangsa ini pada umumnya menempati bagian atau wilayah tertentu, berbicara
dalam bahasa yang sama (meskipun dalam bahasa-bahasa daerah), memiliki
sejarah, kebiasaan, dan kebudayaan yang sama, serta terorganisir dalam suatu
pemerintahan yang berdaulat.
Dari definisi tersebut, nampak bahwa bangsa adalah sekelompok manusia
yang:
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib
sepenanggungan.

Pendidikan Kewarganegaraan| 13
3. Memiliki adat, budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman
hidup bersama.
4. Memiliki karakter, perangai yang sama yang menjadi pribadi dan
jatidirinya.
5. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
6. Terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga mereka
terikat dalam suatu masyarakat hukum.
Lalu apakah bangsa Indonesia itu? Perkembangan masyarakat yang kini
menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia telah melalui suatu jarak waktu yang
panjang, yaitu ketika masyarakat itu masih bertegak dan hidup dalam negara
atau kerajaan-kerajaan Nusantara (Gonggong, 2000:x). Tentang hal ini amatlah
menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz (2000), antropolog
kondang yang dianggap sebagai ahli Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh
Gonggong (2000:x) berikut:
Ketika kita menyaksikan panorama Indonesia saat ini, rasanya kita sedang
menyusun suatu sinopsis masa lalu yang tanpa batas, seperti kalau kita
melihat benda-benda peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam
lapisan dalam situs arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan di
atas sebuah meja sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah
manusia sepanjang ribuan tahun. Semua arus kultural yang sepanjang tiga
milennia, mengalir berurutan, memasuki Nusantara dari India, dari Cina,
dari Timur Tengah, dari Eropa terwakili di tempat-tempat tertentu: di
Bali yang Hindu, di permukiman Cina di Jakarta, Semarang atau
Surabaya, di pusat-pusat Muslim di Aceh, Makasar atau Dataran Tinggi
Padang; di daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis, atau
daerah-daerah Flores dan Timor yang Katolik.
Lebih lanjut, Geertz menunjukkan fakta tentang situasi masyarakat
Indonesia, sebagai berikut:
Rentang struktur sosialnya juga lebar, dan merangkum: sistem-sistem
kekuasaan Melayu-Polynesia di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi,
desa-desa tradisional di dataran rendah di sepanjang sungai Jawa Tengah
dan Jawa Timur; desa-desa nelayan dan penyelundupan yang berorientasi
pasar di pantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi; ibu-ibu kota provinsi
yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan pulau-pulau seberang; dan
kota-kota metropolitan yang besar, terasing, dan setengah modern seperti
Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar. Keanekaragaman bentuk
perekonomian sistem-sistem stratifikasi, atau aturan kekerabatan juga
melimpah ruah.
Apa yang diterangkan di atas barulah hal-hal yang berkaitan dengan
kebudayaan yang dilatari oleh perjalanan sejarah yang panjang. Dilihat dari segi
agama, keyakinan, budaya, dan suku bangsa, Indonesia adalah satu contoh negara

14 |Dikdik Baehaqi Arif


yang paling beragam. Bahkan menurut Geertz (1996) sebagaimana dikemukakan
F Budi Hardiman (2005:viii) dalam pengantarnya untuk buku Kewarganegaraan
Multikultural karya Will Kymlicka, menyatakan sebagai berikut:
Indonesia ini sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan
anatominya secara persis. Negara ini bukan saja multi-etnis (Dayak, Kutai,
Makasar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Flores, Bali, dan seterusnya),
tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh multi-mental dan
ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme,
Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, dan seterusnya). Indonesia
demikian tulisnya, adalah sejumlah bangsa dengan ukuran, makna dan
karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang
bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung
menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama.
Memperkuat pernyataan Geertz di atas, Kusumohamidjojo (2000:16)
melukiskan kebhinnekaan Indonesia, yang kenyataannya sudah diketahui dan
ditandai ketika para penjelajah mancanegara mulai mendarati pantai-pantai
kepulauan Nusantara itu ke dalam dua dimensi, geografis dan etnografis.
Pertama, dimensi geografis sebagaimana merupakan hasil pengamatan
dari Alfred Wallace dan Weber yang kemudian dikukuhkan dalam Geografi
sebagai Garis Wallacea yang membentang dari Laut Sulu di utara melalui selat
Makasar hingga ke Selat Lombok di selatan, dan Garis Weber yang membentang
dari pantai barat Pulau Halmahera di utara melalui Laut Seram hingga ke Laut
Timor di selatan. Garis Wallacea dan Weber secara fisiko-geografis membedakan
Dangkalan Sunda di sebelah Barat (yang meliputi pulau-pulau Sumatera,
Kalimantan, Jawa, dan Bali) dari Dangkalan Indonesia Tengah (yang meliputi
pulau-pulau Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Nusa Tenggara sebelah Barat),
dan dari Dangkalan Sahul di sebelah timur (yang meliputi kepulauan Halmahera,
Aru dan Papua). Kebedaan itu merupakan akibat dari proses perkembangan fisiko-
geografis yang ditinggalkan oleh akhir Zaman Es. Kebedaan geografis itu
berakibat menentukan pada kebedaan dunia flora dan fauna dari masing-masing
kelompok kepulauan itu.
Dimensi kedua adalah dimensi yang etnografis, yang merupakan
perpaduan konsekuensi dari dimensi fisiko-geografis dan proses migrasi bangsa-
bangsa purba. Dalam kerangka dimensi entografis itu kita lalu dapat melihat
adanya perbedaan etnis pada penduduk yang mendiami berbagai pulau-pulau
Nusantara. Dari hasil penelitian yang dilakukan seorang antropolog Junus
Melalatoa (1995) yang kemudian hasil penelitian ini diterbitkan sebagai
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Depdikbud, 1995) diketahui adanya tidak
kurang dari 500 suku bangsa yang mendiami wilayah negara yang kita sepakati

Pendidikan Kewarganegaraan| 15
bersama-sama bernama Indonesia ini, mereka mendiami sekitar 17.000 pulau
besar dan kecil, berpenghuni atau tidak berpenghuni.
Uraian di atas sebenarnya menunjukkan bahwa betapa sulitnya
merumuskan apakah bangsa Indonesia itu sebenarnya. Tentu saja akan banyak
pengertian yang muncul. Presiden Soekarno, menyatakan bahwa bangsa Indonesia
adalah seluruh manusia yang menurut wilayahnya telah ditentukan untuk tinggal
secara bersama di wilayah nusantara dari ujung Barat (Sabang) sampai ujung
Timur (Merauke) yang memiliki Le desir detre ensemble (kehendak bersama,
pendapat Ernest Renan) dan Charactergemeinschaft (persatuan karakter,
menurut Otto Bauer) yang telah menjadi satu (Winarno, 2007:42).
Tilaar (2007:38) mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah suatu
kesatuan sosial yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami wilayah
negara kesatuan republik Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan.
Seorang merupakan bangsa Indonesia kalau dia itu menganggap bagian dari
nation Indonesia, yaitu suatu kesatuan solidaritas dari seseorang tehadap tujuan
bersama masyarakat Indonesia. Kesatuan solidaritas itu berasal dari nation-nation
yang sudah lama ada di kepulauan nusantara, seperti bangsa Jawa, bangsa
Minang, bangsa Minahasa, bangsa Papua. Demikian pula suku bangsa yang
lainnya di nusantara termasuk suku-suku keturunan Cina, Arab, dan lainnya yang
telah menganggap kepulauan nusantara ini sebagai tanah airnya.
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia (Winarno,
2007:42) adalah sebagai berikut:
1. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama di bawah penjajahan
bangsa asing lebih kurang 350 tahun.
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu
penjajahan.
3. Adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang
membentang dari Sabang sampai Merauke.
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan
sebagai suatu bangsa.
Keanggotaan seseorang sebagai bangsa Indonesia bukan berarti ia
melepaskan keanggotaan dari suatu kesatuan sosial lainnya seperti
keanggotaannya sebagai suku Jawa, sebagai umat penganut dari suatu agama.
Menurut Tilaar (2007:32), seseorang termasuk bangsa Indonesia adalah seseorang
yang memiliki perilaku tertentu yang merupakan perilaku Indonesia, perasaan-
perasaan tertentu yang merupakan jati diri (identitas) bangsa Indonesia.

16 |Dikdik Baehaqi Arif


FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IDENTITAS NASIONAL
Proses pembentukan bangsa negara membutuhkan identitas-identitas untuk
menyatukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang
diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa menurut Ramlan Surbakti
(1999) meliputi primordial, sakral, tokoh, kesediaan bersatu dalam perbedaan,
sejarah, perkembangan ekonomi, dan kelembagaan (Ramlan Surbakti, 1999).
Pertama, faktor-faktor primordial ini meliputi: kekerabatan (darah dan
keluarga), kesamaan suku bangsa, daerah asal (home land), bahasa dan adat
istiadat. Faktor primodial merupakan identitas yang khas untuk menyatukan
masyarakat Indonesia sehingga mereka dapat membentuk bangsa negara. Kedua,
Faktor sakral dapat berupa kesamaan agama yang dipeluk masyarakat atau
ideologi doktriner yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. Agama dan
ideologi merupakan faktor sakral yang dapat membentuk bangsa negara. Faktor
sakral ikut menyumbang terbentuknya satu nasionalitas baru. Negara Indonesia
diikat oleh kesamaan ideologi Pancasila.
Ketiga, tokoh. Kepemimpinan dari para tokoh yang disegani dan dihormati
oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan bangsa negara.
Pemimpin di beberapa negara dianggap sebagai penyambung lidah rakyat,
pemersatu rakyat dan simbol pemersatu bangsa yang bersangkutan. Contohnya
Soekarno di Indonesia, Nelson Mandela di Afrika Selatan, Mahatma Gandhi di
India, dan Tito di Yugoslavia.
Keempat, prinsip kesediaan warga bangsa bersatu dalam perbedaan (unity
in deversity). Yang disebut bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan warga
bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan pemerintahnya tanpa
menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat, ras, agamanya.
Sesungguhnya warga bangsa memiliki kesetiaan ganda (multiloyalities). Warga
setia pada identitas primordialnya dan warga juga memiliki kesetiaan pada
pemerintah dan negara, namun mereka menunjukkan kesetiaan yang lebih besar
pada kebersamaan yang terwujud dalam bangsa negara di bawah satu pemerintah
yang sah. Mereka sepakat untuk hidup bersama di bawah satu bangsa meskipun
berbeda latar belakang. Oleh karena itu, setiap warga negara perlu memiliki
kesadaran akan arti pentingnya penghargaan terhadap suatu identitas bersama
yang tujuannya adalah menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam
perbedaan (unity in deversity) suatu solidaritas yang didasarkan pada kesantunan
(civility).
Kelima, sejarah. Persepsi yang sama diantara warga masyarakat tentang
sejarah mereka dapat menyatukan diri dalam satu bangsa. Persepsi yang sama
tentang pengalaman masa lalu, seperti sama-sama menderita karena penjajahan,

Pendidikan Kewarganegaraan| 17
tidak hanya melahirkan solidaritas tetapi juga melahirkan tekad dan tujuan yang
sama antar anggota masyarakat itu.
Keenam, perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan
spesialisasi pekerjaan profesi sesuai dengan aneka kebutuhan masyarakat.
Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan masyarakat, semakin saling
tergantung diantara jenis pekerjaan. Setiap orang akan saling bergantung dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Semakin kuat saling ketergantungan anggota
masyarakat karena perkembangan ekonomi, akan semakin besar solidaritas dan
persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi karena perkembangan
ekonomi oleh Emile Durkheim disebut Solidaritas Organis. Faktor ini berlaku di
masyarkat industri maju seperti Amerika Utara dan Eropa Barat.
Terakhir, lembaga-lembaga pemerintahan dan politik. Lembaga-lembaga
itu seperti birokrasi, angkatan bersenjata, pengadilan, dan partai politik. Lembaga-
lembaga itu melayani dan mempertemukan warga tanpa membeda-bedakan asal
usul dan golongannya dalam masyarakat. Kerja dan perilaku lembaga politik
dapat mempersatukan orang sebagai satu bangsa.

IDENTITAS NASIONAL INDONESIA


Identitas nasional merupakan sesuatu yang ditransmisikan dari masa lalu dan
dirasakan sebagai pemilikan bersama, sehingga tampak kelihatan di dalam
keseharian tingkah laku seseorang dalam komunitasnya (Tilaar, 2007:27).
Identitas nasional merujuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional.
Identitas nasional bersifat buatan dan sekunder. Bersifat buatan oleh karena
identitas nasional itu dibuat, dibentuk dan disepakati oleh warga bangsa sebagai
identitasnya setelah mereka bernegara. Bersifat sekunder oleh karena identitas
nasional lahir belakangan dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang
memang telah dimiliki warga bangsa itu secara askriptif. Jauh sebelum mereka
memiliki identitas nasional itu, warga bangsa telah memiliki identitas primer yaitu
identitas kesukubangsaan.
Proses pembentukan identitas nasional umumnya membutuhkan waktu
perjuangan panjang di antara warga bangsa-negara yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan identitas nasional adalah hasil kesepakatan masyarakat bangsa itu.
Dapat terjadi sekelompok warga bangsa tidak setuju degan identitas nasional yang
hendak diajukan oleh kelompok bangsa lainnya. Setiap kelompok bangsa di dalam
negara, umumnya mengingingkan identitasnya dijadikan atau diangkat sebagai
identitas nasional yang tentu saja belum tentu diterima oleh kelompok bangsa lain.
Inilah yang menyebabkan sebuah negara-bangsa yang baru merdeka mengalami

18 |Dikdik Baehaqi Arif


pertikaian intern yang berlarut-larut demi untuk saling mengangkat identitas
kesukubangsaan menjadi identitas nasional.
Setelah bangsa Indonesia bernegara, mulai dibentuk dan disepakati apa-
apa yang dapat menjadi identitas nasional Indonesia. Bisa dikatakan bangsa
Indonesia relatif berhasil dalam membentuk identitas nasionalnya kecuali pada
saat proses pembentukan ideologi Pancasila sebagai identitas nasional yang
membutuhkan perjuangan dan pengorbanan di antara warga bangsa.
Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa persatuan. Bahasa
Indonesia berawal dari rumpun bahasa Melayu yang dipergunakan sebagai
bahasa pergaulan yang kemudian diangkat sebagai bahasa persatuan pada
tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai identitas nasional
Indonesia.
2. Sang merah putih sebagai bendera negara. Warna merah berarti berani dan
putih berarti suci. Lambang merah putih sudah dikenal pada masa kerajaan
di Indonesia yang kemudian diangkat sebagai bendera negara. Bendera
merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945,
namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda.
3. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya
pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres
Pemuda II.
4. Burung Garuda yang merupakan burung khas Indonesia dijadikan sebagai
lambang negara.
5. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang berarti berbeda-beda
tetapi satu jua. Menunjukkan kenyataan bahwa bangsa kita heterogen,
namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia.
6. Pancasila sebagai dasar falsafat negara yang berisi lima dasar yang
dijadikan sebagai dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia. Pancasila
merupakan identitas nasional yang berkedudukan sebagai dasar negara dan
pandangan hidup (ideologi) bangsa.
7. UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) negara. UUD 1945
merupakan hukum dasar tertulis yang menduduki tingkatan tertinggi
dalam tata urutan peraturan perundangan dan dijadikan sebagai pedoman
penyelenggaraan bernegara.

Pendidikan Kewarganegaraan| 19
8. Bentuk negara adalah Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat. Bentuk negara adalah kesatuan, sedang bentuk pemerintahan
adalah republik. Sistem politik yang digunakan adalah sistem demokrasi
(kedaulatan rakyat). Saat ini identitas negara kesatuan disepakati untuk
tidak dilakukan perubahan.
9. Konsepsi wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungan yang serba beragam dan memiliki nilai
strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta
kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
10. Kebudayaan sebagai puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kebudayaan
daerah diterima sebagai kebudayaan nasional. Berbagai kebudayaan dari
kelompok-kelompok bangsa di Indonesia yang memiliki cita rasa tinggi,
dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat luas sebagai kebudayaan
nasional.
Tumbuh dan disepakatinya beberapa identitas nasional Indonesia itu
sesungguhnya telah diawali dengan adanya kesadaran politik bangsa Indonesia
sebelum bernegara. Hal demikian sesuai dengan ciri dari pembentukan negara-
negara model mutakhir. Kesadaran politik itu adalah tumbuhnya semangat
nasionalisme (semangat kebangsaan) sebagai gerakan menentang penjajahan dan
mewujudkan negara Indonesia. Dengan demikian, nasionalisme yang tumbuh kuat
dalam diri bangsa Indonesia turut mempermudah terbentuknya identitas nasional
Indonesia.

20 |Dikdik Baehaqi Arif


Bab 3
Hak dan Kewajiban Warga Negara

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas konsep warga negara dan kewarganegaraan, asas-asas
kewarganegaraan, persoalan kewarganegaraan, perolehan dan kehilangan
kewarganegaraan Indonesia, dan hak dan kewajiban warga negara.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan dapat memiliki kemampuan
untuk:
Menjelaskan konsep warga negara dan kewarganegaraan
Mengidentifikasi asas-asas kewarganegaraan
Mendeskripsikan persoalan-persoalan kewarganegaraan
Mengidentifikasi cara memperoleh dan dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia
Menganalisis hak dan kewajiban warga negara Indonesia

Istilah kunci
Warga negara, kewarganegaraan, ius solli, ius sanguinis, naturalisasi

KONSEP WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN


Istilah warga negara (bahasa Inggris: citizen atau bahasa Perancis: citoyen,
citoyenne) merujuk kepada bahasa Yunani Kuno polites atau Latin civis, yang
didefinisikan sebagai anggota dari polis (kota) Yunani Kuno atau res publica
(perkumpulan orang-orang atau masyarakat) Romawi bagi persekutuan orang-
orang di Mediterania Kuno, yang selanjutnya ditransmisikan kepada peradaban
Eropa dan Barat (Pocock,1995:29). Warga negara dapat berarti warga, anggota
dari suatu negara. Ketika mempertanyakan what is a citizen? Turner (1990)
(Sapriya, 2006) menjelaskan bahwa a citizen is a member of a group living under
certain laws atau anggota dari sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di
wilayah hukum negara tertentu. Dikatakan lebih lanjut, bahwa hukum ini disusun
dan diselenggarakan oleh orang-orang yang memerintah, mengatur kelompok
masyarakat tersebut. Mereka yang ikut serta mengatur kelompok masyarakat
bersama-sama dikenal sebagai pemerintah (government). Oleh karena itu, warga
negara disimpulkan sebagai a member of a group living under the rule of a
government.
Dalam Websters Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English
Language (1989:270), konsep warga negara dapat dipahami sebagai as a
native or naturalized member of a state or nation who owes allegiance to its

Pendidikan Kewarganegaraan| 21
government and is entitled to its protection, atau anggota asli atau hasil
naturalisasi dari negara atau bangsa yang memiliki kesetiaan terhadap
pemerintahan dan berhak atas perlindungan pemerintahan, sedangkan citizenship
as the state of being vested with the rights, privileges, and duties of a citizen,
atau kewarganegaraan adalah status pribadi yang dimiliki secara tetap dengan hak,
perlakuan khusus, dan tugas-tugas sebagai warga negara (Banks, 2004:24).
Pengertian di atas menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah posisi
atau status sebagai warga negara (the position or status of being a citizen)
(Simpson & Weiner, 1989:250) yang di dalamnya melekat seperangkat hak,
kewajiban, dan identitas yang menghubungkan warga negara dengan negara-
bangsa (the set of rights, duties, and identities linking citizens to the nation-state).
(Koopmans et all., 2005:7; Banks, 2007:129).
Heywood (1994:155) mengartikan warga negara sebagai is a member
of a political community, which is defined by a set of rights and obligations atau
anggota suatu masyarakat politis (political community), yang digambarkan oleh
seperangkat hak dan kewajiban. Sedangkan kewarganegaraan menurut Heywood
(1994:155) therefore represents a relationship between the individual and the
state, in which the two are bound together by reciprocal rights and obligations
atau kewarganegaraan itu menghadirkan suatu hubungan antara individu dan
negara, dimana keduanya terikat bersama-sama oleh hak dan kewajiban secara
timbal balik. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Kymlicka (2003:147) yang
mengemukakan bahwa the term citizenship typically refers to membership in a
political community, and hence designates a relationship between the individual
and the state artinya bahwa kewarganegaraan merujuk kepada anggota dari
komunitas politik, dan karenanya menandakan hubungan antara individu dan
negara.
Selanjutnya, Heywood (1994:156) mengemukakan bahwa
kewarganegaraan merupakan status hukum dan identitas (a legal status and an
identity), karenanya terkandung dalam pengertian itu dua dimensi, objektif dan
subjektif. Secara objektif, kewarganegaraan terkait dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang diberikan negara secara spesifik (specific rights and
obligations which a state invests in its members) dan dimensi subjektif berkaitan
dengan kesetiaan rasa memiliki (a sense of loyalty and belonging) terhadap
negara.
Cogan (1998:13) memberikan atribut pokok kewarganegaraan dengan
terlebih dahulu membedakan konsep warga negara (citizen) dengan
kewarganegaraan (citizenship). Konsep a citizen diartikan sebagai a
constituent member of society atau anggota resmi suatu masyarakat. Sementara

22 |Dikdik Baehaqi Arif


itu citizenship diartikan sebagai a set of characteristics of being a citizen, atau
seperangkat karakteristik sebagai seorang warga negara.
Secara konseptual, citizenship memiliki lima atribut pokok, yakni:a
sense of identity; the enjoyment of certains rights; the fulfilment of corresponding
obligations; a degree of interest and involvement in public affairs; and an
acceptance of basic societal values (Cogan,1998:2-3). Dengan kata lain seorang
warga negara seyogyanya memiliki jati diri; kebebasan untuk menikmati hak
tertentu; pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; tingkat minat dan keterlibatan
dalam urusan publik; dan pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan.
Dalam perkembangan negara modern, konsep kewarganegaraan lazimnya
didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara individu dan masyarakat politik
yang dikenal sebagai negara, yang alami. Individu memberikan loyalitas kepada
negara guna mendapatkan proteksi darinya (Kalidjernih, 2007:51). Dengan
demikian, warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu
dalam hubungannya dengan negara. Warga negara secara sendiri-sendiri
merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak sekaligus kewajiban-
kewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hak-hak
yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected),
dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh
negara. Sebaliknya, setia warga negara juga mempunyai hak-hak negara yang
wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan
(complied) oleh setiap warga negara (Asshiddiqie, 2006:132).
Dalam konteks Indonesia, pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa
yang dimaksud warga negara Indonesia adalah adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur perihal kewarganegaraan Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk
Negara.
2. Undang-undang No. 6 Tahun 1947 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara.
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk
Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia.
4. Undang-undang No. 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi
untuk Mengajukann Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara
Indonesia.

Pendidikan Kewarganegaraan| 23
5. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
6. Undang-undang No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18
Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
7. Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia,
yang dimaksud warga negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing; ketentuan ini berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asing dan ibu Warga Negara Indonesia; ketentuan ini berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
5. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut;
6. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia;
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia;
8. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai

24 |Dikdik Baehaqi Arif


anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin;
9. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
10. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
11. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
12. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari
negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan
kepada anak yang bersangkutan; berakibat anak berkewarganegaraan
ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
13. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Disamping itu, ditentukan pula bahwa yang menjadi warga negara
Indonesia adalah: 1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di Iuar perkawinan
yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara
sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga
Negara Indonesia; dan 2) anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5
(lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
(Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 12 Tahun 2006). Karena dua ketentuan di atas, maka
akan berakibat anak berkewarganegaraan ganda, karena itu, maka setelah berusia
18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.

ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas
kewarganegaraan, masing-masing adalah ius soli, ius sanguinis, dan asas
campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas
ius soli dan ius sanguinis (Asshiddiqie, 2006:132).

Pendidikan Kewarganegaraan| 25
Asas ius soli (asas kedaerahan) ialah bahwa kewarganegaraan seseorang
ditentukkan menurut tempat kelahirannya. Seseorang dianggap berstatus warga
negara dari Negara A, karena ia dilahirkan di Negara A tersebut. Sedangkan asas
ius sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah. Menurut
prinsip yang terkandung dalam asas kedua ini, kewarganegaraan ditentukkan dari
garis keturunan orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A,
karena orang tuanya adalah warga negara A. Pada saat sekarang, dimana
hubungan antarnegara berkembang semakin mudah dan terbuka, dengan sarana
transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian majunya, tidak
sulit bagi setiap orang untuk bepergian ke mana saja. Oleh karena itu, banyak
terjadi bahwa seseorang warga negara dari Negara A berdomisili di negara B.
Kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak di negara tempat dia berdomisili.
Dalam kasus demikian, jika yang diterapkan adalah asas ius soli, maka akibatnya
anak tersebut menjadi warga negara dari negara tempat domisilinya itu, dan
dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena
alasan-alasan itulah maka dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan
penerapan asas ius soli, dan berubah menganut asas ius sanguinis.
Dianutnya asas ius sanguinis ini besar manfaatnya bagi negara-negara
yang berdampingan dengan negara lain (neighboring countries) yang dibatasi oleh
laut seperti negara-negara Eropa Kontinental. Di negara-negara demikaian ini,
setiap orang dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat tinggal kapan saja
menurut kebutuhan. Dengan asas ius sanguinis, anak-anak yang dilahirkan di
negara lain akan tetap menjadi warga negara dari negara asal orang tuanya.
Hubungan antara negara dan warga negaranya yang baru lahir tidak terputus
selama orang tuanya masih tetap menganut kewarganegaraan dari negara asalnya.
Sebaliknya, bagi negara-negara yang sebagian terbesar penduduknya berasal dari
kaum imigran, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, untuk tahap
pertama tentu akan terasa lebih menguntungkan apabila menganut apabila
menganut asas ius soli ini, bukan asas ius sangunis. Dengan lahirnya anak-anak
dari para imigran di negara-negara tersebut akan menjadi putuslah hubungannya
dengan negara asal orang tuanya. Oleh karena itu, Amerika Serikat menganut asas
ius soli ini, sehingga banyak mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Amerika
Serikat, apabila melahirkan anak, maka anaknya otomatis mendapatkan status
sebagai warga negara Amerika Serikat.
Sehubunga denga kedua asas tersebut, setiap negara bebas memilih asas
mana yang hendak dipakai dalam rangka kebijakan kewarganegaraan untuk
menentukan siapa saja yang diterima sebagai warga negara dan siapa yang bukan
warga negara, Setiap negara mempunyai kepentingan sendiri-sendiri berdasarkan
latar belakang sejarah yang tersendiri pula, sehingga tidak semua negara

26 |Dikdik Baehaqi Arif


menganggap bahwa asas yang satu lebih baik daripada asas yang lain. Dapat saja
terjadi, di suatu negara, yang dinilai lebih menguntungkan adalah asas ius soli,
tetapi di negara yang lain justru asas ius sanguinis yang dianggap lebih
menguntungkan. Bahkan dalam perkembangan di kemudian hari, timbul pula
kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai negara bahwa kedua asas
tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara
bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-citizenship
atau dwi-kewarganegaraan (bipatride).
Namun demikian, dalam praktik, ada pula negara yang justru menganut
kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan
negara yang bersangkutan. Misalnya, India dan Pakistan temasuk negara yang
sangat menikmati kebijakan yang mereka terapkan dengan sistem dwi-
kewarganegaraan. Sistem yang terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas
campuran. Asas yang bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
apatride atau bripatride. Dalam hal demikian, yang ditoleransi biasanya adalah
keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi kewarganegaraan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, asas-asas yang dipakai dalam
kewarganegaraan Indonesia meliputi:
1. Asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan bukan negara tempat kelahiran;
2. Asas ius soli secara terbatas, yaitu asas yang menentukan
kewarganegaraan berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diperuntukkan terbatas bagi anak-anak sesuai dengana ketentuan yang
diatur dalam undang-undang;
3. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang;
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.

PERSOALAN KEWARGANEGARAAN
Setiap negara berhak menentukan asas yang mana yang hendak dipakai untuk
menentukkan siapa yang termasuk warga negara dan siapa yang bukan. Oleh
karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola pengaturan yang tidak
sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu negara dengan negara lain
dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau pertentangan hukum.

Pendidikan Kewarganegaraan| 27
Misalnya, di negara A dianut ius soli sedangkan negara B menganut asas ius
sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan bipatride
atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan apatride, yaitu keadaan
tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride timbul manakala menurut
peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang
sama-sama dianggap warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.
Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang
tidak disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili ataupun bahkan
oleh yang bersangkutan sendiri, keadaan bipatride membawa ketidakpastian
dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu atau pun
bagi yang bersangkutan itu sendiri. Misalnya, yang bersangkutan sama-sama
dibebani kewajiban untuk membayar pajak kepada kedua-dua negara yang
menganggap sebagai warga negara itu. Ada juga negara yang tidak menganggap
hal ini sebagai persoalan, sehingga menyerahkan saja kebutuhan untuk memilih
kewarganegaraan kepada orang yang bersangkutan. Di kalangan negara-negara
yang sudah makmur, dan rakyatnya yang sudah rata-rata berpenghasilan tinggi,
maka tidak dirasakan adanya kerugian apapun bagi negara untuk mengakui status
dwi-kewarganegaraan itu. Akan tetapi, di negara-negara yang sedang
berkembang, yang penduduknya masih terbelakang, keadaan bipatride itu sering
dianggap lebih banyak merugikan.
Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang tersebut
tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. Kedua keadaan itu,
yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami oleh Indonesia. Sebelum
ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan Republik Rakyat Cina (RRC),
sebagian orang-orang Cina yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan
kewarganegaraan dari Republik Rakyat Cina yang berasas ius sanguinis, tetap
dianggap sebagai warga negara RRC. Sebaliknya, menurut Undang-undang
tentang Kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu, orang Cina tersebut sudah
dianggap menjadi warga negara Indonesia. Dengan demikian terjadilah keadaan
bipatride bagi orang Tionghoa yang bersangkutan.
Di lain hal, ada pula sebagian orang-orang Tionghoa yang oleh pemerintah
RRC dianggap pro kaum nasionalis Kuomintang tidak diakui sebagai warga
negaranya. Sedangkan, Taiwan yang dianggap sebagai negara kaum nasionalis itu
tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Oleh sebab itu, mereka
juga diakui oleh Taiwan sebagai warga negaranya, sehingga mereka tidak
mempunyai status sama sebagai warga negara mana pun juga, dan dapat disebut
defacto apatride. Keadaan semacam ini tentu harus diatasi, apalagi, dalam pasal
28D ayat (4) UUD 1945 dengan tegas dinyatakan, Setiap orang berhak atas status
kewargangeraan.

28 |Dikdik Baehaqi Arif


Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan dengan
cara menutup kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan undang-undang
tentang kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride, pasal 7
Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 menentukkan bahwa seseorang perempuan
asing yang kawin dengan laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh
kewarganegaraan Indonesia dengan pernyataan dan dengan syarat harus
meninggalkan kewarganegaraan asalnya. Demikian pula, untuk mencegah
kemungkinan apatride. Undang-undang termasuk dalam Pasal 1 huruf f
menentukan, bahwa anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia selama kedua
orang tuanya tidak diketahui, adalah warga negara Indonesia.
Seandainya ketentuan ini tidak ada, maka niscaya kelak anak itu akan
menjadi apatride karena tidak diketahui siapa orang tuanya, sehingga sulit untuk
menentukan status kewarganegaraannya. Dengan dua contoh ini jelaslah bahwa
setiap undang-undang tentang kewarganegaraan dapat mencegah timbulnya
keadaan bipatride dan apatride. Persoalannya sekarang bagaimana kalau bipatride
telah terjadi di Republik Indonesia sebelum tahun 1955, di mana pada waktu itu
orang-orang Cina karena peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu dapat
dianggap sebagai warga negara republik Indonesia, sedangkan dalam keadaan
yang bersamaan Republik Rakyat Cina tetap pula beranggapan bahwa orang-
orang Cina tersebut adalah warga negaranya.
Pemecahan atas permasalahan ini adalah tidak mungkin lain dari pada
membuka kemungkinan perundingan langsung di antara negara-negara yang
bersangkutan. Oleh karena itulah pada tanggal 22 April 1955 telah ditandatangani
masing-masing oleh Menteri luar Negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat
Cina yang dikenal sebagai Perjanjian Soenario-Chou. Pejanjian inilah yang
kemudian dituangkan menjadi Undang-undang Nomor 2 tahun 1958 tentang
Persetujuan Perjanjian Antara Republik Indonesia dengan RRT mengenai Soal
Dwikewarganegaraan. Dalam perjanjian itu ditentukkan bahwa kepada semua
orang Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan tegas dan tertulis,
apakah akan menjadi warga negara Republik Indonesia atau tetap
berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Dengan demikian, terpecahkanlah
masalah dwi-kewarganegaraan yang pernah timbul antar RRC dan RI di masa
lalu.
Dalam konteks UU No. 12. Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal
adanya kewarganegaraan bipatride ataupun apatride. Kewarganegaraan ganda
merupakan pengecualian.

Pendidikan Kewarganegaraan| 29
PEROLEHAN DAN KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN
Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia, biasanya cara memperoleh status
kewarganegaraan hanya digambarkan terdiri atas dua acara, yaitu status
kewarganegaraan dengan kelahiran di wilayah hukum Indonesia, atau dengan cara
pewarganegaraan atau naturalisasi (naturlalization). Akan tetapi, disamping itu,
ada tiga cara perolehan kewarganegaraan, yaitu citizenship by birth, ctizenship by
naturalization, dan citizenship by registration. Namun demikian, jika dirinci lebih
lanjut, sebenarnya cara untuk memperoleh status kewarganegaraan yang
dipraktikan di berbagai negara lebih banyak lagi. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan bahwa dalam praktik, memang dapat dirumuskan adanya 5 (lima)
prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan, yaitu: Citizenship by
birth; Citizenship by descent; Citizenship by naturalisation; Citizenship by
registration; Citizenship by incoporation of territory (Asshiddiqie, 2006).
Pertama, citizenship by birth adalah pewarganegaraan berdasarkan
kelahiran di mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap sah
sebagai warga negara yang bersangkutan. Asas yang dianut di sini adalah asas ius
soli, yaitu tempat kelahiranlah yang menentukan kewarganegaraan seseorang.
Namun, dalam praktik, hal ini juga tidak bersifat mutlak. Misalnya, di Inggris,
sebelumnya berlaku prinsip bahwa subject to minor exceptions, birth in the
United Kingdom confered British natioanlly. Sekarang ketentuan ini diperketat
dengan ketentuan bahwa Birth in the United Kingdom provided that one parent
at the time of birth a british citizen or was settled in the United Kingdom.
Meskipun demikian, seseorang yang lahir di Inggris, masih dapat memperoleh
kesempatan menjadi warga negara Inggris, apabila kelak salah satu orang tuanya
di kemudian hari mendapatkan kewarganegaraan Inggris atau apabila yang
bersangkutan telah hidup menetapkan di Inggris selama lebih dari sepuluh tahun.
Kedua, citizen by descent adalah kewarganegaraan berdasarkan keturunan
dimana seseorang yang lahir diluar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga
negara karena keturunan, apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan, kedua
orang tuanya adalah warga negara dari negara tersebut. Asas yang dipakai di sini
adalah ius sanguinis, dan hukum kewarganegaraan Indonesia pada pokoknya
menganut asas ini, yaitu melalui garis ayah. Ketentuan serupa ini juga dianut di
Inggris berdasarkan citizenship act of 1948 yang mengizinkan the acqusition of
citizenship by descent only through the father. Sekarang ketentuan ini lebih
diperketat yaitu dengan membatasinya hanya untuk garis keturunan satu generasi
saja. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum kewarganegaraan
Inggris sesudah berlakunya citizenship act of 1981 menganut sistem
kewarganegaraan melalui kelahiran (by birth) dan juga melalui garis keturanan
(by descent).

30 |Dikdik Baehaqi Arif


Ketiga, citizenship by naturalization merupakan pewarganegaraan orang
asing yang atas kehendak sadarnya sendiri mengajukan permohonan untuk
menjadi warga negara dengan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan
untuk itu. Keempat, citizenship by regristration merupakan pewarganegaraan bagi
mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan
melalui prosedur administrasi pendaftaran yang lebih sederhana dibandingkan
dengan metode naturalisasi yang lebih rumit. Misalnya, seorang wanita asing yang
menikah dengan pria berkewarganegaraan Indonesia, haruslah dipandang
mempunyai kasus yang berbeda dari seseorang yang secara sadar dan atas
kehendaknya sendiri ingin menjadi warga negara Indonesia dengan naturalisasi.
Untuk kasus seperti ini dapat saja ditentukan dengan undang-undang bahwa
proses pewarganegaraan tidak harus melalui prosedur naturalisasi, melainkan
cukup melalui proses registrasi. Dapat pula terjadi, seorang anak dari ayah asing
dan ibu berkewarganegaraan Indonesia, setelah dewasa memilih kewarganegaraan
Indonesia, maka proses pewarganegaraannya cukup dilakukan melalui prosedur
administrasi pendaftaran disertai surat pernyataan kewarganegaraan.
Di Inggris, misalnya, menteri dalam negeri (home secretary) diberi
kewenangan to registrer minors as british citizens by section 3 which spells out
particular requrements to be satisfied in spesific types of application. Seorang
yang dianggap mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraan melalui
pendaftaran adalah: British Dependent Territories; Britisht Overseas Citizens;
Britisht Subjects; dan British Protected Persons yang memenuhi persyaratan
tinggal (residence requirements) menurut ketentuan Section 4 Act of 1981.
Pendaftaran juga dimungkinkan bagi mereka yang terkait dengan ketentuan
peralihan UU Tahun 1981 (Act of 1981) yang sejak dulunya seharusnya sudah
terdaftar sebagai warga negara Inggris, yaitu: by virtue of residence (section 7);
dalam hal wanita yang kawin dengan warga negara Inggris (section 8); dan
dengan pendaftaran di konsulat Inggris di luar negeri (section 9).
Kelima, citizenship by incoporporation of territory yaitu proses
pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika
Timor Timur menjadi wilayah negara Republik Indonesia, maka proses
pewarganegaraan warga Timor Timur itu dilakukan melalui prosedur yang khusus
ini. Sebenarnya, secara teknis, metode terakhir ini dapat juga disebut sebagai
variasi metode pewarganegaraan bedasarkan pendaftaran atau citizenship by
registration seperti yang telah diuraikan di atas.
Bagaimana seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya? Pasal 23
UU No. 12 Tahun 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
menyatakan bahwa warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan:

Pendidikan Kewarganegaraan| 31
1. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
2. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan
orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
3. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya
sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan
hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan;
4. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
5. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas
semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
6. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada
negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
7. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat
ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
8. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau
surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih
berlaku dari negara lain atas namanya; atau
9. bertempat tinggal di Iuar wilayah negara Republik Indonesia selama 5
(lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan
yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap
menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu
berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia
kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia
tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan,
sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA


Hak warga negara adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh warga negara dari
negaranya. Hak warga negara dapat juga disebut sebagai hak konstitusional warga
negara (citizens constitutional right), yaitu hak warga negara yang secara
konstitusional diatur dalam konstitusi atau perundang-undangan. Sedangkan
kewajiban warga negara adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh warga negara.

32 |Dikdik Baehaqi Arif


Kewajiban warga negara ini juga ditetapkan oleh konstitusi atau perundang-
undangan.
Lalu apa saja hak warga negara Indonesia itu? Dalam ketentuan UUD
1945 dirumuskan hak-hak yang dimiliki warga negara Indonesia sebagaimana
uraian berikut:
1. Hak memperoleh kedudukan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat 1)
2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak: Tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(Pasal 27 ayat 2)
3. Hak dalam pembelaan negara: Setiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam upaya pembelaan negara. (Pasal 27 ayat 3)
4. Hak berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran: Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28)
5. Hak kemerdekaan memeluk agama: Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa (Pasal 29 ayat 1), dan Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat 2)
6. Hak mendapatkan pendidikan Setiap Warga negara berhak mendapat
pendidikan (Pasal 31 ayat 1)
7. Hak untuk mendapatkan Kesejahteraan sosial: Pasal 33 UUD 1945 ayat
(1), (2), (3), (4), dan (5):
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, effisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pendidikan Kewarganegaraan| 33
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
8. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial: Fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 ayat 1)
Disamping mengatur tentang hak-hak yang dimiliki setiap warga negara,
ketentuan UUD 1945 juga mengatur tentang kewajiban warga negara Indonesia
sebagai berikut:
1. Wajib menaati hukum dan pemerintahan: Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
(Pasal 27 ayat 1)
2. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara: Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27
ayat 3)
3. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara: Tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara (Pasal 30 ayat 1)
4. Wajib mengikuti pendidikan dasar: Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 2)

34 |Dikdik Baehaqi Arif


Bab 4
Demokrasi

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas pengertian demokrasi, demokratisasi, dan landasan pengembangan
demokrasi

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Menjelaskan pengertian demokrasi dan demokratisasi
Mendeskripsikan nilai-nilai demokrasi
Menganalisis landasan pengembangan demokrasi

Kata kunci
Demokrasi, demokratisasi, nilai-nilai demokrasi, lembaga demokrasi

PENGERTIAN DEMOKRASI
Kebanyakan orang mungkin sudah terbiasa dengan istilah demokrasi. Secara
etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos berarti rakyat dan
kratos berarti kekuasaan atau berkuasa. Dengan demikian, demokrasi artinya
pemerintahan oleh rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, Presiden
Amerika Serikat ke-16 (periode 1861-1865) demokrasi secara sederhana diartikan
sebagai the government from the people, by the people, and for the people, yaitu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi
keduanya tidak sama. Menurut Alamudi (1991) demokrasi sesungguhnya adalah
seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup
seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan
sering berliku-liku, sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari
kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali dasar-dasar pemerintahan
konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni hak asasi dan persamaan di
depan hukum yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk secara pantas disebut
demokrasi.
Menurut The Advancced Learners Dictionary of Current English,
demokrasi adalah:

Pendidikan Kewarganegaraan| 35
(1) country with principles of government in which all adult citizens share
through their ellected representatatives; (2) country with government
which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of
speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law,
majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3)
society in which there is treatment of each other by citizens as equals.
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk
kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga negara dewasa
turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih;
pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan mayoritas
yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang
warganegaranya saling memberi peluang yang sama.
Istilah demokrasi, pertama kali dipakai di Yunani Kuno, khususnya di kota
Athena sekitar abad ke-6 sampai abad ke-3 SM untuk menunjukkan sistem
pemerintahan yang berlaku di sana. Kota-kota di daerah Yunani pada waktu itu
kecil-kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga mudah dikumpulkan oleh
pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah. Sekitar 5000-6000 orang
berkumpul secara fisik dalam sebuah majelis untuk menyelenggarakan rapat guna
menjalankan demokrasi langsung. Dalam rapat itu diambil keputusan bersama
mengenai garis-garis besar kebijaksanaan pemerintah yang akan dilaksanakan dan
segala permasalahan mengenai kemasyarakatan. Karena rakyat ikut serta secara
langsung, pemerintah itu disebut pemerintahan demokrasi langsung.
Tetapi dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan
penduduknya pun terus bertambah sehingga demokrasi langsung tidak lagi
diterapkan karena:
1. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya besar
tidak mungkin disediakan.
2. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak mungkin
dilaksanakan.
3. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai karena
sulitnya memungut suara dari semua peserta yang hadir.
Bagi negara-negara besar yang penduduknya berjuta-juta, yang tempat
tinggalnya bertebaran di beberapa daerah atau kepulauan, penerapan demokrasi
langsung juga mengalami kesukaran. Karena itu, untuk memudahkan
pelaksanaannya setiap penduduk dalam jumlah tertentu memilih wakilnya untuk
duduk dalam suatu badan perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam
badan perwakilan inilah yang kemudian menjalankan demokrasi. Rakyat tetap

36 |Dikdik Baehaqi Arif


merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini disebut demokrasi tidak
langsung atau demokrasi perwakilan.
Bagi negara-negara modern, demokrasi tidak langsung dilaksanakan
karena hal-hal berikut.
1. Penduduk yang selalu bertambah sehingga suatu musyawarah pada suatu
tempat tidak mungkin dilakukan.
2. Masalah yang dihadapi oleh suatu pemerintah makin rumit dan tidak
sederhana lagi seperti yang dihadapi oleh pemerintah desa yang
tradisional.
3. Setiap warga negara mempunyai kesibukan sendiri-sendiri di dalam
mencukupi kehidupannya sehingga masalah pemerintahan cukup
diserahkan kepada orang yang berminat dan mempunyai keahlian di
bidang pemerintahan negara.
Istilah demokrasi yang berarti pemerintah rakyat itu, sesudah zaman
Yunani Kuno, tidak disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan
Revolusi Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai lawan sistem
pemerintahan yang absolut (monarki mutlak), yang menguasai pemerintahan di
dunia Barat sebelumnya.
Dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang baru
ini mempunyai arti yang luas, mula-mula demokrasi berarti politik yang
mencakup pengertian tentang pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti hak
kemerdekaan pers, hak berapat, serta hak memilih dan dipilih untuk bedan-badan
perwakilan. Kemudian, digunakan istilah demokrasi dalam arti luas, yang selain
meliputi sistem politik, juga mencakup sistem ekonomi dan sistem sosial.
Dewasa ini, bentuk demokrasi yang paling umum adalah demokrasi
perwakilan. Para warganya memilih pejabat-pejabat untuk membuat keputusan
politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk
kepentingan umum. Atas nama rakyat, pejabat-pejabat itu dapat berunding
mengenai berbagai isu masyarakat yang rumit lewat cara bijaksana dan sistematis,
membutuhkan waktu dan tenaga, yang sering tidak praktis bagi sebagian besar
warga negara biasa.
Landasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi ialah
pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai
kemampuan yang sama dalam hubungannya antara yang satu dan yang lain.
Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah asas pokok sebagai berikut.
1. Pengakuan partisipasi di dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-
wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia.

Pendidikan Kewarganegaraan| 37
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya tindakan Pemerintah
untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, United States Information
Agencies dan Dinas Penerangan Amerika Serikat (USIS) (1999:5)
mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 (sebelas) pilar atau
soko guru, yakni
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Hak-hak minoritas
5. Jaminan hak-hak asasi manusia
6. Pemilihan yang bebas dan jujur
7. Persamaan di depan hukum
8. Proses hukum yang wajar
9. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional
10. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat
Sementara itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Sanusi (2006) mengetengahkan sepuluh pilar demokrasi yang dipesankan oleh
para pembentuk negara (the founding fathers) sebagaimana diletakkan di dalam
UUD 1945 sebagai berikut:
1. Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Esensinya adalah seluruh sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan
kenegaraan RI haruslah taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai
dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Demokrasi dengan kecerdasan
Demokrasi harus dirancang dan dilaksanakan oleh segenap rakyat dengan
pengertian-pengertiannya yang jelas, dimana rakyat sendiri turut terlibat
langsung merumuskan substansinya, mengujicobakan disainnya, menilai
dan menguji keabsahannya. Sebab UUD 1945 dan demokrasinya bukanlah
seumpama final product yang tinggal mengkonsumsi saja, tetapi
mengandung nilai-nilai dasar dan kaidah-kaidah dasar untuk supra-struktur
dan infra-struktur sistem kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Nilai-
nilai dan kaidah-kaidah dasar ini memerlukan pengolahan secara seksama.

