HALAMAN JUDUL
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Etilogi
C. Manifestasi Klinik
D. Kompilkasi
E. Patofisiologi dan pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
G. Penatalaksanaan (medis dan keperawatan)
H. Asuhan keperawatan sesuai teori
III. ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Perencanaan keperawatan
D. Implementasi
E. Evalausi
IV. PEMBAHASAN
Berisi kesenjangan antara teori dan praktek (dilengkapi pathway kasus)
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 5
JUDUL
BAB I PENDAHLUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II ISI
A. Asuhan Keperawatan Teori
(Konsep penyakit dan asuhan keperawatan)
B. Resume Kasus
C. Hasil
Berisi hasil diskusi dengan expert, minimal 2 orang yang expert
di bidang sesuai dengan tema yang diambil.
D. Pembahasan
Analisa hasil diskusi dengan expert dengan membandingkan
hasil diskusi dengan menggunakan jurnal penelitian terbaru
minimal 2 buah.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
** Mahssiwa WAJIB melampirkan jurnal bimbingan denga expert.
LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN
KEPERAWATAN
1. Pengkajian ABCD
Airway
Tidak ada gangguan jalan napas
Breathing
Pernapasan spontan, frekuensi 20 x/mnt, irama teratur, tidak menggunakan otot
bantu pernapasan.
Circulation
Cyanosis dan diaporesis tidak ada, mukosa bibir lembab, akral hangat, suhu
36,10C, turgor elastis, nadi teraba jelas, frekuensi 84x/mnt, CRT < 2 detik. Klien
tampak segar, konjunctiva tidak anemis.
Disability and drug
Kondisi klien baik, tingkat kesadaran compos mentis, klien meringis kesakitan
bekas op. Pada leher klien terdapat luka bekas op kista, ukuran luka 4cm
Sebelumnya klien tidak ada menggunakan/ memakan obat-obatan.
Diagnosa keperawatan
Analisa data
1. -Data subjektif
Klien mengatakan luka bekas op terasa nyeri, skala nyeri 4
-Data Objektif
Klien tampak menahan sakit.
Diagnosa keperawatan : Gangguan rasa nyaman nyeri b/d proses pembedaham
2. - Data subjektif
Klien mengatakan cemas dengan luka bekas op, apakah bisa sembuh seperti
sediakala.
-Data Objektif
Klien tampak cemas dan gelisah dan selalu menanyakan lukanya bisa
sembuh
Diagnosa keperawatan : Cemas b/d tindakan invasif yang dilakukan
3.- Data subjektif
Klien mengatakan luka bekas op terasa panas
- Data objektif
Luka bekas operasi berdiameter 15x2x1 cm
Diagnosa keperawatan : Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan sebagai efek
sekunder dari prosedur pembedahan
Analisa
Masalah gangguan rasa
nyaman nyeri belum teratasi,
lanjutkan pemberian analgetik
sesuai terapi dokter
Planning
Tindakan dilanjutkan
Planning
Tindakan dihentikan
Planning
Tindakan diteruskan
LAPORAN EXPERT
PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PEMBESARAN PROSTAT / BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di Indonesia jumlah lanjut usia (usila) terus meningkat dari tahun
ke tahun tentunya akan menimbulkan persoalan-persoalan baru, tidak
saja di bidang sosial-ekonomi, tetapi juga di bidang kesehatan, baik
tingkat negara, masyarakat, maupun individu. Perubahan-perubahan
yang terjadi dapat mengakibatkan kemunduran fungsi sehingga
kemampuan fisik menurun (disability) atau kekacauan koordinasi
(disorder) sehingga dapat menimbulkan hambatan atau rintangan
(handicap), bahkan sampai dapat mengarah pada suatu penyakit
(disease). Perubahan-perubahan itu akan berjalan terus, dan akan
semakin cepat (progressive), setelah umur melampaui dekade ke-enam.
Dari sekian banyak Geriatric Giant (problem yang banyak diderita usila)
pada pria adalah inkontinentia urine (ketidak mampuan mengendalikan
diri dalam kencing) yang pada lanjut usia salah satu penyebabnya adalah
Pembesaran Prostat.
