Anda di halaman 1dari 44

Page |1

KELOMPOK 10
KONSELING MULTIKULTURAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Konseling Lintas Budaya
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Mungin E. Wibowo, M.Pd, Kons.

Nama :
CHRISMASTUTI 0105513029
ALIYAH MUFIQOH 0105513053
SRI CIPTO DIAN C 0105513025

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
Page |2

1. PENGERTIAN KONSELING MULTIKULTURAL


Menurut Gibson dan Mitchell (2011)
Amerika serikat selalu dikenal sebagai negeri dengan populasi yang sangat beragam
tempat budaya - budaya selain kulit putih memberikan kontribusi masing-masing bagi keagungannya.
Selama 40 tahun belakangan, perhatian semakin terarah pada keunikan dan hak-hak budaya minoritas
ini. Gerakan kesetaraan hak dan gerakan hak-hak sipil, dan pelulusan legislasi juga menfokuskan
perhatian pada kestaraan ras dan gender di perempat terakhir abad XX. Selain itu proyeksi
pertumbuhan jumlah riil dan presentase populasi minoritas Amerika beberapa dekade mendatang turut
meningkatkan urgensi pengembangan hubungan bantuan positif di antara semua budaya kita.
Meningginya perhatian nasional ini juga tercermin di profesi konseling menyertai peningkatan
mencolok atensi bagi kebutuhan dan isu-isu konseling multibudaya yang muncul 30 tahun terakhir.
Dewasa ini, para konselor di lingkup apapun harus paham kalau mereka sedang berfungsi
di sebuah desa global. Kita harus menyadari tengah menghadapi beragam manusia, jadi bukan sekedar
minoritas saat kita bicara tentang budaya. Masyarakat yang heterogen ini memiliki budayanya sendiri
yang membimbing perilaku, peristiwa dan harapan mereka. Dalam konteks ini, konseling sebagai
hubungan antar manusia dan profesi penolong harus dapat memberikan pengaruh nasional yang
signifikan dan positif, sedangkan wilayah spesialisasi yaitu konseling pribadi, kita harus
memperlihatkan secara konsisten dan konklusif bahwa kita sungguh berorientasi secara multibudaya
baik dalam teori maupun praktiknya, dan bahwa kita memang efektif sebagai konselor untuk budaya
apapun.
Di dalam konseling multibudaya, hasil-hasil yang ingin dicapai tidak boleh dihalangi
oleh perbedaan budaya konselor dan klien. Tentunya asumsi-asumsi filosofis yang sering dinyatakan
sebagai keberhargaan dan martabat yang melekat pada individu, penghargaan atas keunikan pribadi,
hak individu bagi aktualisasi diri dan lain-lain, mengindikasikan komitmen kita bagi konseling yang
efektif untuk semua klien apapun latarbelakang budaya, etnik religius atau sosial-ekonominya.
Walaupun demikian, yang sama pentingnya dengan komitmen tersebut adalah konselor harus
bergerak menuju pengejaran aktif fondasi teoritis yang tepat, dan praktik-praktik yang efektif, kalau
ingin berhasil melakukan konseling klien dari latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Saat mengupayakan konseling dan bimbingan multibudaya yang positif dan bermakna,
kita harus sadar kalau istilah multi artinya banyak, dan bahwa kita merasakan diri unik diantara
banyak budaya dan latar belakang yang membentuk populasi kita. Dengan bertindak demikian,
konselor akan menyadari kalau banyak karakteristik tradisional proses konseling utama (seperti
keterbukaan, ekspresi emosi, berbagi perasaan terdalam) bisa sungguh menghambat efektifitas
menangani klien dengan budaya lain. Karena yang paling penting untuk klien-klien multibudaya
adalah mereka merasakan kalau anda sadar dan peka terhadap keunikan mereka.
Page |3

Ridley (2005,h.11) mengamati, klien multibudaya lebih banyak mengalami pengalaman


tidak menyenangkan dibanyak aspek konseling jika dibandingkan klien-klien kulit putih, seperti:
Diagnosis
Klien minoritas cenderung lebih banyak keliru didiagnosis ketimbang klien kulit
putih. Kekeliruan diagnosis biasanya melibatkan psikopatologi yang lebih berat
ketimbang yang ditunjukkan simtomnya, namun sesekali melibatkan juga
psikopatologi yang kurang begitu berat. Masalahnya cara mereka merepresentasikan
simtom berbeda dari klien kulit putih, sementara teori-teori psikoterapi yang beredar
selama ini dibentuk dari pengalaman dan riset terhadap orang-orang kulit putih.
Penugasan staf
Klien minoritas cenderung diberikan pada staff profesional yunior, para profesional
bahkan bukan-profesional ketimbang profesional senior atau terlatih.
Sifat penanganan
Klien minoritas cenderung menerima penganan berbiaya rendah dan kurang
unggulan yang terdiri atas kontak minimal, pengobatan sekadarnya atau perawatan
jarak jauh, bukannya psikoterapi intensif
Fasilitas
Klien minoritas cenderung dirujuk ke fasilitas-fasilitas kesehatan mental seadannya,
jarang dirujuk ke perawatan swasta, akibatnya mereka membanjiri fasilitas-fasilitas
perawatan umum yang disediakan pemerintah yang stok obatnya terbatas dan staff
pengelolanya kadang direkrut dari para sukarelawan atau pekerja sosial.
Durasi penangan
Klien minoritas banyak menerima penutupan konseling prematur, dikeluarkan dari
terapi, atau diserahkan unit rawat jalan untuk waktu lebih lama ketimbang orang
kulit putih tanpa hasil yang dievaluasi dan tanpa kejelasan sembuh
Sikap
Klien minoritas melaporkan lebih banyak ketidakpuasan dan kesan tidak
menyenangkan ketimbang perawatan yang diberikan pada klien kulit putih.
Kaum profesional konseling perlu ingat kalau perbedaan bahasa dan dialek antara
mereka dan klien berpengaruh besar bagi kesuksesan konseling. Meskipun multikulturalisme di
generasi belakangan semakin diakui sebagai daya penggerak terbesar bagi perjalinan hubungan antar
manusia di Amerika Serikat, namun kita tidak bisa membiarkan hal itu memburamkan kebutuhan
absolut konselor untuk memahami antara budaya mereka sendiri dan budaya klien.
Page |4

Menurut McLEOD (2006) h. 274-276


Remirez (1991) berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling
multikultural adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat multikultural. Dia menyatakan bahwa
tujuan utama dalam menghadapi klien dari berbagai kelompok etnis adalah mengembangkan
fleksibilitas kultur (culture flexibility). Remirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota
kelompok kultur yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan
apa yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang
diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil oleh Ramirez (1991) menggunakan
penyesuaian gaya dan pemahaman kultural klien oleh konselor dipertemuan awal, kemudian
mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku kultural. Jelas pendekatan ini menuntut
fleksibilitas kultural dan kesadaran tingkat tinggi dalam diri terapis.
Pendekatan penting lainnya dalam konseling multikultural adalah fokus pada hubungan
antara persoalan personal dan realitas politik/sosial. Disini klien tidak hanya dipahami dalam
terminologi psikologis murni, tapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah kultur. Perasaan,
pengalaman, dan identitas dari klien dipandang dibentuk oleh mileu kultural. Sebagai contoh, Holland
(1990:262) membuat perbedaan antara hilang (loss) dan dirampas (expropriation):
Dalampekerjaan saya...kita selalu kembali kepada sejarah yang sama: dipisahkan dari
ibu, bergabung kembali bersama ibu yang tidak pernah kenal, meninggalkan nenek yang
mereka sayangi, menemukan diri mereka berada dalam hubungan yang sama sekali
berbeda dari yang pernah mereka alami sebelum ini, dilecehkan secara seksual,
dimasukkan ke tempat penitipan, dan seterusnya. Bagi para pekerja dibidang ini, semua
situasi tersebut adalah hal yang biasa. Itu yang namanya kehilangan. Perampasan
adalah apa yang dilakukan oleh imperialisme dan neo kolonialismeia mencuri sejarah
seseorang, mencuri semua benda dari orang kulit hitam, dari orang yang bukan anggota
ras supremasi kulit putih.
Dalam karya tersebut, Holland menuliskan pengalamannya menghadapi wanita kulit
hitam dari kelas pekerja di Inggris. Sayangnya, pengalaman dicurinya sesuatu oleh yang mempunyai
kekuatan lebih besar merupakan tema umum dalam hidup para gay, lesbian, beda agama,
menganggur, atau dilecehkan secara seksual. Kehilangan dapat ditangani dan disembuhkan melalui
serangkaian terapi. Namun, perampasan hanya dapat diobati melalui tindakan sosial. Tema
penguatandalam diri kehidupan individual, melalui kelompok self help atau melalui keterlibatan
politik----merupakan inti konseling multikultural.
Dyche dan Zayas (1995) berpendapat mustahil bagi konselor untuk memasuki sesi
pertama dengan pengetahuan mendetail tentang latar belakang kultural klien mereka. Lebih jauh,
kedua pakar tersebut menyatakan bahwa tiap usaha untuk mendapatkan pengetahuan jenis tersebut
akan berisiko tercapainya pemahaman yang terlalu teoritis dan intelektual terhadap kultur klien. Dan
pada gilirannya, hal tersebut dapat berisiko, melihat klien sebagai kultur mereka bukan sebagai diri
Page |5

mereka sendiri (hlm 389). Dyche dan Zayas berpendapat akan lebih membantu apabila yang
dilakukan adalah mengadopsi sikap kenaifan kultural dan hasrat terhormat, dengan tujuan bekerja
bersama klien untuk menciptakan pemahaman terhadap arti latar belakang kultural bagi mereka
sebagai individu. Ridley dan Lingle (1996) merujuk kepada pandangan yang sama terhadap klien,
hanya saja mendiskusikannya dalam terminologi empati kultural. David dan Erickson (1990)
berpendapat kulitas perhatian atau empati terhadap dunia kultur orang lain seharusnya berlandaskan
sikap yang sama kepada kultur sendiri.
Karya Dyche dan Zayas (1995), Holland (1990, Martinez (1991), serta Ridley dan Dingle
(1996) menunjukkan bahwa sebagian besar praktik konseling multikultural didorong oleh rangkaian
prinsip atau keyakinan, bukan dilandasi oleh rangkaian teknik atau ketrampilan khusus. Konselor
multikultural dapat menggunakan bentuk penyampaian yang beragam, mulai dari individual,
pasangan, keluarga atau kelompok, dan memanfaatkan intervensi tertentu seperti pelatihan relaksasi,
analisis mimpi, atau refleksi empatik. Dalam tiap kesempatan, konselor terus menerus
mempertimbangkan kesesuaian kultural dari apa yang ditawarkannya. Konseling multikultural tidak
dapat dicocokkan begitu saja dengan pendekatan aliran utama dalam konseling, seperti psikodinamik,
person centered, kognitif-behavioral, atau sistemik. Sebagian konselor bekerja dengan tiap
pendekatan ini, tapi ada pula yang hanya mengambil yang diperlukan dari semua pendekatan tersebut.
Konseling multikutural adalah pendektan integratif yang menggunakan teori kultural dasar sebagai
landasan untuk memilih ide dan teknik konseling.
Menurut Glading
Budaya dapat didefinisikan dengan beberapa cara. Definisi meliputi variabel etnografik
seperti etnisitas, kewarganegaraan, agama, dan bahasa, seperti juga variabel demografik dari umur,
gender, tempat tinggal, dan sebagainya, variabel status seperti latar belakang sosial ekonomi, dan
pendidikan dan affiliasi atau keanggotaan formal atau informal dalam cakupan luas (Pedersen,
1990,p.550). Budaya membentuk perilaku, pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan proses
kognitif kita (Cohen,1998). Hal itu bisa terjadi baik pada tahap sadar maupun tidak sadar.
Secara inklusif, akurat, dan luas, budaya didefinisikan sebagai sekelompok orang yang
mengidentifikasi atau berasosiasi satu dengan yang lain berdasarkan pada kesamaan tujuan,
kebutuhan, atau latar belakang (Axelson, 1999). Elemen bersama suatu budaya seperti ini adalah
jejaring signifikan yang memberi koherensi dan arti terhadap kehidupan (Geertz,1973). Sementara
sebuah budaya mendefinisikan diri secara parsial dalam kaitannya dengan kesamaan fisik, yang lain
mungkinmenekankan pada kesamaan sejarah dan filosofi, dan yang lain lagi mungkin
mengkombinasikan keduanya. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya dan
warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan pertama.
Seperti halnya budaya adalah kata yang multidimensi, istilah mutikultural juga telah
terkonseptualisasi dalam beberapa cara. Tidak ada perjanjian universal tentang apa yang termasuk
Page |6

didalamnya, walaupun badan-badan akreditasi, seperti CA CREP, telah mendefinisikan istilah


