LAPORAN KASUS
I. IDENTITIAS PASIEN
Nama : Sdr.S
Umur : 22 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SD
Alamat pasien saat ini : Dusun Tampung RT/RW 001/004, Tampung Pasuruan
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : Marah-marah
B. Auto Anamnesis :
Saat diperiksa pasien merasa curiga dengan pemeriksa dengan menanyakan ma ma
apa? Pasien tidak dapat menyebutkan nama aslinya, pasien mengaku punya banyak
julukan yang diberikan oleh banyak sumber (Allah, Nabi Muhammad, dll). Saat ditanya
umur pasien lupa umur, tanggal lahir. Pasien mengaku lahir di Lampung tahun 1993.
Pasien mengaku datang kesini karena merasa dihukum oleh Allah. Pasien tidak
menjawab kenapa di hukum. Pasien dapat menyebutkan tentang waktu/tempat/orang.
Pasien mengaku tangannya digores dengan pisau, pasien tidak menjawab alasan
mengapa menggores tangannya dengan pisau. Pasien mengaku menendang nendang
barang barang di rumah karena mengatakan Allah bermuka dua dan setan bermuka
dua. Karena itu pasien marah. Pasien mengaku tidak mandi karena merasa dihukum
oleh Allah. Pasien mengaku pernah melakukan pekerjaan merampok, membunuh, dll.
Tapi bekerja sebagai buruh karena di hukum.
C. Hetero Anamnesis {didapat dari : Bapak ( Ayah Pasien ) }
1. Rincian keluhan utama
- Pasien marah-marah, menghantam memukuli orang jika merasa tersinggung,
termasuk keluarganya.
- Gejala tersebut muncul sejak 2 tahun lalu, makin buruk 5 hari terakhir, saat marah
pasien memecahkan kaca dan memukul-mukul kepala sendiri.
- saat usia 10 tahun pasien suka menyilet lengan sendiri tiap kali merasa marah.
2. Gejala lain yang menyertai keluhan utama
- Bicara dengan hewan.
- Tidak mau dipisahkan dengan ayahnya.
3. Gejala prodromal
Pasien merasa mudah tersinggung sejak 2 tahun lalu.
4. Peristiwa terkait dengn keluhan utama
- Pasien marah jika dilihat oleh orang-orang
- Sebelum pasien suka memukul muka sendiri, psien mengalami kejang dan tidak
sadar, disertai mulut berbusa 5 bulan lalu saa di mushola.
5. RPD
- Pasien pertama kali kejang usia 3 bulan karena demam, kejang mulai dari jam 7
pagi sampai dengan jam 12 malam, sejak itu pasien sering kejang.
- Pasien rutin minum obat sampai dengan usia 15 tahun, selama minum obat,
pasien tidak kejang. Setelah berhenti minum obat pasien jadi sering kejang.
6. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan anak
- Selama kehamilan tidak ada masalah
- Persalinan normal
- Sering kejang sejak usia 3 bulan
7. Riwayat sosial dan pekerjaan
- Pasien tidak bekerja hanya dirumah, sehari hanya beribadah (sholat, mengaji,
wirid) dan tidak mau membantu pekerjaan rumah.
- Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara, pasien tinggal dengan keluarga inti
- Pendidikan pasien sampai kelas 5 SD dan MI sampai kelas 6.
Faktor Kepribadian Premorbid
Sabar, pemalu, punya banyak teman, baik dengan tetangga
Faktor Keturunan
Tidak ditemukan
Faktor Organik
Epilepsi sejak kecil, terakhir kejang 3 hari yang lalu
Faktor Pencetus
Kejang
Respirasi : 22x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 37C
Ekstremitas : AH + + Edema
+ +
+ + + +
Terdapat luka lecet di kaki kanan dan kiri. Tangan pasien terdapat
bekas luka-luka ukiran nama Ayu dan ukiran-ukiran lain.
GCS : E4V5M6
Kesan Umum : Pasien datang berjalan sendiri, tampak kurang rapi, tidak kooperatif,
tidak komunikatif.