38 |Dikdik Baehaqi Arif


Rujukan yang mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa tidak
dimaksudkan untuk diperlakukan hanya sebagai kumpulan dogma-dogma
saja, melainkan harus ditata dengan menggunakan akal budi dan akal
pikiran yang sehat. Pengolahan itu harus dilakukan dengan cerdas.
3. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat
Demokrasi menurut UUD 1945 ialah demokrasi yang berkedaulatan
rakyat, yaitu kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara prinsip,
rakyatlah yang memiliki atau memegang kedaulatan itu. Kedaulatan itu
kemudian dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
4. Demokrasi dengan rule of law
Negara adalah organisasi kekuasaan, artinya organisasi yang memiliki
kekuasaan dan dapat menggunakan kekuasaan itu dengan paksa. Dalam
negara hukum, kekuasaan dan hukum itu merupakan kesatuan konsep
yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Implikasinya adalah
kekuasaan negara harus punya legitimasi hukum.
Esensi dari demokrasi dengan rule of law adalah bahwa kekuasaan negara
harus mengandung, melindungi, serta mengembangkan kebenaran hukum
(legal truth). Kekuasaan negara memberikan keadilan hukum (legal
justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan kepura-
puraan. Kekuasaan negara menjamin kepastian hukum (legal security),
dan kekuasaan ini mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum
(legal interest) seperti kedamaian dan pembangunan. Esensi lainnya
adalah bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di
hadapan hukum, memiliki akses yang sama kepada layanan hukum.
sebaliknya, seluruh warga negara berkewajiban mentaati semua peraturah
hukum.
5. Demokrasi dengan pembagian kekuasaan negara
Demokrasi dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan
kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab menurut undang-
undang dasar.
6. Demokrasi dengan hak azasi manusia
Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang
tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi, melainkan untuk
meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya. Hak asasi manusia
bersumber pada sifat hakikat manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Hak asasi manusia bukan diberikan oleh negara atau

Pendidikan Kewarganegaraan| 39
pemerintah. Hak ini tidak boleh dirampas atau diasingkan oleh negara dan
atau oleh siapapun.
7. Demokrasi dengan peradilan yang merdeka
Lembaga peradilan merupakan lembaga tertinggi yang menyuarakan
kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Lembaga ini merupakan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent). Ia tidak
boleh diintervensi oleh kekuasaan apapun. Kekuasaan yang merdeka ini
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak yang
berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-
adilnya. Di muka pengadilan, semua pihak mempunyai hak dan kedudukan
yang sama.
8. Demokrasi dengan otonomi daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Hal ini merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945 yang
mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota
yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD
1945).
9. Demokrasi dengan kemakmuran
Demokrasi bukan sekedar soal kebebasan dan hak, bukan sekedar soal
kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula sekedar soal mengorganisir
kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan. Demokrasi bukan pula
sekedar soal otonomi daerah dan keadilan hukum. sebab berbarengan
dengan itu semua, demokrasi menurut UUD 1945 ternyata ditujukan untuk
membangun negara berkemakmuran/kesejahteraan (welfare state) oleh dan
untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia.
10. Demokrasi yang berkeadilan sosial
Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial diantara
berbagai kelompok, golongan, dan lapisan masyarakat. Keadilan sosial
bukan soal kesamarataan dalam pembagian output materi dan sistem
kemasyarakatan. Keadilan sosial justru lebih merujuk pada keadilan
peraturan dan tatanan kemasyarakatan yang tidak diskriminatif untuk
memperoleh kesempatan atau peluang hidup, tempat tinggal, pendidikan,
pekerjaan, politik, administrasi pemerintahan, layanan birokrasi, bisnis,
dan lain-lain.

40 |Dikdik Baehaqi Arif


DEMOKRATISASI
Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip
demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya adalah
terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi. Demokratisasi
merujuk pada proses perubahan menuju sistem pemerintahan yang lebih
demokratis (Winarno, 2007:97). Proses demokratisasi ini menurut Huntingthon
(2001) harus melalui tiga tahap, yaitu pengakhiran rezim nondemokratis,
pengukuhan rezim demokratis, dan pengkonsolidasian sistem yang demokratis.
Bagaimanakah karakteristik proses demokratisasi tersebut? Maswadi Rauf
(1997) mengemukakan karakteristiknya sebagai berikut:
1. Demokratisasi berlangsung secara evolusioner, artinya berlangsung dalam
waktu yang lama, berjalan secara perlahan, bertahan, dan bagian demi
bagian. Karenanya, mengembangkan nilai demokrasi dan membentuk
lembaga-lembaga demokrasi tidak dapat dilakukan secepat mungkin dan
segera selesai.
2. Proses perubahan secara persuasif, bukan koersif, artinya demokratisasi
dilakukan bukan dengan paksaan, kekerasan atau tekanan, melainkan
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan setiap warga negara.
Perbedaan pandangan diselesaikan dengan baik tanpa kekerasan. Karena
itu, sikap pemaksaan, pembakaran, dan perusakan bukanlah cara yang
demokratis.
3. Demokratisasi adalah proses yang tidak pernah selesai, artinya ia
berlangsung terus menerus. Demokrasi adalah suatu yang ideal yang tidak
bisa tercapai. Negara yang benar-benar demokrasi tidak ada, tetapi negara
sedapat mungkin mendekati kriteria demokrasi.
Demokratisasi, juga merupakan proses menegakkan nilai-nilai demokrasi
sehingga sistem politik demokratis dapat terbentuk secara bertahap. Nilai-nilai
demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan untuk
mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi inilah,
sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa adanya
kondisi ini, pemerintah tersebut akan sulit ditegakkan.
Beberapa ahli mengemukakan nilai-nilai demokrasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pemerintahan demokratis. Henry B. Mayo sebagaimana dikutip
oleh Miriam Budiardjo (1990) mengemukakan delapan nilai-nilai demokrasi,
yaitu sebagai berikut:
1. Penyelesaian pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela

Pendidikan Kewarganegaraan| 41
2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang selalu berubah
3. Pergantian penguasa dengan teratur
4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman
6. Menegakkan keadilan
7. Memajukan ilmu pengetahuan
8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan
Pendapat lain dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (ICCE, 2005) yang
menyebutkan adanya tujuh pandangan hidup demokratis sebagai berikut:
1. Kesadaran akan pluralisme
2. Prinsip musyawarah
3. Adanya pertimbangan moral
4. Permufakatan yang jujur dan adil
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi
6. Kerjasama antarwarga
7. Pandangan hidup demokratis sebagai unsur yang menyatu dengan sistem
pendidikan
Asykuri Ibn Chamim, dkk (2003) juga menguraikan nilai-nilai demokrasi
yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis sebagai
berikut: kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati
orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan. Nilai-
nilai tersebut dijelaskan pada bagian berikut.
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara biasa
yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik
demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena kebutuhan untuk
menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga negara dalam era
pemerintahan terbuka saat ini. Hak untuk menyampaikan pendapat ini wajib
dijamin oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai
bentuk kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya yang merasa
dirugikan oleh tindakan pemerintah atau unsur swasta. Semakin cepat dan efektif
cara pemerintah memberikan tanggapan, semakin tinggi pula kualitas demokrasi
pemerintah tersebut.

42 |Dikdik Baehaqi Arif


Kebebasan berkelompok. Berkelompok dalam suatu organisasi
merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara (Dahl,
1971). Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk organisasi
kemahasiswaan, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan kelompok-
kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar manusia yang tak
mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok dalam mencari makan dan
perlindungan dari kejaran hewan liar maupun kelompok lain yang jahat. Dalam
era modern, kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat. Persoalan-
persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks
seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalan keluar.
Demokrasi menjamin kebebasan warga negara untuk berkelompok,
termasuk membentuk partai politik baru maupun mendukung partai politik
apapun. Tidak ada lagi keharusan mengiktui ajakan dan intimidasi pemerintah.
Tak ada lagi ketakutan untuk menyatakan afiliasinya ke dalam partai politik selain
partai penguasa/pemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak
dan lebih sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi
mendukung kebebasan berkelompok.
Kebebasan berpartisipasi sesungguhnya merupakan gabungan dari
kebebasan berpendapat dan berkelompok. Beberapa jenis partisipasi menurut
Patterson antara lain:
1. Pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota DPR,
DPD, maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
2. Kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah
3. Melakukan protes terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah
4. Mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik melalui pemilihan
sesuai dengan sistem pemilihan yang berlaku
Kesetaraan (egalitarisme) antar warga merupakan salah satu nilai
fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
Kesetaraan ini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga
negara. Kesetaraan memberi tempat bagi setiap warga negara tanpa membedakan
etnis, bahasa, daerah, maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi masyarakat
heterogen seperti Indonesia yang sangat multietnis, multibahasa, multidaerah, dan
multiagama. Heterogenitas masyarakat Indonesia seringkali mengundang
masalah, khususnya bila terjadi miskomunikasi antar kelompok yang kemudian
berkembang luas menjadi konflik.
Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, dimana
kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum,

Pendidikan Kewarganegaraan| 43
karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk
sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang sama dalam politik,
sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, demokrasi tanpa kesetaraan
gender akan berdampak pada ketidakadilan sosial.
Kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan.
Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan pemerintahan. Warga
negara sebagai bagian dari rakyat memiliki kedaulatan dalam pemilihan yang
berujung pada pembentukan pemerintahan. Pemerintah dengan sendirinya berasal
dari rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan
pemerintah kepada rakyat inilah yang kemudian menghasilkan makna
akuntabilitas. Politisi yang akuntabel adalah politisi yang menyadari bahwa
dirinya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, ia wajib mengembalikan apa yang
diperolehnya kepada rakyat. Kedaulatan rakyat memberi politisi mandat untuk
menjabat dan sekaligus untuk memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat yang
bertanggung jawab kepada rakyat, dan bukan sekedar kepada diri sendiri atau
kelompok.
Rasa percaya (trust) antar kelompok masyarakat merupakan nilai dasar
lain yang diperlukan agar demokrasi dapat terbentuk. Sebuah pemerintahan
demokrasi akan sulit berkembang bila rasa saling percaya satu sama lain tidak
tumbuh. Bila yang ada adalah ketakutan, kecurigaan, kekhawatiran, dan
permusuhan, hubungan antar kelompok masyarakat akan terganggu secara
permanen. Kondisi ini sangat merugikan keseluruhan sistem sosial dan politik.
Jika rasa percaya tidak ada, besar kemungkinan pemerintah akan kesulitan
menjalankan agendanya, karema lemahnya dukungan sebagai akibat dari
kelangkaan rasa percaya. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah yang terpilih
secara demokratis pun bahkan bisa terguling dengan mudah sebelum waktunya,
sehingga membuat proses demokrasi berjalan semakin lambat.
Kerjasama diperlukan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam
tubuh masyarakat. Akan tetapi, kerjasama hanya mungkin terjadi jika setiap orang
atau kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian dari apa yang diperoleh
dari kerjasama tersebut. Kerjasama bukan berarti menutup munculnya perbedaan
pendapat antar individu atau antar kelompok. Tanpa perbedaan pendapat,
demokrasi tidak mungkin berkembang. Perbedaan pendapat ini dapat mendorong
setiap kelompok untuk bersaing satu sama lain dalam mencapai tujuan yang lebih
baik.
Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun masyarakat terbuka.
Diperlukan kompetisi satu sama lain sebagai pendorong bagi kelompok untuk
meningkatkan kualitas masing-masing. Kompetisi menuju sesuatu yang lebih
berkualitas sangat diperlukan, sementara kerjasama diperlukan bagi kelompok-

44 |Dikdik Baehaqi Arif


kelompok untuk menopang upaya persaingan dengan kelompok lain. Disamping
itu diperlukan pula kompromi agar persaingan menjadi lebih bermanfaat, karena
dengan kompromi itulah sisi-sisi agresif dari persaingan dapat diperhalus jadi
bentuk kerjasama yang lebih baik.
Selain nilai-nilai demokrasi, untuk mewujudkan sistem politik demokrasi,
juga dibutuhkan lembaga-lembaga demokrasi yang menopang sistem politik
tersebut. Siapakah lembaga-lembaga demokrasi itu? Miriam Budiardjo (1997)
menyebutkan antara lain sebagai berikut:
1. pemerintahan yang bertanggung jawab.
2. suatu dewan perwakilan rakyat yang memiliki golongan dan kepentingan
dalam masyaraakt yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas dan
rahasia. Dewan ini melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup lebih dari satu partai (sistem dua
partai, multipartai). Partai menyelenggarakan hubungan yang kontinu
dengan masyarakat.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak asasi manusia dan
mempertahankan keadilan.
Berdasarkan uraian tersebut, Winarno (2007:100) mengemukakan bahwa
untuk berhasilnya demokrasi dalam suatu negara, terdapat dua hal penting yang
mesti ada. Pertama, Tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi yang
menjadi sikap dan pola hidup masyarakat dan penyelenggara negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara (disebut kultur politik); dan Kedua,
Terbentuk dan berjalannya lembaga demokrasi dalam sistem politik dan
pemerintahan (disebut struktur politik).

LANDASAN PENGEMBANGAN DEMOKRASI


Disamping adanya nilai-nilai demokrasi dan lembaga-lembaga demokrasi
yang menopang sistem politik demokrasi, diperlukan pula sejumlah kondisi agar
nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi. Beberapa kondisi
yang diperlukan untuk mengembangkan demokrasi antara lain pertumbuhan
ekonomi yang memadai, pluralisme, dan pola hubungan negara dan masyarakat
(Askuri Ibn Chamin, 2003).
Pertama, Pertumbuhan ekonomi yang memadai. Menurut Robert Dahl
(1971) faktor ekonomi dalam bentuk GNP per kapita (dollar) merupakan salah
satu faktor kondisional penentu demokrasi dalam ukuran dollar. Menurut Dahl

Pendidikan Kewarganegaraan| 45
(1971) bahwa negara dengan GNP per kapita US $ 700 berpeluang besar
membentuk sistem politik demokrasi. Walaupun demikian, menurut Huntington
(1995) kemakmuran ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu tumbuhnya
demokrasi.
Kedua, Pluralisme. Masyarakat plural dipahami sebagai masyarakat yang
terdiri dari berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat
bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan-rintangan sistemik
yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan
kelompok tertentu. Pluralisme mengajarkan kepada kelompok-kelompok yang ada
di dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing
kelompok. Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan
melalui sebuah kompetisi antar kelompok dengan aturan main yang telah
disepakati. Kesadaran pluralism masyarakat ini dapat menghindarkan pecahnya
konflik antar kelompok setiap kali terjadi persaingan di dalamnya.
Ketiga, Pola hubungan negara dan masyarakat merupakan kondisi lain
yang menentukan kualitas pengembangan demokrasi. Demokrasi memerlukan
sebuah negara yang kuat, tetapi menghormati hukum, partai politik, legislatif,
media massa, dan rakyat pada umumnya. Negara seperti inilah yang dapat
memberi perlindungan bagi rakyatnya dan menjadi penopang bagi pengembanga
nilai-nilai demokrasi.

46 |Dikdik Baehaqi Arif


Bab 5
Negara dan Konstitusi

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas dua pokok bahasan. Pertama, negara yang terdiri dari bahasan tentang
pengertian negara, unsur-unsur negara, sifat-sifat negara, dan fungsi dan tujuan negara.
Kedua, konstitusi, yang membahas pengertian konsitusi, pembagian konstitusi, UUD
1945 dan perubahannya.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Menjelaskan pengertian negara
Mengidentifikasi unsur-unsur negara, sifat-sifat negara, dan fungsi dan tujuan negara.
Menjelaskan pengertian konsitusi
Mendeskripsikan pembagian konstitusi
Menganalisis UUD 1945 dan perubahannya.

Istilah kunci
Negara, kedaulatan, konstitusi, undang-undang dasar, amandemen

PENGERTIAN NEGARA
Kata negara berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat (Perancis)
yang berasal dari kata Latin status atau statum yang artinya keadaan yang tegak
dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Istilah itu
umumnya diartikan sebagai kedudukan (standing, station). Misalnya: status
civitatis (kedudukan warga negara), status republicae (kedudukan negara).
Menurut Sokrates, Plato dan Aristoteles, konsep negara telah muncul
dimulai 400 tahun sebelum masehi. Adanya negara di dalam masyarakat itu
didorong oleh dua hal, yaitu manusia sebagai makhluk sosial (animal social/homo
socius) dan manusia sebagai makhluk politik (animal politicum/zoon politicon)
(Thomas Aquinas). Sedangkan menurut Thomas Hobbes, adanya negara itu
diperlukan karena negara merupakan tempat berlindung bagi individu, kelompok,
dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu, kelompok, dan masyarakat,
maupun penguasa yang kuat (otoriter), sebab menurut Hobbes manusia dengan
manusia lainnya memiliki sifat seperti serigala, serigala bagi manusia lainnya
(homo homini lupus).
Dalam pengertian yang sederhana, negara dapat dipahami sebagai suatu
organisasi kekuasan dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang

Pendidikan Kewarganegaraan| 47
bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu
pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau
beberapa kelompok manusia tersebut. Beberapa ahli mengemukakan pengertian
negara menurut sudut pandang mereka masing-masing seperti uraian berikut:
1. Aristoteles, merumuskan negara dalam bukunya Politica, sebagai negara
polis, karena negara masih berada dalam suatu wilayah yang kecil
sehingga warga negara dapat diikutsertakan dalam musyawarah (ecclesia).
2. Agustinus, membedakan negara dalam dua pengertian, yaitu civitas dei
yang artinya negara Tuhan, dan civitas terrena atau civitas diaboli yang
artinya negara duniawi.
3. Nicollo Machiavelli, dalam Il Principle merumuskan negara sebagai
negara kekuasaan. Ia terkenal karena ajarannya tentang tujuan yang dapat
menghalalkan segala cara.
4. Georg Jellinek, mengatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan
dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
5. Kranenburg, negara adalah organisasi yang timbul karena kehendak dari
suatu golongan atau bangsanya sendiri.
6. Roger F. Soultau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama
masyarakat.
7. Harold J. Lasky, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan
karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah
lebih agung daripada individu atau kelompok, yang merupakan bagian dari
masyarakat itu.
8. George Wilhelm Frerdrich Hegel, negara merupakan organisasi kesusilaan
yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan
kemerdekaan universal.
9. John Locke dan Rousseau mengatakan negara adalah suatu badan atau
organisasi hasil daripada perjanjian masyarakat.
10. Max Weber, mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam
suatu wilayah.
11. Mc Iver, menjelaskan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah
yang demi maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.

48 |Dikdik Baehaqi Arif


12. Jean Bodin, negara adalah persekutuan keluarga dengan segala
kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.
12. Soenarko, negara adalah organisasi kekuasaan masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya
sebagai sovereign.
13. R. Djokosoetono, negara ialah suatu organisasi masyarakat atau kumpulan
manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
14. Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dan kekuasaan yang sah.
15. M. Natsir, negara adalah suatu institution yang mempunyai hak, tugas
dan tujuan yang khusus. Institution dalam pengertian umum adalah suatu
badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh
alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh
umum.

UNSUR-UNSUR NEGARA
Dari beberapa pengertian negara sebagaimana tersebut di atas, kita dapat
mengidentifikasi beberapa unsur negara. Secara teoretis, berdasarkan Konvensi
motevideo, unsur negara dapat dibedakan menjadi unsur konstitutif dan unsur
deklaratif. Pertama, unsur konstitutif adalah unsur pembentuk yang harus
dipenuhi agar terbentuk negara. Unsur ini terdiri atas:
1. Wilayah, yaitu daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi
tempat tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber
kehidupan rakyat negara. Wilayah negara mencakup darat, laut, dan udara.
2. Rakyat, yaitu orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk
pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.
3. Pemerintahan yang berdaulat, yaitu adanya penyelenggara negara yang
memiliki kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut.
Pemerintah tersebut memiliki kedaulatan baik ke dalam mau pun keluar.
Kedaulatan ke dalam berarti negara memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh
rakyatnya. Kedaulatan keluar berarti negara mampu mempertahankan diri
dari serangan negara lain.
Kedua, unsur deklaratif adalah unsur yang sifatnya menyatakan, bukan
mutlak harus dipenuhi. Unsur ini terdiri atas:

Pendidikan Kewarganegaraan| 49
1. Tujuan negara
2. Undang Undang Dasar
3. Pengakuan dari negara lain, baik secara de jure maupun de facto,
sebagai contoh, Pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI
atas Indonesia pada 22 Maret 1946. Dengan begitu Mesir tercatat sebagai
negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Setelah itu menyusul Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia dan
Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga Arab juga berperan
penting dalam Pengakuan RI. Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga
Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara
anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka
yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan dukungan kepada
Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan keagamaan, persaudaraan serta
kekeluargaan.
4. Masuknya negara tersebut ke dalam PBB. Indonesia bergabung ke dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 28 September 1950. Karena adanya
konflik antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk
masuk Dewan Keamanan PBB, Soekarno menarik Indonesia dari PBB
pada tanggal 20 Januari 1965. Pada saat kepemimpinan Suharto pada
tahun 1966, Indonesia kembali meminta masuk keanggotaan PBB melalui
pesan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral.

SIFAT-SIFAT NEGARA
Negara memiliki sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan yang
dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja, tidak terdapat pada asosiasi
atau organisasi lainnya. Secara umum, setiap negara memiliki sifat memaksa,
memonopoli, dan sifat mencakup semua (Budiardjo, 1998:40).
1. Sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan
demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki
dicegah, maka negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan kehendak
dan kekuasaannya untuk menyelenggarakan ketertiban, baik dengan
memakai kekerasan fisik maupun melalui jalur hukum (legal). Sarana
untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya.
2. Sifat monopoli, artinya negara memiliki hak menetapkan tujuan bersama
masyarakat. Dalam hal ini, negara memiliki hak untuk melarang sesuatu
yang bertentangan dan menganjurkan sesuatu yang dibutuhkan
masyarakat.

50 |Dikdik Baehaqi Arif


3. Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing, totaliter), artinya
semua peraturan dan kebijakan negara berlaku untuk semua orang tanpa
kecuali.

FUNGSI DAN TUJUAN NEGARA


Fungsi negara dapat dikatakan juga sebagai tugas negara. Negara sebagai
organisasi kekuasaan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Beberapa
ahli merumuskan fungsi negara dalam sudut pandang yang berbeda. John Locke,
membedakan fungsi negara menjadi tiga fungsi, yaitu: Fungsi legislatif (membuat
peraturan), fungsi eksekutif (melaksanakan peraturan), dan fungsi federatif
(mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai). Montesquieu juga
mengemukakan tiga fungsi negara, yang populer dengan nama Trias Politica,
yaitu: fungsi legislatif (yaitu membuat undang-undang), fungsi eksekutif
(melaksanakan undang-undang) dan fungsi yudikatif (untuk mengawasi agar
semua peraturan ditaati atau fungsi mengadili).
Di sisi lain, dikenal pula ajaran Catur Praja yang dikemukakan oleh Van
Vollenhoven dan ajaran Dwi Praja (dichotomy) yang dikemukakan oleh Goodnow.
Ajaran Catur Praja menyatakan bahwa fungsi negara dibagi menjadi empat, yaitu
fungsi regeling (membuat peraturan), fungsi bestuur (menyelenggarakan
pemerintahan), fungsi rechtspraak (fungsi mengadili) dan fungsi politie (fungsi
ketertiban dan keamanan). Sedangkan ajaran Dwi Praja membagi fungsi negara
menjadi dua bagian, yaitu: 1) policy making (kebijaksanaan negara untuk waktu
tertentu, untuk seluruh masyarakat); dan 2) policy executing (kebijaksanaan yang
harus dilaksanakan untuk tercapainya policy making).
Menurut Miriam Budiarjdjo, pada dasarnya fungsi pokok negara terbagi
menjadi empat bagian, yaitu:
1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama
dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Dalam fungsinya
ini, dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini
dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang.
3. Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari
luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4. Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan
pengadilan.

