Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

Tuberkulosis (TB) Paru dan Diabetes Melitus


(DM)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Pulmonologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

Rayanna Yuna Alysa


1507101030113

Pembimbing:
dr. Nurrahmah Yusuf, M. Ked (Paru), Sp. P

BAGIAN/ SMF PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan kasus yang
berjudul Tuberkulosis Paru dan Diabetes Melitus. Shalawat dan salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat
manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Pulmonologi
RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr.
Nurrahmah Yusuf, M. Ked (Paru), Sp. P yang telah bersedia meluangkan
waktu membimbing penulis dalam penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada
khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, Agustus 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium Tuberculosis. Penularannya terjadi dari orang ke orang melalui
droplets dari orang yang sedang terinfeksi.1 Pada tahun 2015 TB merupakan salah
satu dari 10 penyebab kematian utama di seluruh dunia. Sekitar 9,4 juta kasus
baru dan 1,7 juta kematian ditemui per tahundi seluruh dunia. Indonesia
merupakan salah satu dari 6 negara penyumbang 60% kasus baru TB selain India,
2, 3
Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Berdasarkan profil kesehatan
Indonesia tahun 2015, jumlah kasus TB adalah 330.910 kasus. Jumlah ini
meningkat jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 2014 yaitu
sebanyak 324.539 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus Tb terbanyak yaitu
Sulawesi utara (238), Papua Barat (235) dan DKI Jakarta (222), Aceh sendiri
menempati urutan ke 17 untuk jumlah kasus TB dengan jumlah 119 per 100.000
penduduk.4 Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (+)
sebanyak 4.062 kasus. Hal ini meningkat bila dibandingkan kasus baru BTA
positif (+) yang ditemukan tahun 2013 sebesar 3.815 kasus. Jumlah kasus
tertinggi yang dilaporkan terdapat di Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara
dan Bireun. Kasus baru BTA (+) di tiga kabupaten tersebut menyumbang 9 persen
dari jumlah seluruh kasus baru di Aceh, di ikuti Kabupaten Aceh Besar dan Pidie
yaitu sebesar 8%.5 TB dapat terjadi karena berbagai faktor risiko yaitu, usia,
imunitas. Status HIV atau prevalens HIV dalam populasi.1
Selain HIV, Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko
TB. DM diketahui dapat mempunyai gangguan respon imun tubuh, sehingga
dapat memfasilitasi infeksi Mycobacterium Tuberculosis dan menimbulkan
penyakit TB paru. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementrerian RI pada tahun
2013 didapatkan proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9% dan diperkirakan
jumlahnya berkisar 12 juta jiwa. Di Aceh sendiri, penderita yang telah didiagnosis
menderita DM oleh dokter adalah 1,8%.6 DM memiliki risiko 2 sampai 3 kali
lebih tinggi untuk terkena TB dibandingkan dengan penderita tanpa TB tanpa
DM.7 Prevalensi pasien DM dengan TB berbeda-beda diseluruh dunia menurut
wilayah dan berkisar antara 12-44%. DM memiliki dampak yang besar terhadap
hasil pengobatan TB. DM dapat meningkatkan risiko dari kegagalan pengobatan
TB, meningkatkan kekambuhan TB yang sudah selesai pengobatan dan
meningkatkan kematian pasien TB dengan DM dibandingkan dengan TB tanpa
DM.8 Pasien TB juga sering menujukkan terjadinya keadaan intoleransi glukosa.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien TB yang baru terdiagnosis terdapat
intoleransi glukosa dan segera menjadi normal kembali setelah dimulai terapi TB,
hal ini dikenal sebagai Transient Hyperglicemia. Maka dari itu, untuk mecegah
semakin memberatnya kedua penyakit perlu dilakukan deteksi TB pada pasien
DM dan deteksi DM pada pasien TB yang sedang menjalani pengobatan TB. 9
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Syukrinur
Umur : 49 tahun
Alamat : Lamkeunung, Aceh Besar
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Status : Menikah
CM : 1-13-94-75
Tanggal Masuk : 19 Agustus 2017
Tanggal Pemeriksaan : 22 Agustus 2017

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Lemas
Keluhan Tambahan : Batuk berdahak, nyeri dada, penurunan berat
badan, keringat malam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RS. Prince Nayef dengan diagnosa TB paru dan DM
tipe II datang dengan keluhan lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu yang lalu,
pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak mudah
dikeluarkan, berwarna kuning bercampur ludah dan kental. Pasien juga
mengeluhkan nyeri di dada saat pasien batuk, sesak napas tidak ada, demam tidak
dikeluhkan, berkeringat malam ada, penurunan nafsu makan ada dan penurunan
berat badan 15kg selama 3 bulan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes mellitus sejak 1,5 tahun, dengan kadar gula darah tertinggi
500mg/dl