Kontak : Verbal (+), Non Verbal (-), Inkohern (+), Tidak lancer (+)
Afek/Emosi : Dangkal
Kemauan : Menurun
Psikomotor : Meningkat
FOLLOW UP
TINJAUAN PUSTAKA
II.3. Delirium
II.3.1. Definisi
Delirium menunjuk kepada sindrom otak organik akibat gangguan fungsi atau
metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yang menghambat metabolisme otak.5
II.3.2. Epidemiologi
Delirium merupakan gangguan yang umum. Terdapat beberapa faktor risiko yang
dapat menyebabkan delirium misalnya usia lanjut, usia muda, cedera otak yang telah ada
sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan sensoris
dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostik yang buruk. 1,6
II.3.2. Etiologi
Delirium biasanya didiagnosis pada sisi tempat tidur dan ditandai oleh onset gejala
yang tiba-tiba. Penggunaan status pemeriksaan mental bedside seperti Mini Mental State
Examination (MMSE) pemeriksaan fisik sering kali mengungkapkan petunjuk adanya
penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang diketahui atau riwayat trauma kepala atau
ketergantungan alkohol atau zat lain meningkatkan kemungkinan diagnosis. 1,6
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan tergantung pada situasi klinis. EEG pada
delirium secara karakteristik menunjukkan perlambatan umum pada aktivitas dan dapat
berguna dalam membedakan delirium dari depresi atau psikosis. EEG dari seorang pasien
yang delirium sering kali menunjukkan daerah fokal hiperaktivitas.1,6
II.3.7. Kriteria Diagnostik
a. Demensia
Penting untuk membedakan delirium dari demensia. Berbeda dengan onset delirium yang
tiba-tiba, onset demensia biasanya perlahan. Walaupun kedua kondisi melibatkan
gangguan kognitif, perubahan demensia adalah lebih stabil dengan berjalannya waktu dan
tidak berfluktuasi selama perjalanan sehari. Kadang-kadang delirium terjadi pada pesien
yang menderita demensia yang dikenal sebagai pengaburan demensia (beclouded
dementia). Suatu diagnosis delirium dapat dibuat jika terdapat riwayat definitif tentang
demensia yang ada sebelumnya.1,6
b. Psikosis atau depresi
Delirium juga harus dibedakan dengan skizofrenia dan gangguan depresif. Pasien dengan
gangguan buatan mungkin berusaha untuk menstimulasi gejala delirium. Pasien dengan
gejala hipoaktif dari delirium mungkin tampak agak mirip dengan pasien yang depresi
berat tapi dapat dibedakan atas dasar EEG. Diagnosis psikiatrik lain yang dapat
dipertimbangkan dalam diagnosis banding delirium adalah gangguan psikotik singkat,
gejala skizofreniform, dan gangguan disosiatif.1,6
II.3.9. Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Bila
kondisinya akibat toksisitas antikolinergik, penggunaan physostigmine salicylate
(Antrilirium) 1- 2 mg IV atau IM dengan dosis ulang dalam 15-30 menit dapat diindikasikan.
Tujuan pengobatan yang penting lainnya dalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan
lingkungan. Bantuan fisik adalah diperlukan sehingga pasien delirium tidak masuk ke dalam
situasi dimana mereka mungkin mengalami kecelakaan. Pasien dengan delirium tidak boleh
dalam lingkungan tanpa stimulasi sensorik atau dengan stimulasi yang berlebihan.1,6
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis
adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari psikosis adalah haloperidol (Haldol)
dengan dosis awal dapat terentang antara 2 sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam
jika pasien tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dapat dimulai. Dua
dosis oral harian harus mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk
mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari dosis
parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol mugnkin terentang dari 5 sampai 50 mg
untuk sebagian besar pasien delirium.
Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut
disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna. Insomnia paling baik diobati dengan
golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25 sampai
100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus
dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk
gangguan dasar.1,6
II.3.10. Prognosis
II.4. Demensia
II.4.1. Definisi
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif
tanpa gangguan kesadaran.1,6
II.4.2. Epidemiologi
Demensia sebebnarnya adalah penyakit penuaan. Kira-kira lima persen dari semua
orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, dibandingkan
dengan 15 sampai 25% sari semua orang yang berusia 85 atau lebih.
II.4.3. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheime adalah wanita,
mempunyai sanak saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut dan mempunyai
riwayat cedera kepala. Sindrom down juga secara karakteristik berhubungan dengan
perkembangan demensia tipe Alzheimer. Tipe demensia yang paling sering kedua adalah
demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit
serebrovakular. Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit. Kira-kira 10
sampai 15 persen pasien menderita demensia vaskular dan demensia tipe Alzheimer yang
terjadi bersama-sama. Penyebab demensia lainnya yang sering masing-masing mencerminkan
satu sampai 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington, dan penyakit Parkinson. 1,6
II.4.4. Etiologi
Demensia mempunyai banyak penyebab tetapi demensia tipe Alzheimer dan demensia
vascular secara bersama-sama berjumlah 75% dari semua kasus. 1,6
1. Demensia tipe Alzheimer
Diagnosis akhir penyakit alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak,
namun demikian, demensia tipe Alzheimer bisanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih tidak diketahui, beberapa penelitian
menyatakan bahwa sebanyak 40% pasien mempunyai riwayat keluarga menderita
demensia tipe Alzheimer, jadi faktor genetik dianggap berperan sebagian dalam
perkembangan gangguan dalam sekurangnya beberapa kasus. Angka persesuaian untuk
kembar monozigotikadalah lebih tinggi dari angka untuk kembar dizigotik. Dan dalam
beberapa kasus yang telah tercatat baik, gangguan telah di transmisikan dalam keluarga
melalui suatu gen autosomal dominan, walaupun transimis tersebut adalah jarang.1,6
Neuropatologi
Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dari seorang psien dengan
penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal dan pembesaran
ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik dan patognomonik adalah bercak-bercak
senilis, kekusustan neurofibriler hilangnya neuronal dan degenerasi granovaskular pada
neuron. Kekusutan neurofibriler bercampur dengan elemen sitoskletal lainnya juga
ditemukan.1,6
Protein prekusor amiloid
Gen untuk protein prekusor amyloid adalah pada lengan panjang dari kromosom 21.
