Anda di halaman 1dari 49

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITIAS PASIEN

Nama : Sdr.S

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Laki

Tempat/ Tgl.Lahir : Pasuruan/ 23 Desember 1991

Agama : Islam

Suku Bangsa : Madura

Status Marital : Belum menikah

Pendidikan terakhir : SD

Perkejaan terakhir : Petani

Alamat pasien saat ini : Dusun Tampung RT/RW 001/004, Tampung Pasuruan

Waktu pemeriksaan : Tanggal Jam 11.00 WIB

Dokter pemeriksa : dr. Winaryani

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : Marah-marah
B. Auto Anamnesis :
Saat diperiksa pasien merasa curiga dengan pemeriksa dengan menanyakan ma ma
apa? Pasien tidak dapat menyebutkan nama aslinya, pasien mengaku punya banyak
julukan yang diberikan oleh banyak sumber (Allah, Nabi Muhammad, dll). Saat ditanya
umur pasien lupa umur, tanggal lahir. Pasien mengaku lahir di Lampung tahun 1993.
Pasien mengaku datang kesini karena merasa dihukum oleh Allah. Pasien tidak
menjawab kenapa di hukum. Pasien dapat menyebutkan tentang waktu/tempat/orang.
Pasien mengaku tangannya digores dengan pisau, pasien tidak menjawab alasan
mengapa menggores tangannya dengan pisau. Pasien mengaku menendang nendang
barang barang di rumah karena mengatakan Allah bermuka dua dan setan bermuka
dua. Karena itu pasien marah. Pasien mengaku tidak mandi karena merasa dihukum
oleh Allah. Pasien mengaku pernah melakukan pekerjaan merampok, membunuh, dll.
Tapi bekerja sebagai buruh karena di hukum.
C. Hetero Anamnesis {didapat dari : Bapak ( Ayah Pasien ) }
1. Rincian keluhan utama
- Pasien marah-marah, menghantam memukuli orang jika merasa tersinggung,
termasuk keluarganya.
- Gejala tersebut muncul sejak 2 tahun lalu, makin buruk 5 hari terakhir, saat marah
pasien memecahkan kaca dan memukul-mukul kepala sendiri.
- saat usia 10 tahun pasien suka menyilet lengan sendiri tiap kali merasa marah.
2. Gejala lain yang menyertai keluhan utama
- Bicara dengan hewan.
- Tidak mau dipisahkan dengan ayahnya.
3. Gejala prodromal
Pasien merasa mudah tersinggung sejak 2 tahun lalu.
4. Peristiwa terkait dengn keluhan utama
- Pasien marah jika dilihat oleh orang-orang
- Sebelum pasien suka memukul muka sendiri, psien mengalami kejang dan tidak
sadar, disertai mulut berbusa 5 bulan lalu saa di mushola.
5. RPD
- Pasien pertama kali kejang usia 3 bulan karena demam, kejang mulai dari jam 7
pagi sampai dengan jam 12 malam, sejak itu pasien sering kejang.
- Pasien rutin minum obat sampai dengan usia 15 tahun, selama minum obat,
pasien tidak kejang. Setelah berhenti minum obat pasien jadi sering kejang.
6. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan anak
- Selama kehamilan tidak ada masalah
- Persalinan normal
- Sering kejang sejak usia 3 bulan
7. Riwayat sosial dan pekerjaan
- Pasien tidak bekerja hanya dirumah, sehari hanya beribadah (sholat, mengaji,
wirid) dan tidak mau membantu pekerjaan rumah.
- Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara, pasien tinggal dengan keluarga inti
- Pendidikan pasien sampai kelas 5 SD dan MI sampai kelas 6.
Faktor Kepribadian Premorbid
Sabar, pemalu, punya banyak teman, baik dengan tetangga
Faktor Keturunan
Tidak ditemukan
Faktor Organik
Epilepsi sejak kecil, terakhir kejang 3 hari yang lalu
Faktor Pencetus
Kejang

III. STATUS INTERNISTIK

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Respirasi : 22x/menit

Nadi : 90x/menit

Suhu : 37C

Keadaan Umum : Compos Mentis

Kepala / Leher : A/I/C/D -/-/-/-, Pembesaran KGB

Thorax : Pulmo = ves/ves, rh-/-, wh -/-

Cor = S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : flat, supel, meteorismus (-), BU (+) normal

Ekstremitas : AH + + Edema
+ +
+ + + +

Terdapat luka lecet di kaki kanan dan kiri. Tangan pasien terdapat
bekas luka-luka ukiran nama Ayu dan ukiran-ukiran lain.

IV. STATUS NEUROLOGIK

GCS : E4V5M6

Meningeal Sign : Kaku Kuduk (-)

Refleks Fisiologis : BPR + + APR + +


KPR + + TPR + +

Refleks Patologis : Babinski (-), Chaddock (-)


V. STATUS PSIKIATRIK

Kesan Umum : Pasien datang berjalan sendiri, tampak kurang rapi, tidak kooperatif,
tidak komunikatif.

Kontak : Verbal (+), Non Verbal (-), Inkohern (+), Tidak lancer (+)

Kesadaran : Berubah Kualitatif

Orientasi : W/T/O (+)/(+)/(+)

Daya Ingat : Amnesia (-)

Persepsi : Halusinasi Auditorik (+)

Proses berfikir : Bentuk = Nonrealistik

Arus = Asosiasi Longgar (+), Blocking (+)

Isi = Waham bizar (+)

Afek/Emosi : Dangkal

Kemauan : Menurun

Psikomotor : Meningkat

VI. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Axis I : F 06.8 Gangguan Mental Organik

Axis II : Sabar, pemalu, banyak teman

Axis III : G 40.909 Epilepsi

Axis IV : masalah pendidikan

Axis V : GAF scale 20 11

VII. RENCANA TINDAK LANJUT

- Inj. Haloperidol 1 Ampul IM


- Phenitoin HCl 3x100mg
- Halloperidol 1,5 mg 2x1
- Clobazam 2x10mg
- B6 2x1 tablet

PROGNOSIS : Dubia ad malam

FOLLOW UP

Hari,Tgl Selasa, 9-9-2014 Rabu, 10-9-2014 Kamis, 11-9-2014 Jumat, 12-9-2014


Subjektif Pasien terlihat Ingin pulang karena Hari ini lebih banyak Hari ini lebih banyak
tengan di tempat diruangan ini banyak tidur tidur
tidurnya penyakit gila
Objektif Kesan Umum : Kesan Umum : laki- Kesan Umum : laki- Kesan Umum : laki-
laki-laki dewasa, laki dewasa, roman laki dewasa, roman laki dewasa, roman
roman muka sesuai muka sesuai usia, muka sesuai usia, muka sesuai usia,
usia, memakai baju memakai baju memakai baju memakai baju
seragam RSJ, seragam RSJ, rambut seragam RSJ, rambut seragam RSJ, rambut
rambut cepak, cepak, tenang, cepak, tenang, cepak, tenang,
tenang, kooperatif. kooperatif. kooperatif. kooperatif.
Kontak : verbal (+) Kontak : verbal (+) Kontak : verbal (+) Kontak : verbal (+)
nonverbal (+) nonverbal (+) nonverbal (+) nonverbal (+)
Kesadaran : Jernih Kesadaran : Jernih Kesadaran : Jernih Kesadaran : Jernih
Orientasi : Orientasi : Orientasi : Orientasi :
W+/T+/O+ W+/T+/O+ W+/T+/O+ W+/T+/O+
Daya Ingat : Baik Daya Ingat : Baik Daya Ingat : Baik Daya Ingat : Baik
Persepsi : Persepsi : Persepsi : Persepsi :
Halusinasi Halusinasi Auditorik Halusinasi Auditorik Halusinasi Auditorik
Auditorik Proses Berpikir : Proses Berpikir : Proses Berpikir :
Proses Berpikir : Bentuk : Non Bentuk : Non Bentuk : Non
Bentuk : Non Realistik Realistik Realistik
Realistik Arus : neologisme Arus : neologisme Arus : neologisme
Arus : neologisme Isi : waham bizar Isi : waham bizar Isi : waham bizar
Isi : waham bizar Mood/Afek : datar Mood/Afek : datar Mood/Afek : datar
Mood/Afek : datar Kemauan : ADL Kemauan : ADL Kemauan : ADL
Kemauan : ADL menurun, sosial menurun, sosial menurun, sosial
menurun, sosial menurun, pekerjaan menurun, pekerjaan menurun, pekerjaan
menurun, pekerjaan menurun menurun menurun
menurun Psikomotor : Psikomotor : Psikomotor :
Psikomotor : menurun menurun menurun
menurun
Assesme Axis I : F 06.8 Axis I : F 06.8 Axis I : F 06.8 Axis I : F 06.8
nt Gangguan Mental Gangguan Mental Gangguan Mental Gangguan Mental
Organik Organik Organik Organik
Axis II : Sabar, Axis II : Sabar, Axis II : Sabar, Axis II : Sabar,
pemalu, banyak pemalu, banyak pemalu, banyak pemalu, banyak
teman teman teman teman
Axis III : G 40.909 Axis III : G 40.909 Axis III : G 40.909 Axis III : G 40.909
Epilepsi Epilepsi Epilepsi Epilepsi
Axis IV: maslah Axis IV: maslah Axis IV: maslah Axis IV: maslah
pendidikan pendidikan pendidikan pendidikan
Axis V : GAF scale Axis V : GAF scale Axis V : GAF scale Axis V : GAF scale
40-31 40-31 40-31 40-31
Planning - Phenitoin HCl - Phenitoin HCl - Phenitoin HCl - Phenitoin HCl
2x100mg 1-0-1 2x100mg 1-0-1 2x100mg 1-0-1 2x100mg 1-0-1
- Halloperidol 5 - Halloperidol 5 - Halloperidol 5 mg - Halloperidol 5
mg 2x1 1-0-1 mg 2x1 1-0-1 2x1 1-0-1 mg 2x1 1-0-1
- Clobazam - Clobazam - Clobazam 2x10mg - Clobazam
2x10mg 1-0-1 2x10mg 1-0-1 1-0-1 2x10mg 1-0-1
- Triheksilphenidil - Triheksilphenidil - Triheksilphenidil - Triheksilphenidil
2x2mg 1-0-1 2x2mg 1-0-1 2x2mg 1-0-1 2x2mg 1-0-1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Gangguan Mental Organik (GMO)

Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu


patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovaskuler,
intoksifikasi obat).1,2,3 Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak
ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya skizofrenia, depresi).
Berdasarkan sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan
yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut
fungsional.1 Didalam DSM IV diputuskan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik
dan fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut
Gangguan Mental Organik dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium,
Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu
kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.1
Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang
dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera
atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak, disfungsi ini dapat primer seperti pada
penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder,
seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari
beberapa organ atau sistem tubuh.4 PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik
dengan Gangguan Mental Organik. Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan
sindrom (gejala) psikologik atau perilaku tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental
Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak
Organik dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya
(reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu dan akan berdasarkan
penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama
Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang menurun (delirium) dan sesudahnya
terdapat amnesia, pada Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah demensia.2,4

II.2. Penggolongan Diagnosis Gangguan Mental Organik

A. Klasifikasi gangguan mental organik menurut PPDGJ III adalah :


1. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
1.2 Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat
1.3 Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran
1.4 Demensia pada penyakit Alzheimer yang tidak tergolongkan (YTT)
2. Demensia Vaskular
2.1 Demensia Vaskular onset akut
2.2 Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal
2.4 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5 Demensia Vaskular lainnya
2.6 Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1 Demensia pada penyakit Pick
3.2 Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob
3.3 Demensia pada penyakit huntington
3.4 Demensia pada penyakit Parkinson
3.5 Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV)
3.6 Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai
berikut :
a. Tanpa gejala tambahan
b. Gejala lain, terutama waham
c. Gejala lain, terutama halusinasi
d. Gejala lain, terutama depresi
e. Gejala campuran lain
5. Sindrom amnesik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lainnya
6.1 Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2 Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6.3 Delirium lainnya
6.4 Delirium YTT
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik
7.1 Halusinosis organik
7.2 Gangguan katatonik organik
7.3 Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4 Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik
7.4.1 Gangguan manik organik
7.4.2 Gangguan bipolar organik
7.4.3 Gangguan depresif organik
7.4.4 Gangguan afektif organik campuran
7.5 Gangguan anxietas organik
7.6 Gangguan disosiatif organik
7.7 Gangguan astenik organik
7.8 Gangguan kopnitif ringan
7.9 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain
YDT
7.10 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi otak
8.1 Gangguan keperibadian organik
8.2 Sindrom pasca-ensefalitis
8.3 Sindrom pasca-kontusio
8.4 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak lainnya
8.5 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak YTT
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT
B. Klasifikasi gangguan mental organik menurut Maramis adalah :
1. Demensia dan Delirium
2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.
3. Aterosklerosis otak
4. Demensia senilis
5. Demensia presenilis.
6. Demensia paralitika.
7. Sindrom otak organik karena epilepsi.
8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan
intoksikasi.
9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.
C. Klasifikasi gangguan mental organik menurut DSM IV adalah :
1. Delirium
1.1 Delirium karena kondisi medis umum.
1.2 Delirium akibat zat.
1.3 Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia.
2.1 Demensia tipe Alzheimer.
2.2 Demensia vaskular
2.3 Demensia karena kondisi umum.
2.3.1 Demensia karena penyakit HIV
2.3.2 Demensia karena penyakit trauma kepala
2.3.3 Demensia karena penyakit Parkinson
2.3.4 Demensia karena penyakit Huntington
2.3.5 Demensia karena penyakit Pick
2.3.6 Demensia karena penyakit Creutzfeldt Jakob
2.4 Demensia menetap akibat zat
2.5 Demensia karena penyebab multipel
2.6 Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1 Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.

II.3. Delirium

II.3.1. Definisi

Delirium menunjuk kepada sindrom otak organik akibat gangguan fungsi atau
metabolisme otak secara umum atau karena keracunan yang menghambat metabolisme otak.5

II.3.2. Epidemiologi

Delirium merupakan gangguan yang umum. Terdapat beberapa faktor risiko yang
dapat menyebabkan delirium misalnya usia lanjut, usia muda, cedera otak yang telah ada
sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan sensoris
dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostik yang buruk. 1,6

II.3.2. Etiologi

Penyebab delirium dapat terbagi menjadi penyebab intrakranial dan ekstrakranial.


Beberapa contoh penyebab intrakranial adalah epilepsi atau keadaan pasca kejang, trauma
otak (terutama gegar otak), infeksi (meningitis, ensefalitis), neoplasma, dan gangguan
vaskular. Sedangkan penyebab ekstrakranial dapat berupa : 1,3,4
Obat-obatan (di telan atau putus) : antikolinergik, antikonvulsan, antiparkinson,
cimetidine, antipsikotik, klonidin, insulin, opiat, fenitoin, ranitidin, steroid, sedatif
(termasuk alkohol), disulfiram
Racun : karbon monoksida, logam berat dan racun industri lain
Disfungsi endokrin (hipo/hiperfungsi) : hipofisis, pankreas, adrenal, paratiroid, tiroid
Penyakit organ non-endokrin : hati (ensefalopati hepatik), ginjal dan saluran kemih
(ensefalopati uremik), paru-paru (narkosis karbon dioksida, hipoksia), sistem
kardiovaskular (gagal jantung, aritmia, hipotensi)
Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asam folat)
Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
Ketidakseimbangan elektrolit dengan penyebab apapun
Keadaan pasca operatif
Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
Karbohidrat: hipoglikemi
II.3.3. Manifestasi Klinis

Gambaran kunci delirium adalah suatu gangguan kesadaran. Delirium mungkin


didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia,
halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari, dan kegelisahan.1,6
1. Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium.
Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan.
Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan
dengan putus zat sering kali mempunyai delirium yang hiperaktif yang juga dapat disertai
dengan tanda otonomik, seperti kemerahan, kulit pucat, berkeringat, takikardia, pupil
berdilatasi, mual muntah dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang
diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik, atau mengalami demensia. Pasien dengan pola
gejala campuran hipoaktivitas dan hiperaktivitas juga ditemukan dalam klinis. 1,6
2. Orientasi
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan pada kasus delirium yang ringan.
Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain mungkin juga
terganggu pada kasus yang berat. Pasein delirium jarang kehilangan orientasi terhadap
dirinya sendiri. 1,6
3. Bahasa dan kognisi
Pasien dengan delirium sering kali mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan
dapat berupa bicara yang ngelantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan
gangguan untuk mengerti pembicaraan. 1,6
Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu adalah fungsi ingatan dan kognitif
umum. Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan, dan mengingat kenangan
mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan.
Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan
mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang paranoid.1,6
4. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk
membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu mereka, akibatnya pasien sering kali tertarik oleh stimuli yang yang
tidak relevan atau menjadi teragitasi jika dihadapkan denga informasi baru. Halusinasi
juga relatif sering pada pasen delirium. Halusinansi yang paling sering adalah visual dan
auditoris walaupun halusinansi dapat juga taktil atau olfaktoris. Halusinasi visual dapat
terentang dari gambar geometrik sederhana atau pola berwarna orang yang berbentuk
lengkap dengan pemandangan. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium. 1,6
5. Mood
Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood. Gejala
yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan.
Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah apati, depresi, dan
euphoria. Beberapa pasien dengan cepat berpindah di antara emosi tersebut dalam
perjalanan sehari.1,6

II.3.4. Gejala Penyerta


Gangguan bangun tidur. Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah
terganggu. Pasien sering kali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tertidur
sekejap. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Sering
kali keseluruhan siklus tidur bangun pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien
sering kali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur situasi klinis yang
dikenal luas sebagai sundowning. Kadang pasien dengan delirium mendapat mimpi buruk
yang terus berlangsung ke keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.1,6
Gejala neurologis. Pasien dengan delirium sering kali mempunyai gejala neurologis
yang menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi dan inkontinensia urin.
Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan delirium.1,6
II.3.5. Pemeriksaan Fisik

