Anda di halaman 1dari 18

Bagian Anestesiologi & Reanimasi LAPORAN KASUS

ANESTESI SPINAL ANESTESI SPINAL PADA


PASIEN YANG DILAKUKAN SECTIO CAESARIA
DENGAN OLIGOHIDROAMNION DAN BEKAS SC

Disusun Oleh :

A. Arief Munandar

N 111 12 032

Pembimbing Klinik :

dr.Taufik Imran, Sp. An

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2014
PENDAHULUAN

Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan

pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses

persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan

regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada

operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari

anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek

samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas

terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.

Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan

sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga

mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang

diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok

saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Hipotensi

adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi

38% dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.

Pada laporan kasus ini disajikan mengenai seorang wanita usia 33 tahun

dengan G2P1A0 gravid aterm, oligohidroamnion dan bekas SC yang dilakukan sectio

cesaria dengan teknik anestesi spinal.


LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. N

Umur : 33 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk: 30 September 2014

Tanggal Operasi : 02 Oktober 2014

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama :

Keluar air sedikit-sedikit dari jalan lahir

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan keluar air dari jalan lahir dengan jumlah

sedikit sejak pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan

sudah 3 kali keluar air , utamanya saat sedang beraktivitas. Pasien tidak

mengeluhkan sakit perut tembus belakang, serta tidak ada pengeluaran darah

dan lendir.

C. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat operasi sebelumnya (+), operasi SC 3 tahun yang lalu.

D. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit asma (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-).

E. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi :

- Riwayat alergi obat dan makanan (-)

- Riwayat asma (-)

- Riwayat kencing manis (-)

- Riwayat hipertensi (-)

- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat penyakit ginjal (-)

- Gigi palsu (-)

- Batuk (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik, kesadaran composmentis

Tanda Vital : T : 120/80 mmHg RR : 22x/menit

N : 96x / menit T : 36,9oC

BB : 55 kg ASA : I

Kepala : Mesosefal

Kulit : Sianosis (-)


Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)

Telinga : Discharge (-)

Hidung : Discharge (-), nafas cuping (-)

Mulut : Gigi palsu (-), sianosis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)

Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)

Dada : - Paru : Inspeksi : Simetris, Retraksi (-)

Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, suara tambahan (-)

- Jantung : Inspeksi : IC tidak tampak

Palpasi : IC teraba di SIC V, 2 cm medial LMCS

Perkusi : Batas jantung dbn

Auskultasi : BJ I-II murni reguler, bising (-)

- Abdomen : Inspeksi : tampak gravid

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Perkusi : Pekak sisi (+), pekak alih (-)

Palpasi : hepar dan lien tak teraba

Ekstremitas : Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-

Oedema -/- -/-

Sianosis -/- -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah : Hb : 10,8 gr %

Ht : 31,0 %

WBC : 13.000

Plt : 296.000

HBsAg: Non Reaktif

V. DIAGNOSIS

G2P1A1 gravid aterm + Oligohidroamnion + Bekas SC, Status fisik ASA I

VI. PENATALAKSANAAN

Sectio Caesaria Transperitonial Profunda


VIII. TINDAKAN ANESTESI

Jenis anestesi : Regional Anestesi

Teknik anestesi : Sub-arachnoid blok

Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5% sebanyak 20mg

Anestesi mulai : 12:25 WITA

Anestesi selesai : 13:35 WITA

Operasi mulai : 12:30 WITA

Operasi selesai : 13:30 WITA

Anestesiologis : dr. Taufik Imran Sp.An

Ahli Bedah : dr. Abd. Faris, Sp.OG

A. Pre-operatif

1. Pasien puasa 8 jam pre-operatif.

2. Infus RL 28 tpm

3. Keadaan umum dan vital sign baik

B. Intra operatif

Menit ke- Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) Pulse (x/m)

0 70 40 86

5 130 80 98

10 150 90 100

15 130 80 87

25 130 60 92
30 130 70 100

35 120 70 100

40 130 70 97

45 110 60 100

50 100 50 99

55 100 50 99

60 100 60 98

65 110 60 99

Terapi cairan :

BB : 55 kg

EBV : 70 cc/kgBB x 55 kg = 3850 cc

Jumlah perdarahan : 500 cc

% perdarahan : 500/3780 x 100% = 13 %

Kebutuhan cairan :

Maintenance : 2 cc x 55 kg = 110 cc/jam

Defisit puasa : 8 jam x 110 cc = 880 cc

Stress operasi (besar) : 8 x 55 kg = 440 cc/jam


Perdarahan : 500 cc (13 %)

Kristaloid 500 cc x 3 = 1500 cc

C. Post operatif

Pemantauan di Recovery Room :

1. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.

