Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI ASAS PEMERSATU KEBINEKAAN BANGSA


INDONESIA

DISUSUN OLEH: Muhammad Rizky Surya P.


04011381419157

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas ini, ini dengan baik dan tepat waktu. Tugas pancasila
dengan tema PANCASILA SEBAGAI ASAS PEMERSATU KEBINEKAAN BANGSA
INDONESIA ini disusun dalam rangka memenuhi tuntutan tugas remedial yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
penyelesaian dan penyusunan tugas ini. Tugas ini membahas tentang hasil belajar dan diskusi
saya.
Saya menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, semua
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk
menyempurnakan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran
berikutnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Palembang, 1 Januari 2015

Muhammad Rizky Surya P


Pendahuluan :

Pancasila sebagai pemersatu bangsa dari segala keberagaman bangsa

Pancasila adalah pilosofi dasar berbangsa dan bernegara,yang didalamnya terdapat


nilai-nilai bersama yang diyakini oleh seluruh rakyat Indonesia,yang dimana nilai-nilai
pancasila itu sebenarnya berakar pada semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang
sangat beragam,yang dimana juga isi dari pancasila yang pertama yaitu Ketuhanan yang
Maha Esa mewakili semangat kebersamaan suatu bangsa yang tentram,sedangkan kedua
sampai ke limaKemanusian yang adil dan beradap,Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusawaratan perwakilan,Keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesiamerupakan mewakili simpul kebersamaan yang mengikat
keberagamam kita. Dan Pancasila juga merupakan dasar Ideologi dari Negara kita,untuk
mewujudkan/ memberikan makna terhadap bangsa,dan juga merupakan pemersatu bangsa,
pengikat keberagaman Negara kita,agar selalu rukun antara umat beragama,saling
toleransi,saling pikul-memikul sesama warga Indonesia untuk mengatasi semua masalah
yang ada di Negara kita baik dari luar maupun dari dalam.
Pancasila juga adalah gagasan ideal yang harus terus-menerus kita dekati dan kita
terapkan sehari-hari dalam bermasyarakat maupun bernegara. Pancasila juga sebagai yang
mengatur pemerintahan suatu Negara dan juga dasar aturan Negara kita. Yang dimana juga
pancasila itu sumber hukum Negara kita atau sumber tertib hukum. Di dalam isi dari
pancasila tersebut mengajarkan tentang masyarakat/warga yang taat terhadap agama agar
menjadi warga yang baik dan bermoral,demi menjaga keutuhan Negara kita ini.dan pancasila
juga mengajak warga untuk selalu semangat untuk mencapai cita-cita bangsa kita menjadi
Negara dan juga masyarakat yang adil dan makmur Jadi untuk itu sebagai warga Negara yang
baik seharusnya kita banyak tahu dan mengerti tentang pancasila dan juga menegerti tentang
sejarah bangsa ini,sebab sejarah bangsa ini merupakan hal yang penting yang harus kita jaga
dan pertahankan. Tapi sayangnya banyak pejabat pemerintah yang tidak mengamalkan
pancasila.sebab dari lima buah isi dari pancasila yang kelihatannya sederhana,tapi
mengandung makna yang dalam.mungkin jika semua warga Negara Indonesia dapat
mengamalkan dari isi pancasila tersebut bukan tidak mungkin kita semua akan terhindar dari
yang namanya kerusuhan dan korupsi-korupsi yang sedang marak seperti sekarnag ini
,sehingga semua warga Negara Indonesia menjadi aman,tentram,sejahtera sehingga terhidar
dari kemiskinan,dan tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi saja.
Jadi untuk itu semoga warga Negara Indonesia lebih mengamalkan lagi tentang isi
dari pancasila, bukan hanya menghafalkannya,termasuk para pejabat Negara,agar aturan dan
peraturan Negara itu dapat bejalan sesuai dengan dengan isi pancasila itu tersebut,dan tidak
hanya mementingkan pribadi saja,agar tercapai Negara/masyarakat yang adil dan
makmur,sehingga bisa tercapai cita-cita bangsa kita untuk yang lebih baik lagi,dan bias
bersaing dengan Negara tetangga maupun seluruh dunia,jadi tidak hanya bisa di mamfaatkan
Negara lain dan juga diadu domba Negara lain.sehingga menjadi Negara yang kuat dalam
bidang apapun.
Halloapakabar.com, Tolikara (24/05) Tidak seperti isu beredar
terkait hari Idul Adha di Distrik Karubaga Tolikara, ibadah berjalan
lancar dan khidmat. Ditambah lagi kehadiran Menteri Sosial Khofifah
Indar Parawansa yang turut berlebaran di Tolikara.
Alhamdulillah. Masyarakat yang beragama Islam di sini atau di daerah mana
pun sudah bisa melaksanakan ibadah dengan aman, kata Khofifah usai
pelaksanaan salat Ied.
Mensos bersama ratusan orang warga muslim Tolikara lainnya melaksanakan
solat ied di Musala Khairul Ummah, Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara,
Papua, mulai pukul 07.15 WIT, Kamis (24/9/2015).
Menurut Khofifah, didirikannya kembali musala yang sempat hangus terbakar
merupakan wujud telah membaiknya toleransi umat beragama di Tolikara. Ia
berharap toleransi tersebut bisa terus dijaga untuk ke depannya.
Kemarin sempat ada insiden 17 Juli, Alhamdulillah semua sudah bisa
diselesaikan. Salat ied berjalan dengan baik. Mudah-mudahan toleransi
keberagaman masyarakat di Tolikara akan berjalan harmonis, terangnya.
Tak hanya itu, wujud damai lainnya di Tolikara terlihat dari pihak Gereja GIDI
yang menyumbang 5 ekor sapi untuk kurban ke pengurus musala Khairul
Ummah. Salah satu pengurus musala, Ali Muchtar, menyebut daging-daging
sapi tersebut jika sudah dipotong akan dibagikan secara merata ke masyarakat.
Kurban akan dibagikan kepada seluruh warga secara merata. Sumbangan ini
(dari GIDI) kami terima dan Insya Allah akan kami salurkan juga kepada umat-
umat kristen, tutur ustad Ali.