Delirium biasanya didiagnosis pada sisi tempat tidur dan ditandai oleh onset gejala
yang tiba-tiba. Penggunaan status pemeriksaan mental bedside seperti Mini Mental State
Examination (MMSE) pemeriksaan fisik sering kali mengungkapkan petunjuk adanya
penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang diketahui atau riwayat trauma kepala atau
ketergantungan alkohol atau zat lain meningkatkan kemungkinan diagnosis. 1,6

II.3.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan tergantung pada situasi klinis. EEG pada
delirium secara karakteristik menunjukkan perlambatan umum pada aktivitas dan dapat
berguna dalam membedakan delirium dari depresi atau psikosis. EEG dari seorang pasien
yang delirium sering kali menunjukkan daerah fokal hiperaktivitas.1,6
II.3.7. Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik untuk delirium karena kondisi medis umum


Gangguan kesadaran (yaitu, penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan ) dengan
penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.
Perubahan kognisi atau berkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan
demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan, atau yang sedang timbul.
Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat dan cenderung berfluktuasi selama
perjalanan hari.
Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa
gangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis langsung dari kondisi medis umum.
Kriteria Diagnostik untuk Delirium Putus Zat
a. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran tehadap lingkungan)
dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan atau
mengalihkan perhatian.
b. Perubahan kognisis (seperti defisit daya ingat, disorientasi, gangguan bahasa) atau
perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang
telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan atau yang sedang timbul.
c. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat dan cendrung
berfluktuasi selama perjalanan hari.
d. Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gejala dalam kriteria a dan b berkembang selama, atau segera
setelah suatu sindrom putus.

Kriteria Diagnostik untuk Delirium yang Tidak Ditentukan


Kategori ini harus digunakan untuk mendiagnosis suatu delirium yang tidak memenuhi
kriteria salah satu tipe delirium yang dijelaskan dalam bagian ini.
a. Suatu gambaran klinis delirium yang dicuriagai karena kondisi karena kondisi media
umum atau pemakaian zat tetapi di mana tidak terdapat cukup bukti untuk
menegakkan suatu penyebab spesifik
b. Delirium karena penyebab yang tidak dituliskan dalam bagian ini misal pemutusan
sensorik

II.3.8. Diagnosis Diferensial

Diagnosis diferensial yang mungkin pada delirium adalah :

a. Demensia
Penting untuk membedakan delirium dari demensia. Berbeda dengan onset delirium yang
tiba-tiba, onset demensia biasanya perlahan. Walaupun kedua kondisi melibatkan
gangguan kognitif, perubahan demensia adalah lebih stabil dengan berjalannya waktu dan
tidak berfluktuasi selama perjalanan sehari. Kadang-kadang delirium terjadi pada pesien
yang menderita demensia yang dikenal sebagai pengaburan demensia (beclouded
dementia). Suatu diagnosis delirium dapat dibuat jika terdapat riwayat definitif tentang
demensia yang ada sebelumnya.1,6
b. Psikosis atau depresi
Delirium juga harus dibedakan dengan skizofrenia dan gangguan depresif. Pasien dengan
gangguan buatan mungkin berusaha untuk menstimulasi gejala delirium. Pasien dengan
gejala hipoaktif dari delirium mungkin tampak agak mirip dengan pasien yang depresi
berat tapi dapat dibedakan atas dasar EEG. Diagnosis psikiatrik lain yang dapat
dipertimbangkan dalam diagnosis banding delirium adalah gangguan psikotik singkat,
gejala skizofreniform, dan gangguan disosiatif.1,6

II.3.9. Pengobatan

Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Bila
kondisinya akibat toksisitas antikolinergik, penggunaan physostigmine salicylate
(Antrilirium) 1- 2 mg IV atau IM dengan dosis ulang dalam 15-30 menit dapat diindikasikan.
Tujuan pengobatan yang penting lainnya dalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan
lingkungan. Bantuan fisik adalah diperlukan sehingga pasien delirium tidak masuk ke dalam
situasi dimana mereka mungkin mengalami kecelakaan. Pasien dengan delirium tidak boleh
dalam lingkungan tanpa stimulasi sensorik atau dengan stimulasi yang berlebihan.1,6
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis
adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari psikosis adalah haloperidol (Haldol)
dengan dosis awal dapat terentang antara 2 sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam
jika pasien tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dapat dimulai. Dua
dosis oral harian harus mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk
mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari dosis
parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol mugnkin terentang dari 5 sampai 50 mg
untuk sebagian besar pasien delirium.
Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut
disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna. Insomnia paling baik diobati dengan
golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25 sampai
100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus
dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk
gangguan dasar.1,6
II.3.10. Prognosis

Identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab dengan segera akan menghilangkan


gejala delirium dalam waktu 3-7 hari walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu
hingga 2 miggu untuk hilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien, dan semakin lama
pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk
menghilang. Apakah delirium berkembang menjadi demensia belum ditunjukkan dalam
penelitian terkontrol yang cermat. Tetapi, suatu observasi klinis menunjukkan bahwa periode
delirium kadang-kadang diikuti oleh depresi atau gangguan stress pasca traumatik.1,6

II.4. Demensia

II.4.1. Definisi

Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif
tanpa gangguan kesadaran.1,6
II.4.2. Epidemiologi

Demensia sebebnarnya adalah penyakit penuaan. Kira-kira lima persen dari semua
orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer, dibandingkan
dengan 15 sampai 25% sari semua orang yang berusia 85 atau lebih.
II.4.3. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk perkembangan demensia tipe Alzheime adalah wanita,
mempunyai sanak saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut dan mempunyai
riwayat cedera kepala. Sindrom down juga secara karakteristik berhubungan dengan
perkembangan demensia tipe Alzheimer. Tipe demensia yang paling sering kedua adalah
demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit
serebrovakular. Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit. Kira-kira 10
sampai 15 persen pasien menderita demensia vaskular dan demensia tipe Alzheimer yang
terjadi bersama-sama. Penyebab demensia lainnya yang sering masing-masing mencerminkan
satu sampai 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington, dan penyakit Parkinson. 1,6
II.4.4. Etiologi

Demensia mempunyai banyak penyebab tetapi demensia tipe Alzheimer dan demensia
vascular secara bersama-sama berjumlah 75% dari semua kasus. 1,6
1. Demensia tipe Alzheimer
Diagnosis akhir penyakit alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak,
namun demikian, demensia tipe Alzheimer bisanya didiagnosis dalam lingkungan klinis
setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih tidak diketahui, beberapa penelitian
menyatakan bahwa sebanyak 40% pasien mempunyai riwayat keluarga menderita
demensia tipe Alzheimer, jadi faktor genetik dianggap berperan sebagian dalam
perkembangan gangguan dalam sekurangnya beberapa kasus. Angka persesuaian untuk
kembar monozigotikadalah lebih tinggi dari angka untuk kembar dizigotik. Dan dalam
beberapa kasus yang telah tercatat baik, gangguan telah di transmisikan dalam keluarga
melalui suatu gen autosomal dominan, walaupun transimis tersebut adalah jarang.1,6
Neuropatologi
Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dari seorang psien dengan
penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus kortikal dan pembesaran
ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik dan patognomonik adalah bercak-bercak
senilis, kekusustan neurofibriler hilangnya neuronal dan degenerasi granovaskular pada
neuron. Kekusutan neurofibriler bercampur dengan elemen sitoskletal lainnya juga
ditemukan.1,6
Protein prekusor amiloid
Gen untuk protein prekusor amyloid adalah pada lengan panjang dari kromosom 21.
Kelainan neurotransmitter
Neurotransmitter yang paling berperan yang paling berperan dalam patologis adalah
asetilkolin dan norepinephrine, keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif pada penyakit
Alzheimer. Ditemukan juga penurunan konsentrasi asetilkolin dan kolin asetil transferase
di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah enzim kunci untuk sintesis asetilkolin, dan
penurunan konsentrasi kolin asetiltransferase menyatakan penurunan jumlah neuron
kolinergik yang ada. Dukungan tambahan untuk hipotesis deficit kolinergik berasal dari
observasi bahwa antagonis kolinergik seperti physostigmine dan arecholine telah
dilaporkan meningkatkan kemampuan kognitif. Penurunan aktivitas norepinephrine pada
penyakit Alzheimer diperkirakan dari penurunan neuron yang mengandung
norepinephrine di dalam lokus sereleus yang telah ditemukan pada pemeriksaan patologis
otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua neurotransmitter lain yang berperan
adalah dua peptide neuroaktif, somatostatisn da kortikotropin, keduanya telah dilaporkan
menurun pada penyakit Alzheimer. 1,6
Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolism fosfolipid
membrane menyebabkan membrane yang kekurangan cairan yaitu lebih kaku
dibandingkan normal. Bebrapa peneliti telah menggunakan pencitraan spektroskopik
resonansi molekular untuk memeriksa hipotesis tersebut pada pasein dengan demensia
Alzheimer. Toksisitas alumunium juga telah dihipotesiskan sebagai faktor kausatif, karena
kadar alumunium yang tinggi telah ditemukan dalam otak beberapa pasien dengan
Alzheimer. Suatu gen E4 juga telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer. 1,6
2. Demensia Vakular
Penyebab utama demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular serebral yang
multipel, yang menyebabkan pola gejala demensia. Gangguan dulu disebut sebagai
demensia multi infark. Demensia vaskular paling sering ditemui pada laki-laki, khususnya
pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelunya atau faktor kardiovaskular
lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran kecil dan
sedang, yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar
pada daerah otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah
oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh. Suatu
pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi atau pembesaran
kamar jantung. 1,6
Penyakit Binswanger
Penyakit ini juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal. Penyakit ini
ditandai dengan adanya infark kecil pada substansia alba, jadi menyerang daerah korikal.
Walaupun penyakit ini sebelumnya dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan
teknik pencitraan telah menemukan bahwa kondisi tersebut lebih sering terjadi.
3. Penyakit Pick
Penyakit ini ditandai dengan atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal.
Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan pick
neuronal, yang merupakan masa elemen sitoskletal. Penyakit pick ini berjumlah kira-kira
lima persen dari semua demensia yang irreversible. Penyakit pick ini sulit dibedakan
dengan demensia Alzheimer walaupun stadium awal dari penyakit ini lebih sering ditandai
oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang lebih
bertahan.1,6
4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit ini adalah penyakit degenerative otak yang jarang disebabkan oleh agen yang
progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan, paling mungkin suatu prion yagn
merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung RNA dan DNA. Penyakit ini secara
cepat dan progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematiandalam usia 6-12
tahun. Penyakit ini ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak bisa,
yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi. 1,6
5. Penyakit Huntington
Penyakit ini bisanya disertai dengan perkembangan demensia. Demensia yang terlihat
pada penyakit ini adalah tipe demensia subkortikal yang ditandai dengan kelainan motorik
yang lebih banyak dan kelainan bicara yagn lebih sedikit dibandingkan tipe demensia
kortikal. Demensia padapenyakiti huntinton ditandai oleh perlambatan psikomotor dan
kesulitan melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan,bahasa, dan tilikan tetap relative
utuh pada stadium awal dan menegah penyakit. Tetapi saat penyakit berkembang
demensia menjadi lengkap, can ciri yang membedakan ini dengan demensia tipe
Alzheimer adalah tingginya insidensi depsresi dan psikosis, disamping gangguan
pergerakan kortikosteroid yang klasik. 1,6
6. Penyakit Parkinson
Seperti penyait Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit ganglia basalis yang
sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20-30% pasien dengan dengan
penyakit perkinsin menderita demensia. Pergerakan yang lambat pada penyakit Parkinson
adalah disertai dengan berpikir yagn lambar pada beberapa pasien yang terkena., hal ini
disebut juga bradyphenia. 1,6
7. Demensia yang berhubungan dengan penyakit HIV
Infeksi virus HIV seingkali menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya.
Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV seringkali disertai oleh
tampaknya kelainna parenkimal pada pemeriksaan MRI. 1,6
8. Demensia yang Berhubungan dengan Trauma Kepala
Demensia dapat merupakan suati sekuel dari trauma kepala, demikian juga sindrom
neuropsikitrik. 1,6
II.4.5. Manifestasi Klinis

