Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pestisida dan Teknik Aplikasi
Disusun Oleh : Leni Maryani 150510150282 Kelas A
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2017 MODE OF ACTION FUNGISIDA DAN BENTUK-BENTUK FORMULASI PESTISIDA
A. Mode of Action Fungisida
Fungisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk mengendalikan jamur patogen. Berdasarkan cara kerjanya fungisida digolongkan menjadi: 1. Fungisida kontak Fungisida kontak merupakan fungisida yang hanya bekerja pada bagian yang terkena larutan fungisida dan tidak dapat didistribusikan ke dalam jaringan tanaman. Fungisida kontak dapat disebut juga sebagai protektan karena mampu melindungi tanaman dari serangan patogen pada permukaan tanaman namun tidak mampu menyembuhkan tanaman yang sudah terserang. Fungisida kontak diaplikasikan pada permukaan tanaman seperti batang, buah, dan daun sebelum terjadinya penyakit atau sebelum patogen mengadakan kontak dengan permukaan tanaman tersebut. Fungisida kontak yang diaplikasikan tidak boleh bersifat fitotoksik. Sifat tersebut dapat diperoleh pada fungisida anorganik seperti tembaga, belerang, dan merkuri- organo (Djunaedy, 2008). Contoh fungisida kontak diantaranya fungisida yang berbahan aktif Cu yang berkerja dengan cara denaturasi protein yang menyebabkan kematian sel jamur. Fungisida diokarbamat, seperti mankoseb yang bekerja sebagai agen pengkhelat unsur hara yang dibutuhkan oleh sel jamur sehingga terjadi penghambatan pertumbuhan (Cremluyn, 1978 dalam Sumardiyono, 2008). Ada pula fungisida klorotalonil memiliki mekanisme kerja multi sites action atau bekerja pada banyak tempat dari tubuh jamur, atau bekerja secara nonspesifik. 2. Fungisida translaminar Fungisida translaminar merupakan fungisida yang dapat menembus jaringan tanaman tetapi tidak dapat didistribusikan di dalam jaringan tanaman. Fungisida translaminar dapat disebut juga sebagai eradikan karena diaplikasikan ketika patogen sudah ada di dalam tanaman atau pada saat tanaman berada di tingkat awal infeksi sebelum gejala kerusakan menjadi irreversible. Fungisida jenis ini mampu melakukan penetrasi kedalam jaringan tanaman guna memberikan efek racun pada patogen tanaman. 3. Fungisida sistemik Fungisida sistemik merupakan fungisida yang dapat didistribusikan ke seluruh jaringan tanaman. Berbeda dengan fungisida kontak, fungisida sistemik mampu bekerja hingga jauh dari tempat aplikasi karena dapat diserap oleh jaringan tanaman dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. Aplikasi fungisida sistemik dapat dilakukan melalui tanah untuk diabsorbsi oleh akar, melalui penetrasi daun, atau injeksi melalui batang. Fungisida sistemik bekerja bersama dengan proses metabolisme tanaman. Fungisida sistemik memiliki cara kerja single site action atau spesifik, sehingga hanya mampu bekerja pada satu tempat dari bagian sel jamur. Contoh fungisida sistemik yaitu oxathiin yang menghambat suksinat dehidrogenase yang penting dalam respirasi mitokondria, benzimidazole yang mengikat mikrotubulus pada pembelahan inti sehingga benang gelendong tidak terorganisir, serta antibiotika polioksin dan kitazin yang menghambat sintesis khitin patogen (Agrios, 1997 dalam Sumardiyono, 2008). Mekanisme kerja fungisida sistemik meliputi: 1) netralisasi enzim atau toksin yang terkit dalam invasi dan kolonisasi jamur, 2) akumulasi selektif fungisida karena permeabilitas dinding sel jamur lebih besar, 3) terjadinya kerusakan membran semipermeabel dan struktur infeksi jamur, 4) penghambatan enzim jamur sehingga mengganggu terbentuknya buluh kecambah, apresorium dan haustoriumm, 5) terjadinya khelat dan presipitasi zat kimia, 6) terjadinya antimetabolisme, 7) mempengauhi sintesis asam nukleat dan protein. Residu fungisida sistemik akan bertahan lebih lama di dalam tanaman apabila dibandingkan dengan residu dari fungisida kontak. Residu pada permukaan daun akan hilang melalui proses penguapan ataupun mengalami pencucian oleh air hujan. Namun, residu fungisida sistemik yang sudah memasuki jaringan tanaman akan terus berada di dalam tanaman hingga menyatu dengan jaringan tanaman. Beberapa fungisida juga menunjukkan aktivitas yang bukan hanya mematikan jamur patogen tetapi juga merugikan bagi jamur non-patogen bukan sasaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida khususnya fungisida sistemik tidak selalu berdampak baik.
