Anda di halaman 1dari 7

MIND MAPPING

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)

Untuk memenuhi tugas matakuliah


Pengukuran Status Gizi
yang dibina oleh Ibu Septa Katmawanti S.Gz, M.Kes

Oleh:
Devi Wulandari (150612605297)
Fariha Mariroh (150612602843)
Lia Dewi Ningrum (150612603197)
Rizky Chaterina DC (150612600408)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
September 2017
Faktor Penyebab KEP

1. Sanitasi Lingkungan

Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga kesehatan orang dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang aman.
Semua ini bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia,tetapi juga sangat membantu bagi emansipasi kaum wanita dari beban
kerja berat yang mempunyai dampak yang merusak terhadap anak anak, terutama anak- anak perempuan. Kemajuan dalam kesehatan anak tidak
mungkin dipertahankan jika sepertiga dari anak- anak didunia ketiga tetap tidak menikmati sarana sanitasi yang layak. (Depkes,2008) dalam Arah
Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi IPB (2008).
Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini
berkaitan dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses
terhadap sanitasi layak (Bappenas 2010).
Menurut Depkes 2008 dalam Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi IPB (2008) Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang
diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi dua kelompok besar, yaitu sumber air
minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air terlindung, sumur
terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan
lainnya.
Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) dalam nomenklatur MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar,
jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah
bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya
menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL.
2. Status sosial-ekonomi
Komsumsi makanan yang berkurang sering dialami oleh penduduk yang berpendapatan rendah. Hal ini disebabkan oleh daya beli keluarga
yang rendah. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi pola pengeluaran komsumsi keluarga. Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga
menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. (Suhardjo,1989)
Masalah komsumsi pangan, rata- rata komsumsi energi dan protein secara nasional meningkat dengan tajam. Pada tahun 1984 rata rata
komsumsi energi perkapita 1798 kalori,meningkat menjadi 1905 kalori pada tahun 1990 dan menjadi 1962 kalori pada tahun 1995. Sedangkan
dalam kurun waktu yang sama rata rata komsumsi protein meningkat menjadi dari 43,3 gram,45,4 dan 49,2 perkapita/ hari. (SKPG, 1998). Efek
ganda ( interaksi ) dari berbagai faktor sosial ekonomi dalam menyebabkan jatuhnya seorang anak pada keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan.
(Mc Lean, W.1984).
Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga kesehatan orang dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang aman.
Semua ini bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia,tetapi juga sangat membantu bagi eman sipasi kaum wanita dari beban
kerja berat yang mempunyai dampak yang merusak terhadap anak anak, terutama anak-anak perempuan. Kemajuan dalam kesehatan anak tidak
mungkin dipertahankan jika sepertiga dari anak- anak didunia ketiga tetap tidak menikmati sarana sanitasi yang layak.
Berdasarkan pengalaman pada dasa warsa yang lalu,termasuk inovasi yang banyak jumlahnya dalam tehnik dan tekhnologi-tekhnologi
yang sederhana dan murah untuk menyediakan air bersih dan sarana sanitasi yang aman didaerah pedesaan dan perkampungan kumuh dikota,kini
patut dan layak melalui tindakan nasional bersama dan kerjasama internasional untuk menyediakan air minum yang amam dan sarana pembuangan
kotoran manusia yang aman untuk semua (Depkes RI, 1990).

3. Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta
pengasuhan anak dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan
khususnya di bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Sediaoetama, 2008)
Selain itu pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi sangat berperan nyata dalam resiko gizi kurang maupun gizi buruk. Bentuk
kepedulian pada gizi anak merupakan salah satu tanggung jawab dari keluarga dalam hal ini ibu rumah tangga dan secara tidak langsung merupakan
tanggung jawab masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang menyangkut perbaikan gizi banyak melibatkan kaum ibu, maka ibu merupakan tokoh utama
yang harus peduli pada keadaan gizi anak (Depkes RI, 2005).
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dialami oleh seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat mempengaruhi
seseorang dalam kesehatan terutama dalam pola asuh anak dan alokasi sumber zat gizi. Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai
keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya (St. Rahmah 2010).
Suhardjo, (2003) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
masalah gizi di dalam keluarga dan bias mengambil tindakan secepatnya.