Aceh Bersatu,Bisakah?
BISAKAH seluruh elemen di Aceh bersatu? Pertanyaan ini mungkin terlintas di benak para
pihak mengingat berbagai macam persoalan yang melanda Aceh usai perjanjian damai antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan RI.

Diakui atau tidak, GAM pernah menjadi satu kekuatan besar di Aceh. Namun sayangnya
kelompok ini kini terpecah dalam beberapa kelompok.

Tidak hanya itu, partai yang sejatinya menampung aspirasi politik mantan kombatan juga
terbelah. Sebut saja misalnya PNA dan Partai Aceh serta PDA, selaku partai lokal. Padahal
jika seluruh kelompok politik ini bersatu maka akan menjadi modal besar dalam membangun
Aceh.

Di sisi lain ada Forkab dan PETA yang juga memiliki dukungan kuat dari massa garis bawah.
Demikian juga partai nasional yang ada di Aceh. Mereka punya jaringan kuat di tingkat pusat
yang bisa digunakan untuk percepatan pembangunan Aceh usai terjalinnya perdamaian.

Di pihak selanjutnya, ada ulama dan akademisi yang memiliki peran yang sangat penting
dalam memajukan Aceh. Ada organisasi kepemudaan seperti KNPI, KMPA, serta FPMPA.
Keberadaan para pemuda ini merupakan salah satu unsur untuk mempercepat pembangunan
di Aceh.

Jika semua komponen tadi bersatu. Maka pembangunan Aceh bukan mustahil untuk
diwujudkan dalam waktu yang singkat.

Namun tentu saja hal tersebut belum terwujud. Jika mau jujur, semua komponen tadi sejauh
ini masih berjalan sendiri-sendiri. Antara satu pihak dengan pihak lainnya masih saling
menyalahkan dan merasa kelompok mereka lah yang paling benar. Imbas dari hal ini
akhirnya membuat politik di Aceh menjadi kacau.

