Anda di halaman 1dari 32

Lampiran 4

FORMAT LAPORAN SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN


PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

HALAMAN JUDUL
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Etilogi
C. Manifestasi Klinik
D. Kompilkasi
E. Patofisiologi dan pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
G. Penatalaksanaan (medis dan keperawatan)
H. Asuhan keperawatan sesuai teori
III. ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Perencanaan keperawatan
D. Implementasi
E. Evalausi
IV. PEMBAHASAN
Berisi kesenjangan antara teori dan praktek (dilengkapi pathway kasus)
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran 5

FORMAT LAPORAN EXPERT


PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN MEDIKAL EBDAH

JUDUL
BAB I PENDAHLUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II ISI
A. Asuhan Keperawatan Teori
(Konsep penyakit dan asuhan keperawatan)
B. Resume Kasus
C. Hasil
Berisi hasil diskusi dengan expert, minimal 2 orang yang expert
di bidang sesuai dengan tema yang diambil.
D. Pembahasan
Analisa hasil diskusi dengan expert dengan membandingkan
hasil diskusi dengan menggunakan jurnal penelitian terbaru
minimal 2 buah.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
** Mahssiwa WAJIB melampirkan jurnal bimbingan denga expert.
LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN
KEPERAWATAN

Nama Mahasiswa : SUYATNO,S.Kep Tanggal : 28 10 - 2015


NPM : SN 142046 Ruangan : ANGGREK

Nama psien : Tn. S


Umur : 46 th
Diagnosa medis : Post op Kista Duktus Tiroglosus

1. Pengkajian ABCD
Airway
Tidak ada gangguan jalan napas
Breathing
Pernapasan spontan, frekuensi 20 x/mnt, irama teratur, tidak menggunakan otot
bantu pernapasan.
Circulation
Cyanosis dan diaporesis tidak ada, mukosa bibir lembab, akral hangat, suhu
36,10C, turgor elastis, nadi teraba jelas, frekuensi 84x/mnt, CRT < 2 detik. Klien
tampak segar, konjunctiva tidak anemis.
Disability and drug
Kondisi klien baik, tingkat kesadaran compos mentis, klien meringis kesakitan
bekas op. Pada leher klien terdapat luka bekas op kista, ukuran luka 4cm
Sebelumnya klien tidak ada menggunakan/ memakan obat-obatan.

Diagnosa keperawatan
Analisa data
1. -Data subjektif
Klien mengatakan luka bekas op terasa nyeri, skala nyeri 4
-Data Objektif
Klien tampak menahan sakit.
Diagnosa keperawatan : Gangguan rasa nyaman nyeri b/d proses pembedaham
2. - Data subjektif
Klien mengatakan cemas dengan luka bekas op, apakah bisa sembuh seperti
sediakala.
-Data Objektif
Klien tampak cemas dan gelisah dan selalu menanyakan lukanya bisa
sembuh
Diagnosa keperawatan : Cemas b/d tindakan invasif yang dilakukan
3.- Data subjektif
Klien mengatakan luka bekas op terasa panas
- Data objektif
Luka bekas operasi berdiameter 15x2x1 cm
Diagnosa keperawatan : Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan sebagai efek
sekunder dari prosedur pembedahan

Implementasi dan evaluasi


Tanggal No dx Implementasi Evaluasi
11 6 - Jam 12.30 WIB
2015 1 1.Mengatur posisi yang nyaman Subjektif
Jam untuk klien : posisi supine -Klien mengatakan nyeri pada
09:00 area luka op berkurang
WIB 2.Memberikan analgetik sesuai
terapi dokter untuk mengurangi Objektif
nyeri -Klien tampak mulai tenang,
sesekali tampak masih
3.Memberikan ketorolak 1 ampul meringis kesakitan
sesuai program pengobatan untuk -Klien nyaman dengan posisi
mengurangi nyeri supine
-Klien sudah mendapatkan
injeksi ketorolak1 ampul

Analisa
Masalah gangguan rasa
nyaman nyeri belum teratasi,
lanjutkan pemberian analgetik
sesuai terapi dokter

Planning
Tindakan dilanjutkan

2 1.Menjelaskan pada klien tentang Subjektif


luka operasi akan sembuh seiring -Klien mengatakan setelah
dengan perawatan mendapat penjelasan dari
perawat rasa cemasnya
2.Mengajak bercerita saat berkurang
melakukan tindakan untuk
mengalihkan perhatian klien Objektif
terhadap rasa nyeri -Klien tampak mengangguk-
anggukkan kepalanya saat
3.Menganjurkan klien diberi penjelasan tentang
menanyakan hal-hal yang ingin kondisinya
diketahuinya : mencegah -Klien tampak senang diajak
ketidaktahuan yang dapat berkomunikasi
meningkatkan kecemasan klien -Klien aktif bertanya tentang
kondisi luka dan fraktur
dilengannya
Analisa
Masalah teratasi

