PENDAHULUAN
Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana baik bencana alam maupun akibat ulah
manusia disebabkan letak geografis, jumlah penduduk, keterbatasan sarana. Setiap bencana pasti
menimbulkan korban baik korban hidup yang mengalami luka-luka atau korban mati, secara
teknis penanganan korban hidup telah mendapatkan perhatian yang cukup baik dengan
melibatkan baik Pemerintah, LSM maupun masyarakat. Penanganan korban mati juga harus
mendapat perhatian yang lebih optimal.
Saat ini identifikasi korban mati merupakan suatu hak asasi manusia (HAM) pada serta
pemenuhan aspek legal sipil juga untuk keluarganya, termasuk identifikasi masalah korban bom
atau korban akibat terorisme lainnya. Kementerian Kesehatan bersama dengan Kepolisian RI
sejak tahun 1999 telah melakukan kerjasama dalam penanganan korban mati dengan beberapa
kegiatan yang telah dilakukan, antara lain penerbitan buku Pedoman Penatalaksanaan
Identifikasi Korban Mati pada bencana dan musibah massal.
1.2 Tujuan
Dengan membahas tentang DVI secara lebih jelas dan rinci,maka diharapkan dapat
memberikan pengetahuan mengenai definisi, serta tahap-tahap yang dilakukan pada setiap
bencana yang terjadi oleh orang-orang yang terlibat dalam DVI dalam upaya mengidentifikasi
dan mengkoordinasi korban sesuai aturan dan prosedur yang berlaku.
1
1.3 Manfaat
Penulisan makalah tentang DVI ini dapat menjadi bacaan yang memberikan pengetahuan
tentang bagaimana prosedur yang dilakukan untuk mengidentifikasi korban meninggal pada
sebuah bencana.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban
meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah
serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak
Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai
penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti
kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi
terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi
korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat
korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3
bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif
melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan evakuasi
korban meninggal dari tempat kejadian
2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat rujukan korban
meniinggal
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait
Setiap operasi respon bencana dimulai dengan pengukuran kegawatan untuk mencegah atau
mengurangi bahaya yang lebih lanjut :
Laporan lisan awal untuk unit penyelamatan darurat jarang sekali memberikan informasi rinci
atau indikasi yang jelas tentang lingkup bencana dan jumlah korban.
Oleh karena itu ketua dari tim emergency rescue harus bekerja sama dengan polisi untuk
membuat daan mengevaluasi :
5
pencarian. Metode ini telah terbukti sangat efektif untuk daerah bencana relatif besar. Grid terdiri
dari garis dasar yang hasil dari atau berjalan antara titik tetap diidentifikasi pada tanah serta garis
paralel ditarik pada interval misalnya 10 m (tapi tergantung situasi), sehingga membentuk bagian
persegi di mana pencarian dapat metodis dilakukan. Sejauh mungkin, grid harus menutupi
seluruh daerah bencana
Pada prinsipnya, disaster victim identification terdiri dari lima fase, yaitu :
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana.
Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas
jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara
keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam
penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk
operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan
petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
6
1. Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area
bencana.
2. Perkiraan jumlah korban.
3. Keadaan mayat.
4. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
5. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
6. Metode untuk menangani mayat.
7. Transportasi mayat.
8. Penyimpanan mayat.
9. Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah
utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to
collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.
1. To Secure
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah
untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara lain
adalah :
Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan
(penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police
line.
Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehadiran
dan otorisasi.
Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan
area bencana.
2. To Collect
7
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan
korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
3. Documentation
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan
kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor
dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
b. Metode ilmiah,
Prosedur identifikasi korban terdiri dari 4 utama tahap, yaitu:
8
(1) penandaan dan mengantongi tubuh,
(2) sidik jari,
(3) patologi forensik, dan
(4) kedokteran gigi forensik. Mayat-mayat itu, tentu saja, didinginkan baik sebelum dan setelah
prosedur, dan kemudian dibalsemkan setalah itu dipulangkan.
Pelabelan tubuh masing-masing dengan nomor identifikasi yang unik, diikuti oleh
penempatan di dalam kantong kedap air tubuh dilakukan oleh tim DIV. DVI merancang sistem
pelabelan yang terdiri urutan angka berikut: telepon kode negara internasional-situs nomor - (5-
digit) tubuh nomor (misalnya 65-1-00123) .
