PENDAHULUAN
2.4 Fungsi Dan Peran Konselor Dalam Teori Behavior Atau Tingkah Laku
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian
treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada pencarian pemecahan-
pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas
berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif
dan dalm menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada
tingkah laku yang baru dan adjustive.
Sebagai hasil tinjauannya yang seksama atas kepustakaan psikoterapi, Krasner
(1967) mengajukan argumen bahawa peran seorang terapis dari aliansi teoritisnya,
sesungguhnya adalah mesin perkuatan. Apa pun yang dilakukannya terapis pada dasarnya
terlibat dalam pemberian perkuatan-perkuatan sosial baik yang positif maupun yang negatif.
Bahkan meskipun mempersiapkan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungn dengan
pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah lakuklien, baik melalui cara
langsung maupun tidak secara langsung. Krasner (1967) menandakan bahwa terapis atau
pemberi pengaruh adalah suatu mesin pengkuatan. Yang dengan kehadirannya memasok
perkuatan yang dilegenerarisasikan pada setiap kesempatan dalam situasi terapi, terlepas dari
tekhnik ataw keperibadian yang terlibat (h,202) ia menyatakn bahwa tingkah laku klien
tunduk pada manifulasi yang halus pada tingkah laku terapis yang memperkuat. Hal itu acap
kali tanpa di sadari, baik oleh klien maupun oleh terapis. Krasner (1967), dengan mengutif
kepustakaan,menunjukkan bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan
psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam
suatu situasi perkuatan sosial. Krasner lebih lanjut mennyatakan bahwa, meskipun sebagian
besar terapis tidak senang dengan peran pengendalian atau manipulator tingkah laku,
istilah-istilah tersebut menerangkan secara cermat apa sesungguhnya apa peran terapis itu. Ia
mengutip bukti untuk menunjukkan bahwa, atas dasar perannya, terapis memiliki kekuatan
untuk mempengaruhi dan mengendalikan tingkah laku dan nilai-nilai manusia lain.
Ketidaksedian terapis untuk menerima situasi ini dan trus menerus tidak menyadari efek-efek
tingkah lakunya atas para pasiennya itu pun tidak etis (h, 204).
Goodstein (1972) juga menyabut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut
Goodstein, peran konselor adalah menunjangf perkembangan tingkah laku yang secara
sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klieb semacam itu
(h,274). Minat, perhatian, dan persetujuan (ketidak berminatan dan ketidak setujuan) terapis
adalah pemerkuat-pemerkuat yang hebat bagi tingkah laku klien. Pemerkuat-pemerkuat
tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta
acap kali tanpa disertai kesadaran yang penuh dari terapi. Goodstain menyatakan bahwa
peran mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan
menjangkau situasi di luar konseling serta di masukkan ke dalam tingkah laku klien dalam
dunia nyata: konselor mengajar respon-respon tertentu yang di laporkan telah di tampilkan
telah di tampilkan oleh klien dalam situasi-situasi khidupan nyata dan menghukum, respon-
respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah persetujuan, minat, dan keprihatinan. . .
perkuatan semacam itu penting terutama pada periode ketika klien mencoba respon-respon
atau tingkah laku baru yang belum secara tetap di beri perkuatan oleh orang lain dalam
kehidupan klien (h, 275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan
adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru di kembangkan oleh
klien.
Satu fungsi penting lainya adalah peran terapis sebagai model bagi klien.
Banduara (1969) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui
pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang
lain. Ia mengunkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa
mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau contoh sosial yang disajikan oleh terapis.
Terapis sebagai pribadi , menjadi model yang penting bagi klien. Karena klien sering
memandang terapis sebagi orang yang patut di taladani, klien acap kali meniru sikap-sikap,
nilai-nilai, kepercayaan dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan
penting yang di mainkannnya dalam proses identifikasi. Bagi terapis, tidak mennyadari
kekuatan dirinnya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak
kliennya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendri dalam proses terapi.