Pemerintah pusat pun seperti tak lagi segan dengan Pemerintah Aceh. Ini karena para pihak
tadi telah dengan sengaja mempertontonkan keributan dalam rumah tangga ke publik.

Bukti mulai melemahnya nilai tawar Aceh di mata Pusat yaitu dengan banyaknya aturan
turunan UUPA hingga kini tak kunjung disahkan. Padahal, ini merupakan poin penting dalam
perjanjian MoU Helsinki. Jika poin ini terlaksana, bukan tak mungkin kesejahteraan
masyarakat Aceh akan segera diperoleh.

Kita berharap para pihak sadar akan kondisi kekinian di Aceh. Sadar bahwa solusi
pembangunan di Aceh adalah kebersamaan. Mari buang ego jauh-jauh demi masyarakat
Aceh. Demikian juga dengan akademisi. Kita berharap tak sekedar berteori soal Aceh, tapi
mari sama-sama berfikir dan membangun daerah ini menjadi lebih baik.

Para pemimpin Aceh saat ini juga diharapkan tak menutup telinga terkait saran membangun
dari para pihak tadi. Mereka harus sadar bahwa membangun Aceh tak cukup dengan
melibatkan kelompok sendiri. Pemimpin Aceh harusnya memanggil para pihak ini untuk
sama-sama berpikir untuk Aceh. Tujuannya agar Aceh lebih baik lagi ke depan.

