Anda di halaman 1dari 204

Luther

dan
Pendidikan

KOMITE NASIONAL
LUTHERAN WORLD FEDERATION
2012

1
Luther dan Pendidikan

Luther dan Pendidikan


KN LWF
Jalan Soetomo No. 9, Gedung KN LWF,
Pematangsiantar - Sumatera Utara
Website: www.kn-lwf.org

Cetakan Pertama, Oktober 2012

ISBN: 978-602-18202-1-6

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang


Tata Letak dan Perwajahan: Akwidav Saragih

Dicetak Oleh:
Percetakan Tried Rogate-Medan
085359990277; 081376312277

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ..................................................... 5

Prakata ................................................................ 7

1 Sekolah Zending di Indonesia dan


Keberlanjutannya Sampai Kini ......................... 13
Jan S. Aritonang

2 Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan


dan Spiritualitas .............................................. 61
Pdt. Dr. H.R. Panjaitan, D.Min

3 Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan ....... 97


Ridwin Purba

4 Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan Yang


Harus Diimplementasikan Segera Demi
Kemajuan Para Siswa. .................................... 116
Sahat Gultom

5 Proses Pertumbuhan Kemajuan


Perempuan Batak ........................................... 127
Alida Nababan-Lbn. Tobing, MSc

6 Pendidikan Tinggi dan Pembangunan:


Perspektif Gender ........................................... 148
Asima Yanti Siahaan

Biodata Penulis ...................................................... 202

3
Luther dan Pendidikan

4
Kata Sambutan

Mengingat bahwa peran pendidikan sangat berpengaruh


dalam pembangunan mental maupun spiritualitas seseorang,
dan pada tahun 2012 ini Komite Nasional Lutheran World
Federation (KN LWF) focus pada pembenahan pendidikan
Sekolah Gereja, maka Buku ini hadir bagi kita. Luther dalam
pengajarannya menitikberatkan pendidikan sebagai suatu
metode pelayanan Firman. Katekhismus besar dan kecil
demikian juga dalih-dalih yang dikeluarkannya merupakan
sarana mendidik warga jemaat pada zamannya.
Buku ini diterbitkan untuk mengingat kembali zending pada
abad kesembilan belas dimana pendidikan Kristen mengambil
tempat teratas khususnya di daerah Tapanuli dan Sumaera
Timur. Hendaknya tidak merupakan sejarah saja, namun bertitik
tolak dari itulah kita akan membenahi kembali pendidikan
sekolah gereja yang disebut dengan pendidikan formal. Namun
tidak stop sampai disitu saja, sebab gereja mempunyai
tanggungjawab besar bag setiap warga jemaatnya. Gereja
bukan sekedar mengurus hal-hal yang rohani saja, namun
selama gereja berada di dunia ini, gereja akan tetap
menghadirkan Kerajaan Allah.
Buku ini juga diterbitkan tepat pada waktu gereja anggota
KN LWF mengadakan Kebaktian Reformasi menyongsong 500

5
Luther dan Pendidikan

tahun Reformasi Luther. Apa yang telah direformasi oleh Luther


pada tahun 1517 mengalami perkembanan sesuai dengan
kemajuan zaman. Peran kekristenan di dunia yang pluralis ini
sedang ditantang. Dalam tema FAITH in ACTION keluarga
Lutheran mewujudkan dan menampilkan perbuatan-perbuatan
iman seperti ajaran Yesus Kristus. Pendidikan haruslah terus
menerus mendapat tempat serta perhatian karena peradaban
suatu bangsa juga tergantung dari pendidikan bangsa itu
sendiri.
Akhirnya saya mau mengajak kita untuk memiliki Buku ini
dan berpartisipasi melakukan FAITH in ACTION dalam seluruh
lini: keluarga, gereja maupun masyarakat.

Syalom

Pdt DR Langsung Sitorus


Ketua KN LWF

6
Prakata

Pendidikan merupakan tuntutan mendasar bagi banyak


orang karena ketika melalui pendidikanlah seseorang
memperoleh ilmu pengetahuan. Namun lebih dari itu, melalui
pendidikan perobahan dalam diri seseorang terjadi. Paling tidak
pendidikan menyangkut kompetensi dan juga pembangungan
karakter dimana akan merobah pola pikir dan juga pola hidup
seseorang.
Pengertian pendidikan pada zaman dahulu dan sekarang
tentulah berbeda. Pendidikan zaman sekarang akan
dihubungkan dengan sekolah dan pengajaran. Sementara pada
zaman dahulu pendidikan dihubungkan dengan pengajaran (=
didache) namun tidak harus duduk pada bangku sekolah atau
kuliah. Apakah Yesus menerima pendidikan formal seperti yang
disebutkan diatas? Sepanjang yang dibuktikan oleh Alkitab,
Injil justru menuliskan bahwa Yesus mengajar sejak umur 12
tahun.
Pendidikan akan diperlukan seumur hidup manusia. Ada
pepatah mengatakan from womb to tomb (dari kandungan
sampai ke liang kubur). Bahwa pendidikan baik formal maupun
non formal akan diperlukan oleh setiap orang. Missi penginjilan

7
Luther dan Pendidikan

selalu disertai dengan pendidikan. Nommensen juga memakai


metode ini untuk menarik perhatian orang Batak dalam rangka
pewartaan Firman di tanah Batak. Bagian pertama buku ini
merupakan sejarah hadirnya pendidikan di Tanah Batak. Dahulu
disebut dengan sekolah Zending. Bagaimana sekolah zending
mempelopori pendidikan di Tanah Batak. Kejayaan pendidikan
di Tanah Batak jelas terlihat sampai tahun 60 an. Sekolah
Zending yang dimulai dari sekolah Guru Huria sampai kepada
sekolah formal bahkan Universitas yang disebut Universitas
HKBP Nommensen menjadi bukti bahwa gereja sangat memberi
perhatian pada pendidikan. Kini sekolah zending itu mengalami
penurunan mutu tahun demi tahun. Sekolah zending berganti
dengan sekolah gereja. Inipun tidak dapat mengembalikan
mutu seperti sediakala. Pendeta Jan Aritonang mengungkap-
kan sejarah perjalanan sekolah zending baik di Tanah Batak
sampai kepada pemahaman Luther mengenai pengajaran.
Akankah sekolah gereja mengembalikan pendidikannya seperti
sekolah zending dahulu? Atau bagaimanakah keberlangsungan
sekolah zending di masa kini? Tentulah hal ini menarik minat
dan tekad gereja untuk memajukan pendidikan di sekolah
gereja kini. Dengan demikian moralitas dan spiritualitas warga
jemaat merupakan tanggung jawab kita bersama.
Pendidikan kekristenan tentulah tidak terpisahkan dengan
spiritualitas. Keseimbangan pengetahuan dan spiritualitas perlu
diperhatikan. Dengan demikian semakin tinggi pengetahuan
seseorang maka cara pandang dan pikir seseorng juga berubah
dan peradabannya dinilai dari sana. Pdt HR Panjaitan
mengungkapkan nilai-nilai spiritualitas yang masuk ke dalam
pendidikan gereja sejak abad ke 5 sampai Reformasi. Juga

8
PRAKATA

pokok-pokok pengajaran Luther yaitu melalui Katekhismus


besar dan kecil yang mampu menelusuri penghayatan iman
jemaat pada saat itu. Dalam penerapan kini, diungkapkan
bagaimana spiritualitas itu hendaknya menjadi ajaran pokok
bagi keluarga Kriten, dimana orang tua sebagai pengajar bagi
anak-anaknya di dalam keluarga. Unsur ini mungkin yang
hampir hilang, dizaman modern ini. Teknologi telah mengurangi
pertemuan-pertemuan antar manusia dan digantikan dengan
dunia maya. Seyogianya ketika anggota keluarga berkumpul
dan berbagi pengalaman kesehariannya, paling tidak, ada
masalah yang dihadapi oleh masing-masing anggota dapat
diatasi bersama. Pertemuan seperti ini juga menguatkan
masing-masing anggota keluarga untuk saling mendoakan.

Suatu hal yang tidak dapat dihempang oleh siapapun di


dunia ini, yaitu kehadiran teknologi. Teknologi menempatkan
dirinya di tempat teratas yang mampu sebagai suatu alat
penyampai informasi di dunia ini. Mau tidak mau siswa sekolah
beralih dan lebih cenderung memakai alat teknologi dan
meninggalkan pengajaran lama dengan misalnya metode
menghafal. Dengan teknologi dunia dapat dicapai dari mana
saja dan semua dapat diakses melalui alat yang canggih.
Teknologi ini sangat cepat berkembang dan perobahannya
setiap saat. Oleh karena itu teknologi pendidikan sangat
memainkan peranan untuk waktu kini. Sekolah-sekolah formal
dimulai dari Taman Kanak-Kanak kini telah memperkenalkan
computer. Murid Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Umum telah banyak mengakses dari internet untuk
menambah bahan-bahan pelajarannya. Inilah yang diungkap-

9
Luther dan Pendidikan

kan Sahat Gultom yang membahas mengenai teknologi


pendidikan: Suatu kemajuan yang harus diimplementasikan.
Orang yang mampu mempergunakan teknologi adalah orang
yang mampu melihat kemajuan dunia ini.
Warga Indonesia khususnya generasi muda perlu
diselamatkan dari keterpurukan zamannya saat ini. Kejahatan
seperti korupsi, teroris, tawuran; kemiskinan seperti
banyaknya pengangguran, sering terjadi demo akibat upah
atau gaji yang tidak memadai; penyakit social seperti
narkoba, HIV/AIDS, sering merupakan berita yang disampaikan
hamper setiap hari di media massa, baik melalui oran maupun
televisi. Ridwin Purba yang adalah dosen dan kerap bergaul
dengan guru-guru sekolah di sekitar Sumatera Utara ini menilai
bahwa pendidikan dan pengajaran di Indonesia perlu
memperhatikan gejala tersebut di atas dan merelevansikan
pendidian serta pengajarannya sehingga gejala tersebut dapat
teratasi. Anak didik tidak dapat lagi diajar dengan metode
monolog. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat adalah
suatu metode dimana anak akan semakin mengasah otaknya
untuk berpikir. Pemaksaan akan suatu jurusan yang tidak ada
hubungannya dengan minat anak, perlu mendapat perhatian
yang serius dari orang tua dan guru. Minat seorang anak
tidak lagi dapat dipaksakan, justru sebaliknya semakin banyak
dibuka pelajaran-pelajaran yang burhubungan dengan minat
siswa dan harapan dari pada kemajuan zaman itu sendiri.
Sehingga dengan demikian pendidikan mengajarkan nilai-nilai
yang berhubungan dengan kemajuan zaman saat ini.

10
PRAKATA

Alida Nababan boru Tobing adalah pemerhati dan sekaligus


pendorong kemajuan perempuan Batak, khususnya perempuan
gereja. Pengalaman di aras nasional maupun inernasional,
melahirkan tulisan ini sebagai pelajaran yang perlu dipahami
oleh perempuan gereja. Kegigihannya untuk memajukan
perempuan Batak sangat menginspirasi generasi senior maupun
junior. Dalam tulisannya, dengan tegas beliau menggarisbawahi
peranan Pemimpin dalam Gereja erat hubungannya dengan
proses kemajuan perempuan gereja. Walaupun kunci kemajuan
itu terletak pada perempuan sendiri. Berbagai hambatan
diutarakan dalam tulisan ini, begitupun dengan saran-saran
yang dapat dipakai oleh tiap persekutuan perempuan gereja
untuk lebih meningkatkan partisipasi perempuan dalam
membangun keluarga, gereja, masyarakat dan bangsa
Indonesia.

Penyunting

Basa Hutabarat

11
Luther dan Pendidikan

12
Sekolah Zending di Indonesia dan
Keberlanjutannya Sampai Kini

Jan S. Aritonang

Pendahuluan
Membicarakan seluk-beluk sekolah zending, khususnya
di Indonesia, bisa dianggap tidak perlu, karena ceritanya -
yang dimulai sejak sekitar 200 tahun yang lalu - sudah selesai
sekitar 70 tahun yang lalu, dan gambaran konteks Indonesia
pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu berbeda dari
gambaran masa kini. Karena itu kita bisa saja berkata bahwa
kebutuhan dan tantangan manusia pada zaman ini sangat
berbeda dari pada masa zending. Kendati ada yang berpen-
dapat demikian, namun kita akan melihat nanti bahwa ada
sejumlah hal yang terjadi, terlihat, atau dilakukan (baik oleh
pihak zending maupun oleh masyarakat yang berjumpa
dengannya) masih relevan hingga kini.
Kita tentu cukup paham, yang dimaksud dengan zending
adalah badan atau lembaga penginjilan yang dibentuk oleh
kalangan Kristen Protestan di Eropa dan Amerika Utara (baik
gereja resmi maupun sekumpulan orang Kristen yang digerak-
kan oleh semangat penginjilan ke luar negeri) dan berkarya di

13
Luther dan Pendidikan

berbagai negeri di luar dunia Barat itu.1 Ada ratusan badan


zending yang dibentuk, terutama sejak akhir abad ke-18,
beberapa puluh di antaranya juga bekerja di Indonesia2. Kita
tidak akan membicarakan semuanya, melainkan memilih dua
di antaranya, yaitu (1) Nederlandsch Zendeling-genootschap
(NZG) yang berasal dari Belanda dan bekerja di berbagai
wilayah di Indonesia (termasuk Tanah Karo), dan (2) Rheinische
Missions-Gesellschaft (RMG) yang berasal dari Jerman dan
yang memandang karyanya di Tanah Batak sebagai primadona
di antara sekian banyak lapangan zending yang digarapnya.3
NZG, karena berasal dari Belanda di mana gereja
Protestan utama beraliran Calvinis4, menganut dan menyebar-
luaskan juga paham Calvinis di lapangan yang digarapnya,
termasuk melalui sekolah-sekolah yang diselenggarakannya.
Sejak awal kehadirannya di Indonesia (sejak 1815, lebih dulu
dari RMG yang baru sejak 1835), NZG sudah mendirikan
sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga lanjutan.

1
Istilah zending berasal dari bahasa Belanda, yang secara harfiah
berarti pengutusan. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah mission;
tetapi di Indonesia istilah misi terutama digunakan untuk badan
penginjilan yang dibentuk dan diutus kalangan Katolik Roma.
2
Pada awalnya nama Indonesia belum terdapat di dalam tulisan
kalangan zending; mereka menggunakan nama yang digunakan oleh
Pemerintah Belanda (yang waktu itu menjajah dan menguasai negeri
ini), yaitu Nederlandsch-Indi atau Hindia-Belanda, atau langsung
menyebut daerahnya, misalnya: Tanah Batak, Borneo, Celebes, Papua,
dsb.
3
Di Indonesia, selain di Tanah Batak, RMG juga berkiprah di Borneo
(Kalimantan), Nias dan pulau-pulau sekitarnya sampai ke Mentawai,
dan belakangan di Papua dan Jawa Timur.
4
Selain yang menganut paham/aliran Calvinis, di Belanda ada juga
beberapa gereja dan zending lain yang menganut paham lain, misalnya
Lutheran (yang a.l. bekerja di pulau-pulau Batu, dekat Nias, sejak
1889), dan Mennonite (yang a.l. bekerja sejak 1851 di Jawa Tengah
Utara, Tapanuli Selatan/Pakantan, dan Papua).

14
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

RMG berasal dari lingkungan gereja Protestan di kawasan


Rheinland-Westfalen, Jerman bagian Barat, yang tidak
sepenuhnya menganut ajaran atau aliran Lutheran. Gereja di
kawasan itu menganut paham Uniert, yaitu gabungan dari
Lutheran dan Calvinis. Karena itu tidak heran bila pandangan
dan ajaran yang ditanamkannya di lapangan zending
termasuk yang mendasari pendidikan merupakan kombinasi
dari ajaran kedua reformator itu. Di Tanah Batak, misalnya,
Katekismus Heidelberg5 lebih dulu diperkenalkan dan dipakai
ketimbang Katekismus [Kecil] Martin Luther.6 Karena itu, kalau
kita melacak dan menapak-tilas karya zending (khususnya
RMG) di Indonesia (khususnya di Sumatera Utara) di bidang
pendidikan/persekolahan, kiranya kita sadar bahwa itu tidak
sepenuhnya diilhami oleh ajaran Martin Luther, kendati unsur-
unsur Lutheran ada di dalamnya.

Dasar Pendidikan/Persekolahan Zending


Badan-badan zending yang bekerja di Indonesia (juga di
negeri-negeri lain) pada umumnya melaksanakan usaha
pendidikan formal atau persekolahan sejak awal kiprah
mereka.7 Selain untuk menunjang pencapaian tujuan praktis

5
Katekismus ini disusun pada akhir abad ke-16 oleh Zacharias Ursinus
dan Caspar Olevianus, dua teolog pengikut Calvin di Jerman.
Terjemahan Indonesia sejak awal 1950-an diterbitkan Badan Penerbit
Kristen dengan judul Pengajaran Agama Kristen.
6
Selama k.l. 100 tahun gereja-gereja yang didirikan langsung atau
tidak langsung oleh RMG di Sumatera Utara hanya mengenal
Katekismus Kecil Martin Luther. Baru pada awal 1990-an diupayakan
terjemahan dari Katekismus Besar, dan diterbitkan BPK Gunung Mulia
pertama kalinya tahun 1994.
7
Literatur yang mengkaji usaha pendidikan/persekolahan zending di
Indonesia pada abad ke-19, terutama di Maluku dan Minahasa (tetapi
sedikit-banyak juga membahas beberapa daerah lainnya, termasuk

15
Luther dan Pendidikan

zending sendiri, yakni supaya orang-orang yang mereka injili


dapat membaca Alkitab dan literatur-literatur kristiani lainnya
(terutama dalam bahasa sendiri), usaha itu juga didasarkan
pada wawasan para reformator dan sejumlah tokoh pendidikan
di Eropa sejak abad-abad sebelumnya dan dimaksudkan untuk
mewujudkan cita-cita gereja tentang warga dan pelayan yang
terdidik.
Martin Luther, misalnya, bersama rekan-rekannya
menyusun suatu rancangan mengenai Volkschule (Sekolah
Rakyat) bagi seluruh rakyat Jerman. Hal ini sejalan dengan
semboyan dan asas imamat am orang percaya yang Luther
canangkan, di mana ia menghendaki agar setiap orang percaya
(baca: orang Kristen) mampu membaca Alkitab dalam bahasa
sendiri dan membaca literatur pengetahuan lainnya. Dengan
begitu Luther adalah salah seorang penggagas pendidikan
semesta (bagi semua orang) berlandaskan pendidikan
keagamaan. Kendati agama merupakan mata pelajaran utama,
itu tidak berarti bahwa sekolah sepenuhnya harus ditangani
gereja. Menurut Luther, sekolah harus dikelola bersama oleh
gereja dan negara. Bahkan tanggung jawab dan beban harus
lebih banyak ditanggung negara, sesuai dengan fungsinya
sebagai pelindung warga negaranya.8

Tanah Batak), adalah H. Kroeskamp, Early Schoolmasters in a


Developing Country A history of experiments in school education in
the 19th century Indonesia (Assen: Van Gorcum, 1974). Khusus di Papua,
lihat Decky Wamea, Peranan Zending dalam Bidang Pendidikan 1855-
1962 (Manokwari: GKI Bethel Doom & Sasako Papua Publisher, 2010).
8
Kenneth O. Gangel e.a., Christian Education: Its History and Philosophy
(Chicago: Moody Press, 1983), p. 140; W.J. Kooiman, Martin Luther
(terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1973), h. 132 br.; diacu juga dalam
Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1988), h. 84-85.

16
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Mengenai kualitas pendidikan, menurut Luther langkah


pertama yang harus diambil adalah meningkatkan kualitas
dan profesionalitas guru. Bagi Luther, fungsi pengajaran
menduduki tempat kedua setelah fungsi pemberitaan Firman,
sehingga jabatan guru (pengajar) menduduki peringkat kedua
setelah pengkhotbah (pendeta). Oleh sebab itu guru harus
dipersiapkan dan dibekali secara sungguh-sungguh, bukan
asal diangkat saja.9
Mengenai tujuan pengajaran, bagi Luther bukan sekadar
menanamkan seperangkat pengetahuan, melainkan dan lebih
dari itu menanamkan dan membina disiplin, sehingga anak
murid memperlihatkan ketaatan, baik di sekolah maupun di
rumah. Tetapi disiplin yang dimaksudkan Luther bukanlah
disiplin yang kaku, melainkan yang dihangati oleh cinta kasih
dan kelembutan. Ia menentang penerapan disiplin yang
kejam.10
Calvin, sejak awal penampilannya sebagai tokoh reformasi,
telah menyadari dan mencanangkan pentingnya pendidikan
untuk memajukan agama Kristen maupun untuk memperbaiki
kehidupan pribadi-pribadi dan masyarakat. Kendati titik berat
pendidikan bagi Calvin adalah memajukan agama Kristen dan
memperbaiki kehidupan manusia, namun ia juga mementingkan
penyampaian ilmu pengetahuan. Menurut Calvin, walaupun
kita memberi tempat pertama kepada Firman Tuhan, namun
kita tidak menolak latihan yang baik. Tentu Firman Tuhan
merupakan landasan bagi semua pengajaran, tetapi seni dan
pengetahuan umum adalah sarana penopang untuk memiliki

9
Martin Luther, Tentang Jabatan, h. 36 br.
10
Diikhtisarkan dalam Gangel e.a., Christian Education, h. 141 br.

17
Luther dan Pendidikan

pengetahuan yang lengkap tentang dunia, oleh karena itu


tidak boleh diabaikan.11
Calvin juga berpendapat, pendidikan diperlukan untuk
mengamankan pemerintahan umum, mencegah Gereja dari
perbuatan jahat dan mempertahankan kemanusiaan di tengah
kehidupan manusia. Sehubungan dengan ini, karya praktisnya
di bidang pendidikan adalah Akademi, yaitu lembaga pendidikan
dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Jenjang tertinggi di
Akademi yang diresmikan tanggal 5 Juli 1559 ini dinamakan
Schola Publica, yang kelak berkembang menjadi Universitas
Jenewa.
Selain oleh kedua reformator ini, kalangan zending juga
diilhami dan dipengaruhi oleh sejumlah tokoh pendidikan dan
filsafat di Eropa, baik dari aliran Naturalisme (misalnya J.A.
Comenius, J.G. Herder, Immanuel Kant, dan J.H. Pestalozzi)
maupun dari aliran Idealisme (misalnya J.G. Fichte, J.F. Herbart,
G.W.F. Hegel, G. Klemm, dan F.W.A. Froebel).12 Dan yang tak
kalah pentingnya adalah pengaruh Pietisme, mengingat bahwa
pembentukan badan-badan zending dari Eropa itu sangat
banyak didorong oleh semangat dan gerakan kesalehan yang
berpadu dengan kebangunan rohani dan kebangunan
penginjilan ini.13 Wawasan teologis-misiologis dan pedagogis
zending banyak didasarkan padanya. Kita akan melihat sejenak
dua tokoh Pietisme saja, yakni A.H. Francke dan N.L. von
Zinzendorf.

11
J. Calvin, Risalah Pemerintahan Gereja (1537).
12
Pandangan kedua aliran ini serta tokoh-tokohnya di atas diikhtisarkan
dalam Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, h. 87-96.
13
Ulasan yang mendalam tentang Pietisme a.l. terdapat dalam kedua
karya Ernst Stoefler, The Rise of Pietism (21971) dan German Pietism
during the Eighteenth Century (1973).

18
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

A.H. Francke (1663-1727), yang banyak belajar dari dan


dipengaruhi oleh bapak Pietisme P.J. Spener, mengembangkan
wawasan pendidikannya ketika menjadi dosen di Universitas
Halle yang kemudian berkembang sebagai salah satu pusat
Pietisme.14 Francke menegaskan, kunci utama keberhasilan
suatu sistem pendidikan adalah guru. Karena itu Francke
memprioritaskan pengadaan sekolah atau lembaga pendidikan
guru, yakni Seminarium Selectum Praeceptorum (berdiri
1707). Di dalam kurikulum seminari itu Francke mencantumkan
exercitium pietatis (latihan kesalehan) berdasarkan prinsip
bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk watak kristiani
yang saleh, dan cara terbaik untuk menanamkan kesalehan
itu kepada para murid adalah memperlihatkan teladan
kesalehan dari para guru.
Sejajar dengan kesalehan, yang harus diteladankan guru
adalah kasih. Kehidupan guru harus berpusat pada kasih,
dan ia harus memperlakukan muridnya sebagaimana orangtua
mengasihi anak-anaknya. Kasih tak perlu dipertentangkan
dengan disiplin. Disiplin bukan berarti penerapan hukuman
fisik yang keras atau kemarahan yang kasar, melainkan
penanaman ketaatan dengan memperlihatkan ketegasan,
digabung dengan kelembutan dan kehangatan. Francke
mempraktikkan sendiri semua prinsip ini si seminari itu, dan
orang mengakui kualitas tinggi dari guru-guru lulusan seminari
itu.

14
Beberapa tokoh penting RMG (misalnya Gustav Warneck, August
Schreiber, dan Johannes Warneck) juga menempuh studi teologi di
Universitas Halle, selain di universitas-universitas lain.

19
Luther dan Pendidikan

Berbicara tentang watak kristiani yang hendak dibentuk


melalui proses pendidikan, bagi Francke watak itu tak cukup
berisi kesalehan, melainkan juga kebajikan. Agar memiliki
kebajikan, di samping memperoleh pengalaman rohani para
murid harus juga memperoleh pengetahuan yang cukup
tentang ilmu-ilmu sekuler. Sebagai ungkapan nyata
penghargaan Francke atas ilmu-ilmu sekuler, ia mendirikan
Realschule, sekolah kejuruan yang terutama mengajarkan ilmu-
ilmu nyata (real things; science). Dari sini sekaligus terlihat
bahwa Francke juga menghargai dan dipengaruhi oleh
Rasionalisme dan Pencerahan. Ia tidak mempertentangkan
melainkan berusaha menggabungkan kedua arus pemikiran
itu dengan semangat kesalehan dari Pietisme. Namun demikian
berbeda dari para rasionalis pada umumnya, yang
menghendaki agar lembaga-lembaga agama jangan mengurusi
pendidikan Francke menghendaki agar pendidikan, terutama
pendidikan dasar, disupervisi oleh Gereja atau rohaniwan, agar
pembinaan watak kristiani itu lebih terjamin. Sejalan dengan
itu, di dalam kurikulum sekolah dasar maupun sekolah gurunya
porsi pengetahuan agama bagaimanapun haruslah besar.
N.L. von Zinzendorf (1700-1760) tidak banyak
merumuskan teori pendidikan; ia lebih berusaha menerapkan
asas-asas pendidikan yang telah dirumuskan Comenius dan
Francke dalam hal-hal praktis, yakni dalam penyelenggaraan
sekolah di lingkungan persaudaraan Moravia (Herrnhut). Di
dalam kurikulum sekolah itu terdapat tiga unsur pokok:
katekisasi, nyanyian rohani, dan pengetahuan Alkitab. Di dalam
upaya mengajarkan ketiga hal ini, Zinzendorf berusaha
memandangnya melalui mata seorang anak dan berorientasi

20
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

kepada dunia anak-anak. Di samping itu ia juga menggunakan


metode liturgis: pengajaran Alkitab, Tanya-jawab Katekismus,
dan Nyanyian Rohani (yang kebanyakan ia ciptakan sendiri)
dirangkai menjadi suatu kesatuan liturgis, dalam suasana
peribadahan.

Penyiapan Para Zendeling di Bidang Pendidikan/


Persekolahan15
Wawasan dan praksis para reformator, filsuf, pedagog
dan teolog yang disebut di atas memberi panduan bagi badan-
badan zending, termasuk NZG dan RMG, dalam mendidik para
calon zendeling di seminari masing-masing, maupun
menyelenggarakan pendidikan di lapangan kelak, kendati porsi
dan kadarnya berbeda-beda, dan di sana-sini diolah sesuai
konteks. Mereka yang tamat dari seminari zending dan diutus
menjadi zendeling ke berbagai negeri, termasuk ke Indonesia,
juga memedomani dan mengembangkannya.
NZG, yang berdiri tahun 1797 di Rotterdam-Belanda,
semula belum memperhatikan usaha pendidikan, sehingga para
zendelingnya pun belum dipersiapkan menjadi guru sekolah di
lapangan. Di dalam Anggaran Dasar (AD) NZG yang pertama
tidak ada rumusan eksplisit tentang usaha pendidikan sebagai
sarana atau cara untuk mencapai tujuannya. Bahkan pada
mulanya NZG juga tidak memiliki sarana pendidikan yang
memadai bagi para calon zendelingnya, sehingga banyak di

15
Bagian ini terutama diikhtisarkan dari Aritonang, Sejarah Pendidikan
Kristen , h. 99-144, dan Idem, Streven en effect van het
zendingsonderwijs in Indonesi, dalam Th. van den End et al. (eds.),
Twee Eeuwen Nederlandse Zending (Zoetermeer: Boekencentrum,
1997), h. 115-128; dilengkapi beberapa sumber lain.

21
Luther dan Pendidikan

antara mereka, Joseph Kam16 misalnya, yang memperoleh


pendidikan persiapan-zendeling di tempat yang disediakan
badan zending lain. Baru sejak 1816 diselenggarakan seminari
penuh waktu (tiga tahun), dengan mengikuti pola dan
kurikulum sekolah guru, ditambah beberapa mata pelajaran
khusus, a.l. Sejarah Kitab Suci, Sejarah Zending, Ajaran Yesus
& Rasul-rasul-Nya, dan Metode Pekabaran Injil. Semuanya
dikemas dalam tradisi Calvinis dan Pietis.17
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak 1820-an, di
dalam instruksi kepada para zendeling terdapat rumusan
mengenai tugas di bidang pendidikan atau persekolahan.
Khusus bagi NZG, pendidikan menjadi the most important
task of the missionary next to the propagation of the gospel
(Kroeskamp, h. 454), terutama sejak C.J. Neurdenburg, ahli
pendidikan yang tersvr badan zending ini sejak 1864. Namun
demikian, tidak mudah menyiapkan para calon zendeling
menjadi guru sekolah, karena banyak dari mereka pun hingga
akhir abad ke-19 yang dasar pendidikannya sangat rendah;
hanya sedikit yang memiliki pendidikan menengah sebelum
masuk seminari. Karena itu dari waktu ke waktu NZG bekerja
keras meningkatkan mutu seminari ini.
Seminari ini bersama kantor pusat NZG pindah ke
Oegstgeest (dekat Leiden) tahun 1917 dengan nama

16
Josef Kam (1769-1833) adalah zendeling NZG yang pertama ke
Indonesia; mulai bekerja sejak 1815, mula-mula di Surabaya
(sebentar), selanjutnya di Maluku hingga Sulawesi. Dikenal dengan
julukan Rasul Maluku.
17
J. Boneschansker, Het Nederlandsch Zendeling Genootschap in zijn
eerste periode (Leeuwarden: Gerben Dykstra, 1987), h. 70-75. Bnd.
Th. van den End, Tweehonderd jaar Nederlandse Zending, dalam
Idem et al. (eds.) Twee Eeuwen Nederlandse Zending, h. 3.

22
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Nederlandsch Zendings-School, dengan syarat masuk


ditingkatkan, antara lain minimal harus lulusan sekolah
menengah, tanpa mengurangi aspek kesalehan, dan pendidikan
setaraf perguruan tinggi teologi,. Teologi yang mendasarinya
tetaplah teologi gereja Hervormd yang Calvinis (dan Teologi
Etis), serta semakin banyak perhatian dan penghargaan
terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk budaya dan agama
mereka.
Sebagai bagian dari kerjasama antar zending (dan antar
negara), ada juga zendeling NZG yang dididik di Seminari
RMG di Barmen, terutama mereka yang akan diutus ke Hindia-
Belanda (Indonesia). Begitu pula sebaliknya, ada juga sejumlah
zendeling RMG yang mengikuti pendidikan [tambahan] di
Belanda, termasuk di NZS Oegstgeest, bahkan direkrut dari
kalangan orang Belanda.
RMG, yang berdiri tahun 1828, menyelenggarakan
pendidikan bagi para Missionar atau zendelingnya di Seminari
Barmen (sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal). Pada
awalnya pendidikan di Seminari Barmen berlangsung selama
tiga tahun bagi para calon zendeling yang sudah tamat dari
Sekolah Rakyat (Volkschule). Guru-gurunya pada tahap awal
(antara lain J.H. Richter, J.C. Wallmann, dan G.L. von Rohden),
sebagai penganut Pietisme, sangat menekankan pentingnya
pengetahuan dan pemahaman mendasar atas Firman Tuhan
di dalam Alkitab secara harfiah, karena di menurut keyakinan
mereka di dalamnya disampaikan pengajaran tentang
keselamatan dan diperlihatkan jalan menuju ke situ. Siswanya
sejak awal juga sudah dipersiapkan menjadi guru Sekolah
Rakyat.

23
Luther dan Pendidikan

Selain sudah lulus Sekolah Rakyat, syarat utama yang


harus dipenuhi calon siswa - sesuai dengan semangat Pietisme
- adalah kualifikasi rohani (geistliche Eignung), yakni akal
budi yang sudah diperbarui di dalam iman dan kasih kepada
Kristus dan perilaku yng terpuji yang menggambarkan
pembaruan hati. Setelah itu barulah menyusul syarat kedua,
kualifikasi intelektual (geistige Eignung) serta seperangkat
pengalaman dan ketrampilan. Pada masa-masa selanjutnya
syarat masuk maupun hal-hal yang harus mereka penuhi
selama belajar di seminari (termasuk sikap mental dan spiritual)
terus berkembang.
Berkait dengan semua itu, kurikulum Seminari Barmen
terutama berisi mata-mata pelajaran berikut: Pengantar
Pengetahuan Isi Alkitab, Sejarah Kerajaan Allah, Pengajaran
Iman dan Hidup Kristen, Sejarah Gereja Kristen, Geografi (Ilmu
Bumi), Ilmu Alam, Bahasa (Inggris dan Belanda), Pedagogi,
dan Retorika (Ilmu dan Latihan Berpidato). Sejarah dunia (yang
juga mencakup Geografi, Etnografi, dan Sejarah Agama-
agama) dipahami sebagai bagian dari Sejarah Kerajaan Allah,
yang berkembang secara berangsur dan yang berpuncak pada
parousia (kedatangan Kristus kembali). Di luar jam pelajaran
di kelas, siswanya juga melakukan pekerjaan tangan, a.l.
untuk menutipi kebutuhan hidup sesehari.
Sebagai penganut Pietisme, para guru Seminari Barmen
juga sangat menekankan latihan kesalehan, disiplin,
kecermatan, ketertiban, dan ketaatan, yang dipadukan
dengan suasana kekeluargaan. Semula ketaatan ditujukan
kepada Allah, tetapi lambat laun juga ditujukan kepada
pemimpin dan organisasi. Sebagai anak zamannya, para guru

24
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Seminari Barmen juga menghargai peradaban [Barat] dan ilmu-


ilmu sekuler yang mendukung ataupun yang menghasilkannya.
Karena itulah di seminari itu dipelajari juga sejumlah ilmu
pengetahuan sekuler seperti terlihat di atas. Pada gilirannya
semua itu juga diajarkan kepada masyarakat pribumi yang
diinjili, dalam rangka pengadaban (sivilisasi). Namun demikian,
bagi mereka peradaban [Barat] dan pengadaban [bangsa-
bangsa pribumi] harus berlandaskan ketaatan kepada Tuhan,
dan harus dicamkan bahwa bukan kebudayaan dan peradaban,
melainkan imanlah yang memenangkan masyarakat pribumi
yang masih kafir itu bagi Injil Kristus.
Sejak 1860-an terlihat perkembangan dalam penyeleng-
garaan Seminari Barmen, berkat perkembangan wawasan dan
pengalaman guru-gurunya (terutama Friedrich Fabri, Gustav
Warneck, dan August Schreiber). Pertama, semakin ditekankan
kesatuan antara Gereja dan zending. Zending haruslah
merupakan lembaga gerejawi dan karya zending adalah suatu
tugas gereja.18 Salah satu konsekuensinya adalah, lulusan
Seminari Barmen sebelum diutus terlebih dulu ditahbiskan
menjadi pejabat gerejawi, d.h.i. pendeta. Pada gilirannya hal
ini berdampak pada usaha pendidikan/persekolahan di lapangan
zending: produk sekolah-sekolah zending dipersiapkan juga
menjadi warga dan pelayan gereja, dalam rangka pemba-
ngunan Gereja Rakyat (Volkskirche) yang mencakupi seluruh
rakyat.
Kedua, kesatuan antara zending (dan Gereja) dan sekolah.
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa Tuhan, Gereja

18
F. Fabri pada pesta tahunan RMG 1884, dimuat dalam Berichte der
Rheinische Missions-gesellschaft (BRMG) 1884, h. 263.

25
Luther dan Pendidikan

dan zending adalah pendidik dan bahwa usaha penginjilan


pada hakikatnya adalah usaha mendidik. Bahkan Gustav
Warneck menyebut zending sebagai ibu sekolah (Mutter der
Schule). Sehubungan dengan itu, lebih dari sebelumnya, mata
pelajaran Ilmu Mendidik (Pedagogik) sangat dipentingkan di
Seminari Barmen, karena terutama menurut Gustav Warneck
Pedagogik berhubungan sangat erat dengan ilmu penginjilan
(Misiologi). Karena itulah nanti, di lapangan zending, setiap
zendeling berusaha membuka sekolah seiring dengan
mendirikan jemaat baru.19
Ketiga, dalam melaksanakan karya zending maka RMG
perlu bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Untuk itu
kepada para calon zendeling diperkenalkan juga sistem
administrasi pemerintahan dan pendidikan [Barat] yang
diberlakukan di daerah jajahan. Ini didasarkan pada
pemahaman bahwa pemerintah, terutama pemerintah dari
negara-negara Kristen (termasuk pemerintah kolonial), bahkan
juga lembaga-lembaga perdagangan yang beroperasi di daerah
jajahan, adalah alat Tuhan untuk mewujud-nyatakan
Kerajaan-Nya, sehingga harus mendukung karya zending.
Namun demikian, Schreiber juga mewanti-wanti agar
pekerjaan zending terpisah dari kolonisasi/pemerintah kolonial,
kendati perlu kerjasama di antara keduanya, termasuk di
bidang pendidikan.20

19
Lihat a.l. G. Warneck, Der Missionsbefehl, dalam Allgemeine
Missions-Zeitschrift (AMZ) 1874, h. 377-392, dan Idem, Mission in der
Schule (Gtersloh: C. Bertelsmann, 1887), h. 1 br.

26
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Keempat, pendidikan/persekolahan harus membekali para


murid dengan ketrampilan dan kecakapan bekerja (Erziehung
zur Arbeit). Ini berkait dengan upaya peningkatan kebudayaan
dan peradaban masyarakat pribumi, kendati disadari bahwa
di dalam budaya dan peradaban baik masyarakat Barat
maupun Timur itu terdapat unsur-unsur yang bertentangan
dengan - dan karena itu perlu dibersihkan oleh - Injil. Bahkan
bagi Fabri program peningkatan kebudayaan ini merupakan
kewajiban kemanusiaan dan budaya (humanitt-kulturellen
Pflichten), yang pada gilirannya akan membawa peningkatan
kesejahteraan ekonomi. Di sini juga penting dijalin kerjasama
dengan pemerintah [kolonial]: pemerintah menangani
pendidikan yang bersifat lahiriah (ussere Erziehung), yaitu
penyampaian seperangkat pengetahuan dan ketrampilan,
sedangkan zending menangani pembinaan batiniah (innere
Umbildung).21 Para zendeling RMG di lapangan (termasuk di
Tanah Batak) juga sangat menekankan hal ini, sehingga para
lulusan sekolah zending pada umumnya terampil bekerja dan
mudah mencari pekerjaan, yang pada gilirannya membuat
taraf kehidupan sosial-ekonomi mereka meningkat pesat.
Perkembangan wawasan itu diimplementasikan dalam
penyelenggaraan Seminari Barmen. Studi pokok didahului oleh
Vorschule (semacam matrikulasi) satu tahun, yang membekali

20
Bahkan sedikit berbeda dari Fabri Schreiber mengingatkan fungsi
zending sebagai kekuatan kontrol terhadap kolonisasi, agar hak
masyarakat pribumi tetap terjamin dan kultur mereka terpelihara.
Karena itu pula, menurut Schreiber, di dalam kurikulum sekolah zending
harus ada tempat bagi kultur setempat. Lihat A. Schreiber, Cultur und
Mission in Ihren Einflu auf die Naturvlker (Barmen: Missionshaus,
1882) dan Idem, Mission und Kolonisation (Kiel, 1885).
21
K.J. Bade, Friedrich Fabri und der Imperialismus in der Bismarckzeit
(Freiburg: Atlantis, 1975), h. 257-267.

27
Luther dan Pendidikan

siswanya dengan seperangkat pengetahuan umum. Pada masa


studi pokok (semula tiga tahun, sejak 1873 menjadi empat
tahun) studi teologi, termasuk bahasa-bahasa Alkitab, semakin
dipersungguh. Siswa yang memiliki basis pendidikan lebih tinggi
dari Volkschule juga diberi kesempatan mendalami ilmu-ilmu
pengetahuan khusus, misalnya penerjemahan Alkitab,
Pedagogik, dan Ilmu Bangsa-bangsa (Etnologi). Pada gilirannya
beberapa dari antara zendeling RMG (sama seperti zendeling
NZG) menjadi sarjana atau pakar di berbagai bidang ilmu itu.

Beberapa Contoh Usaha Pendidikan/Persekolahan


Zending
Pada masa kiprah zending di Indonesia selama hampir
satu setengah abad (sekitar tahun 1815 1942/1949) mereka
mendirikan ribuan sekolah, yang terdiri dari berbagai jenis
dan tingkatan, dan mendidik ratusan ribu (mungkin jutaan)
warga masyarakat pribumi, dari anak-anak hingga dewasa,
yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Di luar pulau
Jawa dan Madura, terutama di daerah-daerah yang menjadi
lapangan utama zending dan kelak mayoritas penduduknya
beragama Kristen22, jumlah sekolah-sekolah zending jauh
melampaui jumlah sekolah pemerintah (openbaar scholen).
Laju pertumbuhan sekolah-sekolah zending itu sedikit-
banyak ditopang oleh subsidi pemerintah, tetapi faktor utama
adalah kesungguhan pihak zending dan sambutan positif

22
Antara lain Tanah Batak, Nias dsk. (termasuk Mentawai), Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara dan Tengah (termasuk Sangir-Talaud), Tana
Toraja, Timor dsk., Maluku, dan Papua. Tentu zending juga berkiprah
(termasuk di bidang pendidikan) di Jawa (Barat, Tengah, dan Timur),
tetapi tidak menjadi mayoritas.