Riwayat Penggunaan Obat


Obat diabetes mellitus, tetapi pasien lupa apa nama obatnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang dosen di salah satu Universitas Negeri Banda Aceh
2.3 Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 88 kali/menit, regular,kuat angkat, isi cukup
Frekuensi nafas : 20 kali/menit, regular
Suhu : 36,8 C

2.4 Pemeriksaan Fisik

Kulit : ikterik (-), sianosis (-), edema (-),


Kepala : rambut hitam, distribusi merata, sukar dicabut
Wajah : simetris, edema (-), deformitas (-)
Mata : anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : kesan normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung : sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis (-), tremor (-), hiperemis (-).
Leher : deviasi trakea (-), penggunaan otot bantu napas (-), pembesaran
KGB axila (-) retroauricula (-) suprasternal (-), submandibula (-)
Thorak anterior
Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi
Statis: Normochest
Dinamis: Simetris

Palpasi
Atas Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Tengah
Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Bawah Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal

Perkusi
Atas Sonor Sonor
Tengah Sonor Sonor
Bawah Sonor Sonor

Auskultasi
vesikuler (+), rhonki (-), Vesikuler (+), rhonki (+),
Atas
wheezing (-) wheezing (-)

Tengah rhonki (-), wheezing (-) rhonki (+), wheezing (-)

Bawah rhonki (-), wheezing (-) rhonki (-), wheezing (-)

Thoraks posterior

Pemeriksaan
Thorax Dekstra Thorax Sinistra
Fisik Paru
Inspeksi
Statis : Normochest
Dinamis: Simetris

Palpasi
Atas Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Tengah
Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Bawah Fremitus taktil: normal Fremitus taktil: normal
Perkusi
Sonor Sonor
Atas
Tengah Sonor Sonor
Bawah Sonor Sonor
Auskultasi vesikuler (+), rhonki (- Vesikuler (+), rhonki (+),
Atas ),wheezing (-) wheezing (-)
Tengah rhonki (-), wheezing (-) rhonki (+), wheezing (-)
Bawah rhonki (-), wheezing (-) rhonki (-), wheezing (-)

Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+) bising (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, organomegali (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Ekstremitas superior: sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-),
CRT <2 detik.
Ekstremitas inferior: sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-), CRT
<2 detik.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium Darah
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2017

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah


NILAI
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 8,0 14,0-17,0 g/dL
Hematokrit 26 45-55 %
Eritrosit 3,3 4,7-6,1 106/mm3
Leukosit 9,2 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 564 150-450 103/mm3
MCV 77 80-100 fL
MCH 24 27-31 Pg
MCHC 31 32-36 %
RDW 14,5 11,5-14,5 %
MPV 8,3 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis:
Eosinofil 1 0-6 %
Basofil 1 0-2 %
Netrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil Segmen 70 50-70 %
Limfosit 17 20-40 %
Monosit 11 2-8 %
b) Foto Thorax ( 14 Agustus 2017)

Kekerasan foto cukup


Tulang tidak fraktur, tidak deformitas
Soft tissue normal
Tampak gambaran infiltrat pada bagian
apex dan basal paru kiri dan bagian apex
paru kanan
Jantung dalam batas normal
Sudut costopherinicus kiri dan kanan
tampak tajam
Diafragma berbentuk kubah
Kesan:
Tb Paru

c) GenXpert (25 Juli 2017)

Hasil: MTB detected medium

2.6 Diagnosis Banding


1) TB paru kasus baru
2) Pneumonia

2.7 Diagnosis
TB Paru kasus baru

2.8 Tatalaksana
IVFD Asering 10 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Nebule Ventolin/8jam
Pro TB 4 FCD 1x3 tab
Neurodex 2x1
Curcuma 3x1 tab
Vectrin 3x1
Asam folat 2x1
2.9 Planning
Kultur sputum mo gram
Gen Xpert
Konsul endokrin

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam
Follow Up Harian
Tabel 2. Follow up pasien harian
Tanggal/hari
Catatan Instruksi
rawatan

S/ lemas(+), batuk berdahak (+) Th/


dahak berwarna kuning, nafsu -IVFD Asering 10 gtt/menit
20/08/2017 makan menurun (+) -Inj. Ceftriaxone 1gr/hari
O/ -Nebule Ventolin /8jam
H1 TD : 120/80 mmHg -Vectrin 3x1
HR : 68 x/menit -Asam folat 2x1
RR : 18 x/menit
T : 36,7 C
Planning:
Paru
- Kultur sputum mo gram
I: Simetris statis/dinamis (+/+)
- Gen Xpert
P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor
A: Ves (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)