Mengenang Kerusuhan Sampit,2001


Saya paham sepenuhnya, judul di atas merupakan isu sensitif yang pamali dibahas hingga
sekarang. Di postingan kali ini saya hanya sekedar ingin berbagi mengenai apa yang saya
alami ketika konflik tersebut terjadi. Bahkan dalam penyebutannyapun, semacam diatur
oleh entah-siapa- Saya sempat bekerja di media dan menemukan bahwa media massa
dilarang menyebut peristiwa 18 Februari 2001 dengan istilah kerusuhan, perang etnis
maupun pertikaian adat. Kami, (saya dan redaktur sempat berdiskusi alot mengenai hal ini)
kemudian memutuskan untuk mempublishnya dengan sebutan Konflik Etnik. Merujuk pada
Peraturan Daerah Kab. Kotim nomor 5 tahun 2004 tentang penanganan penduduk dampak
konflik etnik. Di bawah ini adalah tulisan saya untuk media mengenai konflik etnik 2001.
(tulisan ini ketika masih mentah dan belum masuk meja redaksi, saya sendiri banyak
menggunakan istilah Kerusuhan di dalamnya. Well, bagi saya apa yang terjadi layak disebut
kerusuhan, even worse). Napak Tilas Konflik Etnik 2001 Sembilan tahun sudah kerusuhan
berlalu. Waktu yang lebih dari cukup untuk merefleksi dan menyadari fungsi sebenarnya
keberadaan seseorang di bumi Habaring Hurung. Dua pasca kerusuhan hingga saat ini, secara
alamiah warga Madura kembali ke tanah kita. Kali ini mereka membawa salam damai,
keinginan tulus untuk menyatu dan menjunjung tinggi falsafah Belum Bahadat yang
senantiasa digaungkan oleh petinggi adat di Kalimantan Tengah. Rusnani Anwar, Sampit
Sempat menjabat sebagai kepala Satuan Polisi Pamong Praja pada tahun 2001 membuatnya
harus terlibat langsung dalam kerusuhan antar etnis Dayak dan Madura kala itu. Tahun 2001
adalah puncak kerusuhan, sebenarnya kerusuhan itu dimulai sejak tahun 1999, ujar Mantil
saat ditemui di kantornya Sabtu (13/2) lalu. Konflik awal terjadi pada tahun 1999, tepatnya
23 September malam, sebuah perkelahian ditempat karaoke yang berlokasi di perbatasan
Tumbang Samba menewaskan Iba Tue, seorang Dayak Manyan yang dibantai oleh
sekelompok suku Madura. Warga Dayak yang kesal karena Iba Tue tidak bersalah meninggal
kemudian melakukan pembalasan dengan membakar rumah dan ternak suku Madura di
Tumbang Samba. Diawali kejadian sepele tersebut, pembakaran melebar hingga nyaris ke
seluruh desa. Saat itu upaya pemerintah adalah dengan mengevakuasi warga madura, ujar
Mantil. Sebanyak 37 warga Madura diungsikan keluar dari wilayah konflik (Tumbang
Samba) untuk mencegah kemungkinan munculnya korban yang lebih besar. Lepas
diungsikannya warga, keadaan di Tumbang Samba meredam. Keadaan kembali memanas
ketika setahun sesudahnya, 6 Oktober 2000, terjadi pengeroyokan oleh sekelompok orang
Madura terhadap seorang warga dayak bernama Sendung di sebuah lokalisasi kilometer 19
Katingan. Sendung tewas dengan kondisi mengenaskan. Merasa marah, suku Dayak akhirnya
melakukan sweeping terhadap suku Madura, kali ini kuantitas korban jauh lebih besar
daripada tahun 1999. Korban jiwa berjatuhan, bus bus trans milik warga Madura dibakar,
sementara para penumpang (suku Madura) disekap lantas dibantai. Upaya pemerintah saat itu
adalah mediasi melalui upacara adat Dayak agar konflik tidak berkelanjutan. Keadaan pun
mulai mereda. Namun siapa sangka hanya berselang empat bulan, tepatnya pada 18 Februari
2001, kerusuhan dengan skala besar terjadi. Keadaan memang sudah labil, tapi tetap saja
kita terkejut, ungkap Mantil. Pada Minggu subuh (18 Februari) etnis Madura mengepung
rumah Sehan dan Dahur, keduanya merupakan suku dayak Manyan. Sehan adalah
purnawirawan TNI pada saat itu. Pengepungan itu berakhir dengan dibakarnya rumah Sehan