Kelainan neurotransmitter
Neurotransmitter yang paling berperan yang paling berperan dalam patologis adalah
asetilkolin dan norepinephrine, keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif pada penyakit
Alzheimer. Ditemukan juga penurunan konsentrasi asetilkolin dan kolin asetil transferase
di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah enzim kunci untuk sintesis asetilkolin, dan
penurunan konsentrasi kolin asetiltransferase menyatakan penurunan jumlah neuron
kolinergik yang ada. Dukungan tambahan untuk hipotesis deficit kolinergik berasal dari
observasi bahwa antagonis kolinergik seperti physostigmine dan arecholine telah
dilaporkan meningkatkan kemampuan kognitif. Penurunan aktivitas norepinephrine pada
penyakit Alzheimer diperkirakan dari penurunan neuron yang mengandung
norepinephrine di dalam lokus sereleus yang telah ditemukan pada pemeriksaan patologis
otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua neurotransmitter lain yang berperan
adalah dua peptide neuroaktif, somatostatisn da kortikotropin, keduanya telah dilaporkan
menurun pada penyakit Alzheimer. 1,6
Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolism fosfolipid
membrane menyebabkan membrane yang kekurangan cairan yaitu lebih kaku
dibandingkan normal. Bebrapa peneliti telah menggunakan pencitraan spektroskopik
resonansi molekular untuk memeriksa hipotesis tersebut pada pasein dengan demensia
Alzheimer. Toksisitas alumunium juga telah dihipotesiskan sebagai faktor kausatif, karena
kadar alumunium yang tinggi telah ditemukan dalam otak beberapa pasien dengan
Alzheimer. Suatu gen E4 juga telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer. 1,6
2. Demensia Vakular
Penyebab utama demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral yang
multipel, yang menyebabkan pola gejala demensia. Gangguan dulu disebut sebagai
demensia multi infark. Demensia vaskular paling sering ditemui pada laki-laki, khususnya
pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelunya atau faktor kardiovaskular
lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang, yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar
pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah
oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh. Suatu
pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi atau pembesaran
kamar jantung. 1,6
Penyakit Binswanger
Penyakit ini juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal. Penyakit ini
ditandai dengan adanya infark kecil pada substansia alba, jadi menyerang daerah korikal.
Walaupun penyakit ini sebelumnya dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan
teknik pencitraan telah menemukan bahwa kondisi tersebut lebih sering terjadi.
3. Penyakit Pick
Penyakit ini ditandai dengan atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal.
Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan pick
neuronal, yang merupakan masa elemen sitoskletal. Penyakit pick ini berjumlah kira-kira
lima persen dari semua demensia yang irreversible. Penyakit pick ini sulit dibedakan
dengan demensia Alzheimer walaupun stadium awal dari penyakit ini lebih sering ditandai
oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang lebih
bertahan.1,6
4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit ini adalah penyakit degenerative otak yang jarang disebabkan oleh agen yang
progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan, paling mungkin suatu prion yagn
merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung RNA dan DNA. Penyakit ini secara
cepat dan progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematiandalam usia 6-12
tahun. Penyakit ini ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak bisa,
yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi. 1,6
5. Penyakit Huntington
Penyakit ini bisanya disertai dengan perkembangan demensia. Demensia yang terlihat
pada penyakit ini adalah tipe demensia subkortikal yang ditandai dengan kelainan motorik
yang lebih banyak dan kelainan bicara yagn lebih sedikit dibandingkan tipe demensia
kortikal. Demensia padapenyakiti huntinton ditandai oleh perlambatan psikomotor dan
kesulitan melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan,bahasa, dan tilikan tetap relative
utuh pada stadium awal dan menegah penyakit. Tetapi saat penyakit berkembang
demensia menjadi lengkap, can ciri yang membedakan ini dengan demensia tipe
Alzheimer adalah tingginya insidensi depsresi dan psikosis, disamping gangguan
pergerakan kortikosteroid yang klasik. 1,6
6. Penyakit Parkinson
Seperti penyait Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit ganglia basalis yang
sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20-30% pasien dengan dengan
penyakit perkinsin menderita demensia. Pergerakan yang lambat pada penyakit Parkinson
adalah disertai dengan berpikir yagn lambar pada beberapa pasien yang terkena., hal ini
disebut juga bradyphenia. 1,6
7. Demensia yang berhubungan dengan penyakit HIV
Infeksi virus HIV seingkali menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya.
Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai oleh
tampaknya kelainna parenkimal pada pemeriksaan MRI. 1,6
8. Demensia yang Berhubungan dengan Trauma Kepala
Demensia dapat merupakan suati sekuel dari trauma kepala, demikian juga sindrom
neuropsikitrik. 1,6
II.4.5. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal demensia, pasein menunjukkan kesulitan untuk kesulitan untuk
mempertahankan kinerja mental, fatigue, dan kecendrungan untuk gagal jika suatu tugas
adalah baru atau kompleks atau memerlukan penggeseran strategi pemecahan masalah.