Ass/
- Susp. TB Paru
- DM Tipe II
- Anemia
S/ lemas(-), batuk berdahak (+) Th/
21/08/2017 dahak berwarna kuning, nafsu -IVFD Asering 10 gtt/menit
H2 makan menurun (+) -Inj. Ceftriaxone 1gr/hari
O/ -Nebule Ventolin /8jam
TD : 110/70 mmHg -Vectrin 3x1
HR : 92 x/menit -Asam folat 2x1
RR : 20 x/menit
T : 36,2 C
Planning:
-Kultur sputum MO gram
Paru
I: Simetris statis/dinamis (+/+) -Gen Xpert (tunggu hasil)

P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor
A: Ves (+/+), Rh (+/-), Wh (-/-)
Ass/
- Susp. TB Paru
- DM Tipe II
-Anemia
S/ batuk (+), DM 1,5 tahun Th/
21/07/2017 O/ -Bedrest
EMD Kes: CM -IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i
TD: 120/80 mmHg -Diet DM 1900 Kkal/hari
HR: 68x/menit -SC apidro 6-6-6 ui
RR: 18x/menit -SC lantus 0-0-0-10 unit
KGD Pagi: 174mg/dl (jam 22.00)
Ass/
1. DM tipe 2 underweight Planning:
2. Pneumonia d TB paru -Urinalisa
dengan sekunder infeksi -Lipid profile
3. Anemia sedang
4. Hiponatremia
hipoosmolar hipovolemi

S/ lemas(-), batuk berdahak (+) Th/


dahak berwarna kuning, nafsu -IVFD Asering 10 gtt/menit
makan menurun (+) -Inj. Ceftriaxone 1gr/hari
O/ -Nebule Ventolin /8jam
22/07/2017 TD : 130/80 mmHg -Vectrin 3x1
HR : 80 x/menit -Asam folat 2x1
H3 RR : 20 x/menit
T : 36,2 C
Planning:
Paru
-Terapi OAT
I: Simetris statis/dinamis (+/+)
P: Sf ka = Sf ki
P: sonor/sonor
A: Ves (+/+), Rh (-/+), Wh (-/-)
Ass/
- TB Paru Kasus Baru, BTA(+)
lesi luas
- DM Tipe II
-Anemia