tersebut secara luas. Kurangnya definisi multikulturalisme yang kongkret sudah menjadi masalah
yang berkepajangan (Middleteon, Flowers, & Zawaiza, 1996). Fokus yang paling mencolok dari
multikulturalisme adalah keunikan dan konsep kelompok yang terpisah yang memfasilitasi perhatian
pada perbedaan individual (Locke, 1998).
Oleh karena itu konseling multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling
dimana konselor dan kliennya berbeda (Locke,1990). Perbedaan itu mungkin hasil dari sosialisasi
lewat cara kultural yang unik, kejadian-kejadian hidup yang traumatis maupun yang menghasilkan
perkembangan, atau produk dari dibesarkan dalam lingkungan etnik tertentu. Perdebatan yang ada
dalam bidang konseling multikultural adalah seberapa luas perbedaan harus didefinisikan. Disatu sisi,
sebagian pihak mendukung apa yang dikenal sebagai etic perspective, menyatakan bahwa ada kualitas
universal dalam konseling yang dapat digeneralisasi pada semua kebudayaan. Sedangkan di sisi lain,
emic perspective, mengasumsikan pendekatan konseling, haruslah didesain secara spesifik untuk
masing-masing budaya.
Pendekatan etik bisa dikritisi karena tidak menganggap perbedaan budaya sebagai
sesuatu yang penting. Pendektan emic bisa di kritisi karena terlalu memberikan penekanan pada
teknik spesifik sebagai sarana untuk klien bisa berubah (Fischer, Jome, &Atkinson,1998). Beberapa
profesional telah mencoba mencari elemen persamaan di antara kedua pendekatan ini. Sebagai
contoh, Fischer dkk. (1998) menawarkan empat kondisi umum dalam semua pelayanan konseling:
Relasi terapeutik
Saling berbagi cara pandang antara klien dengan konselor
Ekspektasi klien untuk perubahan yang positif, dan
Intervensi yang dipercaya baik oleh klien maupun konselor sebagai alat untuk sembuh.
Bagaimanapun juga penawaran ini hanya menerima dukungan yang terbatas. Oleh karena
itu, pada abad ke-21 ini, definisi dari konseling multikultural harus ditinjau kembali. Ada yang lebih
inklusif dibandingkan yang lain. Dalam bab ini, multikulturalisme akan dihadapi dengan
menggunakan pendektan emik yang harus dikombinasikan dengan faktor-faktor keberagaman. Agar
bisa benar-benar memahami klien, konselor harus menyadari bahwa orang yang duduk didepannya,
adalah mahkluk yang sangat kompleks dan beragam. Oleh karena itu, mengkombinasikan faktor
budaya dan keragaman sebagai bagian untuk mengerti, adalah hal yang sangat esensial.
2. MEMAHAMI KEBERAGAMAN KLIEN DALAM MASYARAKAT PLURAL
WANDA (P.35)
Saya tahu bahwa orang-orang akan berkata, "Lihat, Afrika Amerika hanya bergaul
dengan radio mereka."Jadi, sebagai seorang Amerika Afrika, aku selalu takut
bahwa ketika saya berjalan ke kelas, orang tidak akan melihat saya sebagai benar
benar mahasiswa ....
Page |7

Mahasiswi Afrika-Amerika, 24 tahun (Woodlief, Thomas, & Orozco, 2003, hal. 83)
Konselor dapat mulai mengembangkan pemahaman tentang dampak potensial dari status
minoritas budaya pada pengalaman psikologis klien mereka dengan memutar ke pekerjaan
psikolog sosial yang telah lama tertarik untuk meneliti akar prasangka dan efek diskriminasi,
stereotip, dan rasisme terhadap individu.
Kata "prasangka" berasal dari kata Latin Prae , yang berarti sebelum dan yudisium ,
berarti penilaian. Dengan kata lain, prasangka terjadi, misalnya, ketika praduga seseorang
sebelum pengetahuan nyata dari orang yang dikenal. Gordon Allport (1954) mendefinisikan
prasangka sebagai sikap negatif atau tidak suka berdasarkan generalisasi yang salah dan
generalisasi yang tidak fleksibel.
Menurut teori perbandingan sosial (Festinger, 1954), orang cenderung membuat
penilaian tentang diri mereka sendiri dengan membandingkan diri ke kelompok serupa, atau
"kelompok acuan." Jika perbandingannya positif, mereka merasa lebih baik tentang diri
mereka sendiri. "Prasangka" terjadi ketika seseorang membawanya atau kelompok sendiri
sebagai titik referensi positif yang dipakai untuk menilai orang lain secara negatif.
"Diskriminasi" terjadi ketika tindakan yang terjadi mendukung satu kelompok dengan
mengorbankan kelompok pembanding. Sebuah contoh, jika seseorang berpikir tentang dirinya
atau etnis kelompoknya sebagai kelompok referensi utama. Sampai-sampai dia merasa dia
atau dia berhasil, dibandingkan dengan orang lain dalam referensi kelompok, dia atau harga
diri nya dapat meningkat. Namun, jika ia menghakimi orang-orang dari kelompok lain
sebagai tidak layak atau tidak memadai dibandingkan dengan dirinya atau kelompok etnisnya,
dia sedang berprasangka. Jika ia kemudian mengambil tindakan untuk mendukung dirinya
atau kelompok etnisnya dengan mengorbankan kelompok lain, misalnya, untuk melewati
aturan yang tidak memungkinkan anggota kelompok lain untuk memiliki sendiri, suara, dan
sebagainya, ini merupakan diskriminasi.
Salah satu definisi "stereotip" (Ho, 1990) adalah deskripsi umum dari sekelompok orang
yang biasanya dikembangkan dari waktu ke waktu berdasarkan pada interaksi lintas budaya.
Dalam masa ini media yang kaya televisi, DVD, dan CD, mudah untuk mengambil eksposur
media sebagai interaksi yang benar-benar lintas-budaya. Seseorang yang belum pernah
bertemu orang lain dari latar belakang etnis tertentu mungkin memiliki stereotip, yaitu
terbatas atau pandangan konitif yang fleksibel (Abreu, 2001) terhadap budaya yang
didasarkan pada apa yang mereka telah mendengar, melihat, atau membaca, namun tidak
didasarkan pada interaksi pribadi yang nyata dengan orang lain dari etnis itu.
Stereotip dapat berguna secara psikologis. Mereka dapat membantu memori dengan
menyediakan perangkat untuk beberapa potongan informasi bersama-sama di bawah satu
Page |8

label. Hal ini bisa membantu seseorang karena membuat dunia tidak rumit, lebih dapat
diprediksi, dan sebagai hasilnya, lebih nyaman.
Ketika konselor melihat usia, jenis kelamin, atau latar belakang etnis klien pada bentuk
intake, mereka mungkin merasa lebih nyaman bertemu klien baru mereka karena mereka
menggunakan informasi tersebut sebagai stereotip dalam mengingat semua pengalaman
mereka sebelumnya dengan orang-orang dari usia yang sama, jenis kelamin, atau etnis.
Namun, ada juga kekurangan dari stereotip. Jika konselor menempatkan terlalu banyak
penekanan pada stereotip klien baru, konselor mungkin menganggap bahwa ia sudah tahu
banyak tentang orang tersebut dan dapat mengabaikan untuk mempertimbangkan cara-cara di
mana klien tidak sesuai dengan stereotip. Hal ini dapat menghasilkan penilaian dan rencana
tindakan yang salah.
Ada juga efek negatif dari stereotip klien sendiri. Stereotip tersebut dapat berkontribusi
untuk meningkatkan ketidakpercayaan dan keengganan untuk mengungkapkan diri dengan
seorang konselor yang berbeda kepada dirinya sendiri. Jika klien telah memasukkan stereotip
negatif dalam dirinya atau selfimage sendiri, ini dapat berkontribusi terhadap rasa rendah diri
dan optimisme yang terbatas untuk berubah. Proses ini telah disebut "penindasan
diinternalisasi" atau "diinternalisasi rasisme. Menurut Jones (2000), diinternalisasi rasisme
terjadi ketika stigma anggota kelompok menerima gambar negatif tentang diri sendiri. Mereka
mungkin menolak budaya mereka sendiri dan merangkul "orang berkulit putih" dengan
mengubah tekstur rambut atau menggunakan krim pemutih. Sebagai contoh, dalam sebuah
penelitian, anak-anak Afrika Amerika menunjuk gambar anak kulit putih lebih sering
daripada anak Afrika Amerika ketika ditanya yang kedua lebih indah atau lebih pintar (dikutip
di Pine & Hilliard, 1990). Salah satu interpretasi data tentang anak-anak Afrika Amerika telah
diinternalisasi pesan sosial negatif mereka tentang etnis mereka. Sebuah interpretasi bersaing
adalah bahwa anak-anak merespon terhadap apa yang mungkin telah mereka anggap secara
sosial diinginkan atau cara yang "benar" dan bahwa mereka tidak harus percaya stereotip
negatif Afrika Amerika.
Claude Steele telah mempelajari konsep "kerentanan stereotip ," efek yang mungkin
terjadi ketika seseorang mencoba untuk melakukannya dengan baik dalam suasana di mana ia
menyadari bahwa orang lain dari latar belakang budaya yang sama mengalami kesulitan dan
dapat mengurangi penampilannya ( Watters, 1995). Kerentanan stereotip beroperasi sebagai
beban tambahan pada orang yang memiliki tereotip negatif tidak kuat.
Sampai saat ini, bukti untuk fenomena ini telah ditemukan dengan Afrika Amerika diuji
dengan Graduate Record Exam (GRE) pertanyaan lesan dan wanita diuji dengan soal
matematika (Watters, 1995).
Page |9

3. KONSELING DAN BUDAYA


Menurut Wanda
Siapa yang memutuskan apa yang membatasi dan apa yang teks? Siapa
yang memutuskan di mana perbatasan tanah air ? Absen dan keheningan
yang kuat. Ini adalah yang biasa batas membingkai sejarah tanah.

Rumah Sakit Janette Turner (Biggs, 1996, hal. 82) Populasi Amerika Serikat menjadi
lebih dan lebih beragam. Tiga puluh satu persen dari populasi saat ini adalah Afrika Amerika,
Latin, Asia / Kepulauan Pasifik Amerika, atau India - American (Biro Sensus Amerika,
2001), namun sebagian besar konselor Amerika Eropa mendasarkan etnis dan semua teori
pendekatan konseling utama dikembangkan oleh penduduk Eropa (Freud, Jung, Adler, Perls,
dll) atau Amerika keturunan Eropa (Rogers, Skinner, Ellis, dll). Profesi Konseling pada
dasarnya adalah produk budaya Amerika Eropa (Das, 1995). Sebagai bidang konseling yang
bergerak ke abad ke-21, perbedaan budaya selain etnis semakin mendapat pengakuan sebagai
pertimbangan penting dalam proses konseling: peran gender, orientasi seksual, penuaan, dan
cacat fisik. Memahami kompleksitas latar belakang sosial dan budaya setiap klien merupakan
bagian integral kesuksesan konseling. Buku ini ditulis untuk konselor pemula, konselor yang
sedang berlatih, dan profesional pembantu lain yang sebelumnya tidak memiliki pelatihan
formal dalam bekerja dengan klien multikultural.
BUDAYA
Untuk memulai perjalanan menuju menjadi seorang konselor yang kompeten secara
budaya, Anda harus terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri, "Apakah budaya?" Haviland
(1975) mendefinisikan budaya sebagai "seperangkat asumsi bersama di mana orang dapat
memprediksi reaksi tindakan masing-masing sesuai keadaan tertentu "(hal. 6). Ketika klien
dan konselor berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, apakah itu dari segi etnis, jenis
kelamin, orientasi seksual, kecacatan, atau usia, mereka tidak dapat berbagi asumsi yang sama
tentang banyak hal, termasuk proses konseling, dan konseling dapat tidak terduga menjadi
interaksi yang tidak nyaman bagi kedua belah pihak. Maka kemungkinan terjadinya sesi
kedua, biarkan perubahan produktif saja, menjadi rendah.
Budaya dapat didefinisikan dalam banyak cara. Menurut Merriam-Webster (2006), itu
adalah "kepercayaan adat, bentuk-bentuk sosial, dan ciri-ciri bahan kelompok ras, agama, dan
sosial.
"Dalam definisi ini, apa yang adat atau normatif terhadap kelompok tertentu adalah
kunci. Dalam rangka untuk memahami budaya klien, konselor harus memahami apa yang
P a g e | 10

normative dalam kelompok budaya klien. Dalam konteks ini, perilaku klien sendiri kemudian
dapat dievaluasi karena dibandingkan dengan bagaimana orang lain dalam dirinya atau
kelompoknya akan biasanya berperilaku. Perilaku yang tidak normal dalam satu budaya
mungkin menyesuaikan dengan yang lain.
Encyclopedia Britannica (2006) mendefinisikan budaya sebagai pola terpadu dari
pengetahuan manusia, kepercayaan, dan perilaku yang baik hasil dan kemampuan integral
manusia untuk belajar dan transmisi pengetahuan untuk generasi-generasi. Budaya terdiri dari
bahasa, ide, keyakinan, kebiasaan, hal yang dianggap tabu, kode, lembaga, alat, teknik, karya
seni, ritual, upacara, dan simbol .... Sikap seorang individu, nilai-nilai, cita-cita, dan
keyakinan yang sangat dipengaruhi oleh budaya (atau budaya) di mana ia tinggal.
Ada banyak aspek budaya dan banyak dari mereka, seperti bahasa, kebiasaan, nilai-nilai,
keyakinan, spiritualitas, peran jenis kelamin, riwayat sosial politik, dan sebagainya, mungkin
memiliki dampak dalam konseling. Ada beberapa cara bahwa budaya sangat penting dalam
konseling. Pertama, konseling terjadi dalam konteks budaya, dalam kantor, sekolah,
perguruan tinggi, atau organisasi lainnya, dan, di luar ini, dalam komunitas yang lebih besar
atau masyarakat. Jika klien harus mencari treatmen dalam lingkungan budaya yang asing , dia
mungkin bahkan enggan untuk memulai konseling. Kedua, seperti secara singkat telah
disebutkan sebelumnya, penilaian yang tepat terhadap masalah klien harus
mempertimbangkan budaya klien. Ketiga, konseling sendiri berbasis budaya. Konseling
seperti yang telah secara tradisional diajarkan di sebagian besar negara berbahasa Inggris
dikembangkan dari pengaruh sejarah dan sosial yang paling relevan dengan klien kulit putih,
rambut lurus, berbadan sehat, muda. Ada banyak kebudayaan yang tidak memiliki kata untuk
konseling dan cara orang biasanya mencari bantuan dalam budaya mereka mungkin tidak
menemui konselor. Akhirnya, budaya itu sendiri mungkin menjadi fokus konseling. Ketika
klien akan melalui transisi budaya, ketika ada perbedaan budaya mengganggu hubungan yang
erat, ketika klien telah menjadi korban rasisme budaya, seksisme, homofobia, ablism, atau
usia, ketika budaya pribadi klien sangat berbeda dari masyarakat sekitarnya yang rentan,
maka budaya itu sendiri dapat menjadi pusat dari proses konseling.
ETNIS
McGoldrick, Pearce, dan Giordano (1982) menjelaskan etnis sebagai rasa kebersamaan
yang lebih dari ras, agama, nasional, atau asal geografis. Proses sadar dan bawah sadar
berkontribusi terhadap rasa identitas dan kontinuitas sejarah. Cara lain untuk melihat etnisitas
adalah sebagai nenek moyang dirasakan yang sama, baik nyata atau fiktif (Shibutani & Kwan,
1965). Dalam hal ini ada beberapa kelompok etnis yang luas dalam Amerika Serikat:
penduduk asli Amerika, Afrika Amerika, Latin dan Latinas, Asia Amerika, dan Amerika
Eropa. Beberapa di antaranya kelompok etnis mungkin memiliki orang-orang dari berbagai
P a g e | 11