28
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

masyarakat yang dilayani. Sambutan potitif itu tidak hanya


dalam hal kesediaan bersekolah, melainkan juga kerelaan
menyediakan sarana dan prasarana. Tetapi karya-pendidikan
zending dan sambutan masyarakat itu tidak serta-merta
berlangsung dan terlihat pesat; pada tahap awal sering kali
sangat sulit dan lambat. Ada berbagai faktor penghambat
pada kedua belah pihak yang berjumpa itu. Namun lambat-
laun hambatan dan kesulitan itu dapat diatasi, dan kedua-
belah pihak menjalin kerjasama yang erat, baik dalam hal
pengembangan pendidikan maupun perluasan dan pemantapan
gereja. Sesuai dengan pembatasan tulisan ini, kita hanya
akan melihat usaha pendidikan/persekolahan dari NZG23 dan
RMG, itupun sebagian kecil saja, untuk sekadar memberi
contoh.
NZG menyelenggarakan persekolahan di berbagai daerah
atau lapangan zending yang dilayaninya. Bermula di Maluku
(terutama pulau Ambon dan sekitarnya), meluas ke Minahasa,
Timor, Poso, Jawa Timur, hingga ke Tanah Karo.24 Di antara
sekian banyak sekolah yang didirikan dan diselenggarakan
NZG, akan diberi perhatian khusus pada dua sekolah, yang
dapat disebut sebagai dapur dan jantung pendidikannya. Yang
pertama adalah Sekolah Guru yang dipimpin B.N.J. Roskott di
Batu Merah, Ambon, dan yang kedua Sekolah Guru yang
dipimpin N. Graafland di Tanawangko, Minahasa. Namun

23
Untuk usaha pendidikan NZG, acuan utama adalah karya Kroeskamp,
The Early Schoolmasters.
24
Khusus di Tanah Karo pada k.l. 25 tahun pertama (1890-1915), lihat
a.l. dalam makalah J.H. Neumann, Het Zendingsonderwijs van het
NZG onder de Karo-Bataks ( 1918).

29
Luther dan Pendidikan

sebelumnya akan kita tinjau selintas-kilas karya-pendidikan


NZG, terutama di Maluku dan Minahasa.
Karya pendidikan NZG dimulai dengan tibanya Josef Kam
di Ambon pada tahun 1815. Pada waktu itu sudah ada sejumlah
sekolah yang dikelola pemerintah Hindia-Belanda (sebagian
merupakan warisan dari VOC yang sudah bubar tahun 1799).
Sekolah-sekolah pemerintah itu pada umumnya merana, kurang
terurus, sehingga Kam meminta kepada pemerintah agar
sekolah-sekolah itu diurus oleh zending. Tetapi pemerintah
menolak, dengan alasan bahwa persekolahan adalah urusan
pemerintah. Penolakan itu membuat Kam dkk. berprakarsa
untuk mendirikan sekolah di jemaat-jemaat yang mereka buka.
Dalam perkembangan selanjutnya kita lihat bahwa usaha
pendidikan/persekolahan yang diselenggarakan para zendeling
NZG pada khususnya dan oleh semua badan zending asal
Eropa pada umumnya berjalan berdampingan dengan
pendidikan yang dijalankan pemerintah.25 Karena itu patut
kita bertanya, kenapa Kam dan para zendeling NZG lainnya
begitu bersemangat menyelenggarakan pendidikan, kendati
pada mulanya cukup banyak dari mereka yang tidak sungguh--
sungguh dipersiapkan untuk itu?
Dokumen-dokumen yang tersedia menginformasikan
bahwa halnya demikian karena: Pertama, para zendeling
melihat bahwa sekolah merupakan sarana yang sangat efektif
bagi pekabaran Injil dan penyemaian benih-benih gereja
(seminarium, dalam arti yang paling mendasar). Karena itu
tidak heran bila penyelenggaraan sekolah menyatu dengan

25
Penjelasan umum tentang hal ini lihat a.l. dalam Aritonang: Sejarah
Pendidikan Kristen, khususnya bab I.

30
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

jemaat (termasuk tugas rangkap guru sebagai guru sekolah


dan guru jemaat). Sejalan dengan itu mata-mata pelajaran
di sekolah-sekolah yang diselenggarakan para zendeling
(utusan NZG maupun badan-badan zending lain) - membaca,
menulis, geografi, bernyanyi, dsb. - hampir sepenuhnya terarah
pada penyampaian isi Alkitab dan penyiapan murid menjadi
warga gereja. Kedua, karena - paling tidak pada tahap awal
dan di sebagian lapangan zending - usaha pendidikan
merupakan sarana yang sangat efektif untuk menjalin kontak
dengan masyarakat.
Secara konseptual sebenarnya apa yang hendak dilakukan
para zendeling pada abad ke-19 itu belum banyak beranjak
dari konsep dan praktik kesatuan gereja dan negara yang
berlangsung di Eropa maupun Nusantara hingga akhir abad
ke-18 (yakni pada zaman VOC). Pada masa VOC itu pun
pendeta atau para penatuanya sudah sekaligus menjadi guru
sekolah. Kalau begitu, alasan ketiga adalah, sebagaimana
disimpulkan Kroeskamp, to restore the old Christian
communities in Batavia to their former glory (Kroeskamp,
h. 450).
Sementara itu di sisi lain pemerintah sejak awal abad
ke-19 sudah semakin meninggalkan konsep dan praktik itu,
dan memberlakukan asas Pencerahan, antara lain sikap netral
terhadap agama (dan gereja). Karena itu, ketika badan-badan
zending, khususnya NZG, semakin bersungguh-sungguh
berupaya menyelenggarakan pendidikan, yang terjadi bukanlah
kerjasama yang semakin erat antara zending dan pemerintah
Hindia-Belanda, melainkan ketegangan yang semakin besar
mengenai tujuan pendidikan dan metode untuk mencapainya.

31
Luther dan Pendidikan

Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam kasus B.N.J.
Roskott di Ambon. Setibanya di sana tahun 1834 sebagai
utusan NZG yang secara khusus ditugaskan menangani dan
neningkatkan kualitas pendidikan zending yang telah dimulai
dan diwariskan Kam, ia segera membuka Sekolah Guru di Batu
Merah, Ambon, dan sekolah ini dapat disebut sebagai sekolah
guru yang pertama di Indonesia. Pada pasal 9 dari instruksi
NZG kepada Roskott memang dinyatakan bahwa tujuan
sekolah yang diselenggarakan NZG, yang sekaligus
membedakannya dari sekolah-sekolah biasa (baca: sekolah
pemerintah) yang sudah ada pada waktu itu, antara lain adalah
educating the children to become members of the Christian
Community.26 Tetapi oleh Roskott pelaksanaan rumusan itu
tidak dipersempit artinya sehingga seakan-akan sekolah-
sekolah zending, termasuk sekolah gurunya, hanya bertugas
menjejalkan ayat-ayat Alkitab serta mengajarkan mazmur dan
nyanyian rohani saja.
Khusus mengenai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Batu
Merah itu, ternyata kurikulum maupun kualitas lulusannya
tidak hanya menjawab kebutuhan dan memberi dukungan
kepada gereja, melainkan juga menjawab sebagian kebutuhan
pemerintah akan guru-guru sekolah yang bermutu. Karena
itu tidak mengherankan bila sebagian besar sekolah rendah
yang diasuh guru-guru tamatan SPG Batu Merah, baik sekolah
pemerintah maupun sekolah zending, mendapat penilaian yang
baik dari inspektur pendidikan yang ditugaskan pemerintah.

26
Kroeskamp, Early Schoolmasters, h. 66 br.; bnd. dengan rumusan
instruksi kepada Hellendoorn di Minahasa pada tahan 1827,
sebagaimana dikutip dalam ibid. h. 112.

32
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Bahkan tamatan sekolah-sekolah rendah itu mampu menjawab


kebutuhan masyarakat akan tenaga yang terampil bertani,
bertukang dan melakukan hal-hal praktis lainnya. Dengan kata
lain, sekolah-sekolah asuhan NZG sejak semula telah memberi
sumbangan konkret bagi peningkatan kualitas hidup sosial-
ekonomi masyarakat.
Melihat hal itu mestinya SPG di Batu Merah itu memberi
kepuasan bagi pemerintah maupun NZG, dan membuat
hubungan kedua instansi ini menjadi akrab. Ternyata yang
terjadi, terutama pada tahun-tahun terakhir sebelum SPG ini
ditutup tahun 1864, adalah sebaliknya. Di satu sisi NZG menilai
bahwa SPG itu maupun sekolah-sekolah rendah yang diasuh
guru-guru tamatannya, terlalu melayani kepentingan dan
tujuan pendidikan pemerintah, yakni menghasilkan naradidik
yamg cerdas dan terampil. Sedangkan di sisi lain pemerintah
memandang bahwa sekolah-sekolah yang diasuh NZG itu
terlalu church-oriented. Roskott jadinya terjepit di tengah
kedua kepentingan itu, kendati ia berusaha untuk mendamai-
kan dan menjembataninya. Akhirnya ia diberhentikan dari
jabatannya, dan SPG Batu Merah yang sudah cukup berjasa
bagi pendidikan di Maluku itu ditutup. Sekolah itu baru dibuka
kembali sepuluh kemudian (1874) oleh pemerintah, ketika NZG
sudah menghentikan seluruh pekerjaannya di Maluku seraya
menyerahkan seluruh jemaat buah pekerjaannya kepada
Indische Kerk, termasuk sejumlah zendeling yang mau
memutuskan hubungan kerja dengan NZG dan diperbantukan
kepada gereja negara itu.
Dari kasus itu kita melihat bahwa kendati usaha pendidikan
NZG tidak mengingkari pentingnya - bahkan ikut meng-

33
Luther dan Pendidikan

upayakan - peningkatan kecerdasan dan kehidupan sosial-


ekonomi masyarakat, namun kalau penanaman dan
penumbuh-kembangan gereja tidak lagi menjadi tujuan utama,
NZG tidak segan-segan menyerahkan usaha itu kepada pihak
lain. Prinsip senada sering pula kita temukan pada badan
zending lain. Tentu dalam hal ini berperan juga faktor-faktor
lain, misalnya keterbatasan daya dan dana, namun semua
itu besifat lebih sekunder. Kendati untuk mempertahankan
prinsip dan tujuan utama pendidikannya itu NZG tidak segan-
segan bertarung dengan pemerintah, ataupun menyerah-
kannya kepada pemerintah, namun dalam kasus tertentu ada
juga alasan lain yang membuat NZG mempertahankan usaha
pendidikannya.
Kita beralih ke Minahasa. Tidak berlebihan kesimpulan
dan penilaian yang menyatakan bahwa pada zaman Hindia-
Belanda (1800-1942) Minahasa menduduki peringkat tertinggi
dalam hal prestasi di bidang pendidikan. Dalam hal ini NZG-
lah yang patut mendapat kredit atas prestasi itu, baik melalui
karya G. J. Hellendoorn selaku perintis karya dan pendidikan
zending dan Nicolaas Graafland selaku bapak pendidikan
Minahasa, maupun melalui guru-guru pribumi, termasuk hasil
didikan Graafland di Sekolah Pendidikan Guru di Tanawangko.
Sama seperti di tempat lain, di Minahasa pemerintah
Hindia-Belanda (a.l. melalui Residen Van Olpen pada tahun
1844) juga sempat mencela usaha pendidikan NZG especially
on the prominent place the lessons in biblical history and
religious instruction occupied on the curriculum (Kroeskamp,
h. 120), sampai-sampai ia mengeluarkan peraturan bahwa
pengajaran agama harus diberikan di luar jam sekolah. Karuan

34
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

saja NZG menolak peraturan dan campur tangan pemerintah


atas kebijakan pendidikannya ini. Syukurlah Gubernur Jenderal
di Batavia mencabut peraturan ini dari sekolah-sekolah zending
dan hanya memberlakukannya di lingkungan sekolah
pemerintah.
Itu tidak berarti bahwa para zendeling NZG tidak
mempedulikan tuntutan pemerintah agar sekolah-sekolah
zending luga memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan-
nya berpatokan pada tolok ukur yang baku dalam sistem
pendidikan Barat. Apa yang dilakukan Graafland dengan SPG
di Tanawangko maupun jaringan persekolahan yang dilayani
para lulusan SPG ini membuktikan hal itu. Bakat besar
Graafland di bidang pendidikan, maupun diskusi yang intensif
dengan gurunya di Rotterdam, C.J. Neurdenburg, membuat
ia mampu mengembangkan wawasan yang lebih luas dan
mendalam. Bagi Graafland, pendidikan zending harus lebih
dari sekadar Christian Church education, melainkan
merupakan sarana untuk Christian civilization. This civilisation
would then at the same time prepare a favorable soil for
the development of Christian communities. The principal
idea was that the school should be an institute of education,
training its pupils for a future place in their society
(Kroeskamp, h. 157). Dengan kata lain: penyelenggaraan
pendidikan harus dalam rangka pembangunan seluruh
masyarakat yang diresapi nilai-nilai peradaban kristiani.
Wawasan itu juga memperlihatkan pemahaman tentang
pendidikan: kalau sebelumnya dilihat sebagai hulpdienst
(pelayanan pendukung), kini sudah semakin dilihat sebagai
hoofddienst (pelayanan utama).

35
Luther dan Pendidikan

Bagi kita yang hidup pada abad ke-20 dan awal abad
ke-21, istilah peradaban Kristen mungkin terasa
mengganggu, karena kita sadar bahwa istilah itu mengandung
aroma superioritas Barat abad ke-19, yang untuk sebagian
telah runtuh oleh Perang Dunia I. Tetapi sebagai anak
zamannya Graafland telah berhasil menerapkan wawasan itu
di bidang pendidikan di Minahasa. Dan itu pulalah yang menjadi
salah satu alasannya untuk memberlakukan sistem pendidikan
Barat modern, mengajarkan bahasa Belanda serta memper-
kenalkan literatur Barat, yang pada gilirannya membuat SPG
Tanawangko maupun jaringan sekolah NZG di Minahasa
mendapat penghargaan dari masyarakat dan pemerintah.
Keberhasilan NZG menyelenggarakan persekolahan di Minahasa
ini, dalam hal kuantitas maupun kualitas, agaknya menjadi
salah satu faktor yang membuat sekolah-sekolah itu tidak
ikut diserahkan NZG kepada pemerintah c.q. Indische Kerk
(selaku gereja negeri) pada tahun 1875-1882.
Dari berbagai tulisan yang menyoroti usaha pendidikan
NZG di Minahasa ini kita mendapat informasi bahwa sejak
1870-an hingga 1930-an berlangsung situasi dan yang rumit
antara NZG dan para guru di sekolah-sekolahnya dan
pemerintah/Indische Kerk. Rangkaian peristiwa tarik-ulur
yang lazim dikenal dengan ungkapan conversie di antara
kedua belah pihak memperlihatkan kerumitan permasalahan
itu. Namun di sisi lain kerumitan itu turut berperan mendorong

36
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

guru-guru sekolah zending untuk menperjuangkan kemandirian


gereja di Minahasa.27
* * *
Kini kita beralih ke usaha pendidikan RMG, khususnya di
Tanah Batak (lazim disebut Batakmission). Sebelum melihat
secara khusus beberapa sekolah, ada baiknya kita melihat
sepintas gambaran umum perkembangan usaha pendidikan
itu.28 Sesuai dengan asas kesatuan gereja dan sekolah, maka
sejak babak awal karya RMG di Tanah Batak (1861-1882)
badan zending ini telah mendirikan dan menyelenggarakan
sejumlah sekolah sejajar dengan pembukaan jemaat-jemaat
baru. Dengan kata lain: di mana ada jemaat, di situ ada
sekolah. Pada tahap ini sekolah masih dilihat sebagai alat
atau sarana penginjilan dalam arti penambahan jumlah orang
Kristen atau warga gereja. Warga masyarakat tidak serta-
merta menerima Injil dan memberi diri dibaptis (masuk Kristen)
maupun menjadi murid sekolah. Mereka harus terlebih dulu
diyakinkan akan manfaat menjadi Kristen dan belajar di sekolah.
Karena itu pertumbuhan jemaat maupun sekolah pada babak
awal ini belum sangat pesat, sebagaimana tergambar pada
statistik di bawah.

27
Rangkaian permasalahan yang muncul di seputar penyelenggaraan
pendidikan, khususnya menyangkut status dan hak para guru di
sekolah-sekolah NZG dapat dibaca a.l. dalam S.C. Graaf van Randwijck:
Handelen en denken in diest der zending (s Gravenhage:
Boekencentrum, 1981), h. 620-633 (terjemahan Indonesia:
Oegstgeest Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang
Bekerjasama 1897-1942 [Jakarta: BPK GM, 1989]).
28
Gambaran lengkap dan rinci dari usaha pendidikan Batakmission
dapat dilihat dalam Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen, bab IV-
VII.

37
Luther dan Pendidikan

Pada babak awal ini jenis sekolah juga masih terbatas.


Dimulai dengan Sekolah Rendah atau Sekolah Rakyat
(Volkschool) atau Sekolah Desa tiga tahun. Karena untuk
sekolah jenis ini dibutuhkan cukup banyak guru yang
merangkap sebagai guru jemaat (yang tidak dapat dipenuhi
oleh para zendeling Jerman) maka sejak 1868 telah dibuka
sekolah untuk menyiapkan tenaga-gerejawi pribumi, yaitu
Sekolah Kateket di Parausorat. Sejak 1877 sekolah ini
dipindahkan ke Pansurnapitu dan diberi nama baru: Seminari.29
Untuk pelayanan di jemaat dibutuhkan juga sejumlah
penatua yang mampu tulis-baca-hitung (maklumlah, pada
masa itu masyarakat masih butahuruf) selain memiliki
pengetahuan Alkitab dan hal-hal gerejawi ala kadarnya,
sehingga di jemaat-jemaat tertentu diselenggarakan juga
Sekolah Penatua yang berlangsung beberapa bulan bagi
sejumlah laki-laki dewasa yang terpanggil melayani (umumnya
mereka berasal dari kalangan pemuka masyarakat atau
pangituai ni huta). Bagi para perempuan yang berminat
diselenggarakan juga serangkaian kursus (menyangkut
kebersihan, kesehatan, kerapian, kerajinan tangan dan tulis-
baca-hitung ala kadarnya, di samping pengetahuan agama).
Di beberapa jemaat diselenggarakan juga latihan pertukangan
sesuai dengan kebutuhan jemaat maupun masyarakat.

29
Tiga tahun sebelum Seminari Pansurnapitu dibuka, pada tahun 1874-
77 sejumlah zendeling RMG menyelenggarakan pendidikan bagi calon
pengerja-gereja pribumi dengan nama Sikola Mardalan-dalan. Disebut
demikian karena siswanya mengembara dari lokasi tempat tinggal
zendeling yang satu ke lokasi lain: hari Senin di rumah Nommensen,
Selasa di rumah Johannsesn, Rabu di rumah Mohri, dst. Cara ini
dipandang sangat melelahkan siswa, sehingga dihentikan dan diganti
dengan seminari yang lebih permanen.

38
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Memasuki babak kedua (1883-1914), persekolahan RMG


mencapai puncak laju perkembangannya. Ada berbagai faktor
penunjang, antara lain: perluasan wilayah kerja RMG (semula
hanya di Sipirok-Angkola dan Silindung; pada periode ini meluas
ke Toba, Samosir, Simalungun, Karo dan Dairi), pertambahan
tenaga zendeling Eropa (di antaranya terdapat beberapa yang
khusus menangani usaha pendidikan/persekolahan),
pemantapan wawasan (teologis-misiologis maupun pedagogis),
subsidi pemerintah, dan hasrat masyarakat yang semakin
menggebu untuk bersekolah.
Seiring dengan faktor-faktor penunjang itu, pada periode
ini jumlah dan jenis sekolah pun bertambah dengan sangat
pesat. Pada aras pendidikan dasar, sejajar dengan pertum-
buhan jumlah jemaat, jumlah Sekolah Rakyat (SR) biasa
bertumbuh hampir sepuluh kali lipat (lihat statistik di bawah).
Selain SR biasa (3 tahun), ada SR khusus untuk Putri
(Meisjesschool), Sekolah Anak Raja, dan Sekolah Dasar
berbahasa Belanda (Hollands Inlandsche School, HIS). Pada
aras sekolah lanjutan atau menengah (semuanya kejuruan)
terdapat Seminari, Sekolah Industri (=Pertukangan), Kursus
Perawat dan Bidan, Sekolah Pertanian, dan Sekolah Tenun &
Renda. Pertumbuhan kuantitatif itu juga diimbangi dengan
pembenahan sistem pendidikan (mencakup kurikulum, metode
mengajar, prosedur dan syarat masuk, penggalakan literatur,
serta pembinaan dan peningkatan kualitas dan kecakapan
guru).
Memasuki babak ketiga (1915-1942), sekolah-sekolah
asuhan RMG mengalami gejolak dan menempuh badai. Ada
beberapa penyebab, antara lain: terobosan kultur modern

39
Luther dan Pendidikan

(yang di kalangan orang Batak melahirkan Gerakan


Hamajuon30); gerakan kemandirian (yang membuat sejumlah
pelayan dan warga menyempal dan mendirikan gereja baru);
reorganisasi pendidikan oleh pemerintah (yang mengakibatkan
pengetatan subsidi); krisis keuangan yang dialami RMG (akibat
Perang Dunia I dan malaise); dan persaingan dengan misi
Gereja Katolik Roma (yang juga gencar membuka sekolah).
Di tengah turbulensi itu masih terlihat perkembangan
kuantitatif, kendati tidak sepesat periode sebelumnya. Khusus
dalam pendidikan perempuan terlihat kemajuan signifikan, a.l.
pembukaan Meisjeskopschool (Sekolah Kepandaian Puteri),
Sekolah Perawat & Bidan, dan Sekolah Bijbelvrouw. Sekolah
berbahasa Belanda juga meningkat dengan dibukanya Sekolah
Lanjutan berbahasa Belanda (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,
MULO).

Tahun Jumlah Jemaat Jumlah Sekolah Guru Murid


(Induk & Cabang) Anggota Jmt Dasar Lanjutan
1867 7 115 7 - - 120

1882 57 7.586 57 1 38 1.132

1898 172 37.156 183 1 182 6.880

1914 507 159.024 510 5 789 33.099

1938 758 416.206 646 5 1.110 55.481

Mengakhiri tinjauan umum ini, perlu dikemukakan sedikit


catatan menyangkut hubungan zending dengan pemerintah

30
Di mata kalangan RMG (Batakmission), Gerakan Hamajuon ini lebih
banyak membawa dampak negatif, misalnya munculnya sikap,
pandangan dan perilaku yang menurut mereka bertentangan dengan
ajaran Kristen. Di sisi lain gerakan ini menurut kalangan Batak Kristen
tertentu justru merupakan ungkapan hasrat orang Batak untuk lebih
maju lagi di segala bidang, yang dikekang oleh kalangan RMG yang
pietis itu.

40
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

kolonial: ternyata pemerintah tidak selalu mendukung


(termasuk memberi subsidi), melainkan sering kali justru
menghambat, misalnya tidak mengizinkan pendidikan agama
[Kristen] di sekolah-sekolah yang diberi subsidi. Padahal
secara tidak langsung zending sudah membantu pemerintah,
a.l. menyediakan tenaga terdidik untuk diangkat menjadi
pegawai pemerintah. Namun di sisi lain harus juga dicatat
bahwa pemerintah secara sendiri maupun melalui zending
berusaha memajukan pendidikan masyarakat bumiputera,
sehingga tuduhan bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih
banyak menindas dan kurang berusaha memajukan kecerdasan
rakyat jajahannya tidak sepenuhnya benar.
* * *
Sekarang kita akan meninjau secara khusus beberapa
sekolah Batakmission, yaitu dua sekolah guru (Seminari
Sipoholon dan Seminari Narumonda) dan satu sekolah dasar
berbahasa Belanda (HIS) di Tarutung. Ketiga sekolah ini dipilih,
karena dalam banyak hal menggambarkan kesungguhan
Batakmission menyelenggarakan persekolahan maupun
permasalahan yang dihadapinya di bidang itu. Khusus kedua
seminari ini dapat dipandang sebagai dapur sekaligus jantung
pengembangan dan pembenahan sistem dan praktik pendidikan
Batakmission.
Seperti telah dikemukakan di atas, Batakmission telah
memulai upaya mempersiapkan dan menyediakan tenaga guru
sekolah sekaligus guru jemaat sejak 1868. Disadarinya bahwa
kunci utama keberhasilan pendidikan terletak pada sistem
pendidikan dan pembinaan guru. Seminari Pansur Napitu (1877-
1900), betapa pun diselenggarakan dengan sungguh-sungguh

41
Luther dan Pendidikan

oleh guru-gurunya, terutama P.H. Johannsen, terbatas dalam


banyak hal. Kehadiran J.H. Meerwaldt, zendeling khusus
pendidikan, berasal dari Belanda tamatan Sekolah Guru di
sana, mendorong Batakmission untuk membenahi sistem
pendidikannya, yang dimulai dengan pendidikan guru-gurunya.
Pembenahan dimulai di Seminari Pansur Napitu sejak Meerwaldt
tiba dan bertugas di sana, dan dilanjutkan setelah seminari
itu pindah ke tempat yang baru, yang jauh lebih baik, di
Sipoholon sejak 1901.
Pembenahan seminari ini mencakup sejumlah aspek,
antara lain: (a) pengadaan sarana dan prasarana belajar yang
memadai (ruang belajar dengan segala perlengkapannya, buku
pelajaran, asrama, dsb.); (b) sistem seleksi calon siswa
secermat mungkin; (c) kurikulum yang bertujuan meman-
tapkan dan melanjutkan perluasan Gereja Kristus di Tanah
Batak; dan (d) dan penempatan lulusan yang bersifat ikatan
dinas. Pembenahan itu berlanjut ketika Batakmission membuka
seminari kedua di Narumonda sejak 1907, kendati di antara
kedua seminari itu ada semacam persaingan, baik di antara
guru-gurunya (terutama antara Johannes Warneck dengan
gaya Jermannya dan Meerwaldt dengan gaya Belandanya)
maupun di antara masyarakat pendukungnya (Silindung dan
Toba).
Berbarengan dengan pembenahan sistem pendidikan guru
di seminari, dilakukan juga pembenahan sistem pendidikan
dasar, antara lain mengingat bahwa lulusan Sekolah Dasar
inilah yang menjadi calon siswa seminari. Menurut Meerwaldt,
kendati para calon siswa seminari itu adalah lulusan terbaik
dari SR atau SD di kampung dan jemaat masing-masing, namun

42
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

sebagian besar tidak tahu apa-apa. Tetapi itu bukan salah


mereka, melainkan karena kondisi SD itu sebagian besar buruk,
baik gurunya, perlengkapannya, organisasi dan tatatertibnya,
maupun kurikulum dan metode mengajarnya. Dengan kata
lain pembenahan di seminari mesti berkait langsung dengan
pembenahan pendidikan dasar. Untuk membenahi mutu SD
dan mutu calon siswa seminari, ditempuh dua cara. Pertama,
menyelenggarakan kelas persiapan atau Vorschule (bnd. yang
di Seminari Barmen) bagi tamatan SD yang mau melanjut ke
seminari. Kedua, menyelenggarakan Sekolah Latihan
(bungschule) sebagai sekolah contoh untuk semua SD,
sekaligus tempat praktik siswa seminari (semacam Lab School
di IKIP atau di Universitas Pendidikan pada masa kini).
Khusus menyangkut pembenahan kurikulum seminari, sejak
1885 (masih di Pansur Napitu) sebenarnya sudah diupayakan
peningkatan, baik dalam hal masa belajar (menjadi empat
tahun), maupun jumlah dan bobot mata-mata pelajaran.
Tetapi menurut Meerwaldt pembenahan itu belum memadai
dan mendasar, karena belum sepenuhnya mengacu pada
tujuan pendidikan, yakni menyiapkan tenaga guru yang
berdwifungsi di sekolah dan gereja dalam rangka perwujudan
Gereja Rakyat yang mandiri. Lagi pula, menurut dia, Johannsen
menetapkan terlalu banyak mata pelajaran dan menggunakan
metode menghafal secara mekanistik. Karena itu setelah
Seminari Pansur Napitu pindah ke Sipoholon, selama beberapa
tahun (1902-1908) dilakukan lagi beberapa kali pembenahan
kurikulum berdasarkan tiga asas: (1) asas pendalaman
kekristenan; (2) asas kemandirian; dan (3) asas peningkatan
kultur (=kesejahteraan sosial-ekonomi). Lama belajar tetap

43
Luther dan Pendidikan

empat tahun; jumlah mata pelajaran dikurangi (sekaligus


diseimbangkan antara mata-mata pelajaran umum dan
keagamaan/gerejawi sesuai tuntutan pemerintah), tetapi
bobotnya ditambah. Kurikulum baru itu berlaku baik di Seminari
Sipoholon maupun di Seminari Narumonda (yang kemudian
ditutup tahun 1919 dan dialihkan menjadi HIS).
Selain pembenahan kurikulum, dilakukan juga berbagai
upaya pembenahan dalam hal prosedur dan syarat masuk;
peningkatan/pembinaan disiplin dan watak kristiani; dan
penggalakan penambahan literatur, terutama buku pelajaran
(baik terjemahan, saduran, maupun karangan guru dan lulusan
seminari). Setelah siswa lulus dari seminari dan menjadi guru,
dilakukan lagi berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan
kecakapan mereka melalui serangkaian program, antara lain
konferensi (sekaligus pembinaan dan penataran) secara
berkala, sayembara menulis, dan ujian kecakapan. Guru-guru
terbaik bahkan diberi kesempatan melanjutkan studi untuk
menjadi pendeta. Semua itu pada gilirannya meningkatkan
mutu pendidikan dan persekolahan di Tanah Batak.
Khusus mengenai HIS (dan MULO), perlu dikemukakan
beberapa catatan. Sekolah berbahasa Belanda ini diseleng-
garakan RMG/Batakmission karena tuntutan masyarakat akan
adanya sekolah jenis ini sangat besar. Masyarakat meng-
hendaki sekolah jenis ini untuk memudahkan anak-anak mereka
diterima menjadi pegawai pemerintah ataupun swasta inter-
nasional (perkebunan dsb.); dengan kata lain: didorong oleh
motif sosial-ekonomis sesuai dengan semangat dan gerakan
Hamajuon yang berkobar sejak awal abad ke-20. Semula
Batakmission enggan membuka sekolah ini, karena ia tidak

44
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

menyetujui semangat Hamajuon yang dinilainya sangat duniawi


itu, dan kuatir bahwa anak-anak Batak Kristen akan tercabut
dari lingkungannya (karena akan keluar dari Tanah Batak).
Tetapi karena pemerintah membuka banyak HIS (selanjutnya
MULO) yang bersifat religionslos (tidak mengajarkan agama),
Batakmission akhirnya memenuhi tuntutan ini.
Sampai akhir babak kedua (1914) baru ada dua HIS,
yaitu di Sigompulon-Tarutung dan Sidikalang. Tetapi setelah
itu dibuka beberapa lagi: Narumonda (1919, ex Seminari),
Medan (1929), Pematang Siantar (1932), Sibolga (1934),
Padang Sidempuan (1935), Simsim (1937), dan Sipirok (1938).
Selain itu dibuka juga beberapa sekolah berbahasa Belanda
lagi, a.l. MULO (di Tarutung 1927, lanjutan HIS), serta
Schakelschool31 di Simorangkir (1931), Pematangsiantar
(1931), dan Pematang Raya (1932). Sekolah-sekolah ini
dilengkapi dengan internaat (asrama) yang memberlakukan
disiplin yang ketat dan menjadi tempat pembinaan mental-
spiritual.
Walaupun uang sekolah dan biaya lain sangat tinggi
jauh lebih tinggi dari sekolah sejenis yang diselenggarakan
pemerintah hasrat masyarakat Kristen Batak tidak surut.
Banyak orangtua rela menanggung derita (kurang makan, dsb.)
dan menjual harta-benda asalkan anak-anak mereka diterima
masuk ke sekolah ini. Kendati Batakmission mencela motif
duniawi para orangtua ini, toh kemudian mereka bergembira
juga, karena ternyata banyak dari lulusan sekolah berbahasa

31
Schakelschool adalah sambungan (dua tahun lagi) dari Vervolgschool
ataupun Standaardschool, yaitu SD 5 tahun, agar lulusannya setingkat
dengan HIS dan bisa masuk MULO).

45
Luther dan Pendidikan

Belanda ini yang tetap terpuji dalam iman kristiani dan


kesetiaan kepada Gereja. Banyak yang menjadi tokoh gereja
dan persekutuan Kristen di perantauan. Pengamat tertentu
juga menghargai hasrat masyarakat itu, karena itulah salah
satu cara yang ampuh dan konkret untuk keluar dari
kemiskinan, salah satu masalah sosial yang justru hendak
ditanggulangi Batakmission juga melalui usaha pendidikannya.

Keberlanjutan Sekolah-sekolah Zending Sejak 1940-an


Pada zaman Jepang dan Revolusi/Perjuangan
Kemerdekaan (1942-1949) sebagian besar sekolah-sekolah
itu terlantar atau dialih-fungsikan. Khusus di Tanah Batak,
kebanyakan orang Batak juga tidak sempat lagi bersekolah,
karena kebanyakan terlibat dalam margurilla. Setelah
pengakuan kedaulatan, yaitu pada masa Orde Lama (1950-
1965) ada upaya untuk bangkit kembali. Tetapi gereja (baca:
HKBP) tidak punya cukup personel maupun dana. Sejumlah
sekolah yang dulunya sangat terkenal (misalnya HIS dan MULO
di Tarutung dan Ambachtschool di Laguboti) diambil-alih oleh
atau diserahkan kepada pemerintah, menjadi SMP, SMA dan
STM Negeri. Ada juga yang diambil-alih oleh swasta, misalnya
HIS di Narumonda-Porsea, yang menjadi SMP Karya.
Yang tak kurang menyedihkan adalah sekolah-sekolah
untuk puteri. Prinses Juliana Meisjeskopschool di Balige dan
Meisjesschool di Laguboti (berdiri di dekat Sikola Bijbel-vrouw)
yang termasyhur dan cantik itu, misalnya, setelah
kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipertahankan sebagai
Sekolah Kepandaian Puteri yang bermutu. Belum lagi sejumlah
sekolah industri (pertukangan), a.l. di Sidikalang, dan sekolah

46
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

bidan a.l. di Nainggolan-Samosir, yang lenyap entah ke mana


(mungkin beralih juga menjadi sekolah negeri).
Syukurlah bahwa di tengah kemerosotan kualitas dan
kuantitas pendidikan/ persekolahan itu ada perkembangan
yang menggembirakan. Berkat bantuan dana dari Lutheran
World Federation (LWF) sebagai tindak-lanjut dari diterima-
nya HKBP menjadi anggota LWF pada tahun 1954 berdiri
Universitas HKBP Nommensen; dimulai dengan FKIP dan
Fakultas Theologia di Pematangsiantar 1954, lalu disusul
dengan Fakultas Ekonomi dan beberapa fakultas lain di Medan.
Hingga 1960-an tamatan Universitas Nommensen dari fakultas
mana saja terkenal kualitasnya; tidak kalah bahkan dalam
hal tertentu lebih unggul dari USU.
Tetapi memasuki dasawarsa 1970-an dan 1980-an, seiring
dengan kemelut yang terjadi di dalamnya, a.l. akibat masuknya
orang-orang yang bermental kurang kristiani menjadi pemimpin
universitas, kualitas universitas itu kian pudar. Seiring dengan
itu semakin banyak orang Batak yang doyan dan berani
menyandang gelar-gelar dan jabatan akademik (doktor, bahkan
profesor) walaupun tidak pernah studi di perguruan tinggi.
Akibatnya, kalau dulu Tanah Batak menduduki peringkat kedua
terbaik di bidang pendidikan maka pada kurun waktu ini mungkin
terpuruk menjadi salah satu daerah yang terbelakang, seiring
dengan masuknya Tanah Batak sebagai bagian dari peta
kemiskinan di Indonesia.
Menyadari kemerosotan itu, mulai awal 1990-an didirikan-
lah beberapa sekolah menengah dan perguruan tinggi yang
punya kualitas di atas rata-rata, a.l. SMA plus di Soposurung-
Balige (oleh T.B. Silalahi tahun 1992), SMA Negeri plus di

47
Luther dan Pendidikan

Matauli-Pandan-Sibolga (oleh Feisal Tanjung dan Akbar


Tanjung tahun 1994), dan Politeknik Informatika Del di
Sitoluama-Laguboti (oleh Luhut Panjaitan tahun 2001). Tetapi
daya tampung yang terbatas dari sekolah-sekolah ini, demikian
juga syarat masuk yang berat, membuat jumlah siswa yang
dapat diterima sangat kecil dibanding jumlah seluruh anak-
anak Batak yang membutuhkan.

Hal-hal yang Mendasar dan Relevan dari Pendidikan/


Persekolahan Zending
Berdasarkan uraian di atas, terlihat banyak hal yang
mendasar yang terdapat di dalam usaha pendidikan/
persekolahan zending, dan yang masih relevan hingga masa
kini, yang dapat menjadi sumbangan berharga, baik bagi gereja
dan umat Kristen Indonesia maupun bagi bangsa dan Negara
Indonesia secara umum. Beberapa di antaranya adalah:
(1) Kesatuan gereja dan sekolah. Ini dapat disejajarkan
dengan keterpaduan isi Alkitab dan ajaran gereja dengan
ilmu-ilmu sekuler; keduanya perlu diajarkan secara
seimbang.
(2) Perpaduan aspek dan kualitas intelektual (kecerdasan)
dengan moral dan spiritual, yang dimulai sejak seleksi
siswa sampai mereka selesai menempuh pendidikan.
(3) Pembinaan watak (Charakterbildung) kristiani, termasuk
pembentukan disiplin. Ini tidak hanya berlangsung di
sekolah guru dan seminari), melainkan juga sudah sejak
SD.
(4) Kualitas guru. Melalui proses pendidikan yang ketat yang
berlangsung di sejumlah sekolah dan seminari, dihasilkan

48
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

guru-guru yang berkualitas. Ini bida dibandingkan dengan


produk sekolah guru dan seminari masa kini, yang sering
memprihatinkan.
(5) Erziehung zur Arbeit (pendidikan untuk [memberi
kecakapan] bekerja. Pada masa zending hampir tidak
ada lulusan sekolah mereka yang menjadi pengangguran,
karena para lulusan itu tidak hanya dibekali dengan
pengetahuan teoritis, melainkan juga berbagai
ketrampilan praktis.
(6) Kemandirian Gereja dan masyarakat. Karena sekolah
menyatu dengan gereja, maka terlihat dampak ganda:
ketika zending mengupayakan kemandirian Gereja melalui
usaha pendidikannya, maka diusahakan dan dihasilkan
juga masyarakat yang mandiri.
(7) Profesionalisme. Zending mengusahakan pendidikan
secara professional dan penuh kesungguhan, mulai dari
perumusan visi dan misi, penyusunan strategi
pengembangan (mencakup aspek geografis, personel,
dsb.) hingga pelaksanaannya yang didasarkan pada
pertimbangan dan perhitungan yang matang.
Di samping itu masih cukup banyak nilai-nilai luhur yang
diwariskan pendidikan zending, terutama ketika dipadukan
dengan pendidikan [Batak] tradisional. Yang patut disebut
antara lain adalah nilai-nilai ketuhanan/keagamaan/kerohanian,
nilai-nilai kekeluargaan dan kekerabatan (termasuk di dalamnya
gotong-royong atau marsiadapari dan masiurupan), nilai-
nilai budaya dan adat (termasuk penghormatan kepada orang
tua), kerajinan, kerja keras, ketekunan (nunut si raja ni
ompuna) dan keuletan (pantang menyerah, kesucian hidup,

49
Luther dan Pendidikan

kejujuran, penghargaan atas waktu, dan pekerjaan sebagai


panggilan (Beruf, calling; bnd. Kej. 2:15 dan 2 Tes. 3:10).
Hingga kini masih ada orang Kristen (termasuk Kristen-Batak)
yang menganut serta mempraktikkannya. Masih cukup banyak
dari mereka yang maju dalam karier dan usaha, termasuk
menjadi kaya-raya dan meraih pangkat tinggi, karena
memelihara dan memupuk nilai-nilai luhur tersebut.
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, banyak dari
nilai-nilai itu yang semakin tergerus dan kurang dihargai oleh
orang Batak-Kristen, termasuk yang berpendidikan tinggi.
Memang pada zaman dulu pun ada saja orang Batak yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai hamoraon dan
hasangapon (bahkan juga hagabeon). Mestinya Kekristenan
berhasil mengikis watak dan perilaku negatif yang ada pada
para leluhur kita itu. Tetapi harus diakui bahwa Kekristenan,
termasuk di Tanah Batak atau di kalangan orang Batak, tidak
selalu berhasil mengikis watak dan perilaku negatif itu. Karena
itu tak jarang kita melihat orang Kristen berpendidikan tinggi
menjadi koruptor atau pelaku tindak kriminal lainnya.
Sementara itu banyak pengacara Kristen yang hebat-hebat
dan termasyhur yang a.l. mewarisi nilai dan ketrampilan
marpollung di partukkoan dari para leluhur yang menjadi
pembela para koruptor (maju tak gentar membela yang bayar).
Melihat semua itu, ada baiknya kalau kita kembali menoleh
dan bercermin pada warisan pendidikan zending, untuk kembali
menghidupkan nilai-nilai luhur itu.