22/07/2017 S/ batuk (+), DM 1,5 tahun Th/


O/ -Bedrest
EMD Kes: CM -IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i
TD: 130/80 mmHg -Diet DM 1900 Kkal/hari
HR: 80x/menit -SC apidro 6-6-6 ui
RR: 20x/menit -SC lantus 0-0-0-10 unit
Ass/ (jam 22.00)
1. DM tipe 2 underweight Planning:
2. TB paru kasus baru -Urinalisa
BTA(+) lesi luas -Lipid profile
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ
termasuk paru-paru. Kuman TB yang menginfeksi organ di luar paru disebut juga
dengan Tuberkulosis Ekstra Pulmonal.1
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.10
3.2 Epidemiologi
Pada tahun 2015 TB merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian utama
di seluruh dunia. Sekitar 9,4 juta kasus baru dan 1,7 juta kematian ditemui per
tahundi seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu dari 6 negara penyumbang
2, 3
60% kasus baru TB selain India, Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2015, jumlah kasus TB adalah 330.910
kasus. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 2014
yaitu sebanyak 324.539 kasus. Provinsi dengan jumlah kasus Tb terbanyak yaitu
Sulawesi utara (238), Papua Barat (235) dan DKI Jakarta (222), Aceh sendiri
menempati urutan ke 17 untuk jumlah kasus TB dengan jumlah 119 per 100.000
penduduk.4 Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (+) sebanyak
4.062 kasus. Hal ini meningkat bila dibandingkan kasus baru BTA positif (+) yang
ditemukan tahun 2013 sebesar 3.815 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan
terdapat di Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara dan Bireun. Kasus baru BTA
(+) di tiga kabupaten tersebut menyumbang 9 persen dari jumlah seluruh kasus baru
di Aceh, di ikuti Kabupaten Aceh Besar dan Pidie yaitu sebesar 8%.5
Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian RI pada tahun 2013
didapatkan proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9% dan diperkirakan jumlahnya
berkisar 12 juta jiwa. Di Aceh sendiri, penderita yang telah didiagnosis menderita
DM oleh dokter adalah 1,8%.6 DM memiliki risiko 2 sampai 3 kali lebih tinggi untuk
terkena TB dibandingkan dengan penderita tanpa TB.7 Prevalensi pasien DM dengan
TB berbeda-beda diseluruh dunia menurut wilayah dan berkisar antara 12-44%.
3.3 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Genus
Mycobacterium merupakan kelompok bakteri gram positif, berbentuk batang,
berukuran dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2-0,6 mikron. Bakteri ini bersifat
tahan asam disebut juga dengan basil tahan asam (BTA).11 Karakteristik lainnya
berupa cepat mati bila terpapar dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Di dalam jaringan tubuh kuman
ini dapat dorman selama beberapa tahun.12 dan lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya seperti pada bagian apikal paru-paru yang merupakan
bagian yang lebih tinggi dari bagian paru lainnya. Hal inilah yang menjadikan area
apikal paru sebagai tempat predileksi penyakit TB.13 Mikobakteri dapat hidup pada
makrofag normal yang tidak teraktivasi akibat dinding sel kuman yang kaya akan
lipid dan. berfungsi melindungi mikobakteri dari proses fagolisosom.12
3.4 Patofisiologi
Penularan penyakit TB terjadi melalui percikan dahak (droplet nuclei) ke udara
yang mengandung kuman saat pasien TB batuk atau bersin. Pada awalnya,
Mycobacterium tuberculosa masuk melalui saluran nafas (droplet infection) sampai
alveoli. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB. Kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut Fokus Primer GOHN.14
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe (limfangitis)
menuju kelenjar limfe (limfadenitis) dan menyebabkan inflamasi. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex). Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. 14
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.15
Dalam proses infeksi selama minggu-minggu awal, jaringan tubuh akan mulai
mengembangkan sensitivitas terhadap tuberculin. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.15
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.15
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis.15
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.15
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan
fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi, termasuk TB
paru. Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek fungi sel-sel
imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel
pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan mengalami patologis,
seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan
akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada
retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati saraf autonom berupa hipoventilasi
sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas
recoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida dan peningkatan endogen
produksi karbondioksida.7
Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap Mycobacterium Tuberculosis
adalah fagosit, yaitu makrofrag alveolar, perkursor monosit, dan limfosit sel-T,
berperan penting dalam mengeleminasi infeksi tuberculosis. Pada penderita DM,
diketahui terjadi gangguan kemoktasis, fagositosis dan antigen presenting oleh
fagosit terhadap bakteri Mycobacterium Tuberculosis, kemotaksis monosit tidak
terjadi pada penderita DM. Defek ini tidak dapat diatasi dengan terapi insulin.7
Beberapa penelitian menunjukkan makrofag alveolar pada penderita TB paru
dengan komplikasi DM menjadi kurang teraktivasi. Penurunan kadar respons Th-1,
produksi TNF-, IFN-, serta produksi IL-1 dan IL-6 juga ditemukan pada
penderita TB paru disertai DM dibandingkan pada penderita TB tanpa DM.
Penurunan produksi IFN- lebih signifikan pada pasien TB paru dengan DM tidak
terkontrol dibandingkan pada pasien TB paru dengan DM terkontrol . Produksi IFN-
ini akan kembali normal dalam 6 bulan, baik pada pasien TB paru dengan DM
terkontrol, tetapi akan terus menurun pada pasien TB paru dengan DM tidak
terkontrol. Selain itu, terjadi perubahan vaskuler pulmonal dan tekanan oksigen
alveolar yang memperberat kondisi pasien.7
3.5 Faktor Risiko
Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sakit TB tergantung
dari:16
1. Konsentrasi/ jumlah kuman yang terhirup
2. Lamanya waktu sejak terinfeksi
3. Usia dan jenis kelamin
4. Tingkat daya tubuh seseorang. Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh
karena sebab apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, koinfeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan immuno-supressive, bilamana
terinfeksi dengan M.TB, lebih mudah jatuh sakit.DM mempunyai risiko 2-3 kali
lipat untuk terjadi TB dibandingkan dengan pasien TB tanpa DM.17
5. Sosio ekonomi rendah
6. Perilaku seperti batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai
dengan etika dapat meningkatkan risiko penularan, meorok dapat meningkatkan
risiko terkena TB 2,2 kali lipat.
7. Faktor lingkungan, perumahan padat dan kumuh akan memudahkan penularan
TB. Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya matahari
akan meningkatkan risiko penularan.
3.6 Klasifikasi
Secara defenisi, kasus TB terdiri dari dua, yaitu:16
a. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis, adalah pasien TB yang
terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum
dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, Tes Cepat
Molukuler (TCM) TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien
ini adalah:
Pasien TB paru BTA positif
Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
Pasien TB ekstrapary terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena
TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis
b. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis, adalah pasien yang tidak
memenuhi criteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis
sebagai pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto
thoraks mendukung TB.
Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis
setelah diberikan antibiotic non OAT dan mempunyai faktor
risiko TB.
Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmaasi bakteriologis.
TB anak yang terdiagnosis dengan sistem scoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun stelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.16
1. Klasifikasi TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:16
a. Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan
(< dari 28 dosis)
b. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah
minum OAT selama 1 bulan atau lebih dari 28 dosis.
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir yaitu:
a. Pasien kambuh
Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini diagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau reinfeksi)
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal
Adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pegobatan
terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus
berobat/ default).
d. Lain-lain
Adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui adalah pasien TB
yang tidak termasuk ke dalam kelompok 1 atau 2.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat 16
1. Mono resisten (TB MR): Mycobaterium tuberculosis terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama saja.
2. Poli resisten (TB PR): Mycobaterium tuberculosisterhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
3. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobaterium tuberculosis terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti
resistan OAT ini pertama lainnya.
4. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobaterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu OAT lini kedua jenis suntikan
(Kanamisi, Kapreomisin, dan Amikasin)
5. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobaterium tuberculosis resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip
(konvensional).