ras dikelompokkan dalam diri mereka, misalnya, Latin. Apa yang menonjol di Amerika
Serikat adalah bahwa anggota kelompok ini dianggap oleh orang lain sebagai memiliki nenek
moyang yang sama bahkan meskipun ada banyak keragaman budaya dalam masing-masing
kelompok.
RAS
"Ras membagi manusia dalam kategori yang nampak dalam jiwa kita" (Jones, 1997, hal.
339). Definisi umum cenderung untuk memasukkan fisik atau pengelompokan genetik dan
didasarkan pada biologis. Penelitian saat ini, bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada
keragaman lebih sering dalam kelompok ras daripada antara kelompok ras. Istilah sebenarnya
memiliki lebih dari konotasi sosial yang ditetapkan. Hal ini digunakan secara terbatas dalam
buku ini, terutama ketika aspek-aspek sosial dari kelompok tersebut yang menjadi fokus
diskusi.
KELOMPOK MINORITAS
Corey, Corey, dan Callanan (1988) mendefinisikan kelompok minoritas sebagai orang
yang telah didiskriminasi atau mengalami perlakuan yang tidak sama. Semua kelompok etnis
yang disebutkan di atas adalah kelompok minoritas dalam Amerika Serikat, kecuali beberapa
sub kelompok Amerika Eropa yang secara historis telah diberikan kekuatan politik, sosial,
dan ekonomi yang membedakan terhadap orang lain. Menggunakan definisi ini kelompok
minoritas juga termasuk wanita, kaum gay dan lesbian, orang tua, dan orang-orang cacat
karena semua kelompok-kelompok ini juga telah mengalami perlakuan yang tidak sama
dalam sejarah bangsa ini.
Sebuah pandangan yang luas dari perbedaan budaya dalam konseling dan membantu
profesi lainnya termasuk kebutuhan untuk menjadi sadar dan belajar tentang banyak
kelompok budaya minoritas tertentu yang mungkin berbeda dari konselor dalam berbagai
cara, tidak terbatas pada etnis, jenis kelamin, orientasi atau identitas seksual, usia, atau cacat.
4. PERBEDAAN PANDANGAN DUNIA DAN KETIADAAN REALITAS BUDAYA
Gladding, 2012 : 107 115
EROPA AMERIKA
Sebagai kelompok Eropa Amerika adalah populasi yang sangat beragam. Walaupun
Eropa secara umum adalah tempat tinggal nenek moyang mereka, ada perbedaan besar dalam
warisan budaya antara orang orang dari Swedia, Italia,Prancis, Inggris, Polandia, Jerman,
Rusia dan Austria ( sebagai tambahan banyak orang dari Spanyol maupun keturunan Spanyol
menganggap warisan budaya mereka secara umum berbeda dengan orang Eropa lainnya ).
Orang Eropa yang baru saja tiba di Amerika Serikat juga sangat berbeda dengan keluarga
keluarga Eropa yang telah lama menetap di Amerika Utara secara turun temurun, yang
P a g e | 12

banyak diantaranya sekarang ini menyebut diri mereka Amerika dan melupakan nenek
moyang Eropa mereka ( El Nasser & Overberg, 2002 ).
Sebagai kelompok, kaum Eropa Amerika telah mengalami pencampuran melebihi
kebanyakan kelompok budaya yang lainnya. Ini disebabkan antara lain oleh sejarah
pernikahan dan relasi antarkelompok yang bersama sama mempengaruhi kelompok sebagai
satu kesatuan dan membuatnya lebih homogen. Kaum Eropa Amerika leboh cenderung
mendukung filosofi yang menghargai linier, analitikal, empiris, dan penyelesaian tugas
serta menekankan bahwa semangat individualitas yang kuat harus dihargai dan otonomi dari
bagian bagian serta kebebasan bertindak lebih signifikan dari kebersamaan kelompok (
Sue,1992,p.8 )
Banyak orang Eropa Amerika menganggungkan penggunaan metode rasional dan
logis dalam memahami diri mereka sendiri dan orang lain.
AFRIKA AMERIKA
Saat mengkonseling kaum Afrika Amerika konselor harus memahami sejarah , nilai
nilai budaya, konflik, cara menangani Afrika Amerika dan menyadari sikap dan
prasangkanya sendiri terhadap kelompok ini ( Atkinson, 2004; Garretson,1993;Vontress &
Epp,1997 ). Konselor yang berbeda latar budayanya akan dapat bekerja dengan efektif dalam
menghadapi klien Afrika Amerika jikalau dia memahami sifat rasisme dan fakta bahwa
rasisme budaya institusional, dan individual adalah masalah utama bagi kaum Afrika
Amerika yang tinggal di masyarakat kontemporer ( Utsey,Ponterotto, Reynolds & Cancelli,
2000,p.72 ) dan bahwa diskriminasi rasial serta kepercayaan diri berhubungan terbalik.
Selanjutnya konselor harus menyadari bahwa kaum Afrika Amerika adalah kaum yang sangat
beragam dan memiliki tingkah laku, pikiran, dan perasaan yang beragam ( Baruth &
Manning, 2007;Harper, 1994;Smith,1977 ). Oleh karena itu tidak ada satu pendekatan
bantuan maupun konseling yang bisa bekerja dengan sangat baik pada semua orang.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi kaum Afrika Amerika adalah :
1. Konseling dianggap oleh orang Afrika Amerika sebagai sebuah proses dimana
klien meyerahkan kebebsan mereka dengan pertama memberitahukan urusanmu
kepada orang asing kemudian keharusan untuk mendengarkan nasihat yang tidak
pernah diinginkan dari orang asing ( Priest, 1991,p.215 ). Oleh karena itu banyak
kaum Afrika Amerika yang tidak mau secara sukarela memberikan dirinya untuk
masuk dalam hubungan konseling.
P a g e | 13

2. Relasi yang tidak setara. Dengan sejarah perbudakan di Amerika dan umumnya
diagnosis pada kaum Afrika Amerika di pusat kesehatan mental, anggota
kelompok ini yang masuk dalam relasi yang tidak setara tersebut melakukannya
dengan keterpaksaan. ( Garretson,1993 )
3. Kolektivitas di kebanyakan tradisi komunitas. Kolektivitas itu pada zaman dahulu
berupa suku atau klan ( Priest 1993.p.213 ), sekarang ini berupa keluarga dan
semua yang tinggal, bekerja ataupun beribadah secara berdekatan.
4. Spritulaitas dan peran gereja dan lembaga keagamaan di budaya Afrika Amerika
adalah faktor yang juga mempengaruhi anggota kelompok ini. Daripada seorang
konselor, lembaga keagamaan biasanya dianggap sebagai sumber dari
keseimbangan mental dan emosional. ( Priest, 1991, p.214 )
HISPANIK/LATINOS
Istilah Hispanik/Latinos keduanya digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat
heterogen yang nenek moyangnya berasal dari negara negara Amerika berbahasa Spanyol.
Meski karakteristik kaum Hispanik adalah bahasa Spanyol, Hispanik adalah kelompok yang
sangat beragam. Kata Latinos mendiskripsikan masyarakat keturunan Spanyol dan Indian
yang nenek moyangnya tinggal di Baratdaya Amerika Serikat yang dulu adlah bagian dari
Meksiko dan di negara negara Amerika Tengah dan Selatan dimana bahasa yang dominan
biasaya Spanyol yang memiliki akar Latin ( Fontes 2002,p.31 )
Sebagai kelompok , kaum Hispanik dan Latinos biasanya segan menggunakan
layanan konseling. Keseganan ini sebagian dikarenakan tradisi budaya ( contohnya harga diri
) dan sebagian lagi karena warisan budaya ( kebergantungan pada ikatan keluarga besar ).
Alasan yang lebih praktis adalah jarak ke lembaga layanan (nterutama di Barat Daya )
transportasi yang tidak memadai, tidak memiliki asuransi kesehatan, dan kurangnya tenaga
konseling profesional yang fasih berbahsa Spanyol dan akrab dengan budaya Hispanik dan
Latinos ( Gonzales, 1997;Ruiz 1981 Sue & Sue, 2003 )
Banyak kaum Hispanik dan Latinos harus menganggap masalah psikologis serupa
dengan masalah fisik. Oleh karena itu mereka berharap agar konselor aktif, kongkrit dan
fokus pada hasil. Khususnya berlaku untuk klien yang sangat Hispanik ( Ruiz, 1981 )
ASIA/KEPULAUAN PASIFIK AMERIKA
Kaum Asia/Kepulauan Pasifik Amerika meliputi kaum Cina, Jepang, Filipina,
Indocina, Indian, Korea. Mereka memiliki latar belakang budaya yang sangat bervariasi.
Profil demografis dari kaum Asia dan Pasifik amerika mencakup kumpulan dari 40 kelompok
P a g e | 14

budaya yang berbeda ( Sandhu,1997 ,p.7). Sejak dahulu mereka mengalami deskriminasi
yang hebat di Amerika Serikat dna menjadi subyek berbagai mitos ( Sue & Sue 1972,2003 ).
Kombinasi berbagai faktor telah mengangkat stereotipe kaum Asia Amerika.
Karena bias dan salah pengertian kaum Asia Amerika mengalami penolakan hak
kewarga negaraan, larangan untuk memiliki tanah sendiri, ditahan di kamp konsentrasi,
disakiti, diperlakukan tidak adil dan dibantai ( Sue & Sue 1983,p.387 ). Ironisnya kombinasi
berbagai faktor juga telah mengangkat citra positif tentang mereka. Secara kolektif mereka
dideskripsikan sebagai pekerja keras dan sukses serta tidak mudah menyerah terhadap
gangguan emosional maupun mental.
Salah satu faktor budaya dalam filosofis sebagian kaum Asia Amerika adalah bahwa
stres dan gangguan psikologis dijelaskan dalam kerangka religius. Jika seseorang bermasalah
dia mungkin kerasukan roh jahat atau menderita karena melanggar sebagian prinsip moral
atau religius. Jadi tradisi religius memainkan peranan penting dalm pandangan mereka
tentang asal kesehatan mental ataupun penyakit kesehatan mental. Demikian juga mereka
memandang penyembuhan dalam bentuk meminta bantuan dari semacam kuasa supranatural
atau penyembuhan penderita ke keadaan sehat melalui cara cara yang tepat dan
kepercayaan. ( Das,1987,p.25 )
NATIVE AMERIKA ( Asli Amerika )
Diantara penduduk Asli Amerika ada begitu banyak keragaman , termasuk 149
bahasa, tetapi mereka memiliki kesamaanyang menekankan pada nilai nilai seperti harmoni
alam, kerja sama, holisme, kepedulian terhadap masa kini dan ketergantungan pada keluarga
besar ( Heinrich et al,1990 ). Secara umum penduduk asli Amerika memiliki perasaan kuat
tentang kehilangan tanah leluhur, hasrat untuk menentukan jalan hidup sendiri, konflik
dengan nilai nilai dari budaya umum Amerika Serikatdan kebingungan akan identitas
diriakibat dari stereotipe pada masa lalu ( Atkinson, 2004 ). Kemarahan dari trnsgresi masa
lalu oleh orang orang yang berasal dari budaya yang berbeda adalah tema yang harus
ditangani dengan tepat ( Hammersclag,1988 ). Penduduk asli Amerika memiliki tingkat
bunuh diri, pengangguran, dan kecanduan alkohol yang tinggi dengan ekspektasi hidup yang
rendah ( Garret & Pichette, 2000 ). Jumlah penduduk asli Ameriak yang putus sekolah di
tingkat SMU tetap yang paling tinggi debandingkan dengan kelompok manapun tak peduli
apa afiliasi suku atau regional mereka ( Sanders 1987,p.81 ). Secara singkat sebagai
kelompok penduduk asli Amerika menghadapi banyak masalah serius ( Heinrich et
al,1990,p.128 )
P a g e | 15