Pada stadium awal demensia, pasein menunjukkan kesulitan untuk kesulitan untuk
mempertahankan kinerja mental, fatigue, dan kecendrungan untuk gagal jika suatu tugas
adalah baru atau kompleks atau memerlukan penggeseran strategi pemecahan masalah.
Ketidak mampuan mengerjakan tugas menjadi semakin berat. Defek utama dalam demensia
melibatkan orientasi, ingatan, persepsi, fungsi intelektual, dan pemikiran. Dan semua fungsi
tersebut menjadi secara progresif terkena saat proses penyakit berlanjut, perubahan afektif
dan perilaku, seperti control impuls yang defektif dan labilitas emosional sering ditemukan
seperti juga penonjolan dan perubahan sifat kepribadian premorbid. 1,6
1. Gangguan Daya Ingat
Gangguan daya ingat merupakan ciri yang awal dan menonjol pada demensia yang
mengenai korteks, sperti demensia tipe Alzheimer, pada awal perjalanan demensia
gangguan daya ingat adalah ringan dan biasanya paling jelas untuk peristiwa yang baru
terjadi. Saat perjalanan demensia berkembang gangguan emosional menjadi parah dan
hanya informasi yang dipelajari paling baik dipertahankan. 1,6
2. Orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu,
1,6
orientasi dapat terganggu secara progresif, selama perjalanan penyakit demensia.
3. Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai korteks, terutama demensia tipe Alzheimer sedangkan
demensia vaskular dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien. Kesulitan
berbahasa mungkin ditandai oleh cara berkata yang samar, stereotipik, tidak tepat atau
berputar-putar. Psien jugakesulitan untuk menyebutkan nama suatu benda. 1,6
4. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian ini merupakan hal yang paling mengganggu. Sifat kepribadian
sebelumnya mungkin diperkuat Selama perkembangan demensia. Pssien dengan demenisa
juga mungkin introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efdek prilaku
mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham paranoid biasanya
bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan orang lain. Pasein dengan gangguan
frontal dan temporal kemunginan mengalami perubahan kepribadian yangjelas dan mudah
marah yang meledak-ledak.1,6
5. Psikosis
Diperkirakan 20-30% pasien demensia terutama pasien dengan demensia tipe Alzheimer
memiliki halusinasi, dan 30 sampai 40% memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid
atau presekutorik yang itdak sistematik, walaupunn waham yang kompleks menetap,
tersistematik dengan baik juga dilaporkan pada pasien demensia. Agresi fisik dan bentuk
kekerasan lainnya adalah seringpad pasien demensia yang juga mempunyai gejala
psikotik. 1,6
6. Gangguan lain
Psikiatrik
Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi, kecemasan adalh gejala utama
pada kira-kira 40 sampai 50% pasien demensia. Walaupun sindrom gangguan depresif
yang mungin hanya ditemukan pada 10 sampai 20 % psien demensia. Pasien dengan
demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang
ekstrem tanpa provokasi yang terlihat. 1,6
Neurologis
Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia sering juga terjadi. Tanda
neurologis lain adalah kejang dan presentasi neurologis yang atipikal seperti sindrom
lobus parietalis non dominan. Refleks primitif seperti refleks menggenggam, moncong,
mengisap, kaki tonik, dan palmomental mungkin ditemukan pada pemeriksaan
neurologis dan ditemukan juga jerks mioklonis. Pasien dengan demensia vaskular
mungkin mempunyai gejala tambahan seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan,
tanda neurologis fokal dan ganggua tidur yang mungkin menunjukkan lokasi penyakit
serebrovaskular. Pasli serebrobulbar, disatria dan disfagia juga lebih sering pada
demensia vaksular daripada demensia lain. 1,6
Reaksi katastropik
Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan dalam berprilaku abstrak,
kesulitan dalam menbentuk konsep, mengambil perbedaan dan persamaandari konsep
tersebut. Sulitmemecahkan masalah danalasan yang logis. Ditemukan juga control
impulse yang buruk, khususnya pad ademnsia yang mempenaruhi lobus frontalis. 1,6
Syndrome Sundowner
Sindrom ini ditandai dengan mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak
sengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia dengan yang mengalami sedasi
berat da pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap
dosis kecil obat psikoaktif. Sindrom ini juga terjadi pada pasien demensia jika
mendapatkan stimuli external. 1,6
II.4.7. Kriteria Diagnostik

Kriteria Diagnostik untuk Demensia Tipe Alzheimer :


A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik
1. Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru
dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya).
2. Satu (atau lebih) gangguan kogntif berikut :
a) Afasia (gangguan bahasa)
b) Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun
fungsi motoric adalah utuh)
c) Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi benda walaupun
fungsi sensorik adalah utuh)
d) Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
B. Defisit kognitif dalam kriteria al dan a2 masing-masing menyebabkan gangguan yang
bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan
bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.
C. Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu delirium dan menetap
melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus zat.
D. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
bahwa defisit secara etiologis berhubungan dengan efek menetap dari pemakaian zat
(misalnya suatu obat yang disalahgunakan).
Kondisi akibat zat
Defisit tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Aksis I lainnya (misalnya, gangguan
depresif berat, skizofrenia)
Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang menonjol :
1. Dengan onset dini : jika onset pada usia 65 tahun atau kurang
2. Dengan delirium : jika delirium menumpang pada demensia
3. Dengan waham : jika waham merupakan ciri yang menonjol
4. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi
5. (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif
berat) adalah ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan
karena kondisi medis umum tidak diberikan.
6. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun diatas yang menonjol pada gambaran klinis
sekarang
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku.
Catatan penulisan juga tuliskan penyakit Alzheimer pada aksis III.