3.7 Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan dengan memperhatikan keluhan yang disampaikan
pasien, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis tuberkulosis paru dibagi atas dua golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk
berdahak 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat disertai dengan dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, malaise, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan,
berkeringat dimalam hari tanpa aktivitas, dan demam selama satu bulan.16
2. Pemeriksaan Fisik
Saat pemeriksaan fisik dilakukan, kelainan yang sering ditemukan berkaitan
dengan luasnya kelainan struktur paru. Kelainan paru biasa mengenai daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan daerah segmen posterior (S1 dan S2), serta
daerah apeks lobus inferior (S6). Pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki basah,
suara napas bronkhial, suara napas melemah, amforik, tanda penarikan paru,
mediastinum, dan diafragma. Pada pleuritis TB hasil pemeriksaan fisik tergantung
banyaknya cairan dalam rongga pleura.1
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan bakteriologi16
Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung, pemeriksaan TCM TB, dan pemeriksaan biakan.
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung, untuk menegakkan diagnosis,
menentukan potensi penularan, dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak
yang dikumpulkan Sewaktu dan Pagi (SP). Sewaktu (S) artinya dahak
ditampung saat pasien datang ke fasilitas layanan kesehatan, sedangkan
Pagi (P) artinya dahak ditampung pada pagi hari segera setelah bangun
tidur baik saat di rumah atau saat di rungangan rawat inap apabila sedang
dirawat inap.
2. Pemeriksaan TCM TB, dilakukan dengan metode Xpert MTB/RIF.
Pemeriksaan ini berguna untuk menegakkan diagnosis, namun tidak dapat
digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Xpert MTB/RIF dapat
mengidentifikasi Mycobacterium Tuberculosis dan resistensi terhadap
rifampisin. Xpert MTB/RIF berbasis Cepheid GenXpert Platform, cukup
sensitif, mudah digunakan dengan metode nucleic acid amplification test
(NAAT). Metode ini mempurifikasi, membuat konsentrat dan amplifikasi
(dengan real time PCR) dan mengidentifikasi sekuens asam nukleat pada
genom TB. Lama pengelolaan uji sampai selesai memakan waktu 1-2
jam. Metode ini akan bermanfaat untuk menyaring kasus suspek TB
MDR secara cepat dengan bahan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifitas sekitar 99%.1
3. Pemeriksaan biakan, dilakukan dengan menggunakan media biakan padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacterium tuberculosis (M.tb).
Pemeriksaan identifikasi Mycobacterium Tuberculosis dengan media
Lowenstein-Jensen ini memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dan dipakai sebagai alat diagnostic pada program penanggulangan
TB.1
b. Pemeriksaan penunjang lainnya 16
Foto thoraks, dalam alur diagnosis TB dan TB Resisten Obat di
Indonesia, foto thoraks dilakukan bila hasil pemeriksaan mikroskopis BTA
pada kedua sampel sputum negatif atau pemeriksaan TCM TB negatif.
Diagnosis utama ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA)
melalui pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan bakteriologi penting untuk
menemukan MTB. Hasil diagnosis positif membutuhkan paling sedikit 5000
batang kuman per ml sputum. Selain sputum, bahan dapat diambil dari cairan
pleura, jaringan kelenjar getah bening dan cairan serebrospinal.
Secara radiologis, TB paru pada penderita DM sering menunjukkan
gambaran dan distribusi radiografi yang atipikal, pada penderita TB tanpa DM
kavitas atau infiltrat banyak ditemukan pada lobus atas, sedangkan pada
penderita TB paru dengan DM, lapangan paru bawah lebih sering terlibat.
Gambaran radiologi atipikal TB paru disebabkan oleh penderita DM memiliki
gangguan imunitas seluler dan disfungsi sel leukosit polimorfonuklear
(PMN).7
3.9 Tatalaksana
Pengobatan TB adalah bersifat kombinasi (multidrug). Regimen Obat TB
adalah Rifampisin(R), Isoniazid(H), Pirazinamid(Z), Etambutol(E), dan
Streptomisin(S). Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas
pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah:16
a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya
kekebalan terhadap OAT.
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
1) Tahap Intensif (2-3 bulan)
a. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
c. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan (4 bulan atau lebih)
a. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah 16


