Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO adalah sebuah karya ilmiah Teologi yang
diterbitkan secara berkala oleh STT BMW MEDAN.
Tulisan-tulisan ini merupakan wujud kontribusi pemikiran bagi STT,
gereja dan kekristenan di Indonesia.
Kontributor:
Sri Mulyono, M.Th., Dr. Eliazer Nuban, M.Th., Dr. Freddy Teng, M.Th.,
Yupiter Mendrofa, M.Th., Yulius Enisman Harefa, M.Th.,
Rosiany Hutagalung, M.Th., Rosdiana Purba, M.Th.,
Pelealu Samuel G., M.Th., Alexander Tambunan, M.Th.,
Dr. Binahati Waruwu, M.Pd., Alexander Suranto M.Th.
Sekretariat Editor:
STT BMW MEDAN
Jalan Besar Kutalimbaru
Desa Namomirik, Kecamatan Kutalimbaru
Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, 20354
Email: bmwmedanind@gmail.com. HP: 081264067730
Diterbitkan oleh:
STT BMW MEDAN
Jurnal Teologi: Jurnal BMW-GO
Terbit pada tahun 2017
Vol. I, No. 2, Januari Juni 2017
Dewan Penasehat:
Suranto, M.Th. (Pengurus Akademik YMRI)
Pelealu Samuel G., M.Th. (Ketua LPMI STT BMW MEDAN)
Pimpinan Redaksi:
Dr. Binahati Waruwu, M.Pd.
Redaksi:
Dr. Eliazer Nuban, M.Th.
Dr. Freddy Teng, SE., M.Th.
Yupiter Mendrofa, M.Th.
Redaktur Pelaksana:
Yulius Enisman Harefa, M.Th.
Administrasi/Sirkulasi:
Tabita Br. Sembiring, S.Th.
Erni Telaumbanua, S.PAK
Meldi Atur Tambunan, S.Th.
ISSN 2579-5678
KATA SAMBUTAN
ii
ISSN 2579-5678
DAFTAR ISI
Kata Sambutan ...................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................... iv
Integrasi Pelayanan Konseling dan Misi Kristen:
suatu upaya Pendekatan Terapan dalam Pelayanan
Sri Mulyono ............................................................... 1-36
iii
INTEGRASI PELAYANAN KONSELING DAN MISI
KRISTEN: SUATU UPAYA PENDEKATAN TERAPAN
DALAM PELAYANAN
ABSTRAK
Manusia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. Ia dijadikan dan
hidup dalam kasih Allah serta dalam keadaan yang mengagumkan. Pun
demikian dosalah yang menjadikan manusia itu jauh dari Allah, manusia
mempunyai masalah dan selalu bermasalah di hadapan manusia dan Allah.
Masalah itu perlu diselesaikan menurut kehendak Allah. Konseling
merupakan istilah dalam penanganan masalah. Pun demikian tidak semua
konseling adalah pemecahan masalah menurut kehendak Allah. Konseling
yang tidak mendasarkan pada kehendak Allah adalah pemecahan masalah
yang bersifat humanistik antropologis. Konseling kristen merupakan upaya
pemecahan masalah dalam kehendakNya. Konseling Kristen akan lebih ideal
jika bermuara pada misi Allah yang seutuhnya. Pelayanan konseling dan misi
seharusnya berjalan paralel. Praktek pelayanan konseling pada fase tertentu
klien terbuka kesadarannya untuk insaf dari dosanya serta menerima Injil.
Ketika hal itu terjadi maka pelayanan konseling telah menjadi jembatan bagi
pelayanan misi Allah. Pun demikian sering juga terjadi ketika sedang
melakukan pelayanan misi dalam bentuk percakapan penginjilan pribadi,
klien menyampaikan persoalan-persoalan hidup dan perlu upaya
penanganan dan pemecahan masalahnya; kenyataan ini menjadikan
pelayanan misi (melalui PI) menjadi jembatan bagi terlaksananya pelayanan
konseling. Konseling bisa mengarah pada penyampaian injil atau sebaliknya
penginjilan bisa mengarah pada konseling. Ketika keduanya bisa berjalan,
maka pelayanan tersebut telah menjadi jembatan yang bisa saling terintegrasi.
Mengintegrasikan berarti menyatukan, upaya mencapai kebulatan secara
utuh. Konseling Kristen seharusnya dilakukan dalam kaitan dengan misi
Allah yang seutuhnya atau sebaliknya.
ISSN 2579-5678
A. PENDAHULUAN
Allah adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia.
Berbicara tentang manusia selalu menarik dan actual (Kejadian 1:26, 27).
Terdapat gambaran utuh, karena manusia diciptakan menurut rupa dan
gambarNya, dengan demikian manusia memiliki pribadi utuh dan mulia
sebagaimana sifatNya. R. Laird Harris, menulis Man was made in Gods
image and likeness which is then explaned as him dominan over Gods as
vicergent.1 Sungguh mengagumkan bagi manusia yang memahami potensi
dirinya di hadapan Allah. Lebih lanjut Rick Warren mengatakan Manusia
diciptakan oleh Allah dan untuk Allah dan sebelum manusia memahaminya,
kehidupan tidak akan pernah bisa dipahami2. Semua yang dijadikan Tuhan
dengan keagunganNya meskipun sulit dipahami, bukan berarti tanpa arah dan
tujuan. Hal ini merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep
Deisme, yaitu ditegaskan setelah Allah menciptakan segala sesuatu,
kemudian Ia membiarkan begitu saja tanpa ada tujuannya. Stepent Tong
menegaskan dengan tegas Ketika Tuhan menciptakan alam semesta, satu hal
yang tidak dikenal oleh orang di luar kekristenan adalah bahwa alam semesta
ini mempunyai tujuan. 3 Artinya, Allah menciptakan segala sesuatu dengan
tujuan; yaitu untuk Dia sendiri. Tujuan itu dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia
(Roma 11:36). Dari Dia berarti, Tuhanlah sebagai sumbernya; oleh Dia
artinya, Tuhanlah media untuk mencipta; dan kepada Dia artinya, Tuhan yang
menerima pertanggungjawabannya. Searah dengan pengertian ini Stepen
Tong mengatakan: kalau kita memahami hal ini, maka kita menyadari bahwa
segala sesuatu berada dalam titik kesinambungan dimana manusia harus
1
R. Laird Harris, Theological Wordbook of the Old Testament, (Cicago: Moddy Press,
1998), 767.
2
Rick Warren, The Purpose Driven Life: kehidupan yang digerakkan oleh Tujuan
(Malang: Gandum Mas, 2006), 18
3
Stepen Tong, Mengetahui Kehendak Allah, (Surabaya: Momentum, 1999), 29.
Masih kaitan dengan hal tersebut kata tujuan diambil dari istilah Yunani Telos, yang berarti
tujuan atau makna terakhir.
2
ISSN 2579-5678
4
Ibid.
5
Rick Warren, The Purpose Driven Life: kehidupan yang digerakkan oleh Tujuan
(Malang: Gandum Mas, 2006), 18, oleh (Marthin Luther) disebut: hakekat dosa adalah
manusia didalam segala sesuatu mencari kepentingannya sendiri dan bukan Allah.
6
Anthony A Hoekema, Diselamatkan oleh Anugerah, (Surabaya: Momentum, 2009),
256.
7
_________, Institues of the Christian Religion, Book II, Chapter II, 7.
3
ISSN 2579-5678
8
Geoger W Peters, Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, (Malang: Gandum
Mas, 2006), 18-19.
4
ISSN 2579-5678
9
Tulus Tuu, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarata, Andi, 2007), 22.
10
Yakub Susabda, Pastoral Konseling Vol. 1, (Malang: Gandum Mas,), 23.
5
ISSN 2579-5678
11
Tulus Tuu, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarata, Andi, 2007), 22.
12
Garry R. Collins, Konseling Kristen yang Efektif, (Malang: Literatur SAAT, 1989),
3
13
Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), 31.
14
Tentu timbalik yang dimaksud adalah dialok dan bukan monolog yang terjadi antara
konselor dan konselenya, yang bisa melibatkan seluruh aspek kehidupan mereka masing-
masing. Pun demikian kehadiran seorang konselor tidak sedang bertindak sebagai
pengkotbah seperti di atas mimbar yang memberitakan firman Tuhan, nasehat, teguran
mapun ajaran konselenya. Perlu disadari pula sedang berhadapan dengan seorang pribadi
yang utuh, yang masing-masing memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan hidupnya.
15
Garry R Collins, Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2010),
13.
6
ISSN 2579-5678
dan mecoba mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan
seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. 16
Dapat diartikan bahwa konseling merupakan upaya yang
dikerjakan oleh seorang konselor untuk menolong, menghibur, menguatkan
dalam persepektif pemecahan suatu masalah yang dihadapi oleh seorang
konsele. Karena itu konseling adalah pelayanan menolong jemaat yang
dilakukan dalam bentuk komunikasi. Dalam komunikasi itu terjadi interaksi
timbal balik sehingga konsele dapat menemukan jalan keluar melalui
perubahan hidup dan perilaku. Interaktif yang diharapkan dapat membawa
pengaruh-pengaruh tertentu, memahami, mengajak berpikir, mencari
alternative solusi serta mendorong adanya sikap dan perbuatan positif. Lebih
lanjut ditegaskan oleh Yakub Susabda bahwa pelayanan konseling adalah
pertanggungjawaban hamba Tuhan atas kedalaman firman Tuhan. 17
Demikian dapat kita katakan bahwa peran dan peranan hamba
Tuhan sebagai konselor sangat menentukan pemecahan yang diharapkan
oleh konsele, tentu dengan tetap menggantungkan kuasa dari Roh Kudus
yang empunya keabsolutan kuasaNya. Pun demikian tidak dapat dipungkiri
juga bahwa peran itu sangat ditentukan juga oleh kemampuan hamba-hamba
Tuhan dalam mengintegrasikan (mengawinkan dan mengharmonisasikan)
pemikiran Theologi dan psikologi jika diperlukan. Theologi terkait dengan
soal kepastian bukan asumsi, sedangkan psikologi terkait dengan analisa-
analisa yang mengarah pada asumsi atau praduga-praduga tertentu.
Pelayanan konseling bukan berakhir pada praduga tertentu, tetapi
penyelesaian yang pasti. Maka integrasi dua keilmuan perlu dikaji;
dievaluasi. Kebenaran Theologi harus menjadi acuan, sementara psikologi
harus dibawah kebenaran theology. Jika ajaran Alkitab mengalami konflik
dengan gagasan apapun, ajaran Alkitab akan diterima sebagai kebenaran dan
gagasan lain tidak akan diterima sebagai kebenaran.18 Pelayanan konseling
adalah bagian integral dari pelayanan hamba Tuhan. Hamba Tuhan akan
kehilangan identitasnya jika ia menolak tugas pelayanan yang satu ini. Hal
16
Yakub Susabda, Pastoral Konseling vol. 1, (Malang: Gandum Mas), 4.
17
Yakub Susabda Ibid, 1.
18
Larry Crabb, Koneling yang efektif dan Alkitabiah, (Bandung: Kalam Hidup, 2011),
53
7
ISSN 2579-5678
ini dikemukakan oleh Wayne Oates yang dikutip oleh Yakub Susabda dalam
bukunya Pastoral konseling volume 1, yaitu:
The pastor, regardless of his training, does not enjoy the privilege of electing
whether or not he will counsel his people. His choice is not between
counseling or not counseling, but between counseling in a disciplined and
skilled way and counseling in an undisciplined and unsklilled way (An
introduction to Pastoral Caunseling, Nashville: Broadman Press, 1957, p vi) 19
Maka dapat direkomendasikan bahwa tugas panggilan pelayanan
konseling merupakan keharusan, urgen bagi manusia (konsele) yang
mengalami masalah. Pun demikian agar pelayanan konseling dilaksanakan
secara maksimal, memperoleh hasil maksimal, diperlukan sikap dan
kemauan bagi setiap konselor membekali diri dengan keilmuan dan
ketrampilan yang memungkinkan pelayanan tersebut dilakukan dengan
sebaik mungkin.
19
Yakub Susabda, op.cit, 11.
20
Larry Crabb, Konseling yang Efektif dan Alkitabiah-suatu acuan untuk membantu
Anda menjadi seorang konselor yang handal, (Bandung: Kalam Hidup, 2011), 43.
8
ISSN 2579-5678
21
Tulus Tuu, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007),
10.
9
ISSN 2579-5678
Pertama, Ia tampil sebagai guru. Cara mengajar Yesus luar biasa sehingga
mempesona banyak orang. Kedua, Yesus tampil sebagai pembebas. Yesus
Kristus adalah Allah yang turun ke dunia untuk membebaskan manusia
dari belenggu dosa. Pembebasan itu merupakan pembebasan sejati
(Yohanes 8:36); Ketiga, Yesus tampil sebagai penyembuh. Ada banyak
sakit penyakit yang diderita manusia. Dalam pelayananNya, Yesus kerap
menolong mereka. Dengan kuasaNya, Yesus menyembuhkan penderita
kusta, orang lumpuh; orang buta; orang bisu dan sakit ayan; Keempat,
Yesus tampil sebagai gembala. Karena Allah Bapa gembala yang baik,
Yesus Kristus, putraNya pun disebut gembala yang baik. Yesus membela
domba sampai titik darah penghabisan. 22
Keempat kiprah di atas telah menunjukkan betapa seriusnya perhatian Allah
dalam penggembalaan terhadap para dombaNya, demikian juga keempatnya
telah membawa arah pemulihan hidup manusia yang sesungguhnya. Kiprah
tersebut sekaligus menjadi dasar pelayanan konseling; memberikan motivasi
dalam pelaksanaan pelayanan konseling.
Kedua; Konseling diperintahkan Tuhan. Inilah isi perintah itu, yaitu:
Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: Simon, anak
Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini? Jawab
Petrus kepadaNya: Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi
Engkau, kata Yesus kepadanya: Gembalakanlah domba-domba-Ku
(Yohanes 21:15). Pertanyaan itu disampaikan sebanyak tiga (3) kali. Kitab
bahasa Inggris versi NIV memakai kata more than these, kata These
menunjuk pada arti alat untuk memancing; ikan-ikan; pekerjaan menjala
ikan; dan murid-murid yang lain. Maka kemungkinan artinya mengarah
pada: Pertama, Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari perahu, jala dan
alat-alat memancing ini? Kedua, Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari
engakau mengasihi murid-murid yang lain? Dan ketiga; Apakah engkau
mengasihi Aku lebih dari murid-murid yang lain mengasihi Aku? Sementara
Wycliffe Bible Commentary:
Some understand these to refer to the paraphernalia of fishing. If this
were so, Peter could have answered without any evasion and without the
use of a different word for love than Jesus used. The very fact that Jesus
probed Peters love in the presence of his brethren suggests that the
others were involved. Peter had boasted that he would remain loyal even
if the others did not (Mk 14:29)
22
Tulus Tuu, ibid, 12-13.
10
ISSN 2579-5678
23
Tulus Tuu, Ibid, 15.
24
www.gkri_exodus. Eksoposisi I Petrus5:2-3, diunduh pada tanggal 10 Mei 2012,
jam 22.00
11
ISSN 2579-5678
mengalami penderitaan. Dalam kondisi seperti ini pun juga harus melayani.
Kedua, kawanan domba Allah yang ada padamu, teks versi KJV: the flock
of God which is among you (kawanan domba Allah yang ada di antaramu).
Sementara versi RSV: the flock of God that is your charge (kawanan domba
Allah yang adalah tanggung jawabmu). Sementara versi NIV: Gods flock
that is under your care (kawanan domba Allah yang ada dalam
pemeliharaanmu).25 Memperhatikan kata The flock of God, kata tersebut
dalam kata Yunani dipakai kata Tou Theou, bentuk genetif yang mengarah
pada arti kepemilikian. Kawanan domba itu adalah milik kepunyaan Allah
dan bukan milik seseorang. Lebih lanjut Tulus Tuu mengingatkan bahwa
para pemimpin jemaat dan koselor bukanlah penguasa atas domba-domba.26
Ketiga; Jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan
kehendak Allah. Hal ini sejajar dengan prinsip yang ditegaskan oleh Yesus;
Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi
domba-dombaNya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan
bukan pemilik domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak
memperhatikan domba-dobma itu (Yoh. 10:11-12). Keempat, dan jangan
karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Kata yang
dipakai dalam KJV: not for filthy lucre (bukan untuk uang yang kotor).
Menurut RSV: not for shameful gain (bukan untuk keuntungan yang
memalukan). Dalam versi NIV: not greedy for money (bukan tamak akan
uang). Begitu NASB: and not for sordid gain (dan bukan untuk keuntungan
yang kotor). Penggembalaan dengan motivasi upah tidak akan bermanfaat
bagi manusia, demikian juga tidak berkenan di hadapan Allah.
Penggembalaan dengan orientasi keuntungan pribadi hanya akan membawa
pada ketamakan, kesombongan.
Penggembalaan tidak boleh dilakukan dengan keterpaksaan, artinya
tidak boleh dilaksanakan diluar kemauan sendiri atau karena terdesak oleh
keadaan. Penggembalaan yang dilakukan berdasarkan motif-motif lain27,
25
Ibid.
26
Tulus Tuu, ibid, 17.
27
Motif lain adalah motif yang bersumber diluar hati dan semangat iman Kristen,
menyimpang dari kebenaran Alkitab. Motif-motif ini hanya akan memundurkan pengabdian
12
ISSN 2579-5678
13
ISSN 2579-5678
28
Dalam teori tingkat kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow kebutuhan dasar
manusia adalah keinginan terpenuhinya kebutuan akan makan, sandang yang merupakan
kenyamanan fisikly seseorang. Kebutuhan dasar manusia (Hamba Tuhan / konselor) sering
kali mampu menggeser motif dan komitmen terhadap pelayanannya. Penuis banyak
menemukan kasus serupa terutama diberbagai daerah pelayanan pedalaman.
29
Garry Collin, Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2010), 115.
30
Manusia gambar Allah (Imago Dei) adalah kesempurnaan sifat dalam Allah,
Manusia Kristen adalah manusia Kristus. Manusia yang telah dilahirbarukan melalui Roh
Kudus dalam batiniahnya sehingga terlihat dalam rupa dan rasa buah Roh Kudus (Galatia
14
ISSN 2579-5678
5:19-22). Masih terkait dengan topic Imago Dei Pilatus mengatakan Lihatlah manusia itu
(Yohanes 19:5).
31
Garry Colin, ibid,121.
32
Bons Stroms, Apakah Penggembalaan itu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1
15
ISSN 2579-5678
dengan yang lain. Ada saatnya kita menolong; ada saatnya pula kita
membiarkan orang lain menolong kita. Seperti Kristus mengasihi, demikian
pula kita harus saling mengasihi (Yohanes 13:35); saling meringankan beban,
dengan demikian kita memenuhi hukum Kristus.
Keempat; Seorang konselor Kriten harus bersifat rendah hati. Seorang
konselor Kristen dapat dikenali karena kerendahan hatinya, Ia tidak
menyombongkan diri, melainkan ia melihat, bahwa karena anugerah dan
kebijaksanaan dari Tuhan saja ia dapat menolong orang lain. Ia menguji
dirinya sendiri, tidak bermegah melihat keadaan orang lain, dan mau
menanggung bebannya sendiri, bahkan mau belajar dari orang yang minta
tolong kepadanya (Galatia 6:6)
Kelima; Seorang konselor Kristen harus bersifat sabar. Ia tahu apa yang
ditabur orang itu juga yang akan dituainya. Allah tidak membiarkan diriNya
dipermainkan (Galatia 6:7, 8). Sangat mudah bagi konselor untuk menyerah
dan putus asa bila kondisi konsele tidak bertambah baik (6:9).
Keenam; Seorang konselor Kristen harus bersifat rajin berbuat baik (Galatia
6:10). Pelayanan konseling adalah bagian integral dari hidup konselor itu
sendiri. Perbuatan baik dalam konseling tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
pribadinya dan merupakan cermin dari kehidupan sehari-hari di luar konteks
pelayanan konselingnya. Prinsip-prinsip untuk menolong orang lain ini harus
dipupuk, semakin jelas dan bertumbuh dalam Tuhan. 33
Dengan demikian titik permulaan untuk semua konselor adalah hubungan
mereka dengan Tuhan, yang ditandai dengan kasih (Yohanes 13:34-35).
Memiliki komitmen untuk menolong dengan kasih. Memiliki citra diri yang
baik; keteladanan hidup yang baik.
33
Garry Collins, ibid, 27-29
34
www.Google.com, diunduh pada Senin, 11 Juni 2012, jam 13.00
16
ISSN 2579-5678
memasuki suatu hubungan yang lebih dalam dengan Allah, untuk lebih efektif
menyenangkan Dia melalui penyembahan dan pelayanan.35
Kedua; Untuk kedewasaan iman. Kolose 1:28 memberi petunjuk bahwa
disain konseling Kristen adalah untuk memperkenalkan kedewasaan Kristen.
Hanya orang Kristen yang dewasa yang akan masuk lebih dalam kepada
sasaran akhir hidupnya, utamanya penyembahan dan pelayanan. Dengan
demikian konsele akan memberi tanggapan terhadap masalah yang
dihadapinya, dan selanjutnya bertumbuh ke atas ke arah Kristus (Efesus
4:15). Lebih lanjut Larry Crabb mengatakan:
Sasaran dari konseling alkitabiah adalah untuk memperkenalkan kedewasaan
Kristen, untuk menolong orang-orang memasuki suatu pengalaman yang lebih
dalam tentang penyembahan dan suatu kehidupan pelayanan yang lebih efektif.
Dalam jangkauan yang luas, kedewasaan Kristen dikembangkan dengan: a)
menangani masalah yang timbul secara langsung dengan sikap konsisten dengan
ajaran Alkitab; b) mengembangakn karakter ke dalam yang membentuk karakter
(sikap, keyakinan, tujuan Kristus, yaitu ke atas).36
Sementara itu Tulus Tuu memberikan uraian pendapat tentang tujuan
pelayanan konseling Kristen secara mendetail sebanyak sepuluh item,
yaitu untuk:
Pertama; Mencari yang bergumul. Jika ada jemaat yang bergumul dengan
berbagai macam problem, gereja wajib mengunjunginya. Mereka ini rentan dan
rapuh terhadap godaan dan bujuk rayu kekuatan roh-roh jahat. Tidak mustahil
mereka dengan sangat mudah meninggalkan iman dan kepercayaannya. Nabi
Yeheskiel mengungkapkan: yang hilang akan dicari; yang tersesat akan dibawa
pulang, yang luka akan dibalut, yang sakit akan dikuatkan, yang gemuk dan
yang kuat akan dilindungi (Yehezkiel 34:16).
Kedua; Menolong yang membutuhkan uluran tangan. Konseling adalah sebuah
proses pelayanan untuk menolong konsele. Sebaliknya konselor adalah pihak
yang memberi pertolongan. Konselor adalah utusan Kristus untuk menolong
konseli yang terperosok. Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu. Ya
Tuhan! Tuhan, dengarlah suaruku! Biarlah telingaMu menaruh perhatian
kepada suara permohonanku (Mazmur 130:1). Jadi konseling adalah proses
menolong konsele yang ada dalam jurang ketidakberdayaan.