50
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

Situasi dan Kondisi Pendidikan Kristen di Indonesia Masa


Kini
Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya dikemukakan potret
situasi dan kondisi Pendidikan Kristen di Indonesia pada masa
kini. Tak dapat disangkal bahwa secara kuantitatif dan di
beberapa daerah terlihat berbagai kemajuan di lingkungan
pendidikan Kristen sejak Indonesia merdeka. Salah satu contoh
yang monumental adalah berdirinya puluhan pergu-ruan tinggi
Kristen. Hingga 2010 sekurang-kurangnya 40 perguruan tinggi
Kristen Protestan yang bersifat umum (bukan perguruan
teologi), di antaranya sekitar 20 berwujud universitas, mulai
dari Universitas Kristen Indonesia di Jakarta (berdiri 1953),
Universitas Nommensen di Medan dan Pematang Siantar
(berdiri 1954), hingga Universitas Kristen Indonesia di Tomohon
(UKIT), UKIM di Ambon, UK Arta Wacana di Kupang, UKIP di
Palangkaraya, UKIP di Sorong-Papua, UK Tana Toraja,
Universitas Halmahera, UK Ottow-Geissler Jayapura, dsb. Ada
juga yang tidak secara eksplisit menyebut diri universitas
Kristen (misalnya Universitas Petra di Surabaya dan Universitas
Pelita Harapan di Karawaci-Tangerang). Sebagian dari
perguruan tinggi ini berada di bawah naungan gereja-gereja
yang notabene merupakan produk karya zending, seperti
halnya lebih dari 250 perguruan tinggi teologi Kristen Protestan,
yang dicatat pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Kristen Protestan - Departemen Agama RI.32

32
Sebagian besar dari 250-an perguruan teologi ini didirikan oleh
gereja-gereja atau yayasan-yayasan yang beraliran Injili (Evangelical)
dan Pentakostal, terutama dalam 30 tahun terakhir ini. Diukur dengan
kriteria yang ditetapkan pemerintah RI, banyak yang mutunya jauh di
bawah standar minimal. Yang diselenggarakan oleh gereja-gereja arus

51
Luther dan Pendidikan

Dalam hal mutu, ada dari Perguruan Tinggi Kristen (PTK)


itu yang tidak kalah dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
pada umumnya, bahkan dengan banyak Perguruan Tinggi
Negeri (PTN).33 Toh sebagian besar penyelenggara PTK itu
mengaku belum puas, bahkan merasa ketinggalan, bila mereka
membandingkan leading position yang dimiliki sekolah-sekolah
Kristen pada zaman zending. Apalagi bila diperhadapkan
dengan kenyataan, betapa sulitnya tamatan perguruan tinggi
Kristen menperoleh kedudukan di dalam birokrasi pemerintahan
(hal yang sebenarnya belakangan ini dialami oleh hampir semua
sarjana Kristen lulusan perguruan tinggi mana pun).
Bagi sebagian pembaca, mungkin fakta di atas
menimbulkan pertanyaan bernada sinis, kenapa tamatan
perguruan tinggi di Indonesia berlomba menjadi birokrat?
Kalangan pendidikan Kristen, khususnya PTK, memang melihat
perkembangan situasi di Indonesia akhir-akhir ini sebagai
tantangan yang positif, agar tamatan PTK tidak bureaucratic-
oriented, melainkan entrepreneur-oriented. Idealnya memang

utama, atau tradisional (katakanlah sebagian besar dari anggota PGI)


juga ada yang demikian. Semua ini ikut mengakibatkan citra buruk
dari pendidikan Kristen Protestan di Indonesia.
33
Misalnya Universitas Pelita Harapan, yang baru berdiri pada awal
1990-an. Universitas ini dikelola secara profesional oleh sekelompok
wiraswastawan (enterpreneur) muda Kristen (umumnya dari kalangan
Evangelical). Dengan mengandalkan kredit bank sebesar hampir Rp.100
milyar, mereka membangun universitas tersebut (bersama TK, SD,
SMP, SMU, yang biasa dikenal dengan istilah sekolah unggulan)
bertaraf internasional, yang sangat mewah untuk ukuran Indonesia.
Kalangan pendidikan Islam, a.l. Muhammadiyah, datang berkunjung
dan mempelajari manajemen perguruan ini Toh hal ini menimbulkan
pertanyaan di kalangan aktivis pendidikan Kristen sendiri, apakah
pendidikan yang mewah seperti ini, yang hanya dapat menjangkau
dan dinikmati kurang dari satu permil bangsa Indonesiaa, patut disebut
pendidikan Kristen.

52
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

begitu, kendati kita juga mengingat bahwa dunia usaha di


Indonesia sangat ditentukan oleh kebijakan politik. Namun
demikian kita tidak boleh lupa, tamatan sekolah-sekolah
zending pada masa lalu pun banyak yang sudah berorientasi
birokratik. Kendati banyak zendeling mengecamnya, toh
banyak yang tidak bisa menghalangi, atau malah bangga,
karena pemerintah kolonial memang sangat membutuhkan
mereka.
Tetapi masalah lebih mendasar yang dihadapi Pendidikan
Kristen di Indonesia adalah menyangkut Pendidikan Dasar dan
Menengah.34 Tak dapat disangkal bahwa beberapa rumpun
sekolah Kristen berkembang dalam hal jumlah maupun mutu,
terutama yang ada di kota-kota besar; misalnya yang diasuh
Yayasan Perguruan Methodist di Medan dan Palembang,
Yayasan Badan Pendidikan Kristen Penabur (diselenggarakan
Gereja Kristen Indonesia), dsb. Tetapi sebagian besar berada
dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, terutama yang
berada di daerah-daerah yang dulunya merupakan pusat karya
zending (Tanah Batak, Nias, Timor, Maluku, Sulawesi Tengah,
Papua, dsb.).
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN No.
2/1989 dan UU Sisdiknas No. 20/2003) memang memberi

34
Dalam buku Keputusan Kongres XIII Majelis Pusat Pendidikan Kristen
(MPPK) di Rantepao, 8-12 Oktober 1996, h. 183, diperlihatkan statistik
jumlah sekolah-sekolah Kristn [Protestan] (termasuk guru dan murid)
saat itu, mulai dari tingkat TK hingga SMA (SM Umum maupun SM
Kejuruan), yang rata-rata hanya 2% dari keseluruhan sekolah di
Indonesia. Dari segi persentase hal ini memperlihatkan kemunduran
besar dibandingkan dengan keadaan pada zaman Hindia-Belanda, di
mana sekolah-sekolah Kristen (yang didirikan zending/gereja ataupun
organisasi Kristen independen) lebih banyak dari yang didirikan
pemerintah.

53
Luther dan Pendidikan

peluang kepada pihak swasta, termasuk yang berciri agama,


untuk berkiprah di bidang pendidikan. Tetapi di dalam
praktiknya, sejak Indonesia merdeka, terutama pada dua
dasawarsa terakhir ini, sangat banyak kendala yang dihadapi
lembaga-lembaga pendidikan dasar hingga menengah Kristen,
baik yang dikelola gereja maupun organisasi Kristen di luar
gereja, yang notabene sebagian besar adalah pewaris usaha
pendidikan zending. Di antaranya adalah:
(1) Masalah Gedung: Seperti sudah dicatat di atas, sejak
zaman Jepang banyak gedung sekolah zending/Kristen
yang diambil pemerintah, yang hingga kini tidak
dikembalikan, lalu dijadikan sekolah negeri/pemerintah.
Sebagian menjadi demikian karena memang gereja
setempat tidak mampu mengelolanya lebih lanjut, tetapi
sebagian lagi karena memang pemerintah belum (atau
tidak mau?) mengembalikan.
(2) Masalah Guru: Pada zaman zending, sebagian besar
guru sekolah zending mendapat subsidi gaji dari
pemerintah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan ini
masih berjalan, kendati gaji guru sangat kecil. Belakangan
ini jumlah guru negeri yang ditempatkan di sekolah-sekolah
Kristen sangat berkurang, sehingga banyak sekolah
Kristen yang harus membayar penuh gaji gurunya. Hal
ini terasa sangat berat, mengingat di mana-mana
pemerintah mendirikan membiayai sepenuhnya SD, SMP,
SM Umum dan SM Kejuruan Negeri. Hanya sekolah swasta
yang bermodal kuatlah yang mampu bersaing dalam
situasi seperti itu. Situasi ini semakin berat sejak peme-
rintah menghapus Sekolah Pendidikan Guru (SPG), yang

54
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

sebelumya cukup banyak dikelola perguruan Kristen yang


mendapat subsidi dari pemerintah. Karena itu banyak
sekolah Kristen yang tidak berhasil memperoleh guru yang
bermutu, baik yang dihasilkan oleh IKIP35 Negeri dan
Swasta.
(3) Masalah pelajaran agama: Baik di dalam UUSPN 1989
dan UU Sisdiknas 2003, maupun di dalan undang-undang
lain, memang ada ketentuan yang mengharuskan
pemberian pelajaran agama, mulai dari SD (bahkan TK)
hingga Perguruan Tinggi; hal yang juga diperjuangkan
zending pada masa lalu ketika berhadapan dengan
kebijaksanaan pemerintah kolonial yang menganut asas
netralitas. Tetapi ketentuan yang ada sekarang
mengharuskan sekolah memberi pelajaran agama sesuai
dengan agama yang dianut oleh siswa. Padahal sejak
zaman zending sekolah Kristen memberi pelajaran agama
Kristen kepada semua siswanya, karena hal itu dipandang
sebagai salah satu pelaksanaan tugas pekabaran Injil.
Sekolah-sekolah berciri agama lain pun sebenarnya
menjalankan kebijakan sejenis. Dengan adanya ketentuan
baru itu, sekolah-sekolah Kristen bergumul, apakah masih
dapat mempertahankan jatidiri (identitas) dan ciri
khasnya tanpa adanya mata pelajaran agama Kristen.
(4) Kualitas pengabdian dan kesungguhan para
pengelola: Tanpa menutup mata terhadap sikap
paternalistik, superioritas, ataupun arogansi yang kadang

35
Sejak akhir 1990-an banyak yang sudah berubah menjadi Universitas
Negeri (misalnya Universitas Negeri Jakarta) ataupun Universitas
Pendidikan Negeri (misalnya Universitas Pendidikan Negeri Bandung).

55
Luther dan Pendidikan

kala terlihat di kalangan zending pada masa lalu, harus


diakui dengan jujur den penuh hormat bahwa sebagian
besar dari mereka mengabdikan hidup mereka dengan
sangat sungguh-sungguh. Singkat kata mereka adalah
orang-orang yang menjunjung tinggi profesionalisme. Di
kalangan pendidikan Kristen Indonesia dewasa ini tentu
kita masih dapat menemukan orang-orang seperti itu,
dan kepada mereka patut disampaikan rasa hormat yang
tulus. Namun tak dapat diingkari bahwa tidak sedikit pula
yang berjiwa petualang, ataupun yang didorong motivasi
mencari kehormatan atau keuntungan pribadi. Karena
itu tidak jarang kita menemukan kasus penjualan aset
pendidikan Kristen oleh pengurusnya, lalu hasilnya
sebagian besar dibagi-bagi di antara mereka, padahal
aset itu adalah peninggalan zending ataupun lembaga
pendidikan Kristen pada zaman Belanda.36
* * *
Tidak cukup ruang untuk mengungkapkan berbagai
permasalahan lain yang dihadapi pendidikan Kristen di
Indonesia pada semua tingkat. Namun di tengah semua
kesulitan dan kemunduran itu, belakangan ini terlihat
kesadaran dan tekad yang tinggi untuk memperbaiki serta
meningkatkan citra pendidikan Kristen. Sehubungan dengan
itu, untuk menutup tulisan ini, berikut ini dikutip pandangan
Prof. H.A.R. Tilaar, seorang pakar pendidikan di Indonesia,

36
Salah satu contoh yang paling mencolok adalah penjualan aset
Himpunan Sekolah-sekolah Kristen (HSK) dan Yayasan Badan
Pendidikan Kristen (YBPK) di pertigaan Jalan Salemba dan Jalan
Diponegoro Jakarta Pusat, kepada Yayasan Administrasi Indonesia
(YAI) yang dananya didukung oleh Bank Muammalat.

56
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

mewakili orang-orang yang peduli pada masa depan pendidikan


Kristen di Indonesia, yang mencerminkan kesadaran dan tekad
itu37:
Pendidikan Kristen adalah batu penjuru dari Gereja
Kristen. Di dalam pendidikan Kristen terjadi pertemuan
antara generasi yang ada dan generasi yang akan
datang. Kesinambungan suatu gereja di dalam
masyarakat hanya dapat terjadi apabila gereja
ditopang oleh pendidikan yang relevan dengan itu.
Oleh sebab itu pendidikan Kristen haruslah merupakan
salah satu kepedulian pokok dalam setiap gereja di
Indonesia. UUSPN memberikan tempat yang wajar bagi
hidupnya pendidikan swasta, termasuk pendidikan
yang diselenggarakan oleh gereja-gereja kita.
Sesuai dengan gelombang globalisasi yang sedang
melanda dunia ini, maka perkembangan pendidikan
Kristen di Indonesia perlu mencari paradigma-
paradigma baru. ... Kualitas sumber daya Manusia
(SDM) Kristen Indonesia yang dihasilkan oleh
pendidikan Kristen adalah manusia Kristen yang penuh
toleransi dan yang mempunyai kemampuan istimewa,
sehingga ia dapat memberikan pengabdian yang
sebesar-besarnya untuk kebahagiaan bangsa dan
masyarakat Indonesia. Kemampuan dan keterampilan
yang dimilikinya akan menentukan kualitas pelayanan
yang ia sumbangkan bagi pembangunan bangsa. Oleh
sebab itu pendidikan Kristen tidak ada selain
pendidikan yang berkualitas. Masyarakat Indonesia
telah lama mengenal kualitas tinggi yang ditampilkan
oleh lembaga-lenbaga pendidikan Kristen. Citra ini
harus terus menerus dipupuk, bahkan lebih ditingkat-

37
H.A.R. Tilaar, Arah dan Pengembangan Pendidikan Kristen Menapak
Abad XXI, makalah pada Sarasehan (Seminar) Pendidikan Kristen
yang diselenggarakan MPPK, 6 Mei 1997 di Jakarta.

57
Luther dan Pendidikan

kan, karena ia harus bersaing dengan proses perkem-


bangan SDM dari kelompok-kelompok lain yang juga
meaginginkan mutu SDM-nya yang tinggi. Pendidikan
Kristen harus ditempatkan di dalam proses persaingan
yang sehat. ...
Pengembangan SDM Kristen di Indonesia tidak
dapat berjalan dengan sendirinya; itu perlu didukung
oleb suatu organisasi yang kuat, mantap, berwibawa,
dan operasional. Organisasi pendidikan Kristen dewasa
ini masih dinina-bobokan oleh mimpi masa lalu yang
memberi halusinasi terhadap pendidikan Kristen dalam
era globalisasi ini. Hak-hak istimewa yang pernah
dinikmati oleh pendidikan Kristen yang dilekatkan pada
kekuasaan kolonial telah lama berlalu, namun masih
tetap hidup dalam pikiran sementara manusia Indo-
nesia. Menghapuskan citra negatif itu tidak mudah,
namun bukan tidak mungkin. Citra yang positif ter-
hadap pendidikan Kristen hanya dapat berkembang
apabila organisasi pelaksananya terus berkembang,
terus belajar, dan mengetahui kekuatan-kekuatan
yang hidup di dalam masyarakat Indonesia dewasa
ini. Kesadaran akan kekuatan-kekuatan sosial politik
tersebut akan lebih memecut masyarakat dan individu
Kristen untuk berprestasi lebih baik. Prestasi yang lebih
baik akan dihasilkan di dalam suatu organisasi yang
dinamis. Hanya organisasi yang kuat yang dapat
menelorkan program yang sehat, kuat dan operasional.
Kita belajar dari masa lalu dan masa kini, bahwa
organisasi yang lemah dari pendidikan Kristen Indo-
nesia merupakan lonceng kematian dari pendidikan
Kristen itu sendiri, bahkan bagi masyarakat Kristen
Indonesia di masa depan. ...
Sekarang sudah tiba waktunya berbenah diri,
mewujudkan organisasi yang kuat, yang dapat
melaksanakan visi dan misi pendidikan Kristen di
Indonesia di masa depan. Perwujudan visi dan misi

58
Sekolah Zending di Indonesia dan Keberlanjutannya Sampai Kini

tersebut akan lebih efisien bila kita mempunyai


organisasi yang dikelola secara profesional oleh
tenaga-tenaga ahli yang profesional. Organisasi
modern ini hanya dapat berdiri dan beroperasi bila
didukung oleh kekuatan-kekuatan dari bawah, yaitu
masyarakat dan individu Kristen itu sendiri, yang
terhimpun dalam gereja-gereja yang ada di Indonesia.
Dengan kutipan ini sekaligus hendak diungkapkan tanggung-
jawab dan kesediaan gereja dan masyarakat Kristen Indonesia
untuk meneruskan usaha dan pelayanan pendidikan yang
sudah dilakukan zending pada masa lalu, demi memenuhi
tugas-panggilan yang Tuhan embankan padanya, dan demi
kesejahteraan masyarakat Indonesia.

59
Luther dan Pendidikan

Kepustakaan Terbatas:

Aritonang, Jan S. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak.


Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.

Boneschansker, J. Het Nederlandsch Zendeling Genootschap


in zijn eerste periode. Leeuwarden: Gerben Dykstra,
1987.

End, Th. van den et al. (eds.), Twee Eeuwen Nederlandse


Zending. Zoetermeer: Boekencentrum, 1997.

Gangel e.a., Kenneth O. Christian Education: Its History and


Philosophy. Chicago: Moody Press, 1983.

Hutauruk, J.R. Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus.


Sejarah 150 Tahun HKBP. Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat
HKBP, 2011.

Kooiman, W.J. Martin Luther (terj.) (Jakarta: BPK Gunung


Mulia, 1973.

Kroeskamp, H. Early Schoolmasters in a Developing Country.


Assen: Van Gorcum, 1974.

Stoefler, Ernst. The Rise of Pietism. Leiden: E.J. Brill, 21971.

. German Pietism during the Eighteenth


Century. Leiden: E.J. Brill, 1973.

Wamea, Decky. Peranan Zending dalam Bidang Pendidikan


1855-1962. Manokwari: GKI Bethel Doom & Sasako
Papua Publisher, 2010.

60
Sekolah Gereja:
Keseimbangan Pengetahuan dan
Spiritualitas

Pdt. Dr. H.R. Panjaitan, D.Min

Pendahuluan
Peradaban manusia semakin dimaknai, dihargai dan
dihormati ketika orang mampu memahami bahwa peradaban
itu adalah bagian yang melekat dalam diri setiap individu
manusia. Peradaban adalah tata nilai (values order) dan tata
laku (action order) dari setiap individu. Manusia bernilai, punya
harkat martabat tergantung bagaimana dia menjunjung dan
menegakkan nilai kemanusiaannya dalam perilaku atau
tindakannya. Peradaban, tentu bermakna lebih luas dan lebih
fokus individual dibanding dengan adat-budaya (culture)
secara maknawi. Adat-budaya tentu berhubungan dengan
norma, hukum atau aturan yang telah disepakati bersama
menjadi acuan bagi seseorang dalam bertindak atau
berperilaku berhubungan dengan (anggota) komunitas.
Peradaban lebih pada nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh
seseorang dan nilai itu dinyatakan dengan perilaku atau
tindakan. Seseorang berpikir atau memunculkan sesuatu di
dalam hatinya adalah berhubungan dengan peradabannya.
Sesuatu yang dipikirkan atau yang muncul di dalam hati itu
akan disosialisasikan kepada orang lain seturut dengan adat-

61
Luther dan Pendidikan

budaya yang dimiliki. Itu sekedar perbandingan pengertian


tentang peradaban dengan adat-budaya.
Peradaban yang menekankan tentang tata nilai dan tata
laku itu akan semakin dipahami dan dimengerti ketika manusia
semakin mempunyai kemampuan yang semakin tinggi secara
kognitif intelektual. Karena, secara logika, bagaimanakah
seseorang dapat memahami nilai kalau kemampuan intelek-
tualnya belum sampai pada tingkat memahami nilai? Kemam-
puan intelektual untuk memahami nilai tentu diperoleh dari
hasil didikan yaitu pengajaran dan pendidikan. Semakin tinggi
hasil didikan yang diperoleh oleh seseorang maka semakin
tinggi pula pemahamannya atas nilai sesuatu termasuk nilai
kemanusiaan. Tentu ada kekecualian bagi mereka yang
abnormal secara moral dan mental.
Semakin tinggi pemahaman atas nilai kemanusiaan, maka
semakin tinggi pulalah nilai, harkat dan martabat kemanusiaan.
Semakin tinggi pemahaman-pemahaman seperti ini, maka akan
semakin terbangunlah karakter-karakter kemanusiaan yang
berorientasi kemanusiaan secara komprehensif, yaitu manusia
seutuhnya dan alam sekitarnya. Sebaliknya, tanpa pemahaman
sebagaimana disebutkan di atas, maka nilai, harkat dan
martabat manusia akan runtuh. Masyarakat menjadi homo
homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya).
Jaman menjadi jaman kekejian dan anti kemanusiaan.
Saya illustrasikan dengan pengalaman-pengalaman suku-
suku bangsa di sekitar kita. Ketika suku Batak belum terdidik
atau belum mengenal sistim pendidikan modern, maka nilai
kemanusiaan tidak mempunyai tempat. Perang dengan saling
membunuh antara satu dengan lainnya sering terjadi. Untuk

62
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

memenangkan perang, maka orang berguru kepada datu atau


dukun. Kemudian, datu atau dukun ini selanjutnya dinamai
orang pintar. Kenyataannya, orang pintar ini bukan
mempunyai tugas dan tanggungjawab agar anak-anak didiknya
mempunyai karakter menghidupkan atau mengasihi, melainkan
agar anak didiknya dapat memenangkan peperangan atau
pertikaian. Nilai, harkat dan martabat perempuan tidak
dihargai. Perempuan ada hanya untuk melahirkan anak. Kalau
perempuan tidak melahirkan anak atau melahirkan anak tetapi
tidak melahirkan anak laki-laki, maka perempuan itu dapat
diganti atau ditambah. Perempuan diperjualbelikan untuk
membayar hutang dan lainnya. Sudah barang tentu, bahwa
didikan seperti ini tidak mengenal pembangunan bangsa Batak
yang bersatu, berkarakter dan menghargai nilai kemanusiaan.
Jaman bangsa Batak ketika itu, kemudian disebut dengan
jaman kegelapan, di mana nilai, harkat dan martabat manusia
tidak dihargai.
Dari pemahaman di atas, maka pendidikanlah menjadi
tiang utama atau soko guru dari pembangunan manusia
seutuhnya, yang kemudian menjadi pembangunan masyarakat,
bangsa dan Negara. Pendidikan terdiri dari pendidikan formal
dan Informal. Pendidikan formal ditempuh dengan pendidikan
terstruktur dan terprogram, sedangkan pendidikan informal
adalah pemahaman yang berdasarkan pengalaman. Sudah
barang tentu, bahwa pendidikan formallah yang berlaku secara
umum atau global, terbuka dan menerobos batas-batas,
sementara pendidikan informal berlaku secara lokal dan
terbatas.

63
Luther dan Pendidikan

Terminologi Pendidikan
Kata pendidikan awalnya dikenal dalam bahasa Yunani
dengan paedagogeis yang terdiri dari dua kata yang disatukan
yaitu paedos= anak; agogesaya=membimbing. Paedagogeis
menjadi berarti memberi bimbingan atau tuntunan kepada
anak. Orang yang memberi bimbingan atau tuntunan itu
kemudian dinamai paedagogos. Paedagogos yang memberi
bimbingan dan tuntunan kepada anak mempunyai tugas dan
pertanggungjawaban yang penuh terhadap anak yang
dibimbing, sebab paedagogos bukan hanya mengajari si anak
dengan memberi pengetahuan dan informasi-informasi sehingga
semakin dewasa dan mampu mandiri, tetapi juga bertanggung-
jawab untuk menjemput si anak dari rumah kemudian
mengantarkannya kembali ke rumah. Kata itu kemudian
diambilalih oleh bahasa Belanda menjadi paedagogiek. Kata
dalam bahasa Inggris untuk pendidikan adalah education yang
bersumber dari bahasa Latin yang berarti menggali hal-hal
yang tersimpan di dalam diri dan jiwa si anak dengan
memberikan tuntunan sehingga si anak akan bertumbuh dan
berkembang dengan baik.1
Dalam kamus Bahasa Indonesia, pendidikan yaitu suatu
pekerjaan mendidik yang memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada subjek didik hingga mampu mandiri,
sehingga dapat menjadi motivator dalam pembangunan
masyarakat.2
Dengan demikian, pendidikan lebih utama adalah tugas
pendidik yang memberi tuntunan kepada anak didik. Pendidik

1.
Amir Daiem Indrakusuma, Ilmu Pendidikan, Malang 1973
2.
Kamus Besar Bahasa Indonesia

64
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

harus tahu betul segala sesuatu berhubungan dengan anak


didiknya. Hal itu menjadi conditione sine quanon (kondisi yang
tidak boleh tidak dipahami) sehingga pendidikan akan berhasil.
Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan
dan kebangsaan.3

Latar Belakang Pendidikan di Gereja


Latar Belakang Ibrani
Tujuan pendidikan di dunia Ibrani ialah melatih manusia
di dalam iman kepada Allah Yahweh, memahami dan menaati
Hukum Perjanjian Lama dan aturan para nabi, serta taat pada
tradisi. Pada jaman itu hukum telah terintegrasi ke dalam
kehidupan orang Yahudi. Pengaruhnya dapat terlihat pada
kehidupan fanatisme kebangsaan, hak orang asing, serta
perlakuan di dalam masalah-masalah khusus seperti perceraian
dan perjinahan. Kerajaan Israel merupakan pendukung utama
pendidikan. Imam-imam suku Lewi, disamping sebagai pelayan
di Bait suci, mereka juga ditetapkan sebagai pengajar rakyat
(2Tawarikh 17:7-9). Salah satu alasan mengapa suku Lewi
dibebaskan dari urusan pertanian dan militer adalah supaya

3.
Depdiknas RI, 2003

65
Luther dan Pendidikan

mereka dapat mengabdikan diri sepenuhnya untuk belajar dan


berpikir.
Allah menggunakan suku Lewi untuk menyampaikan
kebenaran tentang diriNya kepada umatNya. Pertemuan-
pertemuan di sinagoge pada bagian besarnya adalah
pengajaran dengan memakai metode interlogutory yaitu
metode tanya-jawab (Band. Luk.4:16 dst).
Pengajaran rumah-rumah juga merupakan kegiatan
tradisional bagi setiap rumahtangga Yahudi. Ayah bertindak
sebagai tutor bagi seluruh penghuni rumah. Rumah adalah
pusat pengajaran di mana anak-anak diajar tentang hukum
dan penerapannya di dalam hidup mereka sehari-hari. Fokus
pendidikan Ibrani didasarkan pada ajaran: Allah yang Benar
dan Hidup, bahwa segala kehidupan berasal dari Dia dan
dikendalikan oleh Dia.

Latar Belakang Yunani


Yunani sebagai awal dan juga menjadi pusat ilmu filsafat
mempunyai metode pendidikan tersendiri. Metode pendidikan
Yunani melibatkan teori dan praktik. Sasaran pendidikan Yunani
ialah menjadikan setiap individu menjadi seorang pribadi yang
terampil dengan berpendidikan yang baik. Setiap anak didik
diarahkan untuk berpikir bagi dirinya sendiri, hidup dengan
karakter dan moral yang terpuji, serta menjadi warga Negara
yang baik. Sekolah-sekolah Athena sangat menonjolkan
metode pengajaran seperti ini. Sementara pendidikan dengan
metode Sparta lebih menonjolkan sisi-sisi praktis, seperti
persiapan menjadi abdi Negara yang baik dan menjadi militer
yang handal. Pengajaran Sparta digabungkan dengan displin

66
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

yang tinggi serta kebebasan berdialog kemudian dinamai


dengan pendidikan secara catechetical.
Tokoh-tokoh pendidikan pertama Yunani adalah Socrates,
Plato dan Aristoteles. Pendidikan Yunani, sebagaimana juga
pendidikan Ibrani, menggabungkan pemahaman agama dengan
pendidikan, namun fokus utamanya tetap pada manusia, yaitu
mempergunakan pikiran dan latihan phisik.4

Sejarah Pendidikan di Sekolah Gereja


Sejak awal berdirinya persekutuan gereja pada abad
pertama, gereja sudah dimaksudkan menjadi agen pengajaran.
Gereja mengkomunikasikan pengetahuan akan Allah yang
disaksikan oleh Kitab Perjanjian Lama dan yang diperkenalkan
oleh Yesus Kristus. Sebelum naik ke sorga, Yesus memerin-
tahkan kepada para murid supaya mengajar bangsa-bangsa,
suatu pelayanan yang menjadi status confessionis/state of
confession (menjadi suatu pengakuan tugas yang harus
dilaksanakan) hingga masa maranatha (kedatangan Tuhan
Yesus kembali). Hampir dua ribu tahun lamanya pendidikan
sudah memainkan peranan penting dalam pelayanan gereja.
Malahan dapat disebutkan bahwa adanya pendidikan di dalam
gereja menjadi satu indikasi tentang pertumbuhan gereja.
Pada awalnya, fokus pendidikan dalam gereja adalah belajar
Firman Allah. Karena itu, orang yang disebut berpendidikan
pada waktu itu ukurannya ialah kemampuan membaca dan
memahami Firman Allah di dalam Alkitab.5 Orang-orang percaya

4.
Robert E. Clark; Lin Johnson; Allyn K.Sloat (ed); Christian Education:
Foundation for the the Future, Moody Press, Chicago
5.
Robert E.Clark, ibid

67
Luther dan Pendidikan

meneliti Alkitab untuk melihat apakah yang didengar sesuai


dan benar berdasarkan pengajaran Alkitab.
Persfektif sejarah pendidikan di dalam gereja sangat vital
untuk menolong para pendidik Kristen memahami warisan
pengembangan pendidikan. Pemahaman itu memuat: Pertama,
tinjauan sejarah menolong para pendidik - di dalam terang
Firman Tuhan - untuk mengevaluasi: prinsip-prinsip, tujuan,
kurikulum, dan metodologi pendidikan, pada masa lampau.
Kedua, Sejarah menolong para pendidik untuk memahami
pendidikan Kristen yang kontemporer sehingga dapat
membantu mereka mengerti asal-usul dan alasan-alasan
filosofis, curricula dan metodologi pendidikan masa kini. Ketiga,
sejarah menyediakan pandangan pengembangan di masa
depan bagi pendidikan Kristen. Sejarah diperlukan untuk
menstimulasi kegiatan, sehingga dapat membangun dan
menentukan arah ke masa depan. Demikian adanya sejarah
pendidikan Kristen perlu dipahami sehingga pelaksanaan
kegiatan pendidikan Kristen kini dan di masa depan tetap
pada jalur yang benar yaitu pendidikan secara makro, memberi
pemahaman akan kebenaran Firman Allah, yang menciptakan
langit dan bumi dan segala isinya.6

Pendidikan di Sekolah Gereja Hingga Abad ke Empat


Pada masa setelah rasul-rasul di mana gereja sudah mulai
bertumbuh, maka materi pendidikan di dalam gereja dipusatkan
pada pemeliharaan pengajaran Kristus dan ajaran rasul-rasul

6.
William Bean Kennedy, Background Historical Understanding for
Christian Education, N.Y. UTS 1980 p.1

68
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

serta penyebarannya kepada orang lain. Kemudian, muncul


perlawanan terhadap kekristenan, maka pemimpin gereja
mengambilalih pengajaran di gereja. Hakekatnya tetap
berfokus pada kebenaran yang disampaikan Yesus Kristus dan
Rasul-rasul. Hingga abad ke empat, gereja menekankan
teguhnya Kanon Perjanjian Baru, Pengakuan-pengakuan iman,
dan disiplin gereja7. Robert Pazmino mengatakan: Tiga unsur
ini, yaitu Kanon Perjanjian Baru, Pengakuan-pengakuan Iman,
dan Disiplin Gereja berfungsi untuk mempertahankan
kesinambungan ajaran Kristen tanpa distorsi dari pengaruh
pengajaran Hellenistik Romawi yaitu pengajaran yang berciri
kebudayaan dan keagamaan yang pluralistik.8
Pendidikan di sekolah gereja mula-mula itu memberi
tekanan pada peran rumah tangga menjadi tempat utama
pengajaran formal pada kebenaran Alkitab dan penerapannya
dalam kehidupan orang percaya. Sekolah gereja mengadopsi
sistim pendidikan yang catechumenal dan catechetical. Kata
catechesim dan catechumen berasal dari kata Yunani yang
berarti: mengajar atau memberi petunjuk. Metode catechetical
mengikuti pendekatan Socratik. Metode itu mempergunakan
cara tanya-jawab yang mendorong peserta didik untuk berpikir
dan memberi alasan pada jawaban yang diberikan. Guru
mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Inilah metode
yang sangat lajim di dalam masyarakat Yunani.
Sekolah catechumenal mengajar anak-anak dan orang
dewasa para petobat baru dengan pengajaran tentang

7.
Robert W. Pazmino, Foundational Issues in Christian Education, Grand
Rapids, Baker 1988, p. 128
8.
C.B. Eavey, History of Christian Education, Chicago, Moody Press,
1964

69
Luther dan Pendidikan

Perjanjian Lama, tentang Yesus Kristus dan Keselamatan,


serta tentang ajaran-ajaran para rasul. Sekolah-sekolah
dibuka (secara khusus) bagi orang dewasa yang baru bertobat
sehingga mereka dibina dalam satu persekutuan Kristen yang
mengajarkan kebenaran secara benar. Pengajaran dan
pendidikan untuk para petobat baru diinformasikan oleh CB.
Eavey:
Periode persiapan membutuhkan dua atau tiga tahun.
Ada tiga tahapan atau kelas catechumen. Pada saat
tahap pertama dilakukan, mereka disebut pendengar-
pendengar karena mereka dilibatkan untuk mendengar
pengajaran Kitab Suci dan khotbah-khotbah dalam
gereja. Mereka menerima petunjuk dasar dari doktrin-
doktrin dasar dan hal-hal praktis dalam gereja. Mereka
harus menunjukkan kebenaran melalui tingkah laku
untuk menyatakan bahwa mereka telah layak
memasuki kelas dua. Tahapan kedua disebut
kneelers yaitu mereka yang mempraktekkan dan
membiasakan berdoa dengan sujud setelah
mendengar khotbah atau pendidikan. Mereka
menerima pengajaran yang lebih tinggi dan
pemahaman mereka harus dibuktikan dengan cara
hidup yang menyatakan bahwa mereka sudah layak
memasuki tahapan atau kelas ketiga, yaitu mereka
yang disebut murid-murid terpilih. Kepada mereka
diajarkan doktrin yang lebih dalam, liturgy dan cara
kehidupan Kristen yang lebih intensif sebagai
persiapan menerima baptisan. Guru-guru pertama
dalam sekolah ini adalah para bishop dan imam-imam,
kemudian dilanjutkan oleh guru-guru khusus atau
orang awam yang telah dipersiapkan untuk tugas
tersebut. 9
Sekolah catechetical diperuntukkan bagi orang-orang
terdidik pada waktu itu, yaitu mereka yang mencoba

9.
C.B. Eavey, Ibid

70
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

menggabungkan ajaran kekristenan dengan ajaran filsafat di


dalam satu kebudayaan. Argumentasi sering melibatkan atau
mendiskusikan superioritas ajaran kekristenan terhadap
filsafat, sehingga kekristenan menjadi pilihan dasar kehidupan.
Para pelayan gereja yang menjadi pemimpin gereja juga dilatih
di sekolah ini. Sekolah-sekolah ini ada di Alexandria, Antiokhia,
Edessa, Kaesarea, Nisibis, Jerusalem dan Kartage. Setelah
sekolah ini berkembang maka muncullah lagi sekolah episkopal
dan sekolah katedral. Sekolah catechetical yang paling
terkenal adalah yang berada di Alexandria di mana Clemen
dan Origenes sebagai guru dan pengelolanya.10
Menurut CB. Eavey, ada tiga ciri khas pengajaran dan
pendidikan sekolah gereja hingga abad ke lima, yaitu:
1. Mempertahankan ajaran kekristenan dengan cara
pengajaran dari yang paling sederhana hingga pengajaran
yang mampu menjawab kritikan filsafat.
2. Melawan ajaran-ajaran palsu secara eksplisit
3. Mengajarkan penafsiran Alkitab secara benar.11
Justinus Martyr (100166 AD) seorang peserta didik
filsafat, meyakini bahwa ajaran Kristen adalah yang paling
benar dari semua ajaran filsafat. Di dalam pengajarannya dia
dengan sadar menggabungkan pikiran Kristen dengan filsafat
kafir yang ada kesamaan (sebagaimana Paulus mengutip
beberapa kata-kata pujangga Athena/KPR 17, 16 dst).
Tertullianus (150-225 AD) penemu theologia gereja Barat.
Dia tidak menerima seluruhnya pengajaran Justinus Martyr
khususnya tentang filsafat kafir. Dia melihat bahwa ada

10.
C.B. Eavey, Ibid
11.
C.B. Eavey, Ibid

71
Luther dan Pendidikan

bahaya dalam iman dan moralitas yang diungkapkan dengan


puisi-puisi dan sastra serta filsafat kafir, oleh karena itu belajar
tentang kafir harus dapat mendeteksi dan membuang ajaran
yang salah. Ia melawan setiap usaha yang mencoba
mengawinkan filsafat dengan ajaran kekristenan.12
Origenes (185254) seorang penulis dan guru yang paling
berpengaruh di masa perkembangan gereja mula-mula.
Pengaruhnya terlihat di dalam upayanya untuk mengembang-
kan pengajaran doktrin kekristenan tetapi juga mengadopsi
butir-butir pikiran filsafat kafir. Dia mengembangkan sistim
allegoris dalam menafsirkan Alkitab dan upayanya memfor-
mulasi theologi sitematik yang dinamai dengan De Principis.
Pemimpin-pemimpin lain seperti Eusebius (260 340),
Athanasius (295 373), dan Chrysostomus (340 420) adalah
tokoh-tokoh pemimpin gereja Timur. Athanasius adalah murid
yang sangat brillian ketika dia masih belajar. Dia menerima
didikan theologi di Sekolah Catechetical di Alexandria. Eusebius
adalah bapa Sejarah Gereja yang menulis Ecclesiastical History
yang cakupan bahasannya dari masa Rasul-rasul hingga tahun
324. Chrysostomus seorang expositor dan orator, berjuang
menerapkan pendekatan penafsiran literal terhadap Alkitab.
Pemimpin gereja Barat, Jerome menterjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Latin yang disebut Vulgata. Augustinus adalah
pemimpin besar dalam gereja. Karya apologetikanya terhimpun
dalam bukunya De Civitate Dei/City of God. Ia memberi
tekanan tentang kebenaran bahwa manusia adalah mahluk
berdosa yang membutuhkan keselamatan, yaitu keselamatan

Earle E. Cairns, Christianity through the Centuries, Grand Rapids,


12.

Zondervan, 1954 p.161

72
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

oleh anugerah Allah saja di dalam Yesus Kristus yang


dianugerahkan menjadi Juruslamat dan yang diterima melalui
iman saja.13
Intinya, pendidikan di sekolah gereja pada abad-abad
permulaan dilakukan dalam skopus:
1. Memelihara pengajaran Yesus Kristus dan ajaran Rasul-
rasul
2. Dengan menghadapi sikap-sikap kekeliruan dan
perlawanan, oleh para tokoh-tokoh pendidikan di sekolah
gereja mereka dapat merumuskan Pengakuan Iman dan
mendorong pelaksanaan pendidikan Kristen dilakukan
secara proporsional.
3. Mereka membangun suatu tehnik pendidikan yang
menggabungkan pemahaman Kristen dengan budaya dan
pemikiran masyarakat sekitar pada masa itu sehingga
gereja tidak menjadi eksklusif.
4. Kelas pelatihan untuk mengajarkan kebenaran Alkitabiah
dimulai kepada mereka yang menghendaki persekutuan
dengan gereja.
5. Orang-orang yang masuk dalam tugas pelayanan
diupayakan untuk menerima pendidikan setinggi-
tingginya.14

13.
Earle E. Cairns, Ibid p. 173
14.
Earle E. Cairns, Ibid p. 186

73
Luther dan Pendidikan

Kondisi Pendidikan di Sekolah Gereja


dari Abad 5 hingga 14
Dengan naiknya Konstantin Agung menjadi kaisar di Roma,
dia memberi perhatian khusus kepada gereja dan agama
Kristen, malahan menginstruksikan agar semua penduduk di
wilayah kekaisarannya diharuskan memeluk agama Kristen.
Agama penguasa menjadi agama bagi semua penduduk
kekaisaran. Karena itu, rakyat dalam kelompok besar secara
serentak masuk menjadi Kristen. Akibatnya, tidak ada lagi
pengajaran terprogram seperti yang dilakukan sebelumnya
bagi anggota gereja, yaitu pengajaran catechumenal sebagai
persyaratan awal bagi anggota gereja yang baru masuk.
Orang yang baru masuk menjadi anggota gereja umumnya
hanya menerima pengajaran yang sangat sedikit melalui
kebaktian dan lambang-lambang monumental seperti patung,
jendela atau pintu yang dilukis dan symbol-simbol.
Ada kelompok-kelompok kecil yang memisahkan diri, di
mana mereka tertarik untuk pendisplinan rohani khususnya
mereka yang terkait dengan monastisisme. Beberapa kelompok
kecil memisahkan diri dari gereja induk dan membentuk deno-
minasi mereka sendiri yang dinamai Bretheren of Common
Life dan Waldenses.15
Setelah Konstantin Agung, kemudian kaisar di Roma
berganti-ganti dari orang Kristen ke orang Kristen. Seiring
dengan itu gereja melaksanakan pelayanan pengajaran dengan
sangat memprihatinkan. Beberapa pemimpin gereja tidak dilatih
dengan baik, sehingga hasilnya bagi jemaat sangat dirasakan.