dan Dahur, keduanya (beserta keluarga) tewas terbakar. Total sepuluh tewas pada pagi itu.
Kerusuhanpun pecah, pembakaran, pembantaian terjadi sepanjang hari itu. Polres dan TNI
bekerjasama mengungsikan warga Sampit ke Palangkaraya. Di tengah perang yang mulai
berkecamuk, pada Senin malam, tepatnya pada pukul 10.25, serangan balik dari suku Dayak
dilancarkan. Seminggu penuh aksi balas itu berlangsung, tidak terhitung berapa rumah
terbakar dan leher terpenggal selama perang itu terjadi. Hingga seminggu setelah tanggal 18
itu, kita 18 kali mengungsikan warga madura ke Surabaya, ujar Mantil. Jumlah total warga
yang mengungsi mencapai angka 57.000 jiwa. Para pengungsi di angkut menggunakan kapal
milik TNI dan perusahaan pelayaran swasta. Mereka di angkut menuju pulau Madura.
Hingga kini masih terekam dalam kepala warga Sampit mengenai sungai Mentaya yang
dipadati mayat tanpa kepala. Dan tentu saja, bau anyir darah yang menguar hingga sebulan
lepas kerusuhan. Tidak ada kalkulasi pasti mengenai jumlah spesifik korban kerusuhan. Saat
kerusuhan terjadi, markas Madura terkonsentrasi di Jalan Sarigading dan Hotel Rama. Wajar
jika kemudian temuan mayat terbanyak ada di kedua tempat tersebut. Suasana mencekam
berlangsung hingga sebulan pasca kerusuhan, Sampit berubah menjadi kota mati, bau amis
menyengat di setiap sudut kota. Tubuh tubuh tanpa kepala bergelimpang di tepi jalan. Mayat-
mayat korban kerusuhan akhirnya dikuburkan secara massal di kilometer 13,8 Jl. Jendral
Sudirman. Saya dan asisten I Kotim saat itu, pak Duwel Rawing (bupati Katingan sekarang)
sempat bingung kemana mayat-mayat itu harus dikuburkan, akhirnya, kita sepakat untuk
dimakamkan ke Km 13, ujar Mantil. Tidak main-main, jumlah mayat yang menggunung dan
sebagian besar sudah hancur itu harus dimakamkan secepatnya. Tidak memungkinkan untuk
menyolati mayat satu persatu. Saya sampai trauma makan seusai pemakaman itu, tutup
Mantil.(***) Kala itu, saya diminta untuk membuat sebuah liputan khusus (tipenya indepth
news). Saya kemudian mengisi satu halaman penuh edisi lipsus dengan tema konflik etnik.
Tulisan di atas sengaja disuguhkan dengan gaya penulisan boks (ringan). Rasanya agak sulit
menerjemahkannya ke dalam straight news. Lagipula, saya merasa memiliki sedikit
kelebihan dalam menyusun kalimat dalam penulisan boks. Saya menemui Mantil F Senas
sebagai narasumber. Untuk alasan status jabatannya di tahun 2001, dan dari segi kesukuan
beliau. Beliau seorang dayak dan beragama (?) kaharingan. Namun jujur saja, saya sempat
jatuh bangun mengejar beliau. Di kalangan wartawan, Mantil merupakan sosok yang cukup
sulit ditemui. Sebagai kepala dinas, mobilitas beliau cukup tinggi. Seorang rekan (dan) saya
bahkan sempat menunda penugasan hingga sebulan lebih lantaran beliau jarang ada di
tempat. Jangan tanya mengenai akses komunikasi, meminta nomor handphone beliau sama
susahnya dengan minta dikawini Bratt Pit (sori jayus). Dan akhirnya saa berhasil
memawancarai beliau. Data yang didapat (menurut saya) sangat dayaksentris. Untuk
mencoba mengimbangkan beritanya, saya mencoba untuk mencari sisa sisa anggota Ikatan
Keluarga Madura (Ikama). Yang saya belum ketahui saat itu adalah, Ikama ternyata sudah
dilarang masuk ke Sampit (Kotim). Hal ini di atur dalam Perda Kotim nomor 5 tahun 2004
pasal 7 ayat (2). Tidak terlibat langsung pada peristiwa konflik dan tidak terdaftar dalam
pengurus IKAMA Saya kemudian memutuskan untuk menulis : Mereka Pasrah, Diam dan
Menyerah RUSNANI ANWAR, Sampit Napak tilas perang etnis mengantarkan saya ke
perkampungan warga Madura di kawasan Gang Kutilang, Jalan Perkutut kelurahan MBH
Utara, kecamatan Baamang. Sembilan tahun lalu wilayah ini penuh dengan warga Madura.