ARAB AMERIKA
Arab Amerika berasal dari 22 negara seperti Mesir, lebanon, Maroko, Yaman,
Tunisia, Palestina. Ada lebih dari 3,5 juta kaum Arab Amerika yang sebagian beregama
kristen dan sebagian Muslim. Jadi wlaupun sebagian berama Kristen seringkali kaum Arab
Amerika menganut tradisi dan nilai nilai budaya Muslim ( Nassar Mcmillan & Hakim
Larson,2003 ).
Kaum Arab Amerika sangat bervariasi. Perbedaan potensial meliputi kelas sosial,
tingkat pendidikan, bahasa, nilai nilai konservatif dari negara asal, masa imigrasi, dan
tingkat akulturasi ( Abudabeh & Aseel, 1999 ). Meskipun ada variasi budaya seperti itu, ada
kesamaan yang eksis, sehingga perlu perhtian khusus dari penyedia layanan..
Budaya Arab cenderung berkonteks tinggidibandingkan dengan konteks rendah
seperti di masyarakat Amerika Utara. Kaum arab Amerika cukup berbeda dari kaum Amerika
tradisional dalam hal mereka menekankan pada stabilitas sosial dan kolektivitas
dibandingkan denganindividualitas.
Keluarga adalah elemen yang paling signifikandi kebanyakan subkultural kaum Arab
Amerikadengan kehidupan individu yang didominasi oleh keluarga dan hubungan keluarga.
Laki laki adalah pemimpin dalam kehidupan keluarga dan wanita diharapkan untuk
menjaga kehormatan keluarga. Pendidikan dalam kaum Arab Amerika juga dihargai dengan
perkiraan 4 dari 10 kaum Arab amerika telah mendapatkan gelar sarjana atau lebih dari itu.
5. KARAKTERISTIK KONSELOR MULTICULTURAL YANG EFEKTIF
Sue et.al ( 1992 dalam Lago , 2006 : 123 ) menuliskan Kompetensi Konseling
Multicultural di Amerika serikat dalam sebuah tabel 8.1 Rekomendasi Kunci untuk
Karakteristik Multicultural konselor yang efektif yaitu :
Dimensi Kesadaran Konselor Memahami Mengembangkan
terhadap asumsi diri dan Pandangan Dunia Strategi Intervensi
nilai nilai bias tentang perbedaan dan Tekhnik yang
budaya klien sesuai
Sikap dan Konselor Budaya yang Konselor Budaya Konselor Budaya
Keyakinan efektif adalah : yang efektif adalah : yang efektif adalah :
Memiliki kesadaran Menyadari reaksi Menghormati
dan sensitif untuk emosional mereka keyakinan
P a g e | 16

menilai warisan terhadap ras dan spiritual dan nilai


budaya dan kelompok etnis nilai klien
menghormati lainnya Menghormati adat
perbedaan Menyadari akan membantu
Menyadari tentang Stereotip dan praktek
betapa latar belakang gagasan Menghargai nilai
budaya mereka sendiri prasangka bilingualisme
mempengaruhi proses
psikologis
Mampu mengenali
batas mereka
Merasa nyaan dengan
adanya perbedaan
antara diri mereka
dengan klien

Pengetahuan Konselor Budaya yang Konselor Budaya Konselor Budaya


efektif adalah : yang efektif adalah : yang efektif adalah :
Memiliki pengetahuan Memiliki Memiliki
tentang ras/warisan spesifikasi pengetahuan yang
budaya mereka dan pengetahuan dan jelas tentang batas
bagaimana hal tersebut informasi tentang konseling dan
mempengaruhi definisi kelompok tertentu bagaimana hal
normalitas dan proses yang bekerja tersebut dapat
konseling dengan mereka ( bentrokan dengan
Memiliki pengetahuan mengacu pada nilai nilai
dan pemahaman perkembangan minoritas
tentang cara model identitas Menyadari
penindasan/rasisme/dis minoritas ) hambatan institusi
kriminasi ( mengacu Memahami dalam mencegah
pada model bagaimana akses minoritas
perkembangan ras/budaya/etnis terhadap
P a g e | 17

identitas kulit putih ) dapat pelayanan


Memiliki pengetahuan mempengaruhi kesehatan mental
tentang dampak sosial pembentukan Memahami batas
mereka pada orang kepribadian/ batas prosedur
lain Pemilihan assasment
Keahlian/Ganggua Memiliki
n pengetahuan
Psikologis/Prilaku tentang struktur
Help seeking keluarga minoritas
Memahami dan dan masyarakat
memiliki hirarki
pengetahuan
pengaruh sosial
politik yang
melanggar atas
ras/etnis minoritas
Ketrampilan Konselor Budaya yang Konselor Budaya Konselor Budaya
efektif adalah : yang efektif adalah : yang efektif adalah :
Mencari pendidikan Harus Memiliki berbagai
konsultatif dan membiasakan diri gaya dalam
pengalaman pelatihan dengan penelitian memberikan
untuk memperkaya yang relevan bantuan
pemahaman mereka mengenai berbagai Mampu melatih
Terus berusaha untuk kelompok dan ketrampilan
memahami diri mereka mencari peluang intervensi
sendiri sebagai pendidikan yang Bersedia untuk
ras/makhluk budaya memperkaya berkonsultasi
dan aktif mencari pengetahuan , dengan berbagai
identitas non rasis pemahaman dan pihak lain yang
ketrampilan membantu
mereka Bertanggung
Terlibat dengan jawab untuk
P a g e | 18

individu minoritas perhatian dalam


di aturan luar bahasa yang
konseling dibutuhkan oleh
sehingga klien
perspektif
informasi mereka
luas

Memahami klien tentu saja merupakan langkah pertama yang penting dalam bekerja
dengan klien, dan memungkinkan kita untuk melihat klien dari perspektif yang mungkin
tidak kita memiliki sebelumnya. Namun, setelah memahami klien sangat penting bahwa kita
memiliki beberapa cara untuk menerapkan pemahaman ini. Konselor yang efektif perlu
menjadi orang yang kompeten secara budaya jika ia akan terhubung dengan kliennya
(Anderson, Lunnen, & Ogles, 2010 dalam Neukrug, 2012 : 22 ).
Dua cara dalam bekerja dengan klien multicultural diantaranya menggunakan
akronim RESPECFUL ( DAndrea & Daniels, 2005 ) dan menerapkan Kompetensi
Konseling Multikultural.
a. Menggunakan akronim RESPECTFUL
Model konseling RESPECTFUL ini menyoroti 10 faktor yang harus
dipertimbangkan konselor dalam menangani klien multicultural, yaitu :
R Religious/spiritual identity ( Religius )
E Economic class background ( Latar Belakang kelas ekonomi )
S Sexual identity ( Jenis Kelamin )
P Psychological development ( Perkembangan Psikologis )
E Ethnic/racial identity ( Etnis / Identitas Rasial )
C Chronological disposition ( Disposisi Kronologis )
T Trauma and other threats to their personal well-being (Trauma dan ancaman lain
terhadap kesejahteraan pribadi mereka )
F Family history ( Sejarah Keluarga )
U Unique physical characteristics ( Keunikan Karakteristik Psikis )
L Language and location of residence, which may affect the helping process
(Bahasa dan Lokasi tempat tinggal , yang dapat berdampak dalam proses layanan)
P a g e | 19

Dengan memahami 10 faktor diatas konselor dapat mengembangkan dirinya


dalam memahami kliennya yang multicultural dan konselor multikultural yang efektif
akan merasa nyaman bertanya serta berkomunikasi dengan klien mereka tentang hal
berikut: Agama / identitas spiritual, latar belakang kelas Ekonomi, jenis Kelamin ,
Perkembangan psikologis, identitas etnis / ras, disposisi kronologis, Trauma dan
ancaman lainnya untuk keberadaan mereka pribadi dengan baik, Riwayat keluarga,
karakteristik fisik yang unik, Bahasa dan lokasi tempat tinggal.
b. Menggunakan Kompetensi Konseling Multicultural
Kompetensi ini fokus terhadap ketrampilan penting yang dimiliki oleh
konselor : (1) Sikap dan keyakinan yang tepat dalam arti bahwa mereka menyadari
asumsi, nilai nilai dan bias, (2) Pengetahuan yang dibutuhkan tentang budaya klien
mereka sehingga mereka dapat lebih memahami kliennya, (3) repertoar ketrampilan
atau alat yang dapat secara efektif diterapkan pada klien dari berbagai latar belakang
(Arredondo, 1999; Sue & Sue, 2008 dalam Neukrug, 2012 : 487 )
Sikap dan Keyakinan
Konselor lintas budaya yang efektif memiliki kesadaran latar belakang budaya
sendiri dan telah secara aktif mendapatkan kesadaran lebih lanjut tentang bias sendiri,
stereotip, dan nilai-nilai. Meskipun konselor lintas budaya yang efektif tidak dapat
memegang sistem kepercayaan yang sama dengan kliennya, ia dapat menerima
berbeda pandangan dunia yang disajikan oleh penolong tersebut. Dengan kata lain,
"Perbedaan tidak dilihat sebagai penyimpangan" (Sue & Sue, 2008, hal. 48). Menjadi
peka terhadap perbedaan dan menyiarkan bias budaya sendiri memungkinkan
konselor lintas budaya yang efektif untuk merujuk klien dari kelompok nondominant
kepada konselor budaya klien sendiri ketika rujukan akan menguntungkan penolong
tersebut. Sayangnya, contoh profesional kesehatan mental yang telah gagal secara
budaya berbeda dari diri mereka sendiri sebagai akibat dari bias dan prasangka
mereka sendiri yang umum (Sue & Sue, 2008)
Pengetahuan
Konselor lintas budaya yang efektif memiliki pengetahuan tentang kelompok
dari mana klien datang dan tidak melompat ke kesimpulan tentang cara-cara klien .
Selain itu, ia menunjukkan kesediaan untuk mendapatkan pengetahuan lebih
mendalam tentang berbagai kelompok budaya. Konselor ini juga menyadari masalah
tentang sosial politik seperti rasisme, seksisme, dan heterosexism negatif yang dapat
P a g e | 20

mempengaruhi klien. Selain itu, konselor ini tahu teori betapa berbedanya nilai
konseling yang mungkin merugikan bagi beberapa klien dalam hubungan konseling.
Konselor ini mengerti bagaimana hambatan institusional dapat mempengaruhi
kesediaan klien dari kelompok nondominant untuk menggunakan layanan kesehatan
mental. Sayangnya, kurangnya pengetahuan dari kelompok budaya dapat
menyebabkan konselor dan lain-lain untuk melompat ke kesimpulan yang salah.
Keterampilan
Konselor lintas budaya yang efektif mampu menerapkan, menyesuaikan,
generik wawancara dan keterampilan konseling dan juga memiliki pengetahuan serta
mampu mempekerjakan keterampilan khusus dan intervensi yang mungkin efektif
dengan klien dari beragam kelompok budaya. Konselor ini juga memiliki
pengetahuan dan memahami bahasa verbal dan nonverbal klien dan dapat
berkomunikasi secara efektif.
Selain itu, konselor budaya terampil menghargai pentingnya memiliki
perspektif sistemik, seperti pemahaman tentang dampak keluarga dan masyarakat
pada klien; mampu bekerja sama dengan tokoh masyarakat, penyembuh rakyat, dan
profesional lainnya; dan advokasi untuk klien bila diperlukan. Apa yang terjadi ketika
konselor tidak memiliki keterampilan yang sesuai ketika bekerja dengan klien
beragam budaya? Kemungkinan besar, klien akan putus konseling awal, merasa putus
asa dan tidak puas konseling, dan / atau memiliki sedikit keberhasilan dalam
konseling.
Karakteristik konselor multicultural yang efektif
Source: Arredondo, P., Toporek, M. S., Brown, S., Jones, J., Locke, D. C., Sanchez, J. &
Stadler, H. (1996). Operationalization of the multicultural counseling competencies.
Alexandria, VA: Association of Multicultural Counseling and Development. Retrieved from
http://www.amcdaca.org/amcd/competencies.pdf ( Neukrug, 2012 : 650 ).
I. Penasihat Kesadaran Nilai Budaya Sendiri dan Bias
A. Sikap dan Keyakinan
1. Konselor yang handal percaya bahwa kesadaran diri budaya dan sensitivitas
warisan budaya sendiri sangat penting.
2. Konselor yang handal sadar bagaimana latar belakang budaya mereka sendiri
dan pengalaman mempengaruhi sikap, nilai, dan bias tentang proses psikologis.
P a g e | 21

3. Konselor yang handal mampu mengenali batas-batas kompetensi dan keahlian


multikultural mereka.
4. Konselor yang handal mengenali sumber-sumber ketidaknyamanan dengan
perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam hal ras, etnis, dan budaya
B. Pengetahuan
1. Konselor yang handal memiliki pengetahuan khusus tentang ras mereka sendiri
dan warisan budaya dan bagaimana hal itu secara pribadi dan profesional
mempengaruhi mereka. Definisi dan bias normalitas / kelainan dan proses
konseling.
2. Konselor yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana
penindasan, rasisme, diskriminasi, dan stereotipe mempengaruhi mereka secara
pribadi dan dalam pekerjaan mereka. Hal ini memungkinkan individu untuk
mengakui sikap rasis mereka sendiri,keyakinan, dan perasaan. Meskipun standar
ini berlaku untuk semua kelompok, untuk Konselor putih mungkin berarti bahwa
mereka memahami bagaimana mereka mungkin memiliki secara langsung atau
tidak langsung manfaat dari rasisme individu, kelembagaan, dan budaya yang
dituangkan dalam model pengembangan identitas Putih.
3. Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang dampak sosial mereka pada
lain. Mereka memiliki pengetahuan tentang perbedaan gaya komunikasi,
bagaimana gaya mereka mungkin bertentangan dengan atau mendorong proses
konseling dengan orang berwarna atau orang lain yang berbeda dari diri mereka
sendiri didasarkan pada A, B, dan C Dimensi, dan bagaimana mengantisipasi
dampak yang mungkin ditimbulkannya terhadap orang lain.