Kriteria Diagnostik untuk Demensia Vaskular :


A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik,
1. Gangguan daya ingat (ganguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru
dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :
a) Afasia (gangguan bahasa)
b) Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas motoric
ataupun fungsi motorik adalah utuh)
c) Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik adalah utuh)
d) Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
B. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan
yang bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan
bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
C. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian refleks tendon dalam, respon
ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan gaya berjalan, kelemahan pada satu
ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium adalah indikatif untuk penyakit
serebrovaskular (misalnya, infark multipel yang mengenai korteks dan substansia
putih di bawahnya) yang berhubungan secara etiologi dengan gangguan.
D. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
Kode didasarkan pada ciri yang menonjol
1. Dengan delirium :jika delirium menumpang pada demensia
2. Dengan waham jika waham merupakan ciri yang menonjol
3. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk
gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah
ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena
kondisi medis umum tidak diberikan.
4. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun di alas yang menonjol pada gambaran klinis
sekarang.Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku
Catalan penulisan : juga tuliskan kondisi serebrovaskular pada Aksis III.
II.4.8. Diagnosis Diferensial

Diagnosis diferensial demensia dapat berupa :


1. Demensia Tipe Alzheimer vs Demensia Vaskuler
Demensia vaskuler dibedakan dengandemensia Alzheimer adalah dari adanya perburukan
yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskuler selama suatu periode waktu. Gejala
fokal lebih sering ditemukan pada demensia vaskuler. 1,6
2. Demensia Vaskuler vs Serangan Iskemik Transien
Serangan iskemik transien adalah episode singkt disfungsi neurologis fokal yang
berlangsung kurang dari 24 jam. Keadaan ini seringkali disebabkan oleh mikroembolisasi
dari suatu lesi intracranial proksimal. Dan jika hal ini menghilang biasanya tanpa
perubahan patologis yang bermakna pada jaringa parenkim.1,6
3. Delirium
Delirium dibedakan dari onsetnya yang cepat durasi yang singkat, fluktuasi gangguan
kognitif selama perjalanan hari, eksaserbasi nokt nal dari gejala, gangguan jelas dari siklus
bangun tidur, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol. 1,6
4. Depresi
Pada suatu keadaan dimana gangguan kognitif dari demensia sulit dibedakan dari depresi,
hal ini dikenal sebagai pseudodemensia. Pasien dengan disfungsi kognitif yang
berhubungan dengan depresi mempunyai gejala deoresif yagn menonjol, dan mempunyai
lebih banyak tilikan terhadap gejalanya dibanding pasien demensia, dan sering kali
mempunyai riwayat episode depresif dimasa lalu. 1,6
5. Skizofrenia
Walaupun skizofrenia mungkin disertai dengan adanya suatu derajat gangguan intelektual
di dapat gejalanya jauh kurang berat dibandingkan gejala yang berhubungan dengan
psikosis dan gangguan pikiran yang ditemukan pada demensia. 1,6
6. Penuaan Normal
Ketuaan tidak selalu disertai dengan adanya penurunan kognitif yang bermakna, tapi suatu
derajat ringan masalah ingatan dapat terjadi sebagai bagian dari proses penuaan normal.
Kejadian normal tersebut sering kali disebut sebagai benign senescent forgetfulness atau
age associated memory impairment. Keadaan tersebut dapat dibedakan dari demensia oleh
keparahannya yang ringan dan oleh kenyataan bahwa keadaan tersebut tidak mengganggu
secara bermakna pada kehidupan social atau pekerjaan pasien. 1,6
II.4.9. Pengobatan

Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan tepat
pada waktunya. Pendekatan pengobatan umumpada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan media suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya,
danpengobatan farmakologis untuk gejala spesifik. 1,6
1. Pengobatan Famakologis
Pengobatan yang tersedia saat ini untuk insomnia dan kecemasan, dokter meresepkan
benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresan untuk depresi, dan
antipsikotik untuk waham dan halusinasi. Tapi perlu diperhatikan adanya efdek
idiosinkrartik dari obat lanjut usia sperti perangsanganyang paradoksal, konfusi, dan
peningkatan sedasi. Obat dengan aktivitas kolinergik tinggi dihindari. Benzodiazepine
kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi ansiolitik dan sedative lebih disukai untuk
pasien demensia. 1,6
Tetrahydroaminoacridine telah dianjurkan oleh FDA sebagai suatu pengobatan untuk
penyakit Alzheimer. Obat ini merupakan inhibitor akitivitas antikolinesterase dengan lama
kerja yang agak panjang. Karen aktivitas kolinimimetik dari obat, dapat terjadi peningktan
kadar enzim hati. 1,6
2. Faktor psikodinamik
Pemburukan kemampuan mental mempunyai arti pskiologis yang bermakna pada
pasien dengan demensia. Pengalaman seseorang memiliki kontinuitas selama perjalanan
waktu adalah tergantung pada ingatan. Dari segi psikodinamik, dapat tidak terdapat hal
tertentu seperti suatu demensia yang tidak dapat diobati.
II.4.10. Prognosis

Perjalanan klasik dari dementia adalah onsetnya pada pasien yang berusia 50-an
dan 60-an dengan perburukan bertahap selama 5-10 tahun, yang akhirnya menyebabkan
kematian. Usia saat onset dan kecepatan perburukannya adalah bervariasi diantara tipe
demensia yang berbeda dan dalam kategori diagnostik individual. Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi prognosis : 1,6
1. Faktor psikososial
Keparahan dan perjalanan semensia dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Pasien
yang mempunyai onset demensia yang cepet menggunakan lebih sedikit pertahanan
dibandingkan denga pasien yang mengalami onset bertahap/ kecemasan dan depresi
mungkin memperkuat dan memperburuk gejala, pseudodemensia terjadi pada pasien
depresi yang mengeluh gangguan daya ingat, tetapi pada kenyataannya, menderita
dari suatu gangguan depresif. Jika depresi diobati, defek kognitif menghilang. 1,6
2. Demensia Tipe Alzheimer
Demensia ini dapat dimulai pada setiap usia. Kira-kira setengah dari pasien dengan
demensia tipe Alzheimer mengalami gejala pertamanya pada usia kurang dari 65 dan
70 tahun. Perjalanan gangguan secara karakteristik adalah penurunan bertahap selama
8 sampai 10 tahun, walaupun perjalanan dapat jauh lebih cepat atau jauh lebih
bertahap. Jika gejala demensia telah menjadi berat kematian sering kali terjadi setelah
periode waktu yang singkat.1,6
3. Demensia Vaskular
Berbeda dengan onset demensia tipe Alzheimer, onset demensia vascular
kemungkinan mendadak. Juga berbeda denga demensia tipe Alzheimer terdapat
penahanan kepribadian yang lebih besar pada pasiendengan demensia vaskular.
Perjalanan demensia vaskular sebelumnya telah digambarkan sebagai bertahap dan
setengah-setengah. 1,6
II.5. Gangguan Amnesik

II.5.1. Definisi

Gangguan amnesik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat
yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi social atau pekerjaan. Diagnosis dibuat
apabila pasien mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif. Gangguan amnesik ini
dibedakan dari gangguan dissosiatif. 1,6

II.5.2. Epidemiologi

Tidak ada data pasti mengenai gangguan amnesik ini, bebrapa penelitian melaporkan
adanya insidensi atau prevelensi gangguan ingatan pada penggunaan alkohol dan cedera
kepala.1,6

II.5.3. Etiologi

Struktur anatomi yang terlibat dalam daya ingat dan perkembangan gangguann
amnesik adalah terutama struktur diensefalik, dan struktur lobus midtemporalis. Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa hemisfer kiri lebih kritikal dibanding hemisfer kanan
dalam perkembangan gangguan daya ingat. Gangguan amnesik memiliki banyak penyebab.
Berikut tabel penyebab gangguan amnesik 1,6

Penyebab utama gangguan amnesik


a. Kondisi medis sistemik
Defisiensi tiamin, hipoglikemia
b. Kondisi otak primer
Kejang, trauma kepala, tumor serebral, penyakit serbrovaskular, prosedur bedah pada
otak, ensefalitis, hipoksia, amnesia global transien, trapi elektrokonvulsif, sclerosis
multiple.
c. Penyebab berhubungan dengan zat
Gangguan penggunaan alkohol, neurotoksin, benzodiazepine