Ketidak mampuan mengerjakan tugas menjadi semakin berat. Defek utama dalam demensia
melibatkan orientasi, ingatan, persepsi, fungsi intelektual, dan pemikiran. Dan semua fungsi
tersebut menjadi secara progresif terkena saat proses penyakit berlanjut, perubahan afektif
dan perilaku, seperti control impuls yang defektif dan labilitas emosional sering ditemukan
seperti juga penonjolan dan perubahan sifat kepribadian premorbid. 1,6
1. Gangguan Daya Ingat
Gangguan daya ingat merupakan ciri yang awal dan menonjol pada demensia yang
mengenai korteks, sperti demensia tipe Alzheimer, pada awal perjalanan demensia
gangguan daya ingat adalah ringan dan biasanya paling jelas untuk peristiwa yang baru
terjadi. Saat perjalanan demensia berkembang gangguan emosional menjadi parah dan
hanya informasi yang dipelajari paling baik dipertahankan. 1,6
2. Orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu,
1,6
orientasi dapat terganggu secara progresif, selama perjalanan penyakit demensia.
3. Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai korteks, terutama demensia tipe Alzheimer sedangkan
demensia vaskular dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien. Kesulitan
berbahasa mungkin ditandai oleh cara berkata yang samar, stereotipik, tidak tepat atau
berputar-putar. Psien jugakesulitan untuk menyebutkan nama suatu benda. 1,6
4. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian ini merupakan hal yang paling mengganggu. Sifat kepribadian
sebelumnya mungkin diperkuat Selama perkembangan demensia. Pssien dengan demenisa
juga mungkin introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efdek prilaku
mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya
bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan orang lain. Pasein dengan gangguan
frontal dan temporal kemunginan mengalami perubahan kepribadian yangjelas dan mudah
marah yang meledak-ledak.1,6
5. Psikosis
Diperkirakan 20-30% pasien demensia terutama pasien dengan demensia tipe Alzheimer
memiliki halusinasi, dan 30 sampai 40% memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid
atau presekutorik yang itdak sistematik, walaupunn waham yang kompleks menetap,
tersistematik dengan baik juga dilaporkan pada pasien demensia. Agresi fisik dan bentuk
kekerasan lainnya adalah seringpad pasien demensia yang juga mempunyai gejala
psikotik. 1,6
6. Gangguan lain
Psikiatrik
Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi, kecemasan adalh gejala utama
pada kira-kira 40 sampai 50% pasien demensia. Walaupun sindrom gangguan depresif
yang mungin hanya ditemukan pada 10 sampai 20 % psien demensia. Pasien dengan
demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang
ekstrem tanpa provokasi yang terlihat. 1,6
Neurologis
Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia sering juga terjadi. Tanda
neurologis lain adalah kejang dan presentasi neurologis yang atipikal seperti sindrom
lobus parietalis non dominan. Refleks primitif seperti refleks menggenggam, moncong,
mengisap, kaki tonik, dan palmomental mungkin ditemukan pada pemeriksaan
neurologis dan ditemukan juga jerks mioklonis. Pasien dengan demensia vaskular
mungkin mempunyai gejala tambahan seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan,
tanda neurologis fokal dan ganggua tidur yang mungkin menunjukkan lokasi penyakit
serebrovaskular. Pasli serebrobulbar, disatria dan disfagia juga lebih sering pada
demensia vaksular daripada demensia lain. 1,6
Reaksi katastropik
Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan dalam berprilaku abstrak,
kesulitan dalam menbentuk konsep, mengambil perbedaan dan persamaandari konsep
tersebut. Sulitmemecahkan masalah danalasan yang logis. Ditemukan juga control
impulse yang buruk, khususnya pad ademnsia yang mempenaruhi lobus frontalis. 1,6
Syndrome Sundowner
Sindrom ini ditandai dengan mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak
sengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia dengan yang mengalami sedasi
berat da pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap
dosis kecil obat psikoaktif. Sindrom ini juga terjadi pada pasien demensia jika
mendapatkan stimuli external. 1,6
II.4.7. Kriteria Diagnostik
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan tepat
pada waktunya. Pendekatan pengobatan umumpada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan media suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya,
danpengobatan farmakologis untuk gejala spesifik. 1,6
1. Pengobatan Famakologis
Pengobatan yang tersedia saat ini untuk insomnia dan kecemasan, dokter meresepkan
benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresan untuk depresi, dan
antipsikotik untuk waham dan halusinasi. Tapi perlu diperhatikan adanya efdek
idiosinkrartik dari obat lanjut usia sperti perangsanganyang paradoksal, konfusi, dan
peningkatan sedasi. Obat dengan aktivitas kolinergik tinggi dihindari. Benzodiazepine
kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi ansiolitik dan sedative lebih disukai untuk
pasien demensia. 1,6
Tetrahydroaminoacridine telah dianjurkan oleh FDA sebagai suatu pengobatan untuk
penyakit Alzheimer. Obat ini merupakan inhibitor akitivitas antikolinesterase dengan lama
kerja yang agak panjang. Karen aktivitas kolinimimetik dari obat, dapat terjadi peningktan
kadar enzim hati. 1,6
2. Faktor psikodinamik
Pemburukan kemampuan mental mempunyai arti pskiologis yang bermakna pada
pasien dengan demensia. Pengalaman seseorang memiliki kontinuitas selama perjalanan
waktu adalah tergantung pada ingatan. Dari segi psikodinamik, dapat tidak terdapat hal
tertentu seperti suatu demensia yang tidak dapat diobati.