C. Keterampilan
1. Konselor yang handal mencari pendidikan, konsultasi, dan pelatihan
pengalaman untuk meningkatkan pemahaman dan efektivitas mereka dalam
bekerja dengan populasi budaya yang berbeda. Mampu mengenali batas-batas
mereka kompetensi, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari pelatihan lebih
lanjut atau pendidikan, (c) merujuk ke kualitas individu lainnya atau sumber daya,
atau (d) terlibat dalam kombinasi ini.
2. Konselor yang handal terus mencari untuk memahami diri sendiri
sebagai ras dan kebudayaan dan secara aktif mencari identitas non rasis.
P a g e | 22

II. Kesadaran Konselor terhadap Pandangan Klien


A. Sikap dan Keyakinan
1. Konselor yang handal sadar mereka positif dan negatif emosional Reaksi terhadap
kelompok-kelompok ras dan etnis lainnya yang dapat membuktikan merugikan
hubungan konseling. Mereka bersedia untuk kontras keyakinan dan sikap mereka
sendiri dengan orang-orang dari klien mereka secara budaya berbeda dengan cara
yang tidak menghakimi.
2. Konselor yang handal sadar stereotip dan praduga bahwa mereka simpan terhadap
kelompok minoritas ras dan etnis lainnya.
B. Pengetahuan
1. Konselor yang handal memiliki pengetahuan yang spesifik dan informasi tentang
kelompok tertentu dengan bagaimana mereka bekerja. Mereka sadar tentang
kehidupan pengalaman, warisan budaya, dan latar belakang sejarah yang berbeda
budaya klien. Kompetensi khusus ini sangat terkait dengan "minoritas model-
model pembangunan identitas "yang tersedia dalam literatur.
2. Konselor yang handal memahami bagaimana ras, budaya, etnis, dan sebagainya
dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan kejuruan, manifestasi
perilaku gangguan psikologis, membantu pencarian, dan kesesuaian atau
ketidaksesuaian konseling pendekatan.
3. Konselor yang handal memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh
sosial politik yang melanggar atas kehidupan ras dan etnis minoritas. imigrasi
masalah, kemiskinan, rasisme, stereotyping, dan ketidakberdayaan dapat
mempengaruhi harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.

C. Keterampilan
1. Konselor yang handal harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan
dan temuan terbaru mengenai kesehatan mental dan gangguan mental yang
mempengaruhi berbagai kelompok. Konselor etnis dan ras harus secara aktif
mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan mereka,
pemahaman, dan keterampilan lintas budaya untuk perilaku konseling lebih efektif.
2. Konselor yang handal menjadi aktif terlibat dengan individu minoritas
luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, sosial dan politik fungsi,
P a g e | 23

perayaan, pertemanan, bertetangga, dan sebagainya) sehingga perspektif mereka


minoritas lebih dari latihan akademis atau membantu.
III. Strategi Intervensi budaya Tepat
A. Keyakinan dan Sikap
1. Konselor yang handal menghargai keyakinan agama dan / atau spiritual klien dan
nilai-nilai, termasuk atribusi dan tabu, karena mereka mempengaruhi pandangan
dunia,fungsi psikososial, dan eksresi terhadap stress.
2. Konselor yang handal menghargai praktek membantu adat dan hormat
membantu jaringan antara komunitas warna.
3. yang handal nilai konselor bilingualisme dan tidak memandang bahasa lain
sebagai penghambat konseling (monolingualism mungkin pelakunya).
B. Pengetahuan
1. Konselor yang handal memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan
eksplisit karakteristik generik konseling dan terapi (budaya terikat, kelas terikat,
dan satu bahasa) dan bagaimana mereka dapat berbenturan dengan budaya nilai-
nilai berbagai kelompok budaya.
2. Konselor yang handal sadar hambatan kelembagaan yang mencegah minoritas
menggunakan layanan kesehatan mental.
3. Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang potensi bias dalam penilaian
instrumen dan prosedur penggunaan dan menafsirkan fi temuan mengingat
karakteristik budaya dan bahasa dari klien.
4. Konselor yang handal memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga, hirarki,
nilai-nilai, dan keyakinan dari berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki
pengetahuan tentang masyarakat di mana kelompok budaya tertentu mungkin
berada dan sumber daya di masyarakat.
5. Konselor yang handal harus menyadari praktik diskriminasi yang relevan di
tingkat sosial dan masyarakat yang mungkin mempengaruhi psikologis
kesejahteraan penduduk yang dilayani.
C. Keterampilan
1. Konselor yang handal mampu terlibat dalam berbagai verbal dan nonverbal
membantu tanggapan. Mereka mampu mengirim dan menerima baik lisan dan
pesan nonverbal secara akurat dan tepat. Mereka tidak terikat pada
hanya satu metode atau pendekatan untuk membantu, tetapi mengakui bahwa
P a g e | 24

membantu gaya dan pendekatan mungkin budaya terikat. Ketika mereka


merasakan bahwa gaya seporsi mereka terbatas dan berpotensi tidak pantas,
mereka dapat mengantisipasi dan memodifikasinya.
2. Konselor yang handal mempunyai intervensi kelembagaan
keterampilan atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien menentukan
apakah "Masalah" berasal dari rasisme atau bias dalam orang lain (konsep paranoia
yang sehat) sehingga klien tidak tidak tepat personalisasi masalah.
3. Konselor yang handal tidak menolak untuk mencari konsultasi dengan
dukun atau pemimpin agama dan spiritual dan praktisi di
pengobatan klien budaya yang berbeda jika diperlukan.
4. Konselor yang handal bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa
diminta oleh klien dan, jika tidak layak, membuat rujukan yang tepat. Masalah
serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak cocok bahasa
dari klien. Menjadi kasus ini, konselor harus (a) mencari penerjemah
dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai atau (b)
merujuk kepada konselor bilingual berpengetahuan dan kompeten.
5. Konselor yang handal memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan
instrumen penilaian dan pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami
aspek teknis dari instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan kebudayaan.
Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk
kesejahteraan budaya klien yang berbeda.
6. Konselor yang handal harus memperhatikan serta bekerja untuk menghilangkan
bias, prasangka, dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan
menyediakan intervensi, dan harus mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu
penindasan, seksisme, heterosexism, elitisme dan rasisme.
7. Konselor yang handal bertanggung jawab dalam mendidik klien mereka pada
proses intervensi psikologis, seperti tujuan, harapan, hukum hak, dan orientasi
konselor
6. PENDIDIKAN KESADARAN KULTURAL BAGI KONSELOR
Dalam Lago ( 2006 : 47 ) Budaya sangat mempengaruhi cara seseorang mengenai
keberadaanya, prilakunya, hubungan interpersonal, pengertian tentang suatu makna dan
sebagainya. Scheutz ( 1944 dalam Lago 2006 : 49 ) menunjukan bahwa semua pengetahuan
dan praktik budaya yang koheren (sama) hanya sebagian yang jelas dan sama sekali tidak
P a g e | 25

bebas dari kontradiksi ( perlawanan/perbedaan ). Pernyataan ini memiliki 2 implikasi yaitu


(1) ketika kita melihat budaya orang lain kita memiliki ( mungkin ketidaknyamanan )
pengalaman dalam memahami fenomena yang tidak semua jelas secara langsung. (2) ketika
kita meneliti diri sendiri, kita tidak mungkin menghargai inkoherens (persamaan) dan
kontradiksi ( perlawanan ) yang ada kecuali kita dibantu oleh pihak luar.
Sudah banyak usaha yang dilakukan dalam gerakan konseling multikultural untuk
mencari cara memfasilitasi perkembangan kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan kultural
yang sesuai. Pada awalnya banyak dari pekerjaan ini yang hanya berkonsentrasi pada isu
seputar rasisme. Tetapi program pendidikan yang lebih baru telah membahas agenda
multikultural yang lebih luas ( Rooney, et. al, 1998 ).
Rasisme adalah bagian dari sistem nilai dan produk masyarakat kontemporer, serta
mempresentasikan satu faktor yang sangat penting bagi konseling ( Thomson dan Neville,
1999 ). Perbedaan budaya antara klien dengan konselor dapat menyebabkan proses konseling
terhambat dan klien mungkin memiliki kesulitan dalam menerima dan mempercayai
konselor. Sebagaimana yang ditulis oleh dArdenne dan Mehtani ( 1989 :78, dalam McLeod,
2006 : 292 ) :
Klien dengan bias kultural dan rasial seumur hidupnya akan membawa luka dari
pengalaman ini dalam hubungan terpeutik. Biasanya konselor berasal dari kultur mayoritas,
dan akan dinisbahkan kepada masyarakat rasis kulit putih. Dengan demikian dalam
pandangan klien, konselor merupakan bagian masalah sekaligus bagian dari solusi .
Banyak pelatihan dan workshop telah dilakukakn untuk memungkinkan konselor
menjadi sadar akan biasnya sendiri dan semakin mengerti kebutuhan klien dari kelompok
minoritas. Dalam McLeod ( 2006 : 292 295 ) kasus pendidikan sistematis kesadaran
rasisme dibuat oleh Lago dan Thomson ( 1989 ) yang juga menekankan bahwa pendidikan
semacam ini menjadi sangat menyakitkan bagi para pesertanya. Dan mungkin akan
mengakibatkan konflik dengan anggota keluarga serta temannya serta menguji kembali
keyakinan dan asumsi intinya. Tuckwell ( 2001 ) telah menggambarkan bahwa yang
mendasari terapi dan pendidikan lintas budaya yang dinamis sebagai pelibatan keinginan
untuk menghadapi penyebaran ancaman dari yang lain yang eksis pada situasi tersebut.
LaFramboise dan Foster ( 1992 ) menggambarkan 4 model yang menyajikan
pendidikan yang mengeksplorasi kurikulum kesadaran kultural yang lebih umum :
1. separate course ( Program Pemisahan ) dimana para peserta melaksanakan
salah satu model atau workshop spesifik berkenaan dengan isu lintas budaya
P a g e | 26

2. daerah konsentrasi, dimana para peserta akan mulai berhadapan dengan


kelompok etnis minoritas tertentu
3. interdisiplin, dimana para peserta keluar dari program tersebut dan mengikuti
modul atau pelatihan yang dilakukan oleh fakultas atau agensi eksternal
4. Model Integritas yang menggambarkan kesadaran lintas kultural diarahkan
dalam semua bagian dari program ketimbang hanya dikatagorikan sebagai opsi
atau keluar dari kurikulum ini.
LaFramboise dan Foster ( 1992 ) mengamati bahwa dengan berasumsi integritas
merepresentasikan nilai ideal keterbatasan sumber daya, dan kurangnya staf yang terlatih
dengan baik, maka hal tersebut berarti adanya model lain yang digunakan lebih luas.
Harway (1979), Frazier dan Cohen ( 1992) menulis dari perspektif feminis
menyarankan revisi terhadap pendidikan konselor yang ada dan membuat program tersebut
lebih responsif terhadap kebutuhan konseling wanita. Model mereka adalah cara untuk
mempromosikan kesadaran akan kebutuhan kelompok klien minoritas atau kurang
beruntung. Mereka mnegusulkan hendaknya program pendidikan tersebut :
Mempekerjakan staf minoritas dalam proporsi yang signifikan
Menerima murid dari kalangan minoritas dalam proporsi yang signifikan
Menyajikan program dan penempatan sesuai dengan tipe yang disebutkan
oleh LaFramboise dan Foster ( 1992 )
Mendorong riset terhadap topik yang relevan dengan konseling terhadap
kelompok minoritas
Menyediakan perpustakaan berkenaan dengan area pembahasan ini
Mensyaratkan sesi eksprensial bagi para staf dan peserta untuk
memfasilitasi pengujian sikap stereotip
Mendorong para staf untuk menggunakan bahasa dan materi pelajaran
yang mengandung kesadaran kultural.
Dalam Wanda ( 2007 : 42 45 ) Unlearning Rasisme adalah langkah pertama
yang harus diambil oleh konselor dalam mengembangkan kesadaran budayanya. Ini
melibatkan prevalensi rasisme budaya di Amerika Serikat dan kemudian dimulai untuk
memahami prasangka sendiri terhadap orang orang yang berada dalam cara budaya yang
berbeda.Wilkins ( 1995) menegaskan bahwa penolakan rasisme jauh seperti penolakan
yang menyertai kecanduan alkohol, obat obatan atau perjudian. Langkah pertama adalah
menembus penolakan ini adalah proses emosional kognitif dan sering difasilitasi oleh
P a g e | 27

pengalaman untuk meningkatkan kesadaran diri. Ketika konselor berhadapan dengan rasisme
budaya mereka sendiri, mungkin menjadi pengalaman yang sangat mengganggu. Kebanyakan
orang tidak sengaja mendiskriminasi orang lain. Perasaan marah, rasa bersalah, sedih, atau
kebingungan tentang partisipasi pribadi dalam rasisme budaya untuk sementara sangat luar
biasa. Namun, perasaan ini adalah tanda positif dalam banyak hal. Pertama, mereka adalah
indikasi bahwa konselor tidak dalam penolakan efek rasisme budaya, bahwa belajarnya
termasuk seluruh dirinya, dan itu bersamaan dengan perubahan kognitif emosional terjadi.
Kedua, konselor mungkin dapat menggunakan perasaannya sendiri sebagai sumber empati
baru atau diperbaharui untuk klien. Ketiga, efek rasisme budaya, idealnya, yang dialami oleh
konselor dalam pengaturan yang lebih terkontrol, seperti lokakarya, kelas, atau sesi pelatihan,
luar interaksi konseling, memastikan bahwa klien tidak terbebani dengan harus berurusan
terhadap perasaan konselor.
Langkah kedua dalam mengembangkan kesadaran budaya adalah ketika konselor
mulai meningkatkan penghargaannya terhadap perbedaan budaya. Allport (1954)
berpendapat bahwa kontak dengan anggota kelompok minoritas yang menghasilkan
peningkatan pengetahuan dan pemahaman menyebabkan lebih akurat dan keyakinan yang
stabil tentang kelompok minoritas dan akhirnya mengurangi prasangka. Seorang konselor
dapat mencari orang-orang dan pengalaman dalam dirinya atau kehidupan pribadinya yang
meningkatkankan paparan kepada budaya lain. Arredondo (1999) merekomendasikan bahwa
konselor menjadi peserta aktif diluar konseling untuk memperluas perspektif mereka tentang
minoritas. Ini bisa melibatkan seluruh spektrum perilaku, seperti pergi ke film dan restoran,
menjadi bagian dari acara komunitas dan perayaan, membaca novel, meningkatkan, dan
mengembangkan persahabatan baru. Ini adalah masa perubahan pribadi dan eksplorasi
konselor dan kepedulian harus diambil bahwa konselor tidak membawa hal baru ini
terbangun dalam sesi konselingnya sebagai masalah kontra transferensi. Budaya klien yang
berbeda dalam konseling untuk menerima bantuan, bukan untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman konselor. Lebih tepat saat ini adalah untuk konselor mencari kegiatan profesional
yang membangun , kursus, dan lokakarya dengan fokus budaya, dan berkonsultasi dengan
rekan-rekan latar belakang budaya yang berbeda untuk profesional stimulasi. Sebuah ciri dari
seorang konselor asyik dengan tingkat kesadaran budaya adalah bahwa pengalaman
multikultural disambut sebagai lawan untuk dipaksa atau hanya ditoleransi. Ini berarti bahwa
konselor di tahap ini bisa menerima pandangan dunia lain yang sah, bahkan saat tidak
berhubungan dengan pandangan dunia tertentu.
P a g e | 28