1. Kategori 1: 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3
OAT kategori 1 diberikan untuk pasien baru yaitu pasien TB paru yang
terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB
ekstra paru.
2. Kategori 2: 2RHZES/RHEZ/5RHE atau 2RHZES/RHZE/5R3H3E3
Paduan OAT kategori 2 diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan
dengan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien putus berobat (loss to follow).
Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa
pengobatan.
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid (H),
Rifampisin ( R ), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan paduan OAT KDT.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk


memudahkan pemberian obat dan menjamin kelansungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. OAT dalam bentuk paket mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan TB yaitu, mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan
risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep,
dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping, dan jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit
sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Tabel 1. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2RHZE/4RH)

Tabel 2. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan
(2RHZE/4RH3)
Tabel 3. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 (2(RHZE) S/(RHZE)/ 5 (RHE) )


Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 (2 (RHZE) S/ (RHZE)/ 5 (RH) 3
E3)

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2


2 RHZES/RHZE/5R3H3E3
Pasien TB dengan DM mendapatkan terapi standar sesuai dengan TB lain,
dengan syarat kadar gula darah harus terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak
terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan selama 9 bulan. Perlu
diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas obat oral
antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Pada penggunaan
etambutol harus digunakan secara hati-hati karena efek samping etambutol pada
mata, sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.
Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek
neuropati perifer.1