Planning
Tindakan dihentikan

3 1.Mengatur posisi yang nyaman Subjektif


untuk klien : posisi supine -Klien mengatakan mengerti
tentang tujuan perawatan luka
2.Menjelaskan pada klien tujuan untuk menghindari terjadinya
perawatan luka : mencegah infeksi
terjadinya infeksi
3.melakukan perawatan luka Objektif
ditutup sufratull dan kassa steril. -Klien merasa nyamana
dengan posisi supine
4.Menjaga sterilisasi luka pada -Klien dapat menyebutkan
luka bekas op pasien untuk fungsi perawatan luka
mencegah infeksi -Luka bekas op dimedikasi
dengan prinsif steril
5. memberikan suntikan antibiotik
sesuai terapi dokter Analisa
Masalah belum teratasi

Planning
Tindakan diteruskan
LAPORAN EXPERT
PRAKTIK PROFESI NERS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PEMBESARAN PROSTAT / BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di Indonesia jumlah lanjut usia (usila) terus meningkat dari tahun
ke tahun tentunya akan menimbulkan persoalan-persoalan baru, tidak
saja di bidang sosial-ekonomi, tetapi juga di bidang kesehatan, baik
tingkat negara, masyarakat, maupun individu. Perubahan-perubahan
yang terjadi dapat mengakibatkan kemunduran fungsi sehingga
kemampuan fisik menurun (disability) atau kekacauan koordinasi
(disorder) sehingga dapat menimbulkan hambatan atau rintangan
(handicap), bahkan sampai dapat mengarah pada suatu penyakit
(disease). Perubahan-perubahan itu akan berjalan terus, dan akan
semakin cepat (progressive), setelah umur melampaui dekade ke-enam.
Dari sekian banyak Geriatric Giant (problem yang banyak diderita usila)
pada pria adalah inkontinentia urine (ketidak mampuan mengendalikan
diri dalam kencing) yang pada lanjut usia salah satu penyebabnya adalah
Pembesaran Prostat.
B. Tujuan
a. Melakukan pengkajian pada klien dengan post prostatektomi.
b. Membuat diagnosa keperawatan pada klien dengan post
prostatektomi.
c. Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan post
prostatektomi.
d. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan pada klien dengan
post prostatektomi.
e. Pendokumentasian Asuhan keperawatan pada klien dengan
prostatektomi.
II. ISI
A. Asuhan keperawatan teori

I. PENGERTIAN

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh


penuaan. Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun
orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang
dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. ( Yuliana elin,
2011)

II. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum


diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon
androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

III. TANDA DAN GEJALA

1. Gejala iritatif meliputi :


Peningkatan frekuensi berkemih
Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
Pancaran urin melemah
Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
Kalau mau miksi harus menunggu lama
Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
Urin terus menetes setelah berkemih
Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi
produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan
volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak
puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.

Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron


esterogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron
manjadi esterogen pada jaringan adiposa diperifer. Karena proses pembesaran
prostat terjadi secara perlahan lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan
lahan. (Wim de jong)

IV. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

V. PATOFISIOLOGI
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi
yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan
hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat.

Teori-teori tentang terjadinya BPH :


1. Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam
sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang
menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa
protein.
2. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg
disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif atau
aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan perkembangan hiperplasi
prostat.
3. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor (-
FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih
besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi
oleh enzim 5-a-reduktase. -FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena
miksi, ejakulasi dan infeksi.
4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan
mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat
meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila
keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :

Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah


gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang
terjadi pada prostat yang membesar.
Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum
puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi
lebih pendek.
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama
tidur.
Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada
saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter,
Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan spingter.
Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar.
Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi
urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis)
secara bertahap, serta gagal ginjal.
Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian
urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk
organisme infektif.
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu
tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia dan hemoroid.

VI. PATHWAY
VII. PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya. (Ikatan Ahli Urologi Indonesia)
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat
berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin
digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi
dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang
adekuat.
Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan
adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur

Terapi medikamentosa

- Penghambat adrenergik (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor


pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni
dan gejala-gejala berkurang.
- Penghambat enzim 5--reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil.