15.
Earle E. Cairns, Ibid p. 187

74
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

Peran dan tanggungjawab orangtua di rumah untuk mengajari


anak telah dialihkan kepada gereja, sementara pengajaran
di gereja sangat kurang. Sekolah-sekolah resmi seperti sekolah
catechetical kemudian menjadi sekolah cathedral dan sekolah-
sekolah monastik hanya untuk mempersiapkan orang memasuki
keimaman. Jabatan-jabatan bishop ditetapkan oleh
kekaisaran, dan sekolah-sekolah diselenggarakan di gereja-
gereja besar yang disebut dengan sekolah katedral.
CB. Eavey menyebut bahwa sekolah katedral menjadi
induk dari sekolah tatabahasa. Sekolah tatabahasa adalah
sekolah untuk tingkat dasar. Petunjuk sederhana saja yang
diberikan di sekolah ini termasuk membaca, menulis, pelajaran
musik, berhitung secara sederhana, pengamatan keagamaan
dan petunjuk tingkah laku. Sekolah-sekolah dasar mempunyai
murid laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh imam-imam
paroki, sehinga sekolah ini dinamai sekolah paroki.16
Demikian kondisi sekolah gereja sampai lima ratus tahun
setelah Konstantin.
Abad ke Sembilan, sekolah monastik mulai ditingkatkan
statusnya. Sekolah monastik ini telah menyajikan pendidikan
tingkat tinggi dan juga mengajarkan disiplin hidup yang teratur.
Universitas mulai sekitar tahun 1200. Universitas lahir
sebagai kelanjutan sekolah katedral, di mana ada seorang
guru besar yang diminta oleh beberapa anak didik dewasa
untuk membimbing mereka. Earle Cairns mengatakan bahwa
universitas pada abad 13 adalah sebuah serikat atau
persatuan murid-murid atau guru-guru yang menyatakan satu

16.
C.B. Eavey, Ibid p. 106

75
Luther dan Pendidikan

tujuan yang sama untuk mendapatkan perlindungan umum


ketika mereka bekerja. Semua pelajar mengambil kursus seni,
trivium menjadi gelar kesarjanaan dan quadrivium untuk gelar
magister. Sekolah untuk tingkat yang lebih tinggi ada juga
tersedia untuk bidang theologia, hukum dan kesehatan.
Menghafal dan berpikir secara logik merupakan keahlian
sekolah ini. Universitas yang penting dan terkenal pada abad
itu ialah Universitas Paris dan Bologna.17
Skolastik muncul secara bersama-sama dengan muncul-
nya universitas dan sekolah Introduksi Filsafat Aristoteles di
dalam pendidikan di Barat. Skolastik dapat didefinisikan sebagai
usaha untuk merasionalisasi theologia di dalam hal menggalang
iman melalui akal. Iman dapat ditentukan dengan rasio, karena
skolastik juga mempelajari Alkitab, Pengakuan Iman dan tulisan
bapak-bapak Gereja.18
Pemimpin pendidikan di dalam gereja pada jaman itu ialah:
Thomas Aquinas . Dia mengembangkan theologia sistematik
yang hingga jaman sekarang diadopsi gereja Barat. Aquinas
berkeyakinan bahwa akhir dari theologia adalah Allah, yaitu
Dia (Thou) yang tidak dapat diselami oleh kekuatan akal,
tetapi yang keberadaanNya dapat ditetapkan secara
filosofis. 19 Thomas Aquinas menekankan, bahwa dalam
pendidikan seorang guru harus berpengetahuan komprehensif,
ahli dalam berkomunikasi, dan menyadari bahwa menjadi
pengajar adalah satu panggilan di mana melaluinya umat

17.
Earle E. Cairns, Ibid p. 261
18.
Earle E. Cairns, Ibid p. 251
19.
Kenneth O. Gangel and Warren S. Benson, Christian Education: Its
History and Philosophy, Chicago, Moody Press, 1983, p. 113

76
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

manusia dilayani. Demikian dia meyakini bahwa seorang pelajar


memiliki potensi yang aktip untuk memperoleh pengetahuan
dari yang tidak diketahui sebelumnya dengan cara penemuan-
penemuan hal-hal yang baru.20
Charlemagne. Dia berusaha membangun dan menghidupkan
pendidikan dan meletakkan pekerjaan dasar untuk merevitali-
sasi pendidikan Eropah Barat. Dengan pertolongan Alcuin, dia
menetapkan suatu rencana bahwa akan ada sekolah di setiap
kota sehingga semua orang dapat menikmati pendidikan.21
Ada beberapa hal yang buruk dan yang baik dalam kondisi
pendidikan sekolah gereja antara gereja mula-mula hingga
awal masa Reformasi, yaitu:22
Yang Buruk Yang Baik
1 Tidak ada kritikan dan pengawasan Walaupun banyak orang buta huruf, tetapi
terhadap pelaksanaan pendidikan di ada beberapa gerakan untuk menyediakan
sekolah gereja selama hampir seribu pendidikan bagi masyarakat umum.
tahun. Banyak sekolah-sekolah dibuka di Eropah
seperti di Katedral, biara-biara dan
sekolah-sekolah kota.

2. Pengajaran dan pelatihan yang Tulisan-tulisan bapak-bapak gereja


biasanya dilakukan oleh orangtua bagi dikumpulkan, diperbanyak dan
anak-anaknya di rumah, pada jaman disebarluaskan
selama 1000 tahun ini tidak
ditemukan lagi. Orangtua sudah
melalaikan tanggungjawabnya dan
mempercayakan sepenuhnya
pendidikan anak kepada gereja.

3 Banyak praktek korupsi dan Skolastik sangat menekankan tempat dan


pengabaian dipraktekkan oleh para peranan akal atau penemuan
pimpinan gereja pada waktu itu.

20.
Joan Ellen Duval, Thomas Aquinas: in A History of Religion Education,
ed. By Elmer L. Towns, Grand Rapids, Baker 1975, p. 89
21.
Joan Ellen Duval, Ibid
22.
Kenneth O. Gangel and Warren S. Benson, Ibid p. 114

77
Luther dan Pendidikan

Pendidikan pada masa Renaisance dan Reformasi


Masa Renaisance dan Reformasi tidak secara langsung
mempromosikan pendidikan Kristen, tetapi menolong
membangun panggung bagi terjadinya reformasi. Pada masa
itu, kehidupan beriman dan bergereja serta kehidupan
masyarakat umum yang adalah warga gereja dipandang perlu
untuk diperbaiki, diperbaharui dan diberi arah kehidupan yang
benar. Karena itu, ajaran dan pengajaran gereja perlu
dimurnikan, pemahaman dan perlakuan iman kepada Tuhan
Yesus Kristus perlu dimurnikan. Gerakan renaissance salah
satu upaya untuk merealisasi maksud itu dan secara khusus
di bidang kemasyarakatan.
Tujuan Renaisance adalah untuk menggali kembali budaya
dan seni yang sudah tenggelam. Hal itu berkenaan dengan
penemuan kembali literatur, seni Yunani dan Romawi klasik.
Ide untuk kembali menggali keaslian masa lalu dibawa kepada
orang-orang terpelajar, yaitu mereka yang telah mulai belajar
Kitab Suci asli dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Tujuan
pendidikan di dalam masa reformasi adalah mengajarkan
Alkitab, belajar katekisasi,dan menetapkan prinsip-prinsip
Firman Allah.23

Pokok-Pokok Pendidikan di Sekolah Lutheran


Muncul dan hadirnya para reformator adalah untuk
membawa kemurnian di tengah gereja dan masyarakat. Mereka
bukan untuk mendirikan aliran atau sekte gereja yang baru,
melainkan untuk memperbaharui dan memurnikan ajaran dan

23.
Robert W. Pazmino, Ibid p. 132

78
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

penghayatan tentang iman gereja.24 Pada awal pergerakan


reformasi, para reformator juga memakai sarana pendidikan
untuk menyampaikan pergerakan mereka kepada masyarakat,
sehingga para reformator pada jaman itu dipandang sebagai
pendidik-pendidik yang mampu mengajar di segala bidang.
Mereka menggunakan universitas untuk menyampaikan
pengajaran-pengajaran mereka. Anak-anak diajar tentang
iman melalui kelas katekisasi di dalam gereja dan di sekolah-
sekolah umum yang diadakan di fasilitas-fasilitas gereja.
Secara lambat laun sekolah-sekolah ini menjadi sekolah-sekolah
parochial.
Kurikulum yang dipergunakan oleh gereja Lutheran sejak
awal adalah Ketekismus Augsburg yang dibentuk dalam edisi
Besar dan Kecil. Gereja reformasi lainnya memakai katekismus
Heidelberg, Westminster, dan lain-lain. Katekismus-katekismus
ini berisi seri pertanyaan dan jawaban tentang iman Kristen.
Alkitab adalah sumber utama yang dipergunakan dan diajarkan
dengan metode katekisasi. 25
Tujuan pendidikan menurut Martin Luther ialah melibatkan
semua warga jemaat, khususnya kaum muda dalam rangka
belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka
dan bergembira akan Firman Tuhan Yesus Kristus yang
memerdekakan mereka. Di samping itu, memperlengkapi mereka
dengan sumber iman, kesadaran akan pengalaman berdosa,
Firman tertulis yaitu Alkitab dan rupa-rupa kebudayaan,
sehingga mereka mampu melayani sesama termasuk

Earle E. Cairns, Ibid p. 204


24.

25.
Robert R. Bochlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Pendidikan
agama Kristen dari Plato saqmpai I.G.Loyola, Jakarta BPK, 1994, p.342

79
Luther dan Pendidikan

masyarakat dan Negara serta mengambil bagian dan


bertanggungjawab dalam persekutuan gereja.26
Martin Luther menekankan pada keimamatan orang
percaya dan tanggungjawab pribadi, bahwa setiap orang
Kristen perlu membaca dan belajar menulis jika mereka ingin
belajar Alkitab. Dengan tuntunan Roh Kudus, anggota jemaat
didorong untuk mengevaluasi apakah perkataan dan perbuatan
itu sesuai dengan kebenaran Kitab Suci. Martin Luther
menyarankan agar pemimpin-pemimpin masyarakat mendirikan
sekolah untuk laki-laki dan perempuan di mana masalah
kemanusiaan dan keagamaan dapat dipelajari. Pendidikan
umum, pengajaran bahasa ibu dan melatih pelayanan
yang berpendidikan merupakan ciri khas sekolah
Lutheran pada masa reformasi.27
Strategi pelaksanaan pengajaran di gereja Lutheran pada
masa reformasi dilaksanakan sebagai berikut:28
1. Pengajaran di sekolah dasar dilaksanakan dengan bahasa
murid-murid sendiri
2. Kitab Suci diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh masyarakat sehari-hari
3. Semua orang, kaya dan miskin didorong untuk ikut belajar
sehingga mereka dapat membaca dan belajar Alkitab bagi
diri mereka sendiri dan menjadi warga Negara yang baik.
4. Mereka yang telah menjadi pelayan gereja adalah orang-
orang yang telah mendapat pendidikan yang baik karena

26.
Robert R. Bochlke, Ibid p. 22
27.
Robert R. Bochlke, Ibid p. 23
28.
Uuras Saarnivaara, Phd; Th.D, Luther Discovers the Gospel,
Concordia Publishing House, Saint Louis, 1950, p. xiii

80
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

mereka harus dapat mengajarkan Alkitab dengan hati-


hati dan jelas, dan mereka akan berperan sebagai
pemimpin di tengah masyarakat.

Peran orangtua dalam pengajaran anak


Keberhasilan gereja mula-mula membentuk karakter dan
hidup beriman komunitas Kristen adalah metode pengajaran
rumah. Gereja mengajarkan untuk menaati metode pengajaran
yang difirmankan oleh Tuhan Allah kepada Musa di Mesir.
Tuhan berfirman:
Kamu harus memegang ini sebagai ketetapan sampai
selama-lamanya bagimu dan bagi anak-anakmu. Dan
apabila kamu tiba di negeri yang akan diberikan Tuhan
kepadamu, seperti yang difirmankanNya, maka kamu
harus pelihara ibadah ini. Dan apabila anak-anakmu
berkata kepadamu: Apakah artinya ibadahmu ini?
Maka haruslah kamu berkata: Itulah korban Paskah
bagi Tuhan yang melewati rumah-rumah orang Israel
di Mesir, ketika Ia menulahi orang Mesir, tetapi
menyelamatkan rumah-rumah kita (Keluaran 12:24-
27).

Firman ini kemudian diingatkan oleh Musa kembali


kepada umat Israel ketika umat itu telah mendekati tanah
Kanaan yaitu negeri tujuan perjalanan mereka yang
dipersiapkan Tuhan bagi mereka. Pengulangan firman ini
kemudian menjadi nasehat perpisahan dari Musa kepada umat
Israel ketika Musa telah mengakhiri perjalanannya menuntun
umat Israel sebelum umat itu tiba di negeri perjanjian.
Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan
itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan

81
Luther dan Pendidikan

kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,


haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila
engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang
dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan
apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau
mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan
haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah
engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan
pada pintu gerbangmu (Ulangan 6:4-9).

Di dalam Perjanjian Baru, indikasi pengajaran kepada anak-


anak oleh para orangtua di rumah juga banyak dinyatakan.
Kisah Para Rasul (KPR) 16:1 menjelaskan bahwa Timoteus
telah menjadi seorang yang percaya sebelum bertemu dengan
Paulus. Kepercayaannya tentu diperoleh dari pengajaran oleh
neneknya Lois dan ibunya Eunike (2 Tim. 1:5).
Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal
KItab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan
menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada
Kristus Yesus (2 Tim. 3:15).
Efesus 6:14 mengajar agar anak-anak menghormati
orangtua di dalam Tuhan, karena hal itu merupakan perintah
Tuhan. Perintah itu juga mengandung janji yaitu: supaya kamu
berbahagia dan panjang umur di bumi. Juga menghimbau agar
para bapa tidak membangkitkan amarah di dalam hati anak-
anaknya, tetapi mendidik mereka di dalam ajaran dan nasehat
Tuhan.
Alkitab mendorong para orangtua untuk mendidik dan
mengajar anak-anaknya di rumah. Keluarga Kristen pada masa
gereja mula-mula melakukannya dengan baik di tengah hujatan

82
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

dan propokasi orang-orang Yahudi. Dengan iman dan taat


akan perintah Tuhan untuk mendidik dan mengajar anak-anak
oleh orangtua, tidak sampai dua ratus limapuluh tahun gereja/
keluarga Kristen telah melahirkan seorang yang menjadi
penguasa/kaisar di Roma, yang kemudian memerintahkan agar
semua orang di wilayah kekaisarannya memeluk agama
Kristen.29
Dalam menekankan perlunya pengajaran dan pendidikan
di rumah yang dilakukan oleh orangtua, Martin Luther
menghubungkan dan menekankannya kembali ketika
menjelaskan titah: Hormatilah ayahmu dan ibumu. Dalam
penjelasannya Martin Luther menekankan dua hal, yaitu:30
1. Peran orangtua: Oleh sebab itu, anak-anak harus dididik
menghormati orangtuanya sebagai wakil Allah, dan harus
diingat bahwa walaupun mereka mungkin orang rendah,
miskin dan lemah, atau ada keganjilannya, mereka adalah
ibu dan bapa mereka sendiri, yang diberikan Allah pada
mereka (art.108).
Marilah kita mendidik anak-anak kita untuk membasmi
segala hal-hal lain dari hadapan kita, serta memberikan
tempat utama pada titah ini (art. 115).
2. Kepada Anak: Allah memerintah kita bukan hanya
mengasihi orangtua kita tetapi juga menghormatinya.. ..
Dengan demikian Ia membedakan orangtua di atas semua
orang di dunia ini, dan menempatkan mereka hanya
setingkat di bawahNya. Sebab menghormati ada lebih

Uuras Saarnivaara, Ph.D; Th.D, Ibid p.10


29.

Katekismus Besar DR. Martin Luther, Gereja-gereja Sumatera Utara,


30.

1980, p. 43

83
Luther dan Pendidikan

tinggi dari pada mengasihi. Menghormati bukan hanya


mengasihi tetapi juga menjunjung tinggi, mematuhi,
berkesopanan, ditujukan terhadap keagungan yang
tersembunyi di dalam diri orangtua itu (art. 105-107).

Pendidikan dengan campur tangan Roh Kudus

Pengajaran dan pendidikan di sekolah gereja akan berhasil


guna dan berdampak luas apabila Roh Kudus turut campur
tangan dalam pengajaran dan pendidikan itu. Roh Kudus adalah
Roh Hikmat yang diutus oleh Allah untuk memberi pengertian
dan pemahaman bagi mereka yang beriman dan menerima
keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus ( Yoh.16, 8-11). Setiap
orang yang dinaungi Roh Kudus akan berhikmat dan tahu
segala sesuatu yang akan dilakukan di dalam Tuhan Yesus
sehingga segala sesuatu itu bermakna keselamatan dan
kekekalan. Roh Kudus memakai sarana manusia untuk
mengajar. Orangtua dan guru pengajar dipakai oleh Roh Kudus
untuk mengajar anak-anak. Roh Kudus adalah pribadi yang
memampukan pribadi orangtua atau guru dan anak atau pelajar
untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan kebenaran Allah
bagi perkembangan bersama atau perkembangan individu.
Dalam hal ini Roh Kudus membangun kerjasama yang bersifat
personal (1 Tim. 4:13; 2Tim. 2:2; Tit. 1:9; Mat. 7:24; Ibr. 5:
12; Yak. 1:25). Roh Kudus mengungkapkan bahwa kita adalah
pribadi-pribadi yang dibuat menurut gambar Allah. Ini artinya
bahwa kita dilengkapi dengan intelektualitas, perasaan dan
kehendak (Kej.1:26; Yakub 3:9). Meskipun manusia telah jatuh
dan kehilangan kesucian, gambar Allah masih ada walaupun

84
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

sangat buram karena dosa. Bagi orang-orang percaya di dalam


Kristus, Roh Kudus memperbaharui kebenaran dan kesucian
manusia sesuai dengan gambar Kristus (Ef. 4:24). Hal itu
disempurnakan melalui kelahiran kembali di dalam Dia (Yoh.
3:3+5-6; Tit. 3:5-6). Kristus mengerjakan kehidupan baru di
antara kita sehingga kita bertumbuh lebih menyerupai Dia.
Dalam hal ini Roh Kudus membangun perkembangan pribadi.
Roh Kudus bekerja dalam kehidupan setiap individu. Namun
Dia juga bekerja dalam kehidupan kelompok, kehidupan gereja.
Gereja adalah Tubuh Kristus dan Kristus sendiri sebagai
Kepala. Kebangkitan gereja adalah kemuliaam sang Kepala
(Ef. 1:20-23). Melalui Roh Kudus, Kristus memperlengkapi
tubuhNya dengan karunia-karunia rohani serta kapasitas-
kapasitas untuk melayani sesama dengan berbagai fungsi di
antara umat (1 Kor. 12:4-7; Ef. 4:713). Di dalam tubuh itu
tak satupun anggotanya tanpa karunia. Demikian, tidak
satupun anggota yang dapat berjalan sendiri, semuanya saling
bergantung antara satu dengan yang lain (1 Kor. 12:14-26).
Dalam hubungan antar pribadi yang kompleks seperti ini, maka
hubungan itu bukan hanya antara satu guru dengan satu
murid. Semua anggota tubuh Kristus dan pada waktu yang
sama berperan sebagai pengajar dan sebagai pelajar.
Semuanya harus berbagi dalam fungsi yang berimbang di
bawah kendali Roh Kudus dan dengan karunia-karuniaNya bagi
kesejahteraan seluruh Tubuh (1 Kor. 12:7; Ef. 4:1216).
Dalam hal ini Roh Kudus berperan untuk mengaktipkan
komunikasi antar individu.

85
Luther dan Pendidikan

Aplikasi Pendidikan Yang Intelektual Spiritualitas


Dalam Sekolah Gereja Lutheran Dewasa Ini
Sinyalemen bahwa pendidikan di Indonesia kecende-
rungannya adalah untuk memperoleh gelar atau sekedar untuk
prestige ada benarnya. Mengamati bahwa tingkat pendidikan
Indonesia di tingkat dunia ada di bawah dari lebih separuh
bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa pendidikan
Indonesia tidak dapat bersaing secara Internasional. Tentu
kondisi itu cukup memprihatinkan, sebab mempunyai dampak
yang luas. Di tingkat Internasional, orang Indonesia tidak
akan mendapat tempat sebagai tenaga ahli, tetapi hanya
sebagai tenaga kerja. Di samping itu, lembaga-lembaga
pendidikan Internasional akan menyerbu masuk ke Indonesia
yang akhirnya akan menjadikan bangsa Indonesia terjajah
secara intelektual.
Persoalan pendidikan di negeri kita Indonesia ini seperti-
nya menghadapi kesulitan dan kerumitan. Semua system yang
pernah diberlakukan seperti Ujian Nasional bagi orang yang
mau menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah
dan Seleksi Nasional Memasuki Perguruan Tinggi Negeri belum
menyajikan jalan keluar untuk menuju kemajuan hasil pen-
didikan yang dapat bersaing secara Internasional. Banyaknya
tamatan perguruan tinggi yang tidak memperoleh pekerjaan
formal dan cenderung tidak mampu menciptakan lapangan
pekerjaan sendiri menjadi indikasi bahwa pendidikannya belum
dapat memberikan keterampilan yang dapat mandiri atau
berkompetisi.
Penghargaan-penghargaan yang diberikan pemerintah
khususnya di bidang pengajaran sudah cenderung menciderai

86
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

gelar kesarjanaan. Atas nama sertifikasi, pemerintah kemudian


menganugerahkan gelar Sarjana Pendidikan bagi guru yang
berbasis Sekolah Pendidikan Guru setelah guru tersebut
mengikuti pertemuan dua kali seminggu selama setahun.
Sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah-sekolah yang
dikelola gereja memasuki arena persaingan dengan harapan
bahwa siswa dan mahasiswa akan banyak yang datang belajar,
sehingga mencukupi biaya operasional dan memberi
keuntungan bagi pengelola. Ketika para siswa dan mahasiswa
memilih perguruan yang lebih berkwalitas dan cenderung
lebih murah maka banyak sekolah swasta yang menghadapi
kesulitan. Diharapkan bahwa sekolah-sekolah gereja bukan
menambah rumitnya persaingan pengelolaan pendidikan di
negeri ini, melainkan turut menyumbangkan kwalitas pendidikan
yang dapat bersaing secara global. Pendidikan berkwalitas
tentu membutuhkan biaya operasional tinggi sehingga dapat
menghasilkan alumni-alumni yang mandiri dan bersaing. Untuk
itu, gereja yang mengelola pendidikan tidak seharusnya
membebankan semua biaya operasional kepada siswa atau
mahasiswa. Guru atau pendidik tidak seharusnya ikut
memikirkan biaya operasional sekolah supaya mereka dapat
fokus memberikan pengajaran dan pendidikan yang
berkwalitas.

Ruang Lingkup Pengajaran dan Pendidikan


di Sekolah Gereja
Pengajaran dan Pendidikan yang berhasil guna bagi setiap
anak didik adalah yang mengutamakan pendidikan kognitif,
afektif dan spiritual. Itu berarti bahwa pengajaran dan

87
Luther dan Pendidikan

pendidikan itu mampu mengembangkan pengetahuan


intelektual, kepedulian, pengabdian atau apresiasi dan
berkarakter rohani. Kurikulum yang baik dan berorientasi masa
depan akan dapat memenuhi tuntutan pengembangan kognitif
dan afektif. Untuk memenuhi tuntutan pengajaran dan
pendidikan yang berspiritualitas perlu memadukan tahapan-
tahapan pengajaran dan pendidikan di bawah ini.

Pengajaran dan pendidikan yang berfokus pada Tuhan


Kita meyakini bahwa manusia diciptakan Tuhan berbeda
dengan mahluk lain. Penciptaan manusia berbeda tentu dengan
maksud berbeda pula. Manusia diciptakan supaya menjadi
teman sekerja Allah, kemudian yang memberikan kemuliaan
bagi Tuhan atas semua karya yang diperbuatNya. Di samping
itu, manusia akan menikmati kebersamaannya dengan Tuhan
selamanya.
Pemilihan umat Tuhan juga mempunyai maksud tersendiri.
Bahwa umat Tuhan dipilih untuk menjadi harta kesayangan-
Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang
empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagiKu kerajaan
imam dan bangsa yang kudus (Keluaran 19:5-6). Firman ini
difirmankan Tuhan kepada Musa ketika di gunung Sinai untuk
dikatakan kepada bangsa Israel. Kemudian firman itu
diingatkan kembali oleh rasul Petrus untuk semua orang
percaya kepada Tuhan Yesus dengan mengatakan: Tetapi
kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa
yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang

88
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya


yang ajaib (1Pet. 2:9).
Manusia secara universal, karena diciptakan Tuhan secara
berbeda, maka Tuhan memberi hati nurani yang ingin
mengenal Allah secara benar dan yang rindu untuk memiliki
hidup berbahagia dan berarti sebagai arti hidup yang
sebenarnya. Pembaharuan dan perubahan hidup (transformasi
hidup) diawali ketika seseorang telah menemukan dan mengerti
arti hidupnya. Pengertian ini tidak akan didapat dari hasil
pencarian pemuasan diri sendiri, namun dari hasil pembaharuan
hidup yang disadari sebagai kasih karunia Tuhan dan
didedikasikan untuk kebahagiaan sesama. Menemukan arti
hidup bukan karena pemberian seorang guru, melainkan
sebagai hasil pengalaman pribadi dengan Tuhan. Tentu, guru
dan /atau orangtualah yang menuntun sehingga seseorang
dapat mencapai titik tujuan pengalaman tersebut. Pengajar
dan pendidik Kristen haruslah dapat mengalihkan mata anak
didik sehingga memandang dan berpusat pada Tuhan yang
adalah pusat kehidupannya.31
Tiga hal yang perlu dilakukan seorang pendidik untuk
sampai ke tujuan itu, yaitu:
1. Menuntun anak didik supaya melayani, memuliakan, dan
menyembah Tuhan
2. Melengkapi anak didik supaya memiliki hati seorang Hamba
Tuhan melalui latihan keterampilan

Kenneth Scott Lotourette, A History of Christianity, New York Harper


31.

&Row, 1975.

89
Luther dan Pendidikan

3. Mendorong anak didik supaya bermakna bagi


lingkungannya sehingga membuka pintu anugrah Tuhan
bagi lingkungan si anak.

Memberi pengertian bagi anak didik bahwa mengikut


Yesus adalah yang terbaik
Yesus adalah Anak dari Allah Bapa, yang selalu dengar-
dengaran kepada Allah Bapa dan selalu setia untuk melakukan
kehendak Allah Bapa. Anak didik perlu meniru ketaatan Yesus
untuk melakukan kehendak Allah Bapa. Anak didik perlu
melakukan saat teduh untuk bersama dengan Tuhan,
penyerahan total kepada kekuasaan dan lindungan Tuhan,
sehingga Roh Kudus akan menuntunnya. Dalam hidup sehari-
hari dan dalam hubungan dengan sesama, agar menjaga diri
supaya tidak melakukan tindakan tercela yang tidak disukai
oleh Tuhan

Mengetahui Firman Tuhan dan kemauan


melakukannya
Firman Tuhan adalah penuntun untuk mengetahui prinsip-
prinsip hidup. Anak didik sangat perlu mengetahuinya. Karena
itu, buatlah pelajaran tentang Firman Tuhan itu dengan
sederhana sesuai dengan kemampuan anak didik untuk
mengerti. Penjelasan-penjelasannya sederhana sehingga
menimbulkan kesan bahwa melakukan Firman Tuhan itu tidak
sulit.

90
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

Menuntun untuk melakukan penyembahan yang benar


Gereja yang berdoa dan menyembah Allah di dalam roh
dan kekudusan (Yoh. 4:24) akan memperoleh kuasa yang
dapat mengubah keadaan. Penyembahan yang benar dan
kudus tentu akan dapat dilakukan oleh peserta didik apabila
guru memberikan pemahaman dan memperkenalkan Allah yang
disembah itu secara benar. Pendidikan Kristen yang benar
untuk mengajarkan arti penyembahan yang benar adalah
apabila pelajaran dapat menanamkan kebiasaan untuk mencari
wajah Tuhan dan menikmati hadiratNya. Belajar dan
menyembah merupakan bagian dari proses belajar yang
dihadirkan dalam ruang belajar.

Evaluasi diri
Agar dapat semakin dekat kepada tujuan pendidikan yang
spiritual, maka guru pendidik dan peserta didik harus siap
untuk menguji dan mengevaluasi setiap sisi kehidupan pribadi.
Dengan evaluasi, setiap orang dapat menentukan sikap
hidupnya atas panggilan Tuhan kepada dirinya dilandasi oleh
Firman Tuhan yang sudah dipelajarinya serta dukungan sesama
teman. Evaluasi diri hanya dapat dikatakan berhasil apabila
yang kita inginkan dalam hidup kita diukur dan bersesuaian
dengan Firman Tuhan.

Karakter anak-anak didik Kristen


Setelah pengajaran, maka karakter anak-anak didik akan
terbentuk sesuai dengan makna pengajaran yaitu:

91
Luther dan Pendidikan

Mengingat dengan baik


Salah satu target pengajaran bagi umat Yahudi adalah
mengingat ketetapan Tuhan. Keluaran 12 dan Ulangan 6
menekankan agar setiap orang mengingat ketetapan-
ketetapan Tuhan. Anak didik yang selalu ingat akan Firman
Tuhan akan membuatnya selalu takut akan Tuhan. Dalam
situasi masyarakat yang semakin kompleks, sering anak didik
melupakan ketetapan Tuhan. Karena itu anak didik perlu selalu
mendengar peringataan Tuhan akan semua kebaikan dan
anugrahNya melalui persekutuan dan doa pribadi.

Berpusat pada Tuhan


Dengan Firman yang diberikan kepada umatNya, maka
Tuhan sendirilah yang menjadi Pengajar bagi umatNya dan
umatNya menjadi belajar. Tuhan Yesus memberi pelajaran
supaya orang percaya setiap saat berpusat pada Tuhan yang
memberi kehidupan (Khotbah di Bukit: Matius 5-7).

Mengutamakan persekutuan
Pengajaran dan pendidikan Kristen akan lebih sehat dan
lebih kuat jika di dalamnya ada kehangatan persekutuan kasih.
Persekutuan ini akan memberi pengenalan satu dengan yang
lain dan memberi dukungan untuk perubahan sesuai dengan
kehendak Tuhan. Persekutuan yang sehat akan menimbulkan
rasa memiliki, ada model yang akan ditiru, saling meneguhkan,
saling memacu semangat kerja serta memiliki pengharapan-
pengahrapan positip.

92
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

Rasa kagum dan misteri


Pendidikan Kristen haruslah dilaksanakan dengan
ketakjuban atas segala sesuatu yang dilakukan oleh Tuhan.
Karya Tuhan masih penuh misteri yang harus digali, dan
semua karya itu menimbulkan rasa hormat dan situasi
keindahan. Pendidikan Kristen diupayakan supaya tidak
menimbulkan kebosanan.

Keseimbangan antara dukungan dan tantangan


Pendidikan Kristen sangat memperhatikan perubahan.
Orang lebih cepat berubah jika berada di tengah lingkungan
yang berubah. Perubahan terjadi apabila ada dukungan untuk
perubahan. Guru dan otoritas sekolah Kristen harus selalu
menciptakan perubahan di lingkungan sekolah dan di dalam
ruangan kelas. Keterbukaan peserta didik untuk belajar akan
muncul ketika menyadari bahwa di sekelilingnya ada nuansa
perubahan, dank arena sekolah Kristen maka perubahan adalah
perubahan yang semakin menggapai kebebasan dalam
kebenaran.
Otoritas sekolah dan guru-guru menciptakan suasana di
mana Tuhan yang berkuasa dan berdaulat di lingkungan
sekolah. Dengan memperbanyak doa dan penyembahan, guru
telah menuntun peserta didik untuk menghormati Tuhan dan
juga menunjukkan sikap menghargai sesama. Ketika semua
orang di lingkungan sekolah merasa terhormat dan dihormati,
maka minat belajar akan semakin baik dan tujuan pendidikan
akan lebih pasti untuk dicapai. Komunitas Kristen
mengharapkan sesuatu yang berbeda dan khas dari setiap
sekolah gereja umumnya dan sekolah gereja Lutheran

93
Luther dan Pendidikan

khususnya, di antaranya ialah peserta didik yang mempunyai


kepribadian yang baik, yang ditunjukkan dengan perilaku
mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, rajin bekerja, displiner
dan berkwalitas. Dijauhkanlah perasaan puas untuk sesuatu
yang telah dicapai apalagi sikap ikut-ikutan dan meniru-niru
sekolah umum yang lain. Selalulah berupaya menciptakan
sesuatu yang baru untuk menuntun peserta didik menikmati
pendidikan berkwalitas dan menikmati persekutuan dengan
Tuhan.

Kesimpulan
Ilmu tanpa iman adalah gersang. Iman tanpa ilmu
adalah angan-angan
Pendidikan yang berkwalitas, yang mampu berkompetisi
di semua ruang dan waktu, serta yang mampu mencipta dan
mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia adalah
dambaan atau yang diharapkan oleh semua orang. Kwalitas
pendidikan hanya dapat diukur dengan kebenaran dan kreasi
Tuhan. Karena itu, orang berilmu harus berdedikasi demi
kemuliaan Tuhan dan mengangkat harkat dan martabat
kemanusiaan.
Pada jaman gereja mula-mula kondisi persekutuan masih
sangat kental dan akrab. Menaati titah Tuhan, para orang
tua yang aktip mengajar anak-anak di setiap rumahtangga
merupakan sarana untuk menikmati kebersamaan dengan
Tuhan dan menemukan arti hidup dan merajut cita-cita.
Sebagaimana pengalaman umat Israel selama berada di padang
gurun, orangtualah menjadi guru bagi setiap anak-anaknya.
Orangtualah yang memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak

94
Sekolah Gereja: Keseimbangan Pengetahuan dan Spiritualitas

melalui pengalaman dan segala sesuatu keajaiban yang telah


diperbuat Tuhan bagi mereka. Hasil pendidikan akan dapat
dibuktikan dengan apabila setiap peserta didik mampu
menemukan arti hidup yang berfokus pada kebenaran dan
kebebasan Tuhan.
Ketika komunitas Kristen selama lebih seribu tahun sejak
masa kejayaan kekristenan mulai abad ke lima hingga abad
ke limabelas, melalaikan keterlibatan peran orangtua untuk
mengajar dan mendidik anak-anaknya, maka pengenalan akan
Tuhan semakin berkurang dan pemahaman akan arti hidup
semakin berpusat pada akal pikiran.
Pada masa reformasi, Martin Luther dan kawan-kawan
menghidupkan kembali pengajaran dan pendidikan yang
berbasis rumah tangga. Martin Luther, Johanes Calvin, Johanes
Knox sepakat memahami bahwa peran orangtua dalam
mengajar anak-anak sangatlah besar. Mempergunakan bahasa
ibu di sekolah, menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa
sehari-hari, mendorong semua orang untuk membaca dan
mempelajari Alkitab, serta membina semua orang supaya
menjadi warga Negara yang baik merupakan upaya-upaya
awal yang dilakukan oleh para reformator ini.
Masa sekarang, harus didukung bahwa setiap orangtua
di keluarga Kristen berperan aktip mengajari dan mendidik
anak-anaknya di rumah dan tidak hanya menyerahkan
pengajaran dan pendidikan kepada pihak sekolah atau kepada
guru-guru formal. Sementara itu, setiap sekolah gereja
Lutheran berupaya untuk selalu menciptakan perubahan.
Perubahan suasana lingkungan dan kelas dan perubahan
metode penyampaian materi mengajar demi mencapai tingkat

95
Luther dan Pendidikan

kwalitas yang semakin baik dan berfokus pada anugerah


Tuhan.
Setiap peserta didik diharapkan menjadi pribadi-pribadi
yang berhubungan dengan Tuhan secara mandiri, yang berhati
hamba Tuhan, yang menghormati orangtua dan memahami
serta mengasihi sesama. Menggapai hasil pendidikan yang
berkwalitas dan berdedikasi.

96
Menggagas Kehidupan
Melalui Pendidikan

Ridwin Purba

Pendahuluan
Indonesia menghadapi krisis multidimensi yang sangat
parah. Korupsi yang merajalela baik berskala lokal maupun
nasional melanda Indonesia dan menjadi tontonan keseluruh
masyarakat Indonesia. Kejahatan: pembunuhan, permer-
kosaan, pencurian, perampokan semakin menjadi-jadi seolah-
olah dibiarkan karena tidak ada hukum yang tegas terhadap
pelakunya. Tindakan kekerasan bermoduskan kepada agama
begitu sering terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Geng
motor yang menganggu ketertiban lalu lintas dan kadang-
kadang juga melakukan penyerangan terhadap masyarakat
juga sangat mengganggu ketertiban masyarakat. Selain itu
perkelahian antar kelompok masyarakat, tawuran antar pelajar
memakan korban yang cukup banyak dan penyebaran obat-
obat terlarang yang merusak generasi muda di Negara ini,
menambah daftar panjang peristiwa yang terus menerus
meningkat hingga saat ini dan pelakunya juga bertambah dari
hari ke hari. Kondisi-kondisi seperti ini memperlambat kemajuan
pembangunan karakter generasi muda.

97
Luther dan Pendidikan

Fakta-fakta di atas menimbulkan begitu banyak


pertanyaan dan kadang-kadang bisa menyalahkan dan
menggugat pihak-pihak terkait, karena tidak tegas dan
berhasil untuk bertindak. Kenapa penguasa Negara ini tidak
tegas untuk menegakkan aturan dan peraturan menindak para
pelanggar hukum? Ada apa dengan pendidikan kita saat ini?
Mengapa sekolah-sekolah kita tidak mengajarkan ketrampilan-
ketrampilan yang lebih terpusat pada kebutuhan-kebutuhan
dan kepentingan untuk hidupnya? Bagaimana menjadi warga
Negara yang baik? Bagaimana mengembangkan kemajuan
yang ada pada anak didik? Bagaimana menjadi pegawai yang
baik dan bertanggungjawab? Sejauh mana peranan lembaga-
lembaga agama benar-benar mengarahkan masyarakat
kepada hal-hal yang benar-benar menyejukkan tindakan
mereka?

Pentingnya Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mem-bimbing, mendampingi dan membantu manusia muda agar
mampu secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar
memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan iman dan ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Dengan kata lain pendidikan
bertujuan membantu siswa-siswi mencapai kematangan
pribadi sehingga siswa-siswi menjadi pribadi yang siap untuk
hidup di dalam masyarakat. Namun tujuan ini sering menjadi
kabur karena ditindih dan ditunggangi oleh tujuan-tujuan lain
dari masyarakat yang tidak mau perduli dengan otonomi
pendidikan. Mendidik bukan sekedar menjadikan anak terampil

98
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

secara praktis terhadap lingkungannya, tetapi mendidik juga


berarti membantu anak didik untuk menjadi dirinya dan peka
terhadap lingkungannya. Disinilah perlunya pendidikan moral
yaitu upaya membantu perkembangan kognitif murid untuk
memahami konsep keadilan yang semakin jernih dan matang
sesuai dengan tahap-tahapnya.
Praktek praksis pendidikan nasional kita begitu jauh
meninggalkan dan menanggalkan gagasan dan cita-cita Ki
Hadjar Dewantara. Pendidikan yang memekarkan rasa sebagai
dasar pembentukan manusia berwatak dewasa dan merdeka
begitu jauh ditinggalkan. Akibatnya motto Bhineka Tunggal
Ika yang menjadi formulasi realitas universal dalam visi yang
berkeunggulan bahasa pribumi itupun terasa semakin hambar
dalam realitas penghayatan kehidupan berbangsa dan
bernegara kita belakangan ini
Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan atau sekolah sebagai
pendidikan adalah salah satu penyebab yang kerap sekali
membuat anak murid menderita dan kehilangan masa kanak-
kanaknya. Pendidikan mestinya didasarkan kepada fakta masa
lampau peserta didik, baik perorangan maupun sebagai bangsa.
Peserta didik sebagai pribadi bukanlah suatu tabula rasa.
Kurikulum kita menuntut terlalu banyak dari para siswa-siswi,
bahkan menuntut hal-hal yang tidak terlalu perlu bagi mereka
sehingga memberatkan mereka dan menjenuhkan. Kurikulum
kita juga cendrung menggeneralisasikan para siswa, seakan-
akan mereka mempunyai dan minat yang sama. Siswa-siswi
mempelajari yang belum tentu dengan bakatnya. Akibatnya
siswa tidak menyukai pelajaran itu, menjadi muak dan tidak
bersemangat.

99
Luther dan Pendidikan

Pengetahuan yang Merambah Minat


Hanya segelintir guru matematika yang mencoba
menunjukkan kepada siswanya bagaimana dalil-dalil
matematika bisa membantu mereka dalam pemakaian logika
sehari-hari dan akal sehat. Tidak banyak guru Bahasa Inggris
yang benar-benar menanamkan kepada siswanya tentang
penghargaan terhadap tata bahasa sebagai pintu gerbang
menuju berpikir jenih. Sedikit sekali guru ilmu pengetahuan
yang merasa perlu menunjukkan kepada siswa mereka
bagaimana siswa bisa menerapkan apa yang dipelajari dari
ruang kelas dari pada pemecahan masalah yang kreatif dalam
kehidupan sehari-hari.
Akibatnya siswa-siswi hanya mampu menyerap sesuatu
dalam bentuk abstrak, tanpa pernah melakukannya dalam
prakteknya. Keadaan saat ini memperlihatkan bahwa lulusan
dari jenjang pendidikan kita masih mempunyai permasalahan
pada rendahnya mutu lulusan terhadap dunia kerja. Untuk
bidang kejuruan misalnya, banyak perusahaan yang memilih
lulusan pendidikan umum dari pada pendidikan kejuruan. Tulisan
ini bertujuan memerikan pendidikan untuk hidup yaitu suatu
proses transformasi pendidikan yang menjelaskan pembelajaran
dengan pengalaman hidup langsung. Penekanan berfokus
pada relevansi ketika mengajarkan hal-hal yang dasariah
dan mengajari anak-anak dalam seni hidup. Melalui pendidikan
anak-anak dibantu untuk melihat seluruh kehidupan dalam
rangka mewujudkan kemanusiaannya yang melebar menuju
ruang tanpa batas dan masa depan yang lebih baik, bukan
semata-mata hanya penimbunaan pengetahuan.

100
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

Pendidikan Berbasis Pengalaman


Pendidikan yang diselenggarakan pada saat ini terlalu
banyak mengarahkan siswa kepada teori, bahkan sekolah-
sekolah kejuruan juga lebih banyak memberikan ranah teori
dari pada pengembangan pengalaman yang mereka terima
selama proses belajar mengajar. Betapun penuhnya kepala
anak didik karena dijejali dengan pembelajaran buku,
pemahamannya mengenai segala sesutu dan mengenai
kehidupan secara umum, sama sekali tidak ada kaitannya
dengan pemahaman aktual, apalagi pemahaman tentang diri.
Dimanakah perbedaan antara tokoh-tokoh besar dan
pengajar yang menjelaskan hidup dan penemuan-penemuan
mereka kepada orang lain? Tokoh-tokoh besar yang
sesungguhnya memusatkan perhatiaan pada realitas, namun
para juru penerang mendapatkan pengetahuan dan sistem-
sistem kepercayaan mereka dari buku-buku tentang realitas.
Para petunjuk jalan umat manusia mempunyai tujuan-tujuan
tertentu dalam pikiran, biasanya kebenaran mengenai sesuatu
dan setia untuk mencapai tujuan-tujuan itu dengan sarana
yang paling praktis untuk meraihnya. Mereka tidak sabar
dengan sikap-sikap yang tampaknya menyatakan secara
langsung bahwa cara dalam dirinya sendiri adalah suatu
tujuan yaitu bahwa metode lebih penting daripada hasilnya
dan tidak pernah ada kesimpulan yang final. Dengan demikian
tetap dianggap sementara. Sedangkan bagi pengajar, teori
begitu mengangumkan sehingga kerumitan penalaran dalam
perumusannya sering menggantikan kebutuhan untuk sampai
pada kesimpulan yang tetap apapun.