Di Sampit (dan juga banyak wilayah Kotim lainnya), banyak terdapat titik titik
perkampungan madura. Mereka terbiasa hidup berkelompok. Kita tidak pernah cekcok,
damai sekali, ujar Arifin, warga gang Kutilang memaparkan bagaimana interaksi mereka
terhadap warga non Madura. Pria yang mengaku berasal dari Surabaya ini menyatakan
memang ada yang berubah dalam perihal tingkah laku warga Madura yang kembali datang ke
Sampit. Mereka sekarang lebih diam, memilih untuk menekuni kehidupan mereka sendiri
tanpa meributkan siapa yang harus berkuasa terhadap siapa. Saat ini, mereka yang menjadi
korban kerusuhan perlahan kembali ke tempat tinggal mereka dulu. Saya salut dengan
kemampuan orang Madura dalam hal bekerja, mereka memulai lagi semuanya dari nol, kerja
keras mereka seperti tidak ada batasnya, papar Wahidah, warga jalan Kutilang. Padahal jika
bicara mengenai perasaan, mereka para warga kecil Madura layak mengeluh. Mereka yang
tidak tahu menahu harus menjadi korban, tersingkir dari tanah kelahiran, kehilangan seluruh
harta benda. Tegar. Sebuah kata yang mampu merangkum seluruh perjuangan warga Madura
yang kembali ke Sampit. Saya di Madura malah bingung mau kerja apa, di sana saya tidak
punya apa-apa, ujar seorang Madura yang sedang asik meladang pada Minggu (14/2) pagi.
Di atas sisa-sisa bangunan rumah yang habis diluluhlantakkan mereka membangun kembali
nafas mereka. Menyusun kembali kepingan harapan di tanah ini. Tidak sedikit dari mereka
yang dulu seorang pengusaha berubah menjadi pekerja kelas rendah. Menjadi pedagang
upahan, buruh usaha kecil rumahan, tukang becak, pemulung, apa saja mereka geluti. Sulit
rasanya menemukan ketabahan luar biasa semacam itu di zaman sekarang. Mereka (warga
Madura), ketika kembali kesini seperti tidak kaget melihat harta bendanya hilang semua.
Mereka bilang Semua milik tuhan pasti akan kembali padanya, saya sampai sedih
mendengarnya, ujar salah seorang keluarga Arifin. Padahal, jika hendak mengenang masa
lalu, tahun tahun sebelum kerusuhan adalah masa emas bagi warga Madura di Sampit.
Kebanyakan dari mereka memang merupakan pekerja kerah putih. Yang sekedar berprofesi
sebagai petani, pedagang pasar maupun buruh bangunan. Sempat hadir sebuah guyonan lokal
yang kurang lebih menyebutkan warga Madura menyebut Sampit laksana surga, lantaran
pulau asal mereka hanya ada garam. Sebuah kisah kuno tentang sejarah suku Dayak saya
temukan pada Perpustakaan dan Arsip Daerah Kotim. Kisah kuno mengenai tokoh
Mangkurambang, seorang dayak yang dikisahkan berlayar dan terdampar di pulau Nipah,
Madura. Entah cerita tersebut sekedar sage atau justru kisah nyata, setidaknya dapat
memberikan gambaran seperti apa hubungan suku Dayak-Madura di masa lampau.
Dikisahkan dalam perjalanannya merantau, Mangkurambang membawa seekor ayam jago.
Dalam pelayarannya, pemuda itu terdampar dis ebuah pulau bernama Pulau Nipah. Di sana,
ayam yang ia bawa terus berbunyi gaduh. Hal ini memicu kemarahan raja Nipah, raja merasa
intergritasnya sebagai pemimpin suku direndahkan karena ayam yang terus berbunyi tersebut.
Perkelahianpun digelar, raja Madura melawan Mangkurambang sang putra Dayak. Dalam
dongeng itu, Mangkurambang memenangi duel tersebut. Putri raja Madurapun dipersunting
oleh Mangkurambang sebagai hadiah pertandingan. Mereka lantas hidup di pulau Nipah dan
memiliki keturunan berdarah Madura-Dayak. Dalam sekali waktu, kepala ikatan keluarga
madura (IKAMA) H. Marlinggi (alm) menyatakan bahwa beliau itu separuh badannya
merupakan orang dayak ,Nenek moyangnya orang Nipah, jadi pak haji (Marlinggi) saja
mengakui kalau di Madura ada suatu pulau dimana seluruh orang disana keturunan Dayak,