Terapi bedah

Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi
bedah yaitu :
- Retensi urin berulang
- Hematuri
- Tanda penurunan fungsi ginjal
- Infeksi saluran kemih berulang
- Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
- Ada batu saluran kemih.
1. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan
optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian
dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop
pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi
erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan
jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal
mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi
dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan
spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
c. Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Keuntungannya
adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih
lebih sedikit.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat
yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi
mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi
kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan
impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi
akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat
dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah
sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih
dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard.

1. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).

Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen


melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat
untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.
Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang )
dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di
klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara
lainnya.

3. TURP ( Trans Uretral Reseksi Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra


menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan
irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi
uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila
tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah
dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%),
impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka
biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

Terapi invasif minimal,


Seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum transuretral

VIII. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN


1. Pre operasi

a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah,


CT, BT, AL)
b. Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan
lansia
c. Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
d. Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.
Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari,
lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk
meminimalkan masuknya udara
2. Post operasi
- Irigasi/Spoling dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin
dalam kateter bening)
- Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
- Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik
obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
- Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam
post operasi
- Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
- Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
- DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
- Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
- Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
- Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan
dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung
kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
- Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-
jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
- Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali
kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien
mencapai kontrol berkemih.
- Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
- Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan
memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter
pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.

A. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
I.1. RIWAYAT
a. Biodata
biasanya terjadi pada laki2 dengan kisaran usia 50 tahun atau lebih.
b. Riwayat Keperawatan
Keluhan Utama : pada umumnya pasien sering mengeluhkan nyeri BAK,
dan retensio urine.

I.2. POLA GORDON


1. Identitas Klien
2. Identitas Penanggung Jawab
I. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh nyeri BAK , BAK tidak lancar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pembesaran prostat yang ditandai dengan nyeri saat BAK disertai dengan
retensio urine
3. Riwayat Penyakit Dahulu
BAK tidak lancar disertai retensio urine dan kencing terputus - putus
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Genogram : ada atau tidaknya riwayat penyakit keturunan seperti
hipertensi , diabetes
5. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Ada atau tidaknya pengaruh lingkungan terhadap penyakit yang diderita

II. PENGKAJIAN POLA KESEHATAN FUNGSIONAL


1. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
2. Pola Nutrisi/Metabolik
a. Pengkajian Nutrisi (ABCD)
b. Pengkajian Pola Nutrisi
Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi Normal Sedikit berkurang
Jenis Nasi Bubur
Porsi Biasa Setengah
Keluhan Tidak ada Nafsu makan
berkurang perut
terasa penuh

3. Pola Eliminasi
a. BAB
Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi 2x sehari 2 hari sekali bahkan
lebih
Konsistensi Padat Lunak
Warna kekuningan Kekuningan
Penggunaan pencahar Tidak iya
(laktasif)
Keluhan Tidak ada BAB tidak lancar

b. BAK
Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi S
Jumlah urine
Warna
Pancaran
Perasaan setelah
berkemih
Total produksi urine
Keluhan

c. Analisa keseimbangan cairan selama perawatan


Intake Output Analisa
a. Minuman . a. Urine . Cc Intake ccoutput
Cc b. Feses . cc cc
b. Makanan . c. Muntah . cc
cc d. IWL . cc
c. Cairan IV .
Cc
Total . Cc Total . Cc Balance . Cc

4. Pola Aktifitas dan Latihan


Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Makan/minum
Mandi
Toileting
Berpakaian
Mobilitas ditempat tidur
Berpindah
Ambulasi/ROM

5. Pola Istirahat Tidur


Sebelum Sakit Saat Sakit
Jumlah tidur siang
Jumlah tidur malam
Penggunaan obat tidur
Gangguan tidur
Perasaan waktu bangun
Kebiasaan sebelum
tidur

6. Pola Kognitif Perseptual


a. Status mental
b. Kemampuan penginderaan
c. Pengkajian nyeri
7. Pola Persepsi Konsep Diri
a. Gambaran diri/Citra tubuh
b. Ideal diri
c. Harga diri
d. Peran diri
e. Identitas diri
8. Pola Hubungan peran
9. Pola seksualitas reproduksi
10. Pola mekanisme koping
11. Pola nilai dan keyakinan