Ketiga; Mendampingi dan membimbing. Mendampingi juga kegiatan untuk
menolong konsele. Mendampingi terkait dengan membimbing. Pendampingan
tidak berada di depan, tetapi di sisi, di samping yang didampingi. Sementara
membimbing di sini dilakukan melalui respon percakapan yang interpretative
35
Larry Crabb, Konseling yang efektif dan Alkitabiah (Bandung: Kalam Hidup, 2011),
16
36
Larry Crabb, ibid, 27
17
ISSN 2579-5678
18
ISSN 2579-5678
37
Tulus Tuu, op.cit., 29-39
38
www.Google.com, Diunduh pada Senin, 11 Juni 2012, jam.13.00
39
Garry R Collins, op.cit. 64
19
ISSN 2579-5678
kesungguhan untuk mendengar; maka kita akan sampai pada persoalan yang
sebenarnya.40
Fase Solution Activity / Fase Mengerjakan Penyelesaian; Tugas utama
seorang konselor adalah mendorong konsele untuk memulai, memberikan
semangat pada mereka mencoba menyelesaikan masalah dengan banyak
latihan, memberi saran. Garry menambahkan, seorang konselor Kristen harus
juga memikirkan mengenai kerohanian konsele dan memberi bimbingan
praktis dan realistis mengenai bagiamana Kristus dapat mengubah kehidupan
seseorang.41
Terminating Launching Phase / Fase Terminasi Akhir; Apabila
konselor dan konsele sudah mengerti persoalannya, membicarakan secara
rinci, mencapai beberapa tujuan, dan mulai dapat mengatasinya, tibalah
saatnya untuk menghentikan konseling. Jika konselor merasa, bahwa
konseling sudah harus diakhiri, akan sangat menolong jika konselor
mengatakan seperti misalnya, Saya kira kita sudah hampir mencapai tujuan
dimana anda tidak lagi memerlukan bantuan saya. Hal ini akan memberi
tanda bahwa konseling telah diakhiri dengan dekat, demikian dikatakan
Garry.42 Sementara Tulus Tuu yang membagi tahapan yang merupakan
prosedur dalam konseling menjadi tiga tahap saja, yaitu: Pertama; Tahap
awal; Kedua; Tahap Inti, dan Ketiga; Tahap penutup.43
Tahap Awal; Tahap awal merupakan bagian yang cukup menegangkan. Bagi
konsele perasaan tegang, takut akan selalu mucul. Demikian juga bagi
konselor akan muncul prasangka dan situasi kevakuman. Dan ketika suasana
sudah mulai nyaman, Tulus Tuu memberi saran: Konselor secara perlahan
dapat membawa percakapan pada inti masalah yang akan dibicarakan. Hal ini
dapat menggunakan response probing yang mendidik, memeriksa dan
menyelidiki.44
Tahap Inti; Jika tahap awal sudah bisa berjalan dengan baik, maka
percakapan dilanjutkan ke tahap inti. Tahap inti merupakan upaya konselor
40
Garry Collins, Ibid, 67
41
Garry Collins, ibid, 79
42
Garry Collins, ibid, 71
43
Tulus Tuu, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007),
86-93
44
Tulus Tuu, Ibid, 87
20
ISSN 2579-5678
untuk menggali, mencari, menemukan pokok dan akar masalah, serta akibat-
akibat yang dihadapi oleh konsele.45 Tahap ini oleh Tulus direkomedasikan
mengembangkan model-model; 1) Response Understanding (U); 2).
Supportive (S), 3) Interpretative (I); 4) dan Evaluative (E). Respon (U),
menyatakan pemahaman dan pengertian, sekaligus untuk memantulkan dan
menyimpulkan hal-hal penting berdasarkan jawaban konsele. Respon (S),
Penting untuk memberi dukungan, peneguhan, menenangkan, menghibur dan
menguatkan konsele. Respon (I), Penting untuk menuntun, membimbing,
mengajar, dan menerangkan dalam hal ini konselor mengajak konsele
terlibat berpikir dalam mencari akar masalahnya. Respon (E), Penting untuk
membawa konsele mencari dan menemukan langkah-langkah, solusi-solusi
dan perubahan-perubahan prilaku yang perlu dan harus dilakukannya.46
B.2. Misi
Menurut KBBI Misi adalah urusan, pekerjaan Penyiaran agama,
pengutusan suatu negara ke negara lain untuk sesuatu tugas.47 Arie de Kuiper
mengartikan dengan berangkat dari kata Missiologia, latin missio yang
berarti pengutusan; Inggris: Mission, Belanda: Missie 48. George w.Peters
mengemukakan mission merupakan istilah yang komprehensif, mencakup
pelayanan gereja ke atas, ke dalam dan ke luar.49 Secara Etimologi (asal usul
kata) istilah misi berasal dari bahasa latin, yaitu: Missio, artinya pengutusan.
Dalam bahasa Yunani berasal dari kata evangelion yang diartikan kabar baik.
Bentuk kata kerja yang dipakai evangelizo 50 yang berarti memberitakan kabar
45
Ttulus Tuu, Ibid, 88
46
Tulus Tuu, Ibid, 89
47
WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,1982), 652
48
Arie de Kuiper, Missiologia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996), 9
49
George W Peters, Theologi Alkitabiah tentang Pekabaran Injil, (Malang: Gandum
Mas, 2006), 12
50
Artinya: to bring or announce glad tidings atau to proclaim, to declare good news
of the kingdom atau membawa kabar baik. Kabar baik atau berita keselamatan adalah berita
mengenai kematian dan kebangkitan Kristus bagi orang berdosa. Yesus mati ganti orang
berdosa, Ia mencurahkan darahNya untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia telah bangkit
karena maut tidak berkuasa atasNya dan kuasa kegelapan yang berkuasa atas maut diri Yesus.
Ia telah naik ke surga duduk di sebelah kanan Allah menjadi juru safaat bagi manusia,
(Makmur Halim).
21
ISSN 2579-5678
baik.51 Kabar baik yang dimaksud adalah Injil yang berisi berita keselamatan,
berita pengampunan; berita pendamaian; dan berita pengudusan bagi orang
berdosa.52 Alkitab tidak memberikan definisi formal mengenai utusan Injil,
pun demikian kita telah mengenal amanat Agung Yesus (Matius 28:18-20;
Markus 16:14-20; Lukas 24:44-48; Yohanes 20:19-23; Kisah 1:8; 26:13-20).
Menurut pengertian teknis dan tradisional utusan injil adalah seorang Kristen
yang membawa kabar baik mengenai Injil Yesus Kristus, diutus dengan
otoritas ilahi untuk maksud yang jelas, yaitu memberitakan Injil. Utusan Injil
bukanlah orang yang diutus pergi ke luar; melainkan orang yang diutus ke
luar. Dengan demikian perlu bagi setiap utusan injil memahami, mengerti
serta memiliki keyakinan bahwa ia adalah yang diutus ke luar, sebab tanpa
adanya perspektif itu pasti yang bersangkutan berada dalam ketegangan dan
frustasi; berbagai tekanan, dan kekecewaan sebagai utusan injil. Geoger w
Peters berpendapat bahwa Kesadaran bahwa dirinya diutus akan
menguatkan dia dalam menghadapi berbagai pencobaan serta kegagalan-
kegagalan dan pasti akan memimpin dia kepada kemenangan dan
keberhasilan.53 Rasul-rasul telah menyerahkan diri mereka bagi pekabaran
Injil. Bahkan Paulus berhasrat secara mendalam untuk memberitakan Injil
Kristus kepada tempat dimana nama Kristus belum dikenal (Roma 15:20).
Norman E Thomas lebih lanjut berpendapat: Tidak ada partisipasi di dalam
Kristus tanpa partisipasi di dalam MisiNya kepada dunia.54 Dengan
demikian kewajiban missioner gereja berasal dari Allah dalam hubungannya
yang aktif dengan umatNya. Gereja yang tidak mengenali keutamaan perintah
memberitakan Injil sedang memisahkan dirinya dari hubungan yang paling
akrab dengan Tuhan, gagal mengidentifikasikan dirinya dengan rencana
utama Allah; menyangkal berkat terbesar yang disediakan Tuhan dengan
penuh anugerah bagi dunia berdosa. Misi Allah tidak pernah berubah dalam
perspektif dan kedaulatan Allah, namun berubah dalam perspektif gereja pada
dewasa ini. Stevri Indra Lumintang mengatakan:
51
Bambang Eko Putranto, Misi Kristen (Yogyakarata: Andi offset, 2007), 3.
52
Makmur Halim, Model-model Penginjilan Yesus suatu penerapan masa kini
(Malang: Gandum Mas, 2003), 25.
53
Ibid, 306
54
Norman E. Thomas, Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 147
22
ISSN 2579-5678
55
Stevri I Lumintang, Diktat Matakuliah Misiologi Kontemporer, Batu Malang, 2.
56
David Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 789
57
John Sttot, Ibid, 2
58
George W Peters, op.cit. 430
23
ISSN 2579-5678
Misi Allah adalah keseluruhan karya Allah bagi manusia dan ciptaan
seutuhnya. Hadirnya tanda-tanda kerajaanNya di dunia ini. Kabar baik itulah
berita shalom dari Allah. Kabar baik itu adalah firman (Teks) yang
disampaikan bukan secara verbal saja, tetapi aktualisasi diri orang percaya
secara utuh antara kata dan perbuatan. Ketika misi Allah dipahami sebagai
tindakan aksi perbuatan baik kepada manusia yang memerlukan, maka
pengertian misi itu sendiri telah menyempit. Sebaliknya pula jika misi Allah
juga dipahami hanya penyampaian teks (secara verbal) saja, maka misi juga
dipahami sangat terbatas dan dangkal. Jadi keduanya cenderung
menggeserkan arti misi Allah yang sesungguhnya. Searah dengan pendapat
ini Stevri Indra Lumintang mengatakan:
Misi Allah tidak berubah, namun misi Allah mengalami perubahan oleh
pemahaman gereja secara historis, gereja mengalami perubahan dalam
pemahaman mengenai misi, dari sederhana menjadi lebih maju, dari
pemahaman yang kurang memadai kepada pemahaman yang lebih lengkap,
dari pemahaman yang jauh dari teks (Alkitab) menjadi lebih dekat dengan
teks; dari pemahaman yang tidak sesuai dengan konteks, menjadi lebih dekat
dengan konteks. Pada sisi lain, patut dicermati dan digumuli secara serius
adalah perubahan pembahaman misi yang dibarengi dengan pergeseran
hakekat gereja dan misi itu sendiri. Perubahan ini adalah perubahan kea rah
kemrosotan atau penyimpangan.
. Pada umumnya persoalan misi masa kini adalah berkenaan dengan
penekanan yang berlebihan kepada salah satu wilayah studi, sehingga
pengertian misi diformulasikan dalam pengertian yang sempit dan terus
berubah. 59
Pergeseran misi itu sendiri disebabkan oleh penekanan wilayah studi 60, jadi
secara historis perubahan itu sendiri terlihat dari pendefinisian ulang oleh
gereja dalam konferensi-konferensi misi. Pengertian misi terus berubah, oleh
59
Stevri Indra Lumintang, ibid, 18-19.
60
Wilayah studi yang dimaksud adalah antara teks (Alkitab) dan konteks. Penekanan
pada wilayah studi tersebut telah membentuk dua kubu, yaitu Misi kubu oikumenekal dan
misi kubu injili. Masing-masing hanya menekankan hanya salah satu wilayah studi (Kontek
atau teks) Penekanan pada wilayah studi konteks merupakan kecenderungan misi kaum
oikumenikal, menghasilkan konsep misi yang menekankan pada demesi sosial dan
kemanusiaan. Sedangkan penekanan pada studi teks adalah kecenderugnan misi kaum Injili.
Mereka menghasilkan konsep misi yang menekankan pada demensi spiritual, sehingga
memandang misi itu sebagai penginjilan dan pertumbuhan gereja. (Stevri Indra Lumintang)
24
ISSN 2579-5678
karena itu misi terus direkonstruksi.61 Kajian misi yang direkonstruksi itu tak
lain dirumuskan sebagai bentuk dinamika dari misi itu sendiri. Misi bukan
sekedar penyampaian berita kabar baik, tetapi juga merupakan perbuatan dari
berita tersebut.
61
Stevri I. Lumintang, ibid, 34
62
John Sttot, Johannes Verkuyl, Misi menurut persepektif Alkitab, (Jakarta: Yayasan
Bina Kasih / OMF, 2007), 20
63
Setevri Lumintang, op.cit. 138-139
25
ISSN 2579-5678
Alkitab yang menjadi dasar dan sebagai buku misi terdiri dari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama adalah misi Allah. Berisi tentang
kisah hati Allah yang missioner kepada bangsa-bangsa (Kejadian 12: 1-3;
Yunus 1: 1-2; Mika 1: 2; Yesaya 49: 6; Zefanya 3:9-10; Zakaria 1:1-6;
Maleakhi 3: 1-5). Hati Allah yang ingin menyampaikan kabar baik untuk
menyelamatkan manusia dari dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus akan
datang. Demikian juga Perjanjian Baru adalah buku misi (Injil sinoptik),
kitab kisah Para Rasul, tulisan rasul-rasul lainnya. Thema Perjanjian Baru
adalah misi Allah adalah menyelamatkan manusia dari dosa melalui
pengorbanan Yesus Kristus telah datang. 64 Menerima Alkitab sebagai
sumber dan dasar misi berarti memberikan kebebasan kepada Alkitab untuk
menuntun semua pemahaman dan aktivitas (aksi) misi. Lebih lanjut John
Sttot memberikan alasannya mengapa Alkitab menjadi dasar pelayanan
terhadap misi; Pertama, Alkitab memberi kita mandat untuk penginjilan
dunia65. Keseluruhan isi Alkitab (Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama) telah
memberi mandat untuk melakukan Misi Allah dalam dunia ini. Salah satu
fondasi misi Kristen dalam Perjanjian Lama adalah kisah pemanggilan
Abraham oleh Allah untuk mengadakan perjanjian denganNya menegaskan
bahwa Abraham bukan saja akan diberkati oleh Allah, tetapi juga akan
menjadi berkat bagi semua kaum dimuka bumi (Kejadian 12:1-4).
Kedatangan Kristus ke dalam dunia telah mengesahkan janji-janji itu. Ia
melayani kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel (Matius 10:6;
15:24). Selanjutnya setelah kebangkitanNya, Ia menyatakan klaim Segala
kuasa di surga dan dibumi telah diberikan kepadaNya (Matius 28:18).
Kemudian dalam segala otoritas universalNya Ia memerintahkan
pengikutNya untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptis
mereka, mengajarkan segala sesuatu yang pernah Ia ajarkan (Matius 28:19).
Kedua; Alkitab memberi kita berita untuk penginjilan dunia.66
Memberitakan injil berarti menyampaikan kabar baik bahwa Kristus telah
64
Bambang Eko Putranto, Misi Kristen, menjangkau jiwa menyelamatkan manusia
(Yogyakarta: Andi offset, 2007), 40
65
John Sttot, op.cit, 10.
66
John Sttot, Ibid, 12.
26
ISSN 2579-5678
mati untuk dosa manusia dan dibangkitkan dari antara orang mati sesuai
dengan kitab suci (I Korintus 15). Berita ini berasal dan merupakan
kebenaran yang berasal dari Alkitab. Jadi hanya ada satu injil yang disepakati
para rasul (I Korintus 15:11). Paulus menegaskan celakalah siapa saja
(termasuk dirinya) yang memberitakan injil lain (Galatia 1:6-8). Ketiga;
Alkitab memberi kita model untuk penginjilan dunia.67Kita membutuhkan
model (Bagaimana menyampaikannya), disamping beritanya (materi yang
disampaikan). Alkitab memberikan model penyampaian injil. Melalui
Alkitab sesungguhnya Allah telah mengkomunikasikan injil itu kepada
dunia. Kitab suci telah terlebih dahulu memberitakan injil kepada Abraham
(Galatia 3:8). Keempat; Alkitab memberi kita kuasa untuk penginjilan
dunia.68 Kebutuhan akan kuasa dalam pemberitaan injil tidak dapat dielakkan
lagi, hal ini mengingat betapa lemahnya manusia bila dibandingkan dengan
tugas yang dilaksanakan. Seluruh dunia berada di bawah kuasa jahat (I
Yoh.5:19). Injil Allah adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (Roma
1:16). Maka ketika kita lemah kita menjadi kuat karena kuasa firmanNya (I
Korintus 2:1-5; 2 Korintus 12:9-10).
67
John Sttot, Ibid, 14
68
John Sttot, Ibid, 17
27
ISSN 2579-5678
69
David Bosch, op.cit., 786
70
Banyak: memiliki demensi-demensi hakiki yang harus disentuh: kedamian,
pembebasan, persekutuan dan keadilan dalam hati setiap manusia. Totalitas kebenaran
kerajaan Allah.
71
Makmur Halim, loc.cit., 92-95.
28
ISSN 2579-5678
memberi dampak yang luar biasa bagi pemuda Gadara.72 Demikian juga
kasus seperti pada perempuan pelacur di Samaria (Yohanes 4) serta Zakeus
pemungut cukai (Lukas 19), keduanya adalah orang (kontek) yang
bermasalah. Yesus telah mampu menghadirkan kebenaran firman (teks) yang
memerdekakan keduanya. Firman itu telah menjawab kebutuhan,
memulihkan kondisi real spiritual dan antropologinya. Pelayanan misi
seutuhnya berhasil dilaksanakan dengan baik. Dampak misi holistik telah
tercapai, yaitu rekonsiliasi relasi diri dengan diri sendiri, sesamanya dan
Allah. Kontekstualisasi akan selalu up-to-date di segala konteks dan situasi
sutau tempat.73
72
Dampak yang dimaksud adalah: 1). secara ekonomi babi yang terjun ke jurang dan
mati menyebabkan penjaga babi menjadi kehilangan pekerjaan, tetapi Yesus telah
menunjukkan kepada masyarakat bahwa jiwa manusia lebih berharga dari harta benda materi.
2). Secara sosial, Pemuda ini mulai dieterima kembali oleh masyarakat karena ia telah
sembuh, telah mengalami perubahan dan tidak membahayakan lagi. 3). Secara etika dan
budaya, Pemuda ini sudah sembuh dan menemukan identitas dirinya sehingga ia berpakaian
dan dapat menghargai adat istiadat dalam masyarakat kembali. 4). Orang-orang yang melihat
merasa takut karena kuasa Yesus begitu ajaib sehingga melampaui kepercayaan masyarakat
kepada pagan atau berhala; 5) Dampak terhadap misi Allah, Pemuda Gadara telah dipulihkan
oleh Yesus. Maka pemuda tersebut akan melaksanakan misi Allah bagi orang-orang di
Gadara. (Makmur halim, 95).
73
Makmur Halim, ibid, 47.
74
WJS Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1982), 376
29
ISSN 2579-5678
30
ISSN 2579-5678
Misi: Proklamir Injil yang disampaikan. Ucapan Rut yang tertulis di atas
merupakan keputusan pribadi Rut. Sebuah keputusan, pilihan yang melampui
pikiran yang dinasehatkan Naomi kepadanya. Hak dan tugas Naomi hanya
78
J Sidlow Baxter. Ibid., 290.
31
ISSN 2579-5678
sampai pada anjuran, nasehat, bimbingan, tetapi pilihan dan keputusan ada
pada Rut sendiri. Penulis berpendapat bahwa pilihan Rut bukan tanpa alasan,
mungkin Rut melihat sisi prinsip hidup Naomi sebagai wanita memegang
teguh dogmatika Spiritualitasnya. Kesaksian Naomilah yang memungkinkan
Rut berbuat demikian. Memilih mengikut Naomi berarti meninggalkan
ibunya, bangsanya, khemoshnya/Kamos (Dewa orang Moab Bilangan
21:29). Artinya Rut membuang apa yang berharga di Moab dan dengan suka
rela memilih untuk ikut pergi ke Yehuda dan memulai kehidupan yang baru.
Frasa ini menegaskan bahwa pilihan Rut mengikut Naomi berarti mengikuti
pilihan jalan hidupnya di Betlehem. Menyembah Yahwe.
Integrasi ditemukan; Integrasi adalah penyatuan segenap komponen
sehingga terwujud suatu kebulatan, keutuhan. Dalam hal ini paralel antara
konseling dan misi telah terwujud. Yang penulis maksud adalah Naomi telah
membimbing, menuntun, mengarahkan (konseling) kepada kedua
menatunya (Orpa dan Rut). Hal ini merupakan upaya memecahkan masalah.
Namun Rut mengalami bukan hanya yang bersifat melegakan,
membahagiakan secara pragmatis, melainkan kelegaan yang bersifat dan
berjangka kekal. Proklamir Injil (kabar Baik) sebagai sumber pemecahan
masalah harus terjadi. Injil itulah yang menjadi pemuas; melegakan
kehidupan.
32
ISSN 2579-5678
waktu jam 12, saat kebanyakan orang tidak mengambil pada waktu tersebut.
Jika kita kaitkan dengan ayat-ayat selanjutnya (16-19):
Kata Yesus kepadanya: Pergilah, panggilah suamimu dan datang ke sini. Kata
perempuan itu: Aku tidak mempunyai suami. Kata Yesus kepadanya: Tepat
katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah
mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu.
Dalam hal ini engkau berkata benar. Kata perempuan itu kepadaNya: Tuhan,
nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi.
79
_________, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. 3, (Malang: Gandum Mas, 2008), 316.
80
_________, Hand Book the Bible, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), 604
33
ISSN 2579-5678
81
________loc,cit. 279
82
Makmur Halim, lo.cit., 74
34
ISSN 2579-5678
C. PENUTUP
Setiap percakapan konseling seharusnya membuka kesempatan terjadinya
misi Allah. Sebaliknya setiap percakapan misi (PI) seharusnya juga membuka
kesempatan seseroang mendapatkan terpecahnya persoalan sampai ke akar
persoalan itu sendiri, yaitu dosa. Percakapan konseling dan pelayanan Misi
idealnya harus berjalan secara parallel dan terintegrasi. Jadi, pelayanan
konseling akan menjadi jembatan bagi terlaksananya misi (PI) pada klien, dan
83
Sebuah paralel dapat dibuat dengan kurban yang di dalam Perjanjian Lama harus
dipersembahkan berkali-kali dank urban Anak domba Allah yang dipersembahkan sekali
untuk selama-lamanya. (Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol.3, 316)
35
ISSN 2579-5678
D. DAFTAR PUSTAKA
36
PENGARUH KUALITAS DAN PEMAHAMAN DISIPLIN
GEREJA BERDASARKAN TULISAN RASUL PAULUS
TERHADAP IKLIM PELAYANAN DI GEREJA METHODIST
INDONESIA JEMAAT GLORIA MEDAN
A. PENDAHULUAN
1
Semua kovenan ini terangkai secara integral satu dengan yang lain dan
mengalir dari Kovenan Anugerah yang agung yang ditetapkan dalam
Kejadian 3:15 sampai kepada Kovenan Baru di dalam Kristus.2 Tujuan
pemberian kovenan oleh Allah kepada manusia adalah untuk menata
kehidupan manusia di dalam dunia. Penataan hidup manusia oleh Allah
adalah demi kedamaian (peace) dan kesatuan (unity) kehidupan semua
ciptaan-Nya.