7. ETIKA KONSELING MULTIKULTURAL


Para konselor menyadari dan menghormati perbedaan peran, individu, dan budaya,
termasuk yang berdasarkan usia, jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul
kebangsaan, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi dan
mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika bekerja dengan anggota kelompok tersebut.
Konselor mencoba menghilangkan efeknya pada kecenderungan pekerjaan mereka
berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan mereka tanpa sadar berpartisipasi atau membiarkan
kegiatan lain berdasarkan prasangka tersebut.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para profesional kesehatan mental adalah
memahami peranan keragaman dan kesamaan budaya yang kompleks dalam pekerjaan
mereka. Klien dan konselor menghasilkan berbagai macam sikap, nilai-nilai, asumsi yang
dipelajari secara budaya, kecenderungan, keyakinan, dan perilaku pada hubungan terapeutik.
Bekerja secara efektif dengan keragaman budaya dalam proses terapeutik merupakan
kebutuhan dari praktik etis yang baik. Pack-Brown, Thomas, dan Seymour (2008)
menekankan tanggung jawab etis konselor dalam memberikan layanan profesional yang
menunjukkan rasa hormat terhadap pandangan dunia, nilai-nilai, dan tradisi budaya dari klien
yang beragam secara kultural. Mereka berpendapat bahwa isu-isu budaya memengaruhi
semua aspek dari proses konseling, termasuk pertimbangan etis yang muncul dari waktu
konselor pertama kali bertemu klien hingga berakhirnya upaya bantuan (hal. 297). Karena
masing-masing kita adalah unik, semua interaksi konseling dapat dilihat sebagai peristiwa
multikultural.
Dari faktor-faktor perbedaan klien dan keragaman budaya dituangkan dalam kode etik
dalam melaksankan konseling. Sebagian besar kode etik menyebutkan tanggung jawab
praktisi untuk mengenali kebutuhan khusus dari beragam populasi klien. Watson, Herlihy,
dan Pierce (2006) berpendapat bahwa konselor lambat untuk mengenali kaitan antara
kompetensi multikultural dan perilaku etis. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa
ketergantungan pada kode etik saja tidak menjamin kompetensi multikultural. Luangkan
waktu untuk meninjau kode etik dari satu atau lebih organisasi profesional untuk menentukan
sendiri sejauh mana aturan-aturan tersebut memperhitungkan dimensi multikultural.
Kemudian pertimbangkan bagaimana Anda dapat meningkatkan kompetensi multikultural
Anda melebihi apa yang disarankan oleh kode ini. Kotak Kode Etik yang berjudul
Mengatasi Keanekaragaman memberikan gambaran tentang bagaimana berbagai kode
dapat mengatasi masalah-masalah ini.
P a g e | 29

Kode Etik
Mengatasi Keanekaragaman
Kode etik Feminist Therapy Institute (2000) memiliki empat pedoman terpisah yang
berkaitan dengan keragaman dan penindasan budaya:
A. Seorang terapis feminis meningkatkan aksesibilitasnya pada dan untuk berbagai klien
dari kelompoknya sendiri dan kelompok-kelompok yang teridentifikasi lainnya melalui
pengadaan layanan yang fleksibel. Bila diperlukan, terapis feminis membimbing klien
dalam mengakses layanan lain dan melakukan intervensi ketika hak klien dilanggar.
B. Seorang terapis feminis menyadari makna dan dampak latar belakang etnis dan budaya,
gender, kelas, usia, dan orientasi seksualnya sendiri, dan secara aktif mencoba menjadi
lebih berpengetahuan tentang berbagai alternatif dari sumber-sumber selain kliennya.
Dia secara aktif terlibat dalam memperluas pengetahuan tentang pengalaman etnis dan
budaya, baik non-dominan ataupun dominan.
C. Menyadari bahwa budaya dominan menentukan norma, tujuan terapis adalah untuk
mengungkapkan dan menghormati perbedaan dan pengalaman budaya, termasuk yang
didasarkan pada status pengungsi dan/atau imigrasi jangka panjang atau baru-baru ini.
D. Seorang terapis feminis mengevaluasi interaksi yang sedang berlangsung dengan
kliennya sebagai bukti kecenderungannya atau sikap dan praktik-praktik diskriminatif.
Dia juga memantau beberapa interaksi lain, termasuk penyediaan layanan, mengajar,
menulis, dan semua kegiatan profesional. Terapis feminis menerima tanggung jawab
umengambil tindakan untuk menghadapi dan mengubah kecenderungan mencampuri,
menekan, atau meremehkan kecenderungan yang dimilikinya.
Kode etik Canadian Counselling Association (2007) memerlukan anggota untuk
menghormati keragaman.
Konselor secara aktif berupaya memahami latar belakang budaya klien yang
beragam dengan siapa mereka bekerja, dan tidak membenarkan atau terlibat
dalam diskriminasi berdasarkan usia, warna kulit, budaya, etnis, kecacatan,
gender, agama, orientasi seksual, perkawinan, atau status sosial-ekonomi. (B.9.)
Kode Etik NAADAC (2008) membahas non-diskriminasi:
Saya menegaskan keragaman antara rekan atau klien tanpa memandang usia,
gender, orientasi seksual, latar belakang etnis/ras, kepercayaan agama/spiritual,
status perkawinan, kepercayaan politik, atau cacat fisik/mental.
P a g e | 30

Dalam Pembukaan Code of Professional Ethics for Rehabilitation Counselors (CRCC,


2010), pernyataan berikut mengakui nilai keanekaragaman:
Para konselor rehabilitasi berkomitmen untuk mempermudah kemandirian
personal, sosial, dan ekonomi dari individu penyandang cacat. Dalam memenuhi
komitmen ini, para konselor rehabilitasi mengenali keragaman dan menganut
pendekatan budaya dalam mendukung nilai, martabat, potensi, dan keunikan
individu penyandang cacat dalam konteks sosial dan budaya mereka. Mereka
berpaling pada nilai-nilai profesional sebagai cara penting untuk menghidupi
komitmen etis.
Ethical Standards for School Counselors atau Standar Etis untuk Konselor Sekolah
(ASCA, 2004) membahas peran keanekaragaman dalam konseling sekolah dalam Bagian E.2:
Konselor sekolah diharapkan menyadari sikap, nilai-nilai budaya, dan kecenderungan mereka
sendiri yang dapat memengaruhi kompetensi budaya mereka. Mereka juga diharapkan
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi,
dan stereotip memengaruhi mereka secara pribadi dan profesional.
Kode Etik dari Canadian Association of Social Workers (1994) memiliki standar non-
diskriminasi berikut:
Seorang pekerja sosial dalam praktek pekerjaan sosial tidak mengadakan
diskriminasi terhadap orang atas dasar ras, latar belakang etnis, bahasa, agama,
status perkawinan, gender, orientasi seksual, usia, kemampuan, status sosial-
ekonomi, afiliasi politik atau kebangsaan.
Kode etik APA (2002) menunjukkan bahwa bagian dari kompetensi menyiratkan keragaman
pemahaman:
Apabila pengetahuan keilmuan atau profesional dalam disiplin psikologi
menetapkan bahwa pemahaman tentang faktor-faktor yang terkait dengan usia,
gender, identitas gender, ras, etnis, budaya, kebangsaan, agama, orientasi seksual,
kecacatan, bahasa, atau status sosial ekonomi sangat penting untuk pelaksanaan
layanan atau penelitian mereka yang efektif, psikolog memiliki atau memperoleh
pelatihan, pengalaman, konsultasi, atau pengawasan yang diperlukan untuk
menjamin kompetensi jasa mereka, atau mereka membuat rujukan yang tepat.
Kode etik ACA (2005) menanamkan isu-isu multikulturalisme dan keragaman di
seluruh dokumen itu, termasuk bagian-bagian yang berkaitan dengan hubungan
konseling, izin yang diinformasikan, barter, penerimaan hadiah, kerahasiaan dan
P a g e | 31

privasi, tanggung jawab profesional, penilaian dan diagnosis, pengawasan, dan program
pendidikan dan pelatihan.
Pertimbangan multikultural/Keanekaragaman: Para konselor mempertahankan
kesadaran dan sensitivitas tentang makna kerahasiaan dan privasi secara kultural.
Konselor menghormati pandangan yang berbeda-beda terhadap pengungkapan
informasi. Konselor mengadakan diskusi berkelanjutan dengan klien tentang
bagaimana, kapan, dan dengan siapa informasi itu dibagikan.
Sensitivitas Budaya dan Diagnosis Gangguan Jiwa: Konselor mengenali budaya
yang memengaruhi cara di mana masalah-masalah klien didefinisikan.
Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien dipertimbangkan saat mendiagnosis
gangguan mental.
Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Penilaian: Konselor menggunakan
dengan hati-hati teknik penilaian yang bernorma pada populasi selain klien.
Konselor mengenali pengaruh usia, warna kulit, budaya, cacat, kelompok etnis,
gender, ras, pilihan bahasa, agama, spiritualitas, orientasi seksual, dan status
sosial ekonomi pada administrasi dan interpretasi tes, dan hasil menempatkan
hasil-hasil tes dalam perspektif yang benar dengan faktor-faktor lain yang relevan
.

Menurut Allen E Ivey dalam bukunya Intentional Interviewing & Counseling


Etika dalam Proses Bimbingan
Sangat penting untuk anda membaca dan memahami kode etik dari profesi anda.
Jika anda berpraktik secara etis, anda dapat memprediksikan bagaimana klien mungkin
merespons. Perhatikan deskripsi singkat dari perilaku etis dan beberapa prediksi yang
dapat anda buat sebagai berikut:
Etika Prediksi Hasil
Amati dan ikuti standar profesional, dan Kepercayaan dan pemahaman klien tentang
berpraktek secara etis. Terutama isu-isu proses wawancara akan meningkat. Klien
penting bagi pewawancara pemula adalah akan merasa leluasa dalam sesi yang lebih
kompetensi, persetujuan yang egaliter. Ketika Anda bekerja ke arah
diinformasikan, kerahasiaan, kekuatan, dan keadilan sosial, Anda berkontribusi pada
keadilan sosial. pencegahan masalah selain upaya
penyembuhan dalam wawancara itu.
P a g e | 32

Semua profesi bimbingan utama di seluruh dunia memiliki aturan-aturan yang


menguraikan secara singkat beberapa pedoman untuk praktek etis. Peraturan itu
meningkatkan pemberdayaan profesional dengan membantu para profesional dan profesional-
dalam-pelatihan untuk: (a) mempertahankan praktik yang baik, (b) melindungi klien mereka,
(c) menjaga otonomi mereka, dan (d) meningkatkan profesi itu (Pack-Brown & Williams,
2003, hal. 4). Kode etik juga akan diringkas dengan kata-kata Ingatkanlah akan kepentingan
terbaik klien Anda; jangan melukai klien Anda; perlakukan mereka secara bertanggung jawab
dengan penuh kesadaran akan konteks sosial bimbingan.
Kotak 2-1 menyajikan situs-situs internet mengenai beberapa kode etik penting di
daerah-daerah berbahasa Inggris di dunia ini. Semua kode berisi informasi tentang
kompetensi, persetujuan yang diinformasikan, kerahasiaan, dan keragaman. Isu-isu tentang
advokasi, kekuasaan, dan keadilan sosial bersifat implisit dalam semua kode, tetapi
kebanyakan bersifat eksplisit dalam konseling, kerja sosial, dan pelayanan kemanusiaan.
Kami sangat menyarankan agar Anda meninjau teks lengkap dari kode etik profesi yang
Anda inginkan.
KOTAK 2-1 KODE ETIK PROFESIONAL DENGAN SITUS-SITUS WEB

Daftar di bawah ini adalah beberapa kode etik yang penting. Alamat situs web ini benar
pada saat pencetakan, tetapi bisa berubah. Untuk pencarian Web kata kunci, gunakan nama
asosiasi profesional dan kata-kata ethics atau ethical code.
Kode Etik American Association for http://www.aamft.org
Marriage and Family Therapy (AAMFT)
Kode Etik American Counseling http://www.counseling.org
Association (ACA)
Prinsip Etika Psikolog dan Kode Etik http://www.apa.org
American Psychological Association
(APA)
American School Counselor Association http://www.schoolcounselor.org
(ASCA)
Kode Etik Australian Psychological Society http://www.psychology.org.au
(APS)
Kerangka Etika British Association for http://www.bacp.co.uk
Counselling and Psychotherapy (BACP)
P a g e | 33

Kode Etik Canadian Counselling http://www.ccacc.ca


Association (CCA)
Kode Etik National Association of Social http://www.naswdc.org
Workers (NASW)
National Career Development Association http://www.ncda.org
(NCDA)
Kode Etik New Zealand Association of http://www.nzac.org.nz
Counsellors (NZAC)
Ethics Updates menyediakan informasi http://ethics.sandiego.edu
terbaru tentang sastra saat ini, baik
populer maupun profesional, yang
berhubungan dengan etika.