III. PEMERIKSAAN FISIK


2. Keadaan/Penampilan Umum
Kesadaran
a. Tanda-tanda vital :
Tekanan darah :
Nadi, Frekuensi, Irama, Kekuatan
1) Pernafasan
Frekuensi, Irama
2) Suhu
3. Kepala
Bentuk kepala, Kulit kepala, Rambut
4. Muka
a. Mata
1) Palpebra
2) Konjungtiva
3) Sclera
4) Pupil
5) Diameter pupil ki/ka
6) Reflek terhadap cahaya
7) Penggunaan alat Bantu
penglihatan
b. Hidung
c. Mulut
d. Telinga
5. Leher
Kelenjar tiroid, Kelenjar limfe, JVP
6. Dada (Thorax)
a. Paru-paru :
Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
b. Jantung :
Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
7. Abdomen
Inspeksi, Auskultasi, Palpasi, Perkusi
8. Genetalia
9. Rektum
10. Akstremitas
a. Atas
Kanan Kiri
Kekuatan otot
Rentang gerak
Akral
Edema
CRT
Keluhan

b. Bawah
Kanan Kiri
Kekuatan otot
Rentang gerak
Akral

Edema
CRT
Keluhan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml
tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate
specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai
PSA > 10 ng/ml

2. Pemeriksaan darah lengkap

Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua


defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung
dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi.
Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan
volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat
kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di
vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui
fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat
sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah
untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah
untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah

VII. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING


MUNCUL
1. Nyeri akut b.d agent injuri fisik
2. Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan sebagai efek sekunder dari prosedur
pembedahan
3. Resiko berkurangnya volume cairan bd.haluaran urine berlebih

VIII. RENCANA KEPERAWATAN


DX I
NOC : Kontrol Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan Pain management selama
proses keperawatan nyeri dapat berkurang/hilang
KH :
a. Mengenali faktor penyebab.
b. Menggunakan metode pencegahan non analgesik untuk mengurangi
nyeri.
c. Menggunakan analgesik sesuai kebutuhan.
d. Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan.
e. Mengenali gejala-gejala nyeri.
f. Mencatat pengalaman tentang nyeri sebelumnya.
Keterangan skala :
1. Tidak dilakukan sama sekali.
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. selalu dilakukan.
NIC : Pain Management
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri (lokasi karateristik, durasi,
frekuensi, kualitas)
b. observasi isyarat non verbal dari ketidak nyamanan.
c. kaji pengalaman individu terhadap nyeri.
d. ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (ex. Relaksasi, terapi musik,
masase, dan lain-lain).
e. berikan analgesik sesuai anjuran.
f. anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat.

DX II
NOC : Risk kontrol
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan infection protection infeksi
tidak terjadi
Kriteria Hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
d. Menunjukan perilaku hidup sehat
Keterangan Skala
1. Tidak menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
NIC : infektion protection
a. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
b. Monitor kerentanan terhadap penyakit menular
c. Inspeksi kondisi luka atau insisi bedah
d. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
e. Ajarkan cara menghindari infeksi
DX III
NOC : Keseimbangan asam basa
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan fluid monitoring selama
proses keperawatan kekurangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria Hasil
a. Nadi dalam batas normal
b. Irama jantung dalam batas normal
c. Pernapasan dalam batas normal
d. Irama pernapasan dalam batas normal

Keterangan Skala
1. Berat
2. Baik
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fluid monitoring
a. Monitor intake dan output
b. Monitor status nadi,,pernapasan
c. Jaga catatan akurat intake cairan
d. Administrasi cairan,bila perlu

X. EVALUASI
DX I Skala
a. Mengenali faktor penyebab. 4
b. Menggunakan metode pencegahan non analgesik untuk
mengurangi nyeri. 4
c. Menggunakan analgesik sesuai kebutuhan. 4
d. Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan. 4
e. Mengenali gejala-gejala nyeri. 4
f. Mencatat pengalaman tentang nyeri sebelumnya 4
DX II
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 4
b. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 4
c. Jumlah leukosit dalam batas normal 4
d. Menunjukan perilaku hidup sehat 4
DX III
a. Nadi dalam batas normal 2
b. Irama jantung dalam batas normal 2
c. Pernapasan dalam batas normal 2
d. Irama pernapasan dalam batas normal 2

B. RESUME KASUS
pasien adalah Tn. T, usia 69 th. Dirawat diruang mawar dengan keluhan
susah BAK kurang lebih satu minggu, terpasang DC untuk membantu, dari hasil
pemeriksaan radiologi diketahui hasil USG ada pembesaran prostat 68 ml,
diagnosis dokter adalah BPH dengan tindaklanjut pembedahan prostatectomy.

