Disusun Oleh :
A. Arief Munandar
N 111 12 032
Pembimbing Klinik :
pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan
regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada
operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari
anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas
sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga
diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok
saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Hipotensi
adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi
Pada laporan kasus ini disajikan mengenai seorang wanita usia 33 tahun
dengan G2P1A0 gravid aterm, oligohidroamnion dan bekas SC yang dilakukan sectio
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. N
Umur : 33 tahun
Pendidikan : SMA
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan keluar air dari jalan lahir dengan jumlah
sedikit sejak pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan
sudah 3 kali keluar air , utamanya saat sedang beraktivitas. Pasien tidak
mengeluhkan sakit perut tembus belakang, serta tidak ada pengeluaran darah
dan lendir.
- Batuk (-)
BB : 55 kg ASA : I
Kepala : Mesosefal
Darah : Hb : 10,8 gr %
Ht : 31,0 %
WBC : 13.000
Plt : 296.000
V. DIAGNOSIS
VI. PENATALAKSANAAN
A. Pre-operatif
2. Infus RL 28 tpm
B. Intra operatif
0 70 40 86
5 130 80 98
10 150 90 100
15 130 80 87
25 130 60 92
30 130 70 100
35 120 70 100
40 130 70 97
45 110 60 100
50 100 50 99
55 100 50 99
60 100 60 98
65 110 60 99
Terapi cairan :
BB : 55 kg
Kebutuhan cairan :
C. Post operatif
analgetik
5. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit sedikit.
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien dengan G2P1A0 gravid aterm dengan oligohidroamnion
Oligohidroamnion merupakan kondisi dimana volume cairan ketuban kurang dari 500
cc, pada pasien ini disebabkan oleh robeknya kantung ketuban sebelum waktunya
yang menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban
merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Bekas Sectio sebelumnya
namun ibu dengan bekas sectio memiliki resiko rupture uteri yang lebih tinggi jika
melakukan persalinan normal. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan operasi dengan
anestesi dalam melakukan operasi tersebut. Jenis anestesi yang dipilih dalam kasus
ini yaitu regional anestesi dengan teknik sub-arachnoid block (SAB) karena
oleh T4, yang merupakan indikasi dilakukannya anestesi SAB dan tidak terdapat
ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena selain lebih murah juga efek sistemiknya
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,
sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral
2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus
untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum
duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat
pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang
sub arakhnoid.
sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra
lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah
vertebra lumbal.
Gambar 1. Anestesi Spinal
tentang tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini
dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat
anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di
dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan
ukuran 26 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.
Tabel 1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric
0,5% dengan dosis 20 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan
cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam
diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena
menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba,
propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui
pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf,
uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah.
Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan
obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi
lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis
(primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder)
Pada menit ke-0 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami hipotensi
dimana tekanan darah pasien 70/40 mmHg, kondisi tersebut merupakan komplikasi
yang sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana hipotensi biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75
mmHg (10 kPa), maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada
ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis,
kristaloid secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat
pula pemberian cairan kristaloid sebanyak 500cc sebelum pemberian anestesi spinal
Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi
tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung
dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi
berat badan pasien adalah 55 kg, maka estimated blood volume = 70 cc/kgBB x 55 kg
Kebutuhan cairan maintenance 110 cc/jam ditambah defisit puasa 880 cc,
ditambah stress operasi (besar) 440 cc/jam, ditambah perdarahan 500 cc (1 c darah
Pada pemantauan post operatif, tanda vital pasien terus dipantau setiap 30
menit, dimana pada pasien ini tidak ditemukan gangguan haemodinamik post operasi.
Selain itu pasien diberikan antibiotik profilaksis berupa antibiotik spectrum luas
Cefotaxim 1 gr/iv dan antibiotik gram negatif Metronidazole 500 mg; antiemetic
Ketorolac 30 mg. Jika Skor Bromage pasien 2 maka pasien boleh pindah ke ruangan
perawatan.
Tabel 2. Penilaian Skor Bromage
TOTAL
DAFTAR PUSTAKA
Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In Clinical
Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International Inc. 2006.
Hal 266-267.
Mulroy MF. Regional Anesthesia, 3rd edition. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins, 2002, Hal 65-118