II.5.4. Manifestasi Klinis dan Subtipe

Pusat gejala dari gangguan daya ingat yang diandai oleh gangguan pada kemampuan
untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograde) dan ketidakmampuan untuk
mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat (amnesia retrograde) gejala harus
menyebabkan masalah bermakna bagi pasien dalam fungsi sosial dan pekerjaanya. Daya
ingat jangka pendek dan daya ingat baru saja biasanya terganggu. Daya ingat jauh untuk
informasi atau yang dipelajari secara mendalam adalah baik. Tetapi daya ingat untuk
peristiwa yang kurang lama akan terganggu. 1,6
Onset gejala dapat mendadak seperti pada trauma, serangan serebrovaskuler dan
gangguan akibat zat kimia neurotoksik atau bertahap. Amnesia dapat terjadi singkat atau
lama. Berbagai gejala lain dapat menyertai gangguan amnesik. Tetapi jika pasien mempunyai
gangguan kognitif lainnya, diagnosa demensia atau delirium adalah lebih tepat dibandingkan
diagnosis gangguan amnesik. Pasien dengan gangguan amnesik mungkin apatik, tidak
memiliki inisiatif, mengalami episode agitasi tanda provokasi, atau tampak sangat bersahabat
dan mudah setuju. Pasien dengan gangguan amnesik mungkin juga tampak kebingugan dan
berusaha menutupi konfusinya dengan jawaban konfabulasi terhadap pertanyaan. 1,6
1. Penyakit Serebrovaskular
Penyakit serebrovaskular yang mempengaruhi hipokampus mengenai arteri serebralis
posterior dan basilaris beserta cabang-cabangnya. Infark adalah jarang terbatas pada
hipokampus. Infark sering kali mengenai lobus oksipitalis dan parietalis. Jadi gejala
penyerta yang sering dari penyakit serebrovaskuler di daerah tersebut adalah tanda
neurologis fokal yang mengenai modalitas penglihatan atau sensorik. Penyakit
serebrovaskular yang mengenai thalamus medial secara bilateral, khususnya pada bagian
anterior, sering disertai gejala gangguan amnesik. 1,6
2. Sklerosis Multipel
Proses patologis dari sclerosis multiple adalah pembentukan plak yang tampaknya terjadi
secara acak di dalam parenkim otak. Jika plak terjadi di lobus temporalis dan daerah
diensefalik, gejala gangguan daya ingat dapat terjadi. 1,6
3. Sindrom Korsakof
Sindrom Korsakof adalah sindrom amnesik yang disebabkan oleh defisiensi tiamin, yang
paling sering berhubungan dengan kebiasaan nutrisional yang buruk dari seseorang
dengan penyalahgunaan alkohol kronis. Penyebab lain nutrisi yang buruk, karsinoma
lambung, hemodialisis, hiperemesis gravidarum, hiperalimentasi intravena berkepanjangan
dan pelipatan lambung juga dapat mengakibatkan defisiensi tiamin. Penyakit ini sering
disertai denga ensefalopati Wernicke yang merupakan sindrom penyerta berupa konfusi,
ataksia, dan oftalmoplegia. Temuan neurofisologi pada penyakit ini menggambarkan
adanya perubahan samar pada akson neuronal. Walaupun delirium menghilang dalam
dalam sebulan atau lebih, sindrom amnesik menyertai atau mengikuti ensefalopati
Wernicke. 1,6
4. Blackout Alcoholic
Pada beberapa orang yang menyalahgunakan alcohol, keadaan ini dapat terjadi dimana
pasien akan terbangun dipagi hari dan tidak mampu mengingat kejadian pada malam
sebelumnya saat terintoksikasi. 1,6
5. Tetapi Elektrokonvulsif
Terapi elektrokonvulsif (ECT) biasanya disertai dengan amnesia retrogard selama
beberapa menit sebelum pengobatan dan suatu amnesia anterogard setelah pengobatan.
Deficit daya ingat ini menetap selama satu sampai dua bulan setelah siklus pengobatan. 1,6
6. Cedera Kepala
Cedera kepala dapat menyebabkan berbagai gejala neuropsikiatrik termasuk demensia,
depresi, perubahan kepribadian, dan gangguan amnestic. Gangguan amnesik yang
disebabkan oleh cedera kepala seringkali berhubungan dengan suatu periode amnesia
retrogard sebelum kecelakaan traumatis dan amnesia teerhadap kecelakaan traumatis
sendiri. Beratnya cedera otak agak berhubungan dengan lamanya dan beratnya sindrom
amnesik, tetapi yang berhubungan paling baik dengan perbaikan akhir adalah derajat
perbaikan klinis amnesia selama minngu pertama setelah pasien mencapai kesadraran. 1,6
II.5.5. Kriteria Diagnostik

Berikut tabel diagnosis berdasarkan DSM-IV


Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Amnesik Karena Kondisi Medis Umum
a. Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang dimanifestasikan oleh gangguan
kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau ketidakmampuan untuk
mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Gangguan daya ingat menyebabkan gangguan bermakna dalam fingsi social atau
pekerjaan dan merupakan penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya
c. Gangguan daya ingat tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium
atau suatu demensia
d. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium
bahwa gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari kondisi medis umum
termasuk trauma fisik

II.5.6. Diagnosis Diferensial

Diagnosis diferensial pada gangguan amnesik adalah :

1. Demensia dan Delirium


Gangguan daya ingat sering ditemukan pada pasien demensia tetapi disertai denga defisit
kognitif lainnya. Gangguan daya ingat jugaseing ditemukan pada delirium tetapi terjadi
pada keadaan gangguan atensi dan kesadaran. 1,6
2. Penuaan normal
Beberapa gangguan ringan pada daya ingat dapat menyertai penuaan nomal. DSM-IV
mengharuskan bahwa gangguan bermakna pada fungsi sosial dan pekerjaan harus
menyingkirkan pasien yang mengalami penuaan nomal dari diagnosis. 1,6
3. Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif kadang-kadang sulit dibedakan dari gangguan amnesik. Tetapi pasien
dengan gangguan disosiatif adalah lebih mungkin mengalami kehilangan orientasi pada
dirinya sendiri dan mungkin menderita defisit daya ingat yang lebih selektif dibandingkan
pasien dengan gangguan amnesik. Gangguan disosiatif juga sering disertai dengan
peristiwa kehidupan yang secera emosional menyebabkan stress yang melibatkan uang,
sistem hukum, atau hubungan yang terganggu. 1,6
4. Gangguan buatan
Pasien dengan gangguan buatan yang menyerupai suatu gangguan amnesik sering kali
mempunyai hasil tes daya ingat yang tidak konsisten dan tidak mempunyai bukti-bukti
suatu penyebab yang dapapt diidentifikasi. 1,6
II.5.7. Pengobatan

Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan amnesik. Setelah
resolusi episode amnesik, suatu jenis psikoterapi dapat membantu pasien menerima
pengalaman ke dalam kehidupannya. 1,6
1. Faktor psikodinamiksa
Intervensi psikodinamika mungkin mempunyai nilai yang baik bagi pasien yang
menderita gangguan amnesik yang disebabkan oleh kerusakan pada otak.
Fase pemulihan pertama dimana pasien tidak mampu memproses apa yang terjadi
karenapertahanan ego yang sangat besar, membuat klinisi melayani sebagai ego penolong
yang membantu menjelaskan kepada pasien tentang apa yang terjadi danmemberikan
fungsi ego yang hilang. Pada pemulihan fase kedua, saat realisasi tentang kejdian cedera
timbul, pasienmungkin menjadi marah. Pemulihan fase ketiga adalah fase integrative.
Kesedihan terhadap kecakapan yang hilang merupakan ciri penting fase ini.
Sebagian besar pasien yang amnesik akibat cedera otak terlibat dalam penyangkalan.
Untuk itu diperlukan empati dan pendekatan yagn sensitif kepada pasien. Selain itu
diperlukan juga suatu pemeriksaan gangguan kepribadian sebelumnya, dimana ciri
kepribadian tersebut dapat menjadi bagian penting dari psikoterapi psikodinamika. 1,6
II.5.8.Prognosis

Penyebab spesifik gangguan amnesik menentukan perjalanan dan prognosisnya bagi


pasien. Onset mungkin tiba-tiba atau bertahap; gejala dapat sementara atau menetap; dan
hasil akhir dapat terentang dari tanpa perbaikan sampai pemulihan lengkap. Gangguan
amnesik sementara dengan pemulihan lengkap adalah sering pada epilepsi lobus temporalis,
ECT, penggunaan obat tertentu seperti benzodiazepine dan barbiturate dan resusitasi dari
henti jantung. Sindrom amnesik permanen dapat mengikuti suatu cedera kepala, keracunan
monoksida, infarks serebral, perdarahan subarachnoid, dan ensefalitis herpes simpleks. 1,6
II.6. Epilepsi

II.4.1. Definisi

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) adalah suatu gejala akibat cetusan pada jaringan

saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil

otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan

umum).7 Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten disebabkan oleh

lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal

disebabkan berbagai etiologi.8

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy

(IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang

ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,

perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang

diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik

sebelumnya. Bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul

sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.9

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE

dan IBE : 10

1. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya

2. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya

3. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan

konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam tatalaksana seorang penderita

epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun

konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh

masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya.10

II.4.2. Etiologi

Epilepsi disebabkan beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi otak, antara lain : 10

1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik.