Di dalam sebuah organisasi tentu ada sistem yang mengatur jalannya atau
operasionalnya, agar tujuan organisasi tersebut dapat tercapai. Di dalam suatu
organisasi terdapat sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu dan
berupaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama.3 Dalam
mencapai tujuannya, selain suberdaya manusia suatu organisasi juga
memiliki sumber daya alam, sumber daya dana atau keuangan, sumber daya
informasi, dan sumber daya lainnya. Karena organisasi memiliki sistem,
maka seluruh sumberdaya yang ada perlu di tata dan disusun dalam aturan-
aturan yang disebut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
organisasi.
Demikian juga dalam suatu lembaga gereja. Gereja adalah tubuh Kristus,
dengan kata lain merupakan suatu organisme.4 Suatu organisme yang terdiri
dari organisasi-organisasi.5 Sebagai organisme hidup, gereja harus
berkembang dan bertumbuh sebagaimana Kristus. 6 Suatu lembaga gereja juga
terdiri dari sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu dan berupaya
untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerja sama. Tujuan gereja di
dunia adalah sesuai dengan tujuan Kristus bagi ciptaan-Nya. Tujuan yang
1
W. Garry Crampton, Verbum Dei, [terjemahan: R. BG. Steve Hendra] (Surabaya:
Momentum 2004), 140.
2
Ibid, 137.
3
Erni Trisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), 4.
4
Peter Wongso, Theologia Pengembalaan, (Malang: SAAT, 2007), 54.
5
Peter Wongso, Theologia Pengembalaan, ...., 54.
6
Ibid.
37
ISSN 2579-5678
berfokus pada Visio-Dei (visi Allah) untuk mencapai Misio-Dei (misi Allah)
di dalam dunia. Sekelompok orang tersebut (sumberdaya manusia) yaitu para
pejabat gereja, memiliki karakter yang sangat berbeda-beda, motivasi yang
berbeda-beda, dan latar belakang (suku, budaya, ekonomi, pendidikan, dlsb.)
yang berbeda-beda pula.
Selain sumber daya manusia, gereja juga memiliki berbagai sumber daya lain,
seperti: sumber daya alam, sumber daya dana atau keuangan, sumber daya
informasi, dan lain sebagainya. Karena lembaga gereja juga merupakan
organisasi, maka lembaga gereja juga harus memiliki suatu sistem, dan
lembaga gereja perlu menyusun cara-cara penyelenggaraan atau tata cara
pemanfaatan keseluruhan sumber daya yang ada padanya yang terangkum di
dalam Tata Gereja atau Disiplin gereja agar tujuan gereja dapat dicapai.
Selain itu, gereja adalah tubuh Kristus dan sudah seharusnya menjadi satu
kesatuan. Maka sebuah lembaga gereja membutuhkan tata
penyelenggaraannya untuk membuat kehidupan gerejawi sepadan dengan
naturnya, yaitu mencapai kesatuan, kedamaian dan melaksanakan misi Allah
di dalam dunia.
Tanggung jawab di dalam pencapaian tujuan gereja, berada di pundak sumber
daya manusia yaitu para pejabat gereja. Banyak orang senang menjadi pekerja
yang berguna di dalam gereja, namun tidak mengerti caranya karena tidak
mengetahui atau mengerti tentang Disiplin gereja. Maka di dalam
pelayanannya, para pejabat gereja melakukan tindakan berdasarkan cara
berpikir yang lebih mementingkan tujuan dan akibat (teleologis). Cara
berpikir ini lebih mempersoalkan tentang baik atau jahat berdasarkan tujuan
atau akibatnya.7 Cara berpikir seperti ini terancam bahaya tujuan
menghalalkan segala cara dan hedonisme.8
Ada juga pelayan gereja yang melakukan tindakan dalam pelayanannya
berdasarkan pola pikir yang memerhitungkan konteks situasi dan kondisi
(kontekstual). Bagi mereka, yang terpenting bukan apa yang benar atau yang
7
G. Sudarmanto, Pelayan Kristus Yang Baik, (Malang: Departemen Multimedia
YPPII, 2009), 230.
8
Ibid.
38
ISSN 2579-5678
baik, tetapi yang tepat yaitu yang paling bertanggung jawab. 9 Cara berpikir
ini memang sangat operatif namun bisa terjebak ke dalam bahaya etika situasi
yang tanpa prinsip yang jelas (Darmaputera, 1989: 10-18).
Bagi para pejabat gereja yang memahami Disiplin gereja, maka di dalam
pelayanannya, mereka cenderung mengambil tindakan berdasarkan Disiplin
gereja. Tindakan dengan pola pikir ini mendasarkan diri kepada prinsip,
hukum, norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan
kondisi apapun (deontologis).10 Cara berpikir ini hanya menyatakan benar
atau salah berdasarkan hukum atau Disiplin gereja. Cara ini memberikan
pegangan secara objektif dengan jelas, tetapi bisa terjatuh ke dalam legalisme
yang kaku.
Melihat pemaparan di atas maka seharusnya sebuah organisasi gereja harus
memiliki aturan-aturan di dalam penyelenggaraannya (Disiplin gereja) untuk
mencapai tujuannya. Setiap pelayan gereja seharusnya menguasai, bukan
hanya memahami aturan-aturan tersebut. Bila para pejabat gereja tidak
menguasai Disiplin gereja, maka tujuan dari gereja tidak tercapai; gereja tidak
memiliki tujuan yang jelas untuk berkembang dan bertumbuh; para pejabat
gereja tidak memiliki patokan dalam pencapaian tujuan; para pejabat gereja
tidak memiliki cara-cara penyelenggaraan gereja yang jelas. Pelayan gereja
bertindak dengan keinginan dan pengertian masing-masing. Bila para pejabat
gereja tidak menguasai Disiplin gereja dengan baik, malah Disiplin gereja
dirasakan menjadi penghambat tugas pelayanan.11
Apabila semuanya berjalan sendiri-sendiri, maka tidak terjadi satu kesatuan
lagi dari para pejabat gereja. Dengan demikian maka akan terjadi kekacauan
dalam gereja yang akan berakhir dengan terjadi konflik dalam gereja
perselisihan, dan pertengkaran dari para pejabat gereja. Bila terjadi konflik
dalam gereja maka pelayanan gereja menjadi stagnasi, atau malah tidak ada
lagi pelayanan karena semuanya terfokus dan terjerat di dalam masalah-
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Richard M. Daulay, Mengenal Gereja Methodist Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004), 55.
39
ISSN 2579-5678
masalah yang timbul akibat konflik. Maka jelas semua hal-hal tersebut akan
memengaruhi iklim pelayanan dari para pejabat gereja.
Lebih lanjut lagi, terjadi perpisahan atau perpecahan dari lembaga gereja
tersebut. Bahkan lebih ekstrim lagi akan terjadi pembunuhan. Dengan
demikian gereja tidak menjadi terang dan garam di dunia, kehidupan gerejawi
tidak sepadan dengan naturnya dan tentunya akan menghambat misi Allah di
dalam dunia. Jemaat yang kesal dan kecewa melihat perselisihan yang terjadi
akan pindah ke lembaga gereja lain, bahkan pindah kepercayaan. Masalah-
masalah tersebut tentunya juga tidak bisa dihindari di dalam Gereja Methodist
Indonesia jemaat Gloria Medan.
B. KAJIAN TEORITIS
1. Kualitas Disiplin Gereja
Menimbang bahwa permasalahan yang timbul dalam hubungan antara
manusia selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur, demikian pula
konflik yang terjadi di dalam lembaga Gereja Methodist Indonesia dikaitkan
dengan Disiplin yang merupakan peraturan-peraturan bagi lembaga gereja
ini; Bahwa setiap lembaga, bahkan gereja, tentu memiliki dokumen inti.
Dokumen ini berfungsi sebagai pernyataan dasar untuk menetapkan visi,
misi, tujuan mereka, dan nilai-nilai inti. Nilai-nilai ini akan memandu
lembaga melalui perubahan waktu dan budaya. Alkitab adalah dokumen inti
lembaga gereja. Alasan mengapa Kitab Suci sebagai dasar untuk menyusun
sebuah Disiplin adalah karena Dia mutlak memiliki otoritas ilahi. (1 Kor.
2:10-13; 2 Tim. 3:15-17; 1 Pet. 1:10-12, 21; 2 Pet. 1:20-21, 3:2, 15-16).
Sebagai wahyu khusus dari Allah, semua gereja harus menanggapi hal ini.
Bila tidak ada Firman Tuhan sebagai dasar, maka gereja tidak akan
menemukan nilai kebenaran dalam perumusan peraturan (Disiplin) gereja.
Bila tidak ada peraturan gereja, maka dapat terjadi kekacauan dalam gereja
karena setiap individunya akan melakukan tugas pelayanan hanya dengan
inisiatif sendiri dan tidak ada yang mengikat mereka menjadi satu sistem.
Disiplin dibuat adalah untuk mengontrol dan mengelola segala sumber daya
40
ISSN 2579-5678
agar gereja mampu untuk melayani sesuai dengan hakikat dirinya, serta dapat
mewujud-nyatakan kehadirannya.
Menurut Abineno, Disiplin yang berkualitas adalah peraturan-peraturan
gereja yang baik dengan memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:12
1. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang secara prinsipal mengakui kedewasaan dan imamat
orang-orang percaya. Itu berarti, bahwa dalam peraturan-peraturan
Gereja harus diberikan tempat kepada mereka, supaya mereka dapat
menunaikan tugas mereka sebagai umat Allah.
2. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang menolak pertentangan yang prinsipal antara kaum
rohaniwan dan kaum awam.
3. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang menolak sebutan imam dalam arti khusus untuk
pejabat-pejabat Gereja, khususnya untuk pendeta-pendeta Jemaat,
sebab sebuatan itu bertentangan dengan kesaksian Perjanjian Baru.
4. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang tidak menganggap dan memperlakukan pendeta Jemaat
sebagai hamba Gereja, tetapi sebagai Verbi divini minister (pelayan
Firman Allah). Tugasnya ialah: merepresentir Kristus, bukan saja
terhadap dunia, tetapi juga terhadap Jemaat (Bnd. Antara lain Luk.
10:16; Gal. 1:11; 2 Kor. 5:20). Sungguhpun demikian ia tidak berdiri
di atas, tetapi di dalam Jemaat, di samping anggota-anggota Gereja
yang lain.
5. Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan
Gereja yang bersifat kristokratis bukan aristokratis dan bukan
juga demokratis. Kristus yang memerintah dalam Gereja, bukan
orang-orang tertentu dalam Gereja dan bukan juga Jemaat.
12
J.L. Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 45-47.
41
ISSN 2579-5678
42
ISSN 2579-5678
43
ISSN 2579-5678
13
Kuntjara, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Ulang Konsumen,
(Semarang: TESIS; Universitas Diponegoro, 2007).
44
ISSN 2579-5678
perkataan orang lain. Oleh sebab itu, pemahaman Disiplin dapat diselidiki
melalui:
Sumber / cara pemahaman. Ada program pengajaran Disiplin yang diadakan
oleh Gereja secara berkala. Anggota jemaat juga dapat belajar sendiri dari
buku Disiplin. Di beri tahu oleh Gembala Sidang. Di beri tahu oleh sesama
rekan kerja. Di beri tahu oleh pelayan lama.
Kualitas pemahaman. Seorang anggota jemaat yang baik, apalagi yang sudah
melayani dalam tugas Kemajelisan gereja, harus memahami batasan
wewenang (hak); memahami tugas (tanggung jawab); memahami batasan
masa jabatan; Memahami sistem kerja gereja secara keseluruhan.
3. Iklim Pelayanan
Setiap organisme hidup bergantung pada iklim untuk pertumbuhannya.
Sebuah tanaman yang diberi makan, disiram dan menerima jumlah cahaya
yang cukup, tetapi faktor iklim yang penting -kelembaban- tidak
dipertimbangkan dan mengalami kekurangan, tidak akan mengalami
pertumbuhan. Segera setelah faktor tersebut ditanggapi dengan serius,
tanaman tersebut menjadi subur. Namun untuk tanaman lain (misalnya
kaktus), jumlah cahaya dan air mungkin merupakan faktor kritis dalam
pertumbuhan mereka. Pengalaman dengan tanaman tersebut menggambarkan
peranan iklim dalam perkembangan kesehatan untuk setiap makhluk hidup.
Gereja adalah sebuah organisme hidup, bukan sebuah organisasi. Gereja juga
bertumbuh dengan sehat dalam suatu iklim yang tepat. Diagnosis gereja pada
umumnya tidak memasukkan sebuah studi tentang iklim (suasana). Iklim
dihasilkan oleh doa lebih daripada faktor lain, karena iklim berkaitan dengan
roh gereja daripada dengan strategi program khusus. 14 Namun diagnosis
cenderung memusatkan pada pertumbuhan kuantitatif dan penyusunan
program. Keduanya merupakan faktor yang menentukan, tetapi tentu saja
tidak keseluruhan. Setiap gereja seharusnya dievaluasi dalam arti "seperti apa
14
Ron Jenson & Jim Stevens, Dynamics of Church Growth, (U.S.A: Bakers Book
House Company, 1981), 129-131.
45
ISSN 2579-5678
rasanya" menjadi anggota gereja dan apa yang oleh pendatang baru
"dirasakan" ketika mereka mendekati gereja. Bagian dari alasan diagnosis
sering mengabaikan iklim adalah bahwa iklim tidak dapat diprogram,
meskipun penyusunan program mempengaruhi iklim.
Jenson mendefinisikan iklim dalam konteks gereja sebagai kombinasi faktor-
faktor yang menentukan bagaimana merasakannya sebagai bagian gereja. 15
Pada umumnya (mungkin juga kadang-kadang), telah mengunjungi gereja
dalam usaha menemukan sebuah "rumah gereja", sebuah gereja di mana
mereka dapat menetap dan menjadi bagiannya. Banyak orang yang telah
melalui proses ini memiliki hal-hal yang spesifik yang mereka cari dalam
sebuah gereja (mis. sebuah program pemuda atau khotbah yang baik).
Meskipun daftar pengharapan yang spesifik ini, keputusan kembali ke sebuah
gereja atau keputusan untuk bergabung akan dibuat atas dasar apa yang
dirasakan benar oleh seseorang mengenai gereja ini - "Khotbah (atau hal-hal
spesifik lain, seperti Sekolah Minggu) adalah baik, tetapi orang-orang
tampaknya tidak terlalu ramah." Atau, "Saya tidak (atau sungguh) merasa
diterima." Setiap gereja memiliki kepribadian lembaga yang tercermin dari
Disiplin yang berlaku dalam gereja tersebut. Jika para bakal anggota tidak
merasakan penerimaan, kehangatan, dan getaran, mereka mungkin tidak akan
kembali. Banyak gereja tidak bertumbuh karena sebuah kombinasi faktor-
faktor iklim menghasilkan perasaan negatif; jadi, orang-orang dipaksa dan
bukannya ditarik. Iklim dapat digambarkan dengan istilah menarik. Apakah
yang ada mengenai kita, sebagai sebuah gereja, yang dapat menarik orang
datang kepada kita? Katakan dengan cara lain, mengapa orang-orang datang?
Pertanyaan ini berlaku untuk (orang Kristen dan non Kristen, meskipun
orang-orang Kristen yang taat dan setia mengunjungi sebuah gereja dengan
harapan-harapan yang berbeda daripada orang-orang non Kristen.
Hal ini penting karena ini merupakan inti proses pertumbuhan. Mengapa
kehidupan Yesus begitu memiliki daya tarik, dan gereja-Nya sering tidak
menarik dan bahkan menimbulkan penolakan? Tekanan di sini bukan pada
15
Ibid.
46
ISSN 2579-5678
penampilan. Kita tidak saja berusaha tampak baik. Tekanan adalah pada
semangat gereja-Nya, keaslian dan kenyataan dari kehidupannya. Gereja
menarik karena keasliannya - ketulusannya. Orang dapat merasakan denyut
kehidupan di bawah permukaan bangunan-bangunan, program-program dan
struktur-struktur. Mereka juga dapat merasakan jika api itu padam, jika
perpecahan dan lembaga menjadi yang terutama. Hal ini tentu tidak
diinginkan oleh setiap anggota jemaat.
Bagi anggota gereja yang terpanggil untuk melayani, baik sebagai aktivis,
majelis jemaat maupun sebagai hamba Tuhan (Pendeta atau guru Injil), iklim
pelayanan sangat menentukan produktivitas dan semangat mereka. Tentu
semua aktivitas yang mereka lakukan ada dalam penetapan yang tersusun
dalam Disiplin. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi iklim pelayanan
menyangkut hak atau wewenang dan kewajiban yang harus mereka jalankan.
Hak atau wewenang yang harus mereka miliki antara lain: otonomi dan
fleksibilitas dalam melakukan tugas pelayanan; Gereja menaruh kepercayaan
dan terbuka bagi pelayanan mereka; Semua anggota jemaat termasuk anggota
majelis yang lain, aktivis, dan hamba Tuhan, memberikan simpatik dan
dukungan terhadap tugas pelayanan yang ada. Sedangkan kewajiban mereka
dalam mempertanggung jawabkan hak yang telah mereka terima antara lain:
Jujur dan menghargai tugas maupun hasil pelayanan orang lain; Kejelasan
tujuan program pelayanan; Mau mengambil pekerjaan yang memiliki risiko
hilangnya waktu dan kesenangan pribadi; serta selalu memperhatikan
pertumbuhan kepribadian.
C. METODE PENELITIAN
Karena masalah yang akan diteliti sudah jelas, maka dalam penelitian ini
penulis memakai pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki hubungan awal antara variabel terikat (dependent) dengan
variabel bebas (independent), maka dalam penelitian ini penulis memakai
jenis korelasional survei dengan teknik analisis jalur (path analysis design).
Analisis jalur digunakan untuk menentukan mana dari sejumlah jalur yang
47
ISSN 2579-5678
3. Prosedur Penelitian
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam pengumpulan data
adalah: Pertama, penulis mengambil langkah yaitu mendata pertanyaan-
pertanyaan terlebih dahulu, yang berhubungan dengan objek penelitian;
Kedua: sesuai dengan pokok atau objek kajian penulis, maka dalam hal ini,
penulis memfokuskan pembagian kuesioner kepada para hamba Tuhan dan
majelis jemaat yang sedang melayani; Ketiga: setelah penulis mendapatkan
data-data, penulis dapat memberikan pengetahuan prinsip Disiplin
berdasarkan tulisan Rasul Paulus secara massal kepada para pejabat gereja
16
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009),
50.
48
ISSN 2579-5678
Tabel 36
Hasil Penelitian Statistik Deskriptif terhadap Kualitas Disiplin,
Pemahaman Disiplin dan Iklim Pelayanan
Variabel No. Skor Skor Persentasi
Aspek
Penelitian Item Ideal perolehan (%)
1, 2, 3, 5x4x44 = 158+113+121+
Otoritas 71
4, 5 880 120+115 = 627
2x4x44 =
Kualitas Dokumentasi 6, 7 82+78 = 160 45,5
352
Disiplin
8, 9,
Gereja 86+114+110+
10, 11, 7x4x44
Karakteristik 110+91+95+ 57,7
12, 13, = 1232
105 = 711
14
49
ISSN 2579-5678
50
ISSN 2579-5678
51
ISSN 2579-5678
Tabel 37
Rangkuman Hasil Penelitian Asosiatif Statistik
Variabel yang r Tingkat r Persamaan
Keterangan
dikorelasikan hitung Hubungan tabel Regresi
Kualitas Disiplin dengan Y = 30,30 +
0,32 rendah 0,297 Signifikan
iklim pelayanan (rYX1) 0,21 X1
Pemahaman Disiplin
Y = 30,72 +
dengan iklim pelayanan 0,35 rendah 0,297 Signifikan
0,16 X2
(rYX2)
Kualitas Disiplin dengan
Y = 3,21 +
pemahaman Disiplin 0,78 kuat 0,297 Signifikan
1,18 X3
(rX1X2)
rYX1=0,32. Y=30,30+0,21X1
X
0,78 Y
X rYX2=0,35. Y=30,72+0,16X2
Gambar 9
Koefisien Korelasi dan Persamaan Regresi antar Variabel
52
ISSN 2579-5678
17
Lihat tabel Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi pada
lampiran tulisan ini.
53
ISSN 2579-5678
54
ISSN 2579-5678
Dimana:
X = total nilai perolehan dalam satu item 18
nilai tertinggi = nilai tertinggi item x jumlah responden = 4 x 44 = 176.
Contoh perhitungan: item no.1 dari kualitas disiplin memiliki nilai sebesar
158.19 Maka persentase pencapaian = 158 / 176 x 100% = 89,8%. Demikian
pula cara perhitungan untuk item-item yang lain pada ketiga instrumen
penelitian, sehingga diperoleh hasilnya dalam tabel 32, tabel 33, dan tabel 34.
Penilaian deskriptif berdasarkan jumlah masing-masing item instrumen
(X1, X2, Y) dibandingkan dengan nilai dari instrumen, yaitu: 4 untuk
Baik, 3 untuk Cukup, 2 untuk Kurang, dan 1 untuk Tidak. Nilai ini
akan dikalikan dengan total responden dalam penelitian. Jadi nilai yang akan
diperoleh adalah 4 x 44 = 176 untuk Baik, 3 x 44 = 132 untuk Cukup, 2
x 44 = 88 untuk Kurang, dan 1 x 44 = 44 untuk Tidak. Penilaian deskriptif
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: diambil standar atas dan standar
bawah. Standar atas adalah patokan pada nilai tertinggi butir instrumen,
dimana nilai perolehan harus memenuhi nilai maksimum baru dikatakan
Baik. Sedangkan standar bawah adalah patokan pada nilai terendah butir
instrumen, dimana nilai perolehan mencapai titik terendah baru dikatakan
18
Lihat tabel 3, tabel 4, dan tabel 5 pada bab III tulisan ini.
19
Total nilai setiap item dari ketiga instrumen penelitian statistik, dapat dilihat pada
tabel 3, tabel 4, dan tabel 5, di bab III hal 122-125 dari tulisan ini.