3.10 Prognosis
Penderita TB paru dengan DM memiliki risiko kematian lebih tinggi
dibandingkan penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan juga peningkatan risiko
kekambuhan setelah pengobatan, penularan yang lebih besar dan gagal dalam
pengobatan TB.2
BAB IV
ANALISA MASALAH
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan oleh seorang pasien laki-laki,
usia 49 tahun yang dirawat di ruang PTT RSUDZA Banda Aceh dengan keluhan
lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak mudah dikeluarkan, berwarna kuning
bercampur ludah dan kental. Pasien juga mengeluhkan nyeri di dada saat pasien
batuk, sesak napas tidak ada, demam tidak dikeluhkan, berkeringat malam ada,
penurunan nafsu makan ada dan penurunan berat badan 15kg selama 3 bulan. Pasien
juga dengan riwayat DM 1,5 tahun dengan kadar gula darah tertinggi 500mg/dl.
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ termasuk
paru-paru. Faktor risiko dari TB adalah konsentrasi/ jumlah kuman yang terhirup,
lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seseorang yang terinfeksi, jenis kelamin,
lingkungan, sosial ekonomi rendah,faktor lingkungan, perumahan padat dan kumuh
akan memudahkan penularan TB, ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik
dan tanpa cahaya matahari akan meningkatkan risiko penularan, tingkat daya tubuh
seseorang, jika daya tubuh seseorang rendah seperti pada kasus HIV/AIDS, DM dan
malnutrisi, maka infeksi TB lebih aktif dan lebih berkembang.16 DM mempunya
risiko 2-3 kali lipat untuk terjadi nya TB dibandingkan dengan pasien tanpa DM.17
Pada pasien ini salah satu faktor risiko nya adalah DM. DM dapat menyebabkan TB
karena DM merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan fungsi
imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi, termasuk TB paru.
Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek fungi sel-sel imun
dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel pernapasan
serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan mengalami patologis, seperti
penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati
dan nefropati. Gangguan neuropati saraf autonom berupa hipoventilasi sentral dan
sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas recoil paru,
penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida dan peningkatan endogen produksi
karbondioksida. Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap Mycobacterium
Tuberculosis adalah fagosit, yaitu makrofrag alveolar, perkursor monosit, dan limfosit
sel-T, berperan penting dalam mengeleminasi infeksi tuberkulosis. Pada penderita
DM, diketahui terjadi gangguan kemoktasis, fagositosis dan antigen presenting oleh
fagosit terhadap bakteri Mycobacterium Tuberculosis, kemotaksis monosit tidak
terjadi pada penderita DM.7
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Magee, et al. didapatkan dari 151
pasien TB dengan DM paling banyak pada usia rentang 45-54 tahun(48 orang).
Pasien juga sering terjadi pada pasien laki-laki dari pada perempuan, penelitian yang
dilakukan oleh Khalil dan Ramadhan pada tahun 2016 dari 80 pasien TB dengan DM
didapatkan 56 laki-laki dan 24 perempuan. Hal serupa juga terdapat pada penelitian
yang dilakukan oleh Ko PY,et al. pada tahun 2015 dari 2738 pasien TB dengan DM
1878 pasien berjenis kelamin laki-laki. Sesuai dengan pasien ini adalah seorang laki-
laki yang berusia 49 tahun.2, 8, 19
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala klinis TB dapat terbagi menjadi 2 golongan yaitu
gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi antara lain batuk 2 minggu,
batu darah, sesak napas dan nyeri dada, sedangkan gejala sistemik nya berupa
demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada pasien
ini didapatkan gejala respirasi dan gejala sistemik yaitu batuk berdahak yang
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, nyeri dada saat batuk, lemas, berkeringat malam,
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Dari pemeriksaan fisik yang
dilakukan dapat dijumpai kelainan yang sering ditemukan berkaitan dengan luasnya
kelainan struktur paru. Kelainan paru biasa mengenai daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan daerah segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus
inferior (S6). Pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki basah, suara napas bronkhial,
suara napas melemah, amforik, tanda penarikan paru, mediastinum, dan diafragma.
Pada pasien ini dijumpai suara ronki pada daerah apex dan medial paru kiri.
Diagnosis utama ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) melalui
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan bakteriologi penting untuk menemukan MTB.
Hasil diagnosis positif membutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per ml
sputum. Selain sputum, bahan dapat diambil dari cairan pleura, jaringan kelenjar
getah bening dan cairan serebrospinal.1
Secara radiologis, TB paru pada penderita DM sering menunjukkan gambaran
dan distribusi radiografi yang atipikal, pada penderita TB tanpa DM kavitas atau
infiltrat banyak ditemukan pada lobus atas, sedangkan pada penderita TB paru
dengan DM, lapangan paru bawah lebih sering terlibat. Gambaran radiologi atipikal
TB paru disebabkan oleh penderita DM memiliki gangguan imunitas seluler dan
disfungsi sel leukosit polimorfonuklear (PMN).7 Pada pasien ini pemeriksaan
GenXpert ditemukan MTB detected medium dan pada foto thorax ditemukan infiltrat
yang luas pada bagian basal dan apex.
Pasien TB juga sering terjadi anemia karena Semua infeksi kronis termasuk
TB dapat menyebabkan anemia. Berbagai patogenesis telah menjelaskan terjadinya
anemia pada TB, namun sebagian besar penelitian menunjukkan penekanan
eritropoesis oleh mediator inflamasi merupakan penyebab terjadinya anemia.
Defisiensi nutrisi dan sindrom malabsorpsi dapat memperberat keparahan anemia.
Pada pasien ini juga terjadi anemia dengan kadar hemoglobin 8gr/dl.2
Pentalaksanaan TB teragantung dari diagnosis TB berdasarkan
kategori.Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah Kategori 1: 2RHZE/4RH
atau 2RHZE/4R3H3. OAT kategori 1 diberikan untuk pasien baru yaitu pasien TB
paru yang terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien
TB ekstra paru. Kategori 2: 2RHZES/RHEZ/5RHE atau
2RHZES/RHZE/5R3H3E3.Paduan OAT kategori 2 diberikan untuk pasien BTA
positif yang pernah diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal pada
pengobatan dengan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien putus berobat (loss to
follow). Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa
pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelansungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. OAT dalam bentuk paket mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan TB yaitu, mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan
risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep,
dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping, dan jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit
sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.16
Penatalaksanaan pasien TB dengan DM mendapatkan terapi standar sesuai dengan
TB lain, dengan syarat kadar gula darah harus terkontrol. Apabila kadar gula darah
tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan selama 9 bulan. Perlu
diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas obat oral
antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Pada penggunaan
etambutol harus digunakan secara hati-hati karena efek samping etambutol pada
mata, sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.
Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek
neuropati perifer.1
Tabel 1. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2RHZE/4RH)

