Anda di halaman 1dari 5

Pengaruh Etika sebagai Filsafat Moral dalam Hidup Manusia

Jonathan Victorya
102017172
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Abstrak :
Filsafat merupakan suatu dasar dari ilmu, dalam perkembangannya ilmu pengetahuan
semakin spesifik, namun dengan banyaknya masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu maka
filsafat menjadi tujuan jawaban tersebut. Filsafat mengatur hal menyeluruh dalam kehidupan
manusia termasuk moral yang dikaji dalam filsafat moral. Di dalam filsafat moral terdapat teori
etika teleologi yang merupakan etika yang ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai. Etika
teleologi dikategorikan menjadi beberapa etika. Setiap kategori tersebut memiliki pengaruh
masing-masing kepada kehidupan setiap manusia. Pengaruh tersebut dapat terlihat dari setiap
keputusan yang diambil oleh manusia dalam mencapai tujuan yang baik.
Kata kunci: Filsafat, Filsafat moral, Etika teleologi

Abstract :
Philosophy is a foundation of science, in the development of science more specific, but with
the many problems that cant be answered by science, the philosophy becomes the goal of the
answer. Philosophy governs the whole thing in human legi including morals studied in moral
philosophy. In moral philosophy there is theory of teleleogical ethics which is the ethics
determined by the goals to be achieve. Ethical teleology is categorized into several ethics. Each of
these categories has am influence on each humans life. The effect can be seen from every decision
taken by human in achieving good goals goal.
Key words: Philosophy, Moral philosophy, Ethical teleology
Pendahuluan
Untuk mempelajari filsafat moral sebaiknya terlebih dahulu mengerti pengertian dari
filsafat itu sendiri. Filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia yang terdiri dari dua kata
yaitu philos berarti cinta dan Sophia berarti pengetahuan yang bijaksana. Munculnya filsafat
pada abad ke 5 SM merupakan suatu pendobrak pada masa itu terhadap mitos. Hal ini membuat
revolusi pada suatu kebenaran, dimana mulai adanya mencari suatu kebenaran dari setiap hal yang
ada. Pada zaman ini akal menjadi sarana mencari kebenaran bahkan menjadi sumber kebenaran.1
Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seperti seorang yang berpijak dibumi
mengadah melihat ke bintang-bintang yang ingin mengetahui hakikat dirinya di dalam kemestaan
galaksi. Atau dapat seperti seseorang yang berdiri di puncak tinggi memandang kearah lembah.
Hal ini menyatakan bahwa berpikir filsafat memiliki tiga sifat yaitu menyeluruh, mendasar, dan
spekulatif. Sifat menyeluruh ini memandang bahwa pemikiran filsafat tidaklah sempit melainkan
luas. Sifat mendasar berarti di dalam tiap sudut persoalan perlu dianalisis secara mendalam.
Sedangkan sifat spekulatif artinya menganalisa suatu persoalan bukan dengan untung-untungan
tetapi harus memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.2
Menurut Jujun S. Suryasumantri pokok permasalahan yang dikaji Filsafat mencakup tiga
segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik
dan mana yang diangggap buruk (etika) dan serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk
jelek (estetika).ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama teori
tentang ada : tentang hakekat keberadaan zat, tentang hakekat pikiran serta kaitan antara zat dan
pikiran yang semuannya dalam metafisika. Kedua, politik : yakni kajian mengenai organisasi
sosial/pemerintahaan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi
cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik diantaranya filsafat
ilmu.3
Dasar pemikiran inilah yang membuat bahwa filsafat memiliki pengaruh yang besar dalam
kehidupan setiap manusia baik dalam segi etika, pengetahuan maupun estetika. Makalah kali ini
akan membahas bagaimana pengaruh etika sebagai filsafat moral dalam kehidupan manusia.
Mengingat bahwa etika berbicara baik atau salah, pantas dilakukan atau tidak sehingga ini menjadi
menghiasi hidup setiap manusia.4
(Etika) Filsafat Moral
Etika merupakan cabang dari filsafat mengenai nilai baik dan buruk. Etika disebut juga
sebagai filsafat moral. Etika membicarakan pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan baik dan
buruk, susila atau tidak susila dalam hunbungan setiap manusia.1 Etika berasal dari bahasa yunani
ethos yang mempunyai banyak arti: akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam
kata jamak disebut ta etha artinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir ini yang menjadi patokan
bagi seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles (284-322 SM) untuk menunjukan bahwa etika
merupakan filsafat moral. Jika membahas mengenai etika maka akan terselip juga sebuah kata
yaitu moral. Moral berasal dari bahasa latin yaitu mos( jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan
atau adat. Hal ini berarti etimologi dari etika sama dengan etimologi dari moral, akan tetapi
terdapat perbedaan antara etika dengan moral. Etika di dalam posisinya sebagai filsafat moral
memiliki kedudukan sebagai ilmu dan bukan sebagai ajaran sehingga tidak berada di tingkat yang
sama. Ajaran moral lebih mengajarkan bagaimana kita hidup, sedangkan etika lebih ingin
mengetahui mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana sikap
bertanggungjawab kita ketika dihadapkan berbagai ajaran moral.5 Teori etika terbagi atas dua yaitu
berdasarkan kewajiban yang disebut sebagai Etika deontologi dan Etika yang berdasarkan
tujuannya yang disebut Etika teleologi.