Fingerprinting
Sidik jari dari tubuh yang sangat membusuk atau mengalami lebam mayat( post mortem),
yang hampir selalu menunjukkan deskuamasi (mengelupas) kulit yang meluas, menimbulkan
tantangan yang cukup untuk petugas polisi yang ditugaskan untuk tugas itu. Identifikasi
fingerprinting mengunakan "teknik bubuk", yang memerlukan aplikasi hati-hati dan lembut,
dimana prosesnya menabur bedak kering ke ujung jari dengan kuas, disertai permukanan dari
kulit longgar di bagian distal dari jari-jari yang berisi lipatan kulit yang unik, teknik ini bekerja
dengan cukup sukses
Forensic Pathology
Setiap tubuh berlabel dan sidik jarinya diperiksa oleh tim 4-anggota DVI, yang terdiri dari
ahli patologi forensik, seorang teknisi anatomis, seorang penulis (biasanya seorang perwira polisi
atau penyidik forensik kematian), dan seorang fotografer (biasanya adegan-of-kejahatan atau
petugas FMB). Dalam bencana massal hebat, tujuan dari pemeriksaan post-mortem (AM) adalah
untuk mendapatkan petunjuk yang mungkin menyebabkan identifikasi positif dari para korban
yang meninggal, bukan untuk menetapkan penyebab kematian (yang sebagian besar akan terjadi
9
karena tenggelam atau beberapa luka-luka yang ditimbulkan oleh bencana alam). Sebuah
prosedur yang disederhanakan karena itu didirikan untuk mempercepat pemeriksaan apa yang
ribuan tubuh yang sangat busuk. Prosedur ini terdiri langkah-langkah berikut:
Forensic Dentistry
Ilmu gigi forensik terdiri 2 bagian: pemeriksaan gigi dan radiologi gigi. Tim dari
odontologists diawasi oleh seorang odontologist senior ("dokter gigi super"), bekerja di bagian
ini. Untuk memudahkan pemeriksaan gigi. Untuk memudahkan pemerikasaan dilakukan insisi
10
bilateral dari leher anterior atas ke bagian belakang telinga. Kulit dan jaringan di bawahnya
kemudian terdorong ke atas seluruh wajah untuk mengekspos rahang atas dan rahang bawah.
Pada bagian pemeriksaan gigi, 1 dokter gigi (pemeriksa) memeriksa gigi tetap, sementara
yang lain (juru tulis) mendokumentasikan hasil. Jumlah tim bisa sampai dengan 4 orang yang
bisa bekerja di bagian ini pada waktu itu.
Pertama gigi-gigi disikat bersih untuk dokumentasi fotografi. Foto Three Polaroid
diambil, yang terdiri dari pandangan frontal gigi anterior, dan pandangan oklusal rahang atas dan
bawah. Foto-foto ini diberi label dengan nomor tubuh.
Tim penguji-juru tulis gigi kemudian mulai untuk menulis catatan post-mortem gigi.
Dokter gigi melakukan pemeriksaan gigi dan melaporkannya dengan berseru sedikit keras untuk
setiap jenis gigi, sedangkan juru tulis dokter gigi memetakan mereka dalam bentuk DVI merah
muda menggunakan interpol dental charting system.
Interpol dental charting system dipekerjakan oleh World Dental Federation (FDI) yang
memberikan penomoran gigi, yang membagi menjadi 4 kuadran dentitions, nomor 1 sampai 4.
Kuadran kanan atas adalah 1, 2 kiri atas, kiri bawah dan kanan bawah 3, 4. Gigi diberi nomor
dari garis tengah ke posterior, misalnya, gigi seri tengah adalah # 1, # 3 dan taring molar ketiga #
8. Gigi dilambangkan dengan kode 2-digit (kuadran dan gigi). Rincian sistem post-mortem
charting Interpol dirangkum dalam Lampiran.
Selama pemeriksaan gigi, gigi-gigi tersebut akan dicocokan dan dikembalikan atau
disambung dengan saluran akarnya untuk diidentifikasi untuk penyelidikan lebih lanjut
mengunakan radiografi. Gigi yang tak disambung ke akarnya kemudian dipilih untuk ekstraksi.