Pada pasien ini diberikan pengobatan TB Kategori 1, karena pasien ini


termasuk dalam kasus baru, teronfirmasi bakteri dan belum pernah mendapatkan obat
OAT sebelumnya. Pasien ini juga diberikan OAT KDT dengan berat badan 45 kg
pasien mendapatkan 3 tablet.16
Penderita TB paru dengan DM memiliki risiko kematian lebih tinggi
dibandingkan penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan juga peningkatan risiko
kekambuhan setelah pengobatan, penularan yang lebih besar dan gagal dalam
pengobatan TB.2
BAB V
KESIMPULAN
DM merupakan salah satu dari faktor risiko TB. Pasien DM mempunyai risiko
2 sampai 3 kali lipat untuk terkena TB dibandingkan dengan pasien tanpa DM dan
banyak ditemukan pada usia lebih 40 tahun serta berjenis kelamin laki-laki. Pasien
TB dengan DM dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam terapi dan
meningkatkan angka kematian. Lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan
pasien TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah harus terkontrol, apabila kadar
gula darah tidak terkontrol pengobatan dapat dilanutkan sampai 9 bulan.Diagnosis
pada pasien TB dengan komorbid seperti DM sama dengan diagnosis pada pasien TB
tanpa komorbid seperti DM. Diperlukan deteksi dini TB pada pasien DM dan deteksi
DM pada pasien TB.
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbaniyah F, Thabrani Z, Zuswayudha P, dkk. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. PDPI. 2011:1-65.
2. Khalil NH and Ramadan RA. Study of Risk Factors for Pulmonary
Tuberculosis Among Diabetes Mellitus Patients. Egypt. J. Chest Dis. Tuberc.
2016;6(4):817-823.
3. World Health Orgaizations. Tuberculosis. WHO Global Tuberculosis Report
2016. [Online],2016. [cited 2017 24th August]. Available from:
http://www.who.int/tb/publications/global-report/en/.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015
[ cited 2017 24th August] Available from:
www.depkes.go.id>download>pusdatin.
5. Profil Kesehatan Provinsi Aceh 2014: Dinas Kesehatan Provinsi Aceh Bidang
Program da Pelaporan Seksi Data dan Informasi. 2015 [cited 2017 24th
August] Available from: www.depkes.go.id>01_Aceh_2014.
6. Pusat Data dan Informasi Kementerian RI. INFODATIN: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia;2014 [cited 2017 24th August] Available from:
http://www.depkes.go.id/download.php%3Ffile53Ddownload/pusdatin/infoda
tin/infodatin-diabetes.pdf.
7. Wijaya I. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Dept. Penyaki
Dalam FKUPH. Tanggerang. 2015:42(6):1-6.
8. Ko PY, Lin SD, Tu ST, Hsieh MC, et al. High Diabetes Mellitus Prevalence
with increasing trend among newly-diagnosed tuberculosis patients in an
Asian Population: A nationwide population based study. Prim. Care Diab.
2016:10(2):148-155.
9. Niazi AK and Kaira S. Diabetes and Tuberculosis a review of the role of
optimal glycemic control. Journal of Diabetic & Metabolic Disorder. 2012;
11: 28-32.
10. American Diabetes Asociation. Standards of Medical Care In Diabetes. Diab
Care. 2014; 37: 14-77.
11. Sianturi R. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Tb Paru. Unnes
Journal of Public Health. 2014:2-7.
12. Kaihena M. Propolis Sebagai Imunostimultor Terhadap Infeksi
Mycobacterium tuberculosis. 2013:6980.
13. Panggabean MM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing.
2009:15831585.
14. PDPI. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Perhimpun Dr Paru
Indonesia. [Internet]. 2011;155. Available from:
http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf
15. Werdhani RA. Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta:
UI Press. 2009;3-5.
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes RI Nomor 67 tahun
2016. Tentang penanggulangan tuberkulosis. Jakarta. 2016:1-163.

17. Baghaei P, Marjani M, Javanmard P, Tabarsi P, Masjedi MR. Diabetes


mellitus and tuberculosis fact and controversies. Journal of Doabetes &
Metabolic Disorder. 2013;12:58-66.
18. Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Tuberkulosis. Dep Kesehat Ri. 2005;1110.

19. Magee MJ, Foote M, Maggio DM, et al. Diabetes Mellitus and risk of all-
cause motality among patients with tuberculosis in the state of Georgia, 2009-
2012. Annals of Epidemiology.2014:1-7.

Anda mungkin juga menyukai