B. Tujuan
a. Melakukan pengkajian pada klien dengan post prostatektomi.
b. Membuat diagnosa keperawatan pada klien dengan post
prostatektomi.
c. Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan post
prostatektomi.
d. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada klien dengan
post prostatektomi.
e. Pendokumentasian Asuhan keperawatan pada klien dengan
prostatektomi.
II. ISI
A. Asuhan keperawatan teori
I. PENGERTIAN
II. ETIOLOGI
Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
IV. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
V. PATOFISIOLOGI
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi
yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan
hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat.
VI. PATHWAY
VII. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya. (Ikatan Ahli Urologi Indonesia)
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat
berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin
digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi
dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang
adekuat.
Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan
adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur
Terapi medikamentosa
Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu :
- Retensi urin berulang
- Hematuri
- Tanda penurunan fungsi ginjal
- Infeksi saluran kemih berulang
- Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
- Ada batu saluran kemih.
1. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan
optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian
dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop
pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi
erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan
jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal
mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi
dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan
spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
c. Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Keuntungannya
adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih
lebih sedikit.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat
yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi
mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi
kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan
impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi
akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat
dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah
sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih
dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard.
A. ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
I.1. RIWAYAT
a. Biodata
biasanya terjadi pada laki2 dengan kisaran usia 50 tahun atau lebih.
b. Riwayat Keperawatan
Keluhan Utama : pada umumnya pasien sering mengeluhkan nyeri BAK,
dan retensio urine.
3. Pola Eliminasi
a. BAB
Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi 2x sehari 2 hari sekali bahkan
lebih
Konsistensi Padat Lunak
Warna kekuningan Kekuningan
Penggunaan pencahar Tidak iya
(laktasif)
Keluhan Tidak ada BAB tidak lancar
b. BAK
Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi S
Jumlah urine
Warna
Pancaran
Perasaan setelah
berkemih
Total produksi urine
Keluhan
b. Bawah
Kanan Kiri
Kekuatan otot
Rentang gerak
Akral
Edema
CRT
Keluhan
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml
tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate
specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai
PSA > 10 ng/ml
DX II
NOC : Risk kontrol
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan infection protection infeksi
tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
d. Menunjukan perilaku hidup sehat
Keterangan Skala
1. Tidak menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
NIC : infektion protection
a. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
b. Monitor kerentanan terhadap penyakit menular
c. Inspeksi kondisi luka atau insisi bedah
d. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
e. Ajarkan cara menghindari infeksi
DX III
NOC : Keseimbangan asam basa
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan fluid monitoring selama
proses keperawatan kekurangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria Hasil
a. Nadi dalam batas normal
b. Irama jantung dalam batas normal
c. Pernapasan dalam batas normal
d. Irama pernapasan dalam batas normal
Keterangan Skala
1. Berat
2. Baik
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fluid monitoring
a. Monitor intake dan output
b. Monitor status nadi,,pernapasan
c. Jaga catatan akurat intake cairan
d. Administrasi cairan,bila perlu
X. EVALUASI
DX I Skala
a. Mengenali faktor penyebab. 4
b. Menggunakan metode pencegahan non analgesik untuk
mengurangi nyeri. 4
c. Menggunakan analgesik sesuai kebutuhan. 4
d. Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan. 4
e. Mengenali gejala-gejala nyeri. 4
f. Mencatat pengalaman tentang nyeri sebelumnya 4
DX II
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 4
b. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 4
c. Jumlah leukosit dalam batas normal 4
d. Menunjukan perilaku hidup sehat 4
DX III
a. Nadi dalam batas normal 2
b. Irama jantung dalam batas normal 2
c. Pernapasan dalam batas normal 2
d. Irama pernapasan dalam batas normal 2
B. RESUME KASUS
pasien adalah Tn. T, usia 69 th. Dirawat diruang mawar dengan keluhan
susah BAK kurang lebih satu minggu, terpasang DC untuk membantu, dari hasil
pemeriksaan radiologi diketahui hasil USG ada pembesaran prostat 68 ml,
diagnosis dokter adalah BPH dengan tindaklanjut pembedahan prostatectomy.
C . HASIL
Hasil diskusi dengan dokter bedah di RSU Dr. Soediran MS menyatakan
bahwa pasien dengan resiko pembesaran prostat adalah laki laki dengan usia >
50 th, kebiasaan gaya hidup juga mempengaruhi resiko terjadinya pembesaran
prostat.