Gambar 1. Cara kerja fungisida (Sumber: www.litbang.pertanian.go.id)
Beberapa efek samping dari mode of action fungisida terhadap mikroorganisme non-target menurut Yang, et all. (2011) adalah sebagai berikut: 1. Dapat memodifikasi truktur lipid dan komponen dasar membran sel sehigga berdampak pada fungsionalitas membran sel mikroba 2. Mengganggu biosintesis asam amino dan protein 3. Memengaruhi transduksi sinyal yang terjadi di tingkat membran 4. Menghambat proses respirasi 5. Memengaruhi mitosis 6. Memengaruhi sintesis Nucleid Acids
B. Bentuk-Bentuk Formulasi Pestisida
Berdasarkan formulasinya pestisida dibagi kedalam beberapa golongan sebagai berikut: 1. D (Dust/ tepung hembus) Berbentuk tepung kering dengan komposisi terdiri dari bahan aktif dan zat pembawa seperti talk. Untuk pengaplikasiannya digunakan alay khusus yang disebut duster. Kelemahan dari formulasi ini adalah serbuk yang ringan karena berukuran sangan kecil (antara 10-30 mikron) sehingga mudah terbawa angin, dibutuhkan dalam dosis yang banyak karena kandungan bahan aktif yang relatif rendah, serta mudah tercuci oleh air. 2. G (Granule/ butiran) Pestisida ini berbentuk butiran padat yang merupakan campuran dari bahan aktif berbentuk cair dengan bahan tertentu yang mudah menyerap bahan aktif tersebut. Kandungan bahan aktif pada pestisida dengan formulasi ini relatif rendah, yaitu hanya sekitar 2%. Penggunaannya dapat dilakukan dengan cara ditaburkan atau dibenamkan di sekitar perakaran tanaman atau dicampur dengan media tanam. Pestisida ini akan larut perlahan sehingga tidak mudah tercuci oleh air hujan dan residunya dapat bertahan lama di dalam tanah. 3. WG atau WDG (Water Dispersible Granule) Pestisida ini berbentuk butiran seperti pestisida granul. Namun dalam pengaplikasiannya harus dilarutkan dengan air terlebih dahulu. Pengaplikasian pestisida denga formulasi ini dilakukan dengan penyemprotan. 4. SG (Soluble Granule) Formulasi ini hampir sama dengan formulasi WG/WDG yang berbentuk butiran. Namun pestisida dengan formulasi SG akan membentuk larutan sempurna jika dicampur dengan air sehingga tidak diperlukan pengadukan terus-menerus. 5. SP (Soluble Powder/tepung yang larut dalam air) Pestisida ini berbentuk tepung yang dalam penggunaannya harus dilarutkan dalam air terlebih dahulu. Formulasi SP apabila dilarutkan dengan air akan membentuk larutan homogen. Larutan ini jarang mengendap sehingga pengadukan hanya dilakukan satu kali pada saat pencampuran. Pengaplikasiannya biasa dilakukan dengan cara penyemprotan. 6. WP (Wettable Powder/ tepung yang dapat disuspensikan dalam air) Pestisida ini berbentuk tepung dengan ukuran partikeul yang sangat kecil yang dalam penggunaannya harus dibahasi terlebih dahulu dengan air. Formulasi ini biasanya memiliki kandungan bahan aktif yang relatif tinggi, antara 50-80%. Pestisida dengan formulasi WP apabila dicampur dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pestisida jenis ini tidak larut dalam air, melainkan hanya tercampur saja, oleh karena itu pestisida dengan formulasi ini memerlukan pengadukan karena seringkali terbentuk endapan. 