101
Luther dan Pendidikan

Untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi hidup


secara realistis, pendidikan seharusnya mendorong siswa-
siswi untuk belajar dari hidup itu sendiri. Pendidikan harus
berbasis pengalaman, bukan sekedar teoritis. Siswa-siswi harus
diajari mengamati hasil dari serangkaian tindakan apapun dan
tidak tergantung secara buta kepada pernyataan-pernyataan
orang lain tentang hasil yang seharusnya dan oleh karenanya
hasilnya akan demikian. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep
The Four Pillars of Education yaitu learning to know, learning
to do, learning to be dan learning to live together. Siswa-
siswi tidak hanya mendengarkan uraian yang disampaikan oleh
pengajar, tetapi siswa-siswa akan terdorong dan termotivasi
untuk membangun ketrampilan dan bakat yang ada pada
dirinya.
Pada dasarnya anak suka berbuat, tetapi sering kita tidak
melihatnya sebagai suatu dimensi penting dalam pendidikan.
Perbuatan yang paling disenangi oleh anak-anak adalah
bermain, meniru dan mencoba. Dengan demikian, mereka
belajar berbuat bisa menghasilkan pelbagai kecerdasan yang
maksimal.

Keseimbangan antara Intelektualitas dan Perasaan


Tindakan kekerasan selalu menunjukkan korelasi yang
berbanding terbalik dengan kepekaan rasa. Makin peka rasa
seseorang, berarti makin cerdas budinya, maka dorongan untuk
berlaku kekerasanpun makin terkendali. Sebaliknya makin
tumpul kepekaan rasa, berarti budinya semakin bebal,
manakala kepekaan rasa sudah mati, kekerasan pun akan
mudah tumbuh meledak menjadi anarkhi, malah kebiadaban.

102
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

Kadar intelektualitas berbanding lurus dengan kadar perasaan


sehingga manusia menjadi pintar sekaligus arif, bijak, bukan
menjadi pintar namun durjana. Idealnya setiap ilmu penge-
tahuan pada puncaknya seyogianya dapat membentuk
manusia berwatak. Namun bukan mustahil yang terjadi intelek
tinggi, tetapi kecerdasan perasaan/budi rendah sehingga yang
bersangkutan tidak tumbuh sebagai manusia berwatak
dewasa.
Sifat-sifat umum manusia berwatak adalah berintegritas
antar pikir, kata dan laku; jujur, rendah hati, disiplin, setia,
menahan diri, bertenggangrasa, penuh perhatian, belas kasih,
adil, sabar, rajin, sederhana, taat hukum, berkepedulian,
terhadap manusia lain, terbuka, mau perbedaan dan meng-
hormati keragaman. Watak, memprasyaratkan pentingnya
pengendalian diri justru berakar pada kemampuan mengolah
perasaan secara cerdas. Olah perasaan akan mencapai hasil
apabila didasari oleh dorongan kemauan yang kuat, sehingga
tindak laku tetap berada dalam kendali pikiran yang sehat.
Ada dua jenis pendidikan rasa. Yang pertama adalah
pendidikan etis yaitu rasa religious, rasa sosial, rasa pribadi
dan sebagainya. Pendidikan etis diartikan sebagai rasa cinta
anak didik terhadap agama, rasa cinta nya terhadap hidup
kemanusiaan, terhadap dirinya sendiri dan segala nilai-nilai
hidup manusia sebagai mahluk yang luhur. Sedangkan yang
kedua adalah pendidikan estetis yaitu untuk menghaluskan
perasaan lewat penumbuhan rasa indah. Seni yang dianjurkan
antara lain seni suara, musik, menggambar dengan garis,
menggambar dengan warna, sandiwara, wayang, balet,
sandiwara dan lainnya. Seni yang ditangkap dengan mata

103
Luther dan Pendidikan

merangsang pertumbuhan syaraf otak yang baik untuk


kecerdsasan pikir, sedangkan seni yang ditangkap oleh telinga
seperti nyanyian musik akan disimpan dalam kalbu hati sebagai
pembentuk watak.

Pendidikan Karakter
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan
untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti
berpikir kritis dan alasan moral, perilaku jujur dan bertanggung-
jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi
penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional
yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif
dalam berbagai situasi, dan komitmen untuk berkontribusi
dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakteristik adalah
realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual
sosial, emosional, dan etika). Individu yang berkarakter baik
adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik
bagi hidupnya dan orang lain.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-
nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

104
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang


Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia yang utuh. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stake-
holders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran
dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak
sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi yang
cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi
pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada
gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam tatanan
sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk
memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota
masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan
bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap
memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang
telah menjadi kesepakatan bersama.
Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga
tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu
itulah yang sangat penting karena otak (pikiran) dan kalbu
hati yang paling kuat menggerak seseorang itu bertutur kata
dan bertindak. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati

105
Luther dan Pendidikan

apakah telah memadai wahana pembelajaran memberikan


peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu
mengembangkan sikap-sikap: kejujuran, integritas, komitmen,
kedisipilinan, visioner, dan kemandirian. Sejarah memberikan
pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan,
pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya
yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan.
Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar,
bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri Republik
ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu.
Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa
kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di
dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-
perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan
idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah
Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar
Sumpah Pemuda menegaskan tekad untuk membangun
nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa,
bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika
merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa
sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-
politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut.
Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat
lagi melalui arti simbol Bhineka Tunggal Ika pada lambang
negara Indonesia.
Pendidikan karakter tidak hanya dilakukan dengan
memberikan pendidikan di bidang keimanan. Pembentukan
karakter harus dilakukan secara integratif di semua pelajaran.

106
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

Selain isi materi pembelajaran, metoda atau pola pembelajran


pendidikan karakter akan sangat mempengaruhi pembentukan
karakter siswa. Cara-cara pembelajaran yang demokratis,
menarik, kreatif, dan inovatif akan sangat efektif dalam
membentuk karakter dan watak siswa-siswi. Perlu ditekankan
bahwa pembentukan karakter siswa-siswi adalah masalah
pembentukan kecerdasan emosional, bukan untuk men-
dapatkan nilai yang tinggi, tatapi diarahkan kepada
penguasaan emosi diri sendiri. Kecerdasan semacam inilah
yang akan terwujud dalam kesabaran, keuletan, motivasi diri
dan tangguh dalam menghadapi tantangan.

Membangun Pluralisme
Indonesia adalah negara yang sangat pluralis: agama,
bahasa, budaya, etnis dan lain-lain dan masyarakat Indonesia
sangat akrab dengan diktum Bhineka Tunggal Ika. Sayangnya
diktum itu selama ini hanya menempati kesadaran kognitif
masyarakat kebanyakan dan menjadi lip service saja, tidak
pernah diimplementasikan secara nyata. Akibatnya cita-cita
luhur untuk mencapai masyarakat majemuk yang harmonis,
dimana perbedaan dan keanekaan budaya mampu berfungsi
sebagai sumber daya yang memperkaya pemekaran dan
peradabannya, hingga saat ini masih menjadi impian saja.
Sistem pendidikan di Indonesia yang diwariskan oleh Orde
Baru cenderung memelihara dan meneruskan nilai-nilai dan
sikap-sikap masyarakat patriarkal, kelas menengah, dan
budaya dominan. Sistem pendidikan seperti tidak meng-
apresiasi dan menyantuni pluralisme, melainkan justru mene-
gasikannya sehingga ikut memper tajam segregasi sosial dan

107
Luther dan Pendidikan

mendorong ketegangan antar kelompok dan konflik sekretarian.


Sangatlah mendesak dan strategis untuk segera merumuskan
dan mengimplementasikan paradigma, pendekatan, dan metode
pendidikan yang mampu menyantuni pluralisme sehingga
ketegangan dan pertikaian antar kelompok dapat dikurangi.
Sekolah mempunyai peran besar untuk membentuk
karakter siswa-siswi yang dididiknya secara klasikal dan
menjadi pelita yang menerangi bagi generasi penerus. Sekolah
tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan,
tetapi sekolah berfungsi membentuk akhlak anak didik sehingga
mereka menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur. Secara
langsung maupun tidak langsung, sekolah mentransferkan
budaya, seperti nilai-nilai, sikap, peran dan pola-pola perilaku.
Sekolah harus mengajarkan kepada siswanya untuk
menghargai barang milik orang lain, menghindari kekerasan
dan mematuhi hukum.
Salah satu tugas utama sekolah yang sangat strategi
adalah menanamkan sikap toleran dan inklusif sehingga relasi
antarkelompok yang majemuk dapat terjalin secara harmonis
dan damai. Sikap toleran dan inklusif dalam menghadapi
pluralisme harus dipandang sebagai salah satu indikator
integral dari akhlak atau budi pekerti. Dalam rangka
mewujudkan hubungan antar kelompok yang lebih harmonis
adalah menghilangkan sterotip dan prasangka negatif terhadap
kelompok lain.
Perubahan paradigma dan pola pikir dalam menyikapi
kemajemukan budaya dalam sistem pendidikan perlu
disikapi.Wawasan pluralisme, inklusivisme, toleransi, dan non-
sektarianisme perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto

108
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

kebangsaan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, yang telah lama


diingkari melalui uniformitas yang dipaksakan dalam dominasi
sosial politik Orde Baru dan berlanjut hingga sekarang.
Pendekatan yang bersifat sentralistik menafikan keunikan
daerah yang kaya dengan khasanah kebudayaan dan kurang
memberi ruang tumbuhnya apresiasi terhadap budaya lain.
Nilai-nilai pluralisme dapat dibangun melalui rancangan
kurikulum yang berbasis kepada lintas budaya dan muatan
appresiasi dan toleransi terhadap budaya dan kelompok lain.
Metode belajar mengajar alternatif dengan tujuan agar
masyarakat memiliki sikap inklusif dan toleran terhadap
kemajemukan perlu dikembangkan. Materi programnya berisi
pengetahuan dan kompetensi interrelasi antar budaya yang
menekankan pembelajaran untuk tinggal dan hidup bersama
dengan orang yang berbeda budaya. Proses belajar
mengajarnya dikembangkan dengan memanfaatkan potensi
sosial yang ada pada masyarakat lokal setempat untuk
mengembangkan kompetensi sosial anak didik sehingga anak
didik mampu menciptakan dan memelihara harmoni dalam
hubungan sosial dengan masyarakatnya. Guru yang kompeten
harus mampu memberikan teladan kepada anak didik dalam
menanamkan sikap toleransi pada anak didik dan meng-
akomodasi perbedaan.
Tugas guru adalah menyadarkan para peserta didik akan
prasangka-prasangka yang ada dalam diri mereka masing-
masing, dan menanamkan dalam diri mereka benih-benih
kemampuan untuk mengendalikan prasangka-prasangka tadi.
Ini dapat dicapai dengan mengenali keindahan serta potensi-
potensi untuk hidup harmonis dan kreatif dalam masyarakat

109
Luther dan Pendidikan

yang pluralistik. Jadi, dasar yang dapat dipakai untuk melandasi


pendidikan pluralisme adalah realitas objektif bangsa Indonesia
yang beraneka ragam dan keharusan mengelola
keanekaragaman tersebut secara harmonis dan kreatif,
sehingga keanekaragaman bangsa Indonesia menjadi sesuatu
yang indah. Selanjutnya perlu dikembangkan program
pertukaran budaya melalui sharing perasaan, pengalaman dan
memori kolektif

Membangun Keseimbangan Gender


Ketidakadilan gender yang terjadi di sekolah sering kali
tidak disadari oleh guru, orangtua, murid dan juga murid-
murid sendiri. Para guru merasa bahwa mereka telah memper-
lakukan murid laki-laki dan perempuan secara adil. Guru tidak
mengetahui dan memperhatikan apakah buku-buku pelajaran
yang mereka pakai dan diwajibkan benar-benar adil gender
dan apakah kurikulum yang dipakai benar-benar telah
diberlakukan secara adil? Ketidaktahuan guru diakibatkan tidak
adanya penelitian tentang buku pelajaran atau kurikulum
pendidikan yang diterapkan di sekolah, kurangnya kepekaaan
guru kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender dan guru
tidak berani mendobrak kemapanan yang terjadi selama ini.
Guru kurang memiliki pengalaman di dalam menanamkan
nilai-nilai baru dalam hubungan heteroseksual, dalam
pengasuhan anak di sekolah. Para guru tidak menyadari bahwa
yang lebih banyak disuruh untuk mengerjakan soal matematika
adalah anak laki-laki, yang banyak diseuruh menyanyi adalah
murid perempuan. Guru tidak menyadari anak yang diam,
tidak tunjuk tangan untuk menjawab pertanyaan adalah anak

110
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

perempuan walaupun mereka adalah anak yang cerdas. Itu


disebabkan karena anak perempuan tidak diberi kebebasan di
rumah untuk melakukan sesuatu dan hal itu membuat mereka
merasa malu dan kurang berani untuk menyampaikan pen-
dapat, anak perempuan yang tidak diberi kebebasan di rumah,
anak perempuan yang selalu harus patuh dengan perintah
orang tuanya sehingga kebiasaan terebut akan terbawa ke
sekolah, sehingga mereka tidak berani mengajukan diri kalau
tidak disuruh.
Keadilan gender dapat diwujudkan melalui pendidikan di
rumah, masyarakat dan juga sekolah. Peranan orang tua
sangat menentukan apakah pendidikan yang diterapkan pada
anak perempuan dan anak laki-laki sudah memperhatikan
keadilan gender, apakah anak perempuan diberi kesempatan
yang sama dengan anak laki-laki, apakah anak perempuan
mempunyai kontrol yang sama dengan anak laki-laki, bagaiman
orang tua mengajari anak laki-lakinya atau perempuannya
untuk berperan di sektor domestik secara seimbang.
Domain pendidikan (sekolah) tidak boleh memperlihatkan
pertimbangan mana yang pantas dikerjakan oleh anak laki-
laki dan anak perempuan. Guru harus memperlakukan murid
secara adil gender dan tidak ada diskriminasi yang merugikan
bagi murid perempuan ataupun laki-laki. Revisi buku pelajaran
yang belum berkeadilan gender perlu dilakukan untuk
memperbaiki sistem pendidikan, kurikulum dan isi pelajaran.
Dengan demikian pendidikan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengubah persepsi yang kurang benar terhadap sumber
daya perempuan dan lali-laki. Dalam rangka meningkatkan

111
Luther dan Pendidikan

kesadaran dan kepekaan gender para guru diberikan pelatihan


tentang perspektif gender dalam pendidikan.

Guru yang Memiliki Hati


Bagian ini diuraikan terakhir sekali pada tulisan ini, karena
sebagian besar waktu siswa-siswi dihabiskan di sekolah melalui
interaksi guru dengan siswa-siswi. Guru berdasarkan penelitian
diyakini sebagai salah satu faktor yang akan menentukan
tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan proses
transformasi ilmu pengetahuan dan tehnologi serta internaliasi
etika, kebudayaan, moral, dan keadilan gender. Di dalam
undang-undang, guru adalah pendidik professional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Tidaklah mengherankan
apabila masyarakat sangat perduli dan mengarahkan
perhatiannya kepada guru.
Guru harus mendidik dengan hati, artinya seorang pendidik
dalam menyampaikan keilmuan harus memiliki keilkhlasan dan
kecintaan serta mengedepankan sikap bersahabat,
menyenangkan, empati, konsistensi terhadap komitmen,
antusias, membangun team work, ramah, santun dan sabar.
Mendidik dengan hati bukan hanya siap mengajarkan kepada
anak, namun juga siap mendengar secara reflektif apa pun
yang diucapkan anak. Memahami dan menghargai perasaannya
serta menampakan bahwa kita benar-benar menyimak apa
yang dikatakan, ulangi apa yang dia ucapkan, dan ekspresikan
bahwa kita sedang memikirkan perasaannya, berikan respon

112
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

positif, berikan umpan balik dengan nasihat atau usulan yang


membangun jiwanya.
Kegiatan dan hasil pembelajaran di sekolah akan jauh
berbeda antara pengajaran kognitif dan mendidik dengan hati.
Pengajaran kognitif memberi dampak kepada sulitnya pelajaran
diserap oleh murid. Seringkali kita melihat bahwa murid yang
membenci guru matematika akan membenci pelajaran
matematika. Murid yang membenci guru kimia akan membenci
pelajaran kimia. Mendidik dengan hati memberikan suatu
keyakinan kepada setiap murid, bahwa mereka mampu
berprestasi, bisa berkreasi, dan melakukan yang terbaik.
Kekuatan pancaran hati dari pendidik kepada murid
berpengaruh terhadap utuhnya kesuksesan pendidikan.
Dengan demikian pembelajaran yang bermakna, bukan melulu
guru mengajari ilmu dan fakta (transfer ilmu semata) melainkan
kerja hati yang merupakan kekayaan yang Allah berikan.
Bahasa hati melebihi bahasa tubuh.
Di dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai
pelatih yang mendorong siswanya menguasai ilmu pengetahuan
dan memotivasi mereka untuk bekerja keras dan menghargai
nilai belajar dan pengetahuan. Sebagai pembimbing, guru
berfungsi sebagai sahabat siswa, menjadi teladan dalam
pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakbraban dari
siswa. Sebagai manajer belajar, guru membimbing siswanya
belajar, mengambil prakarsa dan megeluarkan ide-ide baik yang
dimilikinya. Dengan demikian, siswa-siswi diharapkan akan
mampu mengembangkan potensi diri, mengembangkan
kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan
tehnologi yang inovatif, sehingga para siswa mampu bersaing

113
Luther dan Pendidikan

dalam masyarakat global. Dengan kata lain sebagai guru yang


efektif, guru harus mengetahui apa yang akan diajarkan dan
siapa yang diajar.
Program sertifikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka meningkat kualitas guru tidak membuat guru berhenti
mengembangkan dirinya. Guru harus membekali dirinya tentang
pengetahuan tentang konteks pendidikan. Guru yang
bertanggungjawab mestinya secara aktif terlibat dalam
kegiatan-kegiatan pengembangan professional dan
menunjukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus.
Guru harus melibatkan diri ke dalam proses refleksi secara
kritis terhadap paraktek-praktek peningkatan kualitas
pengajaran dan pembelajaran yang juga bisa dilakukan dengan
kerjasama dengan guru yang lain.

Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat melihat bahwa
pendidikan sangat penting di dalam kehidupan dan harus
digagas untuk kehidupan manusia. Pada saat ini, begitu besar
tantangan yang dihadapi oleh siswa-siswa segagai hasil
pengembangan tehnologi informasi dan globalisasi dengan arus
informasi dan keterbukaan yang hampir tidad batas.
Pendidikan harus dipersiapkan secara terencana, terarah dan
sistematis dengan guru-guru yang memiliki hati untuk
membangun manusia yang trampil, siap dan kompeten di dalam
dalam masyarakat. Dengan demikian, siswa-siswi menjadi
manusia yang berkarater, menjunjung pluralisme, dan
menghargai perbedaan gender.

114
Menggagas Kehidupan Melalui Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Brouwer, M.A.W. 2004. Cahaya Hati dan Opera Manusia.


Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2012. Psikologi Pendidikan.


Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Djokopranoto, Richardus. 2011. Filosofi Pendidikan


Indonesia, Rangkaian Esei Masalah Pendidikan.
Jakarta: Penerbit Obor.

Drost, J. I. G. M. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik?


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan (terjemahan).


Yogyakarta: Kanisius.

Hendricks, Howard G. 2012. Mengajar untuk Mengubah


Hidup (terjemahan) .Yogjakarta: Yayasan Gloria.

Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar,


Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta:
Paramadina.

Sinduhunata (editor). 2000. Membuka Masa Depan Anak-


Anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tilaar, H. A. R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan.Magelang:


Indonesiatera.

Tilaar, H.A.R. 2004. Perubahan Sosial dan Pendidikan,


Pengantar Pedagogik Transformatif untuk
Indonesia.. Jakarta: Grasindo.

115
Luther dan Pendidikan

Teknologi Pendidikan;
Sebuah Kemajuan yang Harus
Diimplementasikan Segera Demi
Kemajuan Para Siswa

Sahat Gultom

Teknologi Pendidikan Merubah Cara Belajar


Perubahan lingkungan luar dunia pendidikan, mulai
lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik
mengharuskan dunia pendidikan memikirkan kembali bagaimana
perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi
sosial. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat
mempengaruhi dunia pendidikan adalah hadirnya teknologi
informasi (TI). Teknologi informasi telah menjadi fasilitas
utama bagi kegiatan berbagai sektor kehidupan dimana
memberikan andil besar terhadap perubahanperubahan yang
mendasar pada struktur operasi dan manajemen organisasi,
pendidikan, transportasi, kesehatan dan penelitian.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah
memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya
dalam proses pembelajaran. Dengan berkembangnya
penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses
pembelajaran yaitu: 1. Dari pelatihan ke penampilan, 2. Dari
ruang kelas ke di mana dan kapan saja, 3. Dari kertas ke on
line atau saluran, 4. Fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja,

116
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...

5. Dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai


media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media
komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan
sebagainya. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya
dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan
dengan menggunakan media-media tersebut.

Teknologi dan Hubungannya Dengan Metodologi


Pembelajaran
Kata teknologi sering dipahami oleh orang awam sebagai
sesuatu yang berupa mesin atau hal-hal yang berkaitan
dengan Permesinan, namun sesungguhnya teknologi pendidikan
memiliki makna yang lebih luas, karena teknologi pendidikan
merupakan perpaduan dari unsur manusia, mesin, ide, prosedur,
dan pengelolaannya kemudian pengertian tersebut akan lebih
jelas dengan pengertian bahwa pada hakikatnya teknologi
adalah penerapan dari ilmu atau pengetahuan lain yang
terorganisir ke dalam tugas-tugas praktis. Keberadaan
teknologi harus dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi dan teknologi tidak dapat dipisahkan
dari masalah, sebab teknologi lahir dan dikembangkan untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
Sejalan dengan hal tersebut, maka lahirnya teknologi
pendidikan timbul dari adanya permasalahan dalam pendidikan.
Permasalahan pendidikan yang mencuat saat ini, meliputi
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan
mutu/ kualitas, relevansi dan efisiensi pendidikan.
Permasalahan serius yang masih dirasakan oleh pendidikan
mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi adalah

117
Luther dan Pendidikan

masalah kualitas, tentu saja ini dapat di pecahkan melalui


pendekatan teknologi pendidikan. Terdapat tiga prinsip dasar
dalam teknologi pendidikan sebagai acuan dalam
pengembangan dan pemanfaatannya, yaitu: Pendekatan
sistem, Berorientasi pada siswa, dan Pemanfaatan sumber
belajar. Prinsip pendekatan sistem berarti bahwa
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran perlu desain/
perancangan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dalam
merancang pembelajaran diperlukan langkah-langkah
prosedural meliputi proses: identifikasi masalah, analisis
keadaan, identifikasi tujuan, pengelolaan pembelajaran,
penetapan metode, penetapan media evaluasi pembelajaran.
Prinsip berorientasi pada siswa berarti bahwa dalam
pembelajaran hendaknya memusatkan perhatiannya pada
peserta didik dengan memperhatikan karakteristik, minat,
potensi dari siswa. Prinsip pemanfaatan sumber belajar berarti
dalam pembelajaran siswa hendaknya dapat memanfaatkan
sumber belajar untuk mengakses pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkannya. Satu hal lagi lagi bahwa
teknologi pendidikan adalah satu bidang yang menekankan
pada aspek belajar siswa. Keberhasilan pembelajaran yang
dilakukan dalam satu kegiatan pendidikan adalah bagaimana
siswa dapat belajar, dengan cara mengidentifikasi,
mengembangkan, mengorganisasi, serta menggunakan segala
macam sumber belajar. Dengan demikian upaya pemecahan
masalah dalam pendekatan teknologi pendidikan adalah
dengan mendayagunakan sumber belajar. Hal ini sesuai dengan
ditandai dengan pengubahan istilah dari teknologi pendidikan
menjadi teknologi pembelajaran.

118
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...

Peran Teknologi Informasi Dalam Modernisasi Pendidikan


Ada tiga hal penting yang harus dipikirkan ulang terkait
dengan modernisasi pendidikan: 1. Bagaimana kita belajar
(how people learn); 2. Apa yang kita pelajari (what people
learn); dan 3. Kapan dan dimana kita belajar (where and
when people learn). Dengan mencermati jawaban atas ketiga
pertanyaan ini dan potensi TI yang bisa dimanfaatkan seperti
telah diuraikan sebelumnya, maka peran TI dalam moderninasi
pendidikan dapat dirumuskan. Cara berinteraksi antara guru
dengan siswa sangat menentukan model pembelajaran. Terkait
dengan ini saat ini terjadi perubahan paradigma pembelajaran
terkait dengan ketergantungan terhadap guru dan peran guru
dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran seharusnya
tidak 100% bergantung kepada guru lagi (instructor
dependent) tetapi lebih banyak terpusat kepada siswa
(student-centered learning atau instructor independent).
Guru juga tidak lagi dijadikan satu-satunya rujukan semua
pengetahuan tetapi lebih sebagai fasilitator atau konsultan.
Peranan yang bisa dilakukan TI dalam model pembelajaran ini
sangat jelas. Hadirnya e-learning dengan semua variasi
tingkatannya telah memfasilitasi perubahan ini. Secara umum,
e-learning dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang
disampaikan melalui semua media elektronik termasuk,
Internet, intranet, extranet, satelit, audio/video tape, TV
interaktif, dan CD ROM. E-learning telah mendorong
demokratisasi pengajaran dan proses pembelajaran dengan
memberikan kendali yang lebih besar dalam pembelajaran
kepada siswa. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip
penyelenggaraan pendidikan nasional seperti termaktub dalam

119
Luther dan Pendidikan

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Saat ini, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga telah
memfasilitasi pemanfaatan e-learning sebagai substitusi proses
pembelajaran konvensional. Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 107/U/2001 dengan jelas membuka
koridor untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh di mana
e-learning dapat masuk memainkan peran. Apapun namanya,
dalam era informasi, jarak fisik atau jarak geografis tidak lagi
menjadi faktor dalam hubungan antar manusia atau antar
Sekolah, sehingga jagad ini menjadi suatu dusun semesta
atau Global village. Sehingga sering kita dengar istilah jarak
sudah mati atau distance is dead. Di prediksi penggunaan
Computer-based Multimedia Communication (CMC) yang
bersifat sinkron dan asinkron makin lama makin nyata
kebenarannya. Dari ramalan dan pandangan para cendikiawan
dapat disimpulkan bahwa dengan masuknya pengaruh
globalisasi, pendidikan masa mendatang akan lebih bersifat
terbuka dan dua arah, beragam, multidisipliner, serta terkait
pada produktivitas kerja saat itu juga dan kompetitif. Teknik
pengajaran baru akan bersifat dua arah, kolaboratif, dan inter-
disipliner.

120
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...

Fungsi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam


Pembelajaran
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memilliki tiga fungsi
utama yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, yaitu
1. Teknologi berfungsi sebagai alat (tools) dalam hal ini TIK
digunakan sebagai alat bantu bagi pengguna atau siswa untuk
membantu pembelajaran, misalnya dalam mengolah kata,
mengolah angka, membuat unsur grafis, membuat database,
membuat program administratif untuk siswa, guru dan staf,
data kepegawaian, keuangan dan sebagainya. 2. Teknologi
berfungsi sebagai ilmu pengetahuan (science). Dalam hal ini
teknologi sebagai bagian dari disiplin ilmu yang harus dikuasai
oleh siswa. Misalnya teknologi komputer dipelajari oleh
beberapa jurusan di perguruan tinggi seperti informatika,
manajemen informasi, ilmu komputer. dalam pembelajaran di
sekolah sesuai kurikulum 2006 terdapat mata pelajaran TIK
sebagai ilmu pengetahuan yang harus dikuasai siswa semua
kompetensinya. 3. Teknologi berfungsi sebagai bahan dan
alat bantu untuk pembelajaran (literacy). dalam hal ini teknologi
dimaknai sebagai bahan pembelajaran sekaligus sebagai alat
bantu untuk menguasai sebuah kompetensi berbantuan
komputer. Dalam hal ini komputer telah diprogram sedemikian
rupa sehingga siswa dibimbing secara bertahap dengan
menggunakan prinsip pembelajaran tuntas untuk menguasai
kompetensi dalam hal ini posisi teknologi tidak ubahnya sebagai
guru yang berfungsi sebagai: fasilitator, motivator,
transmiter, dan evaluator. Peran dan fungsi teknologi informasi
dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam manajemen dunia
pendidikan, berdasar studi tentang tujuan pemanfaatan TI

121
Luther dan Pendidikan

ditemukan beberapa tujuan pemanfaatan TI, yaitu 1.


Memperbaiki competitive positioning; 2. Meningkatkan
brand image; 3. Meningkatkan kualitas pembelajaran
dan pengajaran; 4. Meningkatkan kepuasan siswa; 5.
Meningkatkan pendapatan; 6. Memperluas basis siswa;
7. Meningkatkan kualitas pelayanan; 8. Mengurangi
biaya operasi; dan 9. Mengembangkan produk dan
layanan baru. Karenanya, tidak mengherankan jika saat ini
banyak institusi pendidikan di Indonesia yang berlomba-lomba
berinvestasi dalam bidang TI untuk memenangkan persaingan
yang semakin ketat. Maka dari itu untuk memenangkan
pendidikan yang bermutu maka disolusikan untuk tiap tiap
sekolah melakukan pemutakhiran atas Teknologi Informasi.

Faktor-Faktor Pendukung Teknologi Informasi Dalam


Pendidikan
Teknologi informasi yang merupakan bahan pokok dari e-
learning itu sendiri berperan dalam menciptakan pelayanan
yang cepat, akurat, teratur, akuntabel dan terpercaya. Dalam
rangka mencapai tujuan tersebut maka ada beberapa faktor
yang mempengaruhi teknologi informasi yaitu: 1.
Infrastruktur 2. Sumber Daya Manusia 3. Kebijakan 4.
Finansial, dan 5. Konten dan Aplikasi. Maksud dari faktor
diatas adalah agar teknologi informasi dapat berkembang
dengan pesat, pertama dibutuhkan infrastruktur yang
memungkinkan akses informasi di manapun dengan kecepatan
yang mencukupi. Kedua, faktor SDM menuntut ketersediaan
human brain yang menguasai teknologi tinggi. Ketiga, faktor
kebijakan menuntut adanya kebijakan berskala makro dan

122
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...

mikro yang berpihak pada pengembangan teknologi informasi


jangka panjang. Keempat, faktor finansial membutuhkan
adanya sikap positif dari bank dan lembaga keuangan lain
maupun lembaga donor untuk menyokong Sekolah pada sisi
teknologi informasi. Kelima, faktor konten dan aplikasi
menuntut adanya informasi yang sampai pada orang, tempat,
dan waktu yang tepat serta ketersediaan aplikasi untuk
menyampaikan konten tersebut dengan nyaman pada
penggunanya. E-learning yang merupakan salah satu produk
teknologi informasi tentu juga memiliki faktor pendukung dalam
terciptanya pendidikan yang bermutu, adapun faktor-faktor
tersebut; Pertama, harus ada kebijakan sebagai payung yang
antara lain mencakup sistem pembiayaan dan arah
pengembangan. Kedua, pengembangan isi atau materi,
misalnya kurikulum harus berbasis teknologi informasi dan
komunikasi. Dengan demikian, nantinya yang dikembangkan
tak sebatas operasional atau latihan penggunaan komputer.
Ketiga, persiapan tenaga pengajar, dan terakhir, penyediaan
perangkat kerasnya. Perkembangan Teknologi Informasi
memacu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan
dimulai sampai dengan berakhir, kehidupan seperti ini dikenal
dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh
berbagai kebutuhan secara elektronik. Dan sekarang ini sedang
semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan
e seperti e-commerce, e-government, e-education, e-library,
e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversity, dan yang
lainnya lagi yang berbasis elektronika diramalkan bahwa
pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes (flexible),
terbuka, dan dapat diakses oleh siapapun juga yang

123
Luther dan Pendidikan

memerlukan tanpa pandang faktor jenis, usia, maupun


pengalaman pendidikan sebelumnya. Saya berpendapat bahwa
pendidikan mendatang akan lebih ditentukan informasi
interaktif, seperti CD-ROM Multimedia dan Internet dalam
pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan Video.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dalam
bidang pendidikan, maka pada saat ini sudah dimungkinkan
untuk diadakan belajar jarak jauh dengan menggunakan media
internet untuk menghubungkan antara siswa dengan Gurunya,
melihat nilai siswa secara online, mengecek keuangan, melihat
jadwal mata pelajaran, mengirimkan berkas tugas yang
diberikan guru dan sebagainya, semuanya itu sudah dapat
dilakukan.

Masalah Dan Hambatan Dalam Penggunaan Teknologi


Informasi
Seperti teknologi lain yang telah hadir ke muka bumi ini,
TI juga hadir dengan dialektika. Selain membawa banyak
potensi manfaat, kehadiran TI juga dapat membawa masalah.
Khususnya Internet, penyebaran informasi yang tidak mungkin
terkendalikan telah membuka akses terhadap informasi yang
tidak bermanfaat dan merusak moral. Karenanya, penyiapan
etika siswa juga perlu dilakukan. Etika yang terinternalinasi
dalam jiwa siswa adalah firewall terkuat dalam menghadang
serangan informasi yang tidak berguna. Masalah lain yang
muncul terkait asimetri akses; akses yang tidak merata. Hal
ini akan menjadikan kesenjangan digital (digital divide) semakin
lebar antara siswa atau sekolah dengan dukungan sumberdaya
yang kuat dengan siswa atau sekolah dengan sumberdaya

124
Teknologi Pendidikan; Sebuah Kemajuan yang Harus Diimplementasikan Segera ...

yang terbatas. Minimal, hal ini memberikan sinyal adanya


kesenjangan digital antar kelompok dalam masyarakat, baik
dikategorikan menurut lokasi geografis maupun tingkat
ekonomi. Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan
bahwa sebanyak 90% SMU dan 95% SMK telah memiliki
komputer. Namun demikian, kurang dari 25% SMU dan 10%
SMK yang telah terhubungan dengan Internet. Secara
keseluruhan statistik ini menunjukkan bahwa adopsi TI dalam
dunia pendidikan di Indonesia masih rendah. Tulisan singkat
ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
terkait dengan a) Bagaimana seharusnya kita memandang
TI, termasuk potensi apa yang ditawarkan oleh TI; dan b)
bagaimana peran TI dalam modernisasi/reformasi pendidikan.
Untuk masalah kesenjangan ini, semua pihak (e.g. pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), dunia pendidikan, dan
Pihak yang memiliki concern dengan dunia pendidikan) dapat
mulai memikirkan program untuk meningkatkan dan
memeratakan akses terhadap teknologi informasi di dunia
pendidikan. Salah satu contoh adalah Program yang difasilitasi
oleh Sekolah2000 dengan membagikan komputer layak pakai
ke sekolah-sekolah adalah sebuah contoh menarik. Tentu saja
program seperti ini harus diikuti dengan penyiapan infrastruktur
lain seperti listrik dan telepon. Pelatihan-pelatihan untuk
meningkatkan melek (literacy) TI juga pintu masuk lain yang
perlu dipikirkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap
potensi TI, yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan
kesadaran (awareness). Tanpa awareness, pemanfaatan TI
tidak optimal, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi sulit untuk
berkelanjutan (sustainable). Dalam kaitan ini, program untuk

125
Luther dan Pendidikan

peningkatan awareness yang berkelanjutan seperti pendidikan


berkelanjutan lewat berbagai media (e.g. pelatihan
konvensional dan media massa) dan lomba website sekolah
misalnya merupakan sebuah alternatif yang perlu dipikirkan.
Akhir kata, lambat laun setiap sekolah akan dinilai
kualitasnya dari penerapannya terhadap TIK. Sayangnya,
pemerataan akan pengimplementasiannya untuk keseluruhan
Sekolah di Indonesia masih menjadi persoalan yang tidak
mudah dijawab.

126
Proses Pertumbuhan Kemajuan
Perempuan Batak

Alida Nababan-Lbn. Tobing, MSc

I. PENDAHULUAN
Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pendidikan
Perempuan Gereja (PG) ialah kegiatan belajar-mengajar yang
diselenggarakan oleh gereja dengan tujuan untuk men-
dewasakan iman, akal budi, pengetahuan dan keterampilan
anggota jemaat perempuan agar semakin mampu menghadapi
permasalahan dalam kehidupannya.
Sejak datangnya missionaries ke tanah Batak sudah
disadari bahwa pendidikan adalah jalan untuk memajukan
seseorang. Oleh karena itulah tahun 1889 Nn. Hester
Needhann dibantu Nn. Tora dan Nn. Domi (seorang pribumi)
memulai pendidikan untuk anak perempuan di Mandailing yang
saat itu masih sangat terbelakang. Pendidikan perempuan
dilakukan oleh Zr Nieman yang melayani di Toba dan Zr Elfrieda
Harder, beliau mulai dengan pengajaran Alkitab kepada
perempuan di Laguboti tempat Sekolah Bibelvrouw sekarang
ini. Kepada para perempuan itu mereka kemudian mengajarkan
kebersihan, keterampilan mengurus rumah tangga di samping
Firman Tuhan. Disamping itu sudah banyak juga perempuan
batak yang telah bersekolah umum, yang disebut sekolah

127
Luther dan Pendidikan

Zending (Sekolah Dasar) dan kemudian mereka melanjutkan


sekolahnya ke Sumatra Barat, Sumatra Timur dan Pulau Jawa;
umumnya mereka ingin menjadi jadi guru dan perawat sesuai
dengan kebutuhan waktu itu.
Pendidikan bertujuan untuk memberdayakan seseorang.
Konsep pendidikan pada zaman itu, bila sudah memperoleh
pendidikan yang baik, seorang perempuan dapat mensejahte-
rakan keluarga, merawat dan mendidik anaknya dengan baik.
Ini berarti pendidikan kaum perempuan dapat mempengaruhi
generasi penerus. Semakin baik pendidikan kaum perempuan,
maka akan semakin terjamin kehidupan generasi mendatang.
Sejak saat itu gereja memulai peran pendidikan dan
pembinaan bagi kaum perempuan. Karena dengan demikian
diharapkan perempuan mau dan mampu mengubah dirinya,
keluarga dan masyarakat sesuai dengan tugas dan panggilan
gereja.
Oleh karena inti kegiatan pendidikan adalah belajar, maka
pada pembahasan berikut, istilah kegiatan belajar atau pun
pembinaan sering dipakai sebagai gambaran untuk menunjuk-
kan bagian dari proses pendidikan itu.
Tentunya kita tidak tinggal dalam sejarah atau proses
pendidikan bagi kaum perempuan namun penulis juga menya-
rankan hal yang untuk mempercepat kemajuan serta men-
dorong melalui program-program untuk pendidikan Perempuan
Gereja, khususnya.

128
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

II. IRAMA PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN


GEREJA
Secara umum bangsa Indonesia menikmati pendidikan
yang terus membaik, tetapi kegiatan belajar-mengajar di
gereja-gereja, mengalami irama. Artinya ada kalanya pada
satu kurun waktu maju, namun kemudian hampir tidak bergerak
atau berjalan di tempat seperti yang kita alami belakang ini.
Antara tahun 1975-1984 Womens desk di (LWF) Lutheran
World Federation telah mengadakan latihan kepemimpinan
untuk perempuan dari semua anggota LWF yang ada di
Indonesia.
Persekutuan Wanita Gereja Lutheran juga mengadakan
Pertemuan Wanita di Sukabumi yang sudah mencakup utusan-
utusan perempuan dari seluruh gereja-gereja anggota LWF.
Disitu peserta diberi kesadaran akan masalah dan keterbela-
kangan perempuan. Mereka bisa melihat bahwa gereja mencari
keadilan, tetapi gereja sendiri ternyata belum menerima wanita
menjadi anggota majelis, apalagi menjadi pendeta. Pertemuan
ini dan pertemuan berikutnya menjadi ajang pertukaran
pengalaman, tempat saling mendukung dan mencari cara
membangunkan wanita agar turut berperan lebih banyak dalam
gereja. Banyak pejabat gereja (tentu bapak-bapak) yang
mengerti keterbelakangan yang dialami perempuan. Oleh
karena itu mereka mendukung apa yang diperjuangkan wanita
pada waktu itu. Akibatnya satu demi satu gereja mengamen-
demen Aturan dan Peraturan Gerejanya yang memungkinkan
wanita di tahbiskan menjadi majelis dan pendeta.
Tahun Wanita Internasional tahun 1975 oleh (PBB) men-
dorong Perempuan Gereja mengadakan banyak kegiatan-

129
Luther dan Pendidikan

kegiatan seperti latihan kepemimpinan dan pertemuan raya


wanita gereja, secara regional, nasional dan internasional
yang tujuannya membangunkan para perempuan gereja di
seluruh dunia. Kemudian ada Dekade Oikumenis Gereja-gereja
dalam bersolidaritas dengan wanita oleh DGD (Dewan Gereja-
Gereja Sedunia) ini terjadi dari tahun 1988-1998. Temanya,
perempuan gereja terpanggil untuk turut berpatisipasi ber-
sama laki-laki dalam kehidupan gereja dan masyarakat untuk
mengusahakan keadilan, perdamaian. dan keutuhan ciptaan
yang kita sebut lingkungan hidup. Diserukan juga agar
membaharui pemahaman tentang Firman Tuhan, bahwa Tuhan
menciptakan manusia laki-laki dan perempuan segambar
dengan Dia (Kel l:27).
Di samping pengaruh luar yang disebut di atas, intensitas
program Pendidikan Perempuan Gereja tergantung pada
pimpinan gereja pada satu periode termasuk pengurus seksi/
persekutuan perempuan. Bila mereka telah pernah mengikuti
pertemuan/konsultasi bersama dengan tokoh-tokoh
perjuangan perempuan dan telah medapat pencerahan baru
secara teologis maka akan memperhatikan Pendidikan
Perempuan Gereja. Perhatian bahkan keberpihakan Pimpinan
suatu gereja akan perlunya memberdayakan perempuan adalah
modal utama untuk mempromosikan perempuan serta
program-programnya pada suatu gereja. Hal ini tidak hendak
mengatakan bahwa perempuan tidak dapat berdiri sendiri untuk
memajukan dirinya, namun rantai ketidakadilan yang selama
ini dianggap sebagai yag sudah baku, harus diputuskan yaitu
melalui pimpinan yang dapat melihat bahwa perempuan adalah
tenan sekerja Yesus juga yang dapat bersama-sama dengan

130
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

laki-laki untuk menyelenggarakan pelayanan atau mendapat-


kan pendidikan. (Sebagai contoh bisa kita telusuri siapa
pimpinan sewaktu diadakan perubahan Aturan dan Peraturan
gereja kita masing-masing dan yang membuka kesempatan
untuk perempuan menjadi pendeta. Waktu kepemimpinan siapa
banyak program perempuan yang berbobot disetujui dan
dilaksanakan? Dapat dipastikan bahwa pemimpin ini mengerti
pentingnya pemberdayaan perempuan agar gereja Tuhan
berkembang).
Walaupun Gereja telah menerima perempuan turut dalam
pelayanan Gereja, sebagai anggota majelis dan pendeta,
namun Gereja mencakup pimpinan perempuan jemaat,
bibelvrouw, diakones dan pimpinan Seksi Perempuan tidak
berbuat banyak dalam peningkatan pembinaan perempuan
sesuai dengan peningkatan permasalahan yang mereka alami
sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari program Seksi Perempuan
di jemaat, resort, distrik dan sinode, baik dari segi kwantitas
atau pun kwalitas.
Apalagi belakangan ini ada pembagian pelayanan dalam
3 bidang. Marturia Koinonia dan Diakonia. Bila dulu ada seksi
pendidikan di dalam organisasi Seksi Perempuan maka
belakangan telah terlebur dengan Pelayanan Koinonia Umum,
sehingga kebutuhan khusus dan untuk mengejar keterbe-
lakangan perempuan dari laki-laki tidak lagi terpenuhi. Apa
lagi dengan maraknya program PESPARAWI maka ternina
bobolah perempuan untuk mendukung acara ini. Lupa visi
pembinaan untuk peningkatan peranan perempuan karena
waktu, dana dan perhatian tertumpah untuk PESPARAWI
tersebut.