Kebiasaan seperti kurangnya berolah raga, pola makan yang tidak sehat
ataupun keturunan dapat menjadi pemicu resiko pembesaran prostat. Usia rentan
terjadinya pembesaran prostat terjadi biasanya paling banyak di usia 70 80 th.
Faktor ekonomi dan lingkungan tempat tinggal biasanya membuat pasien kurang
menyadari tanda tanda terjadinya pembesaran prostat.
D . PEMBAHASAN
Pada umumnya pembesaran prostat terjadi diusia lanjut berkisar >50 th,
resiko pembesaran prostat disebabkan oleh kebiasaan gaya hidup pasien dalm
berbagai jurnal penelitian disampikan Faktor risiko yang terbukti berpengaruh
terhadap terjadinya BPH adalah Umur, riwayat keluarga, kurangnya makan-
makanan berserat . hal ini menjadi alasan kenapa kebiasaan gaya hidup pasien
mempengaruhi terjadinya resiko pembesaran prostat. Faktor risiko yang terbukti
berpengaruh terhadap terjadinya BPH Laki-laki yang memiliki umur 50 tahun
memiliki risiko lebih besar dibanding dengan laki-laki yang berumur < 50 tahun.
Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena
pembesaran prostat. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai
menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60
tahun keatas. Risiko BPH pada laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah
menderita BPH lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat
keluarga yang pernah menderita BPH. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa
penelitian sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya asosiasi kausal dari aspek
consistency. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih besar bila pada
anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau kanker Prostat. Dimana dalam
riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen yang menyebabkan fungsi gen
sebagai gen penekan tumor mengalami gangguan sehingga sel akan berproliferasi
secara terus menerus tanpa adanya batas kendali. Hal ini memenuhi aspek
biologic plausibility dari asosiasi kausal. Hasil analisis pada penelitian ini
menunjukkan bahwa laki-laki dengan frekuensi yang rendah dalam
mengkonsumsi makanan berserat memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena
BPH. lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi makanan berserat
dengan frekuensi tinggi. Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat
terjadi akibat dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus
besar sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam
inti sel. Pada sayuran juga didapatkan mekanisme yang multifaktor dimana di
dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti karoteniod,
selenium dan tocopherol. Dengan diet makanan berserat atau karoten diharapkan
mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan memberikan lingkungan
yang akan menekan berkembangnya sel-sel abnormal.
BAB III PENUTUP
A . KESIMPULAN
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap terjadinya BPH adalah
Umur , riwayat keluarga , kurangnya makan-makanan berserat . hal ini
membuktikan bahwa selain usia dan riwayat keluarga , gaya hidup menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya pembesaran prostat.
B . SARAN
Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan bagi Dinas Kesehatan
untuk meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai faktor risiko,
tanda, gejala, pencegahan dan pengobatan BPH. Melakukan kegiatan monitoring
prevalensi BPH, dilaksanakan secara berkesinambungan. Bagi masyarakat
disarankan untuk melaksanakan pola hidup sehat, lebih waspada terhadap adanya
faktor risiko terhadap kejadian BPH terutama bagi laki-laki yang berumur lebih
dari 50 tahun, adanya keluhan yang mengarah ke penyakit BPH perlu diwaspadai.
DAFTAR PUSTAKA :
Presti, Joseph C. Benign Prostatic Hiperplasia Incidence & Epidemiology.
www.Health.am.
Kupelian V, dkk. Prevalence of Lower Urinary Tract Symptoms and Effect on
Quality of Life in a Racially and Ethnically Diverse Random Sample: The Boston
Area Community Health (BACH) Survey Arch Intern Med, November 27, 2006;
166(21): 2381 - 2387. URL : http:// www.aje.oxfordjournals.org.
Brown J. S, dkk. Urologic Complications of Diabetes. Diabetes Care, January 1,
2005; 28(1): 177 - 185. URL : http:// www.aje.oxfordjournals.org.
Burke JP, dkk. Association of Anthropometric Measures with the Presence and
Progression of Benign Prostatic Hyperplasia. American Journal of Epidemiology
Advance Access originally published online on April 12, 2006. 164(1):41-46.
URL : http://www.aje.oxfordjournals.org.