Pendidikan Kewarganegaraan| 51
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan fungsi negara sebagai
berikut:
1. Pertahanan dan keamanan: negara melindungi rakyat, wilayah dan
pemerintahan dari ancaman, tantangan, hambatan, gangguan.
2. Pengaturan dan ketertiban: membuat undang-undang, peraturan
pemerintah.
3. Kesejahteraan dan kemakmuran: mengeksplorasi sumber daya alam
(SDA) dan dumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan dan
kemakmuran.
4. Keadilan menurut hak dan kewajiban: menciptakan dan menegakan
hukum dengan tegas dan tanpa pilih kasih.
Keseluruhan fungsi negara tersebut, diselenggarakan oleh negara untuk
mencapai tujuan negara. Menurut Roger H Soltou, tujuan negara adalah
memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya
sebebas mungkin. Menurut Plato, tujuan negara adalah memajukan kesusilaan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Thomas Aquino
dan Agustinus berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk mencapai
penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat kepada dan di bawah
pimpinan Tuhan.
Dalam hal ini, Pemimpin negara menjalankan kekuasaan hanyalah
berdasarkan kekuasaan Tuhan. Sedangkan Harold J. Laski, mengemukakan
bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.

PENGERTIAN KONSTITUSI
Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia menurut Rukman Amanwinata (Chaidir,
2007:21) berpadanan dengan kata constitution (bahasa Inggris), constitutie
(bahasa Belanda), constitutionel (bahasa Prancis), verfassung (bahasa
Jerman), constitutio (bahasa Latin), fundamental laws (Amerika Serikat).
Selain istilah konstitusi, dikenal pula Undang-Undang Dasar (bahasa Belanda
Grondwet). Perkataan wet diterjemahkan menjadi undang-undang, dan grond
berarti tanah/dasar (Dahlan Thaib, dkk, 2006:7).
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka UUD dapat dipandang
sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan
dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. UUD menentukan cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan

52 |Dikdik Baehaqi Arif


ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, UUD merekam hubungan-
hubungan kekuasaan dalam suatu negara. E.C.S Wade mengartikan UUD sebagai
naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan-
badan tersebut (Dahlan Thaib, dkk 2006:9).
Terhadap istilah konstitusi dan UUD ini, beberapa ahli berbeda pendapat.
Ada sebagian ahli yang secara tegas membedakan keduanya, ada juga yang
menganggapnya sama. L.J Van Apeldoorn salah satunya, membedakan secara
jelas. Menurutnya, Istilah UUD (grondwet) adalah bagian tertulis dari suatu
konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis
maupun yang tidak tertulis. Sedangkan Sri Soemantri (1987:1) mengartikan
konstitusi sama dengan UUD.
Apa sebenarnya konstitusi itu? Menurut Brian Thompson (1997:3), secara
sederhana pertanyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa a
constitution is a document which contains the rules for the operation of an
organization. Bagi setiap organisasi kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu
merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk
badan hukum (legal body, rechtspersoon). Demikian pula negara, pada umumnya,
selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang
Dasar.
Dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan
menyusun konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah
Amerika Serikat (United States of America) pada tahun 1787. Sejak itu, hampir
semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya. Beberapa negara yang
dianggap sampai sekarang dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam
satu naskah tertulis adalah Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. Undang-Undang Da-
sar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi
konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan.
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks
hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood
and Jackson (Asshiddiqie, 2005) sebagai: a body of laws, customs and
conventions that define the composition and powers of the organs of the State and
that regulate the relations of the various State organs to one another and to the
private citizen.
Dengan demikian, menurut Asshiddiqie (2005) ke dalam konsep konstitusi
itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi
kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-
organ negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara itu, dan mengatur

Pendidikan Kewarganegaraan| 53
hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara. Inilah pengertian
yang cukup mewakili dan komprehensif tentang konstitusi.
Dari beberapa pengertian konstitusi tersebut, kita dapat melihat bahwa
hampir semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian,
karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi se-
bagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek (Asshiddiqie,
2005), adalah identify the sources, purposes, uses and restraints of public power
(mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan,
dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada
umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu
pula, konstitutionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich (Asshiddiqie, 2005),
didefinisikan sebagai an institutionalised system of effective, regularised
restraints upon governmental action. Dalam pengertian demikian, persoalan
yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai
pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait dengan pengertian
dan pemahaman tentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana mengenai konsti-
tusi dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Ferdinand Lasalle (1825-1864),
dalam bukunya Uber Verfassungswessen (1862), membagi konstitusi dalam dua
pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip).
Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik
yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu misalnya
raja, parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan (preassure groups),
partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatan-
kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang dipahami sebagai
konstitusi;
2. Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu
naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara
dan sendi-sendi pemerintahan negara. (Abu Daud Busroh dan Abu Bakar
Busroh, 1991:73)
Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran kodifikasi,
sehingga menekankan pentingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Disam-
ping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan politik yang nyata dalam
masyarakat (de riele machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa
yang tertulis di atas kertas UUD mengenai lembaga-lembaga negara, prinsip-
prinsip, dan sendi-sendi dasar pemerintahan negara.

54 |Dikdik Baehaqi Arif


Ahli lain, yaitu Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi,
yaitu:
1. Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi
dilihat dalam arti politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosial-
politik yang nyata dalam masyarakat;
2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis
sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
3. Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah
undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam
suatu negara. (Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:65)
Menurut Hermann Heller, UUD yang tertulis dalam satu naskah yang ber-
sifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah merupakan salah
satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu
konstitusi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konstitusi
yang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran
masyarakat luas, juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh
karena itu pula, dalam bukunya Verfassungslehre, Hermann Heller membagi
konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1. Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini,
konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional
dikembangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial politik
dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap
ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang
belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan
dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;
2. Konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap kedua ini, konstitusi sudah
diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut
pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi dalam pengertian sosial-
politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut di atas, dianggap harus
berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu, setiap pelanggaran terhadapnya
haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti;
3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Pengertian yang terakhir ini
merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan
pengertian rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran
kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan
dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk maksud
mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid),

Pendidikan Kewarganegaraan| 55
kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging), dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).
Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit
maknanya hanya sebagai undang-undang dasar atau konstitusi dalam arti yang
tertulis sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi.
Disamping UUD yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup
dalam kesadaran hukum masyarakat.

UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA


Konstitusi negara Indonesia adalah Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Konstitusi itu ditetapkan pada 18 Agustus 1945
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Secara garis besar, sejak
Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang, telah berlaku tiga macam undang-
undang dasar dalam empat periode, sebagai berikut:
1. UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), terdiri atas bagian
pembukaan, batang tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal aturan peralihan, 2
ayat aturan tambahan) dan bagian penjelasan.
2. UUD RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), teridri atas 6 Bab, 197
Pasal, dan beberapa bagian.
3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959), terdiri atas 6 Bab, 146 pasal,
dan beberapa bagian.
4. UUD 1945 (5 Juli 1959-sekarang)
Apabila keempat periode tersebut kita hubungkan dengan proses
perubahan UUD 1945, maka menurut Jimly Asshiddiqie (2005), bahwa dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, tercatat telah beberapa upaya
perubahan terhadap UUD 1945, antara lain: 1) pembentukan UUD, 2)
penggantian UUD, dan 3) perubahan dalam arti pembaruan UUD.
Pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik
Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan penggantian
konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk Negara
Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan,

56 |Dikdik Baehaqi Arif


Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 (Asshiddiqie, 2005).
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun UUD baru sama
sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus ditugaskan
untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk, diadakanlah
persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun
1959, dengan maksud menyusun UUD yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah
mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya yang dikenal dengan sebutan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstituante
dan menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 menjadi hukum dasar dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perubahan dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 ini tidak ubahnya
bagaikan tindakan penggantian UUD juga. Karena itu, sampai dengan berlakunya
kembali UUD 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia modern belum
pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan UUD, melainkan baru perubahan
dalam arti pembentukan, penyusunan, dan penggantian UUD.
Perubahan dalam arti pembaruan UUD, baru terjadi setelah bangsa
Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden
Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun
1999 dapat diadakan Perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana mestinya.
Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan
Kedua dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 dan Perubahan Ketiga dalam
Sidang Tahunan MPR Tahun 2001. Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002,
disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi naskah-naskah
Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat disusun
kembali secara lebih utuh dalam satu naskah UUD yang mencakupi keseluruhan
hukum dasar yang sistematis dan terpadu.
Kedua bentuk perubahan UUD seperti tersebut, yaitu penggantian dan
perubahan pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas.
Perubahan dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari UUDS
Tahun 1950 ke UUD 1945 adalah contoh tindakan penggantian UUD. Sedangkan
perubahan UUD 1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan
Keempat adalah contoh perubahan UUD melalui naskah Perubahan yang
tersendiri.
Disamping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa
dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan dengan

Pendidikan Kewarganegaraan| 57
cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah UUD. Cara terakhir ini,
boleh jadi, lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi
naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan
materi baru tersebut.
Berkenaan dengan prosedur perubahan UUD, Asshiddiqie (2005)
menjelaskan bahwa terdapat tiga tradisi yang berbeda antara satu negara dengan
negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah
materi UUD dengan langsung memasukkan (insert) materi perubahan itu ke
dalam naskah UUD. Dalam kelompok ini dapat disebut, misalnya, Republik
Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Konstitusi Perancis, misalnya,
terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan ke dalam naskah
aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu dengan mencantumkan tambahan
ketentuan pada Article 3, Article 4 dan ketentuan baru Article 53-273 naskah asli
Konstitusi Perancis yang biasa disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum
terakhir diamandemen pada tanggal 8 Juli 1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga
pernah diubah beberapa kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan
presiden secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai
pertanggungjawaban tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1993, dan
diadakannya perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga
naskah Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi
perubahan itu langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi.
Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan
penggantian naskah UUD. Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi
sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia
dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya,
negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya belum
mapan. Sistem demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan masih
bersifat trial and error. Negara-negara miskin dan yang sedang berkembang di
Asia dan Afrika, banyakyang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi
demikian ini.
Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu tidaklah
dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu terjadi semata-mata karena
keadaan keterpaksaan. Oleh karena itu, kita perlu menyebut secara khusus tradisi
yang dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai model ketiga, yaitu perubahan
konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai
amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan tradisi
demikian, naskah asli UUD tetap utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum
dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan addendum
tambahan terhadap naskah asli tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan

58 |Dikdik Baehaqi Arif


demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada salahnya
negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk mengikuti prosedur
yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali
berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti
mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.
Berkaitan dengan Perubahan UUD 1945, perubahan yang dilakukan telah
mengubah banyak hal dari aturan dasar kehidupan bernegara. Setelah empat kali
perubahan, sesungguhnya UUD 1945 sudah berubah sama sekali menjadi
konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah
berubah secara besar-besaran.
Pada uraian berikut secara berturut-turut akan dijelaskan mengenai dasar
pemikiran, tujuan, dan dasar yuridis formal dari perubahan UUD 1945.
Selanjutnya akan diuraikan pula mengenai kesepakatan dasar dalam perubahan,
awal perubahan, jenis perubahan, dan hasil-hasil perubahan. Uraian akan dikhiri
dengan penjelasan tentang susunan dan sistematika UUD 1945 setelah perubahan
(MPR RI, 2006:6-8).
1. Dasar Pemikiran
Dasar pemikiran dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain karena:
pertama, UUD 1945 membentuk struktur kenegaraan yang bertumpu pada
kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan
rakyat. Hal itu berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling
mengimbangi (checks and balances) pada lembaga-lembaga kenegaraan.
Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan kunci yang
menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki
hubungan dengan rakyat. Kedua, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat
besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD
1945 adalah dominan eksekutif (executive heavy), yakni kekuasaan dominan di
tangan Presiden. Pada diri Presiden terpusat kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional. Hak-hak
konstitusional tersebut lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi). Presiden juga memegang kekuasaan legislatif
karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Dua cabang kekuasaan
negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang
berbeda, tetapi nyatanya berada di satu tangan (Presiden).
Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir). Misalnya Pasal 7 UUD
1945 (sebelum diubah) yang berbunyi Presiden dan Wakil Presiden memegang

Pendidikan Kewarganegaraan| 59
jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan lebih dari satu. Tafsir pertama bahwa
presiden dan wakil presiden dapat dipilih berkali-kali. Tafsir yang kedua bahwa
presiden dan wakil presiden itu hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali
dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 Ayat (1)
UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli.
Rumusan pasal ini pun dapat mendatangkan tafsiran yang beragam, antara lain,
orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia atau
warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia.
Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada
kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. UUD
1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga
Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam
undang-undang.
Kelima, Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang
kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Hal itu membuka peluang
bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and
balances) antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
b. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan
organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi
sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
c. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan
demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya
dikuasi oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai,
justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoly, dan
monopsoni.

2. Tujuan Perubahan UUD 1945


Perubahan UUD 1945, mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:

60 |Dikdik Baehaqi Arif


a. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai
tujuan nasional dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.
b. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan
perkembangan paham demokrasi.
c. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak
asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia
dan sesuai dengan cita-cita negara hukum yang dicita-citakan UUD 1945.
d. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis
dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas,
sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances)
yang lebih kuat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga
negara yang baru untuk mengakomodasi kebutuhan bangsa dan tantangan
zaman.
e. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan
kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan
kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan
negara bagi eksistensi (keberadaan) negara dan demokrasi, seperti
pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
g. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan
berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta
kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

3. Dasar Yuridis Formal Perubahan UUD 1945


Dalam melakukan perubahan UUD 1945, MPR berpedoman pada
ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur prosedur perubahan UUD 1945.
Naskah yang menjadi objek perubahan adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959
oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara
Nomor 75 Tahun 1959.
Sebelum melakukan perubahan UUD 1945, dalam sidang istimewa MPR
tahun 1998, MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang

Pendidikan Kewarganegaraan| 61
Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum
secara nasional dengan persyaratan yang demikian sulit sebelum dilakukan
perubahan UUD 1945. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum ini tidak sesuai dengan cara perubahan seperti diatur pada Pasal 37
UUD 1945. Maka sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam Sidang
Istimewa MPR tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR tentang referendum
tersebut.

4. Kesepakatan Dasar dalam Perubahan UUD 1945


Sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945 MPR melalui Panitia
Ad Hoc I telah menyusun kesepakatan dasar sebagai berikut: Pertama, Tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini karena, 1) Pembukaan UUD 1945
memuat dasar filosofis dan normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD
1945, dan 2) Pembukaan UUD 1945 mengandung staatidee berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan negara, dan dasar negara yang haus
tetap dipertahankan.
Kedua, Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini didasari bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal
berdirinya negara Indonesia, dan negara kesatuan dipandang paling tepat untuk
mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk. Ketiga, Mempertegas
sistem pemerintahan presidensial, dengan maksud untuk memperkukuh sistem
pemerintahan yang stabil dan demokratis, dan karena sistem pemerintahan
presidensial ini sejak tahun 1945 telah dipilih oleh pendiri negara (founding
fathers).
Keempat, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh). Peniadaan Penjelasan UUD
1945 dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan dalam menentukan status
Penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-
undangan. Selain itu, Penjelasan UUD 1945 bukan merupakan produk BPUPKI
maupun PPKI, karena kedua lembaga itu menyusun rancangan Pembukaan dan
Batang Tubuh (pasal-pasal) UUD 1945 tanpa Penjelasan. Dan kelima, melakukan
perubahan dengan cara addendum, artinya Perubahan UUD 1945 itu dilakukan
dengan tetap mempertahankan naskah aslinya. Dan Naskah perubahan-perubahan
UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.

62 |Dikdik Baehaqi Arif


5. Awal Perubahan UUD 1945
Tuntutan reformasi yang menghendaki agar UUD 1945 diamandemen,
sebenarnya telah diawali dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Pada forum
permusyawaratan MPR yang pertama kalinya diselenggarakan pada era reformasi,
MPR telah menerbitkan tiga ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara
langsung mengubah UUD 1945, tetapi telah menyentuh muatan UUD 1945.
Pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan MPR tenang
Referendum itu menetapkan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD
1945 harus dilakukan referendum nasional untuk meminta pendapat rakyat yang
disertai dengan persyaratan yang demikian sulit.
Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa
Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 1 dari Ketetapan itu berbunyi Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan.
Ketentuan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden itu secara substansial sesungguhnya telah mengubah UUD 1945,
yaitu mengubah ketentuan Pasal 7 yang berbunyi Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.
Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Terbitnya Ketetapan itu juga dapat dilihat sebagai penyempurnaan
ketentuan mengenai hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945, seperti
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2).
Berdasarkan uraian tersebut, tampak bahwa ketiga Ketetapan MPR itu
secara substansial telah mengubah UUD 1945. Perubahan yang dilakukan
berkenaan dengan pencabutan ketentuan tentang referendum, pembatasan masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dan penyempurnaan ketentuan mengenai
HAM. Itulah sebabnya bahwa ketentuan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR
itu dipandang sebagai awal perubahan UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 dilakukan sesuai dengan peraturan dan melalui
beberapa tingkatan pembicaraan. Proses perubahan UUD 1945 mengikuti
ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat
pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan terhadap materi sidang

Pendidikan Kewarganegaraan| 63
MPR. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal
tersebut adalah sebagai berikut:
Tingkat I Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang
masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan
putusan majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
Tingkat II Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh
penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum
Fraksi-fraksi.
Tingkat III Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua
hasil Pembicaran Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada Tingkat III
ini merupakan rancangan putusan Majelis.
Tingkat IV Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar
laporan dari inginan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana
perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.

6. Jenis Perubahan UUD 1945


Perubahan UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk mengganti UUD 1945.
Oleh karena itu jenis perubahan yang dilakukan oleh MPR adalah mengubah,
membuat rumusan baru sama sekali, menghapus atau menghilangkan,
memindahkan tempat pasal atau ayat sekaligus mengubah penomoran pasal atau
ayat seperti terurai dalam beberapa contoh berikut.
a. Mengubah rumusan yang telah ada
Pasal 2 (sebelum perubahan)
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-
daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang.
Pasal 2 (setelah perubahan)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
b. Membuat rumusan baru sama sekali
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
c. Menghapuskan/menghilangkan rumusan yang ada.

64 |Dikdik Baehaqi Arif


Ketentuan Bab IV Dewan Pertimbangan Agung, dihapus.
d. Memindahkan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat atau sebaliknya.
Pasal 34 (sebelum perubahan)
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pasal 34 (setelah perubahan)
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pasal 23 (sebelum perubahan)
(1) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 23B (sesudah perubahan)
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.

7. Hasil Perubahan UUD 1945


Setelah melalui tingkat-tingkat pembicaraan sesuai dengan ketentuan Pasal
92 Peraturan Tata Tertib MPR, dalam beberapa kali sidang MPR telah mengambil
putusan empat kali perubahan UD 1945 dengan perincian sebagai berikut.
a. Perubahan Pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR tahun 1999
(tanggal 14 sampai dengan 21 Oktober 1999).
Tabel Perubahan Pertama UUD 1945
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Pertama: 1 Pasal 5 Ayat (1): Presiden Presiden berhak
memegang kekuasaan mengajukan rancangan
Pasal-pasal yang diubah membentuk undang- undang-undang kepada
sebanyak 9 pasal, yaitu undang dengan DPR.
pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, persetujuan DPR.
17, 20, dan 21. 2. Pasal 7: Presiden dan Presiden dan Wakil
Wakil Presiden Presiden memegang
Beberapa perubahan memegang jabatannya jabatan selama lima
penting adalah pasal 5, selama lima tahun dan tahun, dan sesudahnya
7, 14, dan 20. sesudahnya dapat dipilih dapat dipilih kembali
kembali. dalam jabatan yang sama,
hanya untuk satu kali
masa jabatan.
3. Pasal 14: Presiden (1) Presiden memberi
memberi grasi, amnesti, grasi dan rehabilitasi
abolisi, dan rehabilitasi. dengan
memperhatikan
pertimbangan
Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi
amnesti dan abolisi
dengan

Pendidikan Kewarganegaraan| 65
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
memperhatikan
pertimbangan DPR.
4. Pasal 20 Ayat (1): Tiap- DPR memegang
tiap undang-undang kekuasaan membentuk
menghendaki persetujuan undang-undang.
DPR.

b. Perubahan Kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2000
(tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000).
Tabel Perubahan Kedua UUD 1945
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Kedua: 1. Pasal 26 Ayat (2): Syarat- Penduduk ialah warga
syarat yang mengenai negara Indonesia dan
Pasal-pasal yang diubah kewarganegaraan orang asing yang
sebanyak 10 pasal, ditetapkan dengan bertempat tinggal di
yaitu pasal 18, 19, 20, undang-undang. Indonesia.
22, 25, 26, 27, 28, 30, 2. Pasal 28: yang memuat 3 Diperluas menjadi
dan 36. hak asasi manusia. memuat 13 hak asasi
manusia.
Beberapa perubahan
penting adalah pasal 26,
28.

c. Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001
(tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001).
Tabel Perubahan Ketiga UUD 1945
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Ketiga: 1. Pasal 1 Ayat (2): Kedaulatan berada di
Kedaulatan ada di tangan tangan rakyat dan
Pasal-pasal yang diubah rakyat dan dilakukan dilaksanakan menurut
sebanyak 10 pasal, sepenuhnya oleh MPR. UUD.
yaitu pasal 1, 3, 6, 7, 8, 2. Pasal 6 Ayat (1): Presiden Calon Presiden dan Wakil
11, 17, 22, 23, dan 24. ialah orang Indonesia asli. Presiden harus warga
negara Indonesia sejak
Beberapa perubahan kelahirannya.
yang penting adalah Ditambah Pasal 6A:
pasal 1 ayat (2), pasal 6 Presiden dan Wakil
ayat (1), dan pasal 24. Presiden harus warga
negara Indonesia sejak
kelahirannya.
3. Pasal 24 tentang Ditambah sebagai berikut:
kekuasaan kehakiman. Pasal 24 B: Komisi
Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang

66 |Dikdik Baehaqi Arif


Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
mengusulkan
pengangkatan hakim
agung.
Pasal 24C: Mahkamah
Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final
untuk menguji undang-
undang terhadap UUD.

d. Perubahan Keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002
(tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002).
Tabel Perubahan Keempat UUD 1945
Perubahan UUD 1945 No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Keempat. 1. Pasal 2 Ayat (1): MPR MPR terdiri atas Anggota
terdiri atas anggota- Dewan Perwakilan
Pasal-pasal yang diubah anggota Dewan Rakyat (DPR) dan
berjumlah 13, yaitu Perwakilan Rakyat Anggota Dewan
pasal 2, 3, 6, 8, 16, 23, ditambah dengan utusan- Perwakilan Daerah (DPD)
24, 31, 32, 34, 37, utusan dari daerah-daerah yang dipilih melalui
Aturan Peralihan, dan dan golongan-golongan pemilihan umum dan
Aturan Tambahan. menurut aturan yang diatur lebih lanjut dengan
ditetapkan dengan undang-undang.
Beberapa perubahan undang-undang.
yang penting adalah 2. Bab IV Pasal tentang DPA dihapus, diganti
pasal 2 Ayat (1), Bab Dewan Pertimbangan menjadi: Presiden
IV Pasal 16, dan Aturan Agung. membentuk suatu dewan
Peralihan. pertimbangan yang
bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan
kepada presiden, yang
selanjutnya diatur dengan
undang-undang.
3. Aturan Peralihan Pasal
III: Mahkamah Konstitusi
dibentuk selambat-
lambatnya pada tanggal
17 Agustus 2003 dan
sebelum dibentuk segala
kewenangannya
dilakukan oleh
Mahkamah Agung.