II.4.10. Prognosis
Perjalanan klasik dari dementia adalah onsetnya pada pasien yang berusia 50-an
dan 60-an dengan perburukan bertahap selama 5-10 tahun, yang akhirnya menyebabkan
kematian. Usia saat onset dan kecepatan perburukannya adalah bervariasi diantara tipe
demensia yang berbeda dan dalam kategori diagnostik individual. Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi prognosis : 1,6
1. Faktor psikososial
Keparahan dan perjalanan semensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Pasien
yang mempunyai onset demensia yang cepet menggunakan lebih sedikit pertahanan
dibandingkan denga pasien yang mengalami onset bertahap/ kecemasan dan depresi
mungkin memperkuat dan memperburuk gejala, pseudodemensia terjadi pada pasien
depresi yang mengeluh gangguan daya ingat, tetapi pada kenyataannya, menderita
dari suatu gangguan depresif. Jika depresi diobati, defek kognitif menghilang. 1,6
2. Demensia Tipe Alzheimer
Demensia ini dapat dimulai pada setiap usia. Kira-kira setengah dari pasien dengan
demensia tipe Alzheimer mengalami gejala pertamanya pada usia kurang dari 65 dan
70 tahun. Perjalanan gangguan secara karakteristik adalah penurunan bertahap selama
8 sampai 10 tahun, walaupun perjalanan dapat jauh lebih cepat atau jauh lebih
bertahap. Jika gejala demensia telah menjadi berat kematian sering kali terjadi setelah
periode waktu yang singkat.1,6
3. Demensia Vaskular
Berbeda dengan onset demensia tipe Alzheimer, onset demensia vascular
kemungkinan mendadak. Juga berbeda denga demensia tipe Alzheimer terdapat
penahanan kepribadian yang lebih besar pada pasiendengan demensia vaskular.
Perjalanan demensia vaskular sebelumnya telah digambarkan sebagai bertahap dan
setengah-setengah. 1,6
II.5. Gangguan Amnesik
II.5.1. Definisi
Gangguan amnesik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi social atau pekerjaan. Diagnosis dibuat
apabila pasien mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif. Gangguan amnesik ini
dibedakan dari gangguan dissosiatif. 1,6
II.5.2. Epidemiologi
Tidak ada data pasti mengenai gangguan amnesik ini, bebrapa penelitian melaporkan
adanya insidensi atau prevelensi gangguan ingatan pada penggunaan alkohol dan cedera
kepala.1,6
II.5.3. Etiologi
Struktur anatomi yang terlibat dalam daya ingat dan perkembangan gangguann
amnesik adalah terutama struktur diensefalik, dan struktur lobus midtemporalis. Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa hemisfer kiri lebih kritikal dibanding hemisfer kanan
dalam perkembangan gangguan daya ingat. Gangguan amnesik memiliki banyak penyebab.
Berikut tabel penyebab gangguan amnesik 1,6
Pusat gejala dari gangguan daya ingat yang diandai oleh gangguan pada kemampuan
untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograde) dan ketidakmampuan untuk
mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat (amnesia retrograde) gejala harus
menyebabkan masalah bermakna bagi pasien dalam fungsi sosial dan pekerjaanya. Daya
ingat jangka pendek dan daya ingat baru saja biasanya terganggu. Daya ingat jauh untuk
informasi atau yang dipelajari secara mendalam adalah baik. Tetapi daya ingat untuk
peristiwa yang kurang lama akan terganggu. 1,6
Onset gejala dapat mendadak seperti pada trauma, serangan serebrovaskuler dan
gangguan akibat zat kimia neurotoksik atau bertahap. Amnesia dapat terjadi singkat atau
lama. Berbagai gejala lain dapat menyertai gangguan amnesik. Tetapi jika pasien mempunyai
gangguan kognitif lainnya, diagnosa demensia atau delirium adalah lebih tepat dibandingkan
diagnosis gangguan amnesik. Pasien dengan gangguan amnesik mungkin apatik, tidak
memiliki inisiatif, mengalami episode agitasi tanda provokasi, atau tampak sangat bersahabat
dan mudah setuju. Pasien dengan gangguan amnesik mungkin juga tampak kebingugan dan