55
ISSN 2579-5678
Tidak. Penilaian deskriptif standar atas didefinisikan dalam tabel 38, dan
untuk standar bawah dalam tabel 39 sebagai berikut:
Tabel 38 Tabel 39
Penilaian Deskriptif Standar Atas Penilaian Deskriptif Standar
Bawah
Total Nilai Deskripsi Total Nilai Deskripsi
Dalam pemaparan ini, penulis memakai penilaian deskriptif standar atas
X = 176 Baik 176 X > 132 Baik
dengan pertimbangan bahwa, tidak semua responden memahami instrumen
176 > X
penelitian 132 yang diajukan
statistik Cukup oleh penulis132 X >baik.
dengan 88 Cukup
Tabel 40
Rangkuman Hasil Penelitian Kualitas Disiplin Berdasarkan Item
Persentase
No. Pernyataan tentang kualitas Disiplin X1 pencapaian Deskripsi
(%)
Dalam penyelenggaraan gereja saya, Disiplin
1 158 89,7 cukup
dianggap penting.
Disiplin 2005 memiliki wibawa atau kekuatan
2 113 64,2 kurang
hukum yang kuat.
Hamba Tuhan atau pun majelis jemaat di gereja
3 121 68,8 kurang
saya menaati Disiplin.
Disiplin dapat mengatasi konflik yang terjadi di
4 120 68,2 kurang
dalam gereja
Keseluruhan peraturan yang ada dalam Disiplin
5 dapat mengatur seluruh kegiatan pelayanan di 115 65,3 kurang
gereja.
Buku Disiplin ada diberikan kepada hamba
6 82 46,6 tidak
Tuhan atau pun majelis jemaat yang baru.
56
ISSN 2579-5678
57
ISSN 2579-5678
20
........, Disiplin Gereja Methodist Indonesia 2005, (Medan: GMI,2006), 29-30.
58
ISSN 2579-5678
Tabel 41
Rangkuman Hasil Penelitian Pemahaman Disiplin Berdasarkan Item
Persentase
No. Pernyataan tentang pemahaman Disiplin X2 pencapaian Deskripsi
(%)
Gereja mengadakan program bimbingan untuk
1 77 43,8 tidak
memahami Disiplin bagi semua anggota jemaat.
Saya memahami Disiplin dengan cara belajar
2 110 62,5 kurang
sendiri dari buku Disiplin.
Gembala Sidang memberikan pemahaman
3 Disiplin bagi semua hamba Tuhan maupun 109 61,9 kurang
majelis jemaat.
Saya memahami Disiplin dari sesama rekan
4 99 56,3 kurang
aktifis (teman sepelayanan)
Hamba Tuhan senior atau pejabat majelis senior
5 86 48,9 tidak
mengajarkan Disiplin bagi pejabat yang baru.
Saya memahami dengan baik keseluruhan isi
6 91 51,7 kurang
buku Disiplin.
Melalui Disiplin, saya memahami batasan
7 114 64,8 kurang
wewenang dalam jabatan.
Melalui Disiplin, saya memahami dengan jelas
8 116 65,9 kurang
tugas-tugas dalam jabatan.
Saya mengerti sanksi-sanksi (hukuman-
hukuman) baik sebagai anggota jemaat maupun
9 110 62,5 kurang
sebagai pelayan, bila saya lalai menjalankan
kewajiban.
Melalui Disiplin, saya memahami kepada siapa
10 harus bertanggung jawab di dalam 124 70,5 kurang
melaksanakan tugas pelayanan.
Saya mengerti sistem pemerintahan Episcopal
11 109 61,9 kurang
Connectional.
59
ISSN 2579-5678
60
ISSN 2579-5678
sendiri. Oleh sebab itu di gereja ini, bila terjadi pergantian kepengurusan akan
menghasilkan kebijakan yang baru dan harus ada penyesuaian yang baru.
Pertumbuhan gereja menjadi terhambat dan waktu banyak terbuang. Para
responden yang merupakan hamba Tuhan dan sebagian besar majelis jemaat,
boleh dikatakan mereka adalah para pemimpin gereja, masih kurang mengerti
sanksi-sanksi (hukuman-hukuman) baik sebagai anggota jemaat maupun
sebagai pelayan, bila lalai menjalankan kewajiban (62,5%).
Oleh karena struktur organisasi untuk gereja lokal tidak jelas, maka tidak
heran para pekerja kurang memahami kepada siapa harus bertanggung jawab
di dalam melaksanakan tugas pelayanan (70,5%). Sistem pemerintahan
Episcopal Connectional yang dibangga-banggakan oleh gereja Methodist
malah kurang dimengerti oleh para pekerja (61,9%). Hanya 57,4% yang dapat
menjelaskan prosedur penerimaan hamba Tuhan di gereja Methodist.
Responden juga kurang mengerti tugas, tanggung jawab dan hak seorang
pendeta (71%) maupun seorang Lay Leader (68,2%). Mereka juga kurang
dapat menjelaskan tujuan Konferensi Tahunan (61,4%), serta tidak mengerti
dan tidak dapat menjelaskan tugas dan hak BPA (47,2%).
Berikut ini penulis akan menguraikan bagaimana iklim pelayanan yang ada
di gereja ini, terkait dengan kualitas Disiplin dan pemahamannya oleh para
pekerja seperti yang telah diuraikan di atas.
Tabel 42
Rangkuman Hasil Penelitian Iklim Pelayanan Berdasarkan Item
Persentase
No. Pernyataan tentang iklim pelayanan di gereja Y pencapaian Deskripsi
(%)
61
ISSN 2579-5678
gereja kurang mendapatkan iklim yang baik (68,8%). Sering terjadi salah
pengertian antara pengurus ruangan gedung gereja maupun mobil gereja
dengan para aktifis yang akan melakukan tugas pelayanan. Gereja ini juga
menerapkan birokrasi yang ketat (pelaksanaan harus sesuai keputusan rapat
majelis yang memenuhi korum) sehingga bagi seorang pribadi kurang dapat
kebebasan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambilnya
(56,3%). Sehingga terkesan kepengurusan (rapat) Majelis Jemaat kurang
menyetujui serta menghargai pendapat dan inisiatif seorang pribadi dari
pekerja (67%).
Banyak responden ketika diwawancara menyatakan bahwa tidak tahu siapa
pimpinan mereka, namun mereka memberikan penilaian bahwa 73,3%
pimpinan menaruh kepercayaan kepada mereka. Walaupun persentasi
perolehan cukup tinggi, namun masih masuk dalam kategori kurang.
Kepengurusan (rapat) Majelis Jemaat juga kurang memerhatikan problem
yang dihadapi oleh komisi di bawah pimpinan seorang anggota majelis jemaat
atau pun masalah pelayanan seorang hamba Tuhan (63,3%). Dalam
pelaksanaan pelayanan masih kurang terdapat kesetiakawanan antara sesama
pekerja (sesama hamba Tuhan, sesama majelis, dan hamba Tuhan dengan
majelis), serta masing-masing saling memberi bantuan (71%).
Gereja ini kurang memberi tanggapan yang cukup menyenangkan terhadap
kontribusi (pekerjaan pelayanan) dilakukan oleh pekerja (68,2%). Tidah
heran bila responden menilai bahwa gereja kurang memahami kalau
pekerjaan yang baik perlu diberi hadiah (52,3%). Para pekerja juga kurang
menyadari (66,5%) bahwa tujuan setiap pekerjaan pelayanan yang mereka
kerjakan seharusnya didefinisikan (diuraikan) dengan jelas. Walaupun
demikian, para pekerja cukup mengetahui kalau aktivitas pelayanannya ada
kaitannya dengan tujuan gereja (80,1%).
Para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) merasa kurang bebas (tidak takut)
untuk tidak menyetujui pendapat dan tindakan atasan pribadi (64,8%),
maupun dalam rapat majelis para pekerja (hamba Tuhan atau majelis) juga
merasa kurang bebas (tidak takut) untuk tidak menyetujui pendapat dan
tindakan anggota majelis lain (68,2%).
63
ISSN 2579-5678
Dalam hal pengembangan diri, para pekerja cukup menekankan untuk dapat
melaksanakan pekerjaan dengan kualitas yang tinggi (76,7%), namun masih
kurang dalam penekanan untuk pencapaian tujuan dari setiap tugas yang
diberikan (60,8%).
64
ISSN 2579-5678
2. Saran-Saran
Dalam mengakhiri penulisan jural ini, penulis berkeinginan untuk
memberikan suatu masukan yang dapat menjadi perhatian bagi beberapa
pihak. Kontribusi yang penulis berikan ini berdasarkan pada pembahasan
yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya. Setelah penulis
mencermati hasil dari penelitian ini, maka pembahasan berikut adalah sangat
perlu untuk dimiliki oleh beberapa pihak sebagai kontributor untuk
mengembangkan pelayanan secara khusus bagi profesionalisme manajemen
organisasi gereja. Adapun rekomendasi tersebut perlu bagi:
a. Sekolah Tinggi Teologia
Pembahasan mengenai Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan
Rasul Paulus ini adalah perlu dimiliki oleh Sekolah-Sekolah
Tinggi Teologia sebagai tambahan literatur untuk menambah
pengetahuan dalam bidang Tata Gereja.
b. Gereja-Gereja
Pembahasan tentang Prinsip Tata Gereja Berdasarkan Tulisan
Rasul Paulus ini perlu dimiliki oleh gereja-gereja sebagai acuan
bagi gereja untuk menyusun, memerbaharui, atau memerbaiki Tata
Gereja mereka.
c. Para hamba Tuhan
Pokok pembahasan mengenai Prinsip Tata Gereja Berdasarkan
Tulisan Rasul Paulus ini adalah perlu dimiliki oleh para hamba
Tuhan sebagai pelayan umat percaya. Para hamba Tuhan
hendaknya memiliki wawasan dan acuan dalam melayani umat-
Nya, secara khusus dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi
kelemahan Tata Gereja di tempat pelayanannya. Tulisan ini dapat
membantu para hamba Tuhan untuk memahami wawasan tentang
Tata Gereja.
65
ISSN 2579-5678
F. KEPUSTAKAAN
66
ISSN 2579-5678
Bruce, F. F. 2000 Paul Apostle of the Heart Set Free, Grand Rapids: Paternoster
Press.
Bruggen, Jakob Van 2005 Paul Pioneer For Israels Messiah, New Jersey: P&R
Publishing.
Calvin, Yohanes 2005 Institutio, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Chamblin, J. Knox 2006 Paulus dan Diri, Surabaya: Momentun.
Clowney, Edmund P. 1995 The Church, Illinois: InterVarsity Press.
Cowan, Steven B. 2004 Who Runs the Church?, Michigan: Zondervan.
Crampton, W. Garry. 2004 Verbum Dei, Surabaya: Momentum.
Dainton, Martin B. 2002 Gereja dan Bergereja, Jakarta: YKBK
Daulay, Richard M. 2004 Mengenal Gereja Methodist Indonesia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Dever, Mark 2010 9 Tanda Gereja yang Sehat, [terjemahan: Ichwei G. Indra],
Surabaya: Momentum.
Dister, Nico Syukur 2004 Theologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius.
Douglas, J.D. 2002 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid II M-Z, Jakarta: YKBK
Drane, John 2009 Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
Dunn, James D.G. 2004 The Cambridge Companion to St. Paul, United Kingdom:
Cambridge University Press.
Emzir. 2009 Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Enns, Paul 2003 The Moody Handbook of Theology Vol 1, Malang: Literatur SAAT.
Fatta, Hanif Al. 2007 Analisis & Perancangan Sistem Informasi, Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Fee, Gordon D. 2004 Paulus, Roh Kudus dan Umat Allah, Malang: Gandum Mas.
Hadiwijono, Harun 2006 Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Holland, Tom 2004 Contours of Pauline Theology, Scotland: Mentor Imprint.
Iskandar 2008 Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, Jakarta: Gaung
Persada Press.
Kattu, Lamberthus. 1997 Organisasi Gereja dan Yayasan PI, Batu: Lumen Christi.
Kennedy, Gerald 1958 The Methodist Way of Life, Englewood Cliff, NJ: Prentice
Hall.
Lamb, Jonathan. 2008 Integritas, Jakarta: Literatur Perkantas.
Lawrence, Bill. 2004 Effective Pastoring, Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Lay, Agus B. 2006 Manajemen Pelayanan, Yogyakarta: ANDI.
67
ISSN 2579-5678
Lumintang, Stevri I., 2010 Keunikan Theologia Kristen Di Tengah Kepalsuan, Batu:
Dept. Literatur PPII.
McRay, John 2007 Paul, His Life and Teaching, Grand Rapids: Baker Academic.
Nasir, Mohamad 1985 Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Octavianus, P.2007 Manajemen dan Kepemimpinan menurut Wahyu Allah, Batu:
Literatur YPPII.
Packer, J. I.; Tenney, Merril C.; White, William 1993 Dunia Perjanjian Baru,
Malang: Gandum Mas.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Polhill, John B. 1999 Paul & His Letters, Tennessee: Broadman & Holman
Publishers.
Purwanto. 2011 Statistika Untuk Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rees, David; McBain, Richard 2007 People Management, Jakarta: Kencana.
Riady, Mochtar 2008 Filsafat Kuno dan Manajemen Modern, Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer.
Ridderbos, Herman 2008 Paulus Pemikiran dan Theologinya, Surabaya:
Momentum.
Robinson, Darrell W. 2004 Total Church Life, Bandung: YBI
Ryrie, Charles C. 2003 Theologi Dasar 2, Yogyakarta: ANDI.
Sahardjo, Hadi P. 2009 Psikologi Kepribadian Sosial, Batu: Institut Injil Indonesia.
Sanders, J. Oswald. 2002 Kepemimpinan Rohani, Batam: Gospel Pres.
Schwarz, Christian A.; Schalk, Chrisoph. 2002 Pedoman Penerapan Praktis
Pertumbuhan Gereja Alamiah, Jakarta: Rekan Gereja bekerja sama dengan
Metanoia Publishing.
Spiegel, Murray R. 1986 Statistik, [terjemahan: I Nyoman Susila & Ellen Gunawan],
Jakarta: Erlangga.
Sproul, R. C. 2005 Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Malang: Literatur
SAAT.
Strauch, Alexander. 2008 Diaken dalam Gereja, Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Subagyo, Andreas B. 2004 Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, Bandung:
Yayasan Kalam Hidup.
Sudarmanto, G. 2009 Pelayan Kristus Yang Baik, Malang: Departemen
Multimedia YPPII.
Sugiyono. 2008 Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
68
ISSN 2579-5678
69
ISSN 2579-5678
70
STUDI EKSEGESIS FILIPI 2:5-11
TENTANG KENOSIS DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DOKTRIN TRITUNGGAL
Abstraksi
Adapun yang menjadi latar belakang penelitian ini adalah: kotroversi
teori kenosis yang tidak dapat menyelesaikan spekulasi teologis seperti teori
kenosis Gess, misalnya, ternyata merusak prinsip kesatuan Allah dalam
doktrin Tritunggal (opera Trinitatis ad extra sunt indivisa). Bila mereka mau
mempertahankan doktrin Allah tradisional, mereka harus kembali mengubah
penjelasan dari apa yang dimaksudkan dengan kenosis itu. Ebrard dan Gore
termasuk dalam tokoh-tokoh yang mencoba mereformulasikan teori kenosis.
Penjelasan yang mereka berikan mungkin dapat menerangkan sifat
kemanusiaan Yesus dalam inkarnasiNya tanpa merusak doktrin Tritunggal.
Namun, penjelasan yang satu menimbulkan pertanyaan misteri dalam hal
yang lain. Gore, misalnya, akhirnya meninggalkan satu pertanyaan yang tak
terjawab mengenai hubungan antara kehidupan Logos sebagai Penunjang
alam semesta dan Logos yang berinkarnasi. Dengan tidak terjawabnya
pertanyaan ini oleh teori kenosis, maka teori itu telah mempengaruhi doktrin
imutabilitas (tidak dapat berubahnya) Allah. Usaha teori kenosis
mereformulasi doktrin dwi natur pribadi Kristus juga merusak rumusan
Kristologis yang telah ditetapkan dalam Konsili Chalcedon. Kristus seperti
dikemukakan dalam Alkitab adalah Kristus yang sungguh-sungguh Allah,
dan sekaligus juga sungguh-sungguh manusia (unus Christus, vere Deus et
vere homo). Padahal Kristus yang dikemukakan dalam teori kenosis adalah
Kristus yang keallahanNya telah dikorting, bila bukan sama sekali
dihilangkan.
Dalam usahanya untuk memberi penekanan pada natur kemanusiaan
dalam diri Yesus, teori kenosis bukan memberi penjelasan mengenai doktrin
Inkarnasi, tetapi, seperti dikatakan oleh Baillie, teori kenosis hanya
menyuguhkan teori teofani temporer, di mana Allah menjadi manusia untuk
ISSN 2579-5678
Problematika
Di kalangan para teolog, Filipi 2:5-11 dikenal dengan nama: Hymne
Kristologi, Nyanyian Kristologi, atau Syair Puji-pujian tentang Kristus dan
mungkin masih ada nama yang lain lagi. Nama-nama seperti itu paling tidak
memperlihatkan bahwa bagian surat tersebut cukup terkenal dan mempunyai
tempat yang istimewa dalam penghayatan iman orang Kristen. Namun
demikian bagian tersebut juga masih menimbulkan perdebatan di kalangan
para teolog.
Penafsiran dan pemahaman terhadap Filipi 2:5-11 di kalangan orang
Kristen sendiri masih dalam problem yang cukup sulit. Menurut penulis, hal
itulah yang menyebabkan penafsiran terhadap teks Alkitab itu kurang
menolong Gereja-Gereja di Indonesia dalam memahami dan menjalankan
72
ISSN 2579-5678
panggilannya dalam dunia ini. Selama ini teks itu hanya ditafsirkan secara
dogmatis sehingga kurang sekali menyentuh pergumulan-pergumulan praktis
yang sedang dihadapi. Untuk itu dalam tulisan ini dipandang perlu untuk
menggambarkan problematikanya dan mencari solusi penafsiran yang lebih
menyentuh konteks orang-orang Kristen di Indonesia.
Guthrie, seorang teolog Perjanjian Baru pernah memaparkan
beberapa hal yang menjadi permasalahan di sekitar penafsiran dan
pemahaman terhadap Filipi 2:5-11, sebagai berikut:
Asal-usul teks Filipi 2:5-11.
Menurutnya, dalam bagian ini yang dipertanyakan adalah: Apakah
teks itu adalah ciptaan rasul Paulus sendiri atau sebuah teks yang berasal dari
sebuah hymne yang telah dikenal dalam jemaat mula-mula, yang diambil alih
dan dimasukkan oleh rasul Paulus ke dalam Surat Filipi? Jawaban terhadap
pertanyaan itu bermacam-macam.
Ada ahli yang mengatakan bahwa teks itu bukan berasal dari Paulus,
tetapi berasal dari hymne yang telah dikenal dalam Gereja mula-mula, lalu
diambil alih oleh Paulus dan dimasukkan ke dalam surat Filipi sebagai dasar
bagi pastoralnya terhadap jemaat Filipi.
Jawaban itu didasarkan pada beberapa alasan antara lain:
Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa bentuk sastra Filipi 2:5-
11 pada mulanya bukanlah sebuah prosa seperti seperti sekarang ini, tetapi
adalah sebuah hymne/puisi yang terdiri dari enam stansa, dan tiap-tiap stansa
terdiri dari tiga klausa. Struktur sastra seperti itu sama dengan puisi-puisi
yang dikarang dalam bahasa Aram, sebagai bahasa yang digunakan oleh
jemaat mula-mula. Gaya sastra seperti itu tidak terdapat dalam surat-surat
Paulus yang lain, selain dalam surat Filipi. Menurut mereka hal itu
disebabkan karena teks itu bukan berasal dari Paulus sendiri yang hidup
dalam budaya Helenisme.
Dari hasil penelitian itu, mereka juga menyimpulkan bahwa Paulus
telah menambahkan satu klausa, dalam teks yaitu, dalam Filipi 2:8:
...bahkan sampai mati di kayu salib .
Untuk memperkuat kesimpulan itu, mereka juga menyatakan bahwa
beberapa pokok teologis yang khas Paulus seperti: penebusan melalui salib,
73
ISSN 2579-5678
kebangkitan Kristus dan misi Kristus bagi penebusan dosa manusia, kurang
nampak dalam Filipi 2:5-11.
Namun ada juga teolog yang membantah dan tidak sependapat dengan
kesimpulan-kesimpulan di atas. Sebaliknya mereka berpendapat bahwa teks
itu adalah ciptaan Paulus sendiri dalam rangka jawabannya terhadap
pergumulan jemaat Filipi. Kesimpulan itu didasarkan pada beberapa alasan
antara lain:
Bahwa sesungguhnya gaya prosa seperti itu bukan hanya dalam Filipi
2:5-11, tetapi juga dalam Kolose 1:15-20, atau dalam surat-surat yang lain,
walaupun mungkin bentuknya lebih pendek dari Filipi 2:5-11.
Bila, hanya untuk merespons situasi jemaat Filipi pada saat itu, maka
tidak mungkin Paulus harus memaparkan semua pandangan teologisnya yang
khas tentang Kristus. Mungkin, ia merasa cukup hanya dengan menciptakan
prosa yang dianggap cocok dan sesuai dengan kebutuhan pastoralnya bagi
jemaat Filipi. Guthrie sendiri mengakui bahwa memang sulit untuk
membuktikan dengan pasti pendapat mana yang benar sebab masing-masing
memiliki alasan yang kuat yang tidak dapat ditolak dengan begitu saja.
Namun menurutnya, yang paling penting adalah kalaupun prosa itu adalah
ciptaan Paulus ataupun disadur dari sebuah hymne jemaat mula-mula, maka
tentu dalam penafsirannya hymne itu harus dipahami dalam kerangka
pergumulan Paulus dan jemaat Filipi pada waktu itu dan bukan dalam konteks
di luar itu, baik jemaat mula-mula maupun Filsafat Yunani dan Gereja masa
kini.1
Konteks
Adapun yang dimaksud dengan konteks di sini dijelaskan oleh Hasan
Sutanto yang menyatakan, bahwa: kata konteks berasal dari dua kata bahasa
Latin, yaitu con yang berarti bersama dan menjadi satu dan textus yang
berarti tersusun.2
1
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992,
Hal. 391.
2
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang:
SAAT, 1998), Hal. 134.
74
ISSN 2579-5678
Konteks Dekat
Rasul Paulus menulis surat ini dari penjara. Jika ditulis dari penjara di
Roma, tanggalnya sekitar tahun 61-63 M.3 Konteks dekat dari Filipi 2:5-11
adalah keseluruhan surat Filipi yang merupakan surat mengenai sukacita dan
dorongan atau pengobar semangat di tengah keadaan yang tidak
menyenangkan ataupun kurang baik. Di dalamnya, Paulus dengan bebas
mengekspresikan serta menyatakan kasihnya terhadap jemaat Filipi
mengingat bahwa kesaksian dan dukungan mereka yang konsisten, serta
dengan penuh kasih menghimbau mereka untuk memusatkan tindakan-
tindakan dan pemikiran mereka pada pribadi, pengejaran, dan kuasa dari
Yesus Kristus. Paulus juga mencoba untuk mengoreksi suatu masalah
tentang perpecahan dan persaingan, menghimbau kepada pembacanya untuk
menuruti teladan Kristus di dalam kerendahan hati-Nya dan ketaatan-
Nya. Dengan cara ini pekerjaan dari Injil itu akan berkembang pesat. Hal ini
terjadi ketika orang-orang percaya mencoba untuk berdiri teguh, sehati
sepikir, senantiasa bersukacita, dan berdoa di dalam segala situasi yang
sedang dihadapi.