131
Luther dan Pendidikan

Menyimak Pemahaman Alkitab yang hamper setiapminggu


dilakukan oleh semua gereja kepada seksi perempuan, dinilai
kurang efektif. Dalam kegiatan ini,perempuan hanya aktif
sebagai pendengar dan sangat kurang untuk merespon apalagi
menyumbangkan pikiran-pikirannya. Selayaknya kebaktian
Minggu, demikian jugalah pemahaman Alkitab ini dilakukan,
dimana perempuan mendengar apa yang disampaikan oleh
sang pelayan, kemudian hamper-hampir tidak ada Tanya jawab.
Selayaknya perteman-pertemuan seperti itu dapat menjadi
tempat untuk saling berbagi dan menyapaikan usul-usul
bahkan memikirkan banyak hal guna memperjuangkan
kebutuhan perempuan. Belakangan ada kegiatan baru yang
dinamai WISATA ROHANI. Tentu baik menambah cakrawala,
tetapi hendaknya dibarengi dengan misi yang jelas dan
persiapan yang baik. Wisata Rohani diadakan bukan sekedar
anjangsana dan berakhir dengan shopping, namun tujuan
sebenarnya adalah bagaimana kelompok perempuan belajar
menghubungkan kehidupan sehari-harinya dan yang didapat-
kan selama berwisata dengan kehidupan spiritualitasnya.

III. PROSES PENDIDIKAN DI GEREJA


Untuk menggiatkan program pendidikan di gereja dan
untuk memaksimalkan hasilnya, hal-hal berikut harus menjadi
persyaratan:

1. Komitmen Pimpinan
Perencanaan dimulai dengan perolehan persetujuan dan
dukungan pimpinan. Pimpinan harus ingat bahwa
pendidikan/pembinaan adalah tugas utama gereja, yaitu

132
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

memperlengkapi warganya menjadi manusia yang


seutuhnya (holistic). Komitment pimpinan tercermin dalam
perencanaan tahunan dan lima tahunan. Gereja yang
memperioritaskan pendidikan/pembinaan harus menyusun
strategy termasuk menyiapkan dana serta Sumber Daya
Manusia yang mempunyai kemampuan untuk menyeleng-
garakan program-program pendidikan. Bandingkan upaya
gereja dengan upaya pemerintahan dalam pengalokasian
dana untuk pendidikan di RAPBN dan tuntutan 30% jatah
perempuan yang duduk di DPR. Jadi tanpa komitment
pimpinan, program pendidikan tercecer dan asal-asalan.
2. Identifikasi Kebutuhan Belajar
Setiap gereja harus memiliki gambaran yang jelas
mengenai apa saja kegiatan belajar yang dibutuhkan
jemaat untuk setiap kategorial termasuk perempuan.
Kebutuhan akan program belajar timbul dari masalah-
masalah yang dihadapi masyarakat, gereja dan individu.
Pemimpin harus bisa menganalisa masalah dan menen-
tukan program pendidikan yang diperlukan untuk menye-
lesaikan masalah itu. Namun demikian, jemaat juga bisa
menyatakan apa program yang mereka kehendaki. Agar
gereja bisa mempunyai peta dari kebutuhan belajar, maka
gereja dianjurkan secara berkala mengadakan survey.
Berikut contoh questioner yang dapat dipakai gereja untuk
menyusun rencana program pendidikan:

133
Luther dan Pendidikan

SURVEY KEBUTUHAN BELAJAR

Nama : ___________
Umur : ___________
Alamat : ___________

I. Mohon beri tanda () bidang yang anda ingin pelajari bila ada
peluang :
() Kerohanian/teologia
(...) Kepemimpinan
(...) Administrasi keuangan
() Keluarga sejahtera
() Hobi/rekreasi
() Kesehatan
() Keterampilan kerja
() Pertanian/pertamanan
() Peternakan kecil-kecilan
() Lansia yang sejahtera
() Menulis/baca
II. Sebutkan bidang lain yang belum dicantumkan diatas:
















































































III. Mohon gambarkan lebih rinci/khusus, apa yang anda ingin
pelajari lebih jauh:






































































































3. Perencanaan dan Proposal Untuk Program Pendidikan


Tanpa perencanaan maka pelaksanaan, sasaran dan hasil
pendidikan akan tidak jelas. Kelangsungan program
pendidikan juga pasti tidak terjamin atau menjadi macat
kalau tidak ada perencanaan. Sering sekali penanggung-
jawab program pendidikan menyepelekan peranan atau
menghindari melakukan perencanaan karena tidak tahu

134
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

caranya atau tidak mau repot. Bila mau berhasil gereja


harus memiliki pengetahuan dan kemampuan membuat
rencana pendidikan. Disamping itu, sering terjadi gereja
mempunyai dana tapi program pendidikan tidak diseleng-
garakan karena petugas terkait tidak terampil menyusun
proposal yang menunjukkan perencanaan pendidikan.
Berikut model perencanaan pelatihan menggambarkan
langkah-langkah yang harus diikuti atau dipertimbangkan.
Model ini bisa digunakan untuk kegiatan belajar yang
lain dengan sedikit penyesuaian.

Analisa Tentukan Desain


Masalah Kebutuhan Program
Latihan Latihan

-Lihat penyebabnya -Uraikan perilaku hasil


latihan
-Pelajari penyelesaian
dengan latihan

Laksanakan
Latihan

Evaluasi Sempurnakan
Latihan Latihan

Ringkasan dari uraian perencanaan satu program belajar


bisa menjadi isi dari proposal. Tentunya dengan
menambahkan penyelenggaranya.
4. Identifikasi Sumber dan Sarana Belajar
Gereja harus mengenal berbagai keahlian yang dimiliki
oleh jemaatnya, untuk ini gereja bisa memanfaatkan
sistem talent bank yang mengumpulkan nama anggota

135
Luther dan Pendidikan

jemaat yang mempunyai keahlian khusus yang disempur-


nakan secara berkala. SDM yang mempunyai keahlian
didorong untuk berbagi pengetahuannya dengan jemaat
lain dalam bentuk narasumber di program belajar/pem-
binaan. Disamping itu gereja boleh menginventarisasi apa
yang sedang diminati komunitas, misalnya membuat
kerajinan tas, bordir, budidaya ikan lele, pemeliharaan
tanaman hias, hidroponik dan lain-lain. Kunjungan ke
tempat-tempat tersebut dapat menjadi kegiatan belajar.
Jadi tempat kegiatan belajar tidak terbatas di lingkungan
gereja tetapi diseluruh komunitas seperti di sekolah,
rumah, balai pertemuan bahkan rumah makan sebagai
tempat belajar.
5. Metoda dan Teknik Belajar
Kita sudah sering mendengar agar kegiatan belajar bisa
efektif, teknik belajar harus dapat mendorong peserta
belajar aktif. Alasannya peserta adalah perempuan
dewasa yang mempunyai pengalaman, dan pengalaman
mereka harus bisa dihubungkan dengan materi pembela-
jaran. Jadi kalau memakai teknik yang monolog akan sulit
bagi peserta untuk menghubungkan pengalaman dan
pembelajaran mereka. Disamping itu, memakai teknik kuliah
sering membosankan peserta dan akhirnya menghambat
pencapaian hasil yang maksimal dan menurunkan minat
belajar mereka. Berikut adalah gambaran teknik belajar
yang sesuai dengan jenis pembelajaran:

136
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

Penekanan Pada Perubahan/Peningkatan Teknik Belajar yang Sesuai


- Kuliah, membaca buku, menonton
Pengetahuan/info tv/film, dialog, interview, Seminar,
Ceramah, Diskusi
- Studi kasus, dramatisasi, role play,
diskusi, dialog, games, observasi
Pemahaman
lapangan, problem solving-discussion,
menonton film/tv
- Drill, peragaan, latihan, praktek syudi
kasus, workshop
Ketrampilan Sikap
- Sharing, diskusi kelompok, role play,
penyampaian kesaksian, t-group
- Tv, Kuliah, sermon, debat simposium,
Nilainilai diskusi yang diarahkan, sharing
pengalaman, role play, t-group
- Tv, demontrasi, film, gambar, sharing
Hobby pengalaman, diskusi, kunjungan,
exhibiton

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan hal penting juga dari pendidika.
Evaluasi sangatlah penting untuk memaksimalkan hasil
atau menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan. Jadi
evaluasi bisa dilakukan pada akhir kegiatan atau ditengah-
tengah kegiatan oleh peserta maupun penyelenggara.
Bagian yang dievaluasi mencakup pembelajaran dan
penyelenggaraannya. Dari evaluasi dapat dinilai sejauh-
mana pendidikan tersebut berhasil guna. Selanjutnya,
evaluasi merupakan alat ukur untuk melanjutkan program
atau kegiatan. Dengan demikian hasil evaluasi dapat
dipakai sebagai ukuran pembelajaran yang telah tercapai
atau sebaliknya.
Diharapkan untuk mencapai hasil maksimal dari suatu
program atau kegiatan, evaluasi memunyai peranan
penting dari seorang pimpinan untuk kelanjutan suatu
proses pertumbuhan. Berbagai metode evaluasi dapat

137
Luther dan Pendidikan

dipakai untuk mengetahui pencapaian suatu program atau


kegiatan. Salah satu bentuk metode evaluasi yang paling
sederhana adalah dengan berbagi pengalaan kepada
peserta atau melalui bahan tulisan yang dapat dijawab
dengan memilih/melingkari jawaban. Di bawah ini adalah
salah satu contoh bahan evalasi dengan elingkari
jawaban:
1. Pada pertemuan ini saya belajar:
a. banyak sekali
b. banyak
c. sedikit
d. tidak ada
2. Secara umum pertemuan:
a. bagus sekali
b. bagus
c. biasa
d. buruk
3. Saya pulang dengan perasaan:
a. ingin tahu lebih banyak
b. biasa saja
c. kecewa
d. frustasi

IV. SASARAN-SASARAN PENDIDIKAN


Melalui program pendidikan Perempuan Gereja diharapkan
terjadi proses pertumbuhan iman, intelektual dan pengalaman
anggotanya agar menjadi manusia yang dewasa yang beriman
dan kompeten, bertanggung jawab dan mempunyai

138
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

keperdulian terhadap sesama dan lingkungannya. Bukan pribadi


yang ikut-ikutan.
Maslow (1954)* mengatakan : Pendidikan adalah proses
yang menjadikan seseorang meningkat dari berorientasi fisik/
materi ke tingkat yang berorientasi aktualisasi diri.
Sebenarnya Perempuan Gereja sendirilah yang harus
menyadari kebutuhan aktualisasi diri ini dan merekalah yang
memprogramkan. Namun sayang program yang ada cenderung
biasa kebidang kerohanian dan koor saja. Kedua bidang ini
pun sering kurang mantap dan perlu dikaji, karena cara
penyampaian yang kurang tepat.
Ada satu kebiasaan persekutuan perempuan gereja yang
perlu diubah, yakni mengikuti saja apa yang telah biasa
diperbuat sebelumnya tanpa berfikir relevansi bahkan
kebutuhan dari kegiatan tersebut. Maka jadilah program
kerja tahunan PG dibuat dengan hanya menjiplak (mengcopy)
yang sudah ada, paling-paling anggarannya dirubah sesuai
dengan nilai uang yang semakin turun. Tidak sempat
menanyakan ibu-ibu program apa yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi mereka, atau hal apa
yang menarik bagi mereka untuk diangkat ke permukaan.
Menyimak prioritas program Departemen Perempuan dan
Anak PGI yang mem prioritaskan program pemberdayaan
perempuan yang ditangani PGI sekarang ini antara lain:
- Melawan kekerasan (violence) dalam keluarga dan
masyarakat

*A.H Maslow, Motivation and Personality, New York, Harper and Brothers, 1954

139
Luther dan Pendidikan

- Mengusahakan kesehatan ibu dan anak, termasuk


kesehatan alat reproduksi dan pencegahan HIV/AIDS
- Di bidang ekonomi dengan mencegah perdagangan
perempuan (human trafficking)
- Mengusahakan perdamaian dengan lingkungan dengan
cara memperhatikan keadaan dan budaya setempat

perlu dipertanyakan kembali kepada seluruh gereja-gereja


di Indonesia, apakah program PG telah mengarah seperti yang
diungkapkan oleh Departemen Perempuan dan Anak PGI ini,
atau sebaliknya gereja-gereja tidak mengetahui program PGI
ini sehingga program PG kembali kepada yang tradisional.
Dibawah ini saya mencoba mengidentifikasi program
perempuan gereja di Tanah Batak dibandingkan dengan
program PG diperkotaan.

Gereja di Tanah Batak (Tradisional) Gereja di Perkotaan (Modern)


- Kerohanian dengan metode yang - Kerohanian dengan teknik yang
cenderung monolog bervariasi, tema yang dibutuhkan
- Ketrampilan rumah tangga, seperti untuk digumuli dalam sinar Firman
memasak, merajut/menyulam, menjahit Tuhan
- Kepemimpinan - Keterampilan rumah tangga, mengatur
- Kesehatan waktu, menu sehat
- Pertanian - Kepemimpinan
- Nutrisi, kesehatan, kebugaran dan
kecantikan
- Pertamanan dan tanaman hias
- Management gereja
- Administrasi keuangan gereja dan
keluarga
- Kemitraan laki-laki dan perempuan
dalam keluarga, gereja dan
masyarakat
- Pendidikan kategorial mencakup anak,
remaja, pemuda dan lansia
- Hobby dan rekreasi
- Pencegahan kekerasan di rumah
tangga
b d

140
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak
- Pemberdayaan perempuan
- Kesadaran hak dan kewajiban
perempuan
- Komunikasi
- Kredit union
- Ketrampilan kerja sesuai tuntutan
pasar
- Pemeliharaan lingkungan

Kemajuan perempuan juga terlihat dari program-programnya


di gereja. Benar bahwa kondisi daerah setempat perlu
dipertimbangkan, namun dengan menggali dan menganalisa
suatu masalah akan ditemukan suatu program yang relevan
bagi anggota-anggotanya. Dengan demikian kemajuan
setahap demi setahap akan kelihatan.

V. KEMITRAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Penulis merasa perlu secara khusus membicarakan
kemitraan laki-laki dan perempuan. Oleh karena usaha untuk
mencapai kemitraan ini adalah proses pendewasaan laki-laki
dan perempuan. Bila ada laki-laki dan perempuan bekerjasama
untuk mencapai kemitraan maka proses pendewasaan dan
pemberdayaan akan lebih cepat tercapai dan hasilnya juga
akan lebih besar.
Dr. Astrid Susanto, ahli sosiologi dan komunikasi (1936-
2010) pernah mengadakan penelitian terhadap petani orang
Batak yang menggarap tanah di Sumatra bagian timur, beliau
melihat bahwa kehidupan keluarga di tempat itu lebih sejahtera
bila dibandingkan kehidupan rata-rata kehidupan keluarga di
Tapanuli. Faktor pendorongnya yang utama adanya kerjasama
yang baik antara suami dan istri di Sumatra Timur, sedang di
Tapanuli laki-laki banyak menghabiskan waktunya ngobrol di

141
Luther dan Pendidikan

lapo dan di kegiatan adat sehingga kurang kerjasama suami


isteri. Dalam membangun dan membina keluarga agar sejahtera
melalui pembinaan perempuan gereja, perlu diingatkan agar
jangan ada perbedaan agar dalam keluarga diperlakukan sama
anak laki dan perempuan, misalnya jangan dibedakan laki-laki
dan perempuan untuk kesempatan pendidikan yang lebih
tinggi. Hal ini sering akibat adat dan tradisi gereja. Hendaknya
kesempatan belajar untuk perempuan jangan dibatasi hanya
untuk jurusan yang sesuai dengan peran ibu rumahtangga
misalnya hanya sekolah yang bersifat memelihara, mendidik
dan hias menghias hendaknya disiasati agar perempuan
mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk
memperoleh pendidikan dan jabatan.
Dalam rapat Central Comunittee Dewan Gereja-gereja
seDunia (DGD) dinyatakan bahwa tujuan pembinaan
perempuan untuk sekarang dan waktu yang akan datang ialah;
Membangun persekutuan perempuan dan laki-laki untuk
pencapaian keadilan dan perdamaian/kesejahteraan, jadi tidak
adil jika Perempuan Gereja hanya sebagai objek atau
pelaksana, tanpa diikutsertakan dalam pengambil keputusan
dan perencanaan. Itulah sebabnya program dewan gereja-
gereja sedunia (DGD) lebih memusatkan dan mengutamakan
pada kemitraan laki-laki yang bersikap positif terhadap
perempuan yang diutamakan. Seperti program penanggulangan
penyakit AIDS, sedang Program latihan kepemimpinan menurut
perempuan dari Eropah tidak menjadi prioritas lagi, karena
sudah banyak perempuan menjadi pemimpin di gereja dan
sudah barang tentu dalam penentuan kebijakan. Namun untuk
Asia Afrika dan sebagian dari Amerika Latin masih

142
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

menganggapnya perlu karena kalau mau ikut dalam rapat-


rapat pengambilan keputusan supaya semakin terampil.
Banyak juga laki-laki takut kehilangan wibawa kelaki-
lakian akibat gerakan perempuan yang menuntut kesejajaran.
Sedang wanita Gereja belajar dan semakin sadar dengan
Firman yang ada tetulis di Kej 1:26-27, bahwa sejak semula
Tuhan menciptakan manusia segambar dengan Dia, laki-laki
dan perempuan mereka diciptakan. Pengertian perempuan
harus patuh kepada laki-laki seperti tertulis di Eph 5:22 perlu
dikaji ulang, perlu dipahami juga Gal 3:28 bahwa tidak ada
perbedaan laki-laki dan perempuan karena harkat
kemanusiaannya sama-sama pewaris kerajaan Allah.

VI. HAMBATAN
Banyak hambatan dalam meningkatkan mutu dan jenis
program pendidikan perempuan di gereja, diantaranya:
1. Gereja masih belum banyak melayani kebutuhan
perempuan dengan mengadakan berragam pendidikan
(kegiatan belajar).
2. Belum banyak usaha gereja untuk menyadarkan
perempuan akan keterbelakangannya. Program
penyadaran ternyata masih harus digalakkan agar
perempuan mau memperjuangkan pengembangannya.
Dengan demikian tidak tergantung kepada orang lain
untuk memperoleh ilmu dan kemampuan.
3. Secara umum kemampuan perempuan masih rendah
sehingga mereka belum mampu membangkitkan dirinya
dan melibatkan diri dalam tugas-tugas yang rumit
termasuk pekerjaan menyangkut pengambilan keputusan.

143
Luther dan Pendidikan

4. Banyak pemimpin gereja tidak rela membagi tugas dengan


mitra perempuan sehingga tidak cukup suara
memperjuangkan kepentingan perempuan termasuk
program pendidikan, beasiswa, maupun mengikuti
pertemuan-pertemuan yang bisa lebih memberdayakan
seseorang.
5. Gereja masih mempertahankan pemahaman yang kolot
yang berasal dari Alkitab maupun dari adat batak yang
kebetulan mirip dengan adat orang Yahudi lama.
6. Perempuan tidak bebas mengikuti kegiatan pendidikan
oleh karena beban tugas rumah tangga, terutama
perempuan yang mempunyai tugas rangkap, bekerja untuk
mencari nafkah.
7. Sering dilupakan bahwa kemajuan perempuan merupakan
kemajuan generasi berikutnya.

VI. BEBARAPA CONTOH KEMAJUAN


Sebelum sampai kepada kesimpulan dan saran-saran,
izinkanlah saya mengungkapkan beberapa kemajuan yang telah
dicapai oleh perempuan khususnya pelayan tahbisan. Setelah
menunggu lebih dari 10 tahun sejak selesainya decade wanita
(Womens Decade 1988 1998) gereja-gereja Lutheran
khususnya di Sumatera Utara mulai menunjukkan
kemajuannya dimana beberapa pendeta perempuan mulai
duduk dalam pengambilan keputusan di tingkat Distrik atau
yang disebut dengan Praeses. Dan baru pada 2 tahun
belakangan ini, muncul pendeta perempuan dibeberapa
pengambilan keputusan yang disebut dengan Sekretaris Umum,
baik tingkat Sinode, Regional maupun Denominasi.

144
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

Kemajuan ini tidak terlepas dari perjuangan panjang yang


dilakukan oleh gereja bersama dengan perempuan yang berada
di dalamnya. Kehadiran para perempuan pada badan
pengambilan keputusan ini bukanlah semata-mata jatah yang
diberikan, namun gereja telah menilai kemampuan perempuan
itu sendiri. Kemampuan memimpin, menata/manage, kepekaan/
keperdulian lingkungan bahkan spiritual pendeta perempuan
perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan sehingga
pelayanannya dapat dirasakan lebih khas dari kepemimpinan
sebelumnya.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


- Melalui khotbah, penelahan Alkitab dan pembinaan lainnya
hendaknya gereja membina warganya termasuk warga
perempuan agar semakin dewasa dalam iman, semakin
berhikmat tahu membedakan yang baik dan buruk sesuai
dengan kehendak Allah, karena permulaan hikamat adalah
takut akan Tuhan (Maz 111:10). Dalam mengajarkan
firman Tuhan harus dibedakan mana ajaran Tuhan Yesus
mana kebiasaan adat orang Yahudi yang hampir mirip
dengan adat Batak.
- Sangat perlu diadakan pembinaan untuk pimpinan-
pimpinan wanita, agar mereka sadar perlunya penyegaran
visi mendorong wanita agar terus menerus mau belajar
menambah pengetahuan pengalaman dan keterampilan
dalam segala bidang. Dalam Hosea 4:6 tertulis bangsaku
hancur karena kurang pengetahuan. atau dengan kata
lain akan mengalami banyak permasalahan bila tidak
mengutamakan pendidikan.

145
Luther dan Pendidikan

- Latihan Kepemimpinan Perempuan Gereja perlu secara


terus menerus diadakan, agar kesinambungan kepe-
ngurusan yang terampil terus terjadi dan tidak tersendat-
sendat.
- Sedang Kaum Perempuan Gereja harus sadar dan mau
belajar terus menerus kalau mau hidup sejahtera, tidak
dibingungkan perkembangan jaman dan hidup seperti
kodok dibawah tempurung menghadapi perubahan-
perubahan yang ada.
- Hendaknya kesempatan untuk pendidikan jangan
dibedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini sering akibat
adat dan tradisi gereja. Jangan dibatasi kesempatan
belajar hanya untuk jurusan yang sesuai dengan peran
ibu rumah tangga misalnya untuk perempuan cukuplah
sekolah yang memelihara, mendidik yang disebut peran
domistik seperti menjadi guru, perawat dan sekolah
kepandaian putri lainnya.
- Sudah waktunya juga dalam PerekutuanPerempuan
Gereja ada kursus untuk memperkenalkan pemakaian alat-
alat komunikasi sehingga ibu-ibu bisa menggali ilmu,
misalnya dengan browsing internet dll.
- Meningkatkan/melatih petugas lapangan untuk Kelompok
Balita di satu-satu tempat agar ketidakmampuan orang
tua mendidik anak balita yang dalam tahap Masa Emas
Perkembangan dapat terisi demi perkembangan sehat
dari anak-anak itu seterusnya. Terutama dimana belum
ada atau belum cukup Pembinaan untuk Balita. Ini juga
memungkinkan ibunya ada waktu untuk mengikuti
kegiatan belajar.

146
Proses Pertumbuhan Kemajuan Perempuan Batak

- Biro/Seksi Perempuan di kantor sinode masih diperlukan,


agar program khusus untuk Perempuan Gereja dapat
dengan baik direncanakan dan dilaksanakan.

VII. PENUTUP
Program pendidikan perempuan di Tanah Batak menurut
gambaran diatas masih sangat sederhana. Padahal melihat
tantangan zaman, kebutuhan untuk pendidikan perempuan
sangat besar. Harus ada gerakan yang kuat untuk menyelesai-
kan masalah ini. Oleh sebab itu gereja harus memusatkan
programnya pada pendidikan/pembinaan perempuan karena
tugas gereja yang utama adalah mendewasakan dan
memberdayakan manusia (bandingkan Ephesus 6:10-20 yang
menyatakan perlunya perlengkapan untuk menghadapi dunia
yang penuh masalah).
Pimpinan perlu mengadakan konsultasi para pakar
pendidikan guna memajukan program pendidikan di gereja-
gereja sehingga gereja memiliki ilmu dan berbagai informasi
terkait pembinaan, pelatihan dan pendidikan bagi perempuan
dan laki-laki sebagai mitranya.

147
Luther dan Pendidikan

Pendidikan Tinggi dan Pembangunan:


Perspektif Gender

Asima Yanti Siahaan

I PENDAHULUAN
Pentingnya pendidikan serta keterkaitannya dengan
ketercapaian pembangunan telah lama disadari dan
diimplementasikan dan menjadi kesepakatan internasional
sebagaimana yang khususnya dinyatakan dalam Millenium
Development Goals (MDGs), Dakar Framework for Education
for All (EFA). Sejak 1990an masyarakat internasional semakin
meyadari peranan sentral pendidikan dalam pembangunan dan
MDGs dan menghasilkan gerakan Education For All (EFA) yang
disetujui pada 1990 di Jomtien, Thailand. Gerakan universal
untuk menutup kesenjangan dalam pendidikan telah diadopsi
oleh pemerintah dan badan-badan kerjasama internasional
memfokuskan pada strategi nasional dan global untuk
mewujudkan kesenjangan dalam pendidikan ini.
Pentingnya pendidikan dalam pembangunan suatu negara
telah banyak diulas dan dijadikan sebagai prasyarat dan
indikator pembangunan (World Bank 2002; UNDP 2006;
UNESCO 2010; World Bank 2012). Badan-badan international
dan nasional sebagaimana yang dirumuskan dalam MGDs telah
menekankan dan merumuskan pendidikan sebagai tujuan dan

148
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

strategi pembangunan global yang harus diimplementasikan


dalam proses pembangunan nasional negara-negara yang
telah meratifikasi kespakatan ini.
Pendidikan dipandang berkorelasi positif dengan
pembangunan. Banyak studi yang membuktikan/menunjukkan
kaitan antara pendidikan dan pendapat yang sering disebut
sebagai Kuznets effect antara modal Sumber Daya Manusia
(SDM) yaitu pendidikan dengan pendapatan (Winegarden
1979; Gregorio and Lee 2002). Tingkat pendidikan merupakan
komponen yang sangat penting dalam modal manusia karena
peningkatan pendidikan dan ketrampilan individu akan sama
dengan peningkatan modal manusia (Becker 1975; Gallaway
dan Bernasek 2004).
Saling keterkaitan yang erat antar pendidikan dengan
tujuan-tujuan lain pembangunan ditunjukkan oleh ESCAP
(2007) dalam Survey Sosial, ekonomi di Asia dan Pasifik. Selain
menghambat pertumbuhan ekonomi, kesenjangan jender dalam
pendidikan juga menimbulkan feminisasi kemiskinan, kematian
ibu melahirkan, air dan sanitasi yang buruk, kerusakan ling-
kungan dan meningkatnya kekerasan. ESCAP memperkirakan
hanya untuk wilayah Asia Pasifik, kesenjangan jender telah
merugikan wilayah tersebut sebesar US$40 milyar per tahun
yang diakibatkan oleh keterbatasan akses perempuan tehadap
pekerjaan, US16-$30 milyar yang disebabkan oleh kesenjangan
jender dalam pendidikan. Angka ini menunjukkan kerugian ini
melebihi US$13 milyar yang diperkirakan dapat digunakan untuk
kesetaraan jender. Demikian pula World Bank Report 2007
yang berjudul Gender Equality, Poverty and Economic Growth
dengan menggunakan pengeluaran untuk konsumsi untuk

149
Luther dan Pendidikan

menunjukkan kesenjangan jender dalam 2 sumber kunci yaitu


pendidikan dan kesehatan secara gamblang menunjukkan
korelasi antara kemiskinan dengan kesenjangan gender yang
meluas di negara2 sedang berkembang (Filmer, 1999; World
Bank 2001; Strauss and Thomas, 1995).
Secara global dinyatakan bahwa kesenjangan jender pada
semua tingkatan pendidikan khususnya secara kuantitas dalam
keikutsertaan perempuan dan laki2 dalam pendaftaran mulai
dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi telah tertutup
(WDR 2012). Indonesia juga telah mencapai kinerja
perkembangan yang baik dalam kesetaraan jender dalam ratio
partisipasi pelajar yang terdaftar pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah dimana akibat penerapan program pemerintah
wajib pendidikan dasar 9 tahun, hampir 98% anak perempuan
mengikuti pendidikan dasar dan melanjutkan ke sekolah
menengah atas (UNDP 2011). Laporan MDGs Indonesia 2012
secara lebih komprehensif menunjukkan kemajuan Indonesia
yang cukup signifikan untuk target bidang pembangunan
pendidikan. Rasio Angka Partisipasi murni (APM) perempuan
terhadap laki-laki pada tingkat SD/MI/Paket A telah mencapai
99,73, hampir menutup kesenjangan jender. Di tingkat SMP/
MTs/Paket B telah mencapai 101,99. Selain itu telah banyak
perempuan yang mendapatkan akses ke tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Demikian juga untuk tingkat melek huruf
perempuan usia 15-24 tahun yang hampir mendekati angka
100 persen.
Namun kinerja pemerintah dalam pendidikan yang
dinyatakan dalam statistik kuantitatif belum sepenuhnya dapat
dijadikan indikator peningkatan mutu pendidikan bermutu.

150
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

Kajian mengenai strategi bangsa2 yang dilakukan oleh UN


Office for the High Commitsioner of Human Rights (2010)
mengenai pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan MDGs,
menunjukkan tidak ada satu negarapun yang telah
menetapkan aspek-aspek lain dari hak untuk pendidikan
seperti: pendidikan dasar harus gratis, wajib dan memenuhi
standar kualitas mutu tertentu. Fokus untuk mendesak
ketercapaian MDG pendidikan dasar secara universal akses
ke pendidikan dasar telah berhasil dengan mengorbankan
kualitas pendidikan khususnya untuk anak perempuan
(UNESCO 2010). Hal ini menunjukkan kurang-nya komitmen
dan kesungguhan masyarakat internasional dan negara dalam
mewujudkan tujuan pembangunan yang telah disepakati dalam
World Declaration on Education for All (EFA) sebagaimana
yang telah dinyatakan dalam Deklarasi Jomtien yang ke dua
yang diadposi pada 2011.
Kesenjangan jender dalam partisipasi pendaftaran telah
tertutup di semua tingkatan pendidikan dasar, menengah dan
tinggi bahkan di beberapa negara maju lebih banyak perem-
puan daripada laki-laki di perguruan tinggi (UNESCO 2010).
Sta-tistik di Asia Tenggara menunjukkan tingkat partisipasi
perempuan dalam pendidikan tinggi cukup baik yaitu sebesar
50% dan lebih. Namun indicator-indikator kuantitatif tidak
memadai untuk menilai kinerja ketercapaian kesetaraan jender.
Keseta-raan jender dalam pendidikan seharusnya juga
menekankan pada indicator-indikator kualitatif khususnya yang
berkaitan dengan agensi dan otonomi perempuan untuk
peningkatan kualitas hidup.

151
Luther dan Pendidikan

Kesenjangan jender dalam pendidikan tinggi merupakan


fokus utama dalam tulisan ini. Mengingat peran strategis
pendidikan tinggi dalam kemajuan suatu bangsa khususnya
dalam kualitas pembangunan melalui inovasi dan kecepatan
mengantisipasi tuntutan globalisasi serta kesenjangan yang
masih terus terjadi di pendidikan tinggi, maka sangat perlu
untuk mengeksplorasi tantangan dan hambatan untuk
kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi. Hambatan-
hambatan organisasional, institusional, pasar, kelembagaan
dan rumahtangga saling berkait menimbulkan kompleksitas
dalam mewujudkan kesetaraan jender di pendidikan tinggi.
Tulisan ini lebih merupakan eksplorasi terhadap isu-isu
jender dalam pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi mempunyai
peran strategis dalam pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan jender secara lebih strategis namun masih sangat
sedikit dibahas dalam literatur mengenai jender dan pendidikan.
Selain itu pemerintah dan badan-badan internasional masih
kurang memperhatikan kebijakan untuk intervensi kesetaraan
jender dibandingkan dengan yang telah dilakukan untuk
pendidikan dasar dan menengah.
Asumsi bahwa dunia akademis adalah dunia yang
berbudaya egalitarian telah mengaburkan kenyataan bahwa
institusi pendidikan tinggi juga dipengaruhi oleh budaya
patriarkhal dalam masyarakat. Padahal seperti dalam proses
lainnya, proses dan akitivitas dalam institusi pendidikan tinggi
tidak selalu netral. Pengabaian dan asumsi bahwa lembaga
pendidikan tinggi merupakan lembaga yang netral jender, yang
ditandai dengan profesionalitas dan budaya akademik yang
egalitarian, malah akan semakin mempersulit pengungkapan

152
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

ketidaksetaraan jender yang terjadi dalam pendidikan tinggi.


Pengabaian ini juga akan mempertahankan ketidaksetaraan
jender secara terselubung. Ketidaksetaraan pada pendidikan
tinggi juga akan mempengaruhi dan menghasilkan kesenjangan
dalam penikmatan hasil-hasil pembangunan seperti dalam
kesenjangan gaji dan hak-hak pekerja perempuan, hak sosial
budaya dan hak politik perempuan.
Dengan menggunakan perspektif feminist post-strukturalis
yang berfokus pada keterkaitan antara gender dengan
kesenjangan dengan basis lain seperti etnis, agama, ekonomi,
wilayah, dll, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan
kemajemukan lokus dan fokus dalam memahami pengalaman
perempuan yang berbeda dalam dunia akademik. Untuk itu
tulisan ini juga menganalisis konsep dan implementasi
kekuasaan dalam struktur dan praktek organisasional dan
kelembagaan untuk mengungkapkan kompleksitas
ketidaksetaraan jender dalam pendidikan tinggi.

II. Pendidikan Tinggi dan Pembangunan: Perspektif


Gender
Survey yang dilakukan oleh Economist pada tahun 2005
menemukan bahwa universitas tetap merupakan salah satu
mesin ekonomi berbasis pada pengetahuan melalui pendidikan,
penelitian dan inovasi (AWID 2009). Akibat-akibat
ketidaksetaraan jender dalam akses dan kelulusan pendidikan
dasar dan menengah menjadi semakin nyata dalam akses ke
pendidikan tinggi yang merupakan titik kulminasi permasalahan
yang berakar pada dan mengakibatkan kemiskinan, diskriminasi

153
Luther dan Pendidikan

sosial yang selanjutnya akan mempengaruhi juga sebaliknya


sistem pendidikan yang lebih rendah (EFA GMR 2009).
Laporan Bank Dunia (2007) yang berjudul Gender Equality,
Poverty and Economic Growth secara tegas menunjukkan
bahwa investasi pada pendidikan dasar telah menggerakkan
pertumbuhan ekonomi di Asia Timur, lebih banyak perempuan
yang terlibat dalam pasar tenaga kerja dan dengan demikian
meningkatkan pendapatan mereka lebih lagi melalui pendidikan
tinggi. Keterkaitan antara kesetaraan jender dengan
produktivitas individu pada tingkat pembangunan mikro jelas
namun pada tingkat makro keterkaitan ini lebih sulit untuk
diwujudkan dan menghadapi lebih banyak tantangan.
Pendidikan tinggi merupakan instrumen dalam pember-
dayaan ekonomi perempuan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional. Laporan Gender Gap berdasarkan data dari
114 negara menunjukkan korelasi yang positif antara
meningkatnya kesetaraan jender dengan tingkat GNP yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan meningkatnya partisipasi
perempuan dalam angkatan kerja dan pendapatan mereka
akan menggerakan pertumbuhan ekonomi dalam skala yang
lebih luas dan menghasilkan manfaat lainnya untuk kesehatan
dan pendidikan keluarga mereka.
Peranan pendidikan perempuan juga disebutkan sebagai
salah satu faktor dalam menjelaskan kesenjangan pertum-
buhan sekaligus kesenjangan regional di Asia. The World Bank
Report on The East Asian Miracle: Economic Growth and Public
Policy menyatakan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi di
Asia telah menutup kesenjangan jender dalam pendidikan lebih
cepat dari negara2 lain dengan tingkat pendapatan perkapita

154
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

yang sama (World Bank 1993: 47). Studi yang dilakukan oleh
World Bank pada tahun 1993 menunjukkan bahwa kinerja
ekonomi di Negara-negara Asia seperti Indonesia, Malaysia,
Republic Korea, Singapore dan Thailand lebih berhasil dan
lebih cepat daripada yang lainnya di Asia dalam menutup
kesenjangan jender di pendidikan dasar dan menengah.
Selanjutnya Klasen (1999 and 2002) dan Lagerlf (2003) juga
menemukan korelasi yang tinggi antara peningkatan jumlah
tahun anak perempuan yang bersekolah dengan pertumbuhan
ekonomi. Sementara itu studi-studi yang lain menunjukkan
kesenjangan jender dalam pendidikan memperlebar
kesenjangan dalam tingkat pendapat-an secara umum (World
Bank 1993; AWID 2009).
Keterkaitan antara pendidikan dengan pembangunan tidak
terbatas pada pertumbuhan saja (McMahon 2009.World Bank
1993:47; AWID 2009). Pendidikan merupakan komponen
penting untuk kesempatan dan pemberdayaan perempuan
dalam peningkatan kualitas hidup perempuan dan kontribusinya
terhadap pembangunan. Sejumlah studi empiris menunjukkan
pendidikan perempuan dapat meningkatkan gaji mereka dan
manfaat pendidikan perempuan kepada keluarga dan
masyarakat seringkali melebihi kontribusi kaum laki2 (King dan
Hill 1993; Strauss dan Thomas 1995; World Bank 2001; Schultz
2002,). Peningkatan pendidikan perempuan meningkatkan
kinerja pembangunan yang menggunakan Human Development
Index (HDI) seperti dalam hal kesehatan, pendidikan dan
kelangsungan hidup anak.
Keterlibatan perempuan dalam pendidikan sangat
mempengaruhi ketercapaian tujuan2 dalam MDGs. Kasus

155
Luther dan Pendidikan

tingginya tingkat gizi buruk di Asia Selatan disebutkan


berkaitan dengan tingkat pendidikan perempuan yang rendah
dan kecenderungan memiliki anak yang lebih banyak daripada
perempuan di Asia Selatan lainnya (AWID 2009).
Manfaat pendidikan untuk pembangunan dan pencapaian
MDGs yang diberikan oleh perempuan melebihi yang diberikan
laki-laki. Secara global, bukti-bukti empiris menunjukkan
bahwa pendidikan perempuan berhubungan erat dengan
mening-katnya partisipasi dalam ekonomi, kematian anak yang
rendah, nutrisi yang lebih baik dan pendidikan yang lebih
tinggi untuk generasi selanjutnya (World Bank 1993:47).
Studi pada beberapa negara secara lebih spesifik
menunjukkan keterkaitan antara pendidikan tinggi dan keseta-
raan jender dan pengaruhnya terhadap pembangunan sebagai
berikut:
Kesehatan yang lebih baik. Berdasarkan 13 studi di ber-
bagai negara secara rata2 kesehatan seorang yang
bergelar sarjana 8,4% lebih baik dari mereka yang hanya
menamatkan pendidikan menengah. Semakin banyak ma-
syarakat suatu negara yang terlibat dalam pendidikan
tinggi, semakin besar tingkat kesehatan di negara ter-
sebut.
Kesehatan Anak dan Pasangan yang lebih baik. Studi-
studi menunjukkan bahwa peningkatan jenjang pendidikan
ke pendidikan tinggi juga meningkatkan kesehatan anak
dari yang orangtuanya sarjana sebesar 8,7% dan
kesehatan pasangannya (suami atau istri) sebesar 8.1%
daripada anak yang orangtuanya berpendidikan lebih
rendah.