C . HASIL
Hasil diskusi dengan dokter bedah di RSU Dr. Soediran MS menyatakan
bahwa pasien dengan resiko pembesaran prostat adalah laki laki dengan usia >
50 th, kebiasaan gaya hidup juga mempengaruhi resiko terjadinya pembesaran
prostat.
Kebiasaan seperti kurangnya berolah raga, pola makan yang tidak sehat
ataupun keturunan dapat menjadi pemicu resiko pembesaran prostat. Usia rentan
terjadinya pembesaran prostat terjadi biasanya paling banyak di usia 70 80 th.
Faktor ekonomi dan lingkungan tempat tinggal biasanya membuat pasien kurang
menyadari tanda tanda terjadinya pembesaran prostat.
D . PEMBAHASAN
Pada umumnya pembesaran prostat terjadi diusia lanjut berkisar >50 th,
resiko pembesaran prostat disebabkan oleh kebiasaan gaya hidup pasien dalm
berbagai jurnal penelitian disampikan Faktor risiko yang terbukti berpengaruh
terhadap terjadinya BPH adalah Umur, riwayat keluarga, kurangnya makan-
makanan berserat . hal ini menjadi alasan kenapa kebiasaan gaya hidup pasien
mempengaruhi terjadinya resiko pembesaran prostat. Faktor risiko yang terbukti
berpengaruh terhadap terjadinya BPH Laki-laki yang memiliki umur 50 tahun
memiliki risiko lebih besar dibanding dengan laki-laki yang berumur < 50 tahun.
Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena
pembesaran prostat. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai
menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60
tahun keatas. Risiko BPH pada laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah
menderita BPH lebih besar dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat
keluarga yang pernah menderita BPH. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa
penelitian sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya asosiasi kausal dari aspek
consistency. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih besar bila pada
anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau kanker Prostat. Dimana dalam
riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen yang menyebabkan fungsi gen
sebagai gen penekan tumor mengalami gangguan sehingga sel akan berproliferasi
secara terus menerus tanpa adanya batas kendali. Hal ini memenuhi aspek
biologic plausibility dari asosiasi kausal. Hasil analisis pada penelitian ini
menunjukkan bahwa laki-laki dengan frekuensi yang rendah dalam
mengkonsumsi makanan berserat memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena
BPH. lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi makanan berserat
dengan frekuensi tinggi. Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat
terjadi akibat dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus
besar sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam
inti sel. Pada sayuran juga didapatkan mekanisme yang multifaktor dimana di
dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti karoteniod,
selenium dan tocopherol. Dengan diet makanan berserat atau karoten diharapkan
mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan memberikan lingkungan
yang akan menekan berkembangnya sel-sel abnormal.
BAB III PENUTUP
A . KESIMPULAN
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap terjadinya BPH adalah
Umur , riwayat keluarga , kurangnya makan-makanan berserat . hal ini
membuktikan bahwa selain usia dan riwayat keluarga , gaya hidup menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya pembesaran prostat.
B . SARAN
Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan bagi Dinas Kesehatan
untuk meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai faktor risiko,
tanda, gejala, pencegahan dan pengobatan BPH. Melakukan kegiatan monitoring
prevalensi BPH, dilaksanakan secara berkesinambungan. Bagi masyarakat
disarankan untuk melaksanakan pola hidup sehat, lebih waspada terhadap adanya
faktor risiko terhadap kejadian BPH terutama bagi laki-laki yang berumur lebih
dari 50 tahun, adanya keluhan yang mengarah ke penyakit BPH perlu diwaspadai.

DAFTAR PUSTAKA :
Presti, Joseph C. Benign Prostatic Hiperplasia Incidence & Epidemiology.
www.Health.am.
Kupelian V, dkk. Prevalence of Lower Urinary Tract Symptoms and Effect on
Quality of Life in a Racially and Ethnically Diverse Random Sample: The Boston
Area Community Health (BACH) Survey Arch Intern Med, November 27, 2006;
166(21): 2381 - 2387. URL : http:// www.aje.oxfordjournals.org.
Brown J. S, dkk. Urologic Complications of Diabetes. Diabetes Care, January 1,
2005; 28(1): 177 - 185. URL : http:// www.aje.oxfordjournals.org.
Burke JP, dkk. Association of Anthropometric Measures with the Presence and
Progression of Benign Prostatic Hyperplasia. American Journal of Epidemiology
Advance Access originally published online on April 12, 2006. 164(1):41-46.
URL : http://www.aje.oxfordjournals.org.

Anda mungkin juga menyukai