Konteks Jauh
Penulis menggunakan konteks jauh Filipi 2:5-11 dari surat Paulus
kepada jemaat Korintus, dalam I Korintus 4:6-10, yakni ketika rasul Paulus
menulis surat yang berisi tegoran karena jemaat di Korintus mulai saling
menyombongkan diri dengan apa yang sudah mereka alami dan karunia-
karunia rohani yang mereka peroleh di dalam Tuhan. Dalam hal ini, Dick
Iverseon dan Larry Asplund menjelaskan bahwa: Beberapa perbedaan
pendapat telah melumpuhkan kehidupan dan pelayanan di gereja
Korintus.4 Paulus menasihati jemaat Korintus agar mereka jangan
menyombongkan diri, tetapi Paulus menganjurkan agar jemaat Korintus
mengikuti teladan dirinya (I Korintus 4:16). Paulus berani menjadikan
dirinya sebagai contoh teladan bagi orang-orang Korintus karena dia telah
3
_______, Handbook To The Bible Pedoman Lengkap Pemahaman Alkitab, Dit.
Oleh Yap Wei Fong (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), Hal. 686.
4
Dick Iverson and Larry Asplund, Gereja Sehat dan Bertumbuh, (Malang:
Gandum Mas, 2003), Hal.. 59.
75
ISSN 2579-5678
mengikuti teladan Kristus (ayat 17). Hal ini juga sesuai dengan apa yang
Paulus ajarkan kepada jemaat di Filipi berdasarkan Filipi 2:5-11, yang sedang
diteliti oleh penulis.
Pokok-pokok teologi penting dalam Filipi 2:5-11 yang menjadi
perdebatan yaitu:
Pre-eksistensi Kristus.
Yang dipermasalahkan dalam bagian ini adalah Apakah hakekat
Yesus pada masa sebelum kehidupanNya di dalam dunia ini? Jawaban atas
pertanyaan itu juga berbeda-beda. Berdasarkan tafsiran mereka terhadap kata
rupa Allah , ada ahli yang menyimpulkan bahwa hakekat
Kristus adalah sama dengan Allah. Hal itu didasarkan pada pemahaman
bahwa kata itu mempunyai hubungan dengan kata ousia (hakekat), yakni
memiliki morphe sama dengan memiliki ousia. Karena itu, jika kata
morphe dihubungkan dengan kata berikutnya setara dengan Allah
maka jelas bahwa memiliki morphe berarti memiliki keberadaan yang setara
dengan Allah. Namun, di pihak lain, ada juga yang mengatakan bahwa kata
dalam teks itu harus dipahami dalam konteks Perjanjian Lama
dimana hakekat Allah dihubungkan dengan gambarNya yang dalam LXX
(Septuaginta) diterjemahkan dengan kata eikon. Dan kata gambar Allah
selalu dihubungkan dengan kata kemuliaan Allah dan dalam
pemahaman ini harus dipahami sebagai yang memancarkan
kemuliaan Allah seperti pada Adam. Jadi dalam hal ini Kristus disaksikan
sebagai Adam yang ke dua.5
Inkarnasi.
Tafsiran terhadap kata seperti di atas, juga berpengaruh
kepada penafsiran terhadap kata . Dalam konteks Filipi 2:5-11,
mereka menafsirkan kata dapat ditafsirkan dalam dua cara dalam
bahasa Yunani, bisa dalam pengertian: Kristus tidak mempertahankan,
menggenggam erat (sebagai wujud tidak rela melepaskan) apa yang telah Ia
miliki yaitu kesetaraanNya dengan Allah melainkan melepaskannya (res
5
Ibid., Hal. 393.
76
ISSN 2579-5678
rapta) dan menjadi sama dengan manusia. Atau juga dapat pula berarti:
Kristus tidak tergoda untuk merebut sesuatu yang belum Ia miliki (res
rapienda), yaitu kesetaraanNya dengan Allah tetapi mengosongkan diriNya
sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan
manusia. Tafsiran ini sejalan dengan sifat Kristus yang rendah hati yang
tidak mengutamakan kepentingan diriNya sendiri, malah berkorban bagi
pihak lain dengan menjadi seorang hamba.6
Proses inkarnasi.
Dalam bagian ini dipertanyakan apakah yang dikosongkan dalam
proses inkarnasi itu? Ada ahli yang menafsirkan bahwa yang dikosongkan
adalah hakekatNya sebagai Allah, sehingga dalam diri Yesus dari Nazaret itu,
Kristus benar-benar mengambil rupa dan tampil sebagai manusia sejati dan
tidak berhubungan dengan keilahianNya. Namun sebaliknya, ada juga yang
menafsirkan bahwa yang ditiadakan dan ditutupi hanyalah penampilanNya,
yaitu kemuliaanNya sebagai Allah, dengan memakai rupa seorang hamba
dan itu hanya bersifat sementara. Dengan demikian, penampilanNya sebagai
Allah dalam kemuliaaNya berganti menjadi Allah yang merendahkan diri
dengan mengambil rupa seorang hamba.7
PengagunganNya.
Dalam bagian ini yang dipermasalahkan adalah kata .
Sebagian ahli mengatakan bahwa kata itu harus ditafsirkan dengan kata
sangat meninggikan Dia dalam artian memulihkan kembali keallahan
Kristus yang ditutupi sementara, dengan memberiNya nama di atas segala
nama. Tetapi ada sebagian juga yang menyatakan bahwa kata itu harus
ditafsirkan dengan kata lebih meninggikan Dia dalam pengertian bahwa
dari keberadaanNya yang semula hanya memancarkan kemuliaan Allah
dianugerahi hakekat menjadi sebagai Allah. Sehingga pemberian nama di
atas segala nama dapat dipandang sebagai upah perendahan diri dan
6
Ibid., Hal. 394.
7
Ibid., Hal. 395.
77
ISSN 2579-5678
8
Ibid., Hal. 397-399.
78
ISSN 2579-5678
Filipi. Sebab teks Filipi 2:5-11 itu bermakna bukan karena itu berasal dari
Paulus ataupun bukan dari Paulus, tetapi karena teks itu telah ada dan
merupakan bagian sentral dari keseluruhan surat Filipi yang ditulis dalam
rangka menjawab pergumulan penulis dan pembacanya pada waktu itu.
Dalam prinsip seperti itulah Filipi 2:5-11 mempunyai makna penting bagi
Paulus dan jemaat Filipi di masa lalu dan karena itu juga bagi Gereja-Gereja
di Indonesia pada masa kini.
Di dalam ayat 5 didapati dua varian, yakni bacaan (naskah Alef
A B C) dan bacaan (naskah Papirus46 Alef2 D F G). Bacaan
pertama adalah bacaan asli. Mayoritas ahli meyakinkan bahwa
menunjukkan keaslian, tidak benar alasan dapat ditemukan untuk
penghapusannya,9 dimana menurut para ahli termasuk didalam kata
berdiri sendiri untuk mengatakan kata sambung, apakah atau atau
, (masing-masing yang ditemukan di dalam variasi kesaksian).
Seperti tulisan Armand Barus bahwa didalam ayat 9 terdapat dua
varian, yakni bacaan (naskah Papirus 46 A B C) dan bacaan
(naskah D). Bacaan pertama dengan kata sandang adalah bacaan asli karena
dua alasan: silabel terakhir dari verba menyebabkan dihapusnya
kata sandang dan distribusi kata yang luas.10
Dalam ayat 11 terdapat dua masalah tekstual. Masalah tekstual pertam
memuat dua varian, yakni bacaan (mengaku) dan
(akan mengaku). Varian pertama dalam bentuk aoris
subyuntif di dukung naskah P46 Alef B, sedang varian kedua dalam bentuk
kala depan indikatif (future) didukung naskah A C D F G. Bacaan varian
pertama adalah bacaan asli karena teks ada dalam suasana subyuntif. Kata
kerja yang mengikuti kata sambung dalam bentuk subyuntif.11
Masalah tekstual ketiga dalam ayat sebelas memuat tiga varian bacaan
naskah: (P46vid Alef A D), (F G),
(K). Varian bacaan pertama adalah bacaan asli. Peniadaan
9
Metzger, Textual Commentary on The Greek New Testament. (Bible Works 9)
10
Armand Barus, Jurnal Teologi Reformed Indonesia Vol. 3 No. 2 Juli 2013. Hal.
82.
11
Ibid.,
79
ISSN 2579-5678
Terjemahan Teks
5
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan
yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
6
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan
Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
7
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa
seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
8
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan
taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
9
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan
kepada-Nya nama di atas segala nama,
10
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan
yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
11
dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan
Allah, Bapa!
5 , 6
This Think in You which also in Christ Jesus who in form
RD-ASN VPAM2P P RP2DP RR-NSN TE P NDSM NDSM RR-NSM P NDSF
, 7
of God existing not Seizure considered the to be equal to God but
NGSM VPAP-SNM CLK, TN NASM VAMI3S DASN VPAN JNPN NDSM CLK, CLC
,
Himself he emptied form of slave having taken in likeness of men
RF3ASM VAAI3S NASF NGSM VAAP-SNM P NDSN NGPM
8
Becoming and in shape being found as man he humbled himself
VAMP-SNM CLN NDSN VAPP-SNM CAM NNSM VAAI3S RF3ASM
12
Ibid.,
80
ISSN 2579-5678
, . 9
Becoming obedient until death of death but of cross Wherefore also the
VAMP-SNM JNSM B NGSM NGSM CLA NGSM CLI TE DNSM
God Him elevated beyond and he favored to him the name the above
NNSM RP3ASM VAAI3S CLN VAMI3S RP3DSM DASN NASN DASN P
, 10
all name that in The Name of Jesus all knee might bow on heavens
JASN NASN CAP P DDSN NDSN NGSM JNSN NNSN VAAS3S JGPM
11
and on earths and subterraneans and all tongue might confess out (")
CLN JGPN CLN JGPM CLN JNSF NNSF VAMS3S CSC
.13
Master Jesus Christ into splendor of God Father
NNSM NNSM NNSM P NASF NGSM NGSM
Bentuk/Struktur Komposisi
Bentuk teks Filipi 2:5-11 di mata para pakar PB adalah suatu nyanyian
(Hymn). Nyanyian pujian kepada Kristus. Sebagai suatu nyanyian purba tidak
dapat dipastikan siapa penulisnya. Bisa terjadi salah satu dari dua
kemungkinan berikut. Pertama, Paulus mengutip nyanyian yang sudah
beredar luas dikalangan jemaat Kristen purba. Paulus bukanlah penulis
nyanyian tersebut. Apakah nyanyian tersebut telah beredar di jemaat-jemaat
asuhan Paulus sebelum terekam dalam surat Filipi tidak dapat dipastikan.
Perintah Paulus untuk tidak mencari kepentingan diri sendiri, dan
tidak mengutamakan diri sendiri, tentu bukan konsep yang asing bagi iman
kita. Sebenarnya hal itu terletak pada inti iman kita di kayu salib. Rasul Paulus
menegaskan bahwa siapa saja yang percaya kepada Kristus yang telah
13
Aland, Kurt; Black, Matthew; Martini, Carlo M. ; Metzger, Bruce M. ; Robinson,
Maurice. ; Wikgren, Allen: The Greek New Testament, Fourth Revised Edition (Interlinear
With Morphology). Deutsche Bibelgesellschaft, 1993; 2006, S. Php 2:5-11 (MacDonald
Greek Transcription, Bible Works 9)
81
ISSN 2579-5678
14
Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Filipi, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008. Hal.
47-48.
82
ISSN 2579-5678
15
_______, Pedoman Penafsiran Alkitab Surat Paulus Kepada Jemaat Filipi,
Jakarta: Penerbit LAI bekerja sama dengan Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia,
2013. Hal. 55
83
ISSN 2579-5678
16
Jurnal Teologi Reformed Indonesia.
84
ISSN 2579-5678
a. Kemuliaan
Kemuliaan adalah bentuk kelihatan kehadiran Allah seperti terekam
dalam PL (Kejadian 16:10; 24:15; Imamat 9:6; Bilangan 12:8; 14:10).
Penampakan dan substansi tidak memiliki pembedaan, keduanya berkaitan.
17
Ibid.,
18
Ibid.,
85
ISSN 2579-5678
b. Esensi, substansi
Kesejajaran penggunaan istilah seperti pada Plato dan Aristoteles, arti
diusulkan tidak berbeda dengan kata (essence). Dalam kaitan
dengan Allah, maka Yesus yang ada sebelum inkarnasi (praeksistensi)
bersama-sama memiliki esensi Ilahi tanpa harus diidentifikasi dengannya.
Dengan perkataan lain, Yesus berada dalam Allah berarti Yesus
berada sebelum inkarnasi dengan esensi sama dengan Allah. Tulisan
Hawthorn dan Martin yang dikutip oleh Armand bahwa mereka tetap
mempertahankan sebagai hal yang dapat dialami indera manusia.
Ungkapan Allah menunjuk essential nature and character of God
(natur esensial dan karakter Allah).20 Meski demikian Martin menegaskan
bahwa para ahli memiliki konsensus bahwa kata tidak dapat lagi
dipahami dalam arti filosofis yakni esensi, substansi. 21 Yesus tidak berada
sebagai Allah tetapi berada dalam () Allah.
c. Gambar
Dengan menggunakan Keejadian 1:26-27 dan 3:1-5 sebagai dasar,
maka ungkapan rupa Allah () dalam Kolose 1:15; 2 Korintus 4:4 dan
Allah dipandang sinonim. Adam pertama berada dalam rupa dan
gambar Allah (Kejadian 1:26-27), demikian juga Kristus sebagai Adam kedua
berada dalam gambar Allah. Kategori Adam pertama dan Adam kedua
digunakan untuk memahami Allah.22 Pengertian sinonim () dan
memberi dua masalah yakni: tidak dapat diterapkan pada ungkapan
hamba; kedua menjadikan nyanyian bukan rujukan kepada
19
Ibid.,
20
Ibid.,
21
Ibid.,
22
Ibid.,
86
ISSN 2579-5678
23
Ibid.,
87
ISSN 2579-5678
24
Ibid.,
25
Ibid.,
26
Ibid.,
88
ISSN 2579-5678
Apa yang dikosongkan? Ini pertanyaan yang sering muncul bila kata
kerja mengosongkan dipahami secara harfiah. Armand mengutip tulisan
Martin mendiskusikan beberapa kemungkinan tentang apa yang dikosongkan
Yesus, sebagai berikut:
1. Sifat keallahan Kristus.
Pandangan yang dikenal sebagai teori Kenotis bahwa Yesus
mengosongkan sifat keallahanNya pada saat inkarnasi. Sifat keallahan yang
dikosongkan Yesus adalah sifat mahatahu, mahahadir dan mahakuasa, namun
tetap mempertahankan atribusi kekudusan, kasih dan kebenaran.
2. Yesus menjadi miskin
Ini pendapat Dibelius yang didasarkan pada Lukas 1:53; Rut 1:21 dan
2 Korintus 8:9.
3. Yesus menjadi hamba atau budak
Istilah hamba pada ayat 7 dipahami secara harfiah merujuk kepada
kelompok sosial terbawah dalam masyarakat kuno, yakni budak.
4. Yesus menjadi manusia
Pandangan tradisional ini berpendapat bahwa praeksistensi Yesus
menjadi manusia adalah momen Ia mengambil rupa hamba.
5. Yesus menaruh diriNya di bawah roh jahat (demonis).
Pandangan ini diutarakan oleh E. Kasemann yang memahami istilah
hamba sebagai penghambaan kepada kuasa-kuasa roh jahat.
6. Yesus mangambil peranan hamba seperti digambarkan Yesaya.
Pandangan ini memahami ungkapan Ia mengosongkan diri memiliki
kesejajaran dengan ungkapan (ia telah menyerahkan nyawanya) seperti
terdapat pada Yesaya 53:12. Dalam pengertian ini, mengosongkan diri
merujuk kepada inkarnasi.
7. Yesus menjadi penderita yang benar (E. Schweizer).
Pandangan ini didasarkan pada konsep Yudaisme tentang orang benar
yang harus menderita sebelum Allah meninggikannya. Yesus disebut hamba
bukan karena memenuhi peranan hamba Yesaya, melainkan karena sejalan
dengan gagasan Yudaisme mengenai orang benar yang menderita disebut
hamba (Ebed). Dalam kemartiran Yahudi, istilah Ebed menjadi kata kunci.
8. Kemuliaan
89
ISSN 2579-5678
90
ISSN 2579-5678
27
Ibid.,
91
ISSN 2579-5678
92
ISSN 2579-5678
manusia sebelum Adam jatuh ke dalam dosa. Pengertian ini membawa kita
semakin dalam kepada masalah apakah Yesus mampu berdosa? Pencobaan
Yesus menegaskan bahwa Yesus tidak mampu berdosa karena hakikat dosa
tidak melekat pada diriNya. Pilihan sebagai sama dengan lebih baik.
Yesus menjadi sama dengan manusia menegaskan identifikasi penuh dan
partisipasi sempurna dengan kemanusiaan manusia. Bagaimana kata
diterjemahkan sebagai sama dengan harus dipahami? Bila dikatakan Yesus
menjadi sama dengan manusia memperlihatkan bahwa Yesus adalah manusia
sejati, namun tetap menyimpan keallahanNya. Ketika Yesus berkata dan
berbuat, tidak hanya kemanusiaan sempurna yang tampak, namun juga
termasuk juga terungkap keallahanNya. Ringkasnya, Yesus adalah kehadiran
Yahweh didunia.
Jadi, menjadi samanya Yesus dengan manusia merujuk kepada
kelahiran dan kehidupanNya sebagai manusia. Yesus lahir sebagai manusia
seperti kelahiran manusia lainnya. Yesus hidup seperti manusia lainnya, harus
jalan kaki untuk menempuh jarak, mengalami lapar dan haus, merasa sedih,
menangis. Meski Yesus adalah manusia sejati, kesamaanNya dengan manusia
menyatakan keallahanNya. Yesus adalah kehadiran Allah di dunia. Kehadiran
Allah Manusia dalam diri Yesus, bukanlah hal mistis seperti pendapat Martin.
Nyanyian Kristus menegaskan bahwa Yesus sebagai Allah manusia
memperlihatkan seperti diuraikan diatas, kerendahan hati sempurna yang
tidak mampu diperlihatkan manusia. Pekerjaan Kristus pertama dan kedua
dengan jelas memperlihatkan kerendahan hati sempurna. Meski istilah dosa
tidak secara eksplisit disebut dalam nyanyian Kristus, tetapi kata mati pada
ayat 7 menunjuk kepada kehadiran dosa dalam dunia. Kesediaan sukarela
Yesus untuk mati menegaskan bahwa kematianNya bukan keharusan seperti
manusia lainnya. Manusia harus mati karena dosa. Yesus mati karena
bersedia sukarela mati. Dalam hal ini, Yesus menjadi sama dengan manusia
sepenuhnya, namun memiliki perbedaan fundamental esensial dengan
manusia dalam hal kerendahan hati, ketaatan dan dosa. Yesus secara
sempurna menunjukkan kerendahan dan ketaatan dan tanpa dosa.
Perbuatan Yesus tidak menganggap sebagai keuntungan dan
mengosongkan diri menggambarkan kerendahan hati Yesus. Dua perbuatan
93
ISSN 2579-5678
3. Merendahkan Diri
Tindakan Kristus selanjutnya selain mengosongkan diri adalah
merendahkan diri. Bagaimana Kristus merendahkan diriNya? Yesus
merendahkan diri dengan cara: didapati () rupa sebagai manusia (ayat
7c) dan menjadi () taat sampai mati (ayat 8).
Merendahkan diri. Perbuatan ketiga Yesus adalah merendahkan diri.
Perbuatan ini tidak identik dengan tindakan kedua yakni mengosongkan diri.
Perbuatan Yesus merendahkan diri diusulkan penafsir dipahami dengan latar
belakang hamba (ebed) Yahweh seperti tergambar dalam Yesaya 53. Sebagai
dasar dilihat hubungan Filipi dan Yesaya dalam penggunaan frasa
(Yesaya 53:8, LXX) sejajar dengan frasa
(2:8). Frasa dipahami sebagai rujukan terhadap ketaatan
hamba hingga mati. Namun, bila dicermati terungkap bahwa kata ketaatan
sama sekali tidak muncul pada teks hamba yang menderita dalam Yesaya. 28
Perbuatan Yesus merendahkan diri merupakan perbuatan aktif,
inisiatif Yesus seperti terlihat melalui penggunaan bentuk aktif kata kerja
. Yesus merendahkan diri dengan sengaja dan sukarela dan
bukan karena direndahkan oleh siapapun. Dalam korpus surat Paulus verba
28
Ibid.,
94
ISSN 2579-5678
merendahkan muncul 4 kali (2 Korintus 11:7; 12:21; Filipi 2:8; 4:12). Apa
artinya merendahkan diri? Dua cara, seperti dijelaskan partisip dan
, yaitu: memperlihatkan diri secara penuh sebagai manusia, kecuali
tidak memiliki natur atau tabiat dosa dan memperlihatkan ketaatan sempurna
sebagai manusia.
Didapati rupa sebagai manusia. Kata benda juga digunakan
dalam 1 Korintus 7:31 untuk menggambarkan dunia yang dilihat secara mata
visual. Kata diterjemahkan sebagai rupa lahiriah. Istilah rupa lahiriah
disini menunjuk kepadapenampakan luar atau bentuk kelihatan oleh panca
indera manusia. Armand mengutip rumusan Martin tentang ungakapan
menunjuk kepada the external appearance of the incarnate
Son as He showed Himself to those who saw Him in the days of his flesh. 29
Dalam pengertian ini, manusia yang bertemu dengan Yesus ketika hidup di
Palestina menyadari bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia, sama seperti
mereka. Manusia yang berjumpa dengan Yesus, mendapati bahwa Ia tidak
terlihat seolah-olah seperti manusia atau melebihi manusia lainnya.
Menjadi taat sampai mati. Kehidupan Yesus sebagai manusia di
Palestina memperlihatkan satu prinsip kehidupan yakni ketaatan. Tidak
disebutkan secara eksplisit kepada siapa Yesus menaruh ketaatanNya.
Apakah ketaatan yang dimakasud adalah ketaatan kepada Bapa? Yesus juga
tidak taat kepada maut. Maut tidak menguasai Yesus. Yesus taat sampai mati
(). Ketaatan Yesus juga tidak diberikan kepada manusia. Yesus tidak
takluk kepada kehendak manusia. Yang dapat dipastikan adalah bahwa
ketaatan Yesus bersifat aktif dan sukarela. Ketaatan Yesus sampai mati
memperlihatkan totalitas identifikasi dengan manusia. Manusia, akibat dosa,
berada dalam penjara kematian. Kematian adalah musuh manusia yang kuat,
tidak terkalahkan. Yesus datang menjemput manusia dari cengkeraman maut
dan membebaskan manusia dari penjara kematian. Yesus harus masuk ke
dalam dunia kematian dimana manusia terpenjara untuk membebaskan
mereka yang percaya kepadaNya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
karakteristik utama kehidupan Yesus di dunia adalah ketaatan.