Gigi-gigi ini akan menyediakan sumber DNA genom untuk profil DNA. Gigi yang dipilih untuk
di ekstraksi adalah gigi geraham, karena pulp mereka lebih besar, gigi utuh lainnya juga bisa
dipilih. Jika gigi seperti itu tidak tersedia, seperti pada orang tua atau bayi, segmen poros tulang
femur akan digunakan walaupun ada gangguan patologis ataupun ada gangguan nonpotologis.
Pada bagian radiologi gigi, odontologists juga bekerja berpasangan. Satu dokter gigi akan
melakukan prosedur x-ray gigi tetap, sementara yang lain, setiap film berlabel terkena dengan
11
jumlah tubuh sebelum mengirimkan mereka untuk diproses. Dua sayap gigitan radiografi, 1
untuk setiap sisi rahang, dan radiografi tambahan lainnya diambil.
Setelah film telah selesai diproses, mereka diperiksa untuk kualitas. Setiap informasi
lebih lanjut mengungkapkan dengan radiografi akan direkam dalam bentuk DVI merah muda.
Jika perlu, radiografi diulang. Setelah radiograf dianggap memuaskan, gigi yang diidentifikasi
sebelumnya untuk profil DNA akan diekstraksi, ditempatkan dalam wadah plastik steril, dan
dikirim ke area pengumpulan DNA. Para, dokter gigi, akan melaksanakan pemeriksaan final dari
dokumen dan radiografi, sebelum mengembalikan tubuh kedalam wadah pendingin.
Meskipun ilmu gigi forensik adalah proses melelahkan dan memakan waktu, itu
menghasilkan informasi yang mengarah pada identifikasi yang relatif cepat dari sejumlah korban
di tahap awal proses DVI.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data
sekunder sebagai berikut :
Primer : Sidik Jari, Profil Gigi, DNA.
Secondary : Visual, Fotografi, Properti Jenazah, Medik-Antropologi (Tinggi Badan, Ras,
dll).
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan
untuk mencegah perubahan perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan
meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini
biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang
diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tattoo,
tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup,
sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain yang relevan dan
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir
yang dikenakan korban.
12
2.3.4 Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli
forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan
post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai
jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau
telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang
sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik
kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak
teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan
mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang
menguburkan jenazah.
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal
ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban. Adalah sangat
penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk
dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan
agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan
bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigation bukan didasarkan pada cepat
atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan
identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, disaster victim investigation terkadang menemui
hambatan hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem
pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang
13
dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medis pemeriksaan
gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui kendala.
Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua
penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya sendiri,
karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang lain yang bukan
merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si pembuat SIM. Ditambah lagi tidak
semua penduduk Indonesia pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga
pengumpulan data profil gigi memang masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada
pengumpulan data post-mortem juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang
polisi sebagai organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang
memadai untuk membayar pemeriksaan.
Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi
tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan pemeriksaan,
namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana tersebut sangat sulit
sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya. Hal ini tentunya sangat
merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai
benar tidaknya suatu jenazah merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap
mengenai hal hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena
Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik
akan sangat diperlukan di Indonesia.
Seperti aturan, pencarian mayat korban bencana tidak bisa dimulai sampai semua korban
telah diselamatkan. Unit-unit penyelamatan darurat yang tiba di lokasi bencana depan tim
pemulihan harus diinformasikan sesuai itu, sementara penyelamatan kehidupan dan perawatan
medis didahulukan, perawatan harus diambil selama darurat untuk memastikan bahwa banyak
tubuh dan bukti bagian tubuh sebagaimana bukti lainnya, efek personal, dll, yang tidak tersentuh.
Pemulihan tubuh / bagian tubuh dan menyimpan bukti / barang pribadi yang ditemukan di
lokasi bencana merupakan langkah pertama dalam proses identifikasi korban, dan operasi ini
14
dalam kebanyakan kasus mulanya kacau dan tidak terorganisir. Karena sejumlah besar unit
organisasi sering sangat berbeda terlibat dalam proses ini, komunikasi dan koordinasi fungsi dan
tanggung jawab sangat sulit.
Untuk mengatasi kekacauan awal, pencarian terstruktur dan fase penemuan harus disiapkan
bekerjasama dengan Tim Pengumpul Bukti (Evidence Collection Team), Tim Investigasi
Bencana (the Disaster Investigation Team) dan Tim Kontrol Akses dan Keamanan ( Access
Control and Security Team). Fase ini meliputi pencarian untuk tubuh, properti dan bukti (yang
juga dapat digunakan dalam penyelidikan berikutnya ke penyebab bencana).