7. F/FW (Flowable) Formulasi ini merupakan campuran bahan aktif yang ditambah pelarut serbuk yang dalam penggunaannya dicampur dengan sedikit air. Hasil campurannya berbentuk seperti pasta atau disebut campuran basah. Campuran tersebut memiliki sifat seperti pestisida dengan formulasi WP. 8. EC (Emulsifiable Concentrate/cairan) Bentuk pestisida ini adalah cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Pestisida dengan formulasi EC menggunakan solvent berbasi minyak sehingga jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi. Pestisida dengan formulasi ini biasanya mengandung bahan aktif dengan kadar yang relatif tinggi. 9. WSC (Water Soluble Concentrate) Formulasi ini mirip dengan formulasi EC, akan tetapi solven yang digunakan berbass air. Oleh karena itu formulasi ini akan membentuk larutan homogen apabila dicampur dengan air. 10. SL (Soluble liquid) Pestida ini merupakan formulasi pestisida berbentuk cair yang mudah larut dalam air. 11. AS (Aquaeous Solution) Formulasi pestisida ini sangat mudah larut dengan air karena memiliki sifat kelarutan yang tinggi. 12. S (Solution) Solution merupakan formulasi yang dibuat dengan melarutkan pestisida ke dalam pelarut organik yang dapat digunakan dalam pengendalian OPT secara langsung tanpa dicampur bahan lain. 13. ULV (ultra low volume) Pestisida ini merupakan bentuk khusus dari formulasi solution (S). bentuk murninya merupakan cairan yang pada umumnya berbasis minyak. Formulasi pestisida ini mengandung bahan aktif dengan konsentrasi yang tinggi. Pestisida dengan formulasi ULV biasa digunakan pada areal yang sulit air karena dapat diaplikasikan dengan volume penyemprotan yang sangat rendah yaitu antara 1-5 liter/hektar. 14. Aerosol Aerosol merupakan formulasi yang terdiri dari campuran bahan aktif berkadar rendah dengan zat pelarut yang mudah menguap (minyak) kemudian dimasukkan ke dalam kaleng yang diberi tekanan gas propelan. Formulasi ini banyak digunakan dalam skala rumah tangga, rumah kaca, dan pekarangan. REFERENSI
Azzamy. 2015. Mengenal Bentuk Formulasi Pestisida. Diakses melalui:
http://mitalom.com/mengenal-bentuk-formulasi-pestisida/ (18 September 2017 Pukul 19.45 WIB). Dadang. 2006. Pengenalan Pestisida dan Teknik Aplikasi. Fakultas Pertanian Institur Pertanian Bogor. Bogor. Djunaedy, Achmad. 2008. Aplikasi Fungisida Sistemik dan Pemanfaatan Mikoriza dalam Rangka Pengendalian Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.). Embryo Vol. 5 (2) h. 149-157. Sumardiyono, Christan. 2008. Ketahanan Jamur terhadap Fungsida di Indonesia (Resistance of Fungicide Agains Fungicides in Indonesia). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol.14, No.1, 2008: 1-5. Yang, et all. 2011. Fungicide: Modes of Action and Possible Impact on Nontarget Microorganisms. International Scholarly Research Network ISRN Ecology Volume 2011, Article ID 130289, 8 pages.