2.5 Pengalaman Konseli Dalam Konseling Pada Teori Behavior Atau Teori
Tingkah Laku
Salah satu sumbangan yang unik dari terapi tingkah laku adalah suatu sistem prosedur
yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh terapis dalm hubungan dengan peran yang
jyga ditentukan dengan baik. Terapi tingkah laku juga memberikan kepada klien peran yang
ditentukan dengan baik, dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi klien dalam
proses terapeoutik. Carkhuff dan Berenson (1967) menunjukkan bahwa sekalipun klien boleh
jadi berada dalam peran sebagai penerima tekhnik-tekhnik yang pasti. Ia diberi keterangan
yang cukup tentang tekhnik-tekhnik yang di gunakan. Mereka menyatakan bahwa sementara
terapis memiliki tanggung jawab utama. Klien dalah fokus perhatian disertai sedikit perhatian
pada nilai-nilai sosial, pengaruh orangtua, dan proses-proses tak sadar. Para terapis
modifikasi tingkah laku pertama-tama harus memberikan keterangan rinci mengenai apa yang
ada dan akan dilakukan pada setiap tahap proses treatment (h,92).
Keterlibatan klien dalam prose terapeutik karenannya harus dianggap sebagai
kenyataan bahwa klien menjadi lebih aktif alih-alih menjadi penerima tekhnik-tekhnik yang
pasif seperti diisyratkan oleh Carkhuff dan berenson. Jelas, klien harus secara aktif terlibat
dalam pemilihan dan penentuan tujuan-tujuan, harus memiliki motifasi untuk berubah, dan
bersedia bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan terapioutik baik selama
pertemuan-pertemuan terapi maupun di luar terapi, dalam situasi-situasi kehidupan nyata.
Jika klien tidak secara aktif terlibat dalam prose terapeutik, maka terapi tidak akan membawa
hasil-hasil yang memuaskan.
Marquis (1974), yang menggunakan prinsip-prinsip pendekatan behavioral untuk
menunjang pengubahan kepribadian yang efektif, memandang perlunya peran aktif klien
dalam proses terapi. Melalui model terapi tingkah laku, Marquis menguraikan program tiga
fase yang melibatkan partisipasi klien secara penuh dan aktif. Pertama, tingkah laku klien
sekarang di analisis dan pemahaman yang jelas menjangkau tingkah laku akhir dengan
partisipasi aktif dari klien dalam setiap bagian dari proses pemasangan tujuan-tujuan (h,
368). Kedua, cara-cara alternatif yang bisa di ambil oleh klien dalam upaya mencapai tujuan-
tujuan, dieksplorasi. Ketiga, suatu program treatment direncanakan, yang biyasannya
berlandaskan langkah-langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku klien yang sekarang
menuju tingkah laku yang di harapkan membantu klien dalam mencapai tujuannya.
Suatu aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di
dorong untuk breksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas
perbendarahaan tingkah laku adaptifnya. Dalam terapi, klien dibantu untuk menggeneralisasi
dan mentransper belajar yang diperoleh di dalam situasi terapi kedalam situasi di luar terapi.
Lagi-lagi, pendekatan ini menggarisbawahi pentingnnya keterlibatan aktif dan kesediaan
klien untuk memperluas dan menerapkan tingkah laku barunnya pada situasi-situasi
kehidupan nyata.
Terapi ini belum lengkap apabila verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum diikuti oleh
tindakan-tindakan. Klien harus berbuat lebih dari sekedar memperoleh pemahaman-
pemahaman, sebab dalam terapi tingkah laku klien harus bersedia mengambil resiko. Bahwa
masalah-masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan tingkah laku baru di luar terapi,
berarti fase tindakan merupakan hal yang esensial. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha
menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari perjalanan terapi.
2.6 Hubungan Antara Konselor Dan Konseli Dalam Teori Behavior Atau Teori
Tingkah Laku
Ada suatu kecendrungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk
menggolongkan hubungan antara terapis dank klien dalam terapi tingkah laku sebagai
hubungan yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Bagaimanapun, sebagian besar
penulis di bidang terapi tingkah laku. Khususnya Wolpe (1958.1969). menyatakan bahwa
pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses
terapeutik. Sebagaimana di singgung di muka. Peran terapis yang esensial adalah peran
sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan
peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin mesin yang
deprogram yang memakakan teknik teknik kepada para klien yang mirip robot robot.
Bagaimanapun, tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan
peran utama kepada variable variable hubunan terapis klien. Sekalipun demikian.
Sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor faktor seperti kehangatan, empati,
keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalan kondisi kondisi yang diperlukan, terapi
tidak cukup. Bagi kemunculan perubahan tikah laku dalam proses terapeutik. Tentang
persoalan ini Goldstein (1973) menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja
membentuk tahap bagi kelangsunggan terapi. Ia mencatat bahwa hubngan semacam itu dalam
dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal terapi yang efektif (h. 220).
Sebelum intervensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan.
Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan
bahwa
1. Ia memahami dan menerima pasien
2. Kedua orang di antara mereka bekerja sama dan
3. Terapi memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien
(h. 221)
4. Terapi Aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi yang telah digunakan secara luas untuk
meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah
laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculanya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman
dengan kejutan listrik dan ramuan yang mengakibatkan mual. Kendali aversi bisa melibatkan
penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman. Contoh pelaksanaan
penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus
kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak. Jika perkuatan social di tarik,
tingkah laku yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekwensinya. Contoh penggunaan
hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik terhadap anak autistic
ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling controversial yang dimiliki
oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk
membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Kondisi-kondisi diciptakan
sehingga orang-orang melakukan apa yang diharapkan dari mereka alam rangka menghindari
konsekuensi-konsekuensi aversif. Sebagian besar lembaga social menggunakan prosedur-
prosedur aversi untuk mengendalikan para anggotanya dan untuk membentuk tingkah laku
individu agar sesuai dengan yang telah di gariskan: gereja menggunakan pengucilan,
perusahaan-perusahaan menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah,
sedangkan pemerintah menggunakan denda dan hukuman penjara.
Kendali aversi acap kali menandai hubungan orang tua-anak. Kendali-kendali bisa bekerja
secara langsung dan disadari. Baik anak maupun orang tua bisa di kendalikan oleh apa yang
terjadi dalam situasi-situasi tertentu., dan boleh jadi situasi-situasi itu tidak bisa di jelaskan.
Seorang anak diberi hak istimewa jika dia menyelaraskan diri dengan bertingkah laku
sebagaimana yang di harapkan, dan sebaliknya. Anakpun belajar menggunakan kendali
aversif terhadap orang tuanya. Dia belajar bahwa orang tuanya memiliki suatu taraf toleransi
terhadap tangisan, teriakan, permintaan, dan renekan anak, serta belajar bahwa pada akhirnya
orang tuanya itu akan memenuhi permintaanya.
Dalam setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik-teknik aversif sering di
gunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif, mencakup minumalkohol
secara berlebihan, ketergantungan pada obat bius, merokok, obsesi-obsesi, kompulsi-
kompulsi, fetisisme, berjudi, homoseksualitas, dan penyimpangan seksual seperti pedofolia.
Teknik ini merupkan metode yang utama dalam penanganan alkoholisme. Seorang alkoholik
tidak dipaksa untuk menjauhkan diri dari alcohol, tetapi justru disuruh meminum alkohol.
Akan tetapi, setiap tegukan alkohol diseratai pemberian ramuan yang membuat alkoholik
merasa mual, dan kemudian muntah. Si alkoholik lambat laun akan merasa sakit bahkan
meskipun hanya melihat botol alkohol. Pengetahuan tentang pengaruh-pengaruh buruk dari
alkohol cenderung menghambat alkoholisme, tetapi terdapat kemungkinan bahwa alkoholik
kembali kepada kebiasaan semula setelah periode penahanan diri yang singkat. Selain pada
penanganan alkoholisme, prosedur-prosedur aversi telah digunakan secara berhasil pada
penanganan-penanganan penyimpangan-penyimpangan seksual dengan mengasosiasikan
stimulus yang menyakitkan dengan objek atau tindakan seksual yang tidak layak.
Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif iyalah
menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaftifdalam suatu periode sehingga
terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternative yang adaptif dan yang akan
terbukti memperkuat dirinya sendiri. Satu kesalahpahaman yang popular adalah bahwa
teknik-teknik yang berlandasan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi para
terapis tingkah laku. tingkah laku. Hukumanjangan sering digunakan meskipun mungkin
para klien sendiri menginginkan penghapusan tingkahlaku yang tak diinginkanya melalui
penggunaan hukuman. Apabila cara-cara yang merupakan alternatifbagi hukuman tersedia,
maka hukuman jangan digunakan. Cara-cara yang positif yang mengarahkan kerusak dari
pada tingkah lakuyang baru dan lebih layak harus dicari dan di gunakan sebelum terpaksa
menggunakan pemerkuat-pemerkuat negative. Acap kali tingkah laku bisa di ubah hanya
dengan menggunakan perkuatan positif yang mengurangi kemungkinan terbentuknya efek-
efek samping yang merusak dari hukuman. Di samping itu, jika hukuman di gunakan, bentuk-
bentuk tingkah laku adaptif yang merupakan alternative perlu secara jelas dan secara spesifik
di gambarkan secara hukuman harus di gunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan
klien merasa di tolak sebagai pribadi. Yang juga penting adalah klien dibantu agar ia
mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi aversif diasosiasikan hanya dengan tingkah laku
maladaptive yang spesifik.
Skinner (1948-1971) Adalah salah seorang tokoh yang secara terang-terangan
menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk mengendalikan hubungan-hubungan
manusia ataupun untuk mencapai maksud-maksud lembaga-lembaga masyarakat. Menurut
Skinner perkuatan positif jauh lebih baik efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena
hasil-hasilnya lebih bisa diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak
diingankan akan lebih kecil. Skinner berpendapat bahwa hukuman adalah sesuatu yang
buruk, meskipun bisa menekan tingkah laku yang diinginkan, tidak
melemahkankecenderungan untuk merespon bahkan kalaupun ia untuk sementara menekan
tingkah laku tertentu. Akibat-akibat yang tidak tidak diinginkan, menurut Skinner, berkaitan
dengan penggunaan pengendalian aversif maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman digunakan, mak terdapat kemungkinan terbentuknya efek-efak
samping emosional tambahan seperti:
a. Emosional tambahan seperti tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi
akan ditekan hanya apa bila penghukum hadir
b. Jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang
dihukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan,
c. Pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan
dengan tingkah laku yang dihukum, Misalnya; Seorang anak yang dihukum karena
kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru,
dan barangkali bahkan membenci belajar pada umumnya.
Jadi, seorang anak yang dihukum karena kegagalanya di sekolah boleh jadi akan membenci
semuapelajaran sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan membenci belajar pada
umumnya.
5. Pengondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri
organisme yang aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan
akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam
kehidupan sehari-hari yang mencakup membaca, berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang
mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dan lain-lain.
Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar maka probabilitas kemunculan
kembali tingkah laku tersebut dimasa mendatang akan tinggi.Perubahan tingkah laku yang
dikondisikan, diberikan dalam kurun waktu tertentu dan target tertentu.
Contonya pemberian hadiah jika seorang anak yang mendapatkan ranking.
6. Perkuatan positif
Perkuatan positif adalah suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
penghargaan positif setalah tingkah laku yang diharapkan itu muncul. Cara ini sangat ampuh
untuh mengubah tingkah laku yang tidak baik menjadi baik. Ada pemerkuat pemerkuat
untuk perkuatan positif adalah sebagai berikut :
Pemerkuat primer adalah memuaskan kebutuhan fisiologis. Contoh : makanan, minuman,
tidur/istirahat, rumah, dan pakaian.
Pemerkuat skunder adalah memuaskan kebutuhan psikologis dan sosial. Pemerkuat
skunder bias menjadi alat yang sangat ampuh untuk merubah tingkah laku diharapkan dari
tidak baik menjadi baik. Contoh : memberikan senyuman, persetujuan, pujian, bintang-
bintang emas/ medali/ tanda penghargaan, uang, dan hadiah.
7. Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya
tidak terdapat dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan
dalam proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, jika seorang guru ingin membentuk
tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan
persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku
motorik, verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah
laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
Keempat komponen tersebut seperti :
-Motorik : Gerakan,Konselor melatih gerak gerik anak supaya anak tersebut
mempunya keterampilan.Latihan yang dilakukan misalnya dengan latihan melukis,atau
membuat suatu keterampilan-keterampilan yang lain.
-Verbal :Kata-kata,Konselor membimbing anak tersebut dengan melatih perkataan
yang satun,supaya verbal yang terbentuk dalam diri anak tersebut menjadi lebih baik
-Emosional:Emosi/Perasaan Konselor harus mampu mengerti emosi anak atau
perasaan yang dimilikinya dengan mengerti dengan emosi anak,Konselor bisa lebih mudah
untuk membimbing anak tersebut
Sosial: Pergaulan. Konselor bisa memberikan pengarahan-pengarahan atau
menghimbau anak tersebut dalam hal bergaul dengan teman atau siapapun di masyarakat.
Keempat komponen diatas dilakukan untuk membentuk sikap yg Adaptif(mampu
menyesuaikan diri).
8. Perkuatan intermiten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara
tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat,
konselor harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh
karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan terus menerus
mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten pada
umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang
dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus. Misalkan dalam proses
belajar mengajar pada pelajaran matematika, tentu guru tersebut berharap untuk semua
siswanya mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh guru. Hal ini diupayakan dengan cara
memberikan perkuatan-perkuatan positif kepada siswa seperti reward/pujian kepada siswa
yang sudah mengerti sehingga ia bisa mengubah tingkah lakunya dalam belajar sehingga
sesuai dengan harapan guru mata pelajaran tersebut, dan siswa yang tidak mengerti akan
berusaha untuk mengerti dengan menanyakan kepada teman yang sudah mengerti.
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-
tahap permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang
diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik
apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat
frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi. Seorang anak yang
diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki
kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan dibanding
dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-kali. Contoh: misalkan siswa mengalami
kesulitan belajar pada materi yang diajarkan, hal pertama yang bisa guru lakukan yaitu
dengan cara menanyakan dimana letak kesulitan yang mereka alami, kemudian guru juga bisa
memberikan contoh-contoh yang mudah agar siswa dapat mengerjakannya, apabila siswa
tersebut sudah bisa mengerjakan soal yang mudah tersebut guru langsung meemberikan
perkuatan positif seperti memberikan tepuk tangan dan selamat kepada anak tersebut agar
siswa itu dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuannya.
9. Penghapusan
Apabila suatu respons terus menerus dibuat tanpa perkuatan , maka respons tersebut
cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari
cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku
yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang maladaptif itu.
Penghapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi berlangsung lambat karena tingkah laku
yang akan dihapus telah dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama.
Wolpe (1969) menekankan bahwa pengehentian pemberian perkuatan harus serentak akan
penuh. Misalnya, jika seseorang anak menunjukkan kebandelan di rumah atau di sekolah,
orang tua dan guru si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk
menghapus kebandelan anak tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa berikan
kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
Terapis, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai tehnik utama
dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku
yang tiak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus
atau dikurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel
biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika
permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi kesabaran menghadapi periode peralihan amat
diperlukan.
10. Percontohan
Dalam percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat
untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura ( 1969) menyatakan bahwa segenap
belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak
langsung dengan menga,ati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi- konsekuensinya.
Jadi kecakapan- kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh engan mengamati dan mencontoh
tingkah laku model- model yang ada. Juga reaksi- reaksi emosional yang terganggu yng
dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati
objek- objek atau situasi- situasi yang di takuti tanpa mengalami akibat- akibat yang
menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya . pengendalian diripun bisa dipelajarari
melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat
berarti, dan orang- orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model- model yang
menepati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
11. Token Economy
Token ekonomy adalah sistem perlakuan kepada tiap individu untuk mendapatkan
bukti target perilaku setelah mengumpulkan sejumlah prilaku tertentu sehingga mencapai
kondisi yang diharapkan. Contoh seperti pada lembar bukti prestasi. Siswa mendapatkan
bukti dalam bentuk rewads atau hadiah dari pekerjaan yang dapat ditunjukannya. (Jason,
2009 ; 35).
Token Economy merupakakan sistem perlakuan pemberian penghargaan kepada siswa
yang diwujudkan secara visual. Token Economy adalah usaha mengembangkan prilaku sesuai
dengan tujuan yang diharapkan melalui penggunaan penghargaan. Setiap individu mendapat
penghargaan setelah menunjukan prilaku yang diharapkan. Hadiah dikumpul selanjutnya
setelah hadiah terkumpul ditukar dengan penghargaan yang bermakna. (Joson, 2009 ; 66).
Menurut Wallin (1991), Token Economy yang diberikan kepada siswa merupakan
dukungan sekunder untuk memperkuat suasana belajar supaya lebih kondusif. Oleh karena
itu, penghargaan harus menjadi rangsangan yang netral atau tidak berpihak. Siswa
berkompetisi untuk memperolehnya dengan cara mengumpulkan token sebanyak-banyaknya
dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa Token economy adalah sistem perlakuan
kepada tiap individu untuk mendapatkan bukti target perilaku setelah mengumpulkan
sejumlah prilaku tertentu sehingga mencapai kondisi yang diharapkan, dengan cara subyek
mendapat penghargaan setelah menunjukan prilaku yang diharapkan. Hadiah dikumpul
selanjutnya setelah hadiah terkumpul ditukar dengan penghargaan yang bermakna.
Tujuan Token Economy Bukti Token Economy dapat digunakan untuk memenuhi berbagai
tujuan pendidikan dalam membangun perilaku siswa. Penggunaan sistem time token ekonomi
memiliki tujuan :
a. Meningkatnya kepuasan dalam mendorong peningkatan kompetensi siswa melalui
penghargaan yang kongkrit atau visual sehingga tingkat kesenangan siswa melakukan sesuatu
prestasi benar-benar tampak.
b. Meningkatnya efektivitas waktu dalam pelaksanaan pembelajaran. Belajar yang efektif
adalah yang menggunakan waktu yang pendek dengan hasil yang terbaik dan terbanyak.
Siswa harus menyadari berapa lama mereka telah belajar dan berapa banyak waktu yang telah
mereka gunakan secara efektif untuk melaksanakan aktivitas belajar.
c. Berkurangnya kebosanan Suasana belajar yang kolaboratif, rivalitas, kompetitif yang
diberi penguatan oleh pendidik dapat meningkatkan menurunkan tingkat di kebosanan siswa
sehingga siswa dapat berpartisipasi dalam jangka waktu yang yang lama.
d. Meningkatnya daya respon Suasana belajar yang kompetitif akan meningkatkan
kecepatan siswa meberikan respon. Setiap respon yang sesuai dengan tujuan akan segera
mendapat penguatan sehingga suasana belajar menjadi cair, komunikatif dan lebih
menyengkan.
e. Berkembangnya penguatan yang lebih alami, melalui pemberian penguatan yang tepat
waktu akan dan disesuaikan dengan tingkat prestasi setiap siswa atau setiap kelompok siswa
memungkinkan
f. Meningkatnya penguatan untuk sehingga motivasi belajar berkembang setiap siswa atau
setiap kelompok siswa dalam kelas selalu dalam keadaan terpacu untuk mewujudkan dan
daya pacu ini akan semakin berkembang jika siswa juga mendapat layanan untuk
mengabadikan daya kompetisinya seperti dengan dukungan rekaman video.
Komponen Token Economy. Sebelum kegiatan belajar dilaksanakan pendidik
menyiapkan beberapa komponen yang dibutuhkan, di antaranya:
a. Token atau simbol praktis dan atraktif untuk memicu tumbuhnya motivasi belajar. Yang
dapat digunakan sebagai simbol penghargaan seperti stiker, guntingan kertas, simbol bintang,
atau uang mainan. Token sendiri tidak selalu dalam bentuk yang berharga, namun setelah
siswa mengoleksinya setelah menunjukan prilaku yang diharapkan mereka dapat menukarkan
token itu dengan sesuatu yang berharga. Dengan demikian setelah satu rentang waktu tertentu
guru harus menyediakan barang penukar token yang berharga untuk siswa. Yang paling
mudah seperti permen, alat tulis atau benda berharga lain yang dapat sekolah biayai.
b. Definisi target prilaku jelas. Hal itu berarti guru maupun siswa perlu memahami dengan
baik prilaku yang diharapkan. Siswa memahami benar prilaku seperti apa yang harus
ditunjukannya sebagai hasil belajar. Penjelasan harus singkat namun cukup sebagai dasar
pemahaman siswa mengenai hadiah yang dapat diperlehnya setelah menunjukan prestasi.
c. Dukungan penguatan (reinforcers) dengan barang yang berharga. Dukungan itu dapat
dalam bentuk barang berharga, hak istimewa, atau aktivitas individu yang dapat ditukar
dengan makanan, perangkat permainan, waktu ekstra.
d. Sistem penukaran token atau simbol. Sukses penyelenggaraan token ekonomi sangat
bergantung pada sukses dalam memberikan penguatan yang dapat ditukarkan dengan nilai
yang sebanding dengan prestasi yang dicapai.
e. Sistem dokumentasi atau perekaman data. Pemberian penghargaan yangtepat sangat
bergantung pada ketepatan menghimpun data. Oleh karena itu alat perekam dapat membantu
meningkatkan proses ini sehingga informasi dari proses pembelajaran dapat dikelola dengan
tingkat akurasi yang tinggi.
f. Konsistensi dalam implementasi, untuk menjunjung konsistensi itu sebaiknya terdapat
panduan teknis yang tertulis sebagai pegangan pelaksanaan tugas sehingga apa yang
direncanakan itulah yang dilaksanakan.
Langkah-langakah pelaksanaan Token Economy
Mengacu pada pemikiran Robinson T.J. Newby dan S.L. Ganzell, (1981) merumusakan
bahwa langkah utama dalam pelaksanaan sistem token ekonomi dapat dikembangkan sebagai
berikut :
a. Menentukan target prilaku atau kompetensi yang dapat siswa tunjukan. Guru memilih
masalah penting sebagai target. Definisikan dengan jelas, harus dalam bentuk penyataan
positif, dan harus dalam prilaku hasil belajar yang dikembangkan dalam bimbingan
pembelajaran dalam kelas.
b. Menentukan motode bagaimana langkah-langkah untuk memperoleh penghargaan dan nilai
dari setiap penghargaan. Barkley (1990) memberi contoh untuk anak-anak umur 4-7 thaun
menggunakan guntingan kartu berbentuk bintang, model perangko atau stiker. Setiap
perangkat penghargaan diletakan siswa di atas meja belajarnya dalam kelas.
c. Identifikasi nilai atraktif penghargaan. Mengembangkan penghargaan sebagai sesuatu yang
berarti, praktis dan atraktif sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal penting
yang dapat meningkatkan makna adalah keterlibatan siswa dalam proses memilih dan
menyusun jenis dan nilai penghargaan. Dalam hal ini siswa dapat memperoleh kebebasan
menentukan waktu
d. Menentukan Tujuan, jumlah token yang dapat diperoleh serta nilai yang diperoleh untuk
setiap penghargaan yang diperoleh.
Implementasi kegiatan ini memerlukan langkah lanjut :
a. Penjelasan Program Kepada Siswa. Penjelasan mengenai program harus jelas. Siswa harus
memahami aturan main sebelum belajar dimualai agar mereka dapat memanfaatkan waktu
belajar secara optimal. Sejumlah penghargaan kepada siswa diberikan di antaranya karena
ketepatan dan kecepatan menunjukan prilaku positif yang diharapkan.
b. Guru memberikan masukan. Guru harus menentukan kapan hadiah akan didistribusikan,
dengan ketentuan seperti apa, dan bagaimana siswa dapat memperoleh penghargaan, tata
tertib seperti bagaimana? Pemberian penghargaan dapat guru lakukan tidak hanya sebatas
dalam kurun waktu satu dua jam pelajaran, namun dapat pula menggunakan waktu
berharihari, berminggu-minggu atau dalam satu semester sepanjang guru dapat memelihara
kondisi tingkat revalitas, persaingan dan daya kolaborasi dapat terus dikobarkan sehingga
berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.
c. Guru pengatur penghargaan. Guru memberikan penghargaan dengan memperhatikan
tercapainya tujuan pembelajaran. Kejuaraan diperoleh dari pengumpul hadiah terbanyak. Hal
itu berarti menjadi siswa yang berlajar paling efektif sehingga mencapai prilaku yang
diharapkan. Jika siswa berhasil dalam satu hari dan ia tidak mendapatkan di waktu lain
adalah sesuatu yang baiasa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Terapi tingkah laku atau behavioristik ini merupakan penerapan aneka ragam
teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan kematangan.
2. Terapi tingkah laku,berbeda dngan sebagian besar pendekatan terapi
lainnya,ditandai oleh: (a) Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yg tampak dan spesifik,
(b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yg
spesifik yg sesuai dengan masalah dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
3. Tujuan umum terapi tingkah laku adaiah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi
proses belajar. Dasar alasanya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned),
termasu tingkah laku yang maladaktif. Jika tingkah laku neurotik learned , maka ia bisa
unlearned (dihapus dari ingatan). Dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi
tingkah laku pada hakekatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respons-respons yang layak
yang belum dipelajari.
4. Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian
treatmen, yakni terapis menerapkan pengtahuan ilmiyah pada pencarian pemecahan-
pemecahan bagi masalah-masalah manusia, pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas
berfungsi sebagai guru, pengaruh, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif
dan dalm menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang,diharapkan,mengarah pada
tingkah laku yang baru dan adjustive
5. Peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para
terapis tingkah laku tidak di cetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang
mengerdilkan mereka menjadi mesin mesin yang deprogram yang memakakan teknik
teknik kepada para klien yang mirip robot robot. Sedangkan aspek yang penting dari peran
klien dalam terapi tingkah laku adalah, klien di dorong untuk breksperimen dengan tingkah
laku baru dengan maksud memperluas perbendarahaan tingkah laku adaptifnya
6. Terapi terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan
memperlihatkan bahwa
a. Ia memahami dan menerima pasien
b. Kedua orang di antara mereka bekerja sama dan
c. Terapi memiliki alat yang berguna dalam membantu ke arah yang dikehendaki oleh pasien
(h. 221)
7. Ada beberapa teknik-teknik dan prosedur-prosedur dalam teori atau terapi
tingkah laku, yaitu :
a. Teknik Desensitisasi Sistematik
b. Teknik Terapi Implosif dan Pembanjiran
c. Teknik Latihan Asertif
d. Teknik Terapi Aversi
e. Teknik Pengondisian Operan
f. Teknik Perkuatan Positif
g. Teknik Perkuatan Respons
h. Teknik Perkuatan Intermiten
i. Teknik Penghapusan
j. Teknik Percontohan
k. Teknik Token Economy
DAFTAR PUSTAKA
Koeswara.E, 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, bandung : PT Rafika
Aditama
Terjemahan : Garald Corey dengan judul asli Theory and Practice of Counseling and
Psychoterapy
www.google.com // terapi behavior atau terapi tingkah laku//