berusaha menutupi konfusinya dengan jawaban konfabulasi terhadap pertanyaan. 1,6
1. Penyakit Serebrovaskular
Penyakit serebrovaskular yang mempengaruhi hipokampus mengenai arteri serebralis
posterior dan basilaris beserta cabang-cabangnya. Infark adalah jarang terbatas pada
hipokampus. Infark sering kali mengenai lobus oksipitalis dan parietalis. Jadi gejala
penyerta yang sering dari penyakit serebrovaskuler di daerah tersebut adalah tanda
neurologis fokal yang mengenai modalitas penglihatan atau sensorik. Penyakit
serebrovaskular yang mengenai thalamus medial secara bilateral, khususnya pada bagian
anterior, sering disertai gejala gangguan amnesik. 1,6
2. Sklerosis Multipel
Proses patologis dari sclerosis multiple adalah pembentukan plak yang tampaknya terjadi
secara acak di dalam parenkim otak. Jika plak terjadi di lobus temporalis dan daerah
diensefalik, gejala gangguan daya ingat dapat terjadi. 1,6
3. Sindrom Korsakof
Sindrom Korsakof adalah sindrom amnesik yang disebabkan oleh defisiensi tiamin, yang
paling sering berhubungan dengan kebiasaan nutrisional yang buruk dari seseorang
dengan penyalahgunaan alkohol kronis. Penyebab lain nutrisi yang buruk, karsinoma
lambung, hemodialisis, hiperemesis gravidarum, hiperalimentasi intravena berkepanjangan
dan pelipatan lambung juga dapat mengakibatkan defisiensi tiamin. Penyakit ini sering
disertai denga ensefalopati Wernicke yang merupakan sindrom penyerta berupa konfusi,
ataksia, dan oftalmoplegia. Temuan neurofisologi pada penyakit ini menggambarkan
adanya perubahan samar pada akson neuronal. Walaupun delirium menghilang dalam
dalam sebulan atau lebih, sindrom amnesik menyertai atau mengikuti ensefalopati
Wernicke. 1,6
4. Blackout Alcoholic
Pada beberapa orang yang menyalahgunakan alcohol, keadaan ini dapat terjadi dimana
pasien akan terbangun dipagi hari dan tidak mampu mengingat kejadian pada malam
sebelumnya saat terintoksikasi. 1,6
5. Tetapi Elektrokonvulsif
Terapi elektrokonvulsif (ECT) biasanya disertai dengan amnesia retrogard selama
beberapa menit sebelum pengobatan dan suatu amnesia anterogard setelah pengobatan.
Deficit daya ingat ini menetap selama satu sampai dua bulan setelah siklus pengobatan. 1,6
6. Cedera Kepala
Cedera kepala dapat menyebabkan berbagai gejala neuropsikiatrik termasuk demensia,
depresi, perubahan kepribadian, dan gangguan amnestic. Gangguan amnesik yang
disebabkan oleh cedera kepala seringkali berhubungan dengan suatu periode amnesia
retrogard sebelum kecelakaan traumatis dan amnesia teerhadap kecelakaan traumatis
sendiri. Beratnya cedera otak agak berhubungan dengan lamanya dan beratnya sindrom
amnesik, tetapi yang berhubungan paling baik dengan perbaikan akhir adalah derajat
perbaikan klinis amnesia selama minngu pertama setelah pasien mencapai kesadraran. 1,6
II.5.5. Kriteria Diagnostik
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan amnesik. Setelah
resolusi episode amnesik, suatu jenis psikoterapi dapat membantu pasien menerima
pengalaman ke dalam kehidupannya. 1,6
1. Faktor psikodinamiksa
Intervensi psikodinamika mungkin mempunyai nilai yang baik bagi pasien yang
menderita gangguan amnesik yang disebabkan oleh kerusakan pada otak.
Fase pemulihan pertama dimana pasien tidak mampu memproses apa yang terjadi
karenapertahanan ego yang sangat besar, membuat klinisi melayani sebagai ego penolong
yang membantu menjelaskan kepada pasien tentang apa yang terjadi danmemberikan
fungsi ego yang hilang. Pada pemulihan fase kedua, saat realisasi tentang kejdian cedera
timbul, pasienmungkin menjadi marah. Pemulihan fase ketiga adalah fase integrative.
Kesedihan terhadap kecakapan yang hilang merupakan ciri penting fase ini.
Sebagian besar pasien yang amnesik akibat cedera otak terlibat dalam penyangkalan.
