Sumber : Rancangan Peraturan menteri PU tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kualitas terhadap Permukiman Kumuh Perkotaan
Tujuan penataan ruang wilayah Propinsi Jawa Tengah disusun sebagai dasar untuk
memformulasikan kebijakan, strategi dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang serta
untuk memberikan arah bagi penyusunan indikasi program utama dalam RTRW Propinsi.
Tujuan penataan ruang ini dirumuskan berdasarkan visi dan misi pembangunan wilayah
Propinsi Jawa Tengah, karakteristik wilayah, isu strategis dan kondisi objektif yang
diinginkan. Adapun tujuan penataan ruang Propinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut:
Terwujudnya ruang Provinsi Jawa Tengah yang lestari dengan memperhatikan
pemerataan pembangunan wilayah
Penjabaran visi pembangunan ke dalam misi penataan ruang Provinsi Jawa Tengah
yang sekaligus mencerminkan tujuan dari penataan ruang itu sendiri ditempuh melalui:
1. Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai pelaku pembangunan guna
menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan bagi
peningkatan kesejahteraan.
2. Mewujudkan perekonomian daerah yang menyeimbangkan dan menyerasikan
perkembangan antarwilayah, kegiatan antarsektor secara dinamis dan integral.
3. Mewujudkan tata kelola yang meningkatkan kinerja keterpaduan pembangunan ruang
darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang dalam bumi dalam rangka keharmonisan
antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
4. Mewujudkan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana yang menunjang
pengembangan wilayah, sehingga dapat menggerakkan perekonomian, meningkatkan
aksesibilitas dan mobilitas faktor-faktor produksi wilayah perdesaan dan perkotaan dalam
rangka peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera didukung kondisi pertahanan dan
keamanan negara yang dinamis dalam lingkup integrasi nasional.
6. Mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal melalui keterpaduan
perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota dengan tetap
Sistem pusat pelayanan terdiri atas rencana sistem perkotaan disertai dengan
penetapan fungsi wilayah pengembangannya dan sistem perdesaan. Sistem pusat pelayanan
dibentuk secara berhierarki di seluruh Wilayah Propinsi Jawa Tengah, sehingga terjadi
pemerataan pelayanan dan mendorong pertumbuhan wilayah di perdesaan dan perkotaan
secara seimbang dan berkelanjutan, serta mendukung terbentuknya struktur Wilayah
Propinsi Jawa Tengah yang direncanakan 20 (dua puluh) tahun mendatang. Sebagaimana
lingkup lokasi di dalam studi ini mencakup 78 kawasan kumuh yang tersebar di 26
Kabupaten/Kota Jawa Tengah yang di tetapkan memiliki fungsi PKN (Pusat Kegiatan
Nasional) dan PKW (Pusat Kegiatan Wilayah). Maka berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2010
tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 dapat dilihat sistem PKN (Pusat
Kegiatan Nasional) dan PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) dapat terbagi seperti berikut ini:
1. Sistem Perkotaan
Rencana struktur ruang wilayah Kota Semarang disusun berdasarkan arah
pengembangan ruangnya, yang meliputi sistem pusat pelayanan dan sistem jaringan
prasarana. Terkait dengan sistem pusat pelayanan, terdiri dari pembagian wilayah kota
(BWK) dan penetapan pusat pelayanan. Berikut adalah rencana pusat-pusat permukiman
atau sistem perkotaan di Kota Semarang sebagai berikut:
a) Pembagian Wilayah Kota (BWK)
BWK I meliputi Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan Semarang Timur dan
Kecamatan Semarang Selatan dengan luas kurang lebih 2.223 (dua ribu dua ratus
dua puluh tiga) hektar;
BWK II meliputi Kecamatan Candisari dan Kecamatan Gajahmungkur dengan luas
kurang lebih 1.320 (seribu tiga ratus dua puluh) hektar;
BWK III meliputi Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Semarang Utara
dengan luas kurang lebih 3.522 (tiga ribu lima ratus dua puluh dua) hektar;
BWK IV meliputi Kecamatan Genuk dengan luas kurang lebih 2.738 (dua ribu
tujuh ratus tiga puluh delapan) hektar;
BWK V meliputi Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Pedurungan dengan luas
kurang lebih 2.622 (dua ribu enam ratus dua puluh dua) hektar;
BWK VI meliputi Kecamatan Tembalang dengan luas kurang lebih 4.420 (empat
ribu empat ratus dua puluh) hektar;
BWK VII meliputi Kecamatan Banyumanik dengan luas kurang lebih 2.509 (dua
ribu lima ratus sembilan) hektar;
BWK VIII meliputi Kecamatan Gunungpati dengan luas kurang lebih 5.399 (lima
ribu tiga ratus Sembilan puluh sembilan) hektar;
BWK IX meliputi Kecamatan Mijen dengan luas kurang lebih 6.213 (enam ribu
dua ratus tiga belas) hektar; dan
BWK X meliputi Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Tugu dengan luas kurang
lebih 6.393 (enam ribu tiga ratus Sembilan puluh tiga) hektar
Sedangkan untuk pengembangan fungsi utama masing-masing BWK meliputi:
perkantoran, perdagangan dan jasa di BWK I, BWK II, BWK III;
pendidikan kepolisian dan olah raga di BWK II;
transportasi udara dan transportasi laut di BWK III;
Makna dari konsep Jawa Tengah Yang Mandiri, Maju, Sejahtera dan Lestari tersebut
adalah:
A. Jawa Tengah. Jawa Tengah diartikan sebagai suatu daerah otonom. Daerah otonom
(selanjutnya disebut daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah menunjukkan
suatu kesatuan pemerintahan dan kemasyarakatan beserta semua potensi yang
dimiliki.
B. Mandiri. Artinya bahwa pembangunan daerah sebagai usaha untuk mengisi
kemerdekaan merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian bukan
berarti situasi dan kondisi dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya
kondisi saling ketergantungan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan masyarakat,
baik dalam suatu negara maupun bangsa. Kemandirian merupakan konsep yang
dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan
senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang
mendasari dan memengaruhinya. Untuk membangun kemandirian mutlak harus
dibangun kemajuan ekonomi melalui peningkatan daya saing yang menjadi kunci
kemandirian. Selain itu, secara prinsip kemandirian mencerminkan suatu sikap untuk
mengenali potensi dan kemampuannya dalam mengelola sumber daya yang tersedia
serta tantangan yang dihadapinya. Sikap kemandirian harus dicerminkan dalam
setiap aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi, politik, maupun sosial budaya.
Kemandirian yang demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau
defensif yang tercermin antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan daerahnya;
kemandirian aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan
tugasnya; kemampuan pembiayaan pembangunan daerah yang makin kokoh; serta
kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokoknya.
C. Maju. Artinya bahwa pelaksanaan pembangunan daerah senantiasa dilandasi dengan
keinginan bersama untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik secara fisik
maupun nonfisik didukung oleh sumber daya manusia yang unggul dan berdaya