papar Mantil F Senas, kepala Disdukcapil Kotim yang terlibat langsung dalam konflik etnis
2001 silam. Dalam rangka sosialisasi peraturan daerah nomor 5 tahun 2004 ke kecamatan
Ketapang, Madura pada 22 Agustus 2004 silam, tim sosialisasi difasilitasi warga Ketapang
untuk berkunjung ke Pulau Nipah. Mantil yang tergabung dalam tim tersebut mengaku kaget
melihat kebiasaan warga Pulau Nipah. Pasalnya, warga pulau itu memiliki kebudayaan yang
sangat serupa dengan suku Dayak, baik dari adanya mandau, bentuk bangunan, hingga
kebiasaan teriakan Dayak dalam memanggil kera. Sosialisasi peraturan daerah no. 5 tahun
2004-pun disambut positif oleh warga Madura, peraturan tersebut antara lain menekankan
bahwa warga manapun yang menjadi pendatang di tanah habaring hurung harus menjunjung
tinggi falsafah Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, selain itu, perda tersebut juga
melarang orang-orang yang memiliki hubungan dengan IKAMA (Ikatan Keluarga Madura)
kembali ke kota Sampit. Perda tersebut, menurut Mantil sudah dipahami oleh warga Madura.
Pasal-pasal di dalam perna merunut persis tentang prosedur bagaimana seorang Madura bisa
kembali tinggal di Sampit. Antara lain ketentuan bahwa keharusan mereka membaur dan
mengikuti pola adat warga setempat. Kemudian dipaparkan bahwa yang menjadi eksekutor
atau pemegang hak untuk memperbolehkan atau menentang keberadaan warga Madura di
lingkungan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Jika warga lokal menolak, maka
mereka harus pulang, ujar Mantil. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan
munculnya kecemburuan sosial seperti yang terjadi sebelum kerusuhan. Keadaan dimana
pasar dikuasai oleh etnis tertentu membuat warga asli merasa cemburu. Mantil juga mengakui
jika dulu, warga Madura memiliki perangai keras. Saya sampai kesulitan mengevakuasi
pasar pada saat kerusuhan itu, tutupnya. Namun sekarang, sembilan tahun pasca bencana,
keadaan sudah kondusif, warga Madura yang kembali ke Sampit telah memahami
sepenuhnya peranan dan fungsi mereka sebagai warga pendatang.(***) Ketika kerusuhan
terjadi, saya baru berusia sembilan tahun. Sedari kecil saya tinggal di perkampungan Madura.
Umur sembilan tahun menjadi penanda pertama kalinya saya melihat mayat tanpa kepala,
menelan ajian dayak yang bisa membuat tubuh kebal tombak, dan terjebak di dalam rumah
yang tengah diserbu massa. Sama sekali bukan masa kecil yang menyenangkan. Saya
menyadari sepenuhnya indepth news yang saya coba bangun ini gagal. Saya tidak berhasil
cover both side. Saya belum mampu menafsirkan apa yang terjadi dengan warga Madura
hingga nekat menyerang warga dayak di Tumbang Samba. Jika berdasarkan konflik
perorangan, mengapa bisa meluas menjadi begitu besar? Sejauh ini, yang saya ketahui
mengenai percikan awal kerusuhan hanyalah pertikaian seorang Madura terhadap Dayak. Ini
hanya pendapat saya, mungkin ada semacam kecemburuan sosial terhadap kaum Madura
yang secara implisit menguasai Kotim dalam segi ekonomi. Iri? Atau justru ada semacam
kesetiakawanan yang sangat besar dalam tubuh masing masing suku hingga rela mati demi
terinjaknya harga diri seorang warganya? Atau, apakah ini lebih dari sekedar konflik internal
antar suku saja? Apakah ada kepentingan kekuasaan atau politisasi unsur SARA? (mengingat
di tahun 2001 adalah masa kepemimpinan Gus Dur, yang mana kita tau, beliau adalah
persona non grata di pemerintahan). Apakah benar ini hanya persoalan semantik antar suku
saja? atau ada kekuatan yang jauh lebih besar dan ikut melakukan politik ventriloquist?
Sebagai pemuja teori relativitas, maka jawaban saya, seperti biasa, MUNGKIN.