2. Beri O2 3L/menit nasal canul.

3. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan

analgetik

4. Bila BS 2 boleh pindah ruangan.

5. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum

sedikit sedikit.
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien dengan G2P1A0 gravid aterm dengan oligohidroamnion

dan bekas SC akan dilaksanakan tindakan Sectio Caesaria Transperitoneal Profunda.

Oligohidroamnion merupakan kondisi dimana volume cairan ketuban kurang dari 500

cc, pada pasien ini disebabkan oleh robeknya kantung ketuban sebelum waktunya

yang menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban

merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Bekas Sectio sebelumnya

sebenarnya tidak menjadi indikasi absolute dilakukannya operasi sectio caesaria

namun ibu dengan bekas sectio memiliki resiko rupture uteri yang lebih tinggi jika

melakukan persalinan normal. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan operasi dengan

anestesi dalam melakukan operasi tersebut. Jenis anestesi yang dipilih dalam kasus

ini yaitu regional anestesi dengan teknik sub-arachnoid block (SAB) karena

pembedahan dilakukan didaerah abdomen, berada dibawah bagian yang dipersarafi

oleh T4, yang merupakan indikasi dilakukannya anestesi SAB dan tidak terdapat

kontraindikasi pada pasien ini.

Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif.

Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,

hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan

tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan

kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan (misalnya, infeksi

ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek sistemiknya

lebih rendah dibanding anestesi umum.

Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah

subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai

lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,

sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral

2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus

untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum

supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara

duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat

pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang

sub arakhnoid.

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,

sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub

arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi

cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal

dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra

lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah

vertebra lumbal.
Gambar 1. Anestesi Spinal

Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi

tentang tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini

dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah

kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.

Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.

Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor

pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat

anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di

dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan

ukuran 26 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,

atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan

perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari

berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke

atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat

penyuntikan.

Tabel 1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.

Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric

0,5% dengan dosis 20 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan

cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam

memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan dengan

diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena

menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba,

propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui

pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami

penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan

pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf,

uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah.

Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan

obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi

lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis

(primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder)

dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.

Pada menit ke-0 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami hipotensi

dimana tekanan darah pasien 70/40 mmHg, kondisi tersebut merupakan komplikasi

yang sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana hipotensi biasanya

terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu

diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75

mmHg (10 kPa), maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada

ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis,

makin tinggi blok makin berat hipotensi.

Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan

kristaloid secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat

pula pemberian cairan kristaloid sebanyak 500cc sebelum pemberian anestesi spinal

untuk mencegah terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam

sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler


efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama.

Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi

membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi,

tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung

dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi

vagal terhadap kenaikan tekanan darah.

Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan

berat badan pasien adalah 55 kg, maka estimated blood volume = 70 cc/kgBB x 55 kg

= 3850 cc (estimated blood volume untuk orang dewasa 60-70cc/KgBB). Jumlah

perdarahan yang terjadi durante operasi adalah sekitar 500 cc (13%).

Kebutuhan cairan maintenance 110 cc/jam ditambah defisit puasa 880 cc,

ditambah stress operasi (besar) 440 cc/jam, ditambah perdarahan 500 cc (1 c darah

diganti dengan 3 cc cairan kristaloid) sehingga total cairan pengganti yang

dibutuhkan durante operasi adalah 2930 cc.

Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30

menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan haemodinamik post operasi.

Selain itu pasien diberikan antibiotik profilaksis berupa antibiotik spectrum luas

Cefotaxim 1 gr/iv dan antibiotik gram negatif Metronidazole 500 mg; antiemetic

berupa ondansetron 4 mg/iv; H2 reseptor bloker Ranitidine 50 mg/iv; dan analgetik

Ketorolac 30 mg. Jika Skor Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan

perawatan.
Tabel 2. Penilaian Skor Bromage

Kriteria Nilai Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tidak mampu ekstensi tungkai 1

Tidak mampu fleksi lutut 2

Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3

TOTAL
DAFTAR PUSTAKA

Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E,


Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.

Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In Clinical
Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International Inc. 2006.
Hal 266-267.

Mulroy MF. Regional Anesthesia, 3rd edition. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, 2002, Hal 65-118

Ozgen S. Cauda Equina Syndrome After Induction of Spinal Anaesthesia. 2004.


Available in Website: http://www.medscape.com/viewarticle/482044_3

Sivevski A. Spinal Anaesthesia for Cesarean Section with Reduced Dose of


Intrathecal Bupivacaine Plus Fentanyl. Med Science, 2006, hal 225-236

Anda mungkin juga menyukai