Dalam kasus bencana dengan sejumlah besar korban, pembentukan bagian operasional untuk
pengumpulan bukti pemulihan dan merupakan kebutuhan mutlak. Bagian operasional
bertanggung jawab untuk:
a. rekoveri/pemulihan semua badan dan bagian tubuh di lokasi bencana;
b. pengumpulan dan pelestarian properti yang ditemukan di lokasi bencana yang tidak
secara langsung sesuai dengan pemulihan kembali dari suatu bagian tubuh atau badan;
c. pengumpulan dan pelestarian efek pribadi lainnya dari korban bencana yang ditemukan
di sekitarnya/sekeliling daerah bencana (misalnya barang-barang pribadi korban di hotel,
dll).
Sedapat mungkin, tanggung jawab untuk pemulihan dan operasi pengumpulan bukti harus
ditempatkan di tangan polisi, spesialis seperti odontologists dan patologist yang dilatih untuk
mengenali dan membedakan jaringan manusia yang diperlukan.
Tim Pemulihan dan Koleksi Bukti melakukan tugas-tugas berikut yang berkaitan dengan
pemulihan tubuh:
a. Lokalisasi semua badan / bagian tubuh
b. Eksposur tubuh, jika perlu (dengan bantuan dukungan personil yang tepat dan peralatan
yang sesuai)
c. Marking tubuh / bagian tubuh dengan pelat nomor bukti yang jelas dibaca dan tidak dapat
dihapus.
d. Penempatan pisahan unik untuk setiap bagian tubuh / badan
e. dokumentasi situs penemuan (deskripsi, foto, sketsa atau survei dari posisi tubuh dengan
bantuan GPS dan/atau instrumen survei TKP)
f. dokumentasi foto tubuh untuk file pemulihan dan pemeriksaan medis forensik
g. melampirkan nomor pemulihan untuk bagian tubuh / badan. Nomor ini digunakan
sebagai nomor referensi tubuh dan tetap ditempelkan di bagian tubuh / tubuh selama
proses identifikasi keseluruhan.
h. perampungan Formulir DVI Interpol Post Mortem (merah muda), Bagian B, (Data
Recovery), dengan mengacu ke nomor pemulihan
16
i. penempatan bagian tubuh / tubuh dalam kantong mayat, lampiran nomor pemulihan
untuk bagian luar kantong mayat, penyegelan kantong mayat
j. transportasi bagian tubuh / tubuh ke Pusat Komando Pemulihan
k. perbaikan dan penyusunan dokumen pemulihan dan penyerahan dokumentasi ke Pusat
Komando Pemulihan; pengadaan dokumen pemulihan baru bila diperlukan
l. transfer bagian tubuh / badan dan dokumen pemulihan untuk Pusat Komando Pemulihan
(Recovery Command Centre)
BAB III
PENUTUP
18
Kesimpulan
Tim DVI mempunyai tugas membina dan mengkoordinasikan semua usaha serta kegiatan
identifikasi, sesuai aturan dan prosedur yang berlaku secara nasional maupun Internasional pada
korban-korban mati massal akibat bencana (Disaster Victim Identification).
Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang berlaku
merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara ilmiah dan secara
hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat
dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan
bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.
Proteksi pada kehidupan memiliki prioritas utama dibandingkan yang lain, ini berlaku
tidak hanya untuk korban bencana tapi ini juga berlaku pada personil. Cara lain dalam mencegah
atau mengurangi bahaya lebih lanjut itu dapat dilakukan dengan cara pengamanan daerah
bencana sehingga tim dapat bekerja maksimal tanpa ada gangguan dari luar seperti penonton,
wartawan, dll.
Daftar Pustaka
19
Badan nasional penanggulangan bencana.2011. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia.
Available from: http://www.bnpb.go.id/website/asp/berita_list.asp?id=328. Accessed on 17
desember 2011
G. Lau, W.F. Tan, P.H. Tan, 2005, After the India Ocean Tsunami: Singapores Contribution to
the international Disaster Victim Identification Effort in Thailand: Ann Acad Med
Singapore;34:341-51. Access on 11 december 2011
Kementrian kesehatan RI. 2010. Disaster Victim Identification (DVI). Available from:
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:disaster-victim-
identification-dvi- . Accessed on 17 desember 2011
20