Untuk itu diperlukan empati dan pendekatan yagn sensitif kepada pasien. Selain itu
diperlukan juga suatu pemeriksaan gangguan kepribadian sebelumnya, dimana ciri
kepribadian tersebut dapat menjadi bagian penting dari psikoterapi psikodinamika. 1,6
II.5.8.Prognosis
II.4.1. Definisi
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) adalah suatu gejala akibat cetusan pada jaringan
saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil
otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan
umum).7 Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten disebabkan oleh
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy
(IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
sebelumnya. Bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul
sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.9
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE
dan IBE : 10
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam tatalaksana seorang penderita
epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun
konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh
masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya.10
II.4.2. Etiologi
Epilepsi disebabkan beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi otak, antara lain : 10
adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik
3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya; cedera
kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
Penyebab epilepsi dilihat dari umur. Biasanya disebabkan paling sering karena pada
bayi terjadi asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan
metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau infeksi; pada anak dan remaja kebanyakan
epilepsi idiopatik dan pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi oleh karena idiopatik,
II.4.3. Klasifikasi
berikut :
a. Epilepsi parsial
unilateral), gejala sensorik dari visual, auditory, olfactory, gustatory (halusinasi seperti
epigastrium, panas, berkeringat, kemerahan, merinding dan dilatasi pupil), gejala psikis
Epilepsi parsial komplek pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti
Epilepsi sekunder umum adalah epilepsi parsial sederhana atau komplek yang
menit.13
b. Epilepsi umum
Epilepsi absence ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, sering salah
diagnosis sebagai melamun. Ditandai dengan tatapan mata yang kosong, kelopak mata
bergetar, berkedip dengan cepat yang berlangsung beberapa detik. Kejang absence
hampir selalu terjadi pada anak, jarang dijumpai pada usia diatas 20 tahun. Setelah
pubertas biasanya menghilang atau digantikan dengan kejang tipe lain, terutama kejang
tonik klonik.13
2) Epilepsi mioklonik
Epilepsi mioklonik ditandai dengan kontraksi menyerupai syok mendadak yang terbatas
3) Epilepsi klonik
Gejala yang ditimbulkan pada epilepsi klonik adalah gerakan menyentak, repetitif,
4) Epilepsi tonik
Epilepsi tonik ditandai dengan peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku,
kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Kejang
berupa rasa tidak enak, nteri kepala, insomnia, perubahan suasana hati (mood), euforia,
dan iritabel. Hal ini terjadi beberapa jam atau hari sebelum serangan.
Epilepsi tonik klonik diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Penderita
kehilangan posisi berdiri, mengalami gerakan tonik kemudian klonik. Terjadi spasme
tonik-klonik otot, inkontinensia urin, menggigit lidah. Pada fase tonik, otot-otot
berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik.
selama 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin
berlangsung beberapa menit sampai 30 menit. Setelah sadar mungkin pasien tampak
kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut periode pascaiktus.
6) Epilepsi atonik
Epilepsi atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot postural sehingga pada keadaan
yang berat pasien dapat terjatuh. Serangan berlangsung kurang dari 1 menit.
II.4.4. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang
neurotransmitter inhibitorik.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah membran
neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat
sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion
kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.
Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel,
bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.14
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar A). Jika terjadi mutasi
pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus,
maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula
sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau
terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar B). Hal yang sama terjadi pada benign familial
neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium
yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar C).15
Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini
dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal
2. Fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi
Teori patofisiologi lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor
GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai
inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida.
Pada epilepsi lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula
dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan
akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan
adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Saat terjadi suatu mekanisme cedera di otak
maka akan terjadi eksitoksisitas glutamat dan meningkatkan aktivitas NMDA (N-Methyl-D-
Aspartate) reseptor dan terjadi influk ion kalsium yang berlebihan dan berujung pada
kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel
yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.10
Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini
merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate
(kanal natrium dan kalium). Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam
komunikasi sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut
maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid
(GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkolin di hipokampus yang
secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan
mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan
lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui
2. Lama bangkitan
4. Frekuensi bangkitan
5. Faktor pencetus. Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya
yang berkedip, menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi
alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
c. Pemeriksaan Penunjang
yang mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan
2. Pemeriksaan Radiologis
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
Epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.15
II.4.6. Pengobatan
1. Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interaksi antar OAE
2. Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,
kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/didapat hasil yang optimal dan
konsentrasi plasma OAE pada kadar kadar maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi,
3. Konseling. Edukasi keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama tidak akan
menimbulkan keadaan demikian) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat
sepengetahuan dokter.
4. Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas OAE.
Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodik pada beberapa
OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara rutin.
5. Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan
dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat
mencetuskan bangkitan atau bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau
tahun.
Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan diagnosis dan jenis
OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita menghadapi penyakit
epilepsi.
Memulai Pengobatan 18
1. Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi dua kali bangkitan dalam selang waktu yang
2. Pada umumnya, bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali bila terdapat
3. Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu OAE, kecuali
mengganggu penderita.
gabapentin, lamotrigine,
levetiracetam,
oxcarbazepine,
phenobarbital, phenytoin,
pregabalin, primidone,
rufinamide, tiagabine,
topiramate, valproate,
vigabatrin, zonisamide
Absence (typical Aretazolamide, clobazam, Carbamazepine,
valproate
vigabatrin
zonisamide
ANALISIS KASUS
I. ANAMNESA
A. AUTO ANAMNESA
- Keluhan utama pasien marah- marah
- Pasien tidak dapat menyebutkan nama aslinya, pasien mengaku punya
banyak julukan yang diberikan oleh banyak sumber (Allah, Nabi
Muhammad, dll). Saat ditanya umur pasien lupa umur, tanggal lahir
- Pasien mengaku datang kesini karena merasa dihukum oleh Allah.
- Pasien mengaku tangannya digores dengan pisau, pasien tidak menjawab
alasan mengapa menggores tangannya dengan pisau
- Pasien mengaku menendang nendang barang barang di rumah karena
mengatakan Allah bermuka dua dan setan bermuka dua .