156
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

Harapan hidup yang lebih baik. Seorang sarjana mem-


punyai usia hidup 4,5 tahun lebih lama dibandingkan
dengan mereka yang berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan dan perkembangan kognitif anak yang lebih
baik. Studi2 yang dilakukan juga menunjukkan anak dari
mereka yang orangtuanya berpendidikan sarjana memiliki
nilai test untuk membaca, matematika dan sains yang
lebih tinggi +.796 dan lebih lama bersekolah dibandingkan
dengan anak-anak yang orangtuanya berpendidkan lebih
rendah.
Memperlambat pertumbuhan penduduk. Pendidikan
perempuan di Indonesia telah membantu memperlambat
pertumbuhan penduduk dan pelayanan pengendalian
pednduduk di Indonesia lebih efektif. Perempuan yang
tamat sekolah menengah atas rata2 memiliki .81 lebih
sedikit anak dibandingakan dengan mereka yang
berpendidikan sekolah dasar dan lebih sedikit lagi untuk
perempuan dengan pendidikan tinggi. Pertumbuhan
penduduk yang lebih lambat berarti peningkatan income
per kapita seperti yang terjadi di Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Singapura.
Manajemen rumah tangga yang lebih efisien. Pengeluaran
rumahtangga dengan pendidikan tinggi lebih efisien dan
persentase pendapatan yang ditabung lebih tinggi
dibandingkan dengan rumahtangga dengan tingkat
pendidikan lebih rendah. Sejalan dengan tingkat
pendidikan anak yang lebih tinggi, rumahtangga melakukan
investasi untuk memenuhi kebutuhan yang berkaitan
dengan keperluan anak dalam melanjutkan pendidikan

157
Luther dan Pendidikan

seperti untuk akomodasi, transport dan makan yang


merupakan sumber pendint dalam meninkatkan tabungan
tambahan bagi pembangunan suatu negara (McMahon
2009).

Keterkaitan antara pendidikan perempuan tidak hanya


terbatas pada pertumbuhan dan pembangnugan tetapi juga
mencakup transformasi struktural dan institusional melalui
peningkatan demokratisasi dan kinerja lembaga2 kemasya-
rakatan (masyarakat madani.)
Pendidikan sangat penting untuk pertumbuhan,
pembangunan dan transformasi sosial (demokratisasi,
kesetaraan yang berbasis hak). Pendidikan merupakan
katalisator untuk transformasi sosial yang sangat penting
dalam proses realokasi pengaruh sosial dan kekuasaan.
Pendidikan tinggi juga berperan penting dalam demokra-
tisasi dan meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Survey di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa mereka yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi
akan berpartisipasi lebih tinggi dalam politik, lebih paham politik
dan lebih terlibat dalam memberikan kontribusi untuk kegiatan-
kegiatan sosial dibandingkan dengan mereka yang berpen-
didikan lebih rendah.
Kasus dari berbagai negara menunjukkan meningkatnya
pendidikan perempuan juga meningkatkan perhatian dan
desakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun negara
dalam keterlibatan perempaun dalam politik. Dengan semakin
meningkatnya pendidikan telah meningkatkan jumlah perem-
puan dalam parlemen di Albania hingga diatas 16%. Nepal

158
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

memliki persentase perempuan dalam parlemen untuk Asia


Selatan yaitu hampir 33% (AWID 2009).

III. Paradoks Jender dan Kesenjangan Baru dalam


Pendidikan Tinggi
Meningkatnya kesetaraan jender pada seluruh tingkat
pendidikan secara kuantitatif ternyata diikuti oleh timbulnya
paradoks dan kesenjangan jender baru di pendidikan tinggi.
Uraian diatas telah menjelaskan peran penting institusi
pendidikan tinggi dalam menstimulasi inovasi untuk pem-
bangunan. Namun sangat disayangkan diskursus dan kebijakan
dalam pendidikan tinggi kurang menaruh perhatian yang cukup
terhadap isu2 kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi.
Pengutamaan pendidikan dasar dan menengah didasarkan
pada argumen bahwa lebih bermanfaat dan adil untuk mendidik
lebih banyak orang agar bisa membaca daripada mendahulukan
mendidik segelintir orang dalam pendidikan tinggi
(Subrahmanian 2002; Morley, 2005). Selain itu juga terdapat
masalah keadilan dalam hal ini karena hanya sedikit orang
yang punya akses untuk masuk perguruan tinggi yang biayanya
lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan dasar. Dengan
demikian argumentasi ini menganggap kurang adil apabila
pemerintah lebih mendahulukan bantuan kepada segelintir
orang yang lebih mampu ini dibandingkan dengan sejumlah
lebih besar orang yang berasal dari kelompok kurang mampu
untruk mendapat pendidikan dasar dan menegah. Pada periode
penerapan program penyesuaian struktural (SAP) pada tahun
1980an, kebijakan pemerintah Afrika dalam pendidikan
didasarkan pada pendekatan hierarki kebutuhan dimana

159
Luther dan Pendidikan

investasi untuk pendidikan dasar lebih diutamakan karena


pendidikan tinggi dianggap sebagai suatu kemewahan yang
tidak mendesak (Morley, 2005).
Pendidikan dasar dan menengah merupakan hak yang
mendasar dan menentukan untuk melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi yaitu pendidikan tinggi. Di pihak lain perkembangan
global yang ditandai oleh kompetisi, inovasi dan kecepatan
serta kompleksitas sebagaimana yang telah terbukti menun-
jukkan pentingnya pendidikan tinggi untuk pembangunan
dalam perkembangan global ini. Indonesia telah menunjukkan
kinerja yang semakin baik dalam pendidikan dasar dan
menengah tetapi untuk pendidikan tinggi akses masyarakat
sangat rendah khususnya bila dibandingkan dengan jumlah
lulusan SMA/SMK. Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi
di Indonesia baru mencapai 26 % di tahun 2011. Hal ini
menandakan bahwa ada 74 % sisinya dari lulusan SMA/SMK
dan MA yang tidak dapat mengakses pendidikan tinggi
(Laporan MDGs Indonesia 2012). Di Indonesia tersedia 75.000
tempat pada lembaga pendidikan tinggi untuk 450.000 calon
mahasiswa yang mendaftar. Selain itu juga kualitas pendidikan
tinggi di Indonesia masih perlu ditingkatkan mengingat 3
universitas terbaik di Indonesia secara global hanya mencapai
ranking 201 sampai 451 hal ini sebagian besar diakibatkan
oleh rendahnya publikasi artikel jurnal. Posisi 2154 lembaga
pendidikan tinggi swasta malah jauh leibh rendah dari lembaga
pendidikan negeri.
Dengan tidak bermaksud untuk mengorbankan pendidikan
dasar dan menengah dengan memprioritaskan pendidikan
tinggi, namun kenyataan diatas menuntut agar pendidikan

160
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

tinggi juga mendapat fokus yang seimbang dalam strategi


pembangunan sehingga strategi pendidikan bukan sekedar
strategis minimalis yang efektifitasnya dalam menjawab
tantangan global sangat terbatas.
Dalam perspektif jender, pendidikan pada semua tingkatan
sangat penting dalam memberdayakan kaum perempuan tetapi
peran perempuan dalam pendidikan tinggi menjadi semakin
penting jika perempuan hendak mempengaruhi proses dan
kebijakan yang lebih luas lagi. Pendidikan membuka kesadaran
perempuan dan juga akan memperluas pilihan2 bagi perempuan
untuk berpatisipasi dalam akses, proses dan penikamatan
hasil2 pembangunan. Pendidikan tinggi penting sebagai suatu
strategi agar perempuan meningkatkan kapasitas dan
kapabilitasnya sebagai pemikir yang merdeka dan menjadikan
mereka sebagai agen pembaharu dalam transformasi
masyarakat dan global.
Namun hingga sekarang kajian mengenai gender dan
pendidikan juga strategi pembangunan lebih berfokus pada
pendidikan dasar dan menengah dan mengabaikan peranan
strategi pendidikan tinggi dalam meningkatkan kesetaraan
jender. Khususnya di negara sedang berkembang perhatian
lebih tertuju pada peningkatan pendidikan dasar. Literatur
pendidikan di negara sedang berkembang ditandai oleh
pendekatan yang netral gender (Morley, Unterhalter dan Gold
2003). Studi mengenai kesetaraan jender dan pendidikan tinggi
sebagian besar berasal dari Negara-negara maju dengan
tingkat perkonomian yang tinggi (Blackmore and Sachs 2001;
Luke 2001; David, 2003). Terbatasnya studi mengenai jender
dan pendidikan tinggi juga diikuti dengan ketiadaan indikator

161
Luther dan Pendidikan

jender dalam pendidikan tinggi yang mengakibatkan sulitnya


untuk mengevaluasi kinerja kesetaraan jender dalam
pendidikan tinggi.

Partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi secara


global terus meningkat secara kuantitatif.
Kesenjangan jender dalam partisipasi pendaftaran telah
tertutup di semua tingkatan pendidikan dasar, menengah dan
tinggi bahkan di bebarapa negara maju lebih banyak
perempuan daripada laki-laki di perguruan tinggi. Diseluruh
dunia sekarang terdapat lebih banyak perempuan dalam
pendidikan tinggi dengan peningkatan sebesar tujuh kali lipat
sejak tahun 1970an (World Bank 2012). Secara keseluruhan
di wilayah Asia rasio pertumbuhan partisipasi perempuan terus
meningkat namun juga terdapat perbedaan rasio pertumbuhan
diantara jenjang pendidikan dimana rasio keterlibatan anak
perempuan di pendidikan dasar adalah sebesar 109%,
menurun menjadi 48% untuk pendidkan menengah dan hanya
9% untuk pendidikan tinggi (UNESCO 2010).
Berdasarkan statistik untuk Asia Tenggara dari tahun
1999-2007, Brunei, Malaysia, Filipina dan Thailand secara
konsisten menunjukkan lebih dari 50% partisipasi perempuan
dalam pendidikan tinggi yang lebih tinggi dari Asia Timur dan
Pasifik (UNESCO 2009). Partisipasi perempuan dalam pendidikan
tinggi di Indonesia lebih dari 50% namun berada dibawah
Malaysia (Laporan MDGs Indonesia 2012). Untuk tingkat
kelulusan paritas gender dibawah 1 menunjukkan dominasi
laki2 dalam kelulusan di perguruan Tinggi di Indonesia bersama
dengan Kamboja dan Laos. Sementara 50% dan lebih dari

162
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

jumlah lulusan perguruan tinggi keempat negara ASEAn ini


adalah perempuan dimana Brunei dan Filipina mencapai 60%
dan lebih menarik Myanmar pada tahun 2007, 70% lulusan
PT nya adalah perempuan. Dengan demikian secara menye-
luruh untuk ASEAN, tingkat kelulusan untuk strata 1 (S1)
lebih banyak perempuan.

Segregasi gender dalam pendidikan tinggi


Segregasi jender dalam pemilihan disiplin ilmu dalam
pendidikan tinggi masih sulit untuk dijembatani hingga kini.
Hal ini jelas terurai apabila kita membandingkan berbagai
laporan kinerja pendidikan di berbagai negara. Walaupun World
Development Report (WDR) 2012 menyatakan bahwa
kesenjangan jender dalam pendaftaran pada pendidikan dasar,
menengah dan tinggi telah tertutup bahkan di beberapa
negara maju lebih banyak perempuan daripada laki-laki di
perguruan tinggi namun juga menyatakan bahwa partisipasi
jender yang setara dalam berbagai disiplin ilmu belum terwujud.
Perempuan kurang terwakili dalam sains dan teknologi dan
lebih banyak terkonsentrasi pada bidang-bidang/disiplin ilmu
yang dianggap relevan dengan peran tradisional perempuan
yaitu dalam seni, sosial, bahasa, pendidikan, keperawatan
dan kedokterna (UNESCO 2002; WDR 2012, UNESCO 2010).
Hal ini membuktikan masih kuatnya stereotype peran gender
tradisional dalam mempengaruhi dan membentuk pemilihan
disiplin ilmu yang berbeda diantara perempuan dan laki-laki.
Pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan disiplin dimana
kaum perempuan memilih jurusan yang dianggap merupakan
ekstensi peran perempuan tradisional merupakan hak

163
Luther dan Pendidikan

perempuan dan bukan merupakan isu jender. Namun pemilihan


ini jelas dipengaruhi oleh perspesi perempuan yang telah
dikonstruksikan dengan sedemikan kuatnya sehingga
perempuan menganggap tidak lazim atau malu dan akan
mengalami kesulitan ketika memilih jurusan-jurusan yang
dianggap maskulin seperti teknik dan sains di perguruan tinggi.
Sejak GBHN tahun 1970an peran domestik perempuan ini
telah diperkuat oleh kebijakan negara yang mengidolakan
peran perempuan sebagai istri dan ibu sebagai konsekuensi
kodrat dan martabat mereka yaitu untuk melayani keluarga.
Pada masa Orde Baru kodrat dan martabat perempuan, peran
ganda digunakan dalam kebijakan pembangunan. Negara
mengidealisasi peran ganda perempuan dalam pembangunan
sebagai istri dan ibu sebagai konsekuensi kodrat mereka dalam
memelihara dan melayani keluarga. Peran ganda perempuan
ini dipropagandakan sebagai peran penting perempuan dalam
pembangunan adalah sebagai agne dalam mempertahankan
norma dan nilai-nilai sosial. Idealisasi peran ganda ini terus
direporduksi sebagi gambaran ideal perempuan Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pembanguan di Indonesia hingga sekarang
sering menempatkan peran perempuan dalam pembangunan
dibawah kategori masyarakat dimana kebutuhan perempuan
dianggap selalu sama sama dengan kebutuhan dan
kepentingan masyarakaat secara umum sehingga kebutuhan
perempuan khususnya yang berkaitan dengan fungsi
reproduksi mereka sebagai perempuan sering diabaikan.
Pada institusi pendidikan tinggi, persepsi ini juga
mengakibatkan diabaikannya fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan
perempuan sehubungan dengan fungsi reproduksinya seperti

164
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

penitipan anak, tempat menyusui, dll. Asumsi bahwa tidak


ada perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki
yang berpartisipasi dalam pendidikan tinggi menngakibatkan
tantangan bagi kaum perempuan. Perempuan yang terlibat
dalam pendidikan tinggi juga membawa tugas dan tanggung-
jawab yang berhubungan dengan peran tradisionalnya sebagai
perempuan ketika mereka berpartisipasi dalam pendidikan
tinggi.
Kebijakan-kebajikan pembangunan yang tidak sensitif
jender hanya menekankan pada tanggungjawab perempuan
namun meng-abaikan fasilitas yang dibutuhkan perempuan
agar dapat berpartisipasi secara penuh dan setara dengan
laki. Meningkatkan akses perempuan dalam pendidikan tinggi
tanpa mem-berikan perhatian yang cukup atas ketersediaan
fasilitas yang memadai untuk mendukung kebutuhan
perempuan sama artinya dengan menambah beban perempuan
dan menjadikan pilihan-pilihan perempuan menjadi semakin
terbatas.
Secara global partisipasi perempuan dalam pendidikan
dan kesehatan melebihi laki-laki, seimbang dalam ilmu-ilmu
sosial, bisnis dan hukum namun dalam teknik, pabrik, konsturksi
dan sains partisipasi perempuan lebih rendah daripada laki-
laki (WDR 2012). Di Negara-negara sedang berkembang
kesenjangan gender dalam pendidikan bukan hanya dalam
statistik jumlah tetapi juga terdapat segregasi jender dalam
jurusan/disiplin ilmu yang dipilih. Bidang-bidang maskulin
seperti teknik, theologia, arsitektur didominasi oleh laki-laki
dan perempuan lebih banyak di bidang yang dianggap feminin
seperti Pendidikan/Keguruan, Ilmu Sosial, Ekonomi, Bahasa/

165
Luther dan Pendidikan

Sastra (WDR 2012). Disiplin ilmu yang dianggap feminin ini


dipadang sebagai ekstensi dari strereotype perempuan ideal
dan sejalan dengan peran jender perempuan secara tradisional
seperti memelihara anak dan tugastugas pemeliharaan dalam
rumah tangga. Di Indonesia juga berlangsung segreagasi
jender di perguruan tinggi dimana perempuan lebih mengambil
disiplin ilmu yang berhubungan dengan peran tradisional jender
sperti kependidikan, keperawaatan, kesehatan, dibandingkan
dengan laki-laki yang lebih memilih teknik (JICA 2008). Laporan
MDGs Indonesia (2012) menunjukkan mendominasi beberapa
bidang ilmu khususnya humaniora dan yang berhubungan
dengan kesehatan.

Feminisasi Pendidikan tinggi?


Kecenderungan yang menarik untuk dikaji dalam
perkembangan dunia pendidikan adalah pertumbuhan jumlah
perempuan dalam pendidikan tinggi yang secara global lebih
tinggi dari partisipasi laki-laki. Yang menarik dalam laporan ini
disebutkan terjadinya kesenjangan jender baru dimana jumlah
laki-laki yang mendaftar di lembaga pendidikan semakin sedikit
dibandingkan dengan jumlah perempuan (WDR 2012). Secara
global jumlah perempuan yang mendaftar di perguruan tinggi
lebih banyak tujuh kali lipat selama 3 dekade. Rasio kehadiran
perempuan yang tertinggi pada pendidikan tinggi terdapat
pada Republic of Korea, Japan and the Pacific Islands, yang
diikuti oleh Thailand, China dan Filipin Philippines (UNESCO
2010).
Sejak 1970 dan 2008 jumlah mahasiswi di Indonesia
meningkat lebih dari tujuh kali lipat (dari 10.8 juta mendjadi

166
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

80.9 juta), sementara untuk laki2 pertambahan hanya sebesar


empat kali lipat (UNESCO 2012). Disamping itu terdapat
kecenderungan yang memperlihatkan bahwa angka partisipasi
sekolah, angka kelulusan, maupun indeks prestasi siswa
perempuan lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki, sebaliknya
siswa yang meninggalkan sekolah (drop out) lebih banyak
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.
Telah terjadi kesenjangan baru yang muncul belakangan
ini dimana di banyak negara pelajar laki-laki lebih tinggi tingkat
putus sekolah dibandingkan perempuan. Di pihak lain pelajar
perempuan berprestasi lebih baik dengan skor untuk beberapa
mata pelajaran tertentu. Data juga menunjukkan di banyak
negara di Eropa Timur dan Asia Tengah lebih banyak laki-laki
menderita penyakit dan perempouan berumur lebih panjang 9
tahun daripada laki-laki. Di beberapa daerah di Caribia remaja
pria lebih cenderung rentan terhadap kekerasan dan kejahatan.
Dalam sistem pendidikan tinggi di Eropa dan Karibia oleh karena
jumlah pelajar perempuan lebih tinggi di pergururan tinggi
mengakibatkan pelajar laki-laki menjadi semakin terkucil secara
sosial (Morley 2005). Dengan demikian, ketidaksetaraan jender
bukan hanya berdampak negatif terhadap perempuan tetapi
juga laki2.

Kesenjangan Jender dalam Pembangunan


Kesetaraan jender dalam kuantitas partisipasi tercapai
tetapi menariknya kurang berdampak positif terhadap kualitas
hidup perempuan sebagaimana yang tergambar dalam
ketercapaian MDGs dan berbagai indikator pembangunan
seperti World Development Report dan Human Development

167
Luther dan Pendidikan

Report. Dalam banyak negara ketercapaian dalam pendidikan


tinggi ternyata belum berhasil menutup kesenjangan di
berbagai bidang lain. Tingkat partisipasi pendidikan dan melek
juruf meningkat tetapi sosial status tetap rendah (AWID 2009,
World Bank 2010, 2012, MDGs Report 2012). Terlepas dari
perbedaan pertumbuhan ekonomi, kenyataan di berbagai
negara menunjukkan pendidikan tinggi tidak menjamin
perempuan mendapatkan posisi yang lebih baik dibandingkan
laki-laki. Kesenjangan dalam akses kesehatan, ekonomi dan
partisipasi politik perempuan yang terus berlangusng tidak
semata ditentukan oleh kesenjangan jender dalam pendidikan
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh etnisitas, tingkat
penghasilan dan lokasi (World Bank 2012; MDG 2010).
Pendidikan tinggi merupakan senjata yang strategis bagi
kaum perempuan khususnya agar dapat memilih karier yang
mereka sukai dan untuk mencapai posisi puncak baik pada
posisi pemerintahan, politik dan sektor swasta. Namun
segregasi dalam disiplin ilmu dan bias pasar ternyata juga
telah mengakibatkan kesenjangan jender dalam upah yang
diterima antara laki-laki dan perempuan. Di Cina walaupun
rata-rata lama bersekolah meningkat ternyata tetap terjadi
peningkatan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki,
antar perempuan kota dan desa. Ketidaksetaraan dalam
pendidikan memperlebar kesenjangan dalam tingkat
pendapatan secara umum (Winegarden 1979; Gregorio and
Lee 2002). Paradoks lainnya terlihat dari peningkatan rata2
lama bersekolah perempuan dibandingkan laki-laki dari 1,4 ke
6,1 tahun sementara laki-laki dari 6,7 ke 7,6 tahun (dari

168
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

tahun 1990 ke 2000), namun kesenjangan penghasilan antara


perempuan dan laki-laki meningkat hingga 7,4% (AWID 2009).
Kesejangan penghasilan antara perempuan dan laki-laki
bukan hanya terjadi di Negara sedang berkembang tetapi
juga dinegara maju. Penelitian komparatif di UK dan New
Zealand tentang akademisi perempuan dalam pendidkan tinggi
menunjukkan perempuan di perguruan tinggi di Inggris bekerja
dalam posisi dan upah yang rendah, sementara, part-time,
dan peneliti kontrak (Brooks 1997).
Uraian diatas mengungkapkan adalah jauh lebih mudah
menutup kesenjangan jender dalam akses ke pendidikan
dibandingkan dengan kesenjangan jender dalam disiplin ilmu
dan pekerjaan. Kesetaraan jender dalam disiplin ilmu, pekerjaan
dan penghasilan menuntut perubahan secara simultan
kebijakan negara teradap rumah tangga, pasar dan insitusi
sekaligus.

IV. Keterkaitan rumah tangga, pasar dan pendidikan


tinggi
Akses ke pendidikan tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor
yang mencakup prestasi dalam pendidikan dasar dan
menengah, kebijakan pemerintah dalam pendidikan tinggi
termasuk struktur uang kuliah, affirmative action dan program
insentif/beasiswa bagi perempuan dan kelompok-kelompok
marjinal lainnya serta lingkungan mahasiswa itu sendiri seperti
jarak untuk dapat mengakses pendidikan tinggi, kualitas
pendidikan. Namun keterkaitan jender dengan kesenjangan
yang didasarkan pada basis ras, lokasi, etnisitas juga
mempengaruhi kinerja dan kompleksitas dalam mewujudkan

169
Luther dan Pendidikan

kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi. Akumulasi


kelemahan-kelemahan dan permasalahan dari keterkaitan ini
juga terbawa kedalam pendidikan tinggi.
Ketidaksetaraan jender merupakan cermin dari ketidak
setraan struktur sosial yang lebih luas yang berakar pada
keterkaitan berbagai faktor dari dalam individu, pasaar,
masyarkat yang saling terkait. Secara umum penghambat
kesetaraan jender di pendidkan tinggi dapat dikelompokkan
atas faktor ekonomi sosial, kebudayaan, politik dan kelem-
bagaan. Ketidaksetaraan jender dalam pendidikan tinggi tidak
mungkin dapat diungkapan tanpa tanpa mengaitkannya
dengan diskriminasi yang mengakibatkan hilangnya harga diri
dan percaya diri perempuan dan beban domestik yang harus
mereka tanggung ketika terlibat dalam pendidikan tinggi.
Perspektif feminist poststrukturalis memberikan kontribusi
yang besar untuk mengungkapkan kompleksitas ketidak-
setaraan jender dalam pendidikan tinggi dengan berfokus pada
keterkaitan antara jender dengan kesenjangan dengan basis
lain seperti etnis, agama, ekonomi, wilayah, pasar, dll. Dengan
demikian penting untuk menganalisis konsep dan implementasi
kekuasaan dalam struktur dan praktek organisasional dan
kelembagaan.
Ketidaksetaraan jender dalam lembaga pendidikan tinggi
berkaitan erat dengan ketidaksetaraan jender di keluarga,
sekolah, tempat kerja dan situasi-situasi sosial yang kesemua-
nya ini berasal dari norma sosial, hukum, budaya, kebijakan
publik dan diperkuat oleh faktor-faktor kelembagaan lainnya
baik pada level rumahtangga maupun publik.

170
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

Terlepas dari asumsi bahwa pendidikan yang lebih tinggi


akan meningkatkan status perempuan dalam rumah tangga
dan keluarga, ternyata perempuan dengan pendidikan tinggi
juga tetap mengalami tantangan yang berhubungan dengan
persepsi yang kuat tentang peran perempuan tradisional yaitu
dalam rumah tangga sebagai istri dan ibu. Banyak kasus yang
menunjukka perempuan keluar dari sekplah karena pernikahan
dini atau pekerjaan di pertanian (CEDAW 2010; MDG report
Indonesia 2012). Di NTT persepsi sosial yang negatif terhadap
anak perempuan telah membatasi akses mereka untuk
pendidikan oleh karena reputasi dan harga untuk menikah
anak perempuan tersebut akan jatuh karena dianggap tidak
murni lagi. Disamping itu orangtua lebih memprioritaskan anak
laki-laki untuk bersekolah.
Keterkaitan antara berbagai faktor ini yang menghambat
perempuan untuk berpartisipasi dalam pendidikan dengan jelas
dinyatakan oleh Fact Sheet: Girls Education in Indonesia
yang dikeluarkan oleh Unicef mengenai 6 hambatan dalam
pendidikan perempuan di Indonesia: Buku teks yang bias akan
gender: sterotype gender; peraturan pemerintah; kesadaran
dan keahlian tentang gender yang kurang, pernikahan dini.
Perempuan yang memilih untuk mengikuti pendidikan tinggi
bukan tanpa resiko pribadi yang harus mereka hadapi karena
sering menghadapi tantangan dari struktur sosial patriarkhal
yang dominan. Banyak studi yang menunjukkan perempuan
yang terlibat dalam pendidikan tinggi dan berkarier mengalami
kesulitan untuk menikah karena kuatnya pandangan yang
menganggap bahwa seorang istri dengan pendidikan tinggi
tidak sesuai dengan persepsi istri yang ideal (Dahal et.al

171
Luther dan Pendidikan

2004; Faye 2010; Siahaan 2004; Lumumba 2006). Pandangan


konvensional terhadap peran ideal perempuan ini memfokuskan
peran utama perempuan dalam keluarga dan dengan posisi
subordinat terhadap suami yang dianggap posisinya lebih tinggi
dari perempuan. Perempuan dengan pendidikan tinggi dianggap
dapat merupakan ancaman terhadap otoritas dan superioritas
suami. Dengan demikian pendidikan tinggi dapat saja
meningkatkan akses perempuan untuk bekerja dan berkarier
tetapi juga sering menjadi hambatan sosial dan structural
bagi mobilitas perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 139 orang
perempuan yang bekerja sebagai tenaga akademik dan
kepegawaian di Universitas Kristen HKBP Nommensen
mengungkapkan adanya hubungan yang positif antara konflik
peran ganda dengan stress kerja (Putri 2010). Walaupun
faktor-faktor organisasional seperti ketidakjelasan peran
tugas, banyaknya tuntutan kerja, gaji tidak mencukupi, waktu
kerja tidak fleksibel, pimpinan tidak mendukung, tidak adanya
kemungkinna untuk kenaikan jabatan serta fasilitas kerja tidak
memadai mempengaruhi peningkatan stress sebesar 11,3%,
namun 88,7% stress diakibatkan oleh faktor konflik peran
ganda perempuan karena kewajiban-kewajiban yang ber-
hubungan dengan keluarga, kerabat dan anak.
Pendidikan tinggi sebagai institusi sosial merupakan
instrumen yang mereproduksi struktur sosial. Nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat sangat mempengaruhi pendidikan
tinggi dan sebaliknya pendidikan tinggi juga dapat digunakan
untuk mereproduksi ketidaksetaraan jender dalam masyarakat
dan dalam prosess pembangunan. Secara khusus untuk

172
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

pendidikan faktor mulai dari konteks politik, karakteristik


masyarakat, keluarga, potensi mahasiswa, kualifikasi dosen,
kurikulum , suasana kelembagaan sangat berpengaruh baik
secara positif maupun negatif terhadap terwujudnya keseta-
raan jender dipendidikan tinggi. Bahkan pada kasus di Afrika
selain dari kebijakan pemerintah, badan-badan kerjasama
bilateral dan multilateral berperan besar dalam penddikan
karena sangat mempengrauhi kebijakan dan agenda
pembangunan dan implementasi kebijakan yang ditujukan
untuk meningkatkan kesetaraan jender di pendidikan tinggi
(Bloch et al.1998; Fair 2003).

MASKULINITAS PENDIDIKAN TINGGI


Walaupun sebagaimana yang telah dinyatakan dalam
berbagai laporan/studi menunjukkan kecenderungan feminisasi
pendidikan tinggi, namun analisis yang didasarkan pada
perspektif jender mengungkapkan berlangsungnya paradoks
jender dimana pada saat yang bersamaan maskulinitas dalam
pendidikan tinggi masih tetap bertahan. Sebagaimana dengan
institusi lainnya, pendidikan juga dikonstruksi oleh bias jender
dan diskriminasi. Kesadaran dan pemahaman akan kemung-
kinan diskriminasi/ketidaksetraan jender yang berakar di
sistem pendidikan sangat penting. Studi di Negara-negara
maju telah banyak mengungkapkan kompleksitas hambatan-
hambatan struktural, sikap dan psikologis untuk mewujudkan
kesetaraan jender dalam institusi-institusi yang patriarkhal
(David, 2003; Blackmore and Sachs 2001; De La Rey, 2001
and Luke 2001).

173
Luther dan Pendidikan

Peningkatan akses dan keterlibatan perempuan dalam


pendidikan tinggi ternyata tidak diikuti dengan peningkatan
representasi perempuan dalam kepemimpinan di perguruan
tinggi. Sangat sedikit perempuan yang memimpin lembaga-
lembaga sains atau perusahaan teknologi yang besar.
Kepemimpinan dalam perguruan tinggi masih tetap didominasi
oleh kaum laki2 (Singh 2008; Garland 2008; Times Higher
Education 22 Maret 2012). Perempuan juga kurang terwakili
dalam penelitian dan pengembangan (R&D) baik di lingkungan
akademik, sektor publik atau perusahaan swasta. Secara
global rata-rata perempuan hanya 29% dari jumlah peneliti
dalam bidang ini (AWID 2009; UNESCO 2009; WDR 2012).
Kesenjangan jender dalam kepemimpinan juga terjadi di
Universitas Sumatera Utara dimana dari total: 1589 orang
tenaga pendidik yang terdiri dari 857 orang laki-laki dan 732
orang perempuan. Dalam jabatan fungsional juga terjadi
kesenjangan jender dimana untuk Guru Besar terdapat 91
orang laki-laki dan hanya 27 orang perempuan. Sementara
untuk Asisten Ahli jumlah perempuan lebih banyak yaitu 122
orang dibandingkan dengan 87 orang pria. Juga dalam
pendidikan S3 lebih banyak laki-laki yaitu 179 orang dan
perempuan 107 orang. Segregasi jender dalam disiplin ilmu
juga dapat dilihat dari lebih banyaknya tenaga pengajar
perempuan pada fakultas-fakultas seperti FKM, Psikologi,
Farmasi, Keperawatan, RS Pendidikan sementara untuk
fakultas Teknik, FH, FMIPA hanya sedikit perempuan yang
menjadi dosen.
Di Amerika Serikat terjadi peningkatan peran perempuan
dalam kepemimpinan di perguruan tinggi. Studi The American

174
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

College President (ACPS) pada 2007 menunjukkan meningkat-


nya jumlah perempuan yang menjadi Rektor sebesar 23%.
Demikian juga The Commonwealth Universities Yearbook untuk
tahun 2008 melaporkan bahwa 23 dari 35 negara-negara
Commonwealth keseluruhan universitasnya masih dipimpin oleh
laki-laki (Singh 2008). Times Higher Education (22 Maret 2012)
menyebutkan hanya 13% dari institusi pendidikan tinggi di
Eropa yang dipimpin oleh perempuan, dan hanya 9%
universitas riset yang dipimpin perempuan.
Budaya akademik dan peran akademisi perempuan sangat
mempengaruhi kesetaraan jender dalam institusi pendidikan
tinggi. Secara historis institusi pendidikan tinggi di Eropah
sangat bias jender dimana universitas diperuntukkan terutama
untuk kaum laki-laki. Pada masa abad pertengahan gereja di
Eropah sangat dominan sebagai menara gading dalam
memproduksi pengetahuan yang merupakan fungsi pendidikan
tinggi. Pada saat itu gereja sangat menentukan pendefinisian
pendidikan dan tujuan2 sosial dari pendidikan tinggi, kurikulum,
kriteria evalusi dan seleksi. Dalam dogma gereja tertentu pada
saat itu perempuan dikucilkan dari forum intelektual, produksi
pengentahuan dan pembuatan kebijakan (Assi, 1982). Namun
seterlah Renaisans dan reformasi, institusi pendidikan tinggi
banyak melakuan transformasi dalam usaha menghilangkan
kesenjangan jender dalam bentuk keterkucilan perempuan
dalam pendidikan tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Council for Christian
Colleges & Universities (CCCU) menunjukkan kesenjangan
jender dalam kepemimpinan lembaga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan universitas/lembaga pendidikan tinggi

175
Luther dan Pendidikan

yang sekuler. Walaupun terdapat peningkatan hingga 23%


perempuan sebagai rektor di lembaga pendidikan tinggi di
Amerika Serikat sejak tahun 1990 namun hanya 5% dari rektor
universitas yang berada dibawah CCCU adalah perempuan.
Penelitain selanjutnya pada 2008 pada 108 anggota CCCU di
Amerika Serikat menunjukkan 84% lembaga pendidikan tinggi
ini tidak memiliki atau hanya memliki 1 perempuan sebagai
wakil rektor (Longman & Anderson, 2010) walaupun lembaga2
ini berjuang untuk menciptakan nilai keberagaman dan
kesetaraan dalan kehidupan akademis (Bryant, 2006; Harper,
2008). Selain dari kesenjangan dalam kepemimpinan, realitas
bias jender yang terdapat dalam sikap dan komentar-komentar
terhadap perempuan dalam universitas Kristen merupakan
tantangan berat bagi perempuan. Respons yang didapat dalam
survery mencerminkan polarisasi jender yang bias tehhadap
perempuan Penelitian selanjutnya masih menunjukkan
ketidaksetaraan jender yang terjadi dalam pendidikan tinggi
Kristen di Amerika (Joeckel & Chesnes,2009). Perempuan
dibayar lebih rendah dari laki-laki dan juga lebih rendah
dibandingkan dengan perempuan yang bekerja di lembaga
pendidikan tinggi lain. Akademisi perempuan yang mencoba
meduduki jabatan-jabatan kepemimpinan dalam lembaga
pendidikan tinggi ini menghadapi lebih banyak hambatan
daripada yang laki-laki yang diantaranya: ketiadaan modle
panutan, konservatisme teologi yang membatasi perempuan
untuk menduduki jabatan-jabatan pimpinjan, ketika pemimpin
perempuan menggunakan gaya kepemimpinan kolaboratif
sering disalah mengerti dan tidak dihormati, dan merasa

176
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

terasing dengan gaya kepemimpinan komando yang dilakukan


oleh beberapa pimpinan laki-laki (Schreiner, 2002).
Selain itu kepemimpinan perempuan sering dipandang
negatif dan kurang efektif dibandingkan dengan laki2. Apabila
perempuan menunjukkan gaya kepemimpinan yang direktif
maka akan mendapat lebih banyak pandangan negatif dari
perempuan maupun laki-laki dibandingkan apabila gaya
kepemimpinan yang sama diterapkan oleh laki-laki (Eagly &
others, 1995). Di kelas, seorang profesor perempuan yang
bersikap ramah dan nurturing dipandang sebagai tidak berlaku
seharusnya seperti seorang profesor oleh murid laki-laki.
Sebaliknya jika kurang ramah maka oleh murid perempuan
dianggap profesor tersebut tidak bersikap layaknya seorang
perempuan dan juga tidak dihargai. Terdapat perbedaan
antara akademisi perempuan dan laki-laki dalam pengajaran
dan penelitian. Dosen perempuan lebih tertarik untuk mengajar,
lebih banyak membimbing mahasiswa dibandingkan dengan
melakukan penelitian, lebih cenderung menggunakan strategi
pembelarjaran kolaboratif dan aktif dibandingkan dengan
akdemisi laki-laki (Hall et als 2008). Penelitian juga menemukan
kecenderungan laki-laki lebih mendapat akses untuk promosi
dan jejaring diantara dosen laki-laki. Hal ini menunjukkan
kuatnya budaya maskulinitas dan sulitnya menutup kesen-
jangan jender dalam kepemimpinan di institusi pendidikan
tinggi.
Kasus-kasus diatas menunujukkan maskulinitas yang dipe-
ngaruhi oleh budaya patriarkal dalam institusi pendidikan tinggi
yang patriarkhal. Model komunitas akademik yang ideal
ditandai oleh keadilan dan kesetaraan secara akademis. Namun

177
Luther dan Pendidikan

kenyataannya kampus sering sekali tidak egaliter


(Ramazanoglu 1987). Secara karakter pendidikan tinggi sering
dilaksanakan sesuai dengan sistem hierarkhis organisasi yang
tidak konsisten dengan nilai-nilai demkoratik dan etika liberal
yang dianut oleh negara maju di Barat. Karakter egalitarian
dalam dunia akademisi dikelilingi oleh kompetisi karier akademik
yang cenderung pro terhadap laki-laki. Terdapat mekanisme
struktural dalam lingkungan akademik yang mereproduksi
tatanan patriarkal yang mengkonstruksikan akademisi
perempuan sebagai ancaman aktual dan potensial terhadap
strutukr yang ada dan tatanan ini juga mensubordinasi
akademisi perempuan. Mekanisme yang digunakan untuk
mensubordinasi akademisi perempuan harus dipahami sebagai
bentuk kekerasan yang dapat mengambil berbagai bentuk
bukan saja secara fisik tetapi juga melalui penggunaan
sarkasme, lelucon, penghinaan dan patronasi.

Tantangan dalam transisi dari pendidikan tinggi ke akses


pasar tenaga kerja
Tantangan tidak hanya berhenti pada akses dan
keterlibatan di pendidikan tinggi tetapi juga yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah tantangan/hambatan
dalam transisi dari pendidikan ke pekerjaan. Ini sangat berat
khususnya di Afrika dan Asia Selatan dimana partisipasi
perempuan dalam pendidkan tinggi sangat rendah. Namun di
Negara-negara maju seperti di Eropa dengan tingkat partisipasi
perempuan yang sangat tinggi, bahkan melampaui kaum lelaki
dalam pendidikan tinggi tetapi tetap mengalami tantangan/

178
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

hambatan dalam kesempatan pekerjaan profesional (AWID


2009, World Bank 2012, MDGs Report 2012).
Perempuan khsusunya di Afrika dan Asia Selatan yang
tertinggal dalam aksees mereka ke pendidikan tinggi
sebagaimana juga rekan mereka di Eropa dan Negara-negara
maju lainnya dimana perempuan telah memiliki gelar
kesarjanaan yang tinggi bahkan terkadang melampui laki-laki,
tetap mengalami tantangan untuk meningkatkan kesempatan
profesionalisme mereka diakibatkan oleh tantangan-tantangan
dalam transisi dari pendidikan tinggi ke pasar tenaga kerja/
pekerjaan (AWID 2009).
Meingkatnya tingkat pendidikan tidak secara langsung
berkatian dengan kesempatan ekonomi yang lebih besar bagi
perempuan. Kecuali untuk kasus beberapa negara maju, secara
global sebagian besar perempuan masih terlibat dalam
pekerjaan yang rentan yang sering ditandai oleh rendahnya
penghasilan, ketiadaan proteksi sosial, produktivitas rendah
dan kondisi pekerjaan yang berbahaya (Noeleen Heyzer 2010).
Intervensi pemerintah dan kebijakan-kebijakan lembaga
pendidikan tinggi yang sensitif jender sangat dibutuhkan
sebagai prasyarat untuk menutup kesenjangan jender dalam
transisi dari pendidikan tinggi ke pasar.
Segregasi dalam jenis disiplin ilmu ternyata telah meng-
akibatkan terjadinya kesenjangan dalam penghasilan dalam
dunia kerja. Pentingnya menutup kesenjangan jender yang
timul akibat segregasi dalam jenis pendidikan telah ditekankan
oleh PBB dalam tema untuk International Womens Day 2011
yaitu: Kesetaraan akses ke pendidikan, pelatihan, sains dan
teknologi. Untuk meningkatkan kesempatanyang setara dalam

179
Luther dan Pendidikan

memperloleh pekerjaan yang layak sangat penting untuk


menjembatani jurang dalam transisi pendidikan, sains dan
teknologi dengan pasar tenaga kerja. Tantangan ini sangat
mempengaruhi perempuan dalam pendidkan tinggi khususnya
karena sangat terbatasnya kesempatan dan jejaring
perempuan dalam pasar tenaga kerja dibandingkan laki-laki.
Segregasi dalam pendidikan mengakibatkan segreasi dalam
lapangan pekerjaan dan kesenjangan dalam penghasilan serta
pembuatan keputusan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan yang
terlibat dalam pendidikan tinggi, semakin banyak perempuan
yang terlibat dalam pasar tenaga kerja di seluruh dunia
(UNESCO 2010). Partisipasi dalam akses dan kelulusan
perempuan serta kontribusi perempuan untuk pembangunan
lokal dan global meningkat tetapi perempuan tetap menjadi
kelompok termiskin, bekerja di sektor informal dengan gaji
yang lebih rendah dan tanpa proteksi. Laporan MDGs (2010)
menunjukkan di Asia Selatan dan Afrika lebih dari 80% pekerja
permepuan bekerja disektor tenaga kerja yang rawan yang
dibayar rendah bahkan tidak dibayar dan tidak memiliki jaminan
keamanan.
Di Indonesia persepsi bahwa laki-laki adalah kepala
keluarga yang dikuatkan dengan UU Perkawian telah
mengakibatkan kesenjangan gaji antara permpuan dan laki-
laki dimana perempuan mendapat gaji yang leibh rendah
dibandingkan dengan laki-laki dan juga jenis pekerjaan yang
mendapat gaji yang lebih rendah (Endang S Soesilowati and
Zamroni Salim.2009). Di Indonesia rata-rata gaji bulanan
perempuan adalah sekitar 76% dari gaji pekerja laki-laki.