Etika Teleologi
Etika teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, akhir, maksud dan
logos yang berarti perkataan. Teleologi adalah sebuah ajaran yang menekankan segala sesuatu
atau segala kejadian pada tujuannya. Istilah ini pertaman kali dibawa olh filsuf jerman bernama
Christian Wolff. Teleologi disebut juga studi filosofis mengenai gejala-gejala yang
memperlihatkan tujuan, akhir, maksud, sasaran dan bagaimana suatu hal dicapai dalam proses
pengembangan. Menurut Etika teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila bertujuan
menghasilkan akibat yang baik. Sebaliknya, sesuatu dinilai buruk apabila bertujuan menghasilkan
akibat buruk. Hal ini membuat teleologi mengerti mana yang benar dan yang salah, tetapi semua
itu bukanlah ukuran yang terakhir. Teleologi lebih mementingkan tujuan dan akibat, walaupun
secara hukum itu salah tetapi jika tujuannya baik maka hal itu dianggap baik.6 Etika teleologi
dapat dikategorikan menjadi beberapa, yaitu secara garis besar hedonisme, eudemonisme, dan
etika situasi.
Pertama, Hedonisme merupakan paham yang menekankan kepada kesenangan, dimana
menyatakan bahwa yang baik adalah kesenangan atau kekuasaan. Tokoh pertama yang
mengajarkan aliran ini ialah Democritos (400-370 SM) . istilah hedonisme berasal dari bahasa
Yunani kuno hedonen yaitu kesenangan. Ia melihat bahwa kesenangan menjadi tujuan dalam hidup
ini, tetapi bukan kesenangan fisik melainkan kesenangan menjadi perangsang intelek manusia.
Aristippus mengatakan bahwa kesenangan adalah satu-satunya yang dicari oleh manusia.
Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan yang berkaitan dengan panca indra atau yang
berhubungan dengan hal indrawi.7
Kedua, eudemonisme merupakan konsep mengenai kebahagiaan. Paham ini dilahirkan
oleh Aristoteles karena menganggap bahwa jika manusia hanya mencari kenikmatan atau
kesenangan sama derajatnya dengan binatang. Menurut Aristoteles sesuatu hal yang dilakukan
oleh manusia harus demi tujuan bak, yaitu demi suatu nilai dan nilai itu merupakan tujuannya.
Aristoteles melihat hal ini menjadi dua perspektif yang pertama dilihat dari tujuan yang dicari lebih
jauh dan tujuan terhadap diri sendiri. Misalkan saja uang, uang dicari bukan untuk dirinya sendiri
melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih jauh, misalkan membayar pendidikan. Hal ini berarti
uang hanya menjadi sebuah sarana untuk tujuan lain bukan untuk tujuan pada dirinya sendiri. Oleh
karena itu, Aristoteles mengungkapkan suatu hal yang bertujuan untuk diri manusia itu sendiri
sehingga konsep eudomonisme pun muncul.8,9
Ketiga, etika situasi merupakan konsep dari Joseph Fletcher seorang teolog Kristen
protestan dimana suatu tindakan berdasarkan situasi yang ada. Etika situasi menolak norma-norma
moral umum karena bagi mereka kewajiban moral bergantung pada situasi konkret. Jadi apa yang
dapat kita lakukan pada situasi tertentu, dalam etika situasi tidak dapat diketahui begitu saja dari
sebuah norma atau hukum moral. Misalnya dalam situasi yang sama baik dan tepat, dalam situasi
lain bisa salah dan jelek. Fletcher menegaskan bahwa etika situasi hanya menegakan satu norma
moral yaitu cintakasih. Tindakan apapunn dianggap benar apabila berdasarkan cintakasih dan
salah apabila bertentangan dengan hal tersebut. Sikap moral dari etika situasi harus
bertanggungjawab pada cintakasih.10
Kesimpulan
Dari uraian diatas kita mengerti bahwa kemunculan filsafat menjadi pendobrak dari tanda
dimulainya mencari suatu kebenaran berdasarkan pengetahuan. Filsafat mengkaji setiap hal
didalam hidup manusia terutama dari sisi nilai-nilai moral. Semua hal tersebut di pelajari didalam
etika yang merupakan cabang dari filsafat. Etika disebut juga sebagai filsafat moral. Etika memiliki
pengaruh yang penting dalam kehidupan manusia, dimana etika berbicara mengenai baik atau
buruknya suatu tindakan. Hal ini menjadi menghiasi setiap kehidupan manusia dalam bertindak.
Setiap manusia bertindak berdasarkan tujuannya masing-masing dimana tujuan tersebut harus
membawa dampak baik bagi dirinya, baik itu berupa kesenangan maupun ketingkat yang lebih
jauh yaitu kebahagian.