4. Pekerjaan Orang Tua


Pekerjaan Ibu

Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu
kapan mulai bekerja. Jika ibu mulai bekerja sebelum anak terbiasa selalu bersamanya dan sebelum terbentuk suatu hubungan maka pengaruhnya
akan minimal, tetapi bila hubungan ibu dan anak telah terbentuk maka pengaruhnya akan mengakibatkan anak merasa kehilangan dan kurang
diperhatikan.

Pada masyarakat tradisional pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu ibu untuk merawat
anaknya. Sebaliknya dalam masyarakat yang ibunya bekerja, maka waktu ibu mengasuh anaknya sangat kurang. Bagi keluarga miskin, pekerjaan
ibu di luar rumah menyebabkan anak dilalaikan. Dalam keluarga, peranan ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan pengatur
konsumsi pangan anggota keluarga, dan juga berperan dalam usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan
anak.

Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat
bayi tidak mendapat ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini
menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya.

Pekerjaan Ayah

Ayah yang bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang
bekerja sebagai buruh dan hasil uji statistiknya menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Ayah yang bekerja sebagai buruh
mempunyai risiko yang lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibanding dengan balita yang ayahnya bekerja sebagai wiraswasta.

Proporsi ayah yang bekerja dalam kategori PNS/swasta cenderung mempunyai balita dengan status gizi baik dibandingkan dengan
pekerjaan lainnya. Ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki proporsi status gizi buruk terbesar yaitu sebesar 53%.

Pekerjaan Anak nelayan tradisional mempunyai resiko menjadi kurang gizi tiga kali lebih besar dibanding pada anak peternak, petani
pemilik lahan, ataupun tenaga kerja terlatih. Hal penelitian ini juga menunjukan bahwa pengelompokan pekerjaan yang terlalu umum misalnya
nelayan saja bisa mengatur pertumbuhan peranan faktor pekerjaan orang tua terhadap resiko anak mereka untuk menderita kurang gizi, resiko
kurang gizi pada anak nelayan tradisional tiga kali lebih besar dibanding anak nelayan yang punya perahu bermotor. Efek ganda (interaksi) dari
berbagai faktor sosial ekonomi dalam menyebabkan jatuhnya seorang anak pada keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abunain, Djumadias. 1990. Aplikasi antropometri sebagai lat ukur status gizi.. Puslibang gizi bogor

Bappenas. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak. (Online)


https://www.bappenas.go.id/files/3513/5022/6052/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kelangsungan-hidup-
anak2010090310302027480__20110518100943__3049__0.pdf diakses pada 12 September 2017

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat

Depkes RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126104-S-5830-
Kejadian%20KEP-Literatur.pdf diakses pada 10 September 2017
IPB. Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi.Institut Pertanian Bogor: Bogor (Online)
repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/.../60808/4/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf diakses pada 12 September 2017

Jalal, Fasli. 1998. Gizi Kualitas Hidup Agenda Perumusan Progran Gizi REPELITA VII Untuk Mendukung Pengembangan Sumberdaya
Manusia Yang Berkualitas Dalam Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi. LIPI. Jakarta

Sediaoetama, ahmad djaeni. 2008. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta: PT. Dian rakyat

St. Rahma. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Usia 1-3 Tahun Di Desa Marayoka Kecamatan Bangkala
Kabupaten Jeneponto. Makassar : FK UIN
Suhardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Pusat antar universitas pangan dan gizi. Bogor: IPB

Suhardjo. 2003. Perencanaan pangan dan gizi. Jakarta: Bumi aksara

Anda mungkin juga menyukai