B. HETERO ANAMNESA
- Pasien marah-marah, menghantam memukuli orang jika merasa tersinggung,
termasuk keluarganya.
- Gejala tersebut muncul sejak 2 tahun lalu, makin buruk 5 hari terakhir, saat
marah pasien memecahkan kaca dan memukul-mukul kepala sendiri.
- saat usia 10 tahun pasien suka menyilet lengan sendiri tiap kali merasa
marah
- Bicara dengan hewan
- Pasien merasa mudah tersinggung sejak 2 tahun lalu.
- Sebelum pasien suka memukul muka sendiri, psien mengalami kejang dan
tidak sadar, disertai mulut berbusa 5 bulan lalu saa di mushola.
STATUS NEUROLOGIK
GCS : E4V5M6
STATUS PSIKIATRIK
Kesan Umum : Pasien datang berjalan sendiri, tampak kurang rapi, tidak kooperatif,
tidak komunikatif.
Kontak : Verbal (+), Non Verbal (-), Irrelevan (+), Tidak lancer (+)
Kesadaran : Berubah Kualitatif
Afek/Emosi : Dangkal
Kemauan : Menurun
Psikomotor : Meningkat
2. INTERPRETASI KASUS
Dalam hierarki diagnosis gangguan jiwa kita terutama harus menggolongkan, apakah
gangguan jiwa ini termasuk psikosis atau neurosis
a. Psikosis : Suatu gangguan jiwa berat dengan kehilangan rasa kenyataan (sense
of reality) yaitu gangguan kemampua daya menilai realitas, hendaya berat dalam
faktor mental, hendaya berat dalam faktor sehari-hari
b. Neurosis : Suatu gangguan jiwa tidak berat.
Menurut maramis, neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara
emosional karena tidak dapat diselesaikan nya suatu konflik
Menurut PPDGJ merupakan gangguan mental yang tidak punya dasar organik
yang dapat ditunjukkan pasien, cukup mempunyai tilikan, serta kemampuan
daya nilai realitas nya tidak terganggu dan perilakunya biasanya masih dalam
batas normal serta kepribadian nya masih tetap utuh.
PSIKOSA NEUROSA
Perilaku umum
a. Dekompensasi Berat Ringan
pribadian
b. Sense reality Berat Sedikit terganggu
c. Interaksi sosial Tidak bisa Baik
Gejala
a. Psikologi dan Bervariasi luas Bervariasi luas
somatik
b. Waham / halusinasi + -
c. Gang. Proses berpikir + -
d. Gang. Emosi Inadekuat Dirasakan oleh pemeriksa
e. Gang. Perilaku Hebat Relatif masih baik
Insight Terganggu Relatif masih baik
Aspek Sosial
a. Perilaku + -
membahayakan diri
sendiri
b. Bahaya lingkungan + -
Penanganan akut Saat akut MRS Jarang MRS
Prognosa Buruk Baik
Pada pasien diatas lebih mengarah ke arah gangguan psikotik, karena keadaan pasien
terdapat gangguan dalam menilai realita, gangguan interaksi sosial, terdapat waham,
terdapat halusinasi, gangguan emosi, gangguan perilaku, perilaku membahayakan diri
sendiri dan orang lain.
Setelah digolongkan dalam gangguan jiwa psikosa maka psikosa dapat dibedakan
menjadi dua :
Yaitu F 60.8 : Gangguan mental lain yang ditentukan akibat kerusakan dan
disfungsi otak dan penyakit fisik
1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilak Psikiatri Klinis,
Edisi ketujuh, Jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 2010. hal 481-570.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2008. hal 189-192.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Editor Dr, Rusdi Maslim.
Jakarta 2003. hal 3-43.
5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University
Press, Surabaya 1992. hal 179-211.
6. Kaplan. H. I, Sadock B.J. Phsychiatry Text Book.
7. Browne TR, Holmes GL. 2000. Epilepsy: definitions and background. In: Handbook of
epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins hal.1-18
8. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pendahuluan, definisi, klasifikasi, etiologi,
dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI hal.1-13
9. Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic seizures
and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE)
and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia; 46(4):470-2
10. Octaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Dalam: Medicinus Scientific journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application. Medicinus Vol. 21, No.4 hal.121-124
11. Ikawati, Zullies. 2009. Epilepsi:Lecture Notes. (Online) Diakses di:
zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp.../epilepsy.pdf Pada tanggal 7 September 2014.
12. Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.1158-1164
13. American Society of Epilepsy.2010
14. Raharjo, Tri B. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun.
Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
15. Utomo, Tranggono Y. 2011. Dosis dan Lama Pemberian Fenitoin Sebagai Faktor Risiko
Timbulnya Hiperplasia Ginggiva Pada pasien Epilepsi. Tesis. Program pascasarjana
Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf
Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
16. Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second Edition. Blakwell
Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 75
17. Katzung, Bertram G. 1998. Obat Antiepilepsi pada Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC:
Jakarta. Hal.380-384
18. Dewanto G., Suwono W.J., Riyanto B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tata Laksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC
19. Utama, Hendra dan Vincent H.S. 2009. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam
Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: FKUI. Hal. 179-185