1. Kompetensi
Terlepas dari profesi pelayanan manusia yang Anda identifikasi, kompetensi adalah hal
penting. Kompetensi telah didefinisikan sebagai penggunaan komunikasi, pengetahuan,
keterampilan teknis, penalaran klinis, emosi, nilai-nilai, dan refleksi menurut kebiasaan dan
secara bijaksana dalam praktik sehari-hari demi kepentingan individu dan masyarakat yang
dilayani (Epstein & Hundert 2002, hal. 227).
Batasan Kompetensi. Konselor berpraktik hanya dalam batas-batas kompetensi mereka,
berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang diawasi, perizinan profesional negara
bagian dan nasional, dan pengalaman profesional yang sesuai. Konselor akan menunjukkan
komitmen untuk mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi, kepekaan, dan keterampilan
yang berkaitan dengan bekerja dengan beragam populasi klien.
2. Informed Consent (Persetujuan yang Diinformasikan)
Informed consent (persetujuan yang diinformasikan) merupakan salah satu elemen
yang paling penting dalam konseling. Konselor memberitahu klien tentang tujuan, prosedur,
manfaat, dan risiko dari proses konseling, dan klien setuju dengan apa yang telah diuraikan.
Bahkan sebagai seorang peserta didik, ketika Anda masuk ke dalam sesi-sesi permainan
peran dan latihan, penting untuk menginformasikan klien sukarelawan Anda tentang hak-
hak mereka, kompetensi Anda sendiri, dan apa yang mungkin terjadi.
Konseling adalah profesi internasional. Pendekatan Canadian Counselling Association
(1999) terhadap persetujuan yang diinformasikan sangat jelas. Hak-hak klien dan Persetujuan
P a g e | 34

yang Diinformasikan. Ketika konseling dimulai, dan selama proses konseling diperlukan,
konselor memberitahu klien tentang tujuan, sasaran, teknik, prosedur, batasan, potensi risiko
dan manfaat pelayanan yang akan dilakukan, dan informasi lainnya terkait hal tersebut.
Konselor memastikan bahwa klien memahami implikasi dari diagnosis, biaya dan rencana
pemungutan biaya, penyimpanan rekaman, dan batas-batas kerahasiaan. Klien memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam rencana konseling berkelanjutan, menolak pelayanan yang
direkomendasikan, dan diberitahu tentang konsekuensi dari penolakan tersebut.
3. Kerahasiaan
Sebagai seorang peserta didik atau profesional pemula, Anda biasanya tidak memiliki
kerahasiaan hukum. Meskipun demikian, staf pengajar akademik mengharapkan Anda
menghormati sifat rahasia dari komunikasi klien Anda. Ini berarti bahwa apa yang Anda
dengar di permainan peran kelas atau apa yang dikatakan kepada Anda dalam sesi praktik
harus disimpan untuk diri Anda sendiri. Kepercayaan dibangun atas dasar kemampuan Anda
untuk menjaga kepercayaan. Sadarilah bahwa setiap negara bagian memiliki berbagai
undang-undang tentang kerahasiaan.
Kode Etik American Counseling Association (2005) menyatakan: Bagian B:
Pendahuluan. Konselor mengakui bahwa kepercayaan adalah hal terpenting dalam hubungan
konseling. Konselor menginginkan untuk mendapat kepercayaan dari klien dengan
menciptakan suatu kemitraan yang berkelanjutan, membangun dan menegakkan batasan-
batasan yang tepat, dan menjaga kerahasiaan. Konselor mengkomunikasikan beberapa
parameter kerahasiaan dengan cara yang kompeten secara budaya.
4. Kekuatan
Jika [ras] tidak dibicarakan pada awalnya, maka hal itu menjadi masalah
bagi orang yang tanpa kekuatan, sehingga mereka merasa tidak nyaman untuk
membicarakannya.
Saya kembali kepada klien dan bertanya bagaimana rasanya bagi dia untuk
berbicara dengan saya sebagai orang kulit putih. Jadi kami dapat memproses
hubungan kami dan saya merasa sepertinya itulah intisari yang sangat berarti
dalam sesi itu dan sepanjang terapi. (Gillen, Barton, Cane, Tomko, Fetherson, &
Anderson, 2008)
National Organization for Human Service Education (2000) mengomentari kekuatan,
masalah etika yang sering menerima perhatian yang tidak memadai atau diabaikan dalam
sesi: Pernyataan 6. Para profesional pelayanan manusia menyadari bahwa dalam hubungan
P a g e | 35

mereka dengan kekuatan dan status klien tidak sama. Oleh sebab itu, mereka mengakui
bahwa hubungan ganda atau paralel mungkin meningkatkan risiko membahayakan, atau
eksploitasi klien, dan dapat mengganggu penilaian profesional.
Tindakan bantuan memiliki implikasi kekuatan. Klien atau helpee (orang yang
menerima bantuan) mengawali dalam posisi kekuatan lebih rendah dari konselor. Perbedaan
kekuatan terjadi dalam masyarakat di mana hak istimewa sejalan dengan warna kulit, jenis
kelamin, orientasi seksual, atau dimensi multikultural lainnya. Kesadaran dan keterbukaan
tentang isu-isu ini mempermudah pekerjaan menuju keseimbangan kekuatan dalam
membantu setiap sesi. Sebagai contoh, jika Anda seorang laki-laki mengkonseling seorang
wanita, Anda mungkin berkata, Bagaimana rasanya, menjadi seorang wanita, membicarakan
tentang masalah ini dengan saya? Jika klien Anda atau Anda tidak nyaman, hal yang
bijaksana untuk membahas masalah ini lebih lanjut. Rujukan mungkin diperlukan kadang-
kadang.
Hubungan gandamemiliki lebih dari satu hubungan dengan kliendapat
menimbulkan masalah. Jika klien adalah teman sekelas atau sahabat, Anda terlibat dalam
hubungan ganda dalam sesi latihan Anda. Situasi ini dapat terjadi jika Anda bekerja di sebuah
kota kecil dan mengkonseling anggota gereja atau komunitas sekolah Anda. Hubungan ganda
bisa menjadi masalah yang kompleks dalam profesi bantuan, dan Anda akan berniat
memeriksa masalah ini secara lebih rinci dalam kode etik.
P a g e | 36

5. Keadilan Sosial dan Advokasi


Apakah masalah, perhatian, atau tantangan dalam klien, disebabkan oleh
lingkungan, atau dalam beberapa keseimbangan dari keduanya? Konseling dan psikoterapi
berfokus pada individu, tetapi juga penting untuk mempertimbangkan konteks sosial klien.
Terlalu banyak pewawancara, konselor, dan terapis yang tidak mempertimbangkan isu-isu
eksternal yang mungkin merupakan penyebab sesungguhnya dari masalah klien. Sebagai
contoh, beberapa terapis mungkin akan memandang masalah Kendra dengan pelecehan
bosnya secara berbeda. Beberapa terapis mungkin mengatakan, Itu sering kali bagian dari
pekerjaanAnda hanya harus membiasakan diri dengan hal itu. Terapis lain mungkin
bertanya bagaimana cara dia berpakaian dan apakah dia terlibat dalam perilaku provokatif.
Pendekatan-pendekatan negatif ini disebut menyalahkan korban. Hal ini berpotensi
menyebabkan Kendra merasa bersalah dan berpikir bahwa dia telah melakukan sesuatu yang
salah. Pelecehan adalah pelecehan! Tugas kita adalah mendukung klien.
Adalah tugas pewawancara selesai ketika sesi berakhir? Kode etik National
Association of Social Workers (1999) menunjukkan bahwa kesadaran akan lingkungan dan
tindakan di luar wawancara mungkin penting jika klien akan menyelesaikan masalah.
Pendekatan keadilan sosial menuntut tindakan dari Anda untuk mencegah masalah dengan
bertindak sebagai advokat bagi klien Anda. Apabila saatnya tepat dan dengan persetujuan
klien, Anda berupaya untuk menyelidiki potensi hambatan dan kendala yang mencegah
pertumbuhan dan perkembangan klien Anda pada tingkat individu, kelompok, atau
masyarakat.
8. PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR MULTIKULTURAL
... menjadi terampil secara kultural merupakan proses aktif, yang... berkelanjutan, dan itu ...
adalah sebuah proses yang tidak pernah mencapai titik akhir.
(Sue & Sue, 1990, hal. 146)
Menurut Wanda M.L. Lee dalam bukunya Introduction to Multicultural Counseling
for Helping Professionals. Dalam konseling multikultural perlu mengembangkan kesadaran
dan penghargaan terhadap kebutuhan akan pengetahuan spesifik budaya dalam proses
konseling. Sementara kesadaran dan pengetahuan multikultural meningkat, keterampilan
konseling multikultural dapat bertambah. Pengalaman praktis dan interaksi yang
berkelanjutan dengan beragam klien sangat penting untuk pengembangan keterampilan
multikultural. Mengembangkan keterampilan konseling multikultural merupakan kebutuhan
pendidikan berkelanjutan secara terus-menerus yang diperlukan bagi para konselor di abad
P a g e | 37

ke-21 sementara penduduk Amerika Serikat terus beragam, terutama dalam hal etnis dan usia.
Untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan dengan pelatihan dalam konseling
multicultural.
Pelatihan Multikultural
Model-Model Pelatihan
Beberapa model telah diusulkan untuk pelatihan konseling multikultural
programatik. Ridley, Mendoza, dan Kanitz (1994) menjelaskan lima kerangka kerja
yang berbeda untuk pendekatan konseling multikultural:
a. Sebuah kerangka kerja generik/umum atau etik berasumsi bahwa konseling secara
universal berlaku tanpa justifikasi empiris atau modifikasi budaya.
b. Sebuah kerangka kerja emik dapat mengajarkan proses umum untuk mengumpulkan
dan menggabungkan informasi budaya tertentu dengan risiko meningkatkan stereotip.
c. Sebuah kerangka idiografis menggunakan klien sebagai sumber data primer dan
menekankan individualitas klien dalam hal budaya.
d. Pendekatan autoplastik mensyaratkan bahwa klien mengubah diri mereka untuk
masuk ke dalam lingkungan budaya mereka.
e. Pendekatan autoplastik menekankan pengaruh lingkungan politik, sosial, dan ekonomi
klien dalam memberikan kontribusi kepada masalahnya dan berfokus pada
pemberdayaan dan dukungan kepada para klien dengan risiko korban.
Program-program pelatihan konselor sering mengambil pendekatan etik, idiografis,
atau autoplastic pada pelatihan konseling multikultural, sedangkan penekanan sekarang di
bidang ini adalah lebih ke arah pendekatan emik dan autoplastik. Pendekatan yang
sebelumnya itu mengaburkan kebutuhan akan kurikulum khusus yang terkait dengan
konseling multikultural karena pengaruh budaya dipandang tidak berbeda dari masalah
khusus lainnya dalam kehidupan yang mungkin dihadapi seorang individu. Bukti penelitian
dari waktu ke waktu telah mendokumentasikan beberapa perubahan positif tertentu yang
dihasilkan dari pelatihan multikultural (Smith dkk., 2006).
Wehrly (1991) menjelaskan model perkembangan lima tahap untuk persiapan
konselor multikultural yang didasarkan pada karya Carney dan Kahn (1984) dan Sabnani,
Ponterotto, dan Borodovsky (1991). Tahap pertama memerlukan lingkungan pelatihan
terstruktur dan suportif untuk mengurangi kecemasan mahasiswa, mendorong kesadaran diri
melalui penulisan jurnal, dan memulai belajar pengetahuan budaya melalui pelaporan
etnis/budaya dan buku. Tahap kedua menekankan pencarian informasi tentang asal-usul
P a g e | 38

budaya dan nilai-nilai dominan pelajar sendiri serta meneliti budaya etnis yang berbeda,
termasuk kondisi masuknya kelompok itu ke Amerika Serikat, penanganan (sebagai imigran,
budak, dll), dan penyedia bantuan historis sepanjang sejarah mereka di negara ini. Tahap
ketiga menggabungkan pemahaman yang lebih dalam dari keterlibatan pribadi mahasiswa
dalam rasisme yang meresap di Amerika Serikat dan menekankan pentingnya konselor untuk
mengatasi berbagai perbedaan ras/budaya antara konselor dan klien selama sesi konseling
pertama. Tahap keempat dan kelima melibatkan pengalaman langsung bekerja sama
dengan klien yang berbeda secara budaya dalam lingkungan praktikum dan masa magang di
bawah para supervisor terlatih.
1. Format Pelatihan
Dua format utama yang telah digunakan program pendidikan konselor untuk pelatihan
multikultural adalah pendekatan kuliah tunggal dan penambahan kurikulum (Fouad, Manese,
& Casas, 1992). Satu survei nasional mengungkapkan bahwa 89% dari program doktor dalam
konseling membutuhkan setidaknya satu kuliah multikultural dan 58% menanamkan muatan
multikultural di seluruh tugas kuliah mereka (Ponterotto, 1997).
Penanaman multikultural secara komprehensif ke dalam tugas kuliah dan pengalaman
lapangan membutuhkan komitmen dan alokasi sumber daya kelembagaan yang tidak mau
atau tidak mampu dipenuhi oleh banyak program pelatihan konselor (DAndrea dkk., 1991).
Asisten dan anggota staf pengajar tambahan kemungkinan akan bertanggung jawab dalam
melaksanakan upaya-upaya pelatihan multikultural (Bell, Washington, Weinstein, & Love,
1997; Hills & Strozier, 1992). Staf pengajar di peringkat yang lebih rendah umumnya
memiliki lebih sedikit pengetahuan tentang lembaga itu, kekuasaan yang lebih kecil, dan
kurang berpengaruh dalam mendatangkan perubahan kurikuler.
Bahkan ketika sebuah program telah membuat komitmen lain untuk menyertakan
pelatihan multikultural dalam semua tugas kuliahnya, kepatuhan dan hasil yang nyata sulit
untuk dipantau. Inilah satu hal penting untuk menyertakan beberapa topik dan referensi
multikultural dalam kuliah silabus dan yang lain agar benar-benar menggabungkan isu-isu
dan perspektif multikultural ke dalam semua ceramah dan diskusi.
Ada cara-cara lain untuk mendapatkan pelatihan multikultural selain dari tugas kuliah
formal. Selain pelatihan dalam hal kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan budaya, Preli
dan Bernard (1993) memasukkan kaitan dengan budaya orang minoritas dan praktik
konseling dengan klien minoritas. Namun, hanya 5,7% dari program magang pradoktoral
pusat konseling universitas yang dipelajari wajib memiliki klien-klien etnis (Murphy, Wright,
P a g e | 39