29
Ibid.,
95
ISSN 2579-5678
96
ISSN 2579-5678
objek. Dalam bagian ayat 9-11 terlihat dua bentuk perbuatan Allah kepada
Yesus, yakni: (ayat 9, sangat meninggikan) Yesus dan
(ayat 9, mengaruniakan) nama diatas segala nama. Armand
mengutip pendapat OBrien bahwa pekerjaan Allah bukanlah tahapan dan
kedua perbuatan Allah tersebut dipandang sebagai pernyataan sejajar (the
parallel assertion).30 Tetapi sama seperti pada ayat 6-8, perbuatan-perbuatan
Kristus merupakan tahapan persitiwa, demikian juga dengan perbuatan Allah
pada ayat 9-11. Tulisan berikut, seperti diuraikan dibawah, berpendapat
bahwa perbuatan Allah merupakan suatu tahapan peristiwa. Tujuan perbuatan
Allah adalah: semua lutut (bertekuk) dan semua lidah
(mengakui). Tema kebangkitan dan kenaikan Yesus tidak disebut eksplisit
karena fokus nyanyian kepada pengakuan semua makhluk bahwa Yesus
adalah Tuhan.
1. Allah Sangat Meninggikan
Allah sangat meninggikan () Yesus. Kata kerja
adalah hapax legomenon. Bagaimana memahami kata kerja
hapax legomenon ? Pemahaman terhadap kata kerja
terbagi dalam dua alur pikiran:
a. Kata kerja dipandang sebagai kata kerja komposit yang
terbentuk atas preposisi dan kata kerja . Dalam Kisah Para
Rasul 2:33; 5:31 kata kerja digunakan secara figuratif sebagai
rujukan terhadap kenaikan Yesus. Kata preposisi memuat makna
komparatif. Dalam makna komparatif ini peninggian Kristus berarti
meninggikanNya ke posisi lebih tinggi dibanding posisi sebelum
inkarnasi.
b. Kata kerja digunakan untuk menggambarkan kontras
atau makna superlatif atau elatif. Dalam alur pikiran ini, peninggian
Kristus memperlihatkan keunikan Kristus dan tidak terbandingkan
dengan siapapun. Makna elatif demikian terpancar dalam Mazmur
97:9 (LXX). Yesus ditinggikan mengatasi segala sesuatu, seluruh
alam semesta. Tidak berarti Yesus lebih tinggi setingkat dibanding
30
Ibid.,
97
ISSN 2579-5678
31
Ibid.,
98
ISSN 2579-5678
32
Ibid.,
99
ISSN 2579-5678
33
Ibid.,
100
ISSN 2579-5678
KESIMPULAN
101
ISSN 2579-5678
102
ISSN 2579-5678
yang obyektif yang bisa digunakan untuk menemukan teks yang sesuai
dengan naskah aslinya.
Saran
Pertama, ditunjukkan kepada para teolog, karena pada pundak para
teologlah terdapat tanggungjawab yang sangat besar sehubungan dengan
teologi yang benar yang harus dibagikan kepada umat-umat Allah. Para
teolog yang dimaksudkan adalah baik mereka yang terlibat dalam
penggembalaan jemaat, yang mengajar teologi di perguruan tinggi dan yang
terlibat dalam penulisan buku-buku teologi. Supaya mereka memiliki
keyakinan yang benar terhadap Alkitab sebagai sumber teologia yang benar.
Dimana Alkitab bisa diyakini sepenuhnya sebagai Firman Allah tanpa salah
dalam naskah aslinya dan menjadikan Alkitan sebagai sumber dari teologia
yang mereka pahami.
Sehubungan dengan ketiadaan naskah asli Alkitab dan ditemukannya
berbagai varian teks dalam naskah-naskah yang telah ditemukan. Dalam
melakukan penafsiran dan membagun satu teologi, hendaknya para teolog
melakukan evaluasi studi autographa secara obyektif dan seimbang terhadap
teks yang akan ditafsirkan. Karena sebelum menafsirkan satu teks atau
membangun satu pemahaman teologi dari teks tersebut, maka seorang
penafsir atau teolog harus memastikan bahwa teks tersebut sesuai dengan teks
aslinya.
Demikian juga kepada para pemula di dunia teologi yaitu mereka yang
sedang duduk di sekolah-sekolah tinggi teologi. Dimana di jaman modern ini,
dalam proses belajar banyak ilmu yang bisa ditimba oleh para pelajar.
Termasuk dari para teolog yang memiliki paham pemistis dan skeptis
terhadap Alkitab. Itu sebabnya hendaknya para pelajar yang sedang belajar di
sekolah-sekolah tinggi teologi, belajarlah seluas-luasnya. Tetapi tetaplah
miliki keyakinan yang kokoh terhadap Alkitab sebagai Firman Allah yang
tanpa salah dalam naskah aslinya. Karena ketidaksalahan Alkitab dalam
nakskah aslinya dapat diyakini sepenuhnya dan mau tidak mau pelajar yang
terjun di dunia teologi pasti akan terlibat dalam penafsiran Alakitab. Dalam
kegiatan penafsiran Alkitab seorang pelajar harus belajar menentukan mana
varian yang akan dia tafsirkan yang sesuai dengan naskah aslinya jika teks
103
ISSN 2579-5678
tersebut mengandung varian. Dan salah satu metode yang obyektif dan
seimbang yang ditawarkan dan diterapkan oleh para pelajar adalah evaluasi
studi autographa Perjanjian Baru.
Saran bagi setiap orang percaya adalah supaya setiap orang percaya
semakin kokoh meyakini Alkitab sebagai firman Allah. Apa yang sudah
dikerjakan Kristus merupakan alasan dan dasar Allah ketika membenarkan
orang berdosa. Hal ini memberikan sebuah keyakinan bagi kita yang beriman
kepada Yesus. Keyakinan ini bukan menjadi sekedar diketahui atau menjadi
pengetahuan belaka, melainkan untuk mendorang setiap orang percaya hidup
sesuai dengan rencana kekal Allah yang dinyatakan dalam firmanNya. Orang
yang berada di dalam Kristus hendaklah meneladani kerendah hati Kristus
dan semakin banyak orang yang datang kepadaNya karena kesaksian hidup
orang percaya.
DAFTAR PUSTAKA
_______, Pedoman Penafsiran Alkitab Surat Paulus Kepada Jemaat Filipi,
Jakarta: Penerbit LAI bekerja sama dengan Yayasan Karunia Bakti Budaya
Indonesia, 2013. Hal. 55
_______, Handbook to The Bible Pedoman Lengkap Pemahaman Alkitab, Dit.
Oleh Yap Wei Fong (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), Hal. 686.
Aland, Kurt; Black, Matthew; Martini, Carlo M.; Metzger, Bruce M.; Robinson,
Maurice.; Wikgren, Allen: The Greek New Testament, Fourth Revised
Edition (Interlinear with Morphology). Deutsche Bibelgesellschaft, 1993;
2006, S. Php 2:5-11 (MacDonald Greek Transcription, Bible Works 9)
Armand Barus, Jurnal Teologi Reformed Indonesia Vol. 3 No. 2 Juli 2013. Hal. 82.
Dave Hagelberg, Tafsiran Surat Filipi, Yogyakarta: Andi, 2008. Hal. 47-48.
Dick Iverson and Larry Asplund, Gereja Sehat dan Bertumbuh, (Malang: Gandum
Mas, 2003), Hal. 59.
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, Hal.
391.
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang:
SAAT, 1998), Hal. 134.
Jurnal Teologi Reformed Indonesia
Metzger, Textual Commentary on The Greek New Testament. (Bible Works 9).
104
WASPADAI TANDA-TANDA AKHIR ZAMAN
666 FIKTIF ATAU KENYATAAN
I. Pendahuluan:
Pada kehidupan sehari-hari, kita selalu menemukan tanda-tanda
tertentu yang yang bisa menggambarkan suatu even tertentu. Kalau itu
pernikahan ada ucapan selamat berbahagia, kalau itu kedukaan selalu ada
ucapan turut berdukacita.
Akhir zaman merupakan suatu topik yang selalu menyita perhatian
umat Tuhan dari masa ke masa. Ada yang membicarakan dengan doktrin
secara benar, tetapi ada yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi
dengan maksud-maksud tertentu. Dan Alkitab memberitahukan kepada kita
tentang berbagai tanda sebelum kedatangan-Nya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa seringkali umat Tuhan merasa kecewa dengan berbagai tafsiran karena
ternyata banyak yang tidak terwujud, apalagi yang berkaitan dengan angka
666 dalam Wahyu 13:18. Berdasarkan pernyataan di atas maka dalam
pertemuan dan seminar ini saya berusaha untuk membagi pembahasan ini
dalam tiga bagian yaitu: Tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali umat
Tuhan merasa kecewa dengan berbagai tafsiran karena ternyata banyak yang
tidak terwujud, apalagi yang berkaitan dengan angka 666 dalam Wahyu
13:18. Berdasarkan pernyataan di atas maka dalam pertemuan dan seminar
ini saya berusaha untuk membagi pembahasan ini dalam tiga bagian yaitu:
A. Latar Belakang Kitab Wahyu
B. Pengertian Dari angka 666 Dalam Wahyu 13:18
C. Berbagai isyu dan sikap gereja dalam menghadapinya
D. Kesimpulan
ISSN 2579-5678
106
ISSN 2579-5678
2. Kontras-kontras
Dalam Kitab Wahyu penuh dengan dua kutub yang berlawanan
seperti:
a. Kristus vs Iblis
b. Terang vs Gelap
c. Kehidupan vs Kematian
d. Kasih vs Kebencian
e. Sorga vs Neraka
Dalam seluruh Kitab Wahyu kontras seperti ini muncul secara
detail. Contoh:
Yohanes menyatakan bahwa Allah Tritunggal sebagai Bapa, Anak
dan Roh dibandingkan dengan titunggal iblis yakni: Iblis,
Binatang Buas, dan Nabi Palsu.
3. Paralel
Disepanjang Kitab Wahyu terdapat rangkaian paralel yang berjumlah
tujuh. Contoh:
a. Tujuh surat ke Jemaat Asia Kecil
b. Tujuh Materai
c. Tujuh Sangkakala
d. Tujuh Cawan
4. Bahasa Kiasan
Sebagaimana Kitab Nubuat dan Kitab Hikmat Perjanjian Lama, maka
Kitab Wahyu juga mengandung beragam Simbol. Contoh:
a. Yohanes menyebut si Ular tua sebagai iblis dan setan, Wahyu
12:9
107
ISSN 2579-5678
5. Warna
Corak Warna yang disebutkan dalam Kitab Wahyu adalah:
a. Putih: Menunjukkan, kesucian, kemurnian, kemenangan, dan
keadilan
b. Merah: Warna Peperangan. Darah tercurah di atas bumi saat
penunggang kuda merah memakai pedang besarnya, Wahyu 6:4
c. Merah ungu
d. Hitam: Hitam melukiskan peperangan. Seperti yang
diilustrasikan oleh harga makanan yang membubung tinggi.
(Sepucuk gandum sedinar, (Upah harian seorang pekerja). Warna
hitam juga melambangkan kegegalapan, ketika mata hari gagagl
memberikan terangnya.
e. Ungu. Ungu melambangkan kekayaan
f. Warna Emas menunjukkan kesempurnaan sorgawi
6. Makhluk
Yohanes memilih beberapa binatang sebagai ilustrasi suatu konsep.
a. Kuda yang ditunggangi
b. Anak domba yang disembeli
c. Mulut singa
d. Kaki Beruang
e. Kekuatan anak lembuh
f. Kecepatan macan tutul
108
ISSN 2579-5678
II. Arti dari angka 666 dalam Wahyu 13:18 secara harafiah
William Barclay
William mengomentari angka "666" dalam Wahyu 13:18 untuk
mengungkapkan maknanya berhubungan dengan penjumlahan. Ia
mengatakan, "Angka 666 adalah sebuah kode yang berhubungan dengan
pejumlahan bilangan. Sekarang itu telah jelas dimanapun juga Kode itu
berhubungan dengan jumlah bilangan. Berdasarkan pernyataan William
Barclay ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah.
Foy E. Wallace
Wallace mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
angka latinisasi. Ia mengatakan, "bahwa ia menyetujui pendapat Irenaeus
bahwa "Angka 666 adalah angka latinisasi. Yaitu L=30, A=1, T=300, E= 5,
I=10, N=50, tertentu, A=1, B=2 dan seterusnya."4 Berdasarkan pernyataan
Wallace ini, ia menyatakan "666" sebagai Penerapan Lahiriah
Lehman Stranss
Stranss mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan menyetujui
bahwa 666 adalah angka latinisasi. Ia mengatakan,"Angka 666 adalah angka
latinisasi dan nama latin bagi kaisar Nero adalah Neron dan bila di jumlah
N=50, E=6, R=500, O=60, N=50 dan jumlah seluruhnya adalah 666."5.
Berdasarkan pernyataan Lehman Stranss ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan lahiriah.
Donald Grey
Grey mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai angka
latinisasi. Ia mengatakan "bahwa Vespasian (69-79AD), Titus (79-81AD),
dan Domitian (81-96AD) bila di jumlah ketiga nama kaisar yang bermarga
Titus ini maka berjumlah 666 Berdasarkan pernyataan Donald Grey ini, ia
menyatakan "666" sebagai penerapan lahiriah.
109
ISSN 2579-5678
Vernon J. Mcgee
Mcgee mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
bilangan kuantitatif yang harus dibiarkan berdiri sendiri. Ia
mengatakan"Suatu nilai kuantitatif terikat dalam bilangan tersebut dan kita
harus membiarkannya berdiri sendiri. kita harus menyajikan Yesus Kristus
yang membuat kita berhasil melewati periode kesengsaraan yang besar.
Berdasarkan pernyataan Vernon J. Mcgee ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
Dave Hagelberg
Hagelberg mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
sebuah bilangan yang melambangkan ke tidak sempurnaan. Ia mengatakan
"Bilangan 666 melambangkan ke tidak sempurnaan sebagaimana bilangan
777 melambangkan kesempurnaan. Berdasarkan pernyataan Dave Hagelberg
ini, ia menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah. James L. Belvins.
James L. Belvins mengomentari bilangan "666" dalam Wahyu 13:18
sebagai bilangan simbolis untuk usaha manusia yang terbaik yang manusia
dapat lakukan. Ia mengatakan "Jika nama Yesus yang sama 888 dan 777
dipertimbangkan bilangan sempurna, maka makna 666 dimaksudkan untuk
menjadi bilangan simbolis untuk yang terbaik bagi usaha manusia yang
manusia dapat lakukan. Berdasarkan pernyataan James L Belvins ini, ia
menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah.
A.C. Gaebelein
Gaebelein mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan
menekankan bahwa 666 adalah bilangan manusia yang jatuh. Ia mengatakan,
"Saya beranggapan bahwa kita hanya perlu mengetahui bahwa bilangan 666
adalah angka manusia yang jatuh dan karenanya berarti ketidak sempurnaan.
Berdasarkan pernyataan A.C. Gaebelein ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
110
ISSN 2579-5678
Peter Wongso
Wongso mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai
lambang serangan setan terhadap jemaat yang sifatnya terbatas dan tidak
sempurna. Ia mengatakan "Jikalau kita meneliti pemberitaan kitab Wahyu san
melihat adanya serangan setan terhadap jemaat semuanya sangat terbatas
sifatnya dan tidak sempurna. Berdasarkan pernyataan Peter Wongso ini, ia
menyatakan "666" sebagai penerapan rohaniah.
Louis T. Talbot
Talbot mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 sebagai Trinitas setan.
Ia mengatakan "bahwa trinitas enam yaitu untuk tiga serangkai setan
berlawanan dengan yang Trinitas tujuh yaitu tiga serangkai Tuhan.
Berdasarkan pernyataan Louis T. Talbot ini, ia menyatakan "666" sebagai
penerapan rohaniah.
Torrance
Torrance mengomentari angka "666" dalam wahyu 13:18 dengan
menekankan bahwa 666 adalah Setiap kejahatan yang sedang menanamkan
tabiatnya pada setiap pribadi manusia. Ia mengatakan "bahwa makna 666
adalah setiap saat kejahatan tersembunyi didunia yang membangun
patungnya dan menanam kesannya pada setiap pribadi, pikiran dan perilaku
umat manusia. Berdasarkan pernyataan Torrance ini, ia menyatakan "666"
sebagai penerapan rohaniah.
111
ISSN 2579-5678
112
ISSN 2579-5678
113
ISSN 2579-5678
114
ISSN 2579-5678
115
ISSN 2579-5678
Roh Kudus (Roma 8:14). Pada ayat selanjutnya Disini ditampilkan adalah
himbauan Raja Surga kepada manusia yang memiliki kuasa memilih untuk
ditawan atau dibunuh oleh pedang. Namun Yang penting adalah bila kita setia
kepada pencipta kita akan memiliki ketabahan yang hanya dapat dibudayakan
karena iman orang-orang kudus.
Pada ayat 18 sebagai kesimpulan yang menekankan bahwa Enam adalah
lambang orang yang selalu tidak akan sempurna seperti Tuhan adalah
sempurna. Tuhan akan membinasakan yang berkeberatan untuk menerima
Kristus sebagai Juruselamat. Binatang buas yang kedua datang, orang harus
menolak tandanya.
Hal ini juga coba ditampilkan Flower dalam komentarnya yang menyatakan
bahwa usahanya yang terakhir untuk membinasakan Allah dan gerejanya,
setan akan mengilhami cara yang akan diciptakan oleh kedua bintang itu
untuk mengubah hukum Allah, dan menganiaya umat yang setia kepadanya
Jadi yang perlu ditampilkan adalah usaha Setan untuk membinasakan umat
Allah namun yang penting adalah ketabahan yang hanya dapat dibudayakan
karena iman orang-orang kudus.
116
ISSN 2579-5678
Arti Menghitung
Stefanovic berkomentar Yohanes tidak menghimbau pembaca di sini
untuk berlatih kemampuan intelektual atau matematika ketrampilan, tetapi
lebih untuk mencari perbedaan Allah dan Iblis dalam tabiat atau karakter
binatang buas untuk melindungi diri mereka dari penipuan setan.
Philips berkomentar menghitung yang dimaksudkan bukan mencari hitungan
atau mengurai bilangan ini seperti teka-teki, tetapi memikirkan dan
merenungkannya agar kita paham maksud Allah.
Silitonga berkomentar menghitung disini mempertimbangkan bilangan
binatang itu dengan menggunakan matematika tinggi yaitu ilmu keselamatan
dan bukan matematika rendahan yaitu hanya menjumlah.
Dan sebagai kesimpulan menghitung maka kita akan menganalisa arti kata
menghitung disini bahasa inggrisnya Count dan bahasa Yunaninya ialah
psephizo, di perjanjian baru count digunakan hanya dua kali yang pertama di
Lukas 14:28 yang artinya anggaran biaya atau perencanaan. Bila kita melihat
diayat 31 maka kita akan melihat kata mempertimbangkan yang ada
117
ISSN 2579-5678
Arti Bilangan
Exell berkomentar bilangan binatang di dalam ayat ini, bukanlah suatu
label eksternal, suatu teka-teki ataupun matematika, tetapi amat sangat
dihubungkan dengan karakter dan hidup itu binatang buas itu.
Silitonga berkomentar bilangan binatang = ciri-ciri manusia (angka 6 yang
sempurna adalah bilangan manusia), karena manusia dan bintang diciptakan
hari ke-6. Selanjutnya bilangan anti Kristus tampil di Daniel 3 jumlahnya 66
(Patung manusia yang tingginya 60 hasta dan lebar 6 hasta), kemudian
bilangan binatang = ciri-ciri antikristus di zaman akhir akan lebih hebat lagi
karena angkanya ialah 666
Lewis berkomentar ungkapan" bilangan binatang buas" berartilah,
bahwa bagaimanapun juga bilangan ini menjadi sangat dihubungkan dengan
binatang buas, atau akan sangat menghadirkan karakter, "binatang buas" akan
dikenali sesuai perilaku atau tabiatnya. Makna 666. Angka 6 ini di Kejadian
1 dan di Daniel 3 adalah 66, maka angka ini berhubungan erat dengan sifat
Babilon (Kejadian 10-11; Yesaya 14; Buku Daniel dan Wahyu; 1Petrus 5:13).
Dan pada Wahyu 13 :18 adalah 666. Artinya angka 6 adalah
ketidaksempurnaan manusia sehingga memberontak menentang Allah di
Kejadian 11 melalui pembangunan menara babel. Pada kitab Daniel 3 maka
kita dapat melihat penampilan 66 yang wujudnya adalah patung emas. Yang
menekankan menentang rencana Yang Maha Tinggi. Dan dizaman akhir ini
akan ada peningkatan menjadi 666 yang artinya kejahatan akan bertambah-
tambah.
Hal tersebut dinyatakan oleh Yesus didalam Matius 24:37 bahwa
keadaan dunia akan seperti pada zaman Nuh. Bagaimanakah keadaan
manusia pada zaman Nuh? Kejadian 6: 5 yang menyatakan bahwa kejahatan
manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan
kejahatan. Jadi 666 adalah kejahatan yang besar dibumi.
Dari pembahasan di atas maka berikut rangkuman ringkasnya, latar belakang
Wahyu 13:18 dari Wahyu 12:1-13:17 yang menekankan adanya Trinitas
palsu yang terdiri dari Iblis, Mesias palsu, Nabi Palsu yang bertujuan untuk
118
ISSN 2579-5678
menentang Allah. Dalam Struktur Wahyu 13:18 maka kita akan melihat ada
tiga bagian struktur yaitu Binatang Pertama, Binatang Kedua, dan Ciri-ciri
binatang. Semuanya menekankan kesatuan Trinitas Iblis melaui tabiat dan
perilaku Babel.
Analisis dan tafsiran Wahyu 13:18 Jadi "Hikmat" disini adalah Yesus
Kristus, bersama dengan Yesus kita pasti menjadi manusia ciptaan baru yang
berhikmat.
Makna Yang Bijaksana adalah Umat Allah mempertimbangkan dengan
matang bilangan bintang itu, serta pengertiannya harus dipusatkan kepada
Yesus untuk menemukan pehaman Wahyu tentang bilangan binatang
tersebut. Dan makna menghitung yang dimaksudkan bukanlah menjumlah
melainkan mempertimbangkan bilangan binatang itu dengan menggunakan
matematika tinggi yaitu ilmu keselamatan. Selanjutnya makna bilangan
binatang adalah ciri-ciri binatang tersebut yang menyatakan tabiatnya yang
semakin menunjukkan ketidaksempurnaan dalam segala hal, baik dalam
tabiat maupun dalam setiap rencana untuk menentang Allah.