Pendidikan Kewarganegaraan| 67
Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun
waktu sekarang dipandang telah tuntas.

8. Susunan UUD 1945 setelah Perubahan


Sebagaimana diketahui, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara
adendum. Setelah mengalami empat tahap perubahan dalam suatu rangkaian
kegiatan, UUD 1945 memiliki susunan sebagai berikut.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 naskah
asli;
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 194;
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Untuk memudahkan pemahaman secara urut, lengkap, dan menyeluruh
UUD 1945 juga disusun dalam satu naskah yang berisikan Pasal-pasal dari
Naskah Asli yang tidak berubah dan Pasal-pasal dari empat naskah hasil
perubahan. Namun, susunan Undang-Undang Dasar dalam satu naskah itu bukan
merupakan naskah resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kedudukannya hanya sebagai risalah sidang dalam rapat paripurna
Sidang Tahunan MPR tahun 2002.

9. Sistematika UUD 1945


Ada yang perlu kita perhatikan dengan seksama, bahwa walaupun UUD
1945 disusun dalam suatu naskah, hal itu sama sekali tidak mengubah sistematika
UUD 1945. Secara penomoran tetap terdiri atas 16 bab dan 37 pasal dan
perubahan bab dan pasal ditandai dengan penambahan huruf (A, B, C, dan
seterusnya) di belakang angka bab atau pasal. Penomoran UUD 1945 yang tetap
tersebut sebagai konsekuensi logis dari pilihan melakukan perubahan UUD 1945
dengan cara adendum (tetap mempertahankan naskah aslinya, perubahan
diletakkan melekat pada naskah asli).

68 |Dikdik Baehaqi Arif


Ditinjau dari aspek sistematika, UUD 1945 hasil perubahan berbeda
dengan UUD 1945 sebelum perubahan. UUD 1945 sebelum diubah terdiri atas
tiga bagian (termasuk penamaannya), yaitu:
Pembukaan (Preambul);
Batang Tubuh;
Penjelasan.
Setelah diubah, UUD 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu:
Pembukaan;
Pasal-pasal (sebagai pengganti istilah Batang Tubuh).
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal, dan 170
ayat, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Setelah diubah,
UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan
serta 2 pasal Aturan Tambahan. Lihat tabel di bawah ini.

Tabel UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan


UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
Naskah UUD Aturan Aturan
No Bab Pasal Ayat
1945 Peralihan Tambahan
1 Sebelum 16 37 49 4 pasal 2 ayat
Perubahan
2 Sesudah 21 73 170 3 pasal 2 pasal
Perubahan

MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 sebagai pelaksanaan salah


satu tuntutan reformasi. Para perumus perubahan UUD 1945 di MPR melakukan
perubahan melalui pembahasan yang mendalam, teliti, cermat, dan menyeluruh.
Selain itu, para perumus perubahan UUD 1945 juga senantiasa mengajak dan
mengikutsertakan berbagai kalangan masyarakat dan penyelenggara negara untuk
berpartisipasi aktif memberikan masukan dan tanggapan. Maka boleh dikatakan
bahwa perubahan UUD 1945 itu telah dilakukan oleh bangsa dan negara
Indonesia.

Pendidikan Kewarganegaraan| 69
Bab 6
Hak Asasi Manusia

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas konsep dasar hak asasi manusia, kategori hak asasi manusia, prinsip-
prinsip pokok hak asasi manusia, sejarah perkembangan hak asasi manusia, hak asasi
manusia dalam UUD 1945

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Mendeskripsikan konsep dasar hak asasi manusia
Mengidentifikasi kategori hak asasi manusia
Menyebutkan prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia
Menganalisis sejarah perkembangan hak asasi manusia
Menilai hak asasi manusia dalam UUD 1945

Istilah kunci
Human rights, political rights, social rights, economic rights

KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA


Dalam pengertian yang sederhana hak asasi manusia (human rights) merupakan
hak yang secara alamiah melekat pada orang semata-mata karena ia merupakan
manusia (human being). HAM meliputi nilai-nilai ideal yang mendasar, yang
tanpa nilai-nilai dasar itu orang tidak dapat hidup sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia. Penghormatan terhadap nilai-nilai dasar itu
memungkinkan individu dan masyarakat bisa berkembang secara penuh dan utuh.
HAM tidak diberikan oleh negara atau tidak pula lahir karena hukum. HAM
berbeda dengan hak biasa yang lahir karena hukum atau karena perjanjian. Dalam
pembahasannya tentang pengertian HAM, Jan Materson, anggota Komisi Hak
Asasi Manusia PBB merumuskan HAM dalam ungkapan berikut: human rights
could be generally defines as those right which area inherent in our natural and
without we cant live as human being. (HAM adalah hak-hak yang secara inheren
melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai
manusia) (Asykuri Ibnu Chamim, 2000:371).
Dari pengertian di atas, kita dapat mencermati dua makna yang terkandung
dalam pengertian HAM, yaitu: Pertama, HAM merupakan hak alamiah yang
melekat dalam diri setiap manusia sejak ia dilahirkan ke dunia. Hak alamiah
adalah hak yang sesuai dengan kodrat manusia sebagai insan merdeka yang
berakal budi dan berperikemanusiaan. Karena itu, tidak ada seorang pun yang

70 |Dikdik Baehaqi Arif


diperkenankan merampas hak tersebut dari tangan pemiliknya, dan tidak ada
kekuasaan apapun yang memiliki keabsahan untuk memperkosanya. Hal ini tidak
berarti bahwa HAM bersifat mutlak tanpa pembatasan, karena batas HAM
seseorang adalah HAM yang melekat pada orang lain. Bila HAM dicabut dari
tangan pemiliknya, manusia akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia.
Kedua, HAM merupakan instrumen untuk menjaga harkat dan martabat manusia
sesuai dengan kodrat kemanusiaannya yang luhur. Tanpa HAM manusia tidak
akan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya sebagai
makhluk Tuhan yang paling mulia.
Dikatakan HAM menurut Ahmad Sanusi (2006:201) ialah karena hak-hak
itu bersumber pada sifat hekekat manusia sendiri yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. HAM itu bukan karena diberikan oleh negara atau pemerintah. Karena
itu, hak-hak itu tidak boleh dirampas atau diasingkan oleh negara dan oleh siapa
pun.
Dengan demikian, maka HAM bukan sekedar hak-hak dasar yang dimiliki
oleh setiap manusia sejak dilahirkannya ke dunia, tetapi juga merupakan standar
normatif yang bersifat universal bagi perlindungan hak-hak dasar itu dalam
lingkup pergaulan nasional, regional dan global. Esensi itu dapat dilihat dalam
Mukaddimah Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan bahwa
pengakuan atas martabat yang luhur dan hak-hak yang sama tidak dapat dicabut
dari semua anggota keluarga manusia, karena merupakan dasar kemerdekaan,
keadilan, dan perdamaian dunia.
Dalam konteks Indonesia, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai berikut:
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang
sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan,
perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan,
dirampas, atau diganggu oleh siapa pun.
Dengan demikian, maka setiap manusia memiliki hak asasi sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi tersebut tidak boleh diabaikan,
dirampas atau diganggu oleh siapa pun karena hak asasi tersebut berfungsi untuk
menjamin kelangsungan hidup manusia, kemerdekaan manusia, perkembangan
manusia dan masyarakat. Apabila ada perlakuan yang mengabaikan, merampas
atau mengganggu hak asasi seseorang, berarti ia telah melakukan pelanggaran
terhadap hak asasi seseorang.
Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, HAM diartikan sebagai berikut:

Pendidikan Kewarganegaraan| 71
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakaan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Dari rumusan HAM di atas dapat dikemukakan bahwa di balik adanya hak
asasi yang perlu dihormati mengandung makna adanya kewajiban asasi dari setiap
orang. Kewajiban asasi yang dimaksud menurut Sapriya dan Udin S. Winataputra
(2003: 137) adalah kewajiban dasar manusia yang ditekankan dalam undang-
undang tersebut sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.
HAM mempunyai sejumlah karakteristik yang menonjol. James W. Nickel
(1996) mengidentifikasi sedikitnya enam karakteristik HAM, yaitu: Pertama,
HAM adalah hak. Makna istilah ini menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma
yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib. Kedua,
hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata
karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung
bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan
kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki
atau tidak memiliki HAM. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat
diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari HAM yang berlaku
sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak
serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang
sah.
Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung
pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di
negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang
efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar
argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski
tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat
kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam
benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk
membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Hak-hak yang
dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot
relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat
absolut. Dengan demikian HAM yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah
sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.

72 |Dikdik Baehaqi Arif


Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan
dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau
penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun
diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang
tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil
langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
Dan terakhir, keenam, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi
praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang
lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan
problem HAM. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan
taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap
atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut
tidak akan pernah menjadi persoalan HAM.

KATEGORI HAK ASASI MANUSIA


Dalam tataran global, hak-hak asasi manusia paling tidak dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori, yaitu HAM yang masuk dalam 1) kategori hak-hak sipil dan
politik; 2) kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; serta 3) kategori hak-hak
solidaritas (solidarity rights). Hak-hak sipil dan politik sering pula disebut sebagai
first generation of rights, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai second
generation of rights, sedangkan hak-hak solidaritas merupakan the third
generation of rights.
Hak-hak sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR (Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,
disingkat DUHAM) dan dalam ICCPR (International Covenant on Civil and
Political Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik).
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam beberapa pasal DUHAM, dan
diatur secara khusus dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya). Sedangkan hak-hak solidaritas, utamanya hak atas
pembangunan, tercantum dalam Resolusi Majelis Umum PBB, tahun 1986, dan
kemudian dalam Deklarasi HAM Dunia di Wina, tahun 1993.
Kiranya sejak awal perlu dikemukakan bahwa penggolongan atau
kategorisasi seperti yang dikemukakan di atas tidaklah bermaksud untuk
mengkotak-kotakan HAM, apalagi mengkotak-kotak sesuai dengan urutan
prioritas. Kategori-kategori sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya antara
hak-hak sipil di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di lain pihak

Pendidikan Kewarganegaraan| 73
sebenarnya merupakan akibat dari polarisasi politik dunia ketika dua instrumen
HAM (ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh PBB. Kalau kategori-kategori itu masih
digunakan, tidak lain hanyalah untuk keperluan praktis demi lebih mudah
mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi yang melekat pada manusia itu,
bukan untuk memisah-misahkan satu dengan yang lainnya, karena sebagaimana
akan dikemukakan kemudian, semua HAM itu tidak dapat dipisahkan dan saling
bergantung.
Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum yang
bersifat global yang mengatur dan menjamin penghormatan dan penegakan HAM
sebenarnya terutama lahir dari kesadaran historis akibat Perang Dunia II. Tragedi
kemanusiaan, terutama pengabaian terhadap nilai-nilai HAM yang paling
mendasar yang terjadi selama Perang Dunia II, menghentakkan kesedaran bangsa-
bangsa di dunia, bahwa persoalan HAM tidak bisa diserahkan atau dianggap
sebagai masalah internal suatu negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat
manusia dan langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu diangkat
menjadi masalah yang harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa,
baik dalam hal penghormatan dan pemenuhannya maupun dalam hal
penegakannya. Hal ini terefleksi dalam beberapa pasal Piagam PBB, yaitu dalam
pasal 1 ayat (3), pasal 55 dan pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini sekaligus
memberikan mandat kepada PBB untuk membuat instrumen-instrumen hukum
HAM, mulai dari DUHAM, lalu disusul ICCPR dan ICESCR, dan kemudian
banyak lagi instrumen hukum lain di bidang HAM.
Hak-hak sipil terkait dengan hak atas integritas/harkat fisik (physical
integrity rights), seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan dan
hak atas prosedur hukum yang adil seperti hak atas peradilan yang jujur dan
fair, praduga tidak bersalah, dan hak untuk diwakili secara hukum). Hak-hak ini
diatur dalam pasal 1 sampai pasal 18 DUHAM, dan diatur lebih lanjut dalam
ICCPR). Hak-hak politik termasuk kebebasan berpendapat, berserikat dan
berkumpul, dan hak untuk memberikan suara dalam pemilu yang bebas dan
rahasia. Hak-hak ini diatur dalam Pasal 19 sampai pasal 21 DUHAM dan pasal
18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR.
Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur dan
dijamin di dalamnya sering juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya bahwa
untuk menjamin terlaksana dan dipenuinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan
yang diatur di dalamnya, maka negara dituntut untuk tidak melakukan intervensi
apa pun, atau peran negara harus dibatasi sampai ke tingkat minimal. Intervensi
atau pembatasan oleh negara terhadap hak-hak yang diatur dalam ICCPR ini

74 |Dikdik Baehaqi Arif


hanya dimungkinkan untuk beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam
keadaan darurat.
Berkaitan dengan hal di atas maka dikenal pula pembedaan antara non-
derogable rights (hak-hak yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan
derogable rights (hak-hak yang bisa dikurangi pemenuhannya). Non-derogable
rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dibaikan, dilanggar
atau dikurangi pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat sekali pun.
Termasuk dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup (rights to life); hak bebas dari
penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free from torture and
inhuman treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi; hak untuk
bebas dari perbudakan dan kerja paksa (rights to be free from slavery); hak atas
pengakuan yang sama di hadapan hukum; hak atas kebebasan berpikir, keyakinan
dan agama; hak untuk bebas dari pemidanaan yang berlaku surut. Bila negara
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang termasuk dalam kategori non-
derogable ini, negara itu bisa dituduh atau dikecam telah melakukan pelanggaran
serius HAM (gross violation of human rights).
Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara. Namun pembatasan atau pengurangan tsb hanya
dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman atau situasi darurat yang
dihadapi dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Alasan-alasan untuk
pengurangan atau pembatasan tersebut, meliputi: 1) menjaga kemananan atau
ketertiban umum; 2) menjaga kesehatan atau moralitas umum; dan 3) menjaga hak
dan kebebasan orang lain. Hak-hak yang termasuk dalam kategori ini terdiri atas:
1) hak atas kebebasan berkumpul; 2) hak untuk berserikat; 3) kekebasan untuk
berpendapat dan berekspresi; 4) kebebasan berpindah dan memilih domisili; 5)
kebebasan bagi warga negara asing.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan
material, sosial dan budaya, dan mula-mula diatur dalam pasal 16, 22 sampai
pasal 29 DUHAM, dan lebih lanjut diatur dalam ICESCR. Hak-hak yang
termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial dan budaya ini, meliputi: hak untuk
bekerja termasuk hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil,
bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak atas pemilikan, hak untuk
mendirikan dan bergabung dengan serikat pekerja, termasuk hak untuk melakukan
pemogokan, hak atas jaminan sosial, hak atas standar hidup yang layak, hak atas
pendidikan, pendidikan dasar wajib dan bebas bagi semua, hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan penikmatan keuntungan kemajuan
ilmu pengetahuan. Hak-hak ini sering disebut sebagai hak-hak positif, karena
tidak seperti dalam hak-hak sipil dan politik, dalam hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya ini, negara harus berperan atau mengambil langkah-langkah positif untuk

Pendidikan Kewarganegaraan| 75
menjamin terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya perumahan, sandang,
pangan, lapangan kerja, pendidikan, dsb. Negara justru akan dianggap melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara aktif atau
menunjukkan peran minus.
Dalam beberapa tahun terkahir, hak-hak solidaritas (solidarity rights)
diakui keberadaannya, meliputi hak atas perdamaian, hak atas lingkungan, dan
hak atas pembangunan. Hak atas pembangunan, khususnya, telah dicantumkan
dalam Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1986. Hak atas pembangunan bisa
didefinisikan sebagai hak setiap orang dan setiap bangsa untuk berpartisipasi,
memberikan kontribusi dan memperoleh manfaat dari pembangunan ekonomi,
sosial, budaya dan politik. Jadi, subjek hak ini adalah individu dan bangsa.

PRINSIP-PRINSIP POKOK HAK ASASI MANUSIA


Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan,
pemajuan dan perlindungan HAM. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip universal, bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang, apa pun
jenis kelaminnya, statusnya, agamanya, suku bangsa atau kebangsaannya;
2. Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable), siapa pun, dengan alas apa
pun, tidak dapat dan tidak boleh mencerabut atau mengambil hak asasi
seseorang. Seseorang tetap mempunyai hak asasinya kendati hukum di
negaranya tidak mengakui dan menghormati hak asasi orang itu, atau
bahkan melanggar hak asasi tersebut. Contohnya, ketika di suatu negara
dipraktekkan perbudakan, budak-budak tetap mempunyai hak-hak asasi,
kendati hak-haknya itu dilanggar.
3. Prinsip tidak dapat dipisahkan (indivisible), bahwa hak-hak sipil dan
politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak
pembangungan, tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan,
pemenuhan, pemantauan maupun penegakannya.
4. Prinsip saling tergantung (inter-dependent), bahwa disamping tidak dapat
dipisahkan, hak-hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya,
sehingga pemenuhan hak asasi yang satu akan mempengaruhi pemenuhan
hak asasi lainnya. Contohnya, kurang berjalannya hak-hak sipil dan
politik, bisa menjuruskan suatu negara ke pemerintahan yang otoriter dan
korup; pada gilirannya, pemerintahan yang otoriter dan korup bisa
menjerumuskan negara pada ketertinggalan di bidang ekonomi, yang
akhirnya bisa bermuara pada kemiskinan (tidak terpenuhinya hak-hak
ekonomi). Oleh karena itu, prinsip ini sekaligus mengakhiri perdebatan

76 |Dikdik Baehaqi Arif


mengenai prioritas pemenuhan dan pemajuan HAM, dimana beberapa
negara semula berpandangan bahwa suatu kategori HAM tertentu harus
mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibandingkan dengan kategori
HAM lainnya.
5. Prinsip keseimbangan, bahwa (perlu) ada keseimbangan dan keselarasan di
antara HAM perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung jawab
perorangan terhadap individu yang lain, masyarakat dan bangsa di pihak
lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk individu
dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan
tanggung jawab merupakan faktor penting dalam penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM;
6. Prinsip partikularisme, bahwa kekhususan nasional dan regional serta
berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang
penting dan harus terus menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta
merta menjadi alasan untuk tidak memajukan dan melindungi HAM,
karena adalah tugas semua negara, apa pun sistem politik, ekonomi dan
budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua HAM.

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA


Terwujudnya Universal Declaration of Human Rights yang dinyatakan pada
tanggal 10 Desember 1948 ditempuh melalui proses yang cukup panjang.
Sebelum terwujudnya deklarasi tersebut, terdapat beberapa dokumen yang
memperjuangkan penegakan HAM di muka bumi, yaitu sebagai berikut:
1. Piagam Madinah (shahifatul madinah) juga dikenal dengan
sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun
oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal
antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di
Yatsrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut
disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan
pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk
itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas
pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan
komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
2. Piagam Magna Charta. Dideklarasikan di Inggris tahun 1215. Magna
Charta merupakan cikal bakal (embrio) HAM. Piagam ini membatasi
kekuasaan Raja John yang absolut. Dengan piagam ini, raja bisa dimintai

Pendidikan Kewarganegaraan| 77
pertanggungjawabannya di muka hukum dan raja harus bertanggung
jawab kepada parlemen. Walaupun demikian, raja tetap berwenang
membuat Undang-Undang.
3. Dokumen Bill of Rights. Perkembangan yang lebih konkret tentang HAM
terjadi setelah lahirnya piagam ini di Inggris pada tahun 1689. Piagam ini
ditandatangani Raja William III. Inti piagam ini menyatakan bahwa
manusia sama di muka hukum (equality before the law). Paham inilah
yang menjadi embrio Negara hukum, demokrasi, dan persamaan.
4. Declaration of Independence. Perkembangan HAM yang lebih modern
ditandai dengan lahirnya piagam ini, yakni deklarasi kemerdekaan
Amerika dari tangan Inggris tahun 1776. Piagam ini disusun oleh Thomas
Jefferson yang bersumber dari ajaran Montesquieu. Deklarasi ini
menekankan pentingnya kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dr.
Sun Yat Sen menggunakan asas ini di Tiongkok, yang dikenal sebagai min
tsu, min chuan, dan min seng.
5. Declaration des Droits de Ilhomme er du Citoyen. Piagam ini merupakan
Piagam Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang dideklarasikan di
Prancis, tahun 1789. Piagam ini banyak dipengaruhi oleh Declaration of
Independence karena jasa Lafayette, seorang jenderaldari Prancis yang
ikut berperang di Amerika pada waktu negeri tersebut membebaskan diri
dari penjajah Inggris. Sekembalinya ke Prancis, Lafayette berjuang untuk
melahirkan Piagam Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di negerinya.
Piagam ini merupakan dasar dari rule of law yang melarang penangkapan
secara sewenang-wenang. Disamping itu, piagam ini pun menekankan
pentingnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),
kebebasan berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan beragama
(freedom of religion), serta adanya perlindungan terhadap hak milik (the
right of property).
6. UUD 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, ditetapkanlah UUD yang dikenal
sebagai UUD 1945. Pada alinea pertama ditegaskan sebagai berikut:
bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,.
7. The Universal Declaration of Human Rights. Pada Perang Dunia II,
Presiden Amerika Serikat, Roosevelt, mendeklarasikan The Four
Freedom, antara lain bebas berpendapat dan berekspresi (freedom of
speech and expression) serta bebas dari ketakutan (freedom for fear).
Deklarasi Roosevelt inilah yang menjadi dasar lahirnya Piagam HAM

78 |Dikdik Baehaqi Arif


PBB, yakni The Universal Declaration of Human Rights. Piagam tersebut
dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada sidangnya tanggal
10 Desember 1948. Deklarasi tersebut akhirnya diterima secara resmi
dalam Sidang Umum PBB.
Keberhasilan diterimanya Universal Declaration of Human Rights diikuti
oleh keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convention) mengenai Genocide
(1948), tentang Kerja Paksa (1957), tentang Diskriminasi Gender (1951 dan
1962), dan Diskriminasi berdasarkan ras (1965). Pada tahun 1966, secara
aklamasi diterima pula suatu perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan perjanjian
tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on Civil and Political Rights).

Skema Sejarah Perkembangana HAM


Sumber: Halili (2009)

HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945


Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya
memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian HAM. Pasal-
pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM itu adalah:

Pendidikan Kewarganegaraan| 79
1. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
2. Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
3. Pasal 28 yang berbunyi, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang;
4. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
5. Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara;
6. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran;
7. Pasal 34 yang berbunyi, Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
diperlihara oleh negara.
Namun, menurut Asshiddiqie (2008) jika diperhatikan dengan sungguh-
sungguh, hanya 1 ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan
konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang
HAM, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens
rights atau biasa juga disebut the citizens constitutional rights. Apa bedanya?
Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai
warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang
berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya
adalah Pasal 29 Ayat (2) tersebut. Selain itu, Asshiddiqie (2008) juga menjelaskan
bahwa ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM.
Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan konstitusional
secara langsung dan tegas mengenai adanya kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih
akan ditetapkan dengan undang-undang.

80 |Dikdik Baehaqi Arif


Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan (2),
Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan
hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi
warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguh-
sungguh berkaitan dengan ketentuan HAM hanya satu saja, yaitu Pasal 29 Ayat
(2) UUD 1945.

Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan


Dewasa ini, setelah dilakukannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000,
ketentuan mengenai HAM dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7
butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan
konstitusional HAM, sekarang telah bertambah secara signifikan. Ketentuan baru
yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000
termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan
lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, menurut Asshiddiqie (2008)
perumusan tentang HAM dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan
sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang
dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
Pasal-pasal tentang HAM, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai
dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi
materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu,
untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan
historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat
dalam satu kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-
ketentuan tentang hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistem
hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional
dan deklarasi universal tentang HAM serta berbagai instrumen hukum
internasional lainnya.
Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan
hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan HAM,
dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan
(Asshiddiqie, 2008). Diantara keempat kelompok HAM tersebut, terdapat HAM

Pendidikan Kewarganegaraan| 81
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights,
yaitu:
1. Hak untuk hidup;
2. Hak untuk tidak disiksa;
3. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4. Hak beragama;
5. Hak untuk tidak diperbudak;
6. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok
pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang
meliputi:
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupannya;
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat kemanusiaan;
3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati
nurani;
6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan;
8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut;
9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah;
10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya,
meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

82 |Dikdik Baehaqi Arif


13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan
berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
meliputi:
1. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;
2. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka
lembaga perwakilan rakyat;
3. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan
publik;
4. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah
dan layak bagi kemanusiaan;
5. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat
perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia
yang bermartabat;
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan
pengajaran;
10. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak
masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa-bangsa;
12. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya
itu.
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang
meliputi:

Pendidikan Kewarganegaraan| 83
1. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk
kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan
terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan yang sama;
2. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender
dalam kehidupan nasional;
3. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh
fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan
orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan
mental serta perkembangan pribadinya;
5. Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan
turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang
dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok
tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus
tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan
kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai
dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan
ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak
yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-
undang.

84 |Dikdik Baehaqi Arif


Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori HAM yang berlaku
bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya
bagi warga negara Republik Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang
tercantum dalam UUD 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-
undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional
sehingga dapat disebut memiliki constitutional importance yang sama dengan
yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai dengan prinsip kontrak sosial
(social contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan
sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Demikian
pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh negara
melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan kewajiban-kewajiban
konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.

Pendidikan Kewarganegaraan| 85
Bab 7
Sistem Pemerintahan dan
Otonomi Daerah

Lingkup kajian
Bab ini membahas dua kajian. Pertama, sistem pemerintahan yang meliputi karateristik
sistem pemerintahan, sistem pemerintahan parlementer dan presidensial, dan sistem
pemerintahan di Indonesia. Kedua, otonomi daerah yang meliputi pengertian otonomi
daerah, pembagian urusan pemerintahan, dan hak dan kewajiban daerah dalam otonomi
daerah.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Menjelaskan karateristik sistem pemerintahan dan otonomi daerah
Mengidentifikasi sistem pemerintahan parlementer dan presidensial dan pembagian
urusan pemerintahan dalam otonomi daerah
Mendeskripsikan sistem pemerintahan di Indonesia
Menganalisis hak dan kewajiban daerah dalam otonomi daerah

Istilah kunci
Sistem pemerintahan, parlementer, presidensial, otonomi daerah, pemerintahan daerah,
desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan

KARAKTERISTIK SISTEM PEMERINTAHAN


Sistem pemerintahan pada hakekatnya adalah relasi kekuasaan antara kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan legislatif. Menurut Asshiddiqie (2006:108) apabila
disederhanakan, sistem pemerintahan yang dikenal di dunia dewasa ini dapat
dirumuskan dalam empat model, yaitu model Inggris, Amerika Serikat, Perancis,
dan Swiss. Amerika Serikat menganut sistem presidensiil. Hampir semua negara
dibenua Amerika, kecuali beberapa seperti Kanada, meniru Amerika Serikat
dalam hal ini. Di benua Eropa dan kebanyakan negara Asia pada umumnya
menggunakan model Inggris, yaitu sistem parlementer. Tetapi, Perancis memiliki
model tersendiri yang bersifat campuran atau yang biasa disebut dengan hybrid
system. Pada umumnya negara-negara bekas jajahan Perancis di Afrika
menganut sistem campuran itu. Di satu segi ada pembedaan antara Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan, tetapi Kepala Negaranya adalah Presiden yang dipilih
dan bertanggungjawab kepada rakyat secara langsung seperti dalam sistem
presidensiil. Sedangkan Kepala Pemerintahan di satu segi bertanggungjawab
kepada Presiden, tetapi di segi lain, ia diangkat karena kedudukannya sebagai

86 |Dikdik Baehaqi Arif


pemenang pemilu yang menduduki kursi parlemen, dan karena itu ia juga
bertanggungjawab kepada parlemen.
Selain ketiga model itu, yang agak khas adalah Swiss yang juga
mempunyai Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi mereka itu dipilih dari dan oleh
tujuh orang anggota Dewan Federal untuk masa jabatan secara bergantian setiap
tahun. Sebenarnya ke-tujuh orang anggota Dewan Federal itulah yang secara
bersama-sama memimpin negara dan pemerintahan Swiss. Karena itu, sistem
pemerintahan Swiss ini biasa disebut sebagai collegial system yang sangat
berbeda dari tradisi presidentialisme atau parlementarisme di mana-mana.

SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN


PRESIDENSIAL
Tentang sistem pemerintahan parlementer, Mahfud MD (2000:74) menulis ada
empat ciri parlementarisme. Pertama, kepala negara tidak berkedudukan sebagai
kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa).
Kedua, pemerintahan diselenggarakan sebuah kabinet yang dipimpin seorang
perdana menteri. Ketiga, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan kabinet
dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi. Keempat, kedudukan eksekutif (kabinet)
lebih rendah daripada parlemen, karena itu kabinet bergantung pada parlemen.
Sedangkan terkait dengan sistem presidensial dapat dikemukakan bahwa
ide utama sistem presidensial pada dasarnya adalah meletakan presiden sebagai
poros kekuasaan pemerintahan, tetapi penerapannya tetap dalam kendali rakyat
dalam kerangka demokrasi (Yuda AR, 2010:15). Basis legitimasi presiden
bersumber dari rakyat, bukan parlemen, seperti halnya sistem parlementer. Karena
itu, sistem pemerintahan presidensial ditandai dengan penerapan sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan
yang tetap (fixed term). Implikasinya adalah presiden tidak bertanggung jawab
kepada lembaga parlemen, seperti halnya sistem parlementer, melainkan langsung
bertanggung jawab kepada rakyat. Disamping itu, presiden tidak mudah
dijatuhkan parlemen (legislative). Begitu pun halnya dengan institusi parlemen, ia
bersifat tetap dan tidak dapat dibubarkan oleh presiden. Kedua lembaga itu
(eksekutif dan legislatif) tidak dapat saling menjatuhkan. Konsekuensinya, proses
pemakzulan presiden dan wakil presiden dari jabatannya hanya bias dilakukan
melalui proses peradilan (proses hukum), dan bukan proses politik.
Beberapa ahli merumuskan karakteristik sistem pemerintahan presidensial
sebagaimana diuraikan dalam tulisan Hanta Yuda AR (2010, 13-16) sebagai
berikut. Sartori mengemukakan tiga ciri utama sistem pemerintahan presidensial,
pertama, kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara langsung oleh rakyat

Pendidikan Kewarganegaraan| 87
untuk masa jabatan tertentu. Kedua, dalam masa jabatannya presiden tidak dapat
dijatuhkan parlemen, ketiga, presiden memimpin secara langsung pemerintahan
yang dibentuknya. Sedangkan Verney mengajukan tiga karakteristik lain,
pertama, kekuasaan eksektutif bersifat tidak terbagi (sole executive) jabatan
kepala negara (head of the state) sekaligus kepala pemerintahan (head of
government). Kedua, tidak ada peleburan antara eksekutif dan legislatif, sehingga
majelis tidak berubah menjadi parlemen dan presiden tidak dapat membubarkan
atau memaksa majelis. Ketiga, presiden (eksekutif) bertanggung jawab kepada
konstitusi dan secara langsung kepada pemilih (rakyat).
Ball dan Petters juga merumuskan empat karakteristik presidensialisme
yang sejalan dengan alur logika di atas, pertama, posisi presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedua, presiden tidak dipilih parlemen,
melainkan dipilih langsung oleh rakyat, ketiga, presiden bukan bagian dari
lembaga parlemen; presiden tidak dapat diberhentikan parlemen, kecuali melalui
mekanisme pemakzulan (impeachment). Keempat, presiden tidak dapat
membubarkan parlemen.
Heywood merumuskan beberapa karakteristik sistem presidensial, yaitu
pertama, Kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat seorang presiden. kedua,
Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden sedangkan cabinet yang terdiri
atas menteri-menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden. Dan ketiga, terdapat pemisahan personel yang ada di parlemen dan di
pemerintah.
Menurut Mainwaring, sistem presidensial paling tidak memiliki dua ciri,
pertama, pemilihan kepala pemerintahan (presiden) diselenggarakan secara
terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislative
tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua,
kepala pemerintahan dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap
(fixed term). Sedangkan menurut Arend Lijphart terdapat tiga karakteristik sistem
presidensial, yaitu pertama, eksektutif dijalankan oleh satu orang (presiden).
Kedua, eksektufi dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, masa jabatan presiden
bersifat tetap dan tidak dapat diberhentikan berdasarkan pemungutan suara di
parlemen.
Sementara itu, Asshiddiqie (1996, 204-206) juga merumuskan beberapa
ciri penting presidensialisme, pertama, masa jabatan presiden dan wakil presiden
telah ditentukan dengan pasti, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun,
sehingga presiden dan juga wakil presiden tidak dapat diberhentikan di tengah
masa jabatannya karena alasan politik. Di beberapa negara periode masa jabatan
ini biasanya dibatasi dengan jelas, hanya satu kali masa jabatan atau dua kali masa
jabatan berturut-turut.

88 |Dikdik Baehaqi Arif


Kedua, presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada
lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung
bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden dan wakil presiden hanya dapat
diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang biasanya
dibatasi pada kasus-kasus tindak pidana tertentu yang bila dibiarkan tanpa
pertanggungjawaban dapat menimbulkan masalah hukum yang serius, seperti
misalnya pengkhianatan kepada negara dan pelanggaran yang nyata terhadap
konstitusi.
Ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung ataupun
melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen
sebagaimana hakikat lembaga permanen. Keempat, dalam hubungannya dengan
lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada parlemen dan tidak dapat
membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan
presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana dalam praktik sistem
parlementer.
Kelima, dalam sistem presidensial tidak dikenal pembedaan antara fungsi
kepala negara dan kepala pemerintahan. Sementara dalam sistem parlementer,
pembedaan dan bahkan pemisahan kedua jabatan, kepala negara dan kepala
pemerintahan, merupakan suatu kelaziman dan keniscayaan. Keenam, tanggung
jawab pemerintah berada di pundak presiden. Karena itu, presiden yang
berwenang membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan
memberhentikan para menteri serta pejabat-pejabat publik yang pengangkatan dan
pemberhentiannya dilakukan berdasarkan political appointment.

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA


Perjalanan institusionalisasi sistem pemerintahan presidensial di Indonesia
dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada 18
Agustus 1945. Artinya, secara resmi sistem pemerintahan presidensial
dilembagakan melalui konstitusi. Tentang perjalanan sistem pemerintahan di
Indonesia ini, Hanta Yuda (2010:82) membaginya ke dalam tiga periode, yaitu 1)
Orde Lama: Percobaan Presidensialisme; 2) Orde Baru: Presidensialisme tanpa
checks and balances; dan 3) Periode Reformasi: Menuju Purifikasi
Presidensialisme.
Sistem presidensialisme pada awal kemerdekaan yang diterapkan oleh
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berlangsung cukup
singkat, tidak lebih dari 3 bulan. Sistem pemerintahan dalam masa transisi dari
pemerintahan kolonial itu sebetulnya belum mantap, karena Indonesia masih
dalam rangka mencari bentuk. Sistem pemerintahan Indonesia saat itu dapat

Pendidikan Kewarganegaraan| 89
disebut sebagai sistem pemerintahan semipresidensial atau cikal bakal menuju
purifikasi sistem presidensial.
Pada awal kemerdekaan, dinamika perjalanan pemerintahan Indonesia
lebih diwarnai oleh sistem parlementer. Terlebih sejak dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden No. X. Kedudukan Presiden Soekarno sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan berubah fungsi hanya sebagai kepala negara,
sedang kepala pemerintahan dipegang oleh seorang perdana menteri. Dengan
demikian, maka telah terjadi perubahan fundamental dalam konstruksi politik
ketatanegaraan Indonesia, yaitu perubahan dari sistem pemerintahan presidensial
menjadi sistem parlementer.
Pelembagaan sistem parlementer dimulai sejak terbentuknya kabinet
parlementer pertama, yaitu Kabinet Syahrir I pada tanggal 14 Desember 1945.
Perubahan itu diusulkan oleh Badan Pekerja KNIP. Setelah Kabinet Syahrir, lalu
silih berganti kabinet parlementer itu dipimpin perdana menteri.
Sistem parlementer juga diterapkan pada masa Republik Indonesia Serikat
(RIS). Sebagai negara federal, RIS menerapkan sistem pemerintahan dan sistem
kabinet parlementer. Begitu pun halnya pada masa diberlakukannya UUDS 1950,
sistem pemerintahan yang diterapkan masih bercorak parlementer. DPR pada
masa itu dapat memaksa menteri untuk melepaskan jabatannya di kabinet, dan
sebagai imbangannya, presiden dapat membubarkan DPR (Hanta Yuda, 2010:85).
Pada masa Orde Baru, terdapat dua ciri institusionalisasi sistem
presidensial dalam UUD 1945. Pertama, kedudukan presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedua, kekuasaan dan hak prerogatif
presiden untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet. Namun
demikian, corak pemerintahan masa Orde Baru menurut Hanta Yuda (2010:86)
dikatakan sebagai sistem semipresidensial dengan beberapa kepincangan.
Kepincangan dalam sistem pemerintahan semipresidensial pada masa Orde
Baru adalah (Hanta Yuda, 2010:86-87):
1. Sistem presidensial yang diterapkan tanpa mekanisme checks and
balances antara presiden dan parlemen. Presiden menjalankan
kekuasannya tanpa dikontrol parlemen. Parlemen hanya menjadi stempel
pemerintah dan menjadi alat legitimasi kekuasaan yang sepenuhnya berada
di tangan presiden.
2. Masa jabatan presiden bersifat tidak tetap dan tanpa pembatasan.
3. Fungsi wakil presiden yang sangat inferior di hadapan presiden, padahal
dalam sistem presidensial posisi wakil presiden cukup kuat, karena jabatan
presiden dan wakil presiden merupakan institusi tunggal.

90 |Dikdik Baehaqi Arif


Pada masa reformasi, proses pemurnian sistem presidensial mulai muncul
pada masa pemerintahan BJ Habibie yang berlanjut pada masa pemrintahan
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Bahkan pada masa kedua
presiden itulah pengokohan sistem presidensial didesain dalam konstitusi melalui
amandemen UUD 1945.
Pengokohan sistem presidensial pada masa reformasi ditandai oleh dua
hal. Pertama, penguatan fungsi checks and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif. Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden, sebagaimana
termuat dalam rumusan pasal 7 UUD 1945 Presiden dan wakil presiden
memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Secara rinci, hasil pemurnian (purifikasi) sistem presidensial pada masa
reformasi dapat dibaca pada tabel berikut.
Tabel Purifikasi Presidensialisme melalui Amandemen Konstitusi
Aspek
No Sebelum Amandemen Setelah Amandemen
Konstitusi
1 Masa Jabatan Presiden dapat dipilih lagi Presiden dipilih dalam lima
Presiden setiap lima tahun (tidak ada tahun dan hanya dapat dipilih
pembatasan jabatan). Selain kembali selama satu masa
itu, jabatan presiden tidak jabatan, jadi terbatas selama
pasti, mudah diberhentikan di dua kali lima tahun. Jabatan
masa jabatannya. presiden lebih bersifat pasti
(fixed term), tidak mudah
diberhentikan
2 Relasi presiden Lembaga eksekutif (presiden) Kekuasaan eksekutif sudah
dan parlemen lebih dominan daripada berbagai dengan parlemen
parlemen dan fungsi checks (DPR dan DPD). Adanya
and balances sangat rendah kemandirian dan fungsi
(executive heavy) checks and balances antara
presiden dan parlemen
3 Sistem Sistem pemilihan tidak Sistem pemilihan langsung,
pemilihan langsung, dipilih oleh MPR dipilih oleh rakyat
presiden
4 Mekanisme Presiden dan wakil presiden Presiden dan wakil presiden
pencalonan dicalonkan dan dipilih tidak dicalonkan dan dipilih dalam
presiden dalam satu paket. Setelah satu paket
presiden terpilih, baru
diadakan pemilihan wakil
presiden oleh MPR
5 Prosedur Impeachment lebih bersifat Impeachment hanya dapat
impeachment politis ketimbang alasan dilakukan karena alasan
hukum. Prosesnya relatif lebih hukum. Hal ini diatur secara
mudah dengan mencapai suara jelas dalam konstitusi.
mayoritas untuk menolak Presiden bisa dimakzulkan
pidato pertanggungjawaban apabila terbukti telah

Pendidikan Kewarganegaraan| 91
Aspek
No Sebelum Amandemen Setelah Amandemen
Konstitusi
presiden, maka presiden dapat melakukan pelanggaran
dimakzulkan hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden.
Selain itu persyaratannya lebih
sulit, karena mensyaratkan
pengambilan keputusan di
DPR, Mahkamah Konstitusi,
dan MPR
Sumber: Hanta Yuda (2010:98-99)

OTONOMI DAERAH
Pengertian Otonomi Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD 1945). Pemerintahan daerah
sendiri adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Tujuan penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah.
Dalam rumusan normatif undang-undang tentang pemerintahan daerah,
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Siapakah pemerintahan
daerah itu? Pemerintahan daerah adalah: 1) pemerintahan daerah provinsi yang
terdiri atas pemerintah daerah provinsi (kepala daerah dan perangkat daerah) dan
DPRD provinsi; dan 2) pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
pemerintah daerah kabupaten/kota (kepala daerah dan perangkat daerah) dan
DPRD kabupaten/kota.

92 |Dikdik Baehaqi Arif


Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah
Dalam konteks negara kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat dan
daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga pola, yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan) (Noer Fauzi dan R.Yando
Zakaria, 2000:11). Pertama, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan. Menurut Bagir Manan (2001:174), desentralisasi mengandung segi
positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pertahanan keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan,
desentralisasi menunjukkan:
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai
perubahan yang terjadi dengan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan
lebih efisien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang
lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas
atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-
daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan
kemampuannya daerah (Josep Riwu Kaho, 1991:14). Jadi desentralisasi adalah
penyerahan wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari
institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat
bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi wewenang tertentu itu berhak
bertindak atas nama sendiri dalam urusan tersebut (Noer Fauzi dan R.Yando
Zakaria, 11).
Ada dua jenis desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas
pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah
penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas
pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal Pendidikan
dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain. (Noer Fauzi dan R.Yando
Zakaria, 2000:11)
Kedua, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan
kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang melimpahkan

Pendidikan Kewarganegaraan| 93
kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi
kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan. Sebab
terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat
atau aparatnya untuk melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka
menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah, sebab pejabat-pejabat atau
aparatnya merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. (Noer
Fauzi dan R.Yando Zakaria, 2000:11)
Ketiga, tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas
dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud
dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu,
yang tersusun secara vertikal. Jadi medebewind merupakan kewajiban-kewajiban
untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya
bercirikan tiga hal yaitu :
1. Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah
otonom untuk melaksanakannya.
2. Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai
kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan
daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi kemungkinan
untuk itu.
3. Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerah-daerah otonom saja,
tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.

Pembagian Urusan Pemerintahan


Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat
meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal
nasional; dan agama. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib
yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;

94 |Dikdik Baehaqi Arif


5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota ; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
Sementara itu, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan;
7. penanggulangan masalah sosial;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

Pendidikan Kewarganegaraan| 95
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.

Hak dan Kewajiban Daerah dalam Otonomi Daerah


Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah, baik daerah provinsi maupun
daerah kabupaten/kota mempunyai hak sebagai berikut:
1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
2. memilih pimpinan daerah;
3. mengelola aparatur daerah;
4. mengelola kekayaan daerah;
5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan
perundangundangan.
Sedangkan kewajiban daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah
adalah sebagai berikut:
1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat;
3. mengembangkan kehidupan demokrasi;

96 |Dikdik Baehaqi Arif


4. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
8. mengembangkan sistem jaminan sosial;
9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. melestarikan lingkungan hidup;
12. mengelola administrasi kependudukan;
13. melestarikan nilai sosial budaya;
14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak dan kewajiban daerah di atas diwujudkan dalam bentuk rencana kerja
pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan
pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah
yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan
taat pada peraturan perundang-undangan.

Pendidikan Kewarganegaraan| 97
Bab 8
Wawasan Nusantara

Lingkup kajian
Bab ini membahas Konsep Geopolitik dan Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik
Indonesia.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Menjelaskan pengertian geopolitik
Mendeskripsikan sejarah lahirnya konsep geopolitik di dunia
Menjelaskan konsep dasar wawasan nusantara
Menganalisis wawasan nusantara sebagai wawasan nasional Indonesia
Mengidentifikasi landasan wawasan nusantara

Istilah kunci
Geopolitik, wawasan nasional, wawasan nusantara, rasa kebangsaan, paham kebangsaan,
dan semangat kebangsaan.

KONSEP GEOPOLITIK
Pengertian Geopolitik
Istilah geopolitik berasal dari dua pengertian, yaitu geo yang berarti bumi, dan
politik, yang berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan
tujuan nasional. Dengan demikian, geopolitik dapat diartikan sebagai sebuah
kebijakan politik suatu negara yang memanfaatkan geografi sebagai basis
penguasaan ruang hidup demi terjaminnya kelangsungan hidup dan
pengembangan kehidupan negara yang bersangkutan.
Mengapa geografi? Geografi adalah ruang hidup, ruang hidup adalah
sumber daya, sumber daya adalah energi dan ekonomi, energi dan ekonomi adalah
kekuasaan (power). Oleh karena itu, geografi, teritori dan ruang hidup dengan
segala isinya harus dikuasai bila perlu dengan menggunakan senjata. Dengan
demikian, geopolitik merupakan pengembangan dari geografi politik (dalam arti
pendistribusian kekuasaan, kewenangan dan tanggung jawab) dengan berdasarkan
pada konstelasi geografi untuk menyelenggarakan kepentingan nasional.
Konsep geopolitik tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan ruang
hidup manusia, masyarakat dan bangsa. Kesadaran ini terkait secara tidak

98 |Dikdik Baehaqi Arif


langsung dari kebutuhan keamanan bagi diri manusia, lebih-lebih bagi manusia
yang telah membangsa. Setelah bangsa menegara, kesadaran ruang menjadi
kesadaran kedaulatan, sehingga membuat batas-batas negara (boundary), dengan
melalui seperangkat hukum dan aparat penjamin tegaknya tertib hukum dan
kedaulatan.
Tujuan penentuan garis batas selain untuk integrasi bangsa, juga untuk
memperjelas batas pembinaan sumber daya alam untuk keperluan keamanan
maupun kesejahteraan. Namun pada bangsa-bangsa yang bersifat heterogen dapat
menjadi disintegrasi apabila pemerintah tidak cukup memperhatikan daerah-
daerah terpencil yang berada di perbatasan serta sarana transportasi dan
komunikasi yang cukup.

Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia


Secara historis, sebelum abad XIX, pandangan geopolitik terhadap dunia hanya
berkisar pada lingkungan negara dan negara tetangga di sekitarnya. Para ahli
belum memahami geografi bumi secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena
pengetahuan manusia tentang bumi belum lengkap, alat transportasi dan
komunikasi yang sangat minim terutama kemampuan jelajahnya.
Pemahaman tentang geopolitik secara eksplisit sebagai ilmu dalam bentuk
teori-teori ilmiah mulai timbul sejak abad XIX seiring dengan kemajuan-
kemajuan dan perubahan besar di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ditandai dengan revolusi industri. Revolusi industri menjadikan pentingnya
daerah-daerah baru sebagai sumber bahan baku dan sekaligus tempat pemasaran
hasil industri.
Istilah Geopolitik untuk pertama sekali diperkenalkan oleh ilmuawan
politik Swedia Rudolf Kjellen pada masa hampir bersamaan dengan pada saat
Ratzel, sarjana Geografi Jerman mendefinisikan Geografi Politik. Pengertian
Geopolitik menurut Kjellen adalah suatu ilmu pengetahuan yang memandang
negara sebagai organisme geografis atau sebagai suatu fenomena dalam ruang.
Sudut pandang ini mempelajari pengaruh faktor-faktor geografis terhadap negara
dan kekuatannya dan berdasar analisis tersebut diajukan tentang kebijakan yang
paling efektif untuk menjamin kemana arah perkembangan negara. Analisis ini
mengajukan kesimpulan organisme negara harus terlibat dalam suatu pergulatan
terus-menerus dalam memperebutkan kehidupan dan ruang. Hanya yang paling
kuat dan paling mampu menyesuaikan diri yang bisa berhasil untuk melanjutkan
kehidupan dan mengembangkan diri. Wilayah geografis dianggap sebagai salah
satu faktor yang paling fundamental dalam menentukan kekuatan negara
(Masoed, 2007).

Pendidikan Kewarganegaraan| 99
Pemikiran Kjellen banyak dipengaruhi oleh Ratzel sebagai perintis
geografi politik modern, Ratzel memandang negara sebagai organisme yang harus
bersaing dengan organisme lain, dan agar bisa berkembang organisme itu
memerlukan Lebensraum (ruang untuk hidup). Dengan kata lain, Ratzel dengan
model biologis itu ingin menunjukkan bahwa setiap negara bersifat unik dalam
arti punya kebutuhan yang berbeda-beda tergantung pada kondisi fisik
eksistensinya masing-masing, tetapi semua negara itu memerlukan satu syarat
fundamental, yaitu ruang hidup bagi penduduknya. Lebensraum, dan sumber daya
fisik dan manusiawi yang muncul akibat dari pemilikan ruang-hidup itu, dalam
pandangan Ratzel merupakan faktor penentu bagi keberhasilan negara-negara
dinamik yang berpotensi menjadi negara adidaya. Untuk memperoleh ruang hidup
itu perlu dilakukan perluasan wilayah, walaupun itu bisa menimbulkan perang.
Berdasar pada landasan berpikir seperti itulah Ratzel mengembangkan bidang
studi geografi politik yang meliputi studi tentang hubungan antarnegara dan
implikasi dari hubungan ini bagi arena internasional secara keseluruhan (Masoed,
2007).
Kemudian Sir Halford Mackinder (1861-1947), Guru Besar Geografi di
Universitas London, memberikan pandangan dalam teori geopolitiknya yaitu
bahwa benteng yang paling kuat di dunia terletak di wilayah Asia. Perkembangan
sejarah dunia pada dasarnya diwarnai oleh konflik antara kekuatan darat dan
kekuatan lautan. Pusat kekuatan darat paling penting di dunia, benteng paling kuat
di dunia terletak di wilayah jantung Asia. Inti pokok teori Mackinder ini terkenal
dengan sebutan Barang siapa yang mampu menguasai Eropa Timur akan dapat
menguasai wilayah jantung, barang siapa menguasai wilayah jantung akan dapat
menguasai pulau dunia dan barang siapa yang dapat menguasai pulau dunia
selanjutnya akan dapat menguasai dunia seluruhnya (Masoed, 2007).
Berdasarkan teori Mackinder ini, maka harus dihindarkan penyatuan Jerman
dengan Rusia sebagai sekutu sebab kedua negara secara bersama akan dapat
menjadi kekuatan yang sangat besar yang dapat membahayakan dunia. Menurut
Mackinder, sejarah dunia selalu ditentukan oleh bangsa-bangsa yang mendiami
wilayah jantung ini. Bangsa-bangsa ini selalu bergolak, bergerak dan menyerbu
daerah-daerah pantai baik di Eropa maupun di Asia (abad IV, bangsa Hummer
menyerbu Eropa, abad VIII bangsa Turki/Ottoman dan Arab menyerbu Eropa,
abad XI II bangsa Tartar/Gengis Khan menyerbu Eropa Timur.
Teori Mackinder tidak diterima oleh oleh Nicholas J. Spykrnan (1893-
1943), seorang sarjana geopolitik yang terkemuka di Amerika Serikat. Ia
menyatakan bahwa dalam waktu dekat, tidak mungkin daerah jantung itu menjadi
pusat kekuasaan dunia disebabkan faktor-faktor iklim, pertanian, distribusi,
sumber-sumber batu bara, besi minyak dan tenaga air serta perintang-perintang

100 |Dikdik Baehaqi Arif


geografis lainnya di utara, timur, selatan dan barat daya. Posisi dan arti daerah-
daerah Uni Sovyet di Asia Tengah akan berkurang apabila Cina dan India menjadi
negara industri. Rimland dari Eurasia adalah lebih tinggi nilainya daripada
heartland. Rimland ini meliputi Eropa (kecuali Rusia), Asia Kecil, Arabia, Irak,
Iran, Afganistan, India, Asia Tenggara, Cina, Korea dan Siberia Timur. Wilayah
ini merupakan buffer zone antara kekuatan darat dan laut. Lebih jauh Spyikman
menjelaskan geopolitik memberikan suatu gambaran yang berhubungan dengan
suatu kerangka petunjuk tertentu dalam suatu masa tertentu. Suatu wilayah
dipandang dari sudut geopolitik ditentukan olah faktor-faktor geografinya dan
oleh perubahan-perubahan dinamis dari pusat-pusat kekuasaan dunia. Jadi analisa-
analisa geopolitik sifatnya dinamis dan tidak statis.
Karl Haushofer (1869-1946), seorang sarjana Geografi dan pernah
menjadi direktur Institut Geopolitik di Munich pada pokoknya mengikuti dan
mengembangkan pendapat dari Ratzel seniornya. Salah satu Pandangan Haushofer
dan teorinya adalah Teori Lebensraum. Teori ini didasarkan atas anggapan bahwa
banga-bangsa yang telah berkembang dengan cepat memiliki sifat-sifat yang lebih
sempurna, oleh karena itu bangsa-bangsa tersebut harus diberi kesempatan
berkembang dalam arti memperluas daerahnya. (Disebutkan bangsa Aria/Jerman
sebagai bangsa yang sempurna berhak untuk menguasai lebensraum di Eropa dan
Afrika dan bangsa Jepang sebagai bangsa sempurna berhak menguasai
lebensraum-nya di Asia) (Ermaya Suradinata, 2001).
Berbagai teori Geopolitik lainnya seperti Sir Walter Raleigh (1553-1613),
mantan Perdana Menteri Inggris, mengemukakan supremasi di lautan sebagai
dasar dari kekuasaan. Inti konsepnya adalah penguasaan lautan, yaitu dengan
membangun angkatan laut yang kuat dan modern untuk dapat menjelajahi dan
menguasai seluruh laut yang pada akhirnya dapat menguasai dunia. Selanjutnya,
Alfred Thayer Mahan (1860-1914), Laksamana Laut dan guru besar dalam sejarah
maritim dan strategi pada Naval War College di Amerika Serikat, dalam teorinya
menjelaskan bagi bangsa yang memiliki pantai, maka laut merupakan perbatasan
dan kekuasaan nasionalnya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk
memperluas perbatasan tersebut. Bahwa penduduk suatu negara yang suka
berdagang/berniaga akan mudah berkembang dan memerlukan daerah-daerah
jajahan sebagai tempat mengambil bahan-bahan baku, daerah pasaran tempat
menjual hasil produksinya dan daerah tempat mengembangkan perkapalan
nasional (Ermaya Suradinata, 2001).

Pendidikan Kewarganegaraan| 101


WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK
INDONESIA
Konsep Dasar Wawasan Nusantara
Pemerintah dan rakyat memerlukan konsepsi berupa wawasan nasional
untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk
menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah serta jati diri bangsa. Kata
wawasan berasal dari kata wawas yang berarti melihat atau memandang. Dengan
penambahan akhiran an kata ini secara harfiah berarti cara penglihatan atau cara
tinjau atau cara pandang.
Kehidupan suatu bangsa dan negara senantias dipengaruhi oleh
perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, wawasan itu harus mampu
memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai hambatan dan
tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dalam mengejar
kejayaannya. Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan, suatu bangsa perlu
memperhatikan 3 (tiga) faktor utama, yaitu:
1. Bumi atau ruang dimana bangsa itu hidup;
2. Jiwa, tekad dan semangat manusia atau masyarakatnya;
3. Lingkungan sekitarnya.
Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara
tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung
(melalui interaksi dan interrelasi) dalam pembangunannya di lingkungan nasional
(termasuk lokal dan proposional), regional serta global. Wawasan nasional
Indonesia dilandasi oleh falsafah Pancasila dan oleh adanya konsep geopolitik.
Karena itu, pembahasan latar belakang filosofis sebagai dasar pemikiran
pembinaan dan pengembangan wawasan nasional Indonesia haruslah ditinjau dari
latar belakang pemikiran berdasarkan falsafah Pancasila, aspek kewilayahan
nusantara, aspek sosial budaya bangsa Indonesia, dan aspek kesejarahan bangsa
Indonesia.
Wawasan nusantara merupakan penjabaran dari nilai cinta tanah air
dengan segala aspek kehidupan di dalamnya yang merupakan satu kesatuan dalam
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan negara.
Pancasila sebagai landasan visual dari adanya wawasan nusantara mengandung
arti bahwa wawasan nusantara mengajak atau menggugah kesadaran bagi segenap
komponen bangsa, para pemimpin bangsa, profesional, para pakar/cendikiawan,
ilmuwan dan penyelenggara pemerintahan baik di pusat maupun daerah untuk
memandang dalam persepsi yang sama tentang 6 (enam) konsep Batu Bangun
wawasan nusantara yang meliputi:

102 |Dikdik Baehaqi Arif


1. Konsep persatuan dan kesatuan, mengandung makna segenap komponen
bangsa untuk bersatu padu karena bangsa Indonesia yang heterogen dan
majemuk serta hidup di dalam wilayah kepulauan NKRI.
2. Konsep Bhineka Tunggal Ika, mengajak segenap komponen bangsa bahwa
keanekaragaman suku, etnis, agama, spesifikasi daerah adalah realita yang
harus di dayagunakan untuk memajukan bangsa dan negara.
3. Konsep kebangsaan, mengajak segenap komponen bangsa untuk memiliki
persepsi yang sama tentang kebangsaan Indonesia, bahwa bangsa
Indonesia lahir karena adanya kehendak segenap komponen bangsa yang
terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen dan majemuk
untuk bersatu, memiliki latar belakang sejarah yang sama, mempunyai
cita-cita dan tujuan untuk hidup bersama dan hidup dalam wilayah yang
sama sebagai satu kesatuan ruang hidup yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Konsep Negara Kebangsaan, menggugah kesadaran segenap komponen
bangsa untuk memiliki persepsi yang sama tentang konsep negara
kebangsaan mengedepankan prinsip satu kesatuan wilayah.
5. Konsep Negara Kepulauan, mengajak segenap komponen bangsa untuk
memiliki persepsi yang sama tentang negara kepulauan, yaitu sebagai
kawasan laut yang ditaburi pulau-pulau. Untuk itu wilayah laut harus di
pandang sebagai media pemersatu bangsa.
6. Konsep Geopolitik, mengajak seluruh komponen bangsa untuk memiliki
persepsi yang sama tentang konstelasi geografi Indonesia, yang posisi
strategis Indoneisa antara dua kawasan besar dunia (Samudra Hindia dan
Pasifik) dengan sumber kekayaan alamnya merupakn suatu potensi bila
bangsa dan masyrakat Indonesia bisa memanfaatkan dan menjadi
kerawanan jika bangsa dan masyarakat Indoensia tidak mampu
memanfaatkan dan menjaganya.
Kondisi obyektif geografi nusantara yang merupakan untaian ribuan pulau
yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang yang
sangat strategis, memiliki karakteristik yang berbeda dari negara lain. Mengingat
keadaan lingkungan alamnya, persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara
menjadi tuntunan utama bagi terwujudnya kemakmuran dan keamanan yang
berkesinambungan. Atas pertimbangan tersebut, dimaklumatkanlah Deklarasi
Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang berbunyi:
.....berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan
bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang

Pendidikan Kewarganegaraan| 103


luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan
negara Indonesia dan dengan demikian bagian perairan pedalaman atau
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu
lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan atau menggangu kedaulatan
dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas lautan teritorial (yang
lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung
terluar pada pulau-pulau negara Indonesia...
Deklarsi ini menyatakan bahwa bentuk geografis Indoneisa adalah negara
kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak
tersendiri. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan
untuk melindungi kekayaan negara yang terkandung di dalamnya, pulau-pulau
serta laut yang ada diantaranya dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat dan
utuh. Untuk mengukuhkan asas negara kepulauan ini, ditetapkan UU
No.4/Prp/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Selain itu, melalui Konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional
Tahun 1982, pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam
UNCLOS (United Nation Convention on The Law of the Sea) 1982 atau Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Indonesia meratifikasi
UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 dan sudah menjadi hukum positif
sejak tanggal 16 November 1994.
Berlakunya UNCLOS 1982 berpengaruh pada pemanfaatan laut bagi
kepentingan kesejahteraan, seperti bertambah luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dan landas kontinen Indonesia. Pada satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan
keuntungan bagi pembangunan nasional yaitu bertambah luasnya yurisdiksi
nasional yang sekaligus berarti bertambahnya kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai sarana
transportasi. Namun disisi lain potensi kerawanan akan semakin bertambah.
Dengan demikian secara kontekstual, geografi Indonesia memiliki
kelemahan dan kelebihan karena itu kondisi dan konstelasi geografi harus bisa
dicermati secara utuh dan menyeluruh dalam konsep Geopolitik Indonesia,
dimana setiap perumusan kebijaksanaan nasional harus memiliki wawasan
kewilayahan atau ruang hidup yang diatur oleh politik ketatanegaraan. Karena itu,
wawasan kebangsaan atau wawasan nasional atau wawasan nusantara Indonesia
tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan geografis Indonesia dan
tetap mempertahankan terpeliharanya keutuhan dan kekompakkan wilayah,
dihormatinya karakter, ciri serta kemampuan daerah masing-masing.

104 |Dikdik Baehaqi Arif


Konsepsi negara kepulauan yang telah disahkan oleh pemerintanh
Indonesia menimbulkan tantangan, ancaman dan gangguan bagi Indonesia. Ada
empat negara yang sangat berkepentingan atas wilayah Indonesia antara lain:
1. Negara ASEAN termasuk Australia;
2. Negara dengan armada perikanan besar seperti Jepang;
3. Negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners).
4. Negara adidaya untuk memudahkan manuver armada militernya dalam
rangka melaksanakan global strategi geopolitiknya.
Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya UNCLOS 1982, pemerintah
Indonesia membuka alur laut kepulauan sebanyak 3 buah dikenal sebagai Alur
Laut Kepulauan (ALKI). ALKI juga berlaku bagi lintasan pesawat terbang,
padahal jalar penerbangan Internacional termasuk melintasi Indonesia diatur
dalam Internacional Civil Aeronautic Organization (ICAO). ALKI yang lebarnya
80 km (50 mil) dari koridor udara yang dibuat oeh ICAO menjadi tumpang tindih.
Apalagi kini Amerika Serikat dan Australia dengan gigih menuntut pembukaan
ALKI Timur-Barat yang melintasi Pulau Jawa melalui International Maritim
Organization (IMO).

Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia


Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa Indonesia harus selalu membina
dan membangun kehidupan nasionalnya baik pada aspek politik, ekonomi, sosial
budaya maupun pertahanan dan keamanannya serta selalu mengatasnamakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayahnya. Untuk itu
penyelenggaraan dan pembinaan tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia
disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan
nasional, serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan
kesadaran akan kemajemukan dan kebhinnekaan dengan tetp menpertahankan
persatuan dan kesatuan nasional.
Gagasan untuk menjamin kesatuan dan persatuan Indonesia tercermin
dalam suatu konsep yang dikenal dengan istilah wawasan kebangsaan atau
wawasan nasional Indonesia atau wawasan nusantara Indonesia. Dengan demikian
wawasan nusantara sebagai landasan geopolitik Indonesia adalah cara pandang
dan sikap bangsa Indonesia untuk mengenali diri dan lingkungannya yang serba
beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
wilayah dan tetap menghargai serta menghormati kebhinnekaan dalam setiap
aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional.

Pendidikan Kewarganegaraan| 105


Wawasan nusantara merupakan geopolitik bangsa Indonesia karena di
dalamnya terkandung ajaran yang bersumber dari Pancasila dan dilandasi dengan
UUD 1945. Sedangkan cinta tanah air memiliki pengertian bahwa tanah air adalah
ruang wilayah negara baik secara geografis (fisik) maupun non-fisik (tata nilai dan
tata kehidupan masyarakat) telah memberikan kehidupan dan penghidupan sejak
manusia lahir sampai pada akhir hayatnya. Di dalam wawasan nusantara
terkandung konsepsi geopolitik yaitu unsur ruang yang kini berkembang tidak saja
secara fisik namun dalam arti semu/maya. Para pendiri negara Repulik Indonesia
meletakkan dasar-dasar geopolitik Indonesia melalui ikrar Sumpah Pemuda, yaitu
satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Hakikat yang terkandung dalam isi
sumpah pemuda adalah keutuhan ruang hidup dan landasan dasar dari kebangsaan
Indonesia. Kebangsaan Indonesia memiliki tiga unsur dari geopolitik, yaitu rasa
kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan.
Rasa kebangsaan adalah dorongan emosional yang lahir dalam perasaan
setiap warga negara, baik secara perorangan maupun kelompok tanpa memandang
kesukuan, ras, agama dan keturunan. Rasa inilah yang menumbuhkan internalisasi
satu masyarakat yang didambakan (imagined society) dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menguatnya rasa kebangsaan secara individual dan kelompok
menjadi energi dan pengendapan nilai-nilai kebangsaan yang kemudian
melahirkan faham dan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan akan tumbuh
subur dan berkembag melalui proses sinergi dari berbagai individu yang berada
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian satu sama lain
saling menguatkan dan melahirkan ciri atau identitas bangsa. Keyakinan dan
pengakuan terhadap ciri atau identitas bangsa merupakan perwujudan dari rasa
kebangsaan itu sendiri.
Rasa kebangsaan dapat menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat,
dihormati dan disegani oleh bangsa lain. Paham kebangsaan merupakan
perwujudan tentang apa, bagaimana, dan sikap bangsa dalam menghadapi masa
depan. Hasil sinergi dari rasa kebangsaan dan faham kebangsaan adalah semangat
kebangsaan yang kemudian dikenal dengan faham nasionalisme. Dengan rasa
nasionalisme kuat dan mantap, bangsa akan tetap hidup (survive) di tengah-tengah
lingkungan masyarakat Internasional.
Penumbuhan rasa kebangsaan dalam kondisi masyarakat bangsa Indonesia
yang majemuk yang terlahir dengan kebhinnekaan suku, ras, agama, keturunan
dan budaya sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan
bermartabat dalam nuansa yang demokratis melalui pendekatan dialogis.
Pendekatan ini bertitik tolak dari kesadaran untuk mengakui, memahami dan
menghormati kemajemukan negara-bangsa Indonesia. Langkah seutuhnya

106 |Dikdik Baehaqi Arif


kemudian diejawantahkan melalui semangat silih asah, silih asih dan silih asuh
(saling mengingatkan, saling mengasihi dan saling tolong menolong).
Wujud dari paham kebangsaan antara lain: 1) Pemahaman dalam diri
setiap individu sebagai warga negara Indonesia tentang perwujudan kepulauan
nusantara sebagai satu kesatuan politik; 2) Pemahaman yang luas pada individu
dan masyarakat tentang perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan
budaya; 3) Pemahaman bahwa kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan
ekonomi; dan 4) Pemahaman bahwa wilayah kepulauan nusantara merupakan satu
kesatuan pertahanan dan keamanan.
Sedangkan wujud semangat kebangsaan bersifat abstrak karena semangat
ini timbul melalui proses sosialisasi, penghayatan, aktualisasi, pembudayaan dan
pelestarian. Kecintaan tanah air yang dimanifestasikan dalam keragaman
bentuknya adalah penegasan konkrit dari tumbuhnya semangat kebangsaan.
Semangat kebangsaan dapat dilihat dari sejauh mana manusia senantiasa
mengatasnamakan bangsa dan negara pada setiap tindakan konstruktif profesional
yang dilakukannya.
Dari gambaran di atas, geopolitik akan berjalan dengan baik jika didukung
dengan pemahaman dari wawasan nusantara yang meliputi adanya kesatuan
politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan pertahanan
keamanan.
Pertama, kesatuan politik, memiliki peran yang sangat penting untuk
menunjukkan bahwa negara merupakan suatu entity (kesatuan) yang utuh sebagai
tanah air. Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Perpu No. 4 Tahun 1960, menjadikan kesatuan geografi
menjadi kesatuan politik dan deklarasi Juanda merupakan cerminan dari bangsa
Indonesia yang menghendaki wilayah yang utuh sebagai suatu benua. Konvensi
Hukum Laut 1982 di Montego Bay merupkan pengukuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelago state). Doktrin
nusantara merupakan suatu upaya untuk meniadakan laut bebas di antara pulau-
pulau Indonesia, melainkan laut menjadi pemersatu wilayah dan bukan pemisah
dari suatu wilayah di Indonesia. Doktrin nusantara timbul karena adanya
kebutuhan akan rasa aman bagi bangsa dan negara Indonesia.
Kedua, kesatuan ekonomi. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan untuk
mengelola sumber daya yang ada di negara Indonesia dengan ruang gerak yang
bebas yang dilakukan secara demokratis sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 33 UUD 1945. Demokratis sendiri megandung arti bahwa partisipasi
rakyat dalam menentukan keputusan politik dengan cara memberikan otonomi
yang luas dan bertanggungjawab kepada daerah dengan tetap berpegangan pada

Pendidikan Kewarganegaraan| 107


rambu-rambu yang hukum dan kesepakatan bersama. Dengan demikian hasil
pengelolaan sumber daya hendaknya dapat di distribusikan secara adil dan merata.
Ketiga, kesatuan sosial budaya. Bangsa Indonesia lahir karena adanya
kesepakatan bukan karena atas dasar geografi dan agama. Kesepakatan ini lahir
melalui tahap sumpah pemuda dan sidang-sidang BPUPKI. Sidang BPUPKI juga
disepakati bahwa berdirinya negara kesatuan bukan negara federal, sedangkan
sebagai salah satu pengikat adanya satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Aldous
Huxley (Suriasumantri) berpendapat bahwa Tanpa kemampuan ini manusia tak
mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka
hilang pulalah kemampuan meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke
generasi.
Dalam perjalanan sejarahnya, bahasa Indonesia diwarnai dengan
masuknya bahasa daerah lainnya yang menimbulkan akulturasi kebudayaan bagi
bangsa Indonesia sangat diperlukan. Akulturasi terjadi karena pada dasarnya
kebudayaan tidak pernah memiliki wujud abadi, tetapi terus menerus mengikuti
perkembangan zaman. Ki Hajar Dewantara (Pranarka, 1984) menegaskan bahwa
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dan budaya asing yang dapat
mengembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Keempat, kesatuan pertahanan keamanan. Pasal 27 dan Pasal 30 UUD
1945 menggambarkan adanya demokratisasi dalam upaya pembelaan negara. Dari
kedua pasal ini jelas bahwa orientasi membela negara dan usaha pertahanan
keamanan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Usaha
pertahanan keamanan dilakukan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat
semesta (Sishankamrata) yang memiliki pengertian: 1) bahwa orientasi pada
rakyat, dan rasa aman hendaknya diciptakan untuk rakyat; 2) melibatkan secara
semesta, berarti bahwa setiap warganegara dan fasilitas digunakan untuk
pertahanan dan keamanan; dan 3) diselenggarakan di wilayah nusantara secara
kewilayahan dan diharapkan setiap unit wilayah dapat mengalang ketahanan
nasional.