& Bellamy, 1995). Enns (1993) mencatat bahwa meskipun para terapis feminis selama 20
tahun terakhir telah mendidik diri mereka sendiri dengan mengambil kursus-kursus mengenai
konseling perempuan atau terapi feminis, lebih banyak pembelajaran yang berlangsung dari
studi dan penelitian pribadi, lokakarya profesional, percakapan informal dan kelompok
belajar, dan pengalaman konseling yang sebenarnya dengan klien-klien wanita. Pelatihan
multikultural adalah proses multifaset seumur hidup.
Selain manfaat potensial langsung dalam penanganan yang lebih efektif terhadap
klien-klien multikultural yang mungkin timbul dari pelatihan multikultural dalam konseling,
manfaat lain adalah bahwa mahasiswa menjadi lebih sadar akan isu-isu multikultural secara
umum, mahasiswa mulai meyakini bahwa tidak tepat apabila mengabaikan perbedaan
budaya, dan mahasiswa memiliki peluang untuk menangani perasaan mereka sendiri tentang
isu-isu rasial dan bukan selama proses konseling sebagai reaksi kontra-transferensi (Jordan,
1993). Para konselor etnis minoritas memperoleh manfaat dari pelatihan multikultural karena
tidak harus diasumsikan bahwa konselor dari kelompok minoritas budaya secara otomatis
dapat berhubungan dengan para klien dari budaya dominan (Brown, 1996). Pelatihan dalam
konseling multikultural juga merupakan persyaratan lisensi profesional untuk praktek mandiri
setidaknya dalam satu negara bagian (DeAngelis, 1994). Pra-pasca pengujian dengan ukuran-
ukuran penilaian kompetensi konseling multikultural menunjukkan bahwa pelatihan
konseling multikultural program tunggal dan format lokakarya menghasilkan perubahan yang
dirasakan oleh para peserta (DAndrea dkk., 1991;. Pope-Davis & Dings, 1995). Namun,
penelitian terhadap dampak-dampak jangka panjang dari pelatihan multikultural diperlukan
(Jordan, 1993).
2. Model Pelatihan Kurikulum Pelatihan
Walaupun ada variabilitas besar di antara program pelatihan multikultural, model
kurikulum yang dijelaskan dalam hal kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan ditawarkan
di sini yang menggabungkan rekomendasi dari beberapa sumber (Das, 1995; Enns, 1993;
Fouad dkk., 1992;. Preli & Bernard, 1993; Ridley dkk., 1994) serta orang-orang dari
kalangan penulis. Elemen-elemen model kurikulum diuraikan dalam kotak di halaman 28,
Muatan Kurikulum Pelatihan Multikultural.
Beberapa elemen dari model kurikulum saat ini merupakan bagian dari sebagian besar
program pendidikan konselor (misalnya, pengetahuan etika, mengatasi hambatan klien),
banyak yang tidak (misalnya, kefasihan bahasa kedua, praktek penyembuhan tradisional), dan
yang lain mengembangkan peran konselor (misalnya, isu-isu pencegahan, advokasi) dalam
P a g e | 40

arahan non-tradisional. Ada sumber-sumber daya substansial yang dicatat dalam bidang
kesadaran diri akan budaya (Katz, 2003; McIntosh, 1988) dan sejumlah besar literatur
konseling multikultural memperhatikan pengetahuan budaya spesifik dan dampak
potensialnya dalam konseling. Namun, tantangan terbesar dalam pelatihan konselor
multikultural saat ini berada di bidang keterampilan: Menunjukkan dengan tepat
keterampilan konseling khusus yang akan membantu konselor dalam membuat pekerjaan
mereka dengan klien individu budaya menjadi efektif (Lee, 1996, hal. 2.).

Muatan Kurikulum Pelatihan Multikultural


Kesadaran Kesadaran meningkat sehubungan dengan isu-isu rasisme, seksisme,
homofobia, transgenderfobia, ageisme, dan ablisme
Kesadaran diri kultural akan latar belakang etnis konselor itu sendiri
dan reaksi potensial klien dan beberapa implikasi lain selama
konseling.
Kesadaran diri kultural akan jenis kelamin, orientasi seksual, identitas
jenis kelamin, usia, dan kelas sosial konselor itu sendiri dan reaksi
potensial klien dan beberapa implikasi lain selama konseling.
Kesadaran diri kultural akan cacat fisik dan mental konselor itu
sendiri dan reaksi potensial klien dan beberapa implikasi lain
selama konseling.
Menghormati perbedaan budaya
P a g e | 41

Pengetahuan Konteks sosial politik dari konseling, termasuk penindasan,


diskriminasi, dan rasisme, hambatan terhadap pelayanan, dan
penyebab sosial dari tekanan psikologis.
Penyimpangan budaya dan rasial dalam pengujian isu-isu
Model-model pengembangan identitas budaya.
Isu-isu akulturasi.
Variasi budaya dalam peningkatan keluarga, pola-pola
perkembangan, harapan klien, pandangan mengenai kesehatan dan
penyakit
Kemampuan untuk mengkritik teori-teori yang sudah ada untuk
relevansi budaya (pandangan dunia)
Kefasihan bahasa kedua
Pengetahuan budaya akan karakteristik normatif dari kelompok
budaya tertentu
Pengetahuan budaya akan perbedaan dalam kelompok
Praktek penyembuhan tradisional
Peraturan imigrasi
Hukum-hukum mengenai pelecehan seksual, kejahatan kebencian,
diskriminasi perumahan dan kerja
Pengetahuan dan praktik etika (misalnya, pedoman etis bagi
penggunaan teknik-teknik tradisional)
Isu-isu pencegahan
Keterampilan Keterampilan wawancara untuk berbicara tentang perbedaan budaya
Penilaian latar belakang dan isu-isu budaya
Pengembangan orientasi teoritis individualisasi
Menampilkan perilaku budaya responsif
Mengkomunikasikan empati dengan cara yang secara kultural
diketahui oleh klien
Mengatasi hambatan klien
Keterampilan konsultasi untuk komunikasi dengan para tabib
tradisional
Keterampilan manajemen kasus
Keterampilan advokasi untuk mempengaruhi organisasi
Penjangkauan masyarakat/keterampilan organisasi
Keterampilan resolusi konflik kelompok
P a g e | 42

Keterampilan mengajar untuk pendidikan masyarakat

Sebuah program model pelatihan multikultural akan mempraktikkan muatan yang


dijelaskan di atas dengan memberikan kesempatan untuk hubungan dalam program dan
dalam masyarakat sekitar dengan orang-orang dari latar belakang budaya minoritas dan
membutuhkan pengalaman praktikum dengan populasi budaya minoritas (McRae & Johnson,
1991; Preli & Bernard, 1993). Akses menuju pengawasan dan pengalaman magang yang
relevan dengan beragam kasus telah dinilai sebagai pengalaman pelatihan multikultural yang
paling efektif (Allison dkk., 1994).
3. Metode dan Proses Pelatihan
Berbagai strategi pengajaran telah digunakan dalam pelatihan multikultural
(Pedersen, 1977; Preli & Bernard, 1993;. Ridley dkk., 1994), termasuk latihan kesadaran diri
berdasarkan pengalaman (lihat Bab 3 untuk beberapa contoh) dan beberapa permainan serta
metode didaktik, menyaksikan video, bacaan, tugas tertulis, pembelajaran
pemodelan/observasional, pelatihan dengan dibantu teknologi (misalnya, rekaman video dan
peninjauan sesi-sesi konseling), dan praktik dan magang yang diawasi. Teknik pelatihan
multikultural yang mungkin mendapat perhatian paling besar adalah model bermain peran
yang dikembangkan oleh Pedersen (1977, 1978, 1994). Dalam latihan bermain peran ini, para
peserta mengambil peran konselor, klien, dan masalah/anti-konselor dan mensimulasikan sesi
konseling yang dapat membantu dalam mengungkapkan masalah-masalah budaya,
mengantisipasi hambatan, mengurangi sikap defensif konselor, dan mengajarkan
keterampilan pemulihan. Modifikasi dari latihan ini yang menggantikan pro-konselor untuk
peran anti-konselor memberikan sekutu yang suportif kepada konselor dan mungkin lebih
P a g e | 43

bermanfaat dengan konselor pemula (Neimeyer, Fukuyama, Bingham, Hall, & Mussenden,
1986) dan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan (Sue, 1979, dikutip dalam
McRae & Johnson, 1991). Versi asli anti-konselor tampaknya lebih efektif untuk
mengembangkan kepekaan dan kesadaran (Sue, 1979, dikutip dalam McRae & Johnson,
1991). Teknik pelatihan lainnya adalah genogram multikultural termasuk setidaknya tiga
generasi sejarah keluarga, label budaya, dan pengalaman, dan persepsi keanekaragaman
(Vasquez & Garcia-Vasquez, 2003).
Pelatihan konselor multikultural merupakan proses kompleks yang menggabungkan
pertumbuhan pribadi dengan belajar muatan dan pengembangan keterampilan. Menurut Das
(1995, hlm. 47), Jarak kognitif antara penyedia layanan kesehatan mental dan para
konsumen kelas bawah dan minoritas dapat dijembatani melalui instruksi didaktik, tetapi
jarak sosial dan emosional dapat dikurangi hanya melalui program intensif pendidikan ulang
konselor, satu ditujukan untuk mengubah sikap mereka.
Pelatihan multikultural yang efektif mensyaratkan pelatih untuk memiliki banyak sifat
konselor yang baik serta guru yang baik. Kemampuan pelatih untuk mengungkapkan
pengalaman perkembangannya sendiri dengan kesadaran multikultural telah ditekankan
sebagai karakteristik penting dari pelatihan yang efektif (Ponterotto, 1998; Rooney dkk.,
1998). Selain itu, para pelatih harus menyadari latar belakang perkembangan budaya individu
mahasiswa mereka, karena tingkat perkembangan identitas budaya masing-masing
mahasiswa mungkin berbeda sehubungan dengan ras, jenis kelamin, orientasi seksual, usia,
atau dimensi cacat (Rooney dkk., 1998).
Reynolds (1995) merekomendasikan pelatihan kemampuan konseling dalam muatan
keragaman budaya mengenai kelompok budaya tertentu, bagaimana penindasan bekerja,
kerja kelompok, bagaimana isu-isu multikultural mempengaruhi konseling, dan sebagainya.
Ada beberapa alasan yang baik untuk lebih banyak staf pengajar kulit putih untuk menjadi
pelatih multikultural (Kiselica, 1998). Staf pengajar kulit putih yang telah mengembangkan
keahlian multikultural dapat menjadi panutan bagi para konselor kulit putih yang bergulat
dengan pengembangan identitas budaya mereka sendiri. Lark dan Paul (1988) menyatakan
bahwa beberapa kesamaan etnis atau budaya untuk pelatih adalah hal penting bagi
kredibilitas dan pemodelan.
P a g e | 44

Daftar Pustaka

Allen E. Ivey & Mary Badford Ivey (2003). Intentional Interviewing and Counseling:
facilitating Client Development in a Multicultural Society.USA: Brooks/Cole.
Gerard Corey, Marianne Schneider Corey, Patrick Callanan, (2011), Issues and Ethics in the
Helping Professions, United States of America:Brooks/Cole, Cengage Learning
Lago Collin ( 2006 ). Race, Culture and Counselling The Ongoing Challenge. England:
McGraw-Hill House
McLeod John (2011). An Introduction to Counseling. New York: McGraw Hill
Robert L.Gibson & Marianne H. Mitchell (2008). Introduction to Counseling and Guidance.
New Yersey: Pearson Prentice Hall.
Samuel T. Glading (2012). Counseling : A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson
Education,Inc
Uwe P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (2008) Principles of Multicultural
Counseling and TherapyAn Introduction. New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Wanda M.L. Lee, John A. Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007)
Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. New York:
Routledge Taylor & Francis Group.,)

Anda mungkin juga menyukai