2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui termasuk disini

adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik

sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya; cedera

kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah

otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Penyebab epilepsi dilihat dari umur. Biasanya disebabkan paling sering karena pada

bayi terjadi asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan

metabolik, malformasi kongenital pada otak, atau infeksi; pada anak dan remaja kebanyakan

epilepsi idiopatik dan pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi oleh karena idiopatik,

cedera kepala, dan tumor.11

II.4.3. Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi berdasarkan American Society Epilepsy (2010) adalah sebagai

berikut :

a. Epilepsi parsial

1) Epilepsi parsial sederhana

Epilepsi parsial sederhana ditandai dengan gejala motorik (gerakan abnormal

unilateral), gejala sensorik dari visual, auditory, olfactory, gustatory (halusinasi seperti

kilatan cahaya, kesemutan, telinga berdengung, vertigo), gejala otonom (sensasi

epigastrium, panas, berkeringat, kemerahan, merinding dan dilatasi pupil), gejala psikis

(gangguan berbahasa, gangguan kognitif, de javu, ketakutan, marah-marah, gangguan

ilusi). Biasanya berlangsung kurang dari satu menit.12

2) Epilepsi parsial kompleks

Epilepsi parsial komplek pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti

dengan hilangnya kesadaran. Durasi serangan berlangsung antara 1 sampai 3 menit.13


3) Epilepsi sekunder umum

Epilepsi sekunder umum adalah epilepsi parsial sederhana atau komplek yang

berkembang menjadi epilepsi umum. Kejang biasanya berlangsung antara 1 sampai 3

menit.13

b. Epilepsi umum

1) Epilepsi absence (Petit mal)

Epilepsi absence ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, sering salah

diagnosis sebagai melamun. Ditandai dengan tatapan mata yang kosong, kelopak mata

bergetar, berkedip dengan cepat yang berlangsung beberapa detik. Kejang absence

hampir selalu terjadi pada anak, jarang dijumpai pada usia diatas 20 tahun. Setelah

pubertas biasanya menghilang atau digantikan dengan kejang tipe lain, terutama kejang

tonik klonik.13

2) Epilepsi mioklonik

Epilepsi mioklonik ditandai dengan kontraksi menyerupai syok mendadak yang terbatas

pada beberapa otot atau tungkai dan berlangsung singkat. 12

3) Epilepsi klonik

Gejala yang ditimbulkan pada epilepsi klonik adalah gerakan menyentak, repetitif,

dapat tunggal atau multipel pada lengan atau tungkai.12

4) Epilepsi tonik

Epilepsi tonik ditandai dengan peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku,

kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Kejang

berlangsung 2 sampi 20 detik.12,13

5) Epilepsi tonik klonik (grand mal)


Serangan kejang epilepsi umum tonik klonik sering didahului oleh gejala prodorma

berupa rasa tidak enak, nteri kepala, insomnia, perubahan suasana hati (mood), euforia,

dan iritabel. Hal ini terjadi beberapa jam atau hari sebelum serangan.

Epilepsi tonik klonik diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Penderita

kehilangan posisi berdiri, mengalami gerakan tonik kemudian klonik. Terjadi spasme

tonik-klonik otot, inkontinensia urin, menggigit lidah. Pada fase tonik, otot-otot

berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik.

Fase klonik memperlihatkan kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi

dan melemas sehingga terjadi gerakan menyentak. Keseluruhan kejang berlangsung

selama 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin

berlangsung beberapa menit sampai 30 menit. Setelah sadar mungkin pasien tampak

kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut periode pascaiktus.

Umumnya pasien tidak dapat mengingat kembali kejadian kejangnya. Pemeriksaan

EEG menunjukkan gelombang lambat paroksismal bilateral dalam periode interiktal.12

6) Epilepsi atonik

Epilepsi atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot postural sehingga pada keadaan

yang berat pasien dapat terjatuh. Serangan berlangsung kurang dari 1 menit.

II.4.4. Patofisiologi

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari

pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran

konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya

sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas

serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler

dan intraseluler dan gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.14


Fokus kejang terjadi pada tingkat membran sel terjadi melalui beberapa fenomena

biokimiawi, termasuk berikut ini : 12

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga lebih mudah mengalami pengaktifan.

b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang melepaskan muatan menurun dan apabila

terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.

c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam

repolarisasi) yang disebabkan kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama

aminobutirat (GABA).

d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang

mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.

Gangguan ini menyebabkan peningkatan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi

neurotransmitter inhibitorik.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah membran

neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat

sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion

kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.

Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel,

bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.14

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium

(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas

depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar A). Jika terjadi mutasi

pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus,

maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula

sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau

terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar B). Hal yang sama terjadi pada benign familial
neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium

yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar C).15

Gambar 1. Gangguan Pompa Na+/K+ pada Kejang

Bangkitan epilepsi terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang

tidak mengikuti pola yang normal sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini

dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori

sinkronisasi ini dapat terjadi karena : 14

1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal

hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi

pelepasan impuls epileptik berlebihan.

Teori patofisiologi lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor

GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai

inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida.

Pada epilepsi lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula

dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan

akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan

adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Saat terjadi suatu mekanisme cedera di otak

maka akan terjadi eksitoksisitas glutamat dan meningkatkan aktivitas NMDA (N-Methyl-D-

Aspartate) reseptor dan terjadi influk ion kalsium yang berlebihan dan berujung pada
kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel

yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.10

Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh

ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.

Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke

sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA (N-Methyl-D-Aspartate) atau

AMPA (A-amino-3 hydroxy-5 Methyl-4 isoxazol Propionic Acid) di postsinaptik.

Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai

patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini

merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan

adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan

pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate

(kanal natrium dan kalium). Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan

kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.

Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam

komunikasi sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut

maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion

ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. 15

Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid

(GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai

sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkolin di hipokampus yang

dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.15

II.4.5. Penegakkan Diagnostik

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi

secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan
mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan

lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui

secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan

elektroensefalografi dan pencitraan otak .

a. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi : 14

1. Pola / bentuk bangkitan

2. Lama bangkitan

3. Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

4. Frekuensi bangkitan

5. Faktor pencetus. Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya

yang berkedip, menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi

alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan

mental, suara suara tertentu, dan drug abuse.

6. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

7. Usia saat serangan terjadinya pertama

8. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

9. Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

10. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti

trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal

atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan kanker. 14

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Elektro ensefalografi (EEG)


Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video EEG secara simultan,

yang mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan

untuk mengetahui tipe bangkitan dan prognosis.12

Indikasi pemeriksaan EEG : 15

a. Membantu menegakkan diagnosis epilepsi

b. Menentukan prognosis pada kasus tertentu

c. Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi (OAE)

d. Membantu dalam menentukan letak fokus

e. Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya.

2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl

lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk

membandingkan hipokampus kanan dan kiri. MRI dapat mendeteksi sklerosis

hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa.12

Indikasi pemeriksaan radiologis : 15

a. Semua bangkitan pertama yang diduga kelainan struktural

b. Adanya perubahan bentuk bangkitan

c. Terdapat defisit neurologis fokal

d. Epilepsi dengan bangkitan parsial

e. Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun

f. Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi

Epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan

epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.15
II.4.6. Pengobatan

Prinsip Terapi Epilepsi adalah : 18

1. Pemilihan obat. Disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interaksi antar OAE

(obat anti epilepsi), dan harga obat.

2. Strategi pengobatan. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis,

kemudian ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi/didapat hasil yang optimal dan

konsentrasi plasma OAE pada kadar kadar maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi,

secara bertahap ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi.

3. Konseling. Edukasi keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama tidak akan

menimbulkan perlambatan mental permanen (meskipun penyebab dasar kejang dapat

menimbulkan keadaan demikian) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat

menurunkan kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus

sepengetahuan dokter.

4. Tindak lanjut. Periksa pasien secara berkala, dan awasi adanya toksisitas OAE.

Pemeriksaan darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodik pada beberapa

OAE. Penting juga dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara rutin.

5. Penanganan jangka panjang. Teruskan pengobatan OAE sampai pasien bebas bangkitan

sekurang-kurangnya 1-2 tahun.

6. Penghentian pengobatan. Dilakukan secara bertahap. Jika penghentian pengobatan

dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat

mencetuskan bangkitan atau bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau

sesudah penghentian pengobatan, OAE harus diberikan lagi sekurang-kurangnya 1-2

tahun.
Untuk keberhasilan pengobatan epilepsi, disamping ketepatan diagnosis dan jenis

OAE, diperlukan juga kepatuhan, sikap dan pengetahuan penderita menghadapi penyakit

epilepsi.

Memulai Pengobatan 18

1. Pengobatan OAE dapat dimulai bila terjadi dua kali bangkitan dalam selang waktu yang

tidak lama (maksimum satu tahun).

2. Pada umumnya, bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE, kecuali bila terdapat

pertimbangan kemungkinan berulang yang tinggi.

3. Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik/psikis biasanya tidak perlu OAE, kecuali

mengganggu penderita.