Landasan Wawasan Nusantara


Pertama, Pancasila sebagai landasan idiil wawasan nusantara. Pancasila
diakui sebagai ideologi dan dasar negara yang dirumuskan dalam pembukaan

108 |Dikdik Baehaqi Arif


UUD 1945. Pancasila mencerminkan nilai, keseimbangan, keserasian, perstuan
dan kesatuan, kekeluargaan, kebersmaan dan kearifan dalam membina kehidupan
nasional. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara mempunyai
kekutan hukum yang mengikat para penyelenggara negara, pemimpin
pemerintahan dan seluruh rakyat Indonesia.
Wawasan Nusantara pada hakikatnya merupakan pancaran dari falsafah
Pancasila yang diterapkan dalam kondisi nyat Indonesia. Dengan demikian,
Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia telah dijadikan landasan Idiil dan
dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Pencerminan Pancasila
tentang konsep Wawasan Nusantara tercermin dalam Sila ke-3 Pancasila yang
berbunyi Persatuan Indonesia. Sila ini mengandung pengertian bangsa Indonesia
lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan masyarakat
lebih luas dan harus diutamakan daripada kepentingan yang lebih besar dan tidak
mematikan atau meniadakan kepentingan golongan, suku bangsa maupun
perorangan. Sikap tersebut mewarnai adanya wawasan kebangsaan atau wawasan
nusantara.
Kedua, UUD 1945 sebagai landasan konsepsional wawasan nusantara.
UUD 1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia menyadari
bahwa bumi, air dan dirgantara diatasnya serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat dan seluruh potensi yang ada tersebut dipergunakan secara
terpadu, seimbang, serasi dan selaras dan adil.

Pendidikan Kewarganegaraan| 109


Bab 9
Ketahanan Nasional

Lingkup Bahasan
Bab ini membahas tentang geostrategi dan geostrategi Indonesia, model-model ketahanan
nasional, dan ketahanan nasional sebagai perwujudan geostrategi Indonesia.

Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, para pembaca diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Menjelaskan konsep geostragegi dan geostrategi Indonesia
Mengidentifikasi model-model ketahanan nasional
Mendeskripsikan ketahanan nasional sebagai perwujudan geostrategi Indonesia

Istilah kunci
Geostrategi, ketahanan nasional, astagatra, ketangguhan, keuletan, identitas, integritas,
ancaman, tantangan, hambatan, gangguan

GEOSTRATEGI DAN GEOSTRATEGI INDONESIA


Setiap bangsa dan negara membutuhkan strategi dalam memanfaatkan wilayah
negara sebagai ruang hidup nasional untuk menentukan kebijakan,sarana dan
sasaran perwujudan kepentingan dan tujuan nasional melalui pembangunan
sehingga bangsa itu tetap eksis dalam arti ideologis, politis, ekonomis, sosial
budaya dan Hankam. Karena itu, diperlukan geostrategi dalam pengelolaan suatu
negara. Geostartegi merupakan strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi
negara untuk menentukan kebijakan, tujuan, sarana-sarana untuk mencapai tujuan
nasional. Geostrategi dapat pula dikatakan sebagai pemanfaatan kondisi
lingkungan dalam upaya mewujudkan tujuan politik.
Dari pengertian tersebut, kita dapat memaknai geostrategi Indonesia
sebagai strategi nasional bangsa Indonesia dalam memanfaatkan wilayah negara
republik Indonesia sebagai ruang hidup nasional guna merancang arahan tentang
kebijakan, sarana dan sasaran pembangunan untuk mencapai kepentingan dan
tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.

110 |Dikdik Baehaqi Arif


Dengan demikian, geostrategi Indonesia memberi arahan tentang
bagaimana merancang strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang
lebih baik, aman dan sejahtera. Geostrataegi Indonesia dirumuskan dalam wujud
Konsepsi Ketahanan Nasional.
Dilihat dari perkembangannya, konsep geostrategi Indonesia
dikembangkan pertama kali oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat
(Seskoad) di Bandung tahun 1962. Isi konsep geostrategi Indonesia yang terumus
adalah pentingnya pengkajian terhadap perkembangan lingkungan strategis di
kawasan Indonesia yang ditandai dengan meluasnya pengaruh komunis.
Geostrategi Indonesia pada waktu itu dimaknai sebagai strategi untuk
mengembangkan dan membangun kemampuan teritorial dan kemampuan gerilya
untuk menghadapi ancaman komunis di Indocina.
Pada tahun 1965-an Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas)
mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan rumusan
sebagai berikut: bahwa geostrategi Indonesia harus berupa sebuah konsep strategi
untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan, pengembangan kekuatan
nasional untuk menghadapi dan menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan baik bersifat internal maupun eksternal. Sejak tahun 1972, Lemhannas
terus melakukan pengkajian tentang geostrategi Indonesia yang lebih sesuai
dengan konstelasi Indonesia. Pada era itu konsepsi geostrategi Indonesia dibatasi
sebagai metode untuk mengembangkan potensi ketahanan nasional dengan
pendekatan keamanan dan kesejahteraan guna menjaga identitas kelangsungan
serta integritas nasional sehingga tujuan nasional dapat tercapai. Dan terhitung
mulai tahun 1974, geostrategi Indonesia ditegaskan wujudnya dalam bentuk
rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi, metode, dan doktrin dalam
pembangunan nasional.
Pengembangan konsep geostrategi Indonesia memiliki dua tujuan utama.
Pertama, menyusun dan mengembangkan potensi kekuatan nasional baik yang
berbasis pada aspek ideologi, politik, sosial budaya dan hankam mupun aspek-
aspek alamiah, bagi upaya kelestarian dan eksistensi hidup negara dan bangsa
untuk mewujudkan cita-cita Proklamsi dan tujuan nasional. Kedua, menunjang
tugas pokok pemerintahan Indonesia dalam: a) menegakkan hukum dan ketertiban
(law and order); b) terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and
prosperity); c) terselenggaranya pertahanan dan keamanan (defense and
prosperity); d) terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial (yuridical justice
and social justice); dan e) tersedianya kesempatan rakyat untuk
mengaktualisasikan diri (freedom of the people).
Geostrategi Indonesia ini memiliki dua sifat pokok. Pertama, bersifat daya
tangkal, yaitu ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan,

Pendidikan Kewarganegaraan| 111


hambatan dan tantangan terhadap identitas, integritas, eksistensi bangsa dan
negara Indonesia. Kedua, bersifat pengembangan (developmental), yaitu
pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, hankam sehingga tercapai kesejaheraan rakyat.

MODEL-MODEL KETAHANAN NASIONAL


Konsepsi dasar ketahanan nasional paling tidak dapat dipahami dari
beberapa model ketahanan nasional, masing-masing model Astagatra, Model
Morgentahu, Model Alfred Thayer Mahan, dan Model Cline.
Pertama, Model Morgenthau, model ini bersifat deskriptif kualitatif
dengan jumlah gatra yang cukup banyak. Bila model Lemhannas berevolosi dari
observasi empiris perjalanan perjuangan bangsa, maka model ini diturunkan
secara analitis. Dalam analisisnya, Morgenthau menekankan pentingnya kekuatan
nasional dibina dalam kaitannya dengan negara-negara lain. Artinya, ia
menganggap pentingnya perjuangan untuk mendapatkan power position dalam
satu kawasan. Sebagai konsekuensinya maka terdapat advokasi untuk memperoleh
power position sehingga muncul strategi ke arah balanced power.
Kedua, Model Alfred Thayer Mahan. Dalam bukunya The Influence
Seapower on History, Alfred Thayer Mahan mengatakan bahwa kekuatan nasional
suatu bangsa dapat dipenuhi apabila bangsa tersebut memenuhi unsur-unsur letak
geografi, bentuk atau wujud bumi, luas wilayah, jumlah penduduk, watak nasional
atau bangsa, dan sifat pemerintahan.
Ketiga, Model Cline yang melihat suatu negara dari luar sebagaimana
dipersepsikan oleh negara lain. Baginya hubungan antar negara pada hakikatnya
amat dipengaruhi oleh persepsi suatu negara terhadap negara lainnya termasuk di
dalamnya persepsi atau sistem penangkalan dari negara lainnya. Menurut Cline
suatu negara akan muncul sebagai kekuatan besar apabila ia memiliki potensi
geografi besar atau negara secara fisik memiliki wilayah yang besar dan sumber
daya manusia yang besar pula. Model ini mengatakan bahwa suatu negara kecil
bagaimanapun majunya tidak akan dapat memproyeksikan diri sebagai negara
besar. Sebaliknya suatu negara dengan wilayah yang besar akan tetapi jumlah
penduduknya kecil juga tidak akan menjadi negara besar walaupun berteknologi
maju.
Keempat, Model Astagatra, model ini merupakan perangkat hubungan
bidang-bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung di atas bumi ini
dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang dapat dicapai dengan
menggunakan kemampuannya. Model yang dikembangkan oleh Lemhannas ini

112 |Dikdik Baehaqi Arif


menyimpulkan adanya 8 (delapan) unsur aspek kehidupan nasional yang terdiri
atas aspek kehidupan alamiah dan aspek kehidupan sosial.
a. Aspek alamiah meliputi Trigatra (letak dan kedudukan geografi, keadaan
dan kekayaan alam, dan keadaan dan kemampuan penduduk).
b. Aspek kehidupan sosial terdiri atas Pancagatra (ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan).
Hubungan komponen strategi antargatra dalam trigatra dan pancagatra
serta antara gatra itu sendiri terdapat hubungan timbal balik yang erat dan lazim
disebut hubungan (korelasi) dan ketergantungan (interdependency). Oleh karena
itu hubungan komponen strategi dalam trigatra dan pancagatra tersusun secara
utuh menyeluruh (komprehensif integral) di dalam komponen strategi astagatra.

KETAHANAN NASIONAL SEBAGAI PERWUJUDAN


GEOSTRATEGI INDONESIA
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, geostragei Indonesia
dirumuskan dalam konsep ketahanan nasional. Lemhannas mendefinisikan
ketahanan nasional sebagai kondisi dinamik suatu bangsa, berisi keuletan dan
ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,
di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta
gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun
tidak langsung membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya
(Lemhannas, 1999:64).
Dari definisi di atas, terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan
(Lemhannas, 1994:61).
1. Ketangguhan ialah kekuatan yang membuat seseorang atau sesuatu dapat
bertahan kuat menderita atau kuat menanggung beban.
2. Keuletan ialah usaha terus secara giat dengan kemauan yang keras di
dalam menggunakan segala kemampuan dan kecakapan untuk mencapai
tujuan atau cita-cita.
3. Identitas ialah ciri khas suatu negara dilihat secara keseluruhan (holistik),
yaitu negara yang dibatasi oleh wilayah negara, penduduk, sejarah,
pemerintah dan tujuan nasionalnya serta peranan yang dimainkannya di
dalam dunia internasional.
4. Integritas ialah kesatuan yang menyeluruh di dalam kehidupan nasional
suatu bangsa, baik sosial, alamiah, potensi maupun fungsional.

Pendidikan Kewarganegaraan| 113


5. Ancaman merupakan hal atau usaha yang bersifat mengubah atau
merombak kebijaksanaan dan dilakukan secara konsepsional, kriminal
serta politik.
6. Tantangan merupakan hal atau usaha yang bertujuan atau bersifat
menggugah kemampuan.
7. Hambatan merupakan hal atau usaha yang berasal dari diri sendiri yang
bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak
konsepsional.
8. Gangguan merupakan hal atau usaha yang berasal dari luar yang bersifat
atau bertujuan melemahkan atau menghalang-halangi secara tidak
konsepsional.
Ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa
untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan
negara. Karena itu, ketahanan nasional ini tergantung pada kemampuan bangsa
dan seluruh warga negara dalam membina aspek alamiah serta aspek sosial,
sebagai landasan penyelenggaraan kehidupan nasional di segala bidang.
Ketahanan nasional mengandung makna keutuhan semua potensi yang terdapat
dalam wilayah nasional, baik fisik maupun sosial serta memiliki hubungan erat
antara gatra di dalamnya secara komprehensif integral. Kelemahan salah satu
bidang akan mengakibatkan kelemahan bidang yang lain yang dapat
mempengaruhi kondisi keseluruhan.

Skema Definisi Ketahanan Nasional

114 |Dikdik Baehaqi Arif


Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, perkembangan konsepsi
pengertian ketahanan nasional telah mengalami rentang yang panjang. Gagasan
tentang ketahanan nasional bermula pada awal 1960-an pada kalangan militer
angkatan darat di SSKAD yang sekarang bernama Seskoad (Sunardi, 1997).
Gagasan ketahanan nasional saat itu dipakai dalam rangka pembahasan masalah
pembinaan teritorial atau masalah pertahanan keamanan pada umumnya.
Pada tahun 1968, gagasan tentang ketahanan nasional di lingkungan
SSKAD itu dilanjutkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas). Pada
tahun 1968 tersebut, dirumuskan pengertian ketahanan nasional sebagai keuletan
dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar
maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan hidup negara dan bangsa indonesia (Lemhannas, 1999:89).
Pada tahun 1969, Lemhannas merumuskan pengertian kedua tentang
ketahanan nasional yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun 1969
sebagai penyempurnaan dari konsepsi pertama, yaitu: keuletan dan daya tahan
suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk memperkembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi segala ancaman baik yang datang dari luar maupun
dari dalam, yang langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan
hidup negara dan bangsa Indonesia (Lemhannas, 1999:89).
Perkembangan selanjutnya, dalam SK Menhankam/Pangab No.
SKEP/1382/XII/1974, ketahanan nasional diartikan sebagai kondisi dinamis suatu
bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala
ancaman, tantangan, hambatan, serta gangguan, baik yang datang dari dalam
maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung, membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangn
nasional. Dan terakhir, dalam GBHN mulai GBHN tahun 1978 sampai GBHN
1998. Dalam GBHN 1998, ketahanan nasional dipahami sebagai kondisi dinamis
yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara.
Pada hakikatnya ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu
bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan
negara. Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan
nasional. Selanjutnya, ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong
pembangunan nasional.
Masih dalam rumusan GBHN 1998, ketahanan nasional meliputi
ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial
budaya, dan ketahanan pertahanan keamanan.

Pendidikan Kewarganegaraan| 115


1. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang
berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang
mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara persatuan
dan kesatuan nasional dan kemampuan menangkal penetrasi ideologi asing
serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
2. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia yang
berlandaskan demokrasi politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
yang mengandung kemampuan memelihara sistem politik yang sehat dan
dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas dan
aktif.
3. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang
berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan
dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional
dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang
adil dan merata.
4. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa
yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang
mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan
sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air,
berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi
seimbang, serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak
sesuai dengan kebudayaan nasional.
5. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa yang
dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung
kemampuan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang
dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta
kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal segala
bentuk ancaman.
Ketahanan nasional diwujudkan dengan mengelola dan menyelenggarakan
kesejahteraan dan keamanan terhadap sistem kehidupan nasional. Sebagai
konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,
metode pendekatan dan pengkajian ketahanan nasional diarahkan pada dua
pendekatan, yaitu pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraaan. Sifat-
sifat ketahanan nasional adalah: manunggal, mawas ke dalam, kewibawaan,
berubah menurut waktu, tidak membenarkan sikap adu kekuasaan dan adu
kekuatan, percaya pada diri sendiri, dan tidak tergantung pada pihak lain.

116 |Dikdik Baehaqi Arif


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, J. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam


Sejarah. Jakarta: UI Press.
Asshiddiqie, J. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai
Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Asshiddiqie, J. 2008. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Makalah disampaikan
pada Lecture Peringatan 10 Tahun KontraS. Jakarta, 26 Maret 2008.
Budiardjo, M. 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Busroh, A.D dan Busroh, A.B. 1991. Azas-azas Hukum Tata Negara, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Chaidir, E. 2007. Hukum dan Teori Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media
Fauzi, N dan Zakaria, R Y. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST Press.
Halili. 2009. Hak Asasi Manusia, Bahan Tayangan Perkuliahan Pendidikan Hak
Asasi Manusia, Universitas Negeri Yogyakarta.
Ibn Chamim, A (Ed). 2003. Pendidikan Kewargaengaraan Menuju Kehidupan
yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
ICCE UIN. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kerjasama ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Prenada
Media.
Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaho, J R. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Kusnardi, M dan Ibrahim, H. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI
Mahfud MD, M. 2000. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Rineka
Cipta

Pendidikan Kewarganegaraan| 117


Manan, B. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH FH-
UII.
Masoed, M. 2007. Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
MPR RI. 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 Sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan
Ayat. Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR.
Nickel, J W. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (alih bahasa oleh Titis Eddy Arini dari judul
asli Making Sense of Human Rights: Philosophical Reflection on the
Universal Declaration of Human Rights). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Pasha, MK. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education).
Yogyakarta: Citra Karsa mandiri.
Pranarka, A M W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan
Proklamasi CSIS.
Sanusi, A. 2006. Meneropong Sepuluh Pilar Demokrasi Indonesia, dalam
Budimansyah, D dan Syaifullah. (Ed). 2006. Pendidikan Nilai Moral
dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. (Menyambut 70 tahun
Prof. Drs. H.A. Kosasih Djahiri). Bandung: Laboratorium PKN FPIPS
UPI.
Sapriya, dan Winataputra, U S. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Model
Pengembangan Materi dan Pembelajaran. Bandung: Laboratorium PKN
FPIPS UPI.
Soemantri, S. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung:
Alumni.
Soeprapto. (1994). Sasaran Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Dalam
Poespowardojo, S dan Frans M. Parera. (1994). Pendidikan Wawasan
Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cendekiawan
Indonesia. Jakarta: kerjasama LPSP dan PT Grasindo.
Suradinata, E. 2001. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka
Keutuhan NKRI. Jakarta: Suara Bebas
Surbakti, R. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Thaib, D, Hamidi, J dan Huda, N. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Press.
Thompson, B. 1997. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi
ke-3, London: Blackstone Press Ltd.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.

118 |Dikdik Baehaqi Arif


Wahab, A. A dan Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winarno. (2007). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan
Kuliah di Perguruan Tinggi (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
Winarno. (2009). Kewarganegaraan Indonesia: Dari Sosiologis menuju Yuridis.
Bandung: Alfabeta.
Yuda A R, H. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pendidikan Kewarganegaraan| 119


LAMPIRAN : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(dalam Satu Naskah)

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1945

PEMBUKAAN

(Preambule)

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-
kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

120 |Dikdik Baehaqi Arif


UNDANG-UNDANG DASAR

BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN

Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.***)
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.***)

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang pilih melalui pemilihan umum
dan daitur lebih lanjut dengan undang-undang.****)
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu
kota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang
terbanyak.

Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar.***)
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden.***/****)
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)

BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

Pasal 4
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.*)
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.

Pasal 6
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.***)

Pendidikan Kewarganegaraan| 121


(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.***)

Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.***)
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.***)
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima
puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.***)
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh
suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.****)
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang.***)

Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*)

Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***)

Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***)
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-
adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan

122 |Dikdik Baehaqi Arif


puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi.***)
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.***)
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari
sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.***)
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,
setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.***)

Pasal 8
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
habis masa jabatannya.***)
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu
enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk
memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.***)
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tigapuluh hari setelah itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai polotik yang psangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,
sampai akhir masa jabatannya.****)

Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden danWakil Presiden bersumpah menurut
agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indoensia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan
Bangsa.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala

Pendidikan Kewarganegaraan| 123


undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa.*)
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. *)

Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara.

Pasal 11
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.****)
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-
undang.***)

Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.*)
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*)

Pasal 14
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.*)
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.*)

Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan
undang-undang.*)

Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutanya diatur dalam undang-undang.****)

BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Dihapus.****)

124 |Dikdik Baehaqi Arif


BAB V
KEMENTERIAN NEGARA

Pasal 17
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.*)
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.*)
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.***)

BAB VI
PEMERINTAH DAERAH

Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.**)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.**)
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.**)
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.**)
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.**)
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-
undang.**)

Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.**)

Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.**)
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.**)

Pendidikan Kewarganegaraan| 125


BAB VII
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Pasal 19
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.**)
(2) Susunan Dewan Perwakilan rakyat diatur dengan undang-undang.**)
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.**)

Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.*)
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.*)
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.*)
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.*)
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-
undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-
undang dan wajib diundangkan.**)

Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan.**)
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi,
hak angket, dan hak menyatakan pendapat.**)
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat, serta hak imunitas.**)
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.**)

Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-
undang.*)

Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang.**)

126 |Dikdik Baehaqi Arif


Pasal 22B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.**)

BAB VIIA ***)


DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum.***)
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah
seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.***)
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-
undang.***)

Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.***)
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.***)
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.***)
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.***)

BAB VIIB ***)


PEMILIHAN UMUM

Pasal 22E
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali.***)
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.***)
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.***)

Pendidikan Kewarganegaraan| 127


(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan.***)
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri.***)
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.***)

BAB VIII
HAL KEUANGAN

Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.***)
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.***)
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan
dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.***)

Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.***)

Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.****)

Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.****)

BAB VIIIA ***)


BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.***)
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya.***)
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan
sesuai dengan undang-undang.***)

Pasal 23F
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden.***)

128 |Dikdik Baehaqi Arif


(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.***)

Pasal 23G
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi.***)
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-
undang.***)

BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.****)

Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.***)
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.***)
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.***)
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.***)
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.***)
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***)
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.***)

Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

Pendidikan Kewarganegaraan| 129


diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.***)
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.***)
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.***)
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara.***)
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.***)

Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang.

BAB IXA **)


WILAYAH NEGARA

Pasal 25A****)
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-
undang.**)

BAB X
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK **)

Pasal 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.**)
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.**)

Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.**)

Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebaganya ditetapkan dengan undang-undang.

130 |Dikdik Baehaqi Arif


BAB XA **)
HAK ASASI MANUSIA

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.**)

Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.**)
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.**)

Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.**)
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.**)

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**)
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.**)
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.**)
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.**)

Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.**)
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.**)
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.**)

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.**)

Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.**)

Pendidikan Kewarganegaraan| 131


(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.**)

Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.**)
(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.**)
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.**)
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.**)

Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.**)
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.**)
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.**)
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.**)
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.**)

Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.**)
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.**)

BAB XI
AGAMA

Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

132 |Dikdik Baehaqi Arif


BAB XII
PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA **)

Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.**)
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan
pendukung.**)
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara.**)
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan
dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum.**)
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan
warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-
undang.**)

BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****)

Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.****)
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.****)
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.****)
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.****)
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.****)

Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan mesyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-
nilai budayanya.****)
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.****)

Pendidikan Kewarganegaraan| 133


BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL****)

Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.****)
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.****)

Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.****)
(2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.****)
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.****)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.****)

BAB XV
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA , SERTA
LAGU KEBANGSAAN **)

Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.

Pasal 36A
Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.**)

Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.**)

Pasal 36C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan diatur dengan undang-undang.**)

134 |Dikdik Baehaqi Arif


BAB XVI
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 37
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.****)
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)
(5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.****)

ATURAN PERALIHAN

Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.****)

Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.****)

Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum
dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.****)

ATURAN TAMBAHAN

Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi
dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.****)

Pasal III
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.****)
________________________
*) : Perubahan Pertama
**) : Perubahan Kedua
***) : Perubahan Ketiga
****) : Perubahan Keempat

Pendidikan Kewarganegaraan| 135

Anda mungkin juga menyukai