Daftar pustaka
1. Wilujeng SR. Filsafat, etika dan ilmu: upaya memahami hakikat ilmu dalam konteks
keindonesiaan. Dipost pada tanggal 1 Oktober 2016. [Diakses pada tanggal 30 Oktober 2017].
[12 halaman]. Diakses dari http://www.tappdf.com/read/1333-filsafat-etika-dan-ilmu-undip-e-
journal-system-portal.
2. Imron. Sejarah filsafat; filsafat kuno periode axial dan asal-usulnya. Tamaddun Juni
2013;13(1):2
3. Suriasumantri JS. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Total
GrafikaIndonesia; 2003
4. Marzuki. Etika dan moral dalam pembelajaran. 2013. Hal 1
5. Syaroni M. Etika keilmuan: sebuah kajian filsafat ilmu. Teologia Januari-Juni 2014;25(1)
6. Dwihantoro P. Etika dan kejujuran dalam berpolitik. Politika Oktober 2013;4(2):18
7. Armawi A. Dari konsumerisme ke konsumtivisme (dalam perpektif sejarah filsafat barat).
Jurnal Filsafat Desember 2007;17(3):317
8. Esha MI. Konsep pengembangan diri aristoteles. [online]. Diakses pada tanggal 30 Oktober
2017. Terdapat di URL: http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-
content/uploads/2014/03/Konsep-Pengembangan-Diri-Aristoteles.pdf
9. Magnis F. Aristoteles: menuju kebahagiaan. Dalam: 13 tokoh etika. Yogyakarta: Kanisius;
1997: h. 30
10. Magnis F. Joseph Fletcher: etika situasi. Dalam: Etika abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius; 2006: h. 111-14

Anda mungkin juga menyukai