180
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

Tingkat pendidkan ternyata tidak menentukan gaji tetapi gaji


lebih ditentukan oleh bias jender mengenai tugas dan
tanggungjawab serta peran tradisional perempuan dan laki-
laki. Bahkan untuk tingkat pendidkan yuang sama pekerja
permapiuna cenderung untuk menerima gaji yang lebih rendah
yaitu sebesar 81% dari gaji pekerja laki-laki. Yang menarik
berdasarkan data survey ketenagakerjaan yang dilakukan pada
2006-2008 rata-rata gaji perempuan sedikit meningkat dari
74% (2006) menjadi 77% (2008). Namun sangat disayangkan
gaji pekerja perempuan dengan latar belakang pendidikan tinggi
justru menurun dari 74% (2006) menjadi 67% (2007) walapun
akhirnya meningkat menjadi 71% (2008).
Walaupun peningkatan pendidikan telah meningkatkan
akses perempuan ke posisi manajerial junior tetapi ternyata
pendidikan semata tidak menjamin meningkatnya akses untuk
posisi manajemen senior (Ariane Antal dan Dafna Izraeli 1993).
Walaupun perempuan memiliki pendidikan yang lebih tinggi
dari laki-laki namun mereka tetap sangat sedikit yang
menduduki posisi manajerial, khususnya di administrasi
pemerintahan, perempuan menghadapi hambatan yang serius
dalam mewujudkan mobiliitas keatas. Yang lebih menarik,
ternyata perempuan dituntut untuk memiliki kualifikasi yang
lebih tinggi daripada laki-laki untuk posisi yang sama (Wright
and Crockett-Tellei 1994).
Di Indonesia selama 3 dekade terdapat kecenderungan
walaupun untuk jenis pekerjaan yang sama tetapi untuk
perempuan dibutuhkan pendidkan yang lebih daripada laki-
laki untuk tugas yang sama, walaupun perempuan memiliki
pendidikan tinggi/ lebih terdidik dari laki-laki namun tetap

181
Luther dan Pendidikan

sangat seditkit pada posisi manajerial. Di pasar tenaga kerja


Indonesia tingkat partisipasi perempuan yang tinggi di pasar
tenaga kerja terkonsentrasi pada pekerjaan yang ditandai
dengan produktivitas yang rendah, pekerjaan yang mendapat
upah rendah (Crockett, 1989; Wright and Crockett-Tellei,
1994).
Privatisasi pendidikan tinggi dan pengurangan subsidi
terhadap pelayanan kesehatan, krisis ekonomi telah
mengakibatkan naiknya harga barang kebutuhan sehari-hari
dan telah mengakibatkan lebih banyak kesulitan bagi kaum
perempuan. Hal ini berkaitan erat dengan tugas-tugas
domestik perempuan yang selama ini dianggap bertanggung-
jawab terhadap pemeliharaan kesehatan dan pendidikan anak.
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, struktur patriakhi
dalam masyarakat yang lebih mengutamakan laki-laki telah
mengakibatkan dikorbankannya pendidikan untuk perempuan.
Berbeda dengan kebijakan pemerintah dalam menjalankan
program wajib belajar 9 tahun telah berhasil menutup
kesenjangan jender dalam kedua tingkatan pendidikan ini,
pemerintah tidak melakukan intervensi yang sama untuk
tingkat pendidikan tinggi. Dengan demikian privatisasi
pendidikan yang disertai dengan ketiadaan kebijakan
pemerintah untuk menutup kesenjangan jender pada
pendidikan tinggi semakin meningkatkan kerentanan
perempuan dalam pendidikan tinggi.
Globalisasi dan liberasilsasi yang dipacu oleh pasar telah
mempengaruhi kurikulum, pedagogi, manjamen pendidikan dan
berfokus pada riset yang diatur oleh donor tidak dapa mem-
berikan manfaat positif untuk mentuup kesenajangn jender

182
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

(Bennett, 2002 dalam AWID 2009). Privatisasi pendidikan di


India semakin memperlebar jurang antara orang yang mampu
membayar dangan yang tidak. Walalupun pemernitah menye-
lenggarakan pendidikan dasar gratis, tetapi meningkatnya
sekolah swasta dengan kualitas yang lebih baik meningkatkan
kesnjangna ini dalam perempuan (Subrahmanian 2002). Di
Indonesia, pasar malah mendapat keuntungan dari dipertahan-
kannya perempuuan sebagai pekerja dengan upah yang
rendah. Lebih drastis lagi, pekerja-pekerja migran Indonesia
dikirim tanpa dibekali dengan pemahaman mengenai hak
mereka dan cara melindungi hak mereka. Tidak heran banyak
TKI peremuan mengalami perkosaan, kekerasan, kehamilan
yang tidak dikehendaki, penyiksaan fisik dan trauma.
Terlepas dari perbedaan tingkat pendapatan,segregasi
ini terjadi secara global (WDR 2012). Dipertahankannya
maskulinitas/segreasi dalam disiplin ilmu ini permasalahannya
terletak pada sistem pendidikan yang diperkuat oleh norma-
norma jender dalam masyarakat dan pasar. Bias jender dalam
lapangan pekerjaan yang dipengaruhi oleh sikap majikan
terhadap bentuk keluarga dan pengasuhan anak. Secara global
diketahui perbedaan jender telah mengakibatkan kesenjangan
produktvitas dan gaji antara perempuan dan laki-laki. Untuk
menghilangkan ketidaksetaraan jender ini sangat dibutuhkan
transformasi dalam rumah tangga, pasar dan institusi.
Struktur pasar yang bias jender dan pembuatan
keputusan dalam rumah tangga menghambat efektifitas
pendidikan dalam otonomi dan agensi perempuan. Penelitian

183
Luther dan Pendidikan

yang dilakukan dalam WDR (2010) menunjukkan bahwa tingakt


partisipasi untuk akses ke pendaftaran dan partisipasi dalam
pendidikan akan dapat diwujudkan dengan intervensi
pemerintah dan investasi pendidikan untuk anak perempuan
atau menghilangkan hambatan institusional atau meningkatkan
pendapatan keluarga. Tetapi untuk kesetaraan jender dalam
kualitas partisipasi dan outcome harus melakukan intervensi
dan perubahan dalam rumah tangga, pendidikan, pasar
sekaligus. Apabila ini dilakukan secara simultan maka akan
lebih cepat terwujud kesetaraan jender dalam pendidikan.

Rumahtangga Sebagai Lokasi Perjuangan Kesetaraan


Jender?
Relasi dalam rumah tangga merupakan level analisis yang
penting dalam membahas kesetaraan jender pada lembaga
pendidikan tinggi. Melalui interaksi diantara anggota keluarga
dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga merupakan tempat
dimana jender secara terus menerus direproduksi (Mckie et
al., 1995; Morgan, 1999; Sommerville, 2000). Marjinalitas
perempuan dalam pembuatan keputusan di ruang publik
merupakan konsekuensi lemahnya posisi perempuan dalam
pembuatan keputusan dalam rumah tangga (Bhatta, 2001:25).
Data Indoneisa menunjukkan semakin tinggi tingkat
pendidikan perempuan, semakin rendah persentase perempuan
yang tidak meneruskan pendidikan akibat masalah keuangan,
pekerjaan diluar rumah dan menjaga anak. Sebaliknya, semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi persentase yang
keluar dari pendidikan yang diakibatkan masalah perkawinan
(EFA Indonesia 2008). Tingkat pendidikan ternyata tidak

184
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

berkorelasi positif dengan terjadinya KDRT. Menurut Komnas


perempuan, terdapat 54.425 kasus kekerasa yang dilaporkan
pada tahun 2008 dan 90% pelaku adalah suami atau anggota
keluarga terdekat.
Dalam iman Kristen pernikahan yang setara yang saling
melayani (Efesus 5; 1 kor 7:1-7; Petrus 3:7). Dalam Galatia
3:28 jelas sekali disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki
adalah satu dalam Kristus. Pengenalan akan Kristus yang
mendalam akan memampukan relasi yang setara melampui
batas budaya, warisan etnis dan gender. Hanya dengan ini
kita dapat me-mahami konsistensi pengajaran iman Kristen
dalam memahami kesetaraan jender dan bagaimana melalui
kesetaraan jender ini perempuan berperan aktif dalam
melakukan transformasi sosial.

Otonomi dan Agensi sebagai tujuan utama dalam


kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi
Ketercapaian dalam pendidikan tinggi khususnya dapat
membawa pada kesetaraan jender namun hambatan yang
berasal dari insitusi, ideologi dan bias sosial sangat memper-
lambat proses. Kompleksitas keterkaitan berbagai faktor ini
di lokus publik dan privat membutuhkan kombinasi strategi
dan intervensi alternatif yang terintegrasi dengan pendekatan-
pendekata pemberdayaan perempuan.
Kompleksitas keterkaitan berbagai faktor dalam mewujud-
kan kesetaraan jender di pendidikan tinggi mengharuskan
strategi altenatif pemberdayaan perempuan dalam pendidikan
tinggi. Untuk Negara-negara sedang berkembang startegi
alternatif bekerja lebih efektif dalam memberdayakan

185
Luther dan Pendidikan

perempuan untuk kesetaraan jender dibandingakn dengan


strategi-strategi konvensional yang diajukan oleh kaum Feminis
liberal yang mengambil posisi yang menganggap laki-laki
sebagai penindasan dan musuh secara konfrontasional
(Wieringa, 1995; Rowlands, 1997; Scheyvens, 1998; Desai,
2000). Dalam masyarakat dengan sistem patriarkhal yang kuat
argumentasi feminis yang konfrontasional akan dengan segera
mendapat penolakan dari laki-laki dan pada saat yang
bersamaan akan meningkatkan kerentanan dan kecemasan
perempuan dalam menjembatani secara sosial peran jender
tradisional (Marchand, 1995:64).
Perempuan dalam Negara sedang berkembang secara
strategis menggunakan peran jender sebagai pintu masuk
dalam ruang public oleh karena hal ini dianggap dapat diterima
secara budaya dan sosial dan sekaligus menghindarkan konflik
dengan kaum laki-laki (Baden, 2000:30). Dalam pengalaman,
pengamatan dan perbincangan sehari-hari dengan akademisi
dan pegawai perempuan yang bekerja di berbagai institusi
pendidikan tinggi strategi ini dominan digunakan. Bagaimanapun
sibuknya seorang tenaga akademik dengan tugas-tugas dalam
pendidikan, penelitian dan pengabdian namun kebanyakan
tetap melaksanakan peran tradisional. Dalam hal ini bantuan
dari perempuan lain dalam keluarga seperti ipar, mertua dan
pembantu sangat mempengaruhi dan mengurangi beban
perempuan. Aliansi strategis dengan keluarga merupakan
strategi perempuan yang efektif dalam menjalankan perannya
dan peningkatan karier dalam dunia akademik. Masalah utama
minimnya minat untuk melanjutakn studi lanjut ke luar daerah
tempat tinggal disebabkan oleh faktor keluarga, dimana

186
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

perempuan dianggap tidak seharusnya meninggalkan keluarga


untuk melanjutkan studi mereka karena tugas utama mereka
adalah dalam rumah tangga. Pada umumnya setelah dibangun
aliansi strategis dengan suami atau anggota keluarga maka
perempuan akan lebih mudah menghadapai tantangan dari
anggota keluarga luas atau pandangan negative dari anggota
masyarakat.
Dalam studinya mengenai strategi pemberdayaan
perempuan di kepulauan Solomon, Scheyven (1998)
mengunangkapkan bahwa apa yang disebutnya sebagai
subtle strategies (strategi yang non konfrontasional) dapat
lebih efektif daripada yang konfrontasional oleh karena bukan
saja menghindarkan konflik dengan laki-laki tetapi juga
menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk meningkatkan
kesadaran dan solidaritas dalam menghadapi struktur
kekuasaan lokal dan relasi jender dalam ruamhtangga dan
masyarakat yang bias jender dengan mengurangi ancaman
yang berasal dari kekuatan lokal tersebut. Keterlibatan
perempuan dalam organisasi dapat meningkatkan percaya diri
mereka yang akan memampukan mereka untuk menjadikan
sumbangan dan partisipasi mereka dihargai dan didukung oleh
anggota masyarakat lainnya.
Studi di Indonesia juga menemukan bahwa perempuan di
Sumatera Utara menghadapi hambatan kultural, struktural,
organisasional dan financial dalam keterlibatan mereka dalam
kepemerintahan daerah. Untuk dapat dan diijinkan berorganisasi
dalam organisasi perempuan, maka kaum perempuan meng-
gunakan strategi alternative, yaitu chilly sauce strategy
dimana sebelum pergi beroganisasi keluar rumah mereka

187
Luther dan Pendidikan

menyediakan sambal dan lauk pauk untuk anggota keluarga


mereka. Hasil dari strategi ini, suami mendukung dan ini
menjadikan kaum plerempuan ini lebih percaya diri dalam
berogransisasi dan mengurangi ancaman dan/atau tanggapan
negative dari masyarakat sekitranya oleh karena kegiatn
mereka didukung oleh suami. Bahkan lebih jauh, kelompok
perempuan di Deli Serdang mulai dari keterlibatan dalam
perwiridan meningkatkan kapasitas mereka dalam menganalisis
situasi-situasi sosial yamg mereka hadapi sehari-hari dan
terlibat dalam memonitor jalannya pemerintahan desa mereka
secara efektif (Siahaan 2004). Dengan pengakuan terhadap
peran penting perempuan dan keahlian kaum perempuan dalam
komunitas akademis dan dalam masyarakat perempuan akan
dapat berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam
keseluruhan proses kehidupan akademik dan dalam
kemasyarakatan dan politik.
Kesetaraan jender dalam dunia pendidikan tinggi harus
memperhatikan perempuan sebagai agen sosial yang aktif
yang memiliki kapasitas untuk mendekonstruksi proses dan
strutkur yang bias jender/ dominan maskulin di pendidikan
tinggi. Agensi merupakan kemampuan seseorang untuk
membuat pilihan-pilihan dan mengambil tindakan yang
berkatian dengan diri orang tersebut, situasinya dalam
keluarga dan dalam ruang publik (World Bank 2012).
Pendekatan agensi perempuan memandang perempuan
sebagai subjek yang mampu membuat keputusan dan
mengambil tindakan untuk kepentingan diri dan masyarakat
daripada sekedar sebagai korban yang tidak berdaya. Dengan
demikian agensi dapat dipahami adanya kemampuan individu

188
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

baik laki-laki maupun perempuan dan kelompok untuk membuat


pilihan-pilihan yang efektif untuk mentransformasi pilihan-
pilihan ini menjadi hasil yang diinginkan. Dengan memahami
agensi dalam proses kesetaraan jender kita dapat memahami
secara mendalam dan kompre-hensif bagaimana hasil-hasil
kesetaran jender terwujud dan mengapa proses2 ini setara
atau tidak setara. Dalam hal ini iman Kristen secara tegas
menyatakan tujuan dari pendidikan seharusnya mengarahkan
umat manusia secara Alkitabiah kepada pengetahuan/
pemahaman tentang Tuhan, kemanusiaan dan ciptaan Tuhan,
agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam keluarga, gereja,
masyrakt untuk kemuliaan Tuhan dan pelanan kerjaan Kristus
(2 Raja2 22:8-23:26; Malaeakhi 4:4-6; Matius 20:26-28).
Kebenaran yang berakar pada Kekristenan menekankan fakta
bahwa perempuan adalah merupakan agen moral dan sosial.
Melalui hubungan pribadi dengan Kristus, perempuan mengalami
transformasi yang memampukan mereka untuk menggunakan
karunia dan potensi yang ada untuk transformasi dalam agama,
politik dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan demikiaan,
iman Kristen menyediakan dasar bagi strategi alternatif
pemberdayaan perempuan oleh karena iman Kristen
memandang kesetaraan jender sebagai saling melengkapi dan
saling ketergantungan antara perempuan dan laki-laki dalam
masyarakat dan bukan didasarkan pada individualisme
sebagaimana yang ditekankan oleh feminis liberal. Iman Kristen
mempertahankan kesetaraaan jender termasuk kesetaraan
dalam hak-hak masyarakat dan tanggungjawab dalam
pernikahan.

189
Luther dan Pendidikan

Pengalaman universitas-universitas di Austria dalam


melakukan perubahan untuk mengitegrasikan indicator-
indikator dalam menentukan kesetaraan jender dalam
pendidikan tinggi sebagian besar merupakan hasil pekerjaan
kaum perempuan. Dimulai sebagai gerakan aktivis feminis akar
rumput pada masa kebangkitan gerakan feminis di akhir 1980an
dan awal 1990an dan didukung oleh Sekretaris Negara untuk
Urusan Perempuan, perempuan dalam institusi pendidikan
tinggi mengubah nilai-nilai kultural dalam universitas yang
sebelumnya didominasi oleh laki-laki.
Aktivis-aktivis perempuan ini menghadapi isu menata-
kelola manajemen dengan tujuan untuk memperkenalkan
kesetaraan jender (Scully dan Segal 2002) dengan terlibat
dalam mobilisasi mikro dalam mempertahankan usaha kolektif
mereka dalam menata resiko karier dan misi mereka dan dalam
mengevaluasi ketercapaian tujuan mereka yang saling
berkaitan. Perempuan terlibat aktif dalam membongkar dan
mengubah keterkucilan organisasional mereka dari akses
terhandal sumber-daya, pengaruh, kesempatan berkarier dan
kewenangan akademik.
Belakangan ini di Eropa reformasi Adminisrasi Negara Baru
(New Public Managemnt) telah didirikan di seluruh Eropah
yang selanjutnya menginsisasi pergeseran dari tata kelola
dan peraturan pemerintah dan peraturan pemerintah yanag
kuat menjadi model manajerial dan meningkatnya otonomi.
Kegiatan kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi telah
dipandang seagai bagian dari manajmen universitas dan
dengan demikian dapat juga dipengaruhi oleh proses
profesionalisasi. Dengan demikian pendidikan harus dilihat

190
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

sebagai tujuan yang berhubungan dengan peningkatn otonomi,


dan agensi untuk meningkatkan kualtias hidup. Perhatian yang
hanya tertuju pada pengaruh pendidikan terhadap indikator
pembangunan akan berakibat pada pengabaian untuk
mengamati apakah jalur ini telah memberdayakan perempuan
dalam arti peningkatan otonomi dan agensi untuk penignkatan
kualitas kehidupan. Peran strategis pendidikan dalam mening-
katkan otonomi perempuan dan agensi pada rumah tangga
dan akses yang lebih baik ke pelayanan publik termasuk tenaga
kerja mendapat tantatngan ideologi yang bias gender mem-
bentuk pasar tenaga kerja dan keluarga seringtidfak ditantang
oleh lembaga dan proses pendidkan dimana kaum perempuan
terlibat/berpartisipasi (Subrahmanian 2002).
Agama merupakan hal yang sentral dalam pembangunan
dan dapat menjadi pedang bermata dua terhadap kesetaraan
jender: domestikasi dan pembebasan. Agama dapat saja
menindas/mengancam kesetaraan jender dan kekerasan
terhadap perempuan tetapi dapat juga menyediakan sumber/
lokasi stratejik bagi perjuangan kesetraan jender (Tomalin
2011).
Penelitian mengenai Agama, Poltiik dan Kesetaraan Jender
yang dilakukan oleh UNRISD telah menunjukkan tantangan
terhadap kesetaraan jender bukan hanya berasal dari agenda
fundamentalis agama tetapi njuga dari pihak yang memperalat
isu2 hak perempuan untuk kepentingan politik.(UNRISD 2009;
UNRISD 2011).
Dalam perjalanan sejarah agama sering dan dapat
digunakan untuk mengancam kesetaraan jender. Pimpinan
agama sering menekankan dalam pengajaran bahwa tugas

191
Luther dan Pendidikan

utama perempuan adalah untuk patuh dan ketidakpatuhan


akan mengakibatkan hukuman baik sosial bahkan sampai
hukuman mati (Phillips 2009). Fundamentalisme agama terus
meningkat secara global selama 10 tahun belakangan ini.
Gerakan ini mendapat kekuatan untuk membentuk norma-
norma sosial, mempengaruhi lembaga internasional dan
pembuat kebijakan dan menentukan peraturan/hukum dan
kebijakan dalam wilayah moralitas dan otonomi tubuh.
Perempuan merupakan target tertinggi dalam yang mendapat
serangan verbal dan fisik dari fundametalis (AWID 2009;
Casanova, Jos . 2009.)
Perempuan sebagai subjek dalam agama, sejarah dan
politik berperan penting dalam reproduksi dan transformasi
tradisi agama dan dalam memasukkan diskursus agma, sumber-
sumber dan praktek dalam politik kesetaraan jender. Agama
dapat saja menindas/mengancam kesetaraan jender dan
kekersan terhadap perempuan tetapi dapat juga menyediakan
sumber/lokasi strategis bagi perjuangan kesetaraan jender
(Tomalin 2011).
Kekristenan telah sejak lama berperan dalam meng-
gerakkan dan meningkatkan peranan perempuan dan
kesetaraan jender. Peranan misionaris Kristen dalam menye-
diakan pendidikan untuk perempuan telah berlangsung lama
bahkan pada masa dimana pendidikan untuk perempuan
mendapat tantangan dari masyarakat. Misionaris Kristen telah
lama menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan.
Pada tahun 1869 misionaris Methodist missionary Isabella
Thoburn mendirikan universitas/sekolah tinggi peremouan di
India yang merupakan pertama di seluruh Asia. Sampai pada

192
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

1909 misionaris perempuan Amerika telah menjalankan 3,263


sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Ditnegah-tengah prasangka sosial yang menentang pendidikan
untuk perempuan pada permulaan abad ke 20 mayoirtas
sekolah perempuan dan mempelopori pendidikan tinggi untuk
perempuan di Jepang, Korea, China, dan daerah lain di Asia
didirikan oleh para misionaris Kristen. Misionaris Kristen di
Kerala India juga mendidik kaum perempuan yang membawa
pada transformasi sosial di Kerala (Jothi 2011). Sampai pada
tahun 1935 misionaris Kristen telah mengelola 57.000 sekolah
dan lebih dari 100 perguruan tinggi diseluruh dunia ( Robert.
2009). Pendidikan digunakan sebagai alat evangelisasi
sekaligus alat untuk membawa perubahan dan penghargaan/
kesadaran terhadap pentingnya pendidikan juga untuk
perempuan, meningkatnya melek huruf, meningkatnya
kesadaran sosial atas hak dan kewajiban untuk kebaikan
masyarakat. Pentingnya pendidikan dalam perspektif Kristen
adalah bahwa pendidikan harus tersedia/terbuka baik bagi
perempuan maupun laki-laki agar dapat menikmati kebahgaiaan
dari Tuhan. Ini memberikan dasar yang kuat bagi hak
perempuan untuk terlibat dalam pemilihan umum.

Mengarusutamakan Jender dalam Pendidikan Tinggi


Keragaman dan kompleksitas faktor yang saling terkait
dalam mempengaruhi ketercapaian kesetaraan jender tidak
mungkin dapat diatasi dengan memberikan perhatian hanya
pada starategi yang difokuskan kepada perempuan sebagai
sumber permasalahan. Dengan demikian relasi jender pada
rumahtangga, pasar dan pemerintahan seharusnya merupakan

193
Luther dan Pendidikan

fokus/strategi utama dalam merwujudkan kesetaraan jender


sebagaimana yang dikemukakan oleh teori Gender dan
Pembangunan (GAD) daripada hanya sekedar strategi
pembangunan yang berfokus pada perempuan. Pendekatan
GAD mengungkapkan keberagaman diantara laki-laki dan
perempuan yang didasarkan pada hubungan/relasi sosial yang
dikonstruksikan.
Feminist post strukturalis dengan pendekatan GAD
mengasumsi bahwa pembangunan tidak netral jender oleh
karena ideologi jender ada dalam keseluruhan aspek kehidupan
termasuk material (sosial ekonomi), lingkungan kerja, distribusi
kekayaan, penghasilan dan sumber-sumber lain, pembuatan
keputusan, kekuasaan politik (Kothari, 2002:44; Saunders,
2002). Akar persoalan ketidakssetaraan jender bukanlah
berpusat semata pada perempuan tetapi diakibatkan oleh
konstruksi relasi sosial antara peremouan dan laki2 yang
mengakibatkan subordinasi perempuan. Pergeseran fokus dari
perempuam ke relasi jender mencakup perpanjangan dari peran
reproduksi (kesehatan, perencanaan keluarga dan pendidikan
ke isu-isu makro seperti perencanaan ekonomi nasional,
penyesuaian struktural dan hutan kerusakan lingkungan dan
konservasi serta organisasi kemasyarakatan dan politik yang
lebih bersifat umum daripada sektoral (Pearson and Jackson,
1998:5). Dengan demikian perwujudan pembangunan yang
berkesetaraan jender men-syarat-kan transformasi radikal dari
sistim sosial, ekonomi, insitutsi sosial dan politik dimana
pembangunan dilaksananakan (McGee, 2002:100).
Pengarusutamaan jender dimulai sejak pertengahan
1980an. Pendirian unit yang terpisah khusus untuk perempuan

194
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

dalam organisasi pemerintahan daerah cenderung untuk


menciptakan lebih banyak ketegangan dan konflik daripada
stategi pengarusutamaan jender (Corner, 1999; Goetz, 1997;
Moser, 1993). Pengarusutamaan jender dalam pendidikan tinggi
merupakan suatu strategi untuk menjadikan kebutuhan dan
pengalaman perempuan dan laki-laki terintegrasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
pendidikan tinggi. Strategi ini lebih tepat dalam memenuhi
kebutuhan dan kepentingan perempuan karena mencakup
cara-cara bagaimana suara perempuan didengar dan mempe-
ngaruhi perumusan agenda pembangunan dan sekaligus
sebagai alat untuk menjamin pembagian yang merata atas
sumber yang tersedia. Peningkatan partisipasi perempuan
dalam pembuatan keputusan merupakan komponen penting
dalam mewujudkan pembangunan yang berkesetaraan dan
berkeadilan jender.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam pembuatan
keputusan dan kepemimpinan di pendidikan sangat penting
untuk mentransformasi agenda dan proses akademis. Strategi
kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi (Jahan, 1995:13)
dapat dilakukan dengan:
Peran proaktif perempuan dalam proses dan struktur
pembuatan keputusan
Pengakuan dan perhatian atas kebutuhan perempuan dan
laki2 di pendidikan tinggi
Pengakuan terhadap keragaman perempuan
Penekanan pada tujuan substantif dengan
menghilangkan hambatan sosial, legal, kelembagaan

195
Luther dan Pendidikan

dan politik dalam prencanaan dan pelaksanaan


kebijakan2 dan intervensi yang responsif jender.
Memberikan perhatian dan memperkuat agensi
perempuan dalam pendidikan tinggi.

Pengarusutamaan jender merupakan suatu strategi


peningkatan kesetaraan jender yang diterima secara global.
Hal ini berarti pengarusutamaan jender merupakan suatu
proses daripada suatu tujuan untuk menciptakan pengetahuan,
kesadaran dan tanggungjawab untuk kesetaraan jender
diantara seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan tinggi.
Bukan merupakan strategi dan alat untuk mewujudkan
kesetaraan jender dalam lembaga pendidikan tinggi melalu
penyadaran/sensitisasi dan pendidikan pemangku peran bahwa
biaya marjinalisasi perempuan dan ketidaksetaraan jender
akan ditanggung oleh sector pendidikan sebagai suatu
keseluruhan (dari pra/pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi. Pengarusutamaan jender dalam pendidikan tinggi
mencakup penjaminan bahwa perspektif jender dan perhatian
terhadap tujuan kesetaraan jender adalah sangat penting
untuk semua kegiatan akademis baik dalam kebijakan
pendidikan, kurikulum, penelitian, advokasi, alokasi sumber
daya, fasilitas dan perencanaan, implementsi dan monitoring
program pendidikan tinggi (UNESCO 2010 ).
Di Asia strategi yang lebih banyak digunakan adalah
dengan mendirikan PSW dan dibeberapa negara khususnya
dalam masyarakat tradisional Muslim dan bebarapa negara
bagian di India dan Korea mendirikan universitas dan lembaga
pendidikan yang diperuntukkan khusus untuk kaum perempuan.

196
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

Walaupun pemisahan universitas khusus untuk perempuan ini


dapat memberiakna akses, kesempatan dan ruang yang lebih
luas kepada kaum perempaun untuk terlibat dan menentukan
proses dan agneda dalam segala tingkatan dan proses
administrasi, manajemen, akademik dan kepemimpinan. Nmaun
universitas ini lebih banyak didirikan oleh swasta dan dapat
lebih membatasi kesempatan bagi perempuan untuk
berpartisipasi dan melakukan dekonstruksi/transformasi di
lembaga pendidikan tinggi umum dimana perempuan dan laki-
laki berinteraksi. (UNESCO 2010)
Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 132 Tahun
2003, menunjukkan adanya dukungan politik pemerintah
Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan
agar berperspektif jender. Di Indonesia IAIN/UINs Centre for
Women Studies telah menekankan penggnan pendekatan
jender dalm penneltian dan studi Islam dan juga merevisi
kurikulum dan buku teks agar lebih sensitif jender. Namun
keterbatasan pendanaan telah membatasi pengembangan
inisitaif penelitian yang inovatif dan pengarusutamaan jender
yang berlangsung di perguruan tinggi Islam (Kull, 2009).
Pengarusutamaan jender telah menjadi isu dan strategi
utama selama 30 tahun belakangna ini dalam pengeloaan
pendidikan tinggin di negara2 Nordic. Universitas seperti di
Norwegia lebih menekanan pada strategi bekerja dari dalam
unviersitas untuk menangani kesetaraan jender dan
pengarusutamaan jender. Equal Opportunities, sebuah
organsiasi dalam universitas yang mencakup seluruh fakultas
yang ada di perguruan tinggi, mempunyai agenda internal
untuk menangani isu kesetaraan dan jender, keberagaman

197
Luther dan Pendidikan

etnis dan agama, akses dan partisipasi orang-orang infabel,


perlakuan yang sama dalam hak terlepas dari umur atau
identitas jender. Juga berkolaborasi dengan pihak luar
universitas dalam mempromosikan dan mengadvokasi
kesadaran dan kesetaraan jender.
Menyadari kesetaraan gender sebagai suatu konsep yang
multidimensional, Swedia mengembangkan indikator yang
mencerminkan lebih dari representasi perempuan yaitu 4R
Gender Analysis Tool yang didasarkan pada respresentasi,
sumber daya, hak dan realitas. Indikator-indikator kesetraan
jender ini membantu manajemen universitas dalam mengim-
plementasi dan memonitor pengarusutamaan jender di
universitas.
Kewajiban untuk mengimplemntasikan pengarusutamaan
jender di universitas2 di Jerman telah berlangusung lebih dari
10 tahun. Walaupun terdapat kebijakan bagaimana melakukan
pengarusutamaan jender secara berhasil dalam penelitian,
pendidikan dan adminisstrasi univeristas, disertai dengan
komitemen formal untuk kesetaraan jender namun ditemukan
keterbartasan aksi secara konstan menghambat ketercapaian
tujuan-tujuan yang telah didefininisikan sebelumnya.
Di Afrika unit-unit jender dengan berbagai program dan
aktivitas termasuk pendidikan, penelitian dan fungsi-fungsi
aktivisme telah dibentuk pada sebagian besar lembaga
pendidikan tinggi (Bunyi 2003). Namun kebanyakan lembaga
pendidikan tinggi di Afrika tidak memiliki kebijakan kesetaraan
jender dan intervensi.
Walaupun keberadaan perempuan sebagai model panutan
sangat penting untuk menginisasi dan mengawsai pelaksanaan

198
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

jender, namun tugas ini tidak dapat dilaksanakan oleh


beberapa orang tertentu saja. Pengalaman pengarusutamaan
jender sebelumnya diungkapkan bahwa melatih beberapa
orang kunci tidak dapat menyempurnakan pendekatan ini.
Beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan strategi kesetaraan jender dalam pendidkan
tinggi:
Isu dan proses kesetaraan jender dalam pendidikan tinggi
sebaiknya dilaksanakan secara terintegrasi dalam
keseluruhanaktivitas akademik yaitu dalam pendidikan,
penelitian dan aktivitas universitas lainnya.
Hasil dan pewujudan kesetaraan jender hanya dapat
dicapai apabila orang-orang dalam lembaga pendidikan
tinggi diberdayakan untuk menangani isu-isu organisasi
dan manajemen secara simultan.
Kesetaraan jender bukanlah merupakan kegiatan yang
bersifat ad hoc tetapi merupakan proses yang
berkelanjutan dan komrehensif. Seluruh stakeholders
dalam lembaga pendidikan tinggi harus diberikan pening-
katan pengethaun dan kapaistas dalam menyelenggarkan,
merencanakan kesetaraan jender.

Penutup
Kompleksitas dan kecepatan proses globalisasi ekonomi
dipacu dan ditentukan oleh semakin meningkatnya proses
yang didasarkan pada pengetahuan dan membutuhkan tenaga
kerja/SDM yang terdidik yang mampu mengelola dan
mengembangkan teknologi yang sesuai dengan tuntutan
globalisasi dan pembangunan dan juga ilmu pengetahuan baru

199
Luther dan Pendidikan

untuk memerangi kemiskinan serta adaptas isu-isu yang baru


muncul dan dikenali seperti perubahan iklim dan konsekuen-
sinmya. Hal ini mengakibatkan partisipasi perempuan dalam
teknologi dan sains sangat penting untuk kualitas partisipasi
perempuan dan sumbangannya terhadap pembangunan dan
arah kebijakan juga untuk pemberdayaan perempuan itu sendiri
dalam menghadapi tuntutan globalisasi. Untuk itu kualitas
dan relevansi pendidikan melalui penyempurnaan kurikulum
dan revisi buku-buku dan bahan ajar yang lebih jender sensitif
sangat dibutuhkan.
Perlu dikembangkan manajemen pendidikan tinggi yang
sensitif dan responsif jender dengan merumuskan, mengim-
plementasikan dan menmonitor kebijakan yang bias jender.
Peningkatan kapasitas lembaga pendidikan tinggi dalam
merencanakan, merumuskan kebijakan, strategi dan program
yang mendukung kesetaraan jender secara efisien dan efektif
merupakan komponen yang strategis. Untuk mendapat
dukungan meluas di kalangan akademis perlu ditingkatkan
penelitian mengenai kesetaraan jender di perguruan tinggi.
Untuk itu kesadaran seluruh staf pengajar/akademik tentang
pentingnya dan kontribusi isu jender dalam seluruh bidan disiplin
ilmu perlu dilaksanakan dengan intensif sehingga mereka
menerapkannnya dalam proses pembelajaran dan juga
penelitian.
Pendidikan tinggi merupakan bidang yang luas dan
kompleks sehingga pengarusutamaan jender dalam pendidikan
tinggi membutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan
perguruan tinggi dan aktivis yang diandalkan pada tingkatan
yang berbeda dan beragam dalam universitas dan lembaganya.

200
Pendidikan Tinggi dan Pembangunan Perspektif Gender

Kesadaran dan komitemen intelektual dan kedewasaan


emosional diantara akademisi dan stakeholders sangat
penting. Untuk itu perempuan dan kelompok pendukung serta
pembuat keibjakan dalam univesriats dapat segala tingkatan
termasuk di fakultas/progam studi harus saling mendukung
dalam mentranformasi maskulinitas dalam pendidikan tinggi.
Demokratisasi pendidikan tinggi untuk kesetaraan jender
lebih daripada hanya sekedar meningkatkan jumlah perempuan
yang terlibat dalam pendidikan tinggi dan posisi-posisi aka-
demik senior dan adminitratif. Kesetaraan jender bukan hanya
dalam partisipasi sebagi mahasiswa/dosen tetapi bagiman
kaum perempuan juga mewarnai dunia akademis sehingga
menjadi lebih sensitif jender dan dapat mengakomodasi dan
merepresentasi serta advokasi pemberdayaan perempuan
untuk kesetaraan jender dan transformasi sosial. Akademisi
perempuan mempunyai peran penting sebagai mentor dan
model dalam kehidupan di pendidikan tinggi khususnya bagi
mahasiswi yang diajarnya sehingga terbentuk identitas dan
otonomi kaum mahasiswi tersebut. Penguatan agensi
perempuan dalam mendekonstruksi struktur dan budaya
maskulin dalam pendidikan tinggi selanjutnya akan juga dapat
digunakan untuk melakukan transformasi sosial yang
mempercepat terwujudnya peningkatan kualitas kehidupan
baik perempuan maupun laki-laki.

201
Luther dan Pendidikan

BIODATA

Jan Sihar Aritonang lahir di Sibolga, Sumut, 22 Januari 1952.


Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) sejak Mei
1977. Doctor of Theology dari SEAGST 1987 dan Ph.D. dari
Universiteit Utrecht 2000. Dosen tetap di Sekolah Tinggi Teologi
(STT) Jakarta sejak 1988 (Ketua STT Jakarta periode 1995-1999
dan 2007-2011), dan salah seorang Ketua Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia (PGI) pada periode 2004-2009. Menulis
sejumlah buku, a.l. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak
(penyederhanaan disertasi, 1988), Berbagai Aliran di dalam dan
di sekitar Gereja (1995; 122012), dan Sejarah Perjumpaan Kristen
dan Islam di Indonesia (2004; 42010), Belajar Memahami Sejarah
di Tengah Realitas (2007; 32011), Garis Besar Sejarah Reformasi
(2007), dan (bersama Karel Steenbrink cs) A History of
Christianity in Indonesia (2008); di samping puluhan artikel di
berbagai antologi (kumpulan karangan), jurnal, dan majalah.
Diangkat dengan SK Menteri Pendidikan Nasional sebagai Guru
Besar (Profesor) bidang Sejarah Gereja di STT Jakarta (2010).

Pdt. Dr. Harry R.Panjaitan, D.Min.


Tempat/Lahir : Sitorang-Tobasa/11 Januari 1953
Pendidikan : Sarjana Theologia dari STT-HKBP Pem. Siantar,
1979
Master of Ministry dari Trinity Theological College,
Singapore 2003
Doctor of Ministry dari STII- Univ. Kristen
Immanuel-Yogyakarta, 2008
Melayani : Pendeta Resort; Study non gelar 1 tahun (1983)
di Luther Seminary, Adelaide-Australia; Praeses HKI Daerah I
Simalungun 1986-1990; Sekretaris Jenderal HKI 1990 2000;
Praeses HKI Daerah VI Sumatera Timur II di Medan 2010 sampai

202
BIODATA PENULIS
sekarang; Dosen part time di STT-SU/IAKPSU untuk program S1
dan S2 tahun 2008 sampai sekarang
Istri : S.P. Br. Simanjuntak
Anak : Tracy Majesty (Pr)
Alvon Bernardo (Lk)
Tabitha Frieda (Pr)
Yudith Anastasya (Pr)

Drs. Ridwin Purba, M.Div, M.Pd.


Lahir di Pematangsiantar, 1 Nopember 1961. Bekerja sebagai
dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP
Universitas Simalungun Pematangsiantar sejak tahun 1987. Aktif
di bidang pendidikan khususnya mengenai pengajaran bahasa
Inggris dan menjadi assessor dan instruktur sertifikasi guru sejak
tahun 2007 hingga saat ini . Aktif dalam bidang kerohanian dan
Sekretaris Ressort di GKPS Jl.Sudirman Siantar. Pernah mengikuti
berbagai kegiatan nasional maupun internasional sebagai
utusan pemuda GKPS. Saat ini beliau ditugaskan sebagai
sekretaris pendidikan KN-LWF.

Alida Nababan br Tobing MSc, Lahir di Balige 25 Januari 1936.


Kini bertempat tinggal di Jl.Rasamala Jakarta Selatan. Ibu dari 3
orang anak dan 4 orang cucu. Gelar MSc didapatkan dari state
University of Newyork (SUNY) USA. Pernah beberapa kali menjadi
pembicara dan utusan pada konferensi atau pertemuan tingkat
nasional maupun Internasional, misalnya Konsultasi LWF di Sri
Lanka, Tokyo Jepang, Tomohon, Ambon, SUkabumi. Sebagai
pelatih pada Latihan Kepemimpinan Gereja-gereja anggota LWF
di Jawa dan Sumatera Utara. Sampai tahun 2002 sebagai
penasehat di LSM Racham, yaitu satu komunitas perempuan
untuk keadilan dan keamanan. Kini sebagai penasehat Wanita
Gereja dan berencana menangani anak jalanan dan masalah
narkoba.

Sahat Gultom
Lahir di Jakarta, 6 Maret 1971 menikah dengan Gloria Sinaga di
HKBP. Saat ini bekerja sebagai pengusaha bidang IT dan
elektrikal di Jakarta.
Pengalaman selama 6 tahun di Singapura dan sebagai Sintua
memberikan banyak waktu untuk ikut dalam pelayanan pemuda
dan keluarga muda, baik di HKBP Singapore maupun di Johor
Bahru dan Klang, Malaysia. Beberapa kali menjadi narasumber

203
Luther dan Pendidikan
pelatihan Pendeta dan Sintua untuk pengembangan soft-skill
di HKBP dan beberapa gereja lain.

Asima Yanti Siahaan


Lahir di Medan 26 Januari 1964. Kini bekerja sebagai Head of
International Affair Office dan sekaligus dosen di Universitas
Sumatera Utara (USU). Gelar Sarjana didapatkan dari USU tahu
1987, sementara Magister didapatkan dari Monash University
Australia (1997) dan dilanjutkan dengan gelar PhD dari New
Zealand (2004) dengan major Development Studies. Beasiswa
lainnya adalah:
Open Society Institute/Central European University/Soros
Foundation, Hungary-Budapest. International Policy Fellow
(2002/2003)
University of British Columbia, Canada. Visiting scholar at the
Centre for Southeast Asian Research at the Institute of Asian
Research, UBC Canada (2003)
Dikti (Indonesia Higher Education Department), Program
Academic Recharging (2009). Visiting scholar at Massey
University, New Zealand (October 2009 January 2010)
SIDA-ICLD. Good Governance and Decentralization: A Gender
Perspective. Sweden. Fellow (2011/2012).
Research yang sedang ditekuni yaitu
EastWest Centre ICLD Sweden Regional Seminar on
Decentralization and Good Governance With A Gender
Perspective. Yogyakarta. May 18th 27th
Global Policy Dialogue Strengthen links to conquer
challenges: Foreign partnerships in higher education for
new opportunities in collaborative research and teaching.
British Council. Jakarta. March 26-27.
Resource person on Ethics and Social Responsibility
Workshop. Local Government of Pakpak Barat, North
Sumatra. January 2012.
Resource person on Policy Study of Development Strategy
With A Population Perspective: Social and Environment
Sector. BKKBN North Sumatra (Population and National
Family Planning Board of North Sumatra Province). Medan,
North Sumatra. 20-22 February.

Banyak menulis mengenai studi perempuan. Salah satu tulisan


yang terbarunya adalah Decentralization and Women in Indonesia.
Engendering Local Governance in North Sumatra (2012). Lambert
Academic Publishing: Germany.

204

Anda mungkin juga menyukai