Tipe bangkitan Obat yang menunjukkan Obat yang dapat

efek memperburuk kejang

Parsial, tonik klonik Acetazolamide,

primer, tonik klonik carbamazepine, clobazam,

sekunder clonazepam, felbamate,

gabapentin, lamotrigine,

levetiracetam,

oxcarbazepine,

phenobarbital, phenytoin,

pregabalin, primidone,

rufinamide, tiagabine,

topiramate, valproate,

vigabatrin, zonisamide
Absence (typical Aretazolamide, clobazam, Carbamazepine,

absence) clonazepam, ethosuximide, gabapentin,

lamotrigine, levetiracetam, oxcarbazepine,

phenobarbital, topiramate, tiagabine, vigabatrin

valproate

mioklonik Clobazam, clonazepam, Carbamazepine,

lamotrigine, levetiracetam, gabapentin,

phenobarbital, piracetam, oxcarbazepine,

topiramate, valproate phenytoin, tiagabine,

vigabatrin

Atipical absence, Acetazolamide, clobazam, Carbamazepine,

tonik dan atonik clonazepam, felbamate, gabapentin,

lamotrigine, phenobarbital, oxcarbazepine,

primidone, rufinamide, phenytoin, tiagabine,

topiramate, valproate, vigabatrin

zonisamide

Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan


BAB III

ANALISIS KASUS

I. ANAMNESA
A. AUTO ANAMNESA
- Keluhan utama pasien marah- marah
- Pasien tidak dapat menyebutkan nama aslinya, pasien mengaku punya
banyak julukan yang diberikan oleh banyak sumber (Allah, Nabi
Muhammad, dll). Saat ditanya umur pasien lupa umur, tanggal lahir
- Pasien mengaku datang kesini karena merasa dihukum oleh Allah.
- Pasien mengaku tangannya digores dengan pisau, pasien tidak menjawab
alasan mengapa menggores tangannya dengan pisau
- Pasien mengaku menendang nendang barang barang di rumah karena
mengatakan Allah bermuka dua dan setan bermuka dua .
B. HETERO ANAMNESA
- Pasien marah-marah, menghantam memukuli orang jika merasa tersinggung,
termasuk keluarganya.
- Gejala tersebut muncul sejak 2 tahun lalu, makin buruk 5 hari terakhir, saat
marah pasien memecahkan kaca dan memukul-mukul kepala sendiri.
- saat usia 10 tahun pasien suka menyilet lengan sendiri tiap kali merasa
marah
- Bicara dengan hewan
- Pasien merasa mudah tersinggung sejak 2 tahun lalu.
- Sebelum pasien suka memukul muka sendiri, psien mengalami kejang dan
tidak sadar, disertai mulut berbusa 5 bulan lalu saa di mushola.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Pasien pertama kali kejang usia 3 bulan karena demam, kejang mulai dari jam
7 pagi sampai dengan jam 12 malam, sejak itu pasien sering kejang.
- Pasien rutin minum obat sampai dengan usia 15 tahun, selama minum obat,
pasien tidak kejang. Setelah berhenti minum obat pasien jadi sering kejang.

D. Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan anak


- Selama kehamilan tidak ada masalah
- Persalinan normal
- Sering kejang sejak usia 3 bulan

E. Riwayat sosial dan pekerjaan


- Pasien tidak bekerja hanya dirumah, sehari hanya beribadah (sholat, mengaji,
wirid) dan tidak mau membantu pekerjaan rumah.
- Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara, pasien tinggal dengan
keluarga inti
- Pendidikan pasien sampai kelas 5 SD dan MI sampai kelas 6.
F. Lain-lain
- Faktor Kepribadian premorbid
Sabar, pemalu, punya banyak teman, baik dengna tetangga
- Faktor keturunan
Tidak ditemukan
- Faktor organik
Epilepsi sejak kecil, terakhir kejang 3 hari yang lalu
- Faktor pencetus
Kejang.

STATUS NEUROLOGIK

GCS : E4V5M6

Meningeal Sign : Kaku Kuduk (-)

Refleks BPR + + APR + +


Fisiologik : KPR + + TPR + +

Refleks Patologis : Babinski (-), Chaddock (-)

STATUS PSIKIATRIK

Kesan Umum : Pasien datang berjalan sendiri, tampak kurang rapi, tidak kooperatif,
tidak komunikatif.

Kontak : Verbal (+), Non Verbal (-), Irrelevan (+), Tidak lancer (+)
Kesadaran : Berubah Kualitatif

Orientasi : W/T/O (+)/(+)/(+)

Daya Ingat : Amnesia (-)

Persepsi : Halusinasi Auditorik (+)

Proses berfikir : Bentuk = Nonrealistik

Arus = Asosiasi Longgar (+), Blocking (+)

Isi = Waham bizar (+)

Afek/Emosi : Dangkal

Kemauan : Menurun

Psikomotor : Meningkat

2. INTERPRETASI KASUS
Dalam hierarki diagnosis gangguan jiwa kita terutama harus menggolongkan, apakah
gangguan jiwa ini termasuk psikosis atau neurosis

a. Psikosis : Suatu gangguan jiwa berat dengan kehilangan rasa kenyataan (sense
of reality) yaitu gangguan kemampua daya menilai realitas, hendaya berat dalam
faktor mental, hendaya berat dalam faktor sehari-hari
b. Neurosis : Suatu gangguan jiwa tidak berat.
Menurut maramis, neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara
emosional karena tidak dapat diselesaikan nya suatu konflik
Menurut PPDGJ merupakan gangguan mental yang tidak punya dasar organik
yang dapat ditunjukkan pasien, cukup mempunyai tilikan, serta kemampuan
daya nilai realitas nya tidak terganggu dan perilakunya biasanya masih dalam
batas normal serta kepribadian nya masih tetap utuh.

TABEL PERBEDAAN PSIKOSIS DAN NEUROSIS

PSIKOSA NEUROSA
Perilaku umum
a. Dekompensasi Berat Ringan
pribadian
b. Sense reality Berat Sedikit terganggu
c. Interaksi sosial Tidak bisa Baik
Gejala
a. Psikologi dan Bervariasi luas Bervariasi luas
somatik
b. Waham / halusinasi + -
c. Gang. Proses berpikir + -
d. Gang. Emosi Inadekuat Dirasakan oleh pemeriksa
e. Gang. Perilaku Hebat Relatif masih baik
Insight Terganggu Relatif masih baik
Aspek Sosial
a. Perilaku + -
membahayakan diri
sendiri
b. Bahaya lingkungan + -
Penanganan akut Saat akut MRS Jarang MRS
Prognosa Buruk Baik

Pada pasien diatas lebih mengarah ke arah gangguan psikotik, karena keadaan pasien
terdapat gangguan dalam menilai realita, gangguan interaksi sosial, terdapat waham,
terdapat halusinasi, gangguan emosi, gangguan perilaku, perilaku membahayakan diri
sendiri dan orang lain.

Setelah digolongkan dalam gangguan jiwa psikosa maka psikosa dapat dibedakan
menjadi dua :

a. Psikosa organik : disebabkan gangguan fungsional otak


Contoh: Gangguan mental organik, Delirium, Demensia, Sindrom amnestik
b. Psikosa fungsional : tidak ditemukan gangguan organik pada otak
Contoh: Skizofren dan non Skizofren (Gangguan afektif bipolar, skizoafektif,
skizotipal, gangguan waham menetap, gangguan psikotik akut dan sementara)
Pada pasien ini didapatkan riwayat kejang sehingga mendukung diagnosa gangguan
psikosa akibat organik sehingga mengerucutkan diagnosa GMO

Yaitu F 60.8 : Gangguan mental lain yang ditentukan akibat kerusakan dan
disfungsi otak dan penyakit fisik

DIAGNOSIS MULTI AKSIAL

Axis I : F 06.8 Gangguan Mental Organik

Axis II : Sabar, pemalu, banyak teman

Axis III : G 40.909 Epilepsi

Axis IV : Masalah pendidikan

Axis V : GAF scale 20 11 ( bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas


sangat berat, dalam komunikasi dan mengurus diri)

Rencana tindak lanjut

- Inj. Halloperidol 1 Ampul IM Anti psikotik


- Phenitoin HCl 3x100mg Anti kejang
- Halloperidol 1,5 mg 2x1 Anti psikotik
- Clobazam 2x10mg Anti anxietas
- B6 2x1 tablet Vitamin neurotropik
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilak Psikiatri Klinis,
Edisi ketujuh, Jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 2010. hal 481-570.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2008. hal 189-192.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Editor Dr, Rusdi Maslim.
Jakarta 2003. hal 3-43.
5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University
Press, Surabaya 1992. hal 179-211.
6. Kaplan. H. I, Sadock B.J. Phsychiatry Text Book.
7. Browne TR, Holmes GL. 2000. Epilepsy: definitions and background. In: Handbook of
epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins hal.1-18
8. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pendahuluan, definisi, klasifikasi, etiologi,
dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI hal.1-13
9. Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic seizures
and epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE)
and the International Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia; 46(4):470-2
10. Octaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Dalam: Medicinus Scientific journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application. Medicinus Vol. 21, No.4 hal.121-124
11. Ikawati, Zullies. 2009. Epilepsi:Lecture Notes. (Online) Diakses di:
zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp.../epilepsy.pdf Pada tanggal 7 September 2014.
12. Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.1158-1164
13. American Society of Epilepsy.2010
14. Raharjo, Tri B. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun.
Tesis. Program pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
15. Utomo, Tranggono Y. 2011. Dosis dan Lama Pemberian Fenitoin Sebagai Faktor Risiko
Timbulnya Hiperplasia Ginggiva Pada pasien Epilepsi. Tesis. Program pascasarjana
Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf
Universitas Diponegoro: Semarang (Dipublikasikan)
16. Shorvon, Simon. 2005. Handbook of Epilepsy Treatment. Second Edition. Blakwell
Publishing: Massachusetts, USA. Hal. 75
17. Katzung, Bertram G. 1998. Obat Antiepilepsi pada Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC:
Jakarta. Hal.380-384
18. Dewanto G., Suwono W.J., Riyanto B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tata Laksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC
19. Utama, Hendra dan Vincent H.S. 2009. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam
Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: FKUI. Hal. 179-185

Anda mungkin juga menyukai