Sebagai kesimpulan maka cara membaca Wahyu 13:18 adalah sebagai
berikut: Melihat angka 6 ini di Kejadian 1 dan Daniel 3, maka angka ini
berhubungan erat dengan sifat Babilon (Kejadian 10-11; Yesaya 14; Buku
Daniel dan Wahyu; 1Petrus 5:13). Inilah gambaran kekuasaan antikristus di
zaman akhir sebagaimana yang dinyatakan di Wahyu 17 melalui perempuan
pelacur yang duduk diatas binatang. Tandingannya perempuan murni yang di
Wahyu 12yang menjadi gambaran umat Raja Surga yang setia yaitu budaya
Yerusalem Baru di Wahyu21(Lihat Efesus 2:19-22). Mulai kejadian samapai
Wahyu yang namanya kejahatan manusia semakin bertambah-tambah dan
semakin meningkat.
Waspadalah!
Pada tahun 1996 dihasilkan sebuah perjanjian yang dibuat oleh
"Gemplus" untuk memproduksi smartcard dengan implementasi sistem
119
ISSN 2579-5678
120
ISSN 2579-5678
Contoh
121
ISSN 2579-5678
Kesimpulan
Ada beberapa pendapat yang dikutip sebagai kesimpulan dalam seminar ini:
Beredarnya microchip Mondex dengan tanda 666 dianggap oleh
sebagian umat sebagai teknologi dari kelompok antikris, yang tujuannya
untuk menguasai manusia agar tunduk dalam kekuasaan kelompok ini.
Microchip mondex yang ditanamkan di dalam tubuh manusia menjadi alat
untuk mengontrol terhadap para pemakainya, ini memberi keyakinan bahwa
telah terjadi penggenapan terhadap Wahyu 13:16-18, seperti dikutip di awal
tulisan ini. Benarkah?
122
ISSN 2579-5678
123
ISSN 2579-5678
Lambang kegagalan
Binatang tersebut adalah roh antikris yang melawan Allah, menolak
Kristus, dan menganiaya Kristus serta para pengikut-Nya, di mana pun dan
kapan pun dia beraksi. Dan setiap orang yang terhasut dan menyembahnya
akan diberi tanda bilangan tersebut. Dan tanda bilangan tersebut diberikan di
dahi sebenarnya menunjukkan bahwa orang yang memiliki tanda tersebut
mengikut dan menyembah sang antikris dengan pikiran, filsafat, dan alam
rasionya, sedangkan di tangan kanan bisa diartikan sebagai tingkah laku,
perbuatan, praktek bisnis, dan apa pun buah tangan orang yang hidupnya
menyembah dan mengikut antikris. Sedangkan angka 6 itu adalah bilangan
yang tidak pernah mencapai 7. Jika 7 adalah bilangan yang
melambangkan kesempurnaan di dalam Alkitab, maka 6 adalah bilangan
yang melambangkan kegagalan, miss the mark (hamartia). Simbol 666
artinya kegagalan demi kegagalan. Ini adalah tanda bahwa karya si jahat
tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dan akan selalu gagal di dalam
sejarah. Yuzo mengatakan bah-wa ada banyak tafsiran yang atraktif dan
heboh berkaitan dengan bilangan 666 ini, yang ke-banyakan berusaha
mengidentikkan bilangan tersebut dengan gerakan, kuasa, atau individu
tertentu yang pernah hadir dalam sejarah. Mungkin microchip Mondex
adalah model terbaru dari penafsiran semacam ini. Tapi penafsiran semacam
ini gagal melihat bahwa realitas antikris itu bukan hanya satu, melainkan
banyak, dan bahwa setiap antikris memiliki cara yang beragam, dan tidak bisa
diidentikkan dengan satu tanda saja. Jadi yang penting di sini adalah makna
dari tanda tersebut, dan bukan identifikasi tanda tersebut, ungkap direktur
program master teologi STTRII ini.
124
ISSN 2579-5678
Sumber Bahan
125
ISSN 2579-5678
126
ISSN 2579-5678
127
ISSN 2579-5678
41. Silitonga, H.S.P., Biarkanlah Daniel & Wahyu Berbicara, (Bandung: PT.
Prosa Media Prima,2005), 230.
42. Lewis, W. S., The Pulpit Comentary jilid Vol2, (New York: Funk and
Wagnalls Company, 1950), 324
128
SPIRITUALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI
INJILI DAN PENERAPANNYA BAGI PEMBINAAN
ROHANI DI PENDIDIKAN TEOLOGI
Oleh: Suranto1
ABSTRAK
Istilah spiritualitas dalam bidang keagamaan memiliki tempat dan
perhatian yang khusus, karena setiap institusi atau insan keagamaan memiliki
orientasi yang sama yaitu bagaimana caranya membangun spiritualitas atau
kerohanian yang baik. Oleh karena setiap aliran, mashab dan apapun namanya
yang menunjukkan edentitas kelompok kegamaan memiliki kekhasan
masing-masing maka begitu pula pola dan cara pengembangan spiritulitaspun
memiliki kekhasan masing-masing. Teologi Injili yang adalah salah satu dari
aliran itu memiliki kekhasan dalam konsep dan praktika spiritualitas.
Paper ini mengungkap bagaimana konsep, dasar dan pola
pengembangan spiritualitas dalam perspektif teologi Injili kemudian ditarik
penerapannya bagi pembinaan rohani di pendidikan teologi. Sehingga
diharapkan dapat menolong untuk memahami pada tataran konsep dan
praktika bagi praktisi pendidikan teologi dalam mengembangkan kerohanian
baik secara individu maupun dalam komunitas.
1
Penulis adalah pengurus bidang akademik Yayasan Misi Remaja Internasional di
Indonesia dan dosen luar biasa di STT/STAK BMW di Indonesia. Menekuni bidang
Pendidikan Agama Kristen secara khusus dalam bidang Pengembangan pendidikan Teologi,
sedang menempuh studi konsentrasi pendidikan Kristen di program Doctoral Institut Injili
Indonesia, Batu-Malang.
ISSN 2579-5678
BAB 1
LATAR BELAKANG MASALAH
130
ISSN 2579-5678
131
ISSN 2579-5678
BAB 2
SPIRITUALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI INJILI
Pada bagian ini akan dibahas tiga pokok penting yaitu: pengertian
spiritualitas, dasar-dasar pengembangan spiritualitas dan kesimpulan dan
penerapannya pada hidup masa kini khususnya bagi lembaga pendidikan
teologi.
Pengertian Spiritualitas
Ada berbagai pengertian secara umum mengenai spiritualitas. Dilihat
dari etimologinya kata spiritualitas berasal dari kata spirit, dari bahsa Latin
spiritus yang berarti nafas (breath), keteguhan hati (courage), kekuatan
(vigor), jiwa (soul), dan hidup (life).2 Kamus Bahasa Indonesia memberi
pengertian spiritualitas berarti kejiwaan, rohani, batin, mental dan moral. 3
yaitu sesuatu yang bersifat rohani: berupa Roh, yang bertalian atau berkenaan
dengan roh sebagai sesuatu yang berlawanan dengan yang bersifat jasmani.4
Spiritualitas Kristen memiliki penghayatan yang jelas dan kongkrit,
karena mengikuti teladan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus.
Sebagaimana Allah mengutus Yesus ke dalam dunia ini dan
memperlengkapiNya dengan kuasa Roh Kudus untuk menyatakan kehendak
dan kebenaranNya, maka hal yang sama akan dialami oleh murid-muridNya
dalam tugas pelayanan mereka ke dalam dunia ini. Spiritualitas Kristen
berpusat secara jelas pada Kristus, yaitu Allah yang berinkarnasi. Allah yang
tidak saja transenden tetapi juga imanen. Ia bukan Allah yang abstrak dan
melebur seperti dalam kepercayaan pantheisme. Tetapi Ia adalah Allah yang
berpribadi yang bisa diajak berkomunikasi dan berelasi dengan manusia.5
Donald L. Alexander memandang spiritualitas Kristen sebagai tindakan
hidup dalam kesalehan dan kekudusan menurut pandangan dan arah teologi
masing-masing. 6 Misalnya kelompok reformed kekudusan dipandang sebagai
2
Thomas H. Russell, A.C. Bean, dan L.B (Ed.). n Websters Twentieth-Century
Dictionary of the English Language, New York: Publishers Guild, Inc 1938, hal. 1597.
3
Tim KBHI. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. hal. 857.
4
Ibid 752
5
Agus M. Hardjana. Religiositas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2005, hal. 63.
6
Donald L. Alexander, et al, Cristian Spirituality USA: Intervarsity Press, hal. 49
132
ISSN 2579-5678
hidup menjadi satu dengan Kristus, mendekat kepada Dia yang akan
memberikan efek kekudusan. Simon Chan menjelaskan bahwa istilah
spiritualitas lebih sering dipakai daripada istilah teologi rohani. Umumnya
spiritualitas mengacu pada jenis kehidupan yang dibentuk oleh tipe teologi
rohani khusus. Spiritualitas adalah realitas yang dijalani, sedangkan teologi
rohani merupakan refleksi dan formalisasi realitas secara sistematis.
Dalam lingkungan injili sebagaimana dinyatakan oleh Donald Bloesch
bahwa istilah spiritualitas justru tidak ditemukan dalam perbendaharaan kata
injili tradisional, lebih dikenal dengan istilah piety atau devotion yang
berarti kesalehan atau ketaatan. Selengkapnya pendapat Bloesch sebagai
berikut:
The word spirituality is not often found in traditional evangelical, but is
roughtly equivalent to what evangelicals have meant by piety and devotion.
Spirituality must be taken to mean simply the spiritual side of man s life as in
dualistic asceticism. In the biblical or evangelical sense, spirituality refers to the
life the whole person in relationship to the spirit of God. It concern the
verticalrelation between man and God but as it impinges on the horizontal
relitionship between man and his neighbor. Spirituality is the life of man in the
light of his faith in God. It has to do not just with christian doctrine but with the
practice of Christian life. 7
7
Donald Bloesch. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed.
Robert Webber & Donald Bloesch. Nasvile-Newyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978.
Hal.147.
133
ISSN 2579-5678
kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan
mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan
seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan
Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh
Kudus.8
8
Stanley J Grenz. Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity
Press, 1984. Hal. 42.
9
Wilkipedia, Enciklopedia Bebas. Evangelikalisme. 28 okt 2015.
10
Stanley J Grenz, Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity
Press, 1984. Hal. 21.
134
ISSN 2579-5678
11
McGrath E, Alister. The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought
Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publishers Inc, 1999. Hal.185.
12
Ibid, hal. 188.
135
ISSN 2579-5678
Dari corak teologia di atas dapat dilihat bahwa dasar konsep pengembangan
spiritualitas Injili terletak pada sentralitas Alkitab, Yesus Kristus sebagai
penebus, Hubungan pribadi seseorang dengan Allah dan aktivitas komunitas
dan penginginjilan yang menciptakan atmosfir rohani yang mendukung
perkembangan iman.
13
Ibid, hal. 192.
14
Timothy Larsen & Trier Daniel J. Evangelical Theology. Cambridge: Cambridge
University Press, 2007. Hal. 1
136
ISSN 2579-5678
percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini
lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau
menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi
yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam
dari manusia merupakan fondasi dari spiritualitas. Sehingga Injili lebih
tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan
mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal
tentang Yesus. Kedua, mementingkan motivasi hati. Kaum Injili tidak datang
ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena
dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya.
Orang percaya dimotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk
menghadiri ibadah bersama dan mewujudkan ketaatannya pada Allah.
Ketiga, menekankan pengalaman rohani dalam hidup orang percaya.
Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi
lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata
dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir
baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya
bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru
ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan
pertumbuhan dalam kesucian. Keempat, Penekanan pada pemuridan. Hal ini
dilakukan untuk meneladani Kristus juga mempengaruhi kehidupan
bergereja. Orang percaya menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu
ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston
menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi
merupakan gaya hidup (life style). Setiap orang yang hadir dalam pertemuan-
pertemuan dimuridkan sedemikian rupa untuk diajar, didorong, dan
dikuatkan agar memiliki kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah.
Kelima, Keseimbangan antara kegiatan pribadi dan persekutuan. Karena
spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan
disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam
membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai 'saat teduh';
bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah
menghadiri kebaktian secara rutin. Disiplin pribadi tersebut diimbangi
dengan usaha pengembangan rohani secara bersama-sama dalam persekutuan
137
ISSN 2579-5678
karena Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus
dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh
secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan
saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api
dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin.
Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas
orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi
ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan
demikian akan terus hidup dan bersemangat bagi Tuhan15.
Menurut Allan Nelson spiritualitas yang baik adalah kemampuan
seseorang untuk mewujudkan imannya dalam kehidupan setiap hari.16 Maka
spiritualitas dalam iman Kristen memiliki kriteria khusus yang terpancar
dalam kehidupan manusia yaitu buah-buah roh (Gal.522-23), hidup dalam
pengajaran rohani (Ibr. 6:1-2), Iman yang kuat (Mat. 17:20), pengakuan akan
kegagalan rohani (Mzm 51), kerendahatian dalam sikap pelayanan (Fip.2:3-
11).17 Disiplin rohani yang dirumuskan oleh Nelson adalah dengan
mempraktekkan metode Yesus bersama dengan murid-muridnya sehingga
menjadi serupa dengan-Nya dan mencapai keselamatan sejati. Nelson
mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan hasil alami pada saat
orang percaya secara disiplin melatih hidupnya dengan menerapkan metode
pemuridan Yesus, yaitu: 1). Membuat tim perjalanan, artinya membentuk
komunitas tumbuh bersama, seperti halnya murid-murid Yesus yang diajar
dan dikumpulkan menjadi suatu komunitas kecil 12 orang. 2). Menentukan
arah serta ajaran melalui khotbah atau nasehat hamba Tuhan. 3). Menimba
pengalaman dari perjalanan, yaitu bertumbuh melalui belajar aktif dari
pengalaman kehidupan setiap hari. 4). Pemandu, yaitu seorang yang akan
menjadi fasilitator, mentor, yang akan memimpin dalam kelompok tumbuh
bersama ini, sama seperti Yesus yang menjadi guru bagi murid-muridNya.
15
Stanley J Grenz, Revisioning Evangelical Theolgy. Downes Grove: Univercity
Press, 1984. Hal. 37-55.
16
Allan Nelson, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Yasyasan Andi, 2015. Hal. 6
17
Ibid, 13
138
ISSN 2579-5678
18
Patrick Morley, A Guide to Spiritual Disciplines, Malang: Gandum Mas, 2009,
hal.14
19
Simon Chan, Spiritual Theology 2. Yogyakarta: Andi, 2005, Hal.7
20
Ibid, 31
21
Ibid, 57
139
ISSN 2579-5678
dengan alam, dimana alam dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan dirinya
kepada seluruh dunia. (band. Maz 19:2, Am 6:6, Mat 6:28, Luk 12:27). 22
Rumusan yang hampir sama disampaikan oleh Bloesch bahwa gereja
Injili mengembangkan spitualitasnya dengan menggunakan Alkitab sebagai
dasar pengembangan lalu dipraktekkan dalam konteks sebagai bukti yang
telah teruji dalam pengalaman iman, Jadi Pola Injili menurut Bloesch
merupakan kombinasi kehidupan disiplin rohani secara pribadi dan dalam
berjemaat23.
BAB 3
KESIMPULAN DAN PENERAPANNYA BAGI PEMBINAAN
ROHANI DI PENDIDIKAN TEOLOGI
22
Ibid, 91
23
Donald Bloesch. A Call to Spirituality. Dalam buku: The Ortodox Evangelicals. Ed.
Robert Webber & Donald Bloesch. Nasvile-Newyork: Thomas Nelson Inc Publishers, 1978.
Hal.150.
140
ISSN 2579-5678
Daftar Pustaka
LAI, ALKITAB
Tim KBHI. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Alister, McGrath E. The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian
Thought. Malden, Massachusetts 02148, USA: Blackwell Publishers
Inc, 1999.
Alexander, Donald L., et al, Cristian Spirituality. USA: Intervarsity Press, tt
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995.
24
Binser Samuel Sidjabat. Panggilan pendidikan Teologi di Indonesia. Bandung:
Institut Alkitab Tiranus, 2003. Hal. 42.
141
ISSN 2579-5678
142
PARADIGMA MEMBANGUN GENERASI EMAS 2045
KAJIAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Secara historis kebangkitan bangsa Indonesia dimulai dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno dan
Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini merupakan awal bagi bangsa
Indonesia untuk memulai peradabannya sendiri dalam konteks Indonesia
yang utuh, tidak terpisah-pisah sebagaimana pra kemerdekaan.
Peradaban itu sendiri tentu bermula dari proses pembelajaran seluruh
bangsa untuk memahami bahwa pendidikan adalah hal utama dalam
membentuk manusia yang handal dan kualitas. Sejak awal para pendiri
bangsa ini, menyadari bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
penting, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan hal di atas, pemerintah mengeluarkan UU no
12 tahun 1954, UU No. 2 1989, dan UU No 20 tahun 2003, yang
semuanya mengatur tentang upaya peningkatan pendidikan di Indonesia
agar menjadi bangsa yang mampu berkompetitif secara global. Berbagai
upaya yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, mulai dari pergantian UU
serta perubahan kurikulum yang dianggap menjadi solusi terhadap
perbaikan pendidikan di Indonesia, belum membuahkan hasil yang
maksimal dan menggembirakan. Kenyataannya bahwa pendidikan di
Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari Indeks
Pembangunan Manusia di Indonesia yang masih berada di bawah rata-
rata dunia, hingga tahun 2013.
Di sisi lain, rendahnya kemampuan putra-putri bangsa Indonesia
dalam setiap even olimpiade sains, matematika di tingkat internasional
merupakan indikasi bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu
bersaing secara global. Selain dari sisi kognitif di atas, skill (psikomotor)
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia juga masih rendah. Hal ini terlihat
dari kemampuan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang
umumnya hanya sebagai pembantu rumah tangga. Dan yang lebih
memprihatinkan lagi adalah sikap (afektif) yang dimiliki. Meningkatnya
tawuran antar pelajar, geng motor, pelecehan seksual, penyalahgunaan
narkoba di kalangan pelajar, seks bebas, perilaku seks menyimpang,
144
ISSN 2579-5678
145
ISSN 2579-5678
146
ISSN 2579-5678
147
ISSN 2579-5678
148
ISSN 2579-5678
manusia dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Dengan demikian, tanpa
pendidikan kehidupan manusia itu sendiri tidak dapat berlangsung.
Pendidikan memberi acuan kemana tujuan kehidupan manusia
diarahkan. Oleh sebab masalah pendidikan adalah manusia, Suhartono
(2006) mengemukakan maka persoalan pokoknya adalah bagaimana
menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam diri manusia.
Tugas pendidikan adalah membimbing potensi spiritual,
emosional, intelektualitas individu. Ketiga potensi ini merupakan potensi
kreatif, dinamis dan khas yang dimiliki setiap manusia. Pendidikan yang
baik, memberi bimbingan, kesempatan dan ruang kepada setiap individu
dalam mengembangkannya, sehingga individu tersebut tumbuh dalam
rasa percaya diri yang tinggi tentang intelektualitasnya, dibawah
bimbingan agama dan keselarasan emosi yang baik.
Secara etimologis, filsafat pendidikan adalah cinta akan keindahan
dan kearifan terhadap pendidikan. Kearifan terhadap pendidikan akan
mewujudkan kehidupan yang adil dan harmonis. Jauh dari keserakahan
dan kemunafikan. Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan
kehidupan yang lebih dinamis dan berkesinambungan. Sebaliknya,
rusaknya pendidikan merupakan pemicu degradasi moral, rendahnya
kualitas dan esensi kehidupan, hilangnya jati diri sebagai manusia,
munculnya perilaku kebinatangan manusia, hilangnya jati diri bangsa
dan sebagainya. Oleh sebab itu pendidikan, tidak hanya sekedar transfer
pengetahuan, tetapi pendidikan yang dimaknai dengan kehidupan yang
penuh keindahan, keserasian, keselaran antara intelektualitas, moral dan
karakter.
149
ISSN 2579-5678
150
ISSN 2579-5678
151
ISSN 2579-5678
yang tinggi. Melalui itu, generasi bangsa ini akan menjadi generasi yang
mengenal bahwa kebenaran yang paling mendasar adalah kebenaran
yang dari Tuhan. Apapun tindakan yang dilakukan, maka akan didasari
atas keyakinan bahwa pekerjaan, harta, ilmu yang dimilikinya
dipergunakan untuk keberlangsungan hidup antar umat manusia.
Artinya, ada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
meningkatnya kerukunan antar umat beragama sehingga menghindarkan
diri dari kesombongan spritual, sikap intoleransi umat beragama, jauh
dari sifat anarkis, korupsi dan sebagainya. Peran para pemuka agama
sangat dominan, untuk memberi pengertian kepada individu, agar tidak
menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Di sisi lain pemuka
agama semestinya memastikan bahwa setiap pemeluk agama, mendalami
dengan baik makna agama yang dianutnya. Hal ini akan menghindarkan
generasi emas dari konflik SARA (Suku, Agama, dan Ras). Tidak kalah
penting juga peran orang tua, untuk mendidik anaknya untuk taat
beragama, dengan memberi pedoman yang baik kepada anak-anaknya
dalam hal beribadah, mengasihi sesama manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Orang tua mengajar anak untuk tidak bermusuhan, tidak
membenci, tidak iri hati, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga
dilakukan oleh guru agama dan guru mata pelajaran pancasila di setiap
jenjang pendidikan. Dengan demikian akan tercipta generasi emas yang
takwa kepada Tuhan yang maha esa.
Kedua, sikap kemanusiaan mendorong manusia untuk saling
menghargai satu dengan yang lain. Lahirnya kesadaran bahwa manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan, oleh sebab itu tidak ada manusia yang
hebat dibanding dengan lainnya. Menjunjung tinggi nilai kemansuaiaan
sehingga menghilangkan perbedaan antara kaya dan miskin. Setiap
komponen bangsa harus menunjukkan sikap tenggang rasa satu dengan
lain. Dari sana, akan tercipta kehidupan yang harmonis dan dinamis antar
umat manusia. Perbedaan pendapat adalah lumrah, tetapi jangan menjadi
pemicu perpecahan, saling menghina, saling merendahkan seperti yang
terjadi di Indonesia saat ini. Tanpa disadari bahwa generasi saat ini
152
ISSN 2579-5678
(mereka yang akan menjadi generasi emas) telah belajar dan terdidik
dengan sifat yang saling merendahkan, tidak menghargai. Bagaimana
mungkin Indonesia akan menghasilkan generasi emas pada 2045, jika
saat ini mereka diajar untuk tidak berkemanusiaan. Hal-hal semacam ini
tidak sepenuhnya diajar di jenjang pendidikan formal. Maka dibutuhkan
peran para elit, figur publik, pejabat, enterpreuner, pengusaha untuk
menanamkan karakter pancasila pada setiap sikap, ucapan, tindakan dan
perbuatannya.
Ketiga, sikap persatuan dan kesatuan. Mendidik generasi emas
dengan konsep ini harus dimulai dengan sikap para pemimpin yang tidak
mengutamakan kepentingan kelompok, partai politik, golongan. Budaya
mendahulukan kepentingan bersama, bangsa dan negara harus
ditunjukkan, agar generasi sekarang ini belajar untuk tidak
mementingkan diri sendiri. Tetapi bangga menjadi bangsa Indonesia,
sehingga berbuat juga untuk kejayaan Indonesia.
Keempat, sikap kerakyatan berdasar pada musyawarah dan
mufakat. Salah satu aspek penting menciptakan generasi emas adalah
membelajarkan mereka cara bermusyawarah dan mufakat. Peran orang
tua, sangat dominan dalam hal ini, selain media sosial dan media
elektronik. Strategi yang tepat, adalah media massa harus memperbanyak
informasi yang mendidik tentang pentingnya musyawarah dan mufakat.
Tidak dengan memberi informasi dan mempertontonkan sikap saling
rebut para pejabat. Demikian halnya dengan orang tua yang
membimbing sikap demokratis yang mendidik kepada anak-anaknya
dalam memilih dan menekuni potensi bakat yang ada dalam dirinya.
Dan yang terakhir adalah tentang karakter keadilan. Ini menjadi
bagian dari tugas para penegak hukum. Generasi sekarang akan menjadi
generasi emas yang adil, apabila mereka mendengar, membaca, dan
melihat bahwa hukum ditegakkan dengan baik dan benar. Yang benar
tetap benar, dan yang salah tetap salah. Demikian halnya dengan peran
keluarga. Orang tua dapat mengajarkan tentang keadilan bagi anak-
anaknya, tidak diskriminatif. Dalam pengertian orang tua harus memberi
153
ISSN 2579-5678
154
ISSN 2579-5678
155
ISSN 2579-5678
156
ISSN 2579-5678
157
ISSN 2579-5678
158
ISSN 2579-5678
159
ISSN 2579-5678
c. Standar Proses.
Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan
melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi
lulusan.
Untuk menghasilkan generasi emas 2045, setiap satuan
pendidikan menyiapkan proses yang baik agar potensi peserta didik
berkembang dengan baik, terutama potensi spritual. Sosialisasi
nilai-nilai pancasila dapat dilakukan dalam proses pembelajaran.
Misalnya, untuk meningkatkan ketakwaan peserta didik, guru
memulai pembelajaran dan mengakhiri dengan berdoa sesuai
dengan kepercayaan masing-masing. Nilai sila kedua dari
pancasila dapat juga dilakukan dengan menghargai perbedaan
pendapat pada saat diskusi dalam Kegiatan Belajar Mengajar.
Antar guru dan tenaga kependidikan juga menerapkan nilai-nilai
pancasila dalam setiap pertemuan, rapat. Mengutamakan
kepentingan bersama dan musyawarah merupakan wujud dari
nilai-nilai pancasila, yakni sila ketiga dan sila keempat. Hal yang
sama dengan sila kelima dari pancasila, karakter generasi emas
dapat dibentuk dengan memberikan tugas secara adil.
Nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di
sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah: (1),
kereligiusan, (2) kejujuran, (3) kecerdasan, (4) ketangguhan, (5)
kedemokratisan.
d. Standar Pengelolaan.
Standar pengelolaan meliputi kurikulum, kalender
pendidikan/ akademik, struktur organisasi sekolah/madrasah,
160
ISSN 2579-5678
161
ISSN 2579-5678
162
ISSN 2579-5678
E. PENUTUP
Membangun generasi emas 2045 perlu dilakukan secara holistik.
Pendidikan harus dikelola dengan tujuan menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas dari sisi spritual, emosional dan intelektualitas.
SDM yang cerdas secara spritual, akan memiliki karakter yang baik.
Karakter yang baik akan melahirkan generasi yang menciptakan suasana
kedinamisan dan keharmonisan alam beserta dengan kehidupan yang
berlangsung di dalamnya.
163
ISSN 2579-5678
F. REFERENSI
Arif, M, A. (2012). Education for Generation: Grand Disain Pendidikan
Menuju Kebangkitan Generasi Emas Indonesia. Sulawesi Tengah:
EnDeCe Press.
Freire, P. (2007). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan.Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
164
ISSN 2579-5678
165
ISSN 2579-5678
166
KARAKTERISTIK KEMESIASAN YESUS
Abstrak
Kemesiasan Yesus merupakan legitimasi dalam Perjanjian Lama
karena Ia menunjukkan hubungan yang selaras antara nubuatan para nabi dan
kebutuhan umat-Nya. Tidak ada perbedaan karakteristik mesias dalam
nubuatan dengan karakteristik mesias yang ditampilkan-Nya, meskipun pada
saat itu masih dalam dilematis pandangan kemesiasan-Nya. Sejak Yesus
tampil hingga pada pandangan para teolog sekarang ini, belum memiliki
keseragaman terhadap karakteristik kemesiasan-Nya. Masih terdapat
pemahaman bahwa karakteristik kemesiasaan Yesus yang ditampilkannya
hanya secara rohani saja, dan tidak berfungsi pada aspek kebutuhan lainnya.
Hal ini disebabkan karena pemahaman tentang pengharapan mesianik umat
dengan apa yang ditampilkan oleh Yesus tidak koheren. Memahami hal itu
sangat mempengaruhi pada standar teologi yang dibangun. Karakteristik
kemesiasan Yesus yang dimaksudkan adalah dimana karakteristik atau sifat
mesias yang dinubuatkan sama seperti yang ditampilkan oleh Yesus. Polemik
yang terjadi dikalangan orang Yahudi dan juga kepada para teolog saat ini
perlu diberi pencerahan kembali.
A. Pendahuluan
Setelah sekian lama orang Yahudi menantikan Sang Mesias yang
telah dinubuatkan oleh para nabi, akhirnya nubuatan itu tergenapi di
dalam diri Yesus Kristus. Yesus adalah penggenapan dari Perjanjian
Lama. Sentralitas kepada Yesus memberikan pengaruh terhadap
ISSN 2579-5678
1
John Stott, Kristus Yang Tiada Tara, (Surabaya: Momentum, 2013), 1-2.
(Selanjutnya disebut: Stott, Kristus Yang Tiada Tara).
2
Willem VanGemeren, Progres Penebusan, (Surabaya: Momentum, 2016), 360.
(Selanjutnya disebut: VanGemeren, Progres Penebusan).
3
Ibid., 377.
168
ISSN 2579-5678
4
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),
272.
5
S. Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Moriel, 2010), 68.
(Selanjutnya disebut: Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru).
169
ISSN 2579-5678
B. Pembahasan
Kata karakteristik dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari
kata dasar karakter yang artinya sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seorang dari yang lain; tabiat, watak. 6 Jadi,
karakteristik adalah ciri-ciri khusus. Dalam hubungannya dengan mesias,
maka mesias yang dinubuatkan itu memiliki ciri-ciri yang khusus.
Semenjak kerajaan Israel pecah sampai pada masa Yesus, umat
Yahudi telah memiliki konsep tentang mesias. Sebutan mesias7 berakar
dari pengertian Yahudi mengenai seorang tokoh di masa depan yang
datang untuk membawa keselamatan bagi umat Yahudi. Seorang tokoh
yang diidam-idamkan itu akan datang dari keturunan Daud. Melalui raja
keturunan Daud ini akan membawa era supremasi dan kedamaian
Yahudi.
Istilah mesias berasal dari kata masyiah8 yang berarti yang
diurapi atau diminyaki. Menurut tradisi bangsa Israel, pengurapan
sangat penting bagi seseorang yang dilantik menjadi raja dengan cara
pembaluran minyak di kepala oleh pemuka agama (seperti Daud diurapi
oleh Samuel).
France mengatakan bahwa Perjanjian Lama belum memakai istilah
mesias (orang yang diurapi oleh Allah) dengan arti sebagai tokoh yang
dipakai Allah untuk melaksanakan karya keselamatan, tetapi pada abad-abad
menjelang kedatangan Yesus istilah mesias menyempit menjadi orang yang
dipilih Allah dalam memimpin bangsa Yahudi menuju kejayaan. 9
Istilah mesias dapat dipahami dalam dua arti, yakni: pertama,
mesias dalam arti masyakh, yaitu pengurapan oleh minyak. Arti kata
mesias diambil dari bahasa Aram mesyiha, yang dialek dari bahasa Ibrani
masyiah, yang berarti yang diurapi. Di dalam Septuaginta, kedua kata ini
diterjemahkan ho kristos () dalam bahasa Yunani, dari kata kerja
6
--------, (Karakteristik), KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 209.
7
--------, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK, 2007), 57.
8
S.M. Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008), 4. (Selanjutnya disebut: Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama).
9
R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang disalibkan, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 22.
170
ISSN 2579-5678
10
Darmawijaya, Gelar-Gelar Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 79-80.
171
ISSN 2579-5678
11
Richard L. Pratt, Ia Berikan Kita Kisah-Nya, (Surabaya: Momentum, 2013), 391.
172
ISSN 2579-5678
12
VanGemeren, Progres Penebusan, 227.
13
Walter C. Kaiser, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 237.
(Selanjutnya disebut: Walter, Teologi Perjanjian Lama).
173
ISSN 2579-5678
14
Cristoph Barth, Marie Claire Barth, Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010), 47 (Selanjutnya disebut: Barth, Teologi Perjanjian Lama 2).
15
Willem VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, (Surabaya:
Momentum, 2011), 14. (Selanjutnya disebut: VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para
Nabi).
16
Jeane Ch. Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, (Surabaya: Momentum, 2014),
116.
174
ISSN 2579-5678
17
David Iman Santoso, Theologi Matius: Intisari dan Aplikasinya, (Malang: SAAT,
2009), 34. (Selanjutnya disebut: Santoso, Theologi Matius).
18
VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 7-8.
19
Tom Jacobs, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2015), 14. (Selanjutnya disebut: Jacobs, Paham Allah).
20
VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 12.
175
ISSN 2579-5678
21
Harry Mowvley, Penuntun Ke Dalam Nubuat Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 49.
176
ISSN 2579-5678
22
Siahaan, Pengharapan dalam Perjanjian Lama, 136.
23
Ibid., 144.
24
Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, 117.
177
ISSN 2579-5678
178
ISSN 2579-5678
25
Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama, 117.
179
ISSN 2579-5678
a. Kelompok Farisi
Istilah Farisi artinya yang terpisah, dan itu mencirikan
orang-orang Farisi. Mereka terdiri dari imam-imam (yang
tingkatnya lebih rendah), para tukang, para petani, dan para
26
Ibid.
27
Tandiassa, Teologia Perjanjian Baru, 67.
180
ISSN 2579-5678
b. Kelompok Saduki
Golongan Saduki pada umumnya, terdiri dari kaum ningrat.
Mereka mempunyai tanah banyak. Kebanyakan orang kaya
termasuk dalam golongan ini. Imam Besar juga dipilih dan
ditetapkan oleh golongan ini. Oleh karena kebanyakan golongan
adalah orang kaya, mereka senang dengan pemerintah Roma dan
tidak mau ada peperangan untuk menjadi merdeka, sebab
peperangan pasti membahayakan kedudukan mereka. Mereka juga
mempunyai pengaruh besar dalam agama Yahudi dan banyak juga
28
H. Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba: Sejarah Israel dari
330 s.M., (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 97. (Selanjutnya disebut: Jagersma, Dari
Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba).
29
Joel B. Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul, (Jakarta: PPA, 2005),
50. (Selanjutnya disebut: Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul).
181
ISSN 2579-5678
c. Kelompok Herodian
Golongan ini senang dengan pemerintah Herodes dan
menyokongnya. Raja Herodes Agung dan keturunannya, yang
ditetapkan sebagai kepala-kepala pemerintah Roma di Israel,
menerima adat istiadat dan kebudayaan Roma. Mereka juga tidak
mau menjadi merdeka, tetapi menerima Kerajaan Roma di tanah
Israel. Semua orang Yahudi lain, yang ingin menjadi merdeka,
membenci orang-orang Herodian, karena mereka menyokong
pemerintah Herodes dan menerima adat istiadat orang Roma. Bagi
kelompok ini menganggap bahwa Sang Mesias itu telah datang
dan Ia lah Herodes yang memberikan kesejahteraan bagi
kelompok mereka. Sang Mesias dipahami secara liberal.
30
Ibid., 51.
182
ISSN 2579-5678
e. Kelompok Eseni
Golongan Eseni adalah orang Yahudi yang memisahkan
diri dari masyarakat Yahudi lainnya. Tempat mereka ada di gua-
gua. Mereka ini adalah orang-orang yang berada di Qumran.
Golongan Eseni ini mempertahankan kesucian ibadah. Golongan
ini tidak mengenal perbudakan dan pantang mengucapkan
sumpah.31 Komunitas mereka pada dasarnya adalah sebuah
komunitas eskatologis terpisah sebagai umat perjanjian yang
tersisa bagi Allah, serta besiap-siap untuk peperangan terakhir
melawan kerajaan kegelapan.32 Karena mereka adalah para imam
yang telah mengasingkan diri, maka mereka sangat
mengharapakan Sang Mesias yang berperan dalam Bait Allah. Ia
adalah Imam dan juga keturunan imam.
f. Kelompok Zelot33
Kelompok Zelot adalah kelompok orang-orang fanatik
dalam kehidupan tradisi Yahudi yang menghendaki pembebasan
31
Jagersma, Dari Alexsander Agung Sampai Bar Kokhba,101.
32
Green, Memahami Injil-injil dan Kisah Para Rasul, 51.
33
Ibid., 52.
183
ISSN 2579-5678
g. Kelompok Sicarii35
Kelompok Sicarii muncul pada pemerintahan Yudas
Makabeus. Gerakan ini muncul karena kekuatan sosial, politik,
ekonomi, dan rohani di Galilea yang menindas rakyat. Nama
Sicarii berasala dari kata latin sicae yang artinya pisau belati.
Sesuai dengan namanya maka mereka menggunakan pisau belati
dalam melakukan peperangan. Gerakan Sicarii ini bersifat politis
dan mesianik juga. Kelompok ini bekeinginan memulihkan
kejayaan Daud seperti yang dijanjikan Kitab Suci. Para pemimpin
berlagak seperti mesias-mesias yang siap membebaskan umatnya
dengan pertolongan Tuhan. Intinya, setiap ada gerakan
perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Romawi, seringkali
tokoh utamanya diyakini sebagai mesias. Ketika Yesus hadir
ditengah-tengah mereka (Mat. 21:4-9; Luk. 19:45), sebagian
orang menganggap bahwa Dialah mesias yang dijanjikan tersebut.
Biasanya yang mengakui ini adalah orang-orang yang
34
Darmawijaya, Para Rasul Yesus: Kisah Kelompok Dua Belas, (Yogyakarta, Andi,
2011), 70.
35
Joseph A. Grassi, Perwujudan Ekaristi: Keadilan dalam Kehidupan Sosial,
(Yogyakarta: Kanisius, 1989), 24-15.
184
ISSN 2579-5678
a. Anak Daud
Ungkapan mesias sebagai anak Daud terdapat dalam
nubuat nabi Natan kepada raja Daud mengenai janji kerajaan yang
kokoh selama-lamanya (2Sam. 7:14). Janji ini merupakan dasar
dari nubuat para nabi selanjutnya yang berhubungan dengan
kerajaan mesias. Kerajaan mesias akan hadir di tengah-tengah
mereka untuk memulihkan bangsa tersebut. Mesias itu disebut
Daud (Yer. 30:9; Yeh. 34:23-24; 37:24; Hos. 3:5), sesuai dengan
cara Ibrani yang menggunakan nama nenek moyangnya sebagai
185
ISSN 2579-5678
b. Anak Manusia
Istilah anak manusia dalam Perjanjian Lama dihubungkan
dengan tradisi Yudaisme, khususnya kitab Apokaliptik.38 Istilah
anak manusia mengacu pada kata adam, yang artinya anak, atau
kata enos yang berarti kolektif manusia.39 Setiap manusia bagi
orang Yahudi disebut anak Adam dan sejumlah manusia disebut
anak Adam. Menurut Alan Richardson, anak ben adam sinonim
dari kata anak ben enos yang merupakan bahasa Semitik yang
biasanya digunakan sebagai jabatan nabi.40 Dalam kitab Henokh,
perumpamaan anak manusia disebutkan sebagai makhluk surgawi
atau tokoh supranatural yang memerintah atas suatu kerajaan yang
universal dimana terdapat pelaksana keselamatan dan
penghakiman.
36
Ibid., 284.
37
Ibid., 285.
38
David L. Baker, Satu Alkitab, dua perjanjian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
25.
39
Harun Martin, Inilah Injil Yesus Kristus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 182.
40
Alan Richardson, An Introduction the Theology of The New Testament, (London:
SCM Press LTD, 1961), 128.
186
ISSN 2579-5678
c. Anak Allah
Istilah anak Allah merupakan ungkapan mesias yang paling
penting dalam pengharapan Yahudi. Namun sangat perlu untuk
menyelidiki dengan teliti penggunaan sapaan yang begitu mulia
ini dari fakta historis dalam kebudayaan Yahudi. Dilihat dari
penggunaan gelar ini dalam Perjanjian Lama, gelar ini tampil
dalam cara yang bervariasi di kalangan Yahudi. Pemikiran Yahudi
tentang anak Allah mengacu pada beberapa pengertian, yaitu:
setiap orang Israel; menunjukkan kepada seorang Yahudi yang
baik atau suci; menunjukkan kepada Raja Israel secara khusus
keturunan Daud (Mzm. 132:11; Yer. 23:5-6; 33:15-16). Dalam arti
khusus Raja Israel sebagai umat pilihan Allah adalah Anak Allah.
Keturunan Daud menunjuk pada keturunan yang lebih agung,
yang akan menjadi raja kemudian. Perjanjian Lama memberikan
suatu gagasan tentang Raja yang diurapi, dimana Raja yang
diurapi berdasarkan jabatannya itu, disebut Anak Allah.
Nubuatan Nabi adalah firman Allah. sesuai dengan arti kata
nabi, yakni penyambung lidah, maka jelas bahwa nabi adalah
seseorang yang dipakai Allah secara khusus untuk menyampaikan
kehendak-Nya.41 Allah menubuatkan mesias pertama sekali
melalui nabi Natan. Dalam nubuatan tersebut tidak dijelaskan
siapakah dia, dari mana asalnya, dan bagaimana peranannya.
Gambaran mesias yang disampaikan oleh nabi sulit dipahami oleh
manusia (umat Israel) karena konsep mesias yang disampaikan
oleh nabi adalah konsep dari Allah. Rothlisberger mengatakan
bahwa gambaran mesias dari nabi-nabi sulit dibayangkan oleh
akal manusia karena nubuat tersebut melampaui perkataan dan
pengertian manusia.42 Dalam nubuatan para nabi ditekankan
bahwa mesias tersebut adalah pembebas. Makna pembebas dari
41
Barth, Teologi Perjanjian Lama 2, 268.
42
H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api: Para Nabi Israel, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), 136.
187
ISSN 2579-5678
43
W.S. Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007), 192.
44
Walter, Teologi Perjanjian Lama, 264.
45
Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api, 136-137.
188
ISSN 2579-5678
3) Hamba Tuhan
Yesaya memakai istilah hamba Tuhan dalam nubuatannya
untuk menjelaskan ciri-ciri atau tugas sang mesias yang akan
datang (Yes. 49:1-3). Hamba Tuhan itu adalah oknum mesis
dari keturunan Daud pada waktu itu. Daud baru yang terakhir
yang akan datang itu dikenal sebagai keturunan yang maha
kudus, taruk dan sebagainya.46 Penderitaan yang dialami oleh
hamba tersebut demi orang lain akan menghasilkan
pendamaian antara Allah dan manusia (Yes. 53:1-9); walaupun
Ia akan tunduk terhadap penderitaan, kematian, dan
penguburan, sesudah itu Ia akan ditinggikan dan diberi
penghargaan yang berkelimpahan (Yes. 53:10-12).
46
Walter, Teologi Perjanjian Lama, 276.
47
Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, 78.
48
Walter, Teologi Perjanjian Lama, 233.
189
ISSN 2579-5678
190
ISSN 2579-5678
49
Santoso, Theologi Matius, 33.
50
VanGemeren, Penginterpretasian Kitab Para Nabi, 237.
191
ISSN 2579-5678
51
Stott, Kristus Yang Tiada Tara, 10.
52
Jacobs, Paham Allah,135.
192
ISSN 2579-5678
53
Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), 51.
54
Tom Jacobs, Lukas: Pelukis hidup Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 19.
55
Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 127. (Selanjutnya
disebut: Leks, Tafsiran Injil Lukas).
56
B.J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 9.
57
Leks, Tafsir Injil Lukas, 145-146.
193
ISSN 2579-5678
C. Penutup
Akar dari permasalahan manusia dan kemanusiaan adalah dosa dan
kejahatan. Manusia mengalami penindasan, perbudakan, ketidak adilan,
penghinaan dan segala bentuknya, adalah karena dosa. Hal ini dialami
manusia dari abad ke abad, dari sejarah Israel hingga sejarah manusia
modern ini.
Karena itu, kebutuhan manusia yang mendasar adalah bebas dari
dosa. Dari latar belakang inilah Allah mengurapi Yesus untuk
membebaskan manusia secara utuh dari dosa. Di sinilah letak sifat, isi dan
tujuan kemesiasan dan pengharapan mesianik. Kemesiasan Yesus
bertolak dari nubuatan para nabi mengarah kepada konsep Allah. konsep
Allah tersebut akan membebaskan umat-Nya (inklusif) dari seluruh
permasalahan. Permasalahan tersebut yang menjadi kebutuhan manusia.
Allah mengetahui segala kebutuhan manusia, terutama kebutuhan yang
paling mendasar karena Ia adalah pencipta. Oleh sebab itu, dalam
nubuatan nabi, ternyata pembebas yang dinubuatkan tersebut akan
berperan dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Injil menyaksikan kemesiasan Yesus secara keseluruhan. Artinya,
Yesus yang telah hadir di dunia ini, adalah mesias yang sebenarnya.
Kerajaan Allah yang diwartakan dalam kehidupan-Nya menyaksikan
kemesiasan-Nya yang sesungguhnya. Yesus berinteraksi kepada umat-
Nya, terutama bagi mereka yang dianggap miskin oleh pemimpin agama.
Yesus menunjukkan bela rasa bagi mereka yang membutuhkan. Seluruh
tindakan Yesus yang di nyatakan-Nya merupakan konsep kerajaan Allah
yang sesungguhnya.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
kemesiasan Yesus bersifat holistik. Artinya, Yesus tidak berperan dalam
194
ISSN 2579-5678
Daftar Pustaka
195
ISSN 2579-5678
196
ISSN 2579-5678
BIODATA PENULIS
Yulius Enisman Harefa, memperoleh gelar Magister Teologi dari STT Injili
Indonesia Medan. Saat ini menjabat sebagai ketua prodi di STT BMW
MEDAN.
197