Suasana Ini Hilang Pascakonflik Ambon
Sekarang Ambon damai, antara warga yang saling berdampingan.
Suara.com - Konflik bernuasa suku, ras, agama dan golongan (SARA) di Ambon, Maluku
sudah berakhir sejak lama. Sekarang Ambon damai, antara warga yang saling berdampingan.
Namun ada yang hilang setelah konflik itu.
Pascakonflik itu, masyarakat kota Ambon telah terpisah secara geografis berdasarkan agama.
Komunitas Kristen berada di belahan selatan pulau Ambon, sedangkan komunitas Muslim
berada di belahan utara. Komunitas di dalam Kota Ambon sendiri terpisah berdasarkan desa,
sebab ada desa yang mayoritas Kristen dan ada desa yang mayoritas Muslim.
"Secara keseluruhan semua berjalan normal. Interaksi ekonomi, politik dan sebagainya. Tapi
konflik dahulu itu menyisahkan kondisi-kondisi yang terpisah secara geografis," jelas Tokoh
perdamaian dari Maluku Jacky Manuputty saat berbincang dengan suara.com, Kamis
(7/5/2015) pagi.
Dia mengatakan meski terpisah, mereka berbaur dalam ruang publik. Namun bedanya,
hampir 90 persen masyarakat di sana tidak bertetangga antar masyarakat yang berbeda
keyakinan.
"Saya kira yang hilang itu adalah perjumpaan-perjumpaan di ruang domestik (antar tetangga)
yah. Seperti pasar, kantor, sekolah, rumah sakit itu ruang publik. Mereka ketemu. Tapi
setelah sore selesai, mereka kembali ke ruang domestik muslim dengan muslim, Kristen
dengan Kristen," cerita Jacky.
Selain itu tidak ada pemandangan anak-anak antar lain kelompok yang bermain di malam
hari. Mereka bermain dengan komunitasnya sendiri. Namun itu terjadi bukan karena
bermusuhan, tapi soal jarak antar komunitas yang terpisah.
"Misal berkunjung di hari besar sebuah agama. Kehidupan tetangga itu hilang. Dulu (saya)
pas bangun tidur ada acara muslim yang salawatan, saya bisa minta kuenya. Jadi relasi
kemanusiaan yang hilang," katanya.
Mengembalikan suasana segar penuh toleransi
Jacky merupakan penerima anugerah internasional bertajuk Tanembaum Peacemaker in
Action Award tahun 2012. Penghargaan ini diberikan oleh lembaga Tanenbaum Center for
Interreligious Understanding di New York, Amerika Serikat.
Jacky juga salah satu deklarator Penjanjian Maluku di Malino yang mengakhiri konflik di
Maluku. Dia dan teman-temannya di Maluku membangun kelompok-kelompok damai lintas
iman yang mencakup jurnalis, perempuan, tokoh agama dan mahasiswa.
Salah satu program yang digagas Jacky dan berhasil melepaskan Ambon dari konflik adalah
'live-in'. Dalam program itu Jacky membawa tokoh-tokoh agama dan perempuan tinggal di
rumah orang-orang yang berbeda kepercayaan, bahkan pernah bermusuhan.
"Kami pertemukan antar anak-anak SD dari muslim dan agama lain. Mereka berkumpul,
setelah Magrib, kita break. Yang muslim salat, dilihat oleh yang agama lain. Setelah selesai,
yang melihat salat pada tepuk tangan. lho kenapa tepuk tangan? Mereka ini baru melihat hal
baru yang tidak bisa di lihat di komunitasnya. Dan itu menyenangkan," kata dia.
Jacky berharap 'live-in' bisa melahirkan agen perdamaian di sebuah daerah. Agen itu
memberi contoh cara hidup berdampingan dengan masyarakat berbeda kepercayaan.
"Bagaimana bersinergi antar tetangga. Yang pertama kita harus hidupkan aktor perdamaian,
yang memberi pengaruh ke komunitas yang tinggal di satu komunitas," kata Jacky.
DAFTAR PUSTAKA :
http://www.kompasiana.com/rusnanianwar/mengenang-kerusuhan-sampit-
2001_55007023a333114a73510cc4

http://www.acehmerdekapost.com/2015/09/aceh-bersatu-bisakah.html

http://halloapakabar.com/gereja-gidi-tolikara-sumbang-5-ekor-sapi-korban

http://www.suara.com/news/2015/05/07/124455/suasana-ini-hilang-pascakonflik